• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS HUKUM PIDANA POSITIF DAN HUKUM PIDANA ISLAM TENTANG KEKERASAN TERHADAP ANAK DALAM RUMAH TANGGA (STUDI KASUS PUTUSAN PENGADILAN NEGERI SIDOARJO NOMOR : 771/PID.Sus/2014/PN.Sda.).

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "ANALISIS HUKUM PIDANA POSITIF DAN HUKUM PIDANA ISLAM TENTANG KEKERASAN TERHADAP ANAK DALAM RUMAH TANGGA (STUDI KASUS PUTUSAN PENGADILAN NEGERI SIDOARJO NOMOR : 771/PID.Sus/2014/PN.Sda.)."

Copied!
96
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS HUKUM PIDANA POSITIF DAN HUKUM PIDANA

ISLAM TENTANG KEKERASAN TERHADAP ANAK DALAM

RUMAH TANGGA (STUDI KASUS PUTUSAN PENGADILAN

NEGERI SIDOARJO NOMOR : 771/PID.Sus/2014/PN.Sda.)

SKRIPSI

Oleh:

Oldy Firman Maolandha C33211067

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

JURUSAN HUKUM PUBLIK ISLAM

PRODI SIYASAH JINAYAH

SURABAYA

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
(8)
(9)
(10)
(11)
(12)
(13)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kekerasan terhadap anak adalah salah satu kasus paling dominan dan banyak dijumpai kapanpun, dimanapun, hampir disetiap tempat diseluruh provinsi negeri ini.1 Hal ini menjadi sangat ironis mengingat anak yang notabennya sebagai penerus bangsa seharusnya mendapatkan hak-hak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan dekriminasi.2 Justru mengalami yang sebaliknya mungkin inilah yang menjadi salah satu faktor mengapa rentetan problematika bangsa diatas terus terulang kembali dan seakan tidak berpenghujung. Karena anak merupakan tumpuan harapan serta penerus cita-cita orang tua sekaligus generasi bangsa masih banyak mendapatkan perlakuan dan pendidikan yang salah. Generasi-generasi salah asuh inilah yang kemudian hari diperparah dengan salah pergaulan. Akan serba salah menjalani hidupnya, karena tidak memiliki landasan kepribadian, moral, serta spirit yang kuat.

Contoh kasus penganiayaan terhadap anak yang terungkap di Kecamatan Megamendung Kabupaten Bogor. Firman Andhika Frastya

mengaku dipukuli ibu kandung dan ayah tirinya sendiri. Ibu kandung korban

1 Romli Almasasmita, Peradilan Anak di Indonesia, (Bandung: Mandar Maju. 1995),165.

2 Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 pasal 1 ayat 2 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang

(14)

2

yang bernama Hernaningsih menuduh korban mencuri uang. Hernaningsih memukuli badan dan wajah korban bertubi-tubi menggunakan sarung golok yang terbuat dari kayu dan gagang sapu hingga patah. Melihat kemarahan istrinya, bukannya menolong, H Sulaeman malah menyudutkan rokok kearah leher korban sebanyak tiga kali. Kapolsek megamendung, Iptu Drs. M. Suprayogi tetap memproses. Suami istri tersebut diancam pasal 80 No. 23 Tahun 2002 Undang-Undang Perlindungan Anak. ‘’Ancaman hukumannya 15 tahun penjara atau ganti rugi Rp 100 juta,’’ tutur Suprayogi.3

Contoh kasus berikutnya dialami bocah berinisial DA (10). Bocah ini harus mengalami luka bakar di pipi akibat disetrika oleh ibu tirinya berinisial S (33). Tidak terima dengan kejadian ini UK (42) ayah kandung korban pun meradang dan memilih melaporkan kasus tersebut ke Polres Jakarta Timur. UK menceritakan, peritiwa ini terjadi pada 22 maret sekitar pukul 14:30 wib di rumahnya di kawasan Duren Sawit, Jakarta timur. Hingga kini S masih menjalani pemeriksaan oleh unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Polres Jakarta Timur.4

Kekerasan terhadap anak dalam bukanlah kasus yang jarang terjadi di masyarakat. Berdasarkan data Komnas perlindungan anak menyebutkan

tercatat 21.689.797 pelanggaran hak anak yang tesebar di 34 provinsi, dan 179 kabupaten kota. 42-58% dari pelanggaran hak anak tersebut merupakan

kejahatan seksual, selebihnya adalah kasus kekerasan fisik, penelantaran,

3

Nostalgia. Tabloid nova.com/articles.asp?id=9578, diakses pada 8 april 2015

4

(15)

3

penculikan, eksploitasi ekonomi, perdagangan anak untuk tujuan eksploitasi seksual komersial serta kasus-kasus perebutan anak.5 Keluarga atau orang terdekat dengan anaklah justru merupakan pelaku kekerasan paling dominan terhadap anak. Kasus kekerasan kekerasan yang dilakukan keluarga dan banyak tergolong dalam kategori berat dan berakibat fatal terhadap anak, seperti pembunuhan, penyiksaan, hingga menyebabkan cacat seumur hidup atau bahkan meninggal dunia. Sementara kasus-kasus kekerasan seperti memukul, menendang, mencambak, mencubit, dan lain sebagainya mungkin setiap hari terjadi dan sudah dianggap hal biasa.6

Dalam keluarga kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya. Setiap anak-anak selama dalam pengasuhan orang tua , wali, atau pihak lain mana pun yang bertanggung jawab atas pengasuhan. Kewajiban dan tanggung jawab orang tua telah tertuang pada Undang-Undang perlindungan anak yang berbunyi :7

1. Orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk :

a. mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi anak;

b. menumbuhkembangkan Anak sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minatnya;

5 http://www.gotongroyongfund.com/project/campaign-stop-child-abuse/, diakses pada 8 april

2015.

6 Sulaiman Zuhdi Manik, penanganan kasus kekerasan terhadap anak dalam rumah tangga.2007. http://www.kabar indonesia.com/berita.php?pil=14&dn=200709112123, diakses 8 april 2015 7 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 23

(16)

4

c. mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak; dan

d. memberikan pendidikan karakter dan penanaman nilai budi pekerti pada anak.

Anak juga berhak hidup, tumbuh dan berkembang. Islam juga melarang orang tua untuk melakukan kekerasan, penganiayaan, bahkan pembunuhan. Perlindungan untuk hidup, tumbuh dan berkembang tersebut diberikan Islam sejak masa dalam kandungan, sebagaimana terdapat dalam surat al-Isra ayat 31 :

‚Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan. Kami-lah yang akan memberi rezeki kepada mereka dan juga kepadamu. Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa yang besar’’.8

(17)

5

‘’Sesungguhnya rugilah orang yang membunuh anak-anak mereka karena kebodohan lagi tidak mengetahui, dan mereka mengharamkan apa yang Allah telah rizkikan kepada mereka dengan semata-mata mengada-adakan terhadap Allah. Sesungguhnya mereka telah sesat dan tidaklah mereka mendapat petunjuk’’.9

Dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 menyebutkan ketentuan pidana pada pasal 80 pada ayat (1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 76C, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah). Kemudian jika anak mengalami luka berat ketentuan pidananya diatur dalam ayat 2 yang berbunyi dalam hal Anak sebagaimana dimaskud pada ayat 1 luka berat, maka pelaku dipidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah). Lalu dalam ayat 3 dijelaskan dalam hal Anak sebagimana dimaksud pada ayat (2) mati, maka pelaku dipidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan/atau denda paling banyak Rp3000.000.000,00 (tiga milyar rupiah). Jika orang tua yang melakukan kekerasan maka diatur dalam ayat 4 yang berbunyi pidana ditambah sepertiga dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3)

apabila yang melakukan penganiayaan tersebut Orang Tuanya.10

9 Departemen Agama RI

10 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 23

(18)

6

Banyaknya kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga merupakan salah satu faktor pendorong dibentuknya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga disingkat UU PKDRT. Kelahiran Undang-Undang ini memang tidak bisa dilepaskan dari semangat zaman yang bersifat menglobal tentang tuntutan perlunya penghapusan kekerasan terhadap anak. Anak adalah bagian dari keluarga yang rentan dan beresiko terhadap kekerasan dalam rumah tangga.

Kekerasan yang dimaksud oleh Undang-Undang ini dibatasi dalam lingkup rumah tangga. Menurut pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 mengenai Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.

Sementara itu bentuk-bentuk kekerasan yang ada dalam lingkungan rumah tangga sebagimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 pasal 5 menyebutkan :

Setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang dalam lingkup rumah tangganya dengan cara :11

11 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 pasal 5 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam

(19)

7

a. Kekerasan fisik

b. Kekerasan psikis

c. Kekerasan seksual; atau

d. penelantaran rumah tangga.

