• Tidak ada hasil yang ditemukan

PANDANGAN RORTY TENTANG PENGETAHUAN DAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "PANDANGAN RORTY TENTANG PENGETAHUAN DAN"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

PANDANGAN RORTY TENTANG PENGETAHUAN DAN KEBENARAN:

Kritik Michael Williams atas Pandangan Rorty

Jean-Paul Arianto Namang (0212810111)

Abstrak

Richard Rorty merupakan salah satu filsuf kontemporer yang berusaha menghancurkan tradisi epistemologi terutama sejak Descartes sampai Kant. Menurutnya, pikiran sebagai fondasi kokoh pengetahuan dan representasi realitas merupakan sesuatu yang keliru dan tidak perlu diterima. Kebenaran yang demikian tidak bisa dipertahankan karena selalu mereduksi kebenaran-kebenaran partikular yang lain. Rorty menggantikan epistemologi dengan hermeneutika karena menurutnya kebenaran-kebenaran yang lain hanya bisa dipahami dan diterima dalam suatu dialog. Alasannya adalah karena benar tidaknya sesuatu itu diukur sejauh ia berguna atau tidak; berguna dalam pengertian memecahkan persoalan yang ada.

Kata kunci: Fondasionalisme, Representasionalisme, Pragmatisme, Kosakata Akhir, Skeptisisme, Falibilisme.

1. Pendahuluan

Pemikiran Rorty tentang pengetahuan dan kebenaran merupakan sesuatu yang secara radikal dapat dikatakan menentang tradisi filsafat terutama sejak Descartes sampai Kant, juga filsafat analitik. Menurut Rorty, pemikiran yang dibangun Descartes-Kant merupakan suatu reduksi atas realitas karena mereka menganggap bahwa realitas hanya merupakan representasi dari pikiran. Dan karenanya pikiran merupakan fondasi dari realitas yang tanpanya mustahil ada sesuatu. Maka Rorty merupakan seorang antireresentasionalisme. Menurut Rorty, sebagai antirepresentasionalis, one which does not view knowledge as a matter of getting reality right, rather a matter of acquiring habits of action for coping with reality.1 Kebenaran itu efektif sejauh hal itu berguna bagi seseorang.

Bagi seorang representasionalis, berbuat benar dan merepresentasi berhubungan secara resiprokal tetapi menurut Rorty, kedua gagasan tersebut tidak berguna dan tidak penting.2

Menurutnya sikap tepat di hadapan realitas adalah behaviorisme epistemologis yang memandang kebenaran bukan dari sudut pandang rasio representasionalis tetapi berdasarkan penjelasan bevavioristik tanpa perhubungannya dengan justifikasi atas kepercayaan (belief) dan tindakan.3

1 Lih. Richard Rorty, Objectivity, Relativism, and Truth. Cambridge: Cambridge University Press, 1991. Hal. 1 2 Ibid., hal. 4

(2)

Makalah singkat ini merupakan upaya penulis untuk memahami pemikiran Rorty tentang kebenaran dan pengetahuan dalam pembacaan atas Rorty onKnowledge and Truth, tulisan Michael Williams.4 Sistematika penulisan terdiri atas (1) pendahuluan dan (2) tentang pandangan Rorty yang

melawan tradisi filsafat sejak Descartes. (3) Berbicara tentang pandangan pragmatisme dan kebenaran menurut Rorty sedangkan (4) berbicara tentang kritik Williams atas Rorty yang cenderung berpaling ke pandangan Humean (Humean turn). (5) masih melanjutkan kritik Williams atas Rorty yang melihat gerak pemikiran Rorty dari falibilisme ke skeptisisme dan tulisan ini akan diakhiri dengan suatu (6) penutup.

2. Melawan Tradisi: Rasionalisme, Empirisme, dan Analitik.

Dalam Rorty on Knowledge and Truth, kita akan melihat bagaimana Michael Williams menganalisis pandangan Richard Rorty yang mengkritik tradisi filsafat yang selalu mengedepankan epistemologi sebagai fondasi bagi pengetahuan. Epistemologi sebagai fondasi dapat kita rujuk pada pemikiran Descartes yang lebih menekankan peran rasio (reason) sebagai dasar yang menentukan realitas dan memuncak pada pemikiran Kant yang menjadikan filsafat sebagai disiplin ilmu non-empiris yang rigor. Secara sederhana dapat kita katakan, mengetahui merupakan kegiatan akal budi untuk menangkap inti realitas yang menghasilkan representasi mental. Korespondensi gambaran akal budi dengan realitas eksternal menjadi tolok ukur bagi kebenaran. Pandangan ini dapat kita sebut sebagai paham representasionalisme. Rorty menolak peran filsafat sebagai epistemologi yang menjadi fondasi bagi realitas, menurutnya menjadikan pikiran sebagai fondasi ultim bagi realitas merupakan sesuatu yang sia-sia.5 Rorty menempatkan diri sebagai seorang filsuf terapis (therapeutic

philosopher) yang memikirkan masalah-masalah filosofis sebagai sesuatu yang dapat dikesampingkan dari pada dipecahkan secara teoritis.6

