1
KARAKTERISTIK AKTIVITAS PEDAGANG KAKI LIMA DI
KAWASAN KAKI JEMBATAN SURABAYA-MADURA (SURAMADU)
The Characteristic of Street Vendor
’s
Activities in
Surabaya-Madura (Suramadu) Bridge Foot Zone
Arvian Zanuardi
1dan Satrio Sang Raksono
21 Balai Litbang Sosial Ekonomi Lingkungan Bidang Jalan dan Jembatan
Jl. Gayung Kebonsari no.50 Surabaya, Jawa Timur Email : [email protected]
2 Balai Litbang Sosial Ekonomi Lingkungan Bidang Jalan dan Jembatan
Jl. Gayung Kebonsari no.50 Surabaya, Jawa Timur Email : [email protected]
ABSTRACT
Infrastructure development is always related to the social, economic and environmental impact, like Suramadu Bridge with the street vendors (PKL) existence in Suramadu Bridge Foot Zone (KKJS). Even though this is local economic revival, it must be well-managed to avoid visual aesthetics destruction that usually appears through the dualistic impression of street vendors. Therefore, this study is aimed to identify the issues concerned to the main problematics. By using statistic description and benefit analysis methods, the
study revealed the street vendor’s characteristic that majority come from local area, with semi-permanent
stalls, and have obtained permission especially from the local government. However, nearly 81% of them are agreed to be relocated as they have known about the Suramadu rest area development plan by BPWS. Another more, the existence of street vendors is proved of giving great benefit for local economic conditions and delivering opportunity to the local employment. Based on that adventages, there should be more attention from the government to manage this potential sector. The construction of rest area should be expedited soon, that will legalize and formalize this prospective regional economic source, and avoding the possibility of negative impacts by the street vendors.
Keywords: street vendor (PKL), Suramadu Bridge, Suramadu Bridge Foot Zone (KKJS), community based economy, identification of characteristic, benefit-cost analysis.
ABSTRAK
Pembangunan infrastruktur tidak terlepas dari dampak sosial, ekonomi, dan lingkungan, seperti Jembatan Suramadu dengan masalah keberadaan PKL (Pedagang Kaki Lima) di wilayah KKJS (Kawasan Kaki Jembatan Suramadu). Aktivitas ini merupakan bentuk ekonomi kerakyatan yang berkearifan lokal. Namun demikian, adanya pengelolaan dan pengaturan adalah mutlak diperlukan, agar tidak memunculkan kesan dualistik yang merusak estetika visual. Kajian identifikasi karakteristik aktivitas PKL dilakukan untuk menemukenali potensi serta melihat lebih dalam kondisi masalah yang ada. Metode yang digunakan adalah deskripsi statistik dan analisis manfaat terhadap aktivitas PKL. Hasil yang diperoleh mengungkapkan bahwa mayoritas PKL Suramadu berasal dari wilayah setempat dengan model lapak semi permanen dan menyatakan sudah mendapatkan ijin berdagang, khususnya dari pemerintah kelurahan setempat. Namun demikian, hampir 81% dari PKL setuju untuk direlokasikan karena mengetahui adanya rencana pembangunan rest area oleh BPWS. Keberadaan PKL Suramadu terbukti memberikan manfaat yang besar bagi ekonomi masyarakat setempat dan memberikan nilai tambah bagi penyerapan tenaga kerja lokal. Oleh karena itu, pemerintah perlu lebih serius dan memberikan perhatian terhadap potensi ini. Dengan pengelolaan dan penataan yang baik, misalnya dengan percepatan pembangunan rest area, PKL Suramadu mampu menjadi potensi ekonomi daerah yang prospektif, legal dan bersifat formal. Selain itu, dampak negatif yang muncul dari keberadaan PKL dapat dihindari.
2 PENDAHULUAN
Jembatan Suramadu dikenal sebagai jembatan terpanjang di Indonesia yang menghubungkan Pulau Jawa dengan Pulau Madura. Pembangunan jembatan diresmikan oleh Presiden Megawati Sukarnoputri sejak 20 Agustus 2003 dan sudah mulai dioperasikan tahun 2009 yang lalu. Pembangunan jembatan ini dilatarbelakangi oleh misi untuk mendorong pertumbuhan ekonomi di wilayah Pulau Madura yang dirasakan masih tertinggal dibandingkan daerah-daerah lain di Provinsi Jawa Timur.
Keberadaan Jembatan Suramadu sebagai jalur transportasi terpadu di wilayah Indonesia Timur sangat diharapkan dapat menjadi roda penggerak dalam perkembangan industri dan perdagangan di Indonesia. Dan bagi Pulau Madura sendiri, adanya jalur transportasi cepat dan efektif ini diupayakan agar dapat melejitkan pembangunan sektoral wilayah Madura dan mereduksi ketimpangan sosial yang ada.
Seperti halnya keberadaan infrastruktur fisik lainnya, Jembatan Sudamadu tidak terlepas dari masalah sosial, ekonomi, dan lingkungan sebagai dampak pembangunannya. Hal ini disebabkan pembangunan infrastruktur di suatu wilayah akan berpengaruh secara langsung maupun tidak langsung terhadap kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat di sekitarnya, begitu pula terhadap kondisi lingkungan dimana infrastruktur itu didirikan.
Badan Pengelola Wilayah Suramadu (BPWS) adalah stakeholder utama yang ditunjuk Pemerintah untuk perannya dalam perencanan dan pengembangan pembangunan di wilayah Suramadu. Pembangunan tersebut dikemas dalam konteks ruang kewilayahan yang kemudian diistilahkan sebagai Kawasan Kaki Jembatan Suramadu (KKJS). Berdasarkan Peraturan Presiden Republik Indonesia No 27 tahun 2008, salah satu tugas BPWS adalah membangun dan mengelola wilayah kaki Jembatan Suramadu yang meliputi :
a. wilayah di sisi Surabaya + 600 Ha (enam ratus hektar); dan
b. wilayah di sisi Madura + 600 Ha (enam ratus hektar).