Ketentuan pidana dalam rumah tangga sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga pasal 80 yang berbunyi ayat 1 Setiap orang yang melakukan perbuatan fisik dalam lingkup rumah tangga sebagimana yang dimaksud dalam pasal 5 huruf a dipidana dengan penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp 15.000.000,00 (lima belas juta rupiah). Lalu ayat 2 dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 mengakibatkan korban mendapat jatuh sakit atau luka berat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun atau denda paling banyak Rp 30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah). Kemudian dalam ayat 3 dijelaskan dalam hal perbuatan yang dimaksud pada ayat 2 mengakibatkan matinya korban, dipidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun atau denda paling banyak Rp 45.000.000,00 (empat puluh lima juta rupiah). Dan ayat terakhir dijelaskan dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dilakukan oleh suami terhadap istri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan

(20)

8

dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) bulan atau denda paling banyak Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah).12

Menurut Hukum Pidana Islam kasus kekerasan terhadap anak di golongkan kepada perbuatan kejahatan terhadap nyawa atau badan orang lain, perbuatan itu merupakan bentuk pidana penganiayaan atas selain jiwa atau dapat juga dikatakan sebagai pelukaan (al-jarh).13 Namun dalam kasus kekerasan dalam rumah tangga dihukum berupa hukuman ta’zir, karena belum ada ketentuan yang jelas dalam al-Quran dan Hadis, mengenai bentuk ukurannya diserahkan keputusannya kepada ijtihad hakim atau imam yang berwenang. Macam hukuman ta’zir dapat berupa hukuman mati, penjara, pengucilan, penyalipan, dera, pengasingan, dan ancaman. Dalam pidana Islam untuk kekerasan terhadap anak dalam rumah tangga berupa hukuman ta’zir termasuk jarimah.

Jarimah ta’zir adalah semua jenis tindakan pidana yang tidak secara tegas diatur oleh al-Quran atau Hadis. Aturan teknis, jenis, dan pelaksaannya ditentukan oleh penguasa setempat. Bentuk jarimah ini sangat banyak dan tidak terbatas, sesuai dengan kejahatan yang dilakukan akibat godaan setan dalam diri manusia.14 Hukuman dalam jarimah ta’zir tidak di tentukan ukurannya atau kadarnya, artinya untuk menentukan batas terendah dan tertingginya diserahkan sepenuhnya kepada hakim (penguasa). Dengan

12 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 pasal 44 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam

Rumah Tangga.

13 Abdurahman, Tindak Pidana Dalam Syariat Islam(Shari’ah the Islamic Law), Wadi Masturi, Basri Iba Asghary, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1992),2.

(21)

9

demikian syari’ mendelegasikan kepada hakim untuk menentukan bentuk-bentuk dan hukuman kepada pelaku jarimah.15

Hukum pidana Islam membincangkan berbagai hal seputar pelanggaran dan tindak pidana. Dalam hubungan itu, diatur tidak saja prosedur penghukuman dan materi hukuman, tetapi juga diatur kemungkinan terjadi pengecualian, pengurangan dan penghapusan hukuman. Yang dilihat dari perspektif pelaku tindak pidana.16

Dari permasalahan diatas, maka penulis ingin meneliti Putusan Hakim Pengadilan Negeri Sidoarjo sehingga permasalahan ini menarik untuk dijadikan sebuah tulisan dengan mengambil tema dan judul skripsi sebagai berikut :

‘’Analisis Hukum Pidana Positif dan Hukum Pidana Islam Tentang Kekerasan Terhadap Anak Dalam Rumah Tangga (Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Sidoarjo Nomor : 771/PID.Sus/2014/PN.Sda.)’’

B. Identifikasi Masalah dan Pembatasan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, terdapat beberapa masalah dalam penelitian ini. Adapun masalah-masalah tersebut dapat diidentifikasi sebagai berikut :

1. Pengertian tindak pidana kekerasan anak dalam rumah tangga.

15 Makhrus Munajat, Dekonstruksi Hukum Pidana Islam, (Yogyakarta: Logung Pustaka,2004), 13.

16 Topo Santoso, Membumikan Hukum Pidana Islam: Penegakan Syariat Dalam Wacana dan

(22)

10

2. Orang tua yang melakukan kekerasan terhadap anak dalam rumah tangga.

3. Kewajiban orang tua terhadap anak dalam rumah tangga.

4. Sanksi pidana kekerasan terhadap anak dalam rumah tangga.

5. Tindak pidana kekerasan anak dalam rumah tangga dalam pandangan islam.

6. Hukum Pidana Positif dan Hukum Pidana Islam terhadap kekerasan anak dalam rumah tangga.

7. Pertimbangan Hukum Hakim terhadap kekerasan terhadap anak dalam rumah tangga dalam putusan Pengadilan Negeri Sidoarjo Nomor : 771/PID.Sus/2014/PN.Sda.

8. Hukum Pidana Positif dan Hukum Pidana Islam terhadap pertimbangan Hakim dalam putusan Nomor : 771/PID.Sus/2014/PN.Sda. tentang kekerasan terhadap anak dalam rumah tangga.

Masalah kekerasan anak dalam rumah tangga masih memuat suatu masalah yang bersifat umum dan global, sehingga diperlukan suatu pembatasan masalah dalam pembahasannya. Dalam hal ini pembatasan masalahnya adalah :

1. Pertimbangan Hukum Hakim terhadap kekerasan terhadap anak dalam

(23)

11

2. Analisis Hukum Pidana Positif dan Hukum Pidana Islam terhadap pertimbangan Hakim dalam putusan Nomor : 771/PID.Sus/2014/PN.Sda. Tentang Kekerasan Terhadap Anak Dalam Rumah Tangga.

C. Rumusan Masalah

Dari apa yang diuraikan dalam latar belakang diatas, maka permasalahan yang diambil dalam penulisan ini adalah sebagai berikut :

1. Bagaimana Pertimbangan Hukum Hakim terhadap kekerasan terhadap anak dalam rumah tangga dalam putusan Pengadilan Negeri Sidoarjo Nomor : 771/PID.Sus/2014/PN.Sda ?

2. Bagaimana Analisis Hukum Pidana Positif dan Hukum Pidana Islam terhadap pertimbangan Hakim dalam putusan Nomor : 771/PID.Sus/2014/PN.Sda. tentang kekerasan terhadap anak dalam rumah tangga ?

D. Kajian Pustaka

Permasalahan kekerasan anak dalam lingkup rumah tangga sebenarnya sudah pernah dikaji oleh para penulis, diantaranya :

(24)

12

tangga’’.17 Skripsi ini membahas tentang kriteria dan sanksi tentang

kekerasan anak dalam rumah tangga dalam tinjauan perspektif hukum islam dan menurut Undang-Undang No. 23 Tahun 2002.

2. Noer Chasanah yang berjudul ‘’pengaruh kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) terhadap kesulitan belajar anak di kelurahan Magersari kecamatan Sidoarjo kabupaten Sidoarjo’’.18 Skripsi ini membahas

dampak psikis anak terhadap kekerasan dalam rumah tangga.

3. Anis Sayyidatus Sholihah yang berjudul ‘’Analisis Hukum Islam terhadap kekerasan anak dalam rumah tangga : studi terhadap kasus yang ditangani oleh LSM KPPD Samitra Abhaya Surabaya’’.19 Inti

pembahasan skrispsi ini untuk mengetahui kasus yang ditangani LSM KPPD Samitra Abhaya Surabaya dan dianalisis secara hukum Islamnya.

Sedangkan skripsi yang akan dibahas berjudul ‘’Analisis Hukum Pidana Positif dan Hukum Pidana Islam Tentang Kekerasan Terhadap Anak Dalam Rumah Tangga (Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Sidoarjo Nomor : 771/PID.Sus/2014/PN.Sda.)’’ Dalam penelusuran diatas, penulis tidak

17 Abd. Roziq,’’perspektif hukum islam dan Undang-Undang No.23 Tahun 2002 tentang

kekerasan anak dalam rumah tangga’’ (Skripsi—UIN Sunan Ampel, Surabaya,2009).

18 Noer Chasanah,’’Pengaruh kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) terhadap kesulitan belajar

anak di kelurahan Magersari kecamatan Sidoarjo kabupaten Sidoarjo’’ (Skripsi—UIN Sunan Ampel,Surabaya,2007).

19 Anis sayyidatus sholihah,’’Analisis Hukum Islam terhadap kekerasan anak dalam rumah tangga

(25)

13

menemukan penelitian yang sama, sehingga tidak ada pengulangan skripsi terhadap penelitian yang dibahas penulis.

E. Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan yang telah dirumuskan, maka peneliti mempunyai tujuan penelitian sebagai berikut :

1. Ingin mengetahui pertimbangan Hukum Hakim terhadap kekerasan terhadap anak dalam rumah tangga dalam putusan Pengadilan Negeri Sidoarjo Nomor : 771/PID.Sus/2014/PN.Sda.