Epistemologi Descartes memberikan dua hal mendasar tentang (1) metodologi skeptisisme sebagai alat yang prinsipiil (principal tools) untuk mengivestigasi dasar-dasar pengetahuan dan (2) meredefinisi “pikiran” (the mind) yang karenanya kita memperoleh akses istimewa.7 Dengan

4 Michael Williams, “Rorty on Knowledge and Truth”, dalam: Charles Guignon dan David R. Hiley (ed.), Richard Rorty: Contemporary Philosophy in Focus. Cambridge: Cambridge University Press, 2003. Hal. 61-79

5Bdk. Robert L. Woolfolk, “Behaviorism, Rorty, and the End of Epistemology”, dalam: Behaviorism. Cambridge Center for Behavioral Studies, vol. 11, No. 2 (Fall, 1983). Hal. 111. Dalam artikel tersebut, Woolfolk menulis: “Building on the work of Wittgenstein, Sellars, and Quine, Rorty is led to the position that a search for the ultimate foundations of thought is futile”.

6Michael Williams, “Rorty on Knowledge and Truth”, dalam: Charles Guignon dan David R. Hiley (ed). RichardRorty: ContemporaryPhilosophy in Focus. Cambridge: Cambridge University Press, 2003. Hal. 62

(3)

meragukan segala sesuatu kecuali pikiran yang sedang memikirkan, kita akan memperoleh suatu pandangan yang jelas dan terpilah-pilah (clara et distincta) tentang sesuatu. Konsepsi epistemologis Descartes membuat kita mendapat suatu bentuk (form) yang baru dan lebih radikal.8 Revolusi

Cartesian tersebut mengangkat suatu pertanyaan yang dramatis tentang realitas yakni “apakah keluasan ide-ide kita sungguh merepresentasikan secara akurat realitas eksternal? Dan apakah kita mempunyai alasan untuk mempercayai bahwa dunia eksternal itu benar-benar eksis?” Pertanyaan mendasar ini akan membuat kita sampai pada suatu kebenaran yang paling fundamental dan ultim tentang realitas yakni segala sesuatu ada sejauh dipikirkan oleh subjek yang berpikir. Namun Rorty melihat bahwa proyek Descartes ini bukanlah suatu proyek epistemologi murni karena Descartes pada akhirnya masuk dalam ranah metafisika. Menurut Rorty, jika kita mengeksplorasi batas-batas skeptisisme maka kita akan dibawa kepada metafisika fundamental misalnya tentang hakikat pikiran dan materi.9 Selain mengkritik Descartes, Rorty juga mengkritik intuisi epistemologis Lockean yang

memandang realitas melalui kacamata empirisme.

Menurut Rorty, John Locke adalah orang yang rigor dan konsisten terhadap epistemologi dengan menentukan batas-batas dan ruang lingkup pengetahuan manusia dengan memetakan kekuatan pikiran. Di situ Locke ingin membuktikan bahwa epistemologi bisa menyelidiki hakikat dan batasan pengetahuan manusia sebagai representasi mental yang akurat tentang realitas. Keakurasian dari suatu representasi tergantung pada cara produksi kausalitasnya.10 Meski demikian,

Immanuel Kant, seorang filsuf besar abad ke-18, melihat ketidakberesan pada kedua pemikir di atas. Menurutnya proyek filsafat Descartes, alih-alih mau mengangkat epistemologi murni ia justru masuk dalam metafisika sehingga realitas semata-mata didasarkan pada struktur epistemis dan metafisis pikiran. Hal itu mustahil karena antara epistemologi dan metafisika akan saling menghapus. Selain itu, pandangan Locke yang bersifat empiris itu tidak bisa mengeksplorasi batas-batas pengetahuan manusia. Berangkat dari asumsi tersebut, Kant berusaha mendamaikan epirisme Lockean dan rasionalisme Cartesian. Menurut Kant, dengan idealisme transendentalnya, seluruh objek yang dapat diketahui secara empiris, baik yang “di luar” maupun yang “di dalam”, dikondisikan oleh subjek