Pembangunan infrastruktur di Kawasan Kaki Jembatan Suramadu ini juga diiringi dengan munculnya potensi aktivitas sosial-ekonomi yang berbasis kerakyatan dan berkearifan lokal. Namun demikian, di lain sisi kondisi tersebut menjadi masalah. Hal ini terlihat dalam kasus keberadaan Pedagang Kaki Lima (PKL) di sepanjang rumaja jalan akses KKJS. Model ekonomi kerakyatan yang bersifat informal ini
umumnya muncul sebagai akibat dari potensi peluang usaha yang praktis dan fleksibel, serta adanya tuntutan kebutuhan hidup sehari-hari.
Dari hasil kajian Optimalisasi Jembatan Suramadu (Puslitbang Sosekling, 2010) tercatat keberadaan PKL Suramadu pada September 2009 berjumlah sekitar 170 buah, dan bertambah terus sampai sejumlah 841 di bulan Februari 2010. Menurut data Bappeda Bangkalan tercatat sudah ada + 891 lapak PKL di bulan Agustus 2011 ini. Kondisi ini menujukkan masalah bahwa perlu adanya perhatian pemerintah dalam mengendalikan dan mengelola aktivitas informal ini, karena selain berpotensi merusak estetika wilayah KKJS, keberadaan PKL Suramadu di rumaja dianggap dapat mengganggu fungsi/kinerja jalan akses yang ditempatinya.
Untuk memudahkan pengelolaan dan pengaturan terhadap aktivitas PKL ini, maka dilakukanlah kajian identifikasi terhadap karakteristik PKL Suramadu. Beberapa pertanyaan yang ingin dijawab dengan kajian ini adalah :
1) Bagaimana karakteristik dan kondisi PKL Suramadu ?
2) Apa opini publik PKL Suramadu terhadap aktivitasnya dan rencana relokasi ?
3) Apa manfaat sosial-ekonomi dan biaya aktivitas PKL Suramadu ?
Tujuan utama dilakukannya kajian adalah guna memetakan informasi dan opini publik dalam komunitas PKL, untuk menemukenali potensi manfaat dan masalah yang ada secara lebih mendalam. Selain itu, dengan dilakukannya analisis biaya manfaat, maka dapat diketahui besarnya potensi ekonomi yang diperoleh dari kegiatan dagang PKL Suramadu, sebagai cerminan bangkitan ekonomi kerakyatan wilayah setempat.
Dari hasil temuan tersebut, akan dilakukan analisis situasi seperlunya untuk dijadikan dasar bagi alternatif solusi masalah dan penentuan rekomendasi kebijakan yang lebih baik dan tepat.
KAJIAN PUSTAKA
Sektor Informal dan Pedagang Kaki Lima
3
karena sektor ini termasuk kelompok yang tidak permanen atau tidak ada jaminan tentang keberlangsungan pekerjaan yang dimilikinya. Kelompok informal menggunakan teknologi produksi yang sederhana dan padat karya, tingkat pendidikan dan ketrampilan terbatas dan dilakukan oleh anggota keluarga (Ari Sulistyo, 2006).
Menurut Hidayat (dalam Widodo, 2000) pengertian sektor formal diberikan sebagai sektor yang terdiri dari unit usaha yang telah memperoleh berbagai proteksi ekonomi dari pemerintah. Sektor informal adalah unit-unit usaha yang tidak memperoleh proteksi pemerintah dan sektor yang belum mempergunakan bantuan atau fasilitas pemerintah meskipun bantuan itu telah tersedia. Kriteria adanya aksesibilias terhadap suatu fasilitas yang disediakan pemerintah adalah yang dipakai sebagai ukuran untuk membedakan usaha sektor formal dan informal. Sektor informal biasanya digunakan untuk menunjukkan aktivitas ekonomi berskala kecil dan sering mengalami banyak kesulitan untuk menjalin hubungan secara resmi. Sektor informal yang dimaksud di sini adalah suatu kegiatan berskala kecil yang bertujuan untuk mendapatkan kesempatan kerja. Elemen yang umumnya termasuk dalam sektor ini adalah yang berpendidikan kurang, ketrampilan kurang dan umumnya para pendatang. Pengertian tersebut sebagai gambaran tentang sektor informal. Hal ini tergantung dari sudut pandang operasional maupun penelitian (Manning-Tadjuddin, 1996 dalam Popi Rosita, 2006).
Menurut Wirosardjono (dalam Ari Sulistyo Budi, 2006:33) ciri-ciri sektor informal disebutkan antara lain:
1. Pola kegiatannya tidak teratur baik dalam arti waktu, permodalan maupun penerimaan.
2. Tidak tersentuh oleh peraturan-peraturan atau ketentuan-ketentuan yang ditetapkan oleh pemerintah, sehingga kegiatannya
sering dikatakan “liar”.
3. Modal, peralatan dan perlengkapan maupun omzetnya biasanya kecil dan diusahakan atas dasar hitungan harian. 4. Tidak mempunyai tempat tetap.
5. Umumnya dilakukan oleh dan melayani golongan masyarakat yang berpendapatan rendah.
6. Tidak membutuhkan keahlian dan ketrampilan khusus, sehingga dapat menyerap bermacam-macam tingkatan tenaga.
7. Umumnya satuan usaha mempekerjakan tenaga yang sedikit dan dari lingkungan hubungan keluarga, kenalan atau berasal dari daerah yang sama.
8. Tidak mengenal sistem perbankan, pembukuan, perkreditan, dan sebagainya.
Salah satu bentuk usaha informal yang paling banyak muncul di kalangan masyarakat perkotaan adalah Pedagang kaki Lima (PKL). Tampaknya jenis usaha ini merupakan yang paling mudah dilakukan dan berhadapan langsung dengan transaksi jual-beli secara praktis untuk pemenuhan kebutuhan masyarakat sehari-hari. McGee yang dikutip Young (1997) mendefinisikan Pedagang Kaki
Lima sebagai “The pople who effer goods or services for sale from public places, primarily
streets and pavement”. Dari pengertian tersebut, yang dimaksud dengan pedagang kaki lima adalah setiap orang yang melakukan kegiatan usaha perdagangan atau jasa, yaitu melayani kebutuhan barang-barang atau makanan yang dikonsumsi langsung oleh konsumen, yang dilakukan cenderung berpindah-pindah dengan kemampuan modal yang kecil/terbatas, dalam melakukan usaha tersebut menggunakan peralatan sederhana dan memiliki lokasi di tempat-tempat umum (terutama di atas trotoar atau sebagian badan jalan), dengan tidak mempunyai legalitas formal (Ari Sulistyo Budi, 2006).