2. Ingin menganalisis pertimbangan Hakim menurut Hukum Pidana Positif dan Hukum Pidana Islam terhadap putusan Nomor : 771/PID.Sus/2014/PN.Sda. tentang Kekerasan Terhadap Anak Dalam Rumah Tangga.

F. Kegunaan Hasil Penelitian

Dari hasil penelitian diharapkan bermanfaat dan berguna untuk :

1. Teoritis

Hasil penelitian diharapkan berguna bagi perkembangan kerangka berfikir para ilmuan dalam disiplin ilmu pengetahuan agar bisa lebih maju lagi.

(26)

14

Diharapkan hasil dari penelitian ini dapat menjadi acuan atau pertimbangan bagi penerapan ilmu di lingkungan masyarakat, terutama yang berkaitan dengan kasus kekerasan terhadap anak dalam rumah tangga.

G. Definisi Operasional

Untuk mempermudah pembahasan dalam skripsi ini perlu adanya definisi operasional dan untuk menghindari kesalahpahaman sehubungan dengan judul yang diangkat penulis. Yaitu :

1. Hukum Pidana Positif : Bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku disuatu negara yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk menentukan perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana (kepada barangsiapa yang melanggar larangan tersebut)20. Dalam ini adalah Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.

2. Hukum Pidana Islam : Syariat Allah yang mengandung kemaslahatan bagi kehidupan manusia, terutama syariat Allah yang mengatur

tindakan-tindakan kejahatan yang mengganggu ketertiban umum, serta mengatur

(27)

15

tindakan melawan perarturan-peraturan yang bersumber dari al-Quran dan Hadis, Serta pemikiran 4 Madzhab.

3. Putusan Pengadilan Negeri Sidoarjo Nomor : 771/PID.Sus/2014/PN.Sda. : dalam putusan ini terdakwa telah terbukti melakukan perbuatan kekerasan fisik terhadap anak dalam lingkup rumah tangga. Kemudian Hakim menjatuhkan pidana kepada terdakwa yang merupakan orang tua kandung korban dengan pidana penjara 2 ( dua ) bulan dan 15 ( lima belas ) hari.

H. Metode Penelitian

Metode penelitian adalah cara yang digunakan oleh peneliti dalam mengumpulkan data penelitiannya21. Agar dalam penyusunan skripsi ini mencapai hasil yang maksimal, metode dalam penulisannya yaitu :

1. Data yang di kumpulkan

Sesuai dengan tujuan yang telah dirumuskan, maka pengumpulan data digunakan untuk menjawabnya, dalam penelitian ini data-data tersebut antara lain :

a. Data Tentang Pertimbangan Hukum Hakim terhadap kekerasan terhadap anak dalam rumah tangga dalam putusan Pengadilan Negeri Sidoarjo Nomor : 771/PID.Sus/2014/PN.Sda.

21

Suharsini Arikunnto, Prosedur Penelitian SuatuPndekatan Praktis. Cet 13 (Jakarta : PT.Rineka

(28)

16

b. Data Tentang Analisis Hukum Pidana Positif dan Hukum Pidana Islam terhadap putusan Nomor : 771/PID.Sus/2014/PN.Sda. tentang Kekerasan Anak Dalam Rumah Tangga.

2. Sumber Data

Data adalah catatan atas kumpulan fakta22. Data yang digunakan adalah sebagai berikut :

a. Sumber Primer

Sumber yang diperoleh secara langsung. Sehingga dimungkinkan memperoleh informasi yang berhubungan dengan penelitian ini, diantaranya berasal dari :

1) Ketua pengadilan, majelis Hakim dan Panitera di Pengadilan Negeri Sidoarjo

2) Salinan putusan Hakim atau berkas perkara kekerasan terhadap anak dalam rumah tangga.

b. Sumber Sekunder

Sumber yang diperoleh peneliti dari sumber yang sudah ada23. Dalam hal ini data yang digunakan peneliti antara lain :

1) Romli Almasasmita, Peradilan Anak di Indonesia, Mandar Maju

(29)

17

2) Abdurahman, Tindak Pidana Dalam Syariat Islam (Shari’ah the Islamic

Law)

3) Muhammad Abu Zahrah, Al-Jarimah wa Al-Uqubah fi Fiqh Al-Islami, Al-Jarimah.

4) Makhrus Munajat, Dekonstruksi Hukum Pidana Islam

5) Santoso Topo, Membumikan Hukum Pidana Islam: Penegakan Syariat Dalam Wacana dan Agenda

6) Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana

3. Teknik Pengumpulan Data

a. Interview

penulis mengadakan wawancara dan tanya jawab secara langsung dengan hakim dan panitera di Pengadilan Negeri Sidoarjo yang menangani kasus ini untuk mendapatkan informasi yang di perlukan dalam mengumpulkan data terkait dengan putusan Pengadilan Negeri Sidoarjo tentang kekerasan terhadap anak dalam rumah tangga.

b. Telaah Dokumen

(30)

18

c. Telaah Pustaka

penulis mencari dan mengumpulkan data yang berasal dari buku-buku yang berkaitan dengan penelitian ini, sehingga penulis dapat memahami, mencermati dan menganalisa berdasarkan data yang di peroleh tersebut.

4. Teknik Pengolahan Data

Setelah seluruh data terkumpul kemudian dianalisis dengan tahapan-tahapan sebagai berikut :

a. Editing, yaitu pemeriksaan kembali terhadap semua data yang telah diperoleh terutama dari segi kelengkapan, kevalidan, kejelasan makna, keselarasan dan kesesuaian antara data primer dan sekunder tentang analisis Hukum Pidana Positif dan Hukum Pidana Islam tentang kekerasan terhadap anak dalam rumah tangga (studi kasus putusan pengadilan negeri sidoarjo nomor : 771/PID.Sus/2014/PN.Sda.)

b. Organizing, yaitu menyusun dan mensistematiskan data-data yang telah

diperoleh tentang analisis Hukum Pidana Positif dan Hukum Pidana Islam tentang kekerasan terhadap anak dalam rumah tangga (studi kasus putusan pengadilan negeri sidoarjo nomor : 771/PID.Sus/2014/PN.Sda.)

(31)

19

5. Teknik Analisis Data

Analisis data merupakan upaya mencari dan menata secara sistematis catatan hasil observasi, wawancara dan lainnya untuk meningkatkan pemahaman peneliti tentang kasus yang diteliti dan menyajikannya sebagai temuan bagi orang lain.24

Sesuai dengan arah studi yang telah dipilih oleh penulis, teknik analisis data yang digunakan berupa metode deskriptif analisis yaitu mendeskrisikan data yang berhasil dihimpun sehingga tergambar obyek masalah secara terperinci dan menghasilkan pemahaman yang kongkrit dan jelas. Sedangkan pola pikir yang dipakai disini adalah pola pikir deduktif yang berangkat dari faktor yang umum, yaitu kekerasan terhadap anak dalam rumah tangga terhadap putusan Pengadilan Negeri Sidoarjo, kemudian ditarik kedalam hal yang sifatnya lebih khusus

I. Sistematika Pembahasan

Untuk memberi pemahaman tentang skripsi ini, penulisan akan menguraikan pembahasannya. Adapun sistematika pembahsan skripsi ini terdiri dari lima bab dengan pembahasan sebagai berikut :

Bab pertama, adalah uraian pendahuluan yang menjelaskan

langkah-langkah-langkah yang dilakukan dalam pembahasan skripsi ini meliputi : latar belakang masalah, identifikasi dan pembatasan masalah, rumusan

(32)

20

masalah, kajian pustaka, tujuan penelitian, kegunaan hasil penelitian, definisi operasional, metode penelitian, dan sub bab terakhir adalah sistematika pembahasan.

Bab kedua, bab ini secara umum membahas kekerasan terhadap anak dalam rumah tangga menurut hukum positif dan hukum pidana islam. Untuk mendapatkan data yang utuh terlebih dulu diuraikan pengertian kekerasan terhadap anak dalam rumah tangga, bentuk-bentuk kekerasan yang terjadi terhadap anak, serta gambaran menurut Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-Undang nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Serta Hukum Pidana Islam terkait kasus kekerasan terhadap anak dalam rumah tangga.

Bab ketiga, bab ini berisi data tentang data-data yang diperoleh dari penelitian pada putusan Pengadilan Negeri Sidoarjo Nomor 771/PID.Sus/2014/PN.Sda. yang meliputi duduk perkara, dasar pertimbangan hukum yang digunakan oleh hakim di Pengadilan Negeri Sidoarjo dalam memutus perkara kekerasan terhadap anak dalam rumah

tangga dan amar putusannya.