8Ibid. 9Ibid., hal. 63

(4)

dalam konstitusi kognitif manusia. Hal ini berarti kita telah memiliki pengetahuan yang a priori

tentang fakta-fakta niscaya mengenai dunia ini sehingga kita mampu menerimanya.11

Kant memberikan kepada kita suatu epistemologi yang di dalam pengalaman kognitif mengandung dua hal mendasar yakni data inderawi yang dipresentasikan pada pikiran dan interpretasi atasnya yang merupakan hasil aktivitas pikiran.12 Dengan pemikiran Kant yang demikian

terang, kita terbantukan untuk memahami epistemologi sebagai, pertama-tama, disiplin non-empiris yang menentukan status kognitif untuk semua objek kajian; semua itu dapat dipahami sebagai tujuan pengetahuan objektif.13 Dengan melihat filsafat sebagai epistemologi—mengeksplorasi batas-batas

skeptisisme, cara kita mengklasifikasi bentuk-bentuk diskursus pada apa yang rasional, saintifik, dll —maka epistemologi menjadi pusat dari suatu kebudayaan. Rorty menolak pandangan filsafat epistemologi yang memandang realitas sebagai representasi mental, ia lebih setuju dengan pendapat Frege yang, pada akhirnya dikritiknya juga, menempatkan bahasa atau “teori makna” sebagai fondasi bagi filsafat.14 Selain Frege, adalah Dummet yang dikritik oleh Rorty karena berusaha untuk

melanjutkan persoalan epistemologis yang sudah dikerjakan oleh Kant dan para pendahulunya. Menurut Rorty, metode yang mereka gunakan berbeda tetapi tujuannya tetap sama yakni menegaskan garis demarkasi antara pegetahuan a priori dan a posteriori atau antara yang signifikan secara kognitif atau melulu ekspresif.15

Rorty mengkritik gaya filsafat yang demikian dengan menawarkan suatu metodologi behaviorisme.16 Ia memulai dengan menguraikan kritik Sellars atas “Mitos Keterberian” (the Myth of

the Given)17 yang mana pengetahuan kita akan dunia fisik dijustifikasi dengan merujuk pada

11Ibid., hal. 64

12Heribertus Dwi Kristanto, Filsafat dan Cermin Realitas: Gugatan Richard Rorty terhadapEpistemologi (skripsi). Jakarta: STF Driyarkara, 2003. Hal. 34

13Michael Williams, “Rorty on Knowledge and Truth”, dalam: Charles Guignon dan David R. Hiley (ed). Richard Rorty: ContemporaryPhilosophy in Focus. Cambridge: Cambridge University Press, 2003. Hal. 64

14Michael Williams, “Rorty on Knowledge and Truth”, dalam: Charles Guignon dan David R. Hiley (ed). RichardRorty: ContemporaryPhilosophy in Focus. Cambridge: Cambridge University Press, 2003. Hal. 65. Namun Rorty melihat bahwa Frege tidak melakukan penghancuran yang serius terhadap tradisi epistemologi karena secara kontradiktif, ia adalah seorang anggota dari gerakan “back to Kant.” Frege berpaling kepada logika dan bahasa untuk menolong filsafat sebagai disiplin normatif yang concerned with validity and not just the origin of our mathematical ideas.

15Ibid. distingsi absolut dari gaya filsafat Neo-Kantian adalah soal skema-isi (scheme-content) misalnya antara pemahaman dan sensibilitas, konsep dan intuisi, dll.

16Bdk. Richard Rorty, Philosophy and the Mirror of Nature. Princeton: Princeton University Press, 1979. Hal. 98-99. Rorty mengatakan: Behaviorism is the doctrine that talk of "inner states" is simply an abbreviated, and perhaps misleading, way of talking of dispositions to behave in certain ways

(5)

pengalaman inderawi yang dipahami sebagai sesuatu yang begitu saja ‘terberi’.18 Selain Sellars,