Pengertian Pedagang Kaki Lima menurut Deperindag adalah perorangan yang melakukan penjualan barang-barang dengan menggunakan bagian jalan/trotoar dan tempat-tempat untuk kepentingan umum lain yang bukan miliknya. Senada dengan hal diatas, dalam Surat Keputusan Walikota Surabaya Nomor 17 Tahun 2004 Tentang Pelaksanaan Peraturan Penataan Dan Pemberdayaan Pedagang Kaki Lima di Kota Surabaya dikatakan bahwa Pedagang Kaki Lima adalah pedagang yang menjalankan kegiatan usahanya dalam jangka waktu tertentu dengan mempergunakan sarana atau perlengkapan yang mudah dipindahkan, dibongkar pasang dan mempergunakan lahan fasilitas umum sebagai tempat usahanya.
4
kota, kemacetan lalu lintas, penumpunakn sampah dan masalah-masalah lainnya.
Adanya sektor informal dan formal di perkotaan menyebabkan munculnya kondisi dualistik pada kota-kota di Indonesia oleh karena adanya perbedaan aspek-aspek kehidupan kota. Dualistik merupakan kondisi dimana terjadi pertemuan antara dua kondisi atau sifat yang berbeda. Pada aspek fisik kota, dualistik tersebut terjadi pada pembauran pola dan struktur rancang kota. Karakter dualistik tercermin dalam pola dan struktur kota-kota di Indonesia. Perkembangan kondisi dualistik harus diimbangi dengan kebijakan yang mengatur dan mengendalikan perkembangan tersebut, sehingga diharapkan nantinya tidak terjadi penurunan estetika kota (Widjajanti 2000).
Ditinjau dari sisi positifnya, sektor informal Pedagang Kaki Lima (PKL) merupakan sabuk penyelamat yang menampung kelebihan tenaga kerja yang tidak tertampung dalam sektor formal (Usman, 2006:50), sehingga dapat mengurangi angka pengangguran. Selain itu, keberadaan PKL mampu memberikan pelayanan yang mudah dan cepat bagi masyarakat yang beraktivitas di sekitarnya. Kehadiran PKL di ruang kota juga dapat meningkatkan vitalitas bagi kawasan yang ditempatinya serta berperan sebagai penghubung kegiatan antara fungsi pelayanan kota yang satu dengan yang lainnya.
Karakteristik Pedagang Kaki Lima
Menurut Mc. Gee dan Yeung (1977), jenis dagangan PKL sangat dipengaruhi oleh aktivitas yang ada di sekitar kawasan dimana pedagang tersebut beraktivitas. Adapun jenis dagangan yang ditawarkan oleh PKL dapat dikelompokkan menjadi 4 (empat) kelompok utama , yaitu: 1. Makanan yang tidak dan belum diproses,
termasuk didalamnya makanan mentah, seperti daging, buah-buahan, dan sayuran. 2. Makanan yang siap saji, seperti nasi dan
lauk pauknya dan juga minuman.
3. Barang bukan makanan, mulai dari tekstil hingga obat-obatan.
4. Jasa, yang terdiri dari beragam aktivitas, misalnya tukang potong rambut dan lain sebagainya.
Adapun bentuk sarana perdagangan yang digunakan oleh PKL menurut Waworoentoe (dalam Widjajanti, 2000) adalah sebagai berikut: 1. Gerobak/kereta dorong, bahwa pola aktivitas PKL menyesuaikan terhadap irama dari ciri kehidupan masyarakat sehari-hari. Penentuan periode waktu kegiatan PKL didasarkan pula atau sesuai dengan perilaku kegiatan formal.
Selain itu, menurut Wirosardjono (dalam Umboh, 1990) pedagang kaki lima memiliki ciri-ciri sebagai berikut :
1. Pola kegiatan tidak teratur baik dalam hal waktu, permodalan maupun penerimaannya.
2. Tidak tersentuh oleh peraturan-peraturan atau ketentuan-ketentuan pemerintah. 3. Modal, perlengkapan dan omsetnya
biasanya kecil.
4. Pendapatan rendah dan tidak menentu. 5. Tidak memiliki tempat yang tetap.
6. Umumnya dilakukan oleh dan melayani masyarakat golongan berpenghasilan rendah.
7. Tidak membutuhkan keahlian ataupun ketrampilan khusus.
8. Umumnya tiap satuan usaha mempekerjakan tenaga yang sedikit dan dari daerah yang sama.
9. Tidak mengenal sistem perbankan, pembukuan, perkreditan dan sebagainya.
Ari Sulistyo Budi (2006) menyatakan bahwa aktivitas PKL akan muncul mendekati lokasi-lokasi strategis, dimana terdapat tingkat kunjungan tinggi. Hal ini berkaitan dengan salah satu fungsi dari pemasaran, yaitu mendekatkan komoditi pada konsumen (place utility). Oleh karena aktivitas kegiatan perdagangan sektor informal akan hadir di lokasi-lokasi keramaian seperti pada kawasan perdagangan, perkantoran, pendidikan, perumahan, dan lokasi-lokasi strategis lainnya.
METODE PENELITIAN
Ruang lingkup kajian ini adalah pada identifikasi karakter Pedagang Kaki Lima (PKL) yang beraktivitas di Kawasan Kaki Jembatan Suramadu (KKJS), yang berada di sepanjang Ruang Manfaat Jalan (Rumaja) jalan akses KKJS.
Pendekatan dan Metode
Pendekatan kajian yang digunakan adalah pendekatan kuantitatif yang didukung dengan kualitatif. Metode yang dipilih adalah deskriptif
(descriptive), yang dimaksudkan untuk
5
serta analisis terhadap manfaat sosial-ekonomi usaha PKL.