Bab keempat, bab ini menguraikan tentang analisis Hukum Pidana

(33)

21

(34)

22

BAB II

KEKERASAN TERHADAP ANAK DALAM RUMAH TANGGA MENURUT HUKUM PIDANA POSITIF DAN HUKUM PIDANA ISLAM

A. Kekerasan Terhadap Anak Dalam Rumah Tangga Menurut Hukum Pidana Positif.

1. Pengertian Kekerasan Terhadap Anak Dalam Rumah Tangga

Keluarga adalah tempat pertama kali anak belajar mengenal aturan yang berlaku di lingkungan keluarga dan masyarakat. Sudah barang tentu dalam proses belajar ini anak cenderung melakukan kesalahan. Bertolak dari kesalahan yang dilakukan, anak akan lebih mengetahui tindakan-tindakan yang bermanfaat dan tidak bermanfaat, patut dan tidak patut. Namun orang tua menyikapi proses belajar yang salah ini dengan kekerasan. Bagi orang tua, tindakan anak yang melanggar perlu dikontrol dan dihukum.

Mewujudkan keutuhan dalam rumah tangga adalah dambaan setiap orang. Hal itu sangat tergantung pada setiap orang dalam lingkup rumah tangga tersebut untuk memahami perannya, terutama kadar kualitas perilaku dan pengendalian diri setiap orang dalam lingkup rumah tangga tersebut. Keutuhan dan kerukunan rumah tangga dapat terganggu jika kualitas dan

(35)

23

ketidakadilan, maupun ketidaknyamanan terhadap orang yang berada dalam lingkup rumah tangga.25

Kekerasan terhadap anak adalah satu kasus paling dominan dan banyak dijumpai kapanpun, dimanapun, hampir setiap tempat diseluruh provinsi negeri ini.26 Hal ini menjadi sangat ironis mengingat anak yang notabennya sebagai penerus bangsa seharusnya mendapatkan hak-hak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.27 Justru mengalami yang sebaliknya mungkin inilah yang menjadi salah satu faktor mengapa rentetan problematika bangsa terus terulang kembali dan tidak berpenghujung. Karena anak merupakan tumpuan harapan serta penerus cita-cita orang tua sekaligus generasi bangsa masih banyak mendapatkan perlakuan dan pendidikan yang salah. Generasi-generasi salah asuh inilah yang dikemudian hari diperparah dengan salah pergaulan. Akan serba salah menjalani hidupnya, karena tidak memiliki landasan kepribadian, moral, serta spirit yang kuat.

Banyak orang tua menganggap kekerasan pada anak adalah hak yang wajar. Mereka beranggapan bahwa kekerasan adalah bagian dari

mendisiplinkan anak. Mereka lupa bahwa orang tua adalah orang yang paling bertanggung jawab dalam mengupayakan kesejahteraan, perlindungan,

25 Wahyu Kuncoro, Solusi Cerdas Menghadapi Kasus Keluarga, (Jakarta: Raih Asa Sukses.2010),218.

26 Romli Almasasmita, Peradilan Anak Di Indonesia, (Bandung: Mandar Maju.1995),165. 27 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23

(36)

24

peningkatan kelangsungan hidup, dan mengoptimalkan tumbuh kembang anaknya.28

Kekerasan terhadap anak dalam arti kekerasan dan penelantaran adalah semua bentuk perlakuan yang menyakitkan secara fisik maupun emosional, pelecehan seksual, penelantaran, eksploitasi komersial atu eksploitasi lain yang mengakibatkan cidera atau kerugian nyata ataupun potensial terhadap kesehatan anak, kelangsungan hidup anak, tumbuh kembang anak atau martabat anak yang dilakukan dalam konteks hubungan tanggung jawab, kepercayaan, atau kekuasaan. Sementara pengertian menurut Undang-Undang perlindungan anak yang dimaksud kekerasan terhadap anak adalah dikriminasi, eksploitasi baik fisik maupun seksual, penelantaran, kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan, ketidakadilan, dan perlakuan salah lainnya.29

Kekerasan anak lebih bersifat sebagai bentuk penganiayaan fisik dengan terdapatnya tanda atau luka pada tubuh sang anak. Jika kekerasan terhadap anak di dalam rumah tangga dilakukan oleh orang tua, maka hal tersebut dapat disebut kekerasan dalam rumah tangga. Tindak kekerasan rumah tangga yang termasuk di dalam tindakan kekerasan rumah tangga adalah

memberikan penderitaan baik secara fisik maupun mental diluar batas-batas tertentu terhadap orang lain yang berada di dalam satu rumah, seperti

28 Kadnet, Pengertian Kekerasan Terhadap Anak, 2009.

http://www.kadnet.info/web/index.php?option=com_content&view=categoru&layout=blog&id =41&itemid=69, diakses pada 13 mei 2015

29 Iin Sri Herlina, Definisi Kekerasan Terhadap Anak, 2010.

(37)

25

terhadap pasangan hidup, anak, atau orang tua dan tindak kekerasan tersebut dilakukan didalam rumah.30

Kekerasan terhadap anak merujuk pada perbuatan terhadap anak yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, psikis, seksual, dan/atau penelantaran, termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum.31 Istilah kekerasan juga berkonotasi kecendurungan agresif untuk perilaku yang merusak dan untuk menyebabkan penderitaan atau menyakiti orang lain.

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa kekerasan terhadap anak adalah segala bentuk perlakuan baik secara fisik maupun secara psikis yang berakibat penderitaan terhadap anak. Pelanggaran terhadap hak anak dewasa ini semakin tak terkendali dan mengkhawatirkan kelangsungan hidup berbangsa dan bernegara. Tantangan dan penderitaan yang dialami anak-anak masih belum berakhir. Kekerasan terhadap anak-anak, baik secara fisik, psikis, dan seksual, masih menjadi fakta dan tidak tersembunyikan lagi. Karenanya, tidak tepat jika kekerasan terhadap anak dianggap urusan domestik atau masalah internal keluarga yang tidak boleh diintervensi oleh

masyarakat umum.

30 Kadnet, Pengertian Kekerasan Terhadap Anak, 2009.

http://www.kadnet.info/web/index.php?option=com_content&view=categoru&layout=blog&id =41&itemid=69, diakses pada 13 mei 2015

31 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23

(38)

26

2. Bentuk-Bentuk Kekerasan Terhadap Anak Dalam Rumah Tangga

Bentuk kekerasan terhadap anak atau pelanggaran terhadap anak yang ada dalam lingkungan rumah tangga sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga pasal 5 menyebutkan bentuk kekerasan. Pertama kekerasan fisik, kedua kekerasan psikis, ketiga kekerasaan seksual, dan keempat penelantaran rumah tangga.32

Pertama, tindak kekerasan fisik. Bentuk ini paling mudah dikenali. Kategori dari kekerasan ini adalah menampar, menendang, memukul, menggigit, mendorong, membenturkan, atau mengancam dengan benda tajam dan lain sebagainya. Korban kekerasan jenis ini biasanya tampak secara langsung pada fisik korban seperti luka memar, berdarah, patah tulang, pingsan dan bentuk lainnya yang kondisinya lebih berat.33

Kedua, kekerasan psikis. Kekerasan ini tidak mudah dikenali karena kekerasan ini tidak membekas secara fisik, melainkan kekerasan ini memberikan dampak yang tersembunyi dan yang termanifestasikan dalam beberapa bentuk, seperti kurangnya rasa percaya diri, kesulitan membina persahabatan, perilaku merusak seperti membakar barang dan melakukan kekerasan terhadap hewan dengan kejam, beberapa melakukan agresi,

32 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah

Tangga pasal 5.

(39)

27

penyalahgunaan obat-obatan terlarang dan alkohol, serta kecenderungan untuk mengakhiri hidup atau melakukan bunuh diri.34

Ketiga, yaitu kekerasan seksual. Termasuk dalam kategori ini adalah segala tindakan yang muncul dalam bentuk paksaan atau mengancam untuk melakukan hubungan seksual, melakukan penyiksaan atau bertindak sadis serta meninggalkan seseorang, termasuk mereka yang tergolong masih berusia anak-anak setelah melakukan hubungan seksual. Segala perilaku yang mengarah kepada tindakan pelecehan seksual terhadap anak-anak baik disekolah, didalam keluarga, maupun dilingkungan sekitar tempat tinggal anak juga termasuk dalam kategori kekerasan atau pelanggaran terhadap hak anak jenis ini. Kasus pemerkosaan anak, pencabulan yang dilakukan oleh guru, orang lain bahkan orang tua kandung ataupun orang tua tiri yang sering terekspos dalam pemberitaan media massa adalah contoh kongkrit dari kekerasan bentuk ini.35 Dampak buruk dari kekerasan seksual sangatlah banyak contohnya seperti pada anak yang masih kecil dari yang biasanya tidak mengompol jadi mengompol, mudah merasa takut, perubahan pola tidur, kecemasan yang tak beralasan, bahkan terjadi luka pada alat kelamin sehingga korban merasa nyeri. Pada jangka panjang korban pelecehan seksual cenderung mengasingkan diri dari lingkungan sekitar, lalu korban

juga mempunyai hasrat untuk balas dendam kepada anak-anak kecil sehingga

(40)

28

banyak korban pelecehan seksual yang dikemudian hari justru menjadi predator pelaku pelecehan seksual terhadap anak-anak.