Quine mengkritik distingsi “sintetis-analitis” yang merupakan dogma pertama empirisme. Ia menolak distingsi tersebut karena memandang kebenaran analitis sebagai suatu keniscayaan sebab diperoleh secara a priori dengan menganalisis kelogisan kalimat dan tak tergantung pada fakta-fakta yang ada. Semua kritik tersebut dibentuk oleh suatu linguistic turn yang membuat kita memeriksa apa kita secara aktual menggunakan kata-kata, meninjau kembali kepercayaan (belief), dan mengevaluasi teori-teori.19 Namun, pada akhirnya, Rorty mengatakan bahwa Filsafat Analitik yang

dikulminasi oleh Quine kemudian Wittgenstein, Sellars, dan Davidson ini melampaui dan

mengkansel dirinya sendiri.20

Menurut Rorty, dengan menolak distingsi skema-isi kita mendapatkan sebuah gambaran pengetahuan dan makna yang holistik, paling koheren, dan pragmatis.21 Menurutnya tidak ada posisi

kosmis asing yang darinya para filsuf dapat menilai putusan tentang status epistemologis dari setiap orang atau teori yang mengklaimnya. Pandangan yang holistik menempatkan suatu akhir (an end) dari batas-batas epistemologis atau metafisis yang ingin para filsuf pertahankan sebab hal tersebut telah menghapus seluruh distingsi metodologis antara a priori dan a posteriori, niscaya dan kontingen, fakta dan nilai, sains dan humanitas.22

3. Pragmatisme dan Kebenaran menurut Rorty.

Rorty, dalam Philosophy and the Mirror of Nature, mengangkat suatu tema dasar yang mengklaim kebenaran merupakan korespondensi antara pikiran dengan realitas sebagai kesalahan fundamental. Menurutnya, akar terdalam dari kebenaran sebagai korespondensi pikiran dan realitas adalah dorongan untuk dipandu oleh sesuatu yang lebih besar dari pada diri kita yakni: Dunia, Kebenaran, atau Kebaikan.23 Penyelidikan terhadap realitas ultim seringkali diasosiasikan dengan

proyek demarkasional tentang bagian-bagian dari perhatian umat manusia ke dalam divisi yang lebih tinggi dan rendah misalnya pengetahuan versus opini, kodrat versus konsesus, filsafat versus puisi. Hal ini kemudian menimbulkan kesulitan untuk melihat kalimat-kalimat individu atau kepercayaan

18Bdk. Heribertus Dwi Kristanto, Filsafat dan Cermin Realitas: Gugatan Rorty terhadap Epistemologi. 2003. Hal. 42-44. Menurut Sellars, pengetahuan manusia dijustifikasi dalam perbincangan (conversation) dengan anggota komunitas kita. 19 Op.cit. hal. 65

20 Richard Rorty, Consequences of Pragmatism. Minnesota: University of Minnesota, 1982. Halaman (introduksi) xviii 21Ibid., hal. 66

22Ibid.

(6)

tertentu sebagai berkoresponden dengan sesuatu. Maka, menurut Rorty, tidak (perlu) ada ruang bagi filsafat dalam budaya umat manusia.

Rorty memfokuskan diri pada refleksi kebenaran pragmatis. Meski sempat mengikuti pemikiran Sellars dan Peirce, namun ia segera meninggalkan pemikiran mereka itu. Pragmatisme Rorty tidak menggantikan konsepsi kebenaran korespondensi dengan suatu konsepsi epistemologis melainkan ia mengatakan bahwa kebenaran bukan sesuatu yang tentangnya kita dapat berteori. Menurutnya, seorang pragmatis sejati adalah mereka yang tidak akan mengambil variasi holistik dari variasi-variasi yang ada tetapi berusaha untuk memecahkan seluruh tradisi epistemologi Kantian.24

Rorty memberi tiga ciri khas dari pragmatismenya yakni, pertama, bersifat anti-esensialisme yang terkait dengan kebenaran, pengetahuan, bahasa, dan moralitas.25 Dia mengatakan bahwa

kosakata praktis (vocabulary of practice) itu lebih berguna dari pada teori demikian tindakan dari pada kontemplasi. Kedua, tidak ada perbedaan epistemologis antara truth about what ought to be dan

truth about what is maupun perbedaan metafisis antara fakta dan nilai atau pun perbedaan metodologis antara moralitas dan sains.26 Pembedaan itu, menurut Rorty, tidak memberikan

pemahaman yang masuk akal. Ketiga, tidak ada paksaan dalam penyelidikan kecuali perbincangan

antara individu yang terjadi di dalam komunitas tertentu.27 Kebenaran itu tidak bersifat universal

tetapi merupakan hasil konsensus di dalam suatu komunitas tertentu. Ketiga ciri khas itu merupakan pilihan fundamental yang berkonfrontasi dengan refleksi akal budi, antara menerima kontingensi sebagai titik pijak dan berusaha menghindari kontingensi itu. Menerima kontingensi berarti menerima warisan dari, dan perbincangan kita dengan, anggota komunitas kita sebagai satu-satunya sumber petunjuk yang ada.