Untuk proses identifikasi karakteristik dan opini publik PKL digunakan model deskriptif statistik, yakni dengan melakukan pengumpulan data untuk diolah secara statistik terhadap beberapa variabel pemetaan sebagai berikut :
Tabel 1. Variabel karakteristik dan opini PKL
Variabel Keterangan
Asal daerah PKL Setempat atau dari luar
Bangkalan
Jenis kelamin Laki-laki / Perempuan
Pendidikan terakhir
Jenjang pendidikan dari tidak tamat SD sampai Sarjana
Komoditas dagangan Makan dan minuman /
Barang / Keduanya
Lama berjualan Rentang waktu dalam
tahun
Waktu operasional Pagi/malam atau
keduanya
Model lapak Bangunan / Gerobak /
Asongan
Modal dagang Jumlah modal dalam
Rupiah dan sumbernya
Keuntungan Bersih Keuntungan bersih harian
dalam rupiah
Besar pungutan Keberadaan pungutan per
minggu untuk berdagang
Perijinan berdagang Keberadaan ijin berdagang di Suramadu
Sumber perijinan Instansi yang memberikan
perijinan
Penertiban PKL Keberadaan usaha
penertiban/penataan
Penolakan relokasi Alasan menolak adanya
relokasi
Sumber: Balai Sosekling Jatan, 2011 (data diolah)
Dalam proses analisis manfaat sosial-ekonomi dan biaya kegiatan PKL Suramadu, maka ditentukan beberapa variabel pengukuran sebagai berikut :
Tabel 2. Variabel analisis manfaat
Variabel Keterangan
Ma
nf
a
a
t Kesempatan kerja Jumlah tenaga kerja
Pendapatan
masyarakat Pendapatan bersih
Output sektor riil Omzet
Penerimaan daerah Pungutan resmi
Sumber: Balai Sosekling Jatan, 2011 (data diolah)
Pengukuran Variabel Manfaat Sosial-Ekonomi
1. Kesempatan kerja
Kesempatan kerja mencerminkan potensi peluang penyerapan tenaga kerja dengan adanya PKL Suramadu. Besarnya manfaat ini diukur melalui pendekatan jumlah lapak yang ada di wilayah Suramadu. Berdasarkan hadil pengamatan, diambil asumsi bahwa sebanyak 75% lapak berisi 1 orang pedagang, dan 25% sisanya mempekerjakan pekerja tambahan sehingga ditentukan menjadi 2 orang pedagang/lapak. Selain itu, juga dengan penambahan jumlah pedagang gerobak keliling dan asongan dengan memperhitungkan prosentase jumlah model lapak tersebut.
2. Pendapatan masyarakat
Pendapatan masyarakat dihitung melalui pendekatan pendapatan bersih yang diterima oleh masyarakat. Penjualan barang yang diperoleh pedagang dikurangi dengan beban biaya seperti beban listrik, air, retribusi untuk kebersihan, dan beban-beban yang lain. Satuan yang digunakan adalah satuan rupiah. Secara sederhana, dapat dilihat pada persamaan berikut:
i
NI = Net Income/Pendapatan bersih(Rp) P = Harga barang (Rp)
Q = Jumlah barang (unit) C = Biaya oleh pedagang (Rp)
Sumber : Balai Litbang Sosekling Jatan, 2011.
3. Output sektor riil
Output sektor siil dihitung melalui pendekatan omzet yang diterima oleh pelaku PKL. Omzet penjualan berarti jumlah penghasilan kotor yang didapat dari jumlah penjualan barang dikalikan dengan harga tiap unit dan belum dikurangi oleh beban yang ditanggung. Satuan yang digunakan adalah satuan rupiah. Secara matematis dapat ditulis sebagai berikut:
Sumber : Balai Litbang Sosekling Jatan, 2011.
4. Penerimaan daerah
6
diterima dari pelaku PKL dan masuk dalam kas daerah. Pungutan ini bisa terdiri dari pungutan untuk keamanan, lokasi, kebersihan, dan sebagainya. Satuan yang digunakan adalah satuan rupiah. Secara matematis hal tersebut dapat ditulis sebagai berikut:
Sumber : Balai Litbang Sosekling Jatan, 2011.
Selain daripada manfaat sosial-ekonomi, aktivitas PKL Suramadu juga dikaji dari aspek biaya. Biaya tersebut didefinisikan sebagai nilai tukar, prasyarat, atau pengorbanan yang dilakukan guna mendapatkan manfaat. Metode yang digunakan adalah analisis kualitatif, serta pengumpulan data dengan observasi lapangan dan wawancara.
Tahap Penarikan Sampel
Sampel yang digunakan dalam identifikasi karakter dan opini publik PKL adalah sebanyak 100 PKL, yang dipilih secara systematic sampling
sederhana. Langkah pertama adalah dengan menentukan 100 responden (lebih kurang 22% dari populasi yang tercatat atau sekitar 40% dari PKL yang aktif berjualan terutama pada hari libur).
Penentuan lokasi PKL terpilih adalah : 1) sisi barat dan timur ruas jalan akses menuju jembatan suramadu, 2) lokasi yang berdekatan (sisi selatan) maupun berjauhan (sisi utara) dengan pintu tol jembatan Suramadu. Pemilihan sampel responden PKL yang akan diwawancarai dilakukan dengan mengambil jarak atau sela 4 hingga 5 lapak untuk setiap responden. Pemilihan ini tentu saja dengan memperhatikan kondisi lapangan dimana tidak semua lokasi tertentu terdapat PKL aktif.
Teknik Analisis Data
Teknik analisis yang digunakan untuk identifikasi karakter dan opini publik PKL Suramadu adalah dengan analisis statistik berupa analisis distribusi frekuensi, crosstab, dan deskriptif kualitatif sebagai penjelasan yang lebih mendalam. Data yang dibutuhkan berupa data primer dari hasil olah kuesioner. Dengan tabulasi crosstab, dapat dijelaskan hubungan keterkaitan antara beberapa variabel karakteristik PKL yang diukur. Untuk analisis manfaat sosial-ekonomi, digunakan pendekatan analisis kuantitatif dan deskriptif, dimana setelah diketahui nilai dari indikator manfaat sosial-ekonomi, aspek-aspek yang terkait dijelaskan lebih lanjut secara naratif. Sedangkan aspek biaya aktivitas PKL Suramadu akan dianalisis secara kualitatif.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Identifikasi Karakteristik PKL Suramadu
Dari hasil identifikasi karakteritik dan opini publik PKL Suramadu, didapatkan gambaran seperti apa sebenarnya persebaran PKL di Kawasan Kaki Jembatan Suramadu serta dapat ditelusuri faktor-faktor apa saja yang melatarbelakangi keberadaan PKL KKJS tersebut dan bagaimana kondisi sosial, ekonomi dan lingkungan mereka saat ini.