Keempat, penelantaran rumah tangga yaitu setiap orang dilarang melakukan penelantaran rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada rumah tangganya. Dalam kasus penelantaran rumah tangga justru banyak yang menjadi korban adalah istri dan anak, masyoritas pelaku adalah kepala rumah tangga. Kepala rumah tangga melakukan penelantaran rata-rata dikarenakan adanya wanita idaman lain, sehingga keluarga yang sebelumnya dibangun ditinggalkan begitu saja sehingga istri dan anak menjadi terlantar dan tidak terurus.36

Sementara itu menurut Suharto mengelompokan kekerasan terhadap anak menjadi : kekerasan secara fisik, kekerasan secara psikologi, kekerasan secara seksual dan terakhir yaitu kekerasan secara sosial, bentuk dari keempat kekerasan terhadap anak ini dijelaskan sebagai berikut :37

a. Kekerasan anak secara fisik, adalah penyiksaan, pemukulan, dan penganiayaan terhadap anak, dengan atau tanpa menggunakan benda-benda tertentu. Yang menimbulkan luka-luka fisik atau kematian pada anak. Bentuk luka dapat berupa lecet atau memar akibat persentuhan atau kekerasan benda tumpul, seperti bekas gigitan, cubitan, ikat pinggang, atau

rotan. Dapat pula berupa luka bakar akibat bensin panas atau berpola akibat

36 Bagong Suyanto dan Sri Sanituri Ariadi..,116

(41)

29

sundutan rokok atau setrika. Lokasi luka biasanya ditemukan dibagian paha, lengan, jari-jari telapak tangan, mulut, pipi, dada, perut, punggung, atau daerah bokong. Terjadinya kekerasan terhadap anak yang tidak disukai orang tuanya, seperti anaknya nakal atau rewel, menangis terus, minta jajan, buang air dan muntah disembarang tempat, atau memecahkan barang berharga.

b. Kekerasan anak secara psikis, meliputi penghardikan, penyampaian kata-kata kasar dan kotor, memperlihatkan buku, gambar, atau film pornografi kepada anak.

c. Kekerasan anak secara seksual, dapat berupa perlakuan prakontak seksual antara anak dengan orang yang lebih besar (melalui kata, sentuhan, gambar visual), maupun perlakuan kontak seksual secara langsung antara anak dengan orang dewasa (insect, perkosaan dan eksploitasi seksual).

d. Kekerasan anak secara sosial, dapat mencakup penelantaran anak dan eksploitasi anak. Penelantaran anak adalah sikap dan perlakuan orang tua yang tidak memberikan perhatian yang layak terhadap tumbuh kembang anak. Misalnya anak dikucilkan, diasingkan dari keluarga, atau tidak diberikan pendidikan dan perwatan yang layak terhadap anak. Eksploitasi anak merujuk pada tindakan diskriminatif atau perlakuan sewenang-wenang terhadap anak yang dilakukan keluarga atau masyarakat. Sebagai contoh, memaksa anak untuk melakukan sesuatu demi kepentingan ekonomi, sosial

(42)

30

Misalnya anak dipaksa bekerja di pabrik-pabrik yang membahayakan (tambang, sektor alas kaki, atau industri sepatu) dengan upah rendah dan tanpa peralatan yang memadai, anak dipaksa untuk angkat senjata, atau dipaksa untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan rumah yang melampaui batas kemampuannya.

3. Faktor-Faktor Kekerasan Terhadap Anak Dalam Rumah Tangga

Keluarga merupakan lembaga pertama dalam kehidupan anak, tempat ia belajar dan menyatakan diri sebagai makhluk sosial. Segala sesuatu yang dibuat anak mempengaruhi keluarganya, begitu pula sebaliknya. Kelurag memberikan dasar pembentukan tingkah laku, watak, moral, dan pendidikan kepada anak. Pengalaman interaksi di dalam keluarga akan menentukan pula pola tingkah laku anak terhadap orang lain dalam masyarakat. Disamping keluarga sebagai tempat awal bagi proses sosialisasi anak, keluarga juga merupakan tempat sang anak mengharapkan dan mendapatkan pemenuhan kebutuhan. Kebutuhan akan kepuasan emosional karena telah dimiliki bayi yang baru lahir. Peranan dan tanggung jawab yang harus dimainkan orang tua dalam membina anak adalah besar. Namun, kenyataannya dalam melakukan peranan tersebut, baik secara sadar maupun tidak sadar, orang tua

dapat membangkitkan rasa ketidakpastian dan rasa bersalah pada anak. Sejak bayi masih dalam kandungan telah terjadi hubungan yang harmonis antara

(43)

31

sadar sang ibu akan merasa bersalah atau membenci anaknya yang belum lahir. Anak yang tidak dicintai oleh orang tua biasanya cenderung menjadi orang dewasa yang membenci dirinya sendiri dan merasa tidak layak untuk dicintai, serta dihinggapi rasa cemas. Perhatian dan kesetiaan anak dapat terbagi karena tingkah laku orang tuanya. Timbul rasa takut yang mendalam pada anak-anak di bawah usia enam tahun jika perhatian dan kasih sayang orang tuanya berkurang, anak merasa cemas terhadap segala hal yang bisa membahayakan hubungan kasih sayang antara ia dan orang tuanya.38

Faktor pendorong atau penyebab terjadinya kekerasan atau pelanggaran dalam keluarga yang dilakukan terhadap anak-anak , yaitu :39

a. Faktor ekonomi. Kemiskinan yang dihadapi sebuah keluarga sering membawa keluarga tersebut pada situasi kekecewaan yang pada gilirannya menimbulkan kekerasan. Hal ini biasanya terjadi pada keluarga-keluarga dengan anggota dengan anggota yang sangat besar. Problematika finansial keluarga yang memprihatinkan atau kondisi keterbatasan ekonomi dapat menciptakan berbagai masalah baik dalam hal pemenuhan kebutuhan sehari-hari, pendidikan, kesehatan, pembelian pakaian, pembayaran sewa rumah yang kesemuanya secara relatif dapat mempengaruhi jiwa dan tekanan yang

seringkali dilampiaskan terhadap anak-anak.

38 Lianny Solihin, Tindakan Kekerasan Pada Anak Dalam Keluarga, (Jurnal Pendidikan Penabur No.3, 2004),133.

(44)

32

b. Masalah keluarga. Hal ini lebih mengacu pada situasi keluarga khususnya hubungan orang tua yang kurang harmonis. Seorang ayah akan sanggup melakukan kekerasan terhadap anak-anaknya semata-mata sebagai pelampiasan atau upaya untuk pelepasan rasa jengkel dan amarahnya terhadap isteri. Sikap orang tua yang tidak menyukai anak-anak , pemarah dan tidak mampu mengendalikan emosi juga dapat menyebabkan terjadinya kekerasan pada anak-anak. Bagi orang tua yang memiliki anak-anak yang bermasalah seperti cacat fisik atau mental (idiot) acapkali kurang dapat mengendalikan kesabarannya waktu menjaga atau mengasuh anak-anak mereka, sehingga mereka juga merasa terbebani atas kehadiran anak-anak tersebut dan tidak jarang orang tua menjadi kecewa dan merasa frustasi.

c. Faktor perceraian. Perceraian dapat menimbulakn problematika kerumahtanggaan seperti hak pemeliharaan anak, pemberian kasih sayang, pemberian nafkah dan sebagainya. Akibat perceraian juga akan dirasakan oleh anak-anak terutama ketika orang tua mereka menikah lagi dan anak harus dirawat oleh ayah atau ibu tiri. Dalam banyak kasus tidak jarang kekerasan terhadap anak tersebut dilakukan oleh ayah atau ibu tiri tersebut.

d. Kelahiran anak di luar nikah. Tidak jarang sebagai akibat adanya kelahiran

di luar nikah menimbulkan masalah diantara kedua orang tua anak. Belum lagi jika melibatkan pihak keluarga dari pasangan tersebut. Akibatnya anak

(45)

33

oleh keluarga atau bahkan harus menerima perilaku yang tidak adil dan perilaku kekerasan lainnya.

e. Menyangkut masalah jiwa atau psikologis. Dalam berbagai kajian psikologis menyebutkan bahwa orang tua yang melakukan kekerasan atau penganiayaan terhadap anak-anak adalah mereka yang memiliki problem psikologis. Mereka senantiasa berada dalam situasi kecemasan dan tertekan akibat mengalami depresi atau setres. Secara tipologis ciri-ciri psikologis yang menandai situasi tersebut adalah : adanya perasaan rendah diri, harapan terhadap anak yang tidak realistis, harapan yang bertolak belakang dengan kondisinya dan kurangnya pengetahuan tentang bagaimana cara mengasuh anak yang baik.

f. Faktor terjadinya kekerasan terhadap anak yang lain adalah tidak dimilikinya pendidikan dan ilmu pengetuan agama atau religi yang tidak memadai. Sesungguhnya panjang sekali daftar kekerasan terhadap anak, tidak jarang mereka yang berdiam di kota-kota besar, tapi juga pelosok-pelosok kampung. Tidak hanya terhadap anak miskin atau anak jelata, tapi juga anak dari kaum elit atau mampu. Dilakukan oleh orang tua, masyarakat, dan lingkungan sekitar yang nyaris tidak memperdulikan anak sebagai pemilik

masa depan.