Analisis tabulasi silang dalam variabel asal PKL dibedakan menjadi 2 (dua), yakni dari Bangkalan (setempat) dan dari luar bangkalan (sebagai pendatang). Karakteristik PKL sebelumnya, diharapkan akan dapat ditemukan faktor-faktor kunci (utama) yang ada di masalah keberadaan PKL KKJS dan untuk menentukan pendekatan penjelasan yang logis. Hasil analisis tabulasi silang tersebut adalah sebagai berikut :
Adanya peluang untuk memulai usaha informal di KKJS ini ditanggapi oleh sebagian penduduk lokal untuk memulai usaha sebagai PKL. Relatif sedikitnya jumlah pedagang yang berasal dari luar Kabupaten Bangkalan menggambarkan bahwa peluang usaha ini dimanfaatkan oleh masyarakat setempat terutama mereka yang berpendidikan relatif
Tabel 3. Pedagang Berdasarkan Asal Daerah, Jenis Kelamin dan Tingkat Pendidikan (%)
Asal Daerah Jenis Kelamin
7
Tabel 4. Pedagang Berdasarkan Asal Daerah, Jenis Produk dan Lama Berjualan
Asal Daerah Jenis Produk Lama Berjualan Total
< 1 tahun 1-2 tahun >2 tahun
Bangkalan
Makanan & Minuman 3 5 15 23
79
Souvenir 2 3 9 14
Mamin & Souvenir 10 11 21 42
Luar Bangkalan
Makanan & Minuman 6 3 6 15
21
Souvenir 0 2 0 2
Mamin & Souvenir 1 1 2 4
Total 22 25 53 100 100
Sumber : Balai Sosekling Jatan,2011 (Diolah)
rendah. Hal ini tercermin dari jumlah pedagang yang sebagian besar adalah lulusan Sekolah Dasar dan tidak tamat SD (59 persen). Sebagian lagi adalah berpendidikan menengah yakni SMP dan SMA (39 persen). Sedikit saja diantara PKL yang berpendidikan sarjana yakni hanya 2 persen saja.
Beberapa pedagang mengaku bahwa mereka seakan menerima nasib mereka sebagai lulusan SD tanpa memiliki keinginan untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Namun, sebagian pedagang yang sudah menikah dan memiliki anak mengatakan bahwa anak mereka ternyata memiliki tingkat pendidikan yang relatif lebih tinggi dari orang tuanya walaupun sebagian ada yang miskin sehingga anaknya tidak mampu untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.Berdasarkan jenis produk yang dijual, peneliti membagi ke dalam tiga golongan. Pertama, pedagang yang menjual produk makanan dan minuman. Kedua, pedagang yang menjual souvenir. Ketiga, pedagang yang menjual kedua jenis produk, baik itu makanan dan minuman maupun souvenir.
Berawal dari keberadaan hegemoni berwisata di Jembatan Suramadu, muncul pemikiran masyarakat setempat untuk memberikan pelayanan terhadap kebutuhan para
pelancong dalam penyediaan makanan dan minuman, khususnya saat beristirahat di lokasi wisata tersebut. Hal ini yang melatarbelakangi jenis produk makanan dan minuman lebih awal muncul dan jumlah pedagangnya lebih banyak daripada produk souvenir.
Produk souvenir lebih didominasi pedagang yang berasal dari daerah setempat (Bangkalan). Hal ini disebabkan souvenir merupakan produk yang bersifat kearifan lokal. Pedagang lokal lebih mudah dalam mendapatkan akses terhadap pusat-pusat produksi souvenir, dibandingkan masyarakat dari luar Bangkalan. Sehubungan dengan hal itu, pedagang dari luar Bangkalan lebih memilih makanan dan minuman sebagai komoditas utama karena lebih bersifat umum.
Melihat pada waktu operasional dagang, PKL Suramadu umumnya berdagang baik pada pagi hari maupun malam hari. Hal ini disebabkan karena mayoritas pedagang adalah berasal dari wilayah setempat sehingga animo berdagang lebih besar. Selain itu, dengan didukung lokasi tempat tinggal yang dekat dan masih berada di wilayah sekitar Suramadu, menjadikan waktu untuk PKL berdagang menjadi lebih luang.
Waktu operasional dagang PKL Suramadu yang cenderung berlangsung dari pagi hari dan malam hari ini juga menjadi dasar pedagang
Tabel 5. Pedagang Berdasarkan Waktu Operasional dan Tempat Berjualan
Waktu Operasional Tempat Berjualan Total
Pagi Hari
Bangunan Semi-Permanen 30
38
Gerobak/ Kendaraan Keliling 7
Asongan 1
Malam Hari
Bangunan Semi-Permanen 0
1
Gerobak/ Kendaraan Keliling 0
Asongan 1
Pagi & Malam
Bangunan Semi-Permanen 52
61
Gerobak/ Kendaraan Keliling 7
Asongan 2
Total 100 100
8
Tabel 6. Pedagang Berdasarkan Kebutuhan Modal dan Sumber Modal
Sumber : Balai Sosekling Jatan, 2011 (diolah)
dalam memilih model lapak. Pedagang secara dominan lebih memilih untuk mendirikan bangunan lapak yang bersifat semi-permanen, dimana model tersebut sudah memeiliki konstruksi yang cukup kuat dengan peratapan yang mantap. Model bangunan semi permanen ini umumnya dibuat dengan lantai yang sudah dibetonisasi, konstruksi dinding dan atap rangka kayu, serta bahan peratapan dari seng atau bahan
polycarbonat. Dengan model lapak seperti ini,
pedagang tidak akan bermasalah untuk berdagang seharian penuh atau berhadapan dengan kondisi cuaca dan lingkungan yang buruk. Model berjualan yang juga cukup banyak ditemukan adalah dengan gerobak/kendaraan keliling. Model lapak seperti ini juga beroperasi baik di pagi hari maupun malam hari. Dengan model lapak ini, PKL menjadi lebih mudah untuk bermobilisasi secara bebas, karena mampu bergerak mendekati lokasi-lokasi yang banyak dikunjungi wisatawan sebagai calon pembeli.Modal menjadi hal wajib bagi seseorang dalam memulai usahanya, tidak terkecuali pada pedagang di kawasan jembatan Suramadu. Modal yang dipakai oleh para pedagang cukup bervariasi mulai dari kisaran Rp. 100,000 sampai
dengan lebih dari Rp. 6,000,000. Namun demikian, hasil temuan lapangan menunjukkan bahwa kebutuhan modal PKL Suramadu secara umum nilainya masih cukup rendah karena sebagian besar masih berada dalam kisaran di bawah Rp. 4.000.000. Hal inilah yang mendasari sebagian besar pedagang memilih menggunakan kepemilikan sendiri sebagai sumber modalnya.
Beberapa pedagang memang ada yang masih memakai modal dari pinjaman teman atau saudara. Modal pinjaman ini jumlahnya cukup merata karena umumnya dipakai akibat dari faktor keterbatasan modal pribadi sehingga membutuhkan dukungan modal dari sumber lainnya. Sebagian lain menggunakan modal pinjaman karena alasan ingin usaha dagang dengan skala yang lebih besar.
Terdapat pula sumber modal lain yang melalui lembaga keuangan informal. Namun, hasil temuan di lapangan menunjukkan bahwa pedagang lebih memilih pinjaman dari teman/saudara dari pada lembaga keuangan dikarenakan tidak dikenakan bunga pinjaman, dan pedagang dapat menentukan waktu pengembalian uang pinjaman sesuai dengan kemampuannya.
Tabel 7. Pedagang Berdasarkan Jenis Produk, Keuntungan Bersih dan Besar Pungutan Tiap Minggu
Jenis Produk Keuntungan Bersih per Hari (Rp)
Sumber : Balai Sosekling Jatan, 2011 (diolah)
9
Gambar 1. Opini PKL terhadap ijin berdagang
Sumber : Balai Sosekling Jatan, 2011 (diolah)
Gambar 2. Opini PKL terhadap sumber ijin berdagang
Sistem permodalan bersama juga kurang berkembang dalam komunitas PKL Suramadu karena belum adanya pengetahuan atau pengarahan tentang perkoperasian.
Berdasarkan pada hasil observasi terhadap keuntungan bersih pedagang yang dikaitkan dengan komoditas yang dijualnya, terlihat bahwa pedagang yang menjual makanan dan minuman mendapatkan keuntungan bersih harian lebih besar daripada pedagang souvenir. Namun demikian, keuntungan bersih yang didapatkan mayoritas masih relatif kecil, di bawah kisaran Rp. 50.000,-/hari.
Berdasarkan data tabel-7, tampak bahwa besarnya pungutan yang diberlakukan kepada PKL Suramadu tidak dipengaruhi oleh jumlah keuntungan bersih harian yang didapatkan pedagang. Besarnya pungutan dipengaruhi oleh besar-kecilnya lapak dan usaha dagang, yakni dengan menggunakan dasar perhitungan blok lapak (satuan ruang).
Identifikasi Opini Publik PKL Suramadu
Berdasarkan pada pendapat dari PKL Suramadu sendiri, meskipun keberadaan PKL di rumaja dapat dikatakan ilegal, tetapi sebagian besar PKL KKJS mengaku bahwa mereka telah
mendapatkan ijin (78%), meskipun ijin tersebut bersifat tidak tertulis (72%). Umumnya PKL KKJS mengajukan ijin untuk berdagang kepada tokoh-tokoh masyarakat di desa/kelurahan atau ketua komunitas PKL yang sudah terbentuk. Meski demikian, dari hasil observasi ditemukan ada instansi lain yang memberikan perijinan berdagang di rumaja KKJS.Berdasarkan hasil temuan di lapangan, responden mengaku pernah mendapat tindakan penertiban dari petugas meskipun jumlahnya sangat sedikit. Jika ditelusuri lebih lanjut, para responden ini adalah pedagang yang melanggar ketentuan melewati batas tertentu di kawasan jembatan, yang kemudian ditertibkan bulan Februari 2011 lalu. Sementara itu sebagian besar responden menyatakan setuju jika ada kemungkinan relokasi oleh instansi terkait. Beberapa responden mengaku sadar bahwa tanah yang mereka tempati untuk kegiatan usaha bukanlah milik mereka sehingga mereka setuju jika ada relokasi.
Responden yang menolak untuk direlokasi memiliki berbagai alasan, responden takut kehilangan pelanggan yang sudah sering mengunjungi tempatnya, kekhawatiran akan lokasi baru yang kurang ramai pengunjung, tidak mendapat jatah kios, biaya sewa yang mahal dan lain-lain. Secara keseluruhan, sebagian besar responden memilih alasan
kekhawatiran ”ramai pengunjung” sebagai
alasan utama mereka menolak relokasi.
Analisis Manfaat dan Biaya Aktivitas PKL
10
manfaat jalan (rumaja) jalan akses KKJS sisi Madura. Terlebih lagi, pada awal-awal pembukaannya, muncul euphoria yang besar di masyarakat Indonesia untuk berwisata ke jembatan Suramadu, sehingga membuka lapak di sepanjang jalan akses KKJS menjadi peluang ekonomi yang cukup mudah dan menjanjikan.
Gambar 3. Opini PKL terhadap alasan penolakan relokasi
Beberapa manfaat dari keberadaan aktivitas PKL Suramadu ini dapat dijelaskan sebagai berikut :
1) Kesempatan Kerja
Seperti yang telah dijelaskan dalam teori, bahwasanya kehadiran Pedagang Kaki Lima merupakan salah satu peluang penyerapan tenaga kerja yang cukup potensial. Hal ini dikarenakan sifat usahanya yang cepat, mudah dan tidak membutuhkan modal besar. Besarnya kesempatan kerja yang dapat diciptakan oleh keberadaan PKL Suramadu dapat diukur dengan pendekatan jumlah lapak yang terbangun.