4. Dampak Tindak Kekerasan Terhadap Anak Dalam Rumah Tangga

Dampak kekerasan terhadap anak mungkin saja diingat dalam waktu

(46)

34

kemungkinan kekerasan yang menimpanya akan ia lakukan juga terhadap anaknya nanti. Selama ini, berbagai kasus telah membuktikan bahwa terjadinya kekerasan terhadap anak. Baik penganiayaan terhadap anak maupun penelantaran terhadap anak dapat memberikan dampak kesehatan fisik dan kesehatan mental anak.40

Dampak terhadap kesehatan fisik bisa berupa : luka memar, luka-luka dibagian wajah, punggung, pantat, tungkai, tangan dan kaki. Luka memar pada penganiayaan anak sering juga menimbulkan bekas luka, hal ini disebabkan oleh sayatan benda tajam, disulut oleh benda panas, pukulan yang menggunakan sabuk atau peralatan rumah tangga lainnya. Pendarahan di retina pada bayi kemungkinan akibat diguncang-guncang. Patah tulang yang mutipel atau patah tulang spiral kemungkinan juga merupakan akibat penganiayaan anak terutama pada bayi-bayi.41

Pada anak-anak yang mengalami penelantaran dapat terjadi kegagalan dalam tumbuh kembangnya, malnutrisi, anak-anak ini kemungkinan fisiknya kecil, kalaparan, terjadi infeksi kronis, hormon pertumbuhan turun. Apabila kegagalan tumbuh kembang anak tergolong berat maka anak-anak tumbuh menjadi kerdil dan apabila ini terjadi secara kronis maka anak tidak bisa

tumbuh secara normal meskipun diberi asupan gizi yang cukup.42

40 Bagong Suyanto dan Sri Sanituri Ariadi, Krisis Dan Child Abuse, (Surabaya : Airlangga University, 2002),122.

(47)

35

Dari segi tingkah laku anak-anak yang sering mengalami kekerasan atau penganiayaan cenderung menarik diri dari lingkungan dan emosi yang labil sehingga anak-anak yang mengalami kekerasan justru menunjukan gejala depresi, kecemasan, takut kepada orang asing yang baru dikenal, dan bahkan bisa menjadi pelaku penganiayaan dikemudian hari. Mungkin mereka berusaha menutupi luka yang dideritanya sehingga memilih untuk bungkam namun pada esoknya justru ia melakukan pembalasan dendam seperti apa yang ia rasakan.43

Dampak kekerasan seksual pada anak seringkali menunjukan keluhan-keluhan tanpa ada penyebab yang jelas, disisi lain cenderung kehilangan kepercayaan diri dan tumbuh rasa tidak percaya pada orang dewasa ataupun lingkungan sekitar. Gejala depresi juga sering menghantui para korban kekerasan seksual dan biasanya disertai rasa malu, bersalah, dan cenderung menutup diri pada lingkungan sekitar. Gangguan kepribadian juga sering dilaporkan kepada penderita kekerasan seksual pada anak. Demikian juga bahwa diantara banyak korban kekerasan seksual terlibat kasus penyalah gunaan obat terlarang.44

5. Hukuman Kekerasan Terhadap Anak Menurut Undang-Undang Nomor 35

Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun

2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga

43 Bagong Suyanto dan Sri Sanituri Ariadi..,124

44

(48)

36

a. Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.

Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.45 Anak adalah bagian yang tidak terpisahkan dari keberlangsungan hidup manusia dan keberlangsungan sebuah bangsa dan negara. Agar kelak mampu bertanggung jawab dalam keberlangsungan bangsa dan negara, setiap anak perlu mendapat kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara optimal, baik fisik, mental, maupun sosial. Untuk itu, perlu dilakukan upaya perlindungan untuk mewujudkan kesejahteraan anak dengan memberikan jaminan terhadap pemenuhan hak-haknya tanpa perlakuan diskriminatif.

Dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak sudah dijelaskan larangan untuk melakukan kekerasan terhadap anak, seperti tersirat dalam pasal 76C yang berbunyi :46

‘’setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, atau menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan kekerasan terhadap anak.’’

Dari pasal tersebut sudah jelas diatur dalam Undang-Undang tersebut, lantas hukuman terkait dengan pasal ini adalah pasal 80 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 yang berbunyi :47

45 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 pasal 1 ayat 1 Tentang Tentang Perubahan Atas

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.

46 Undang Nomor 35 Tahun 2014 pasal 76C Tentang Tentang Perubahan Atas

(49)

37

1. Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 76C, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp 72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah).

2. Dalam hal anak sebagaimana dimaksud pada ayat 1 luka berat, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 100.000.00,00 (seratus juta rupiah)

3. Dalam hal anak sebagaimana dimaksud pada ayat 2 mati, maka pelaku dipidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 3000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).

4. Pidana ditambah sepertiga dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat 1, ayat 2, ayat 3 apabila yang melakukan penganiayaan tersebut orang tuanya.

b. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga

Kekerasan dalam rumah tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga

termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah 47 Undang Nomor 35 Tahun 2014 pasal 80 Tentang Tentang Perubahan Atas

(50)

38

tangga.48 Lingkup rumah tangga yang dimaksud dalam Undang-Undang ini meliputi suami, istri, anak. Dan orang- orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang sebagaimana suami, istri, dan anak karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian, yang menetap dalam rumah tangga, atau orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut.49

Hukuman terhadap pelaku kekerasan terhadap anak dalam rumah tangga sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Pasal 44 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga yang berbunyi :50

1. Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 huruf a dipidana dengan pidana penjara palinga lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp 15.000.000,00 (lima belas juta rupiah)

2. Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 mangakibatkan korban mendapat jatuh sakit atau luka berat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun atau denda paling banyak Rp 30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah).

48 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Pasal 1 Ayat 1 Tentang Penghapusan Kekerasan

Dalam Rumah Tangga

49 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Pasal 2 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam

Rumah Tangga 50

(51)

39

3. Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat 2 mengakibatkan matinya korban, dipidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun atau denda paling banyak Rp 45.000.000,00 (empat puluh lima juta rupiah).

4. Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dilakukan oleh suami terhadap isteri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) bulan atau denda paling banyak Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah).

B. Kekerasan Terhadap Anak Dalam Rumah Tangga Menurut Hukum Pidana Islam

1. Pengertian Kekerasan Terhadap Anak Menurut Hukum Pidana Islam

Kekerasan dalam hukum islam bisa disebut juga dengan tindak pidana atas selain jiwa. Yang dimaksud dengan tindak pidana atas selain jiwa, seperti dikemukakan Abdul Qadir Audah adalah setiap perbuatan menyakiti orang lain yang mengenai badannya, tetapi tidak sampai menghilangkan nyawanya. Pengertian ini juga sejalan dengan yang dikemukakan oleh Wahbah Zuhaili, bahwa tindak pidana atas selain jiwa adalah setiap tindakan melawan hukum atas badan manusia, baik berupa pemotongan anggota badan, pelukaan, maupun pemukulan, sedangkan jiwa atau nyawa dan

hidupnya masih tetap tidak terganggu.51

51

(52)

40

Pencederaan atau kekerasan adalah perbuatan yang dilakukan oleh seseorang dengan sengaja atau tidak sengaja untuk melukai atau mencederai orang lain.52 Menurut para fukaha, tindak pidana atas selain jiwa (penganiayaan) adalah setiap perbuatan menyakitkan yang mengenai badan seseorang, namun tidak mengakibatkan kematian. Ini adalah pendapat yang sangat teliti dan mampu memuat setiap bentuk melawan hukum dan kejahatan yang bisa digambarkan, sehingga masuk didalamnya seperti melukai, memukul, mendorong, menarik, memeras, menekan, memotong rambut dan mencabutnya, dan lain-lain.53

Dari keterangan diatas bisa ditarik kesimpulan bahwa kekerasan terhadap anak adalah perbuatan menyakiti badan anak tetapi tidak sampai menimbulkan kematian. Kekerasan yang terjadi terhadap anak seperti memukul, mencambak rambut, menyulut benda panas, mendorong, menarik dan kekerasan lainnya.