Tabel 8. Jumlah PKL Suramadu
Perhitungan jumlah kesempatan kerja :
- Lapak dengan asumsi 1 pedagang/lapak : = 75% x 891 = 668 pedagang (dibulatkan)
- Lapak dengan asumsi 2 pedagang/lapak : = 25% x 891 x 2 = 445 pedagang (dibulatkan)
- Pedagang gerobak & asongan :
= 18% x 891 = 160 pedagang (dibulatkan) Sehingga keberadaan PKL Suramadu menyumbang penyerapan kesempatan kerja sebanyak 1.273 orang.
Jumlah kesempatan kerja yang muncul memang cukup besar. Hal tersebut
dimungkinkan karena perhitungan penyerapan tenaga kerja tidak dipengaruhi oleh faktor keaktifan pedagang. Oleh karena itu, angka tersebut tidak dapat diartikan sebagai jumlah pedagang yang bekerja aktif berdagang di wilayah Suramadu dalam waktu yang bersamaan.
2) Pendapatan Masyarakat PKL
Manfaat ekonomi berupa pendapatan masyarakat dimaksud adalah jumlah seluruh pendapatan PKL Suramadu dalam kurun waktu 1 (satu) tahun. Perhitungan tersebut didasarkan pada perkalian total keuntungan bersih harian terhadap jumlah hari dalam satu tahun yang didefinisikan sebagai 12 bulan x 30 hari, dengan asumsi pedagang memperoleh keuntungan dalam jumlah sama setiap harinya.
Keuntungan bersih harian yang diperoleh PKL Suramadu rata-rata adalah Rp. 497.875,- (hasil olah data dari kuesioner). Oleh karena itu, jumlah total pendapatan masyarakat PKL Suramadu dalam satu tahun adalah sejumlah : = bulan x hari x keuntungan bersih harian = 12 x 30 x Rp. 497.875,-
= Rp. 179.235.000,-
3) Output Sektor Riil
Perhitungan output sektor riil dimaksud adalah terlepas dari sifat Pedagang Kaki Lima yang masin informal, sehingga besarnya output sektor riil dicerminkan dengan omzet yang didapatkan seluruh PKL Suramadu dalam kurun waktu 1 (satu) tahun.
Total omzet bulanan dari 100 (seratus) PKL yang disurvai adalah Rp. 767.760.000,-. Secara kasar dapat ditunjukkan bahwa setiap pedagang rata-rata memiliki omzet per bulan sebesar Rp. 76,776,000. Jumlah yang cukup besar untuk ukuran pekerja di sektor informal.
Tabel 9. Jumlah PKL Suramadu aktif
Sumber : Balai Litbang Sosekling, 2011
Dengan dasar jumlah lapak yang aktif rata-rata adalah 360 lapak (tabel 9), maka perhitungan output sektor riil menjadi :
= 12 x omzet bulanan x jumlah lapak aktif = 12 x Rp. 767.760.000,- x 360
= Rp. 3.316.723.200,-
11
Penerimaan daerah dari PKL Suramadu dari hasil observasi adalah berupa pungutan yang diberlakukan kepada lapak PKL yang aktif setiap harinya, yang dibuktikan dengan karcis retribusi dari Pemda Bangkalan. Oleh itu, besarnya Penerimaan Daerah (PAD) dari sektor PKL Suramadu adalah total pungutan retribusi yang didapatkan dalam kurun waktu 1 (satu) tahun.
Dari besarnya pungutan yang diambil, pemerintah setempat memperoleh sekitar Rp. 539,000,- tiap hari. Jumlah tersebut hanya diperoleh dari seratus pedagang yang disurvai. Dengan jumlah PKL yang aktif rata-rata per harinya adalah 360 lapak, penerimaan harian retribusi diasumsikan tetap setiap harinya, dan satu bulan adalah 30 hari, maka besar pungutan yang didapatkan oleh pemerintah daerah : = bulan x hari x total retribusi harian = 12 x 30 x Rp. 539.000,-
= Rp. 194.040.000,-
Apabila jumlah tersebut termasuk ke dalam pendapatan asli daerah pemerintah setempat, maka adanya PKL merupakan sumber pendapatan daerah yang prospektif dan potensial.
Namun demikian, di lain sisi terdapat aspek biaya sebagai pengorbanan yang harus diterima dari keberadaan dan aktivitas PKL Suramadu. Sesuai dengan peraturan tentang jalan (PP No. 34/2006), keberadaan PKL di rumaja jalan akses KKJS adalah salah karena rumaja tidak boleh digunakan/dimanfaatkan untuk kepentingan selain dari fungsi pelengkap dan bangunan pendukung jalan. Akibatnya, keberadaan PKL dapat mempengaruhi aspek keselamatan, keamanan dan kenyamanan penggunaan jalan. Hal ini dibuktikan dengan cukup banyaknya kasus kecelakaan lalu lintas yang terjadi. Jalan akses KKJS memang didesain sebagai jalan jalur cepat, yang tidak boleh menerima hambatan atau gangguan mobilitas, apalagi yang sifatnya mendadak/spontan seperti orang yang menyeberang jalan atau manuver parkir mobil di tepi jalan.
Keberadaan PKL KKJS secara kasat mata juga menyebabkan semrawutnya pemandangan karena lapak-lapak yang heterogen dan kurang terkoordinir dengan baik. Meskipun sebagian PKL sudah diberikan tenda seragam oleh Dinas Koperasi dan UMKM setempat, sebagian besar PKL tetap lebih memilih model lapak yang mereka bangun sendiri karena konstruksi yang lebih kuat dan ruang yang lebih luas.
Gambar 4. Deretan lapak PKL dan parkir mobil pengunjung
Adanya PKL Suramadu juga meningkatkan jumlah sampah, mengingat banyaknya pedagang yang menjual makanan ringan. Sampah yang dihasilkan didominasi oleh sampah plastik. Sistem pengolahan sampah yang digunakan adalah dengan membakar sampah, yang dilakukan secara mandiri oleh masing-masing PKL, atau kolektif dari beberapa PKL yang berkelompok.