2. Pembagian Tindak Pidana Islam Kekerasan Terhadap Anak

Ada dua klasifikasi dalam menentukan pembagian tindak pidana kekerasan atau tindak pidana selain jiwa (penganiayaan) yaitu :

a. Ditinjau Dari Segi Niatnya

1) Tindak Pidana Selain Jiwa Dengan Sengaja

(53)

41

Tindak pidana penganiyaan disengaja adalah perbuatan yang dilakukan pelaku secara sengaja dengan maksud melawan hukum.54 Dari definisi tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa dalam tindak pidana atas selain jiwa dengan sengaja, pelaku sengaja melakukan perbuatan yang dilarang dengan maksud supaya perbuatannya itu mengenai dan manyakiti orang lain. Sebagai contoh, seseorang yang dengan sengaja melempar orang lain dengan batu, dengan maksud supaya batu itu mengenai badan atau kepalanya.55

2) Pengertian Tindak Pidana atas selain jiwa yang tidak disengaja

Perbuatan yang dilakukan tanpa maksud untuk melawan hukum.56pengertian yang lebih spesifik oleh Abdul Qodir Audah adalah perbuatan dimana pelaku sengaja melakukan suatu perbuatan, tetapi tidak ada maksud untuk melawan hukum.57dari definisi tersebut dapat diambil suatu pengertian bahwa dalam tindak pidana atas selain jiwa yang tidak disengaja, pelaku memang sengaja melakukan suatu perbuatan, tetapi perbuatan tersebut sama sekali tidak dimaksudkan untuk mengenai atau menyakiti orang lain. Namun kenyataannya memang ada korban yang terkena oleh perbuatan itu. Sebagai contoh, seseorang yang melemparkan batu dengan maksud untuk membuangnya, namun karena kurang hati-hati

batu tersebut mengenai orang yang lewat dan melukainya

(54)

42

Meskipun perbuatan sengaja berbeda dengan perbuatan tidak sengaja dari sisi materi perbuatan dan hukumnya, namum dalam kebanyakan hukum dan ketentuannya keduannya kadang-kadang sama. Dengan demikian, para fukaha menggabungkan keduannya saat menjelaskan hukum-hukumnya. Hal ini karena dalam tindak pidana atas selain jiwa, yang dilihat adalah objek atau sasarannya, serta akibat yang ditimbulkan oleh perbuatan tersebut.

b. Ditinjau Dari Segi Objek/Sasarannya

Para fukuha membagi tindak pidana atas selain jiwa, baik disengaja maupun yang tidak disengaja menjadi lima bagian. Pembagian ini di dasarkan pada akibat perbuatan pelaku. Ini karena pelaku tindak pidana penganiyaan dikenai hukuman yang sesuai dengan akibat perbuatannya walaupun ia tidak bermaksud pada akibat tersebut, tanpa peduli apakah perbuatan tersebut disengaja atau tidak disengaja. Pembagian tersebut adalah :58

1) Ibanat al-athraf, memotong anggota badan atau memisahkan anggota badan

Yang dimaksud memisahkan anggota badan adalah memotong anggota badan dan sesuatu yang mempunyai manfaat serupa. Termasuk dalam bagian ini adalah memotong tangan, kaki, jari-jari, kuku, hidung, penis, dua buah pelir (testis), telinga, bibir, mencukil mata, mencabut gigi, dan

58

(55)

43

memecahkannya, mencukur atau mencabut rambut kepala, jenggot, kedua alis, dan kumis, bibir kemaluan perempuan, dan lidah.59

2) Idzhab ma’a al-althraf, menghilangkan fungsi anggota badan, tetapi anggota badan tetap ada tapi tidak tidak bisa berfungsi

Maksud dari jenis yang kedua ini adalah tindakan yang merusak manfaat dari anggota badan, sedangkan jenis anggota badannya masih utuh. Jika anggota badan hilang, tindakan tersebut masuk bagian pertama. Yang termasuk dalam kelompok ini adalah menghilangkan daya pendengaran, penglihatan, penciuman, perasaan lidah, kemampuan berbicara, bersetubuh, melahirkan, berjalan. Termasuk di dalamnya, berubahnya warna gigi menjadi hitam, merah, hijau dan lainnya. Juga masuk dalam bagian ini adalah menghilangkan akal dan lainnya.60

3) Asy-Syijaj, pelukaan terhadap kepala dan muka

Yang dimaksud dengan asy-syijaj adalah pelukaan khusus pada bagian muka dan kepala. Sedangkan pelukaan atas badan selain muka dan kepala disebut al-jirah. Menamakan luka badan dengan asy-syijaj merupakan penamaan yang salah karena orang Arab memisahkan antara penggunaan asy-syajjah dengan jirahah. Mereka menamakan luka dikepala dan muka dengan asy-syajjah, sedangkan luka pada tubuh dengan al-jirahah.61

59 Ensiklopedi Hukum Pidana Islam IV, (Bogor : PT Kharisma Ilmu,2008),20 60 Ensiklopedi Hukum Pidana Islam IV..,20

(56)

44

Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa asy-syajjaah hanya berlaku pada kepala dan muka bagian tulang, seperti dahi, dua tulang pipi, du pelipis,dagu, rahang. Imam yang lain berpendapat bahwa luka pada kepala dan muka secara mutlak disebut asy-syajjah.62

4) Al-Jirah, melukai selain kepala dan muka

Yang dimaksud al-jirah adalah luka pada badan, selain kepala dan muka,

dan athraf. Anggota badan yang pelukaannya termasuk jirah ini meliputi leher, dada, perut, sampai batas pinggul. Luka ini dibagi dua al-ja’ifah dan gairu ja’ifah.

Al-ja’ifah adalah luka yang sampai ke dalam rongga dada dan perut, baik

luka tersebut di dada, perut, punggung, dua lambung, antara dua buah pelir, dubur, maupun tenggorokan. Gairu ja’ifah adalah luka yang tidak sampai ke

rongga tersebut, melainkan hanya pada bagian luar saja.63

5) Luka yang tidak termasuk empat jenis sebelumnya

Masuk dalam jenis ini adalah semua bentuk kejahatan atau bahaya yang tidak mengakibatkan atau bahaya yang tidak mengakibatkan hilangnya anggota badan atau manfaatnya dan tidak mengakibatkan luka pada kepala dan muka, juga badan. Masuk di dalamnya adalah semua penganiayaan yang

(57)

45

tidak meninggalkan bekas atau meninggalkan bekas yang tidak dianggap jirah atau asy-syajjah.64

3. Hukuman Untuk Tindak Pidana Atas Selain Jiwa

Hukuman untuk tindak pidana atas selain jiwa dapat dibagi menjadi tiga bagian yaitu hukuman untuk tindak pidana sengaja, hukuman untuk pidana yang menyerupai sengaja, dan hukuman untuk tindak pidana atas selain jiwa karena kesalahan. Pengelompokan hukuman untuk sengaja, menyerupai sengaja, dan kesalahan dalm tindak pidana atas selain jiwa, sebenarnya tidak begitu penting, karena dalam tindak pidana atas selain jiwa realisasi dan penerapan hukuman didasarkan atas berat ringannya akibat yang menimpa sasaran atau objek tindak pidana, bukan kepada niat pelaku.65

a. Hukuman Qishash

Qishash adalah hukuman pokok untuk tindak pidana disengaja. Adapun diat dan ta’zir adalah hukuman pengganti yang menempati posisi qishash. Sehubungan dengan hal tersebut, pada prinsipnya hukuman pokok dan hukuman pengganti tidak dapat dijatuhkan bersama-sama dalam satu jenis tindak pidana, kerena penggabungan hukuman tersebut dapat menafikan karakter penggantian. Konsekuensinya lebih lanjut dari karakter penggantian ini adalah bahwa hukuman pengganti tidak dapat dilaksanakan

kecuali apabila hukuman pokok tidak bisa dilaksanakan. Ada dua teori yang

64

Ensiklopedi Hukum Pidana Islam IV, (Bogor : PT Kharisma Ilmu,2008),21. 65

(58)

46

mengenai penggabungan antara qishash dan diat. Pertama, qishash dan diat

bisa digabungkan dengan diat jika qishash tidak mungkin dilakukan kecuali pada sebagian luka. Yang mungkin diqishash harus diqishash, sedangkan

yang tidak mungkin di qishash , posisinya diganti dengan hukuman pengganti qishash. Dengan demikian, diat dikumpulkan dengan qishash untuk satu luka. Ini adalah pendapat Imam Syafi’i dan sebagian fukaha mazhab Hambali. Adapun teori kedua berpendapat bahwa tidak mungkin menggabungkan antara hukuman pokok dan hukuman pengganti pada satu luka. Jika pelaku diqishash pada sebagian luka. Sebagian haknya yang tersisa dianggap gugur dan tidak bisa diat bagi korban. Korban bisa memilih. Jika mau, ia bisa mengambil diat. Ini adalah teori Imam Malik, Abu Hanifah, dan sebagian mazhab Hambali66

Hukuman pokok qishash tidak dapat dilaksanakan atau gugur karena ada beberapa sebab. Sebab-sebab ini ada yang bersifat umum dan ada yang bersifat khusus, yaitu yang berkaitan dengan tindak pidana atas selain jiwa.