Namun, pembakaran sampah tidak selalu dilakukan. Dalam seminggu umumnya dilakukan 3 (tiga) kali pembakaran atau hanya sekali pembakaran. Pedagang melakukan pembakaran apabila merasa sampah tersebut sudah terlalu banyak. Lokasi pembakaran sampah sering terjadi di bahu jalan sehingga terkadang hasil pembakaran yang tidak dibersihkan dapat mengotori jalan. PKL Suramadu juga cenderung membersihkan sampah yang berada di sekitar lapaknya sendiri, sehingga tidak semua sampah-sampah yang dibuang pengunjung dapat terurus. Akibatnya, muncul pemandangan yang cukup mengganggu karena kesan kotor dan kumuh di area ruang manfaat jalan akses KKJS.
12 KESIMPULAN
Dari hasil identifikasi karakteristik dan opini publik PKL Suramadu didapatkan beberapa fakta bahwa mayoritas PKL adalah berasal dari wilayah Kabupaten Bangkalan, yang berarti bahwa keberadaan Jembatan Suramadu dimanfaatkan oleh masyarakat setempat, dan mampu menjadi penyerap tenaga kerja lokal. Lapak dagang PKL yang sebagian besar menggunakan lapak berjenis bangunan semi-permanen akan menyebabkan sulit dan lamanya waktu yang dibutuhkan apabila proses relokasi dilakukan. PKL Suramadu mendapatkan ijin dagang meskipun tidak formal dan tertulis, yang berarti ada oknum tertentu yang memanfaatkan kondisi pemanfaatan rumaja secara ilegal ini. Kurangnya tindakan penertiban maupun pembinaan menunjukkan belum adanya pihak yang memperhatikan masalah PKL Suramadu dengan serius. PKL Suramadu setuju/siap untuk direlokasikan karena menyadari keberadaannya adalah salah serta mengetahui adanya rencana pembangunan rest area dan rencana relokasi atas lapak mereka.
Dilihat dari kacamata sosial-ekonomi, dan didasarkan pada hasil analisis manfaat di atas, maka keberadaan PKL Suramadu dinilai telah memberikan manfaat praktis, baik kepada masyarakat maupun pemerintah daerah setempat. Namun, hal ini tidak berarti bahwa keberadaan PKL Suramadu ini harus didukung begitu saja. Aktivitas Pedagang Kaki Lima masih bersifat informal dan ilegal, karena menempati rumaja yang menurut peraturan tidak boleh digunakan. Keberadaannya di rumaja dapat mempengaruhi kenyamanan dan keselamatan pengguna jalan akses. Selain itu, munculnya sampah-sampah yang tidak
Oleh karena itu, dalam penanganan PKL Suramadu, potensi manfaat dan biaya tersebut perlu ditanggapi pemerintah secara bijak. Dengan percepatan pembangunan rest area Suramadu, selain dapat dihindarkan munculnya kesan kumuh dan kotor akibat aktivitas PKL, manfaat PKL Suramadu dapat dijadikan sektor potensi sosial-ekonomi yang bersifat legal dan formal.
DAFTAR PUSTAKA
Bappeda Bangkalan. 2011. Data Jumlah Pedagang Kaki Lima di Kaki Jembatan Suramadu per Agustus 2011 (tidak dipublikasikan).
Budiman, Bambang. 2010. Kajian Lingkungan Keberadaan Pedagang Kaki Lima di
Kawasan Banjaran Kabupaten Tegal.
Semarang : Tesis Program Pasca Sarjana Magister Ilmu Lingkungan, Universitas Diponegoro.
Mc Gee, T.G. and Y.M. Yeoung. 1977. Hawkers in Southest Asian Cities : Planning for the
Bazaar Economy. Ottawa : International
Development Research Centre.
[Pusosekling] Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi dan Lingkungan. 2011. Laporan Akhir : Penelitian Sosial Ekonomi Lingkungan
Optimalisasi Pemanfaatan Jembatan
Suramadu. Surabaya : Balai Litbang
Sosekling Bidang Jalan dan Jembatan. [Pusosekling] Pusat Penelitian dan
Pengembangan Sosial Ekonomi dan Lingkungan. 2011. Laporan Akhir : Penelitian Pengkajian Dampak Sosial-Ekonomi Akibat Pembangunan Jembatan
Suramadu. Surabaya : Balai Litbang
Sosekling Bidang Jalan dan Jembatan. Sulistyo Budi, Ari. 2006. Kajian Lokasi Pedagang
Kaki Lima Berdasarkan Preferensi PKL Serta Persepsi Masyarakat Sekitar di Kota
Pemalang. Semarang : Tesis Program
Pasca Sarjana Magister Pembangunan Wilayah dan Kota, Universitas Diponegoro.
Rosita, Popy. 2006. Kajian Karakteristik Pedagang Kaki Lima (PKL) dalam
Beraktivitas dan Memilih Lokasi
Berdagang di Kawasan Perkantoran Kota
Semarang. Semarang : Tugas Akhir
Jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota, Fakultas Teknik, Universitas Diponegoro. Umboh, Allan G.G.S. 1990. Peluang Kerja
Pedagang Kaki Lima di Pusat Kota
Administratif Bitung. Manado : Fakultas
Pascasarjana KPK IPB-UNSRAT.
Usman, Sunyoto. 2006. Malioboro. Yogyakarta : PT Mitra Tata Persada.
Widjajanti. 2000. Penataan Fisik Kegiatan PKL pada Kawasan Komersial di Pusat Kota (Studi Kasus : Simpang Lima Semarang).
Bandung : Tesis Program Magister Perencanaan Wilayah dan Kota, Institut Teknologi Bandung (ITB).
Widodo, Ahmadi. 2000. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pemilihan Lokasi Usaha PKL (Studi Kasus : Kota Semarang). Semarang : Tesis Program Pascasarjana, Magister Teknik Pembangunan Kota, Universitas Diponegoro.
13
Peraturan Penataan Dan Pemberdayaan Pedagang Kaki Lima di Kota Surabaya. Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2006
tentang Jalan.