1) Sebab-Sebab Terhalangnya Qishash Yang Bersifat Umum

a) Korban bagian dari pelaku

Jika korban termasuk bagian dari pelaku, hukuman qishash menjadi terhalang. Korban termasuk bagian dari pelaku jika korban adalah anak

pelaku. Bila seseorang ayah melukai anaknya, memotong anggota badannya, atau melukai kepalanya, ia tidak berhak diqishash. Hal ini didasarkan kepada

66

(59)

47

hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Turmudzi, Ibn Majah, dan Baihaqi dari Umar ibn Al-Khattab, bahwa ia mendengar Rasullulah SAW. Bersabda :

لتْقيا

لا لا

ه ل

Artinya :

Tidaklah diqishash orang tua karena membunuh anaknya.67

Sebaliknya, apabila anak melukai orang tuanya, ia tetap dikenakan hukuman qishash, berdasarkan dalil umum. Masalah ini secara panjang lebar

telah dijelaskan dalam pembahasan mengenai pembunuhan sengaja.

b) Tidak ada keseimbangan antara korban dan pelaku

Apabila korban tidak seimbang dengan pelaku, pelaku tidak dikenakan hukuman qishash. Ukuran keseimbangan ini dilihat dari sisi korban, bukan dari pelaku. Asas keseimbangan menurut Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad adalah kemerdekaan dan Islam, sedangkan menurut Imam Abu Hanifah adalah kemerdekaan dan jenis, berikut ini tiga dasar tersebut (kemerdekaan, Islam, jenis) :68

(1) Kemerdekaan

67 Muhammad Ibn Ismail Al-Kahlani, Subul As-Salam Juz III, (Mesir : Syarikah Musthafa Al-Baby Al-Halaby,1960),233.

(60)

48

Ulama mazhab yang empat sepakat bahwa merdeka merupakan salah satu dasar keseimbangan, yang menjadi syarat pelaksanaan qishash dalam tindak pidana atas selain jiwa, dengan demikian, apabila seseorang yang merdeka melukai seorang hamba sahaya maka ia tidak di qishash, karena korban tidak seimbang dengan orang merdeka (pelaku).

Dalam hal tindak pidana atas selain jiwa, Imam Abu Hanifah berbeda pendapatnya dengan apa yang telah dikemukakan dalam kaitan dengan tindak pidana atas jiwa. Dalam tindak pidana atas jiwa Imam Abu Hanifah tid ak memasukan merdeka ke dalam dasar keseimbangan. Dengan demikian apabila seseorang yang merdeka membunuh hamba sahaya maka ia tetap dikenakan hukuman qishash.

(2) Islam

Seperti halnya dalam tindak pidana atas jiwa, dalam tindak pidana atas selain jiwa ini menurut para ulama berbeda pendapat dalam hal masuknya Islam sebagai dasar Keseimbangan. Menurut jumhur ulama orang kafir tidak seimbang dengan orang muslim. Dengan demikian, apabila seorang muslim membunuh atau melukai seseorang kafis dzimmi ia tetap wajib dikenakan hukuman qishash.

(3) Jenis Kelamin

(61)

49

perempuan. Ini berlaku dalam pembunuhan. Imam Malik, Imam Syafi’i, dan

Imam Ahmad juga menerapkan kaidah ini dalam tindak pidana penganiayaan. Menurut mereka orang yang berlaku qishash atas jiwanya, berlaku juga pada badannya.

Pendapat Imam Abu Hanifah berbeda dengan kaidah ini dan ia tidak menerapkannya pada tindak pidana penganiayaan karena ia menggunakan kaidah lain dalam tindak pidana penganiayaan, yaitu bahwa tindak pidana penganiayaan sama dengan tindak pidana dalam harta. Melalui kaidah ini, ia tidak menjadikan perempuan sederajat dengan laki-laki dan diat anggota badannya juga tidak sama dengan diat anggota badan laki-laki. Jika tidak ada persamaa antara kedua diatnya, qishash juga terhalang bagi anggota badan keduanya, baik pelakunya laki-laki maupun perempuan.

2) Sebab-Sebab Terhalangnya Qishash Yang Khusus

a) Qishash Tidak Mungkin Dilaksanakan Tanpa Kelebihan

Salah satu syarat untuk dapat dilaksanakannya hukuman qishash adalah bahwa hukuman qishash mungkin lebih tepat tanpa adanya kelebihan. Apabila hukuman qishash dikhawatirkan melebihi tindak pidannya, qishash tidak boleh dilaksanakannya. Menurut Imam Abu Hanifah dan sebagian fukaha Hanabilah, dalam kasus tersebut tidak berlaku hukuman qishash, karena sulit

(62)

50

objek tindak pidana, yaitu pergelangan tangan dan sisanya dibayar dengan ganti rugi. Menurut Imam Malik, apabila memungkinkan dalam kasus tersebut dapat dilaksanakan hukuman qishash. Akan tetapi apabila tidak memungkinkan diganti dengan diat.69

b) Tidak Ada kesepadanan Dalam Objek Qishash

Salah satu syarat yang lain untuk diterapkannya qishash adalah adanya kesepadanan atau persamaan dalam objek qishash. Tangan misalnya dapat di qishash dengan tangan, dan kaki dapat di qishash dengan kaki. Apabila tidak

ada kesepadanan atau persamaan antara anggota badan yang akan di qishash dengan anggota badan yang dirusak oleh tindak pidana, maka hukuman qishash tidak bisa dilaksanakan.70

c) Tidak Sama Dalam Kesehatan Dan Kesempurnaan

Syarat yang lain untuk dapat dilaksanakan hukuman qishash adalah kedua

anggota badan yang akan di qishash dan yang menjadi korban tindak pidana harus sama (seimbang) baik dalam kesehatan maupun kesempurnaannya. Apabila kedua anggota badan tersebut tidak sama kesehatan atau kesempurnaannya maka hukuman qishash tidak dapat dilaksanakan.71

69

Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, ( Jakarta : Sinar Grafika, 2005),190. 70 Ahmad Wardi Muslich..,191.

(63)

51

b. Ta’zir

Pengertian ta’zir diartikan sebagai mencegah dan menolak, pengertian lainnya juga berarti mendidik. Pengertian ini sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh Abdul Qadir Audah dan Wahbah Zuhaili.72 Ta’zir diartikan mencegah dan menolak karena ia dapat mencegah pelaku agar tidak mengulagi perbuatannya. Ta’zir juga diartikan mendidik, karena ta’zir dimaksudkan untuk mendidik dan memperbaiki pelaku agar ia menyadari perbuatan jarimahnya kemudian meninggalkan dan menghentikannya.

Menurut istilah, ta’zir didefinisikan oleh Al-Mawardi sebagai berikut.

لء ْي ْأت رْي زْعَتلا

ْ حْلا ْيف ْع رْ ت ْمل ْ ن ى

Artinya :

Ta’zir adalah hukuman yang bersifat pendidikan atas perbuatan dosa (maksiat) yang hukumannya belum ditetapkan oleh syara. 73

Dari definisi yang dikemukakan diatas jelaslah bahwa ta’zir adalah suatu

istilah untuk hukuman atas jarimah-jarimah yang hukumannya belum ditetapkan oleh syara’. Di kalangan fuqaha, jarimah-jarimah yang hukumannya belum ditetapkan oleh syara’ dinamakan dengan jarimah ta’zir.

Referensi

Dokumen terkait

The first questionnaire contained some topics based on topic books and some techniques used by the teachers to teach those topics to the young learners.. The

 enaga enaga kerja kerja adalah adalah seluruh seluruh jumlah jumlah penduduk penduduk "ang "ang dianggap dianggap dapat dapat $ekerja dan sanggup $ekerja

Pengenalan dibuat sesuai dengan butiran, jelas dan maklumat benar, penjelasan dan contoh diberikan berkaitan dengan topik perbincangan Pengenalan adalah dibuat dengan

0,661, hal ini menunjukkan bahwa jika anggota Gapoktan Subur Mukti menggunakan berbagai media baik media cetak maupun media elektronik, mendapatkan informasi atau pengetahuan dan

Jadi, kalau Beliau mengatakan Orang Kristen yang tidak mau menggunakan kata/nama Allah “senang” membahas Nama Allah ini dalam Bahasa Arab, seperti yang saya kutip dalam

Dari hasil pengujian yang telah dilakukan, dapat diketahui bahwa aktivitas antioksidan pada sampel daun sirsak (Annona muricata L.) yang berasal dari daerah Makassar

Aturan atau rules untuk proses meluluhkan infiks el dilakukan apabila bentuk dasarnya diawali dengan fonem konsonan, maka infiks el disisipkan pada suku awal

[r]