Dengan demikian Richard Rorty menolak teori kebenaran korespondensi atau “realis” yang seringkali terbilang ke dalam suatu bentuk ekstrim dari bahasa idealisme. Praktisnya, tidak ada kebenaran yang kita terima kemudian meregulasi kepercayaan kita tentangnya. Ukuran kebenaran itu tergantung di mana kita berada dan bukan melalui suatu pengecekan atas jarak antara opini terkini dan Penyelidikan Akhir (the End Inquiry).28 Argumentasi tersebut lantas menempatkan Rorty pada

24Richard Rorty, Consequences of Pragmatism. Minnesota: University of Minnesota, 1982. Hal. 160 25Ibid., hal. 162

26Ibid., hal. 163 27Ibid., hal. 165

(7)

posisi seorang etnosentris29 di mana, menurutnya, dengan posisi tersebut kita bisa bekerja dengan

setiap kepercayaan (belief), teori dan kriteria yang kita terima30 tanpa tendensi untuk

menjustifikasinya. Dengan kata lain, kita harus menerima kontingensi atas investigasi yang kita lakukan tanpa harus mereduksinya ke dalam struktur pikiran kita.

4. RortyBerpaling ke Pemikiran Hume

Pada bagian ini, kita akan melihat bagaimana Michael Williams membahas palingan Rorty atas pemikiran David Hume (Humean turn) tentang skeptisisme. Menurut Hume, skeptisisme merupakan “suatu penyakit yang tidak dapat disembuhkan secara radikal.” Menurutnya, mencari fondasi dari pengetahuan tidak saja tidak berguna tetapi bersifat kontra-produktif sebab keraguan skeptis “membangkitkan secara alamiah suatu refleksi intens yang amat besar tentang objeknya” dan “selalu menjadi lebih luas, lebih jauh kita membawa refleksi pemikiran kita, apakah dalam posisi oposisi atau sesuai dengannya.”31 Secara praktis argumentasi yang bersifat skeptis tidak berguna

sebab tidak ada persoalan bagi siapa pun untuk menjadi seorang skeptis radikal. Argumentasi skeptis secara radikal bisa secara sementara menakjubkan atau dalam kasus ekstrem membuat putus asa, tetapi orang-orang tidak pernah membawanya kepada keyakinan terdalamnya.

Respon Hume atas skeptisisme disebutnya sebagai “naturalistik” sebab skeptisisme menekankan pada hubungan dasar kausal-psikologis atas kepercayaan fundamental kita dan disposisi yang dapat disimpulkan. Menurutnya, akan menjadi fatal jika seseorang mempertanyakan dasar dari keyakinan fundamental orang lain karena hal itu sangat tidak relevan. Williams melihat bahwa epistemologi Hume bersifat biperspektif: filsafat dan common sense tidak bisa diperdamaikan. Secara filosofis kita dapat memperdebatkan keyakinan seseorang tetapi secara common life hal itu tidak bisa diperdebatkan. Common sense merupakan suatu kondisi kehidupan sehari-hari sedangkan skeptisisme merupakan akibat dari refleksi filosofis yang ada batasannya.32

Pandangan Hume tentang skeptisisme membawanya sampai kepada identifikasi tiga tipe manusia: manusia vulgar, filsuf palsu, dan filsuf sejati.33 Manusia vulgar kurang tertarik dengan

isu-isu filosofis, tetap berada dalam sikap alamiah , dan tidak merasa ada masalah dengan keraguan

29Etnosentrisme mengasumsikan dua hal: (1) mengisahkan cerita tentang kontribusi mereka di dalam komunitas mereka sendiri dan (2) mendiskripsikan diri mereka sebagai yang berada dalam relasi langsung dengan realitas bukan manusia. Lih. Richard Rorty, Objectivity, Relativism, and Truth. Cambridge: Cambridge University Press, 1991. Hal. 21 30Op.cit.,hal. 69

31Ibid., 69-70

(8)

skeptis. Filsuf palsu adalah mereka yang berusaha untuk menemukan sikap skeptis dalam dasar kediriannya dan dengan demikian mengelaborasi suatu sistem absurd metafisika dan epistemologi. Descartes termasuk di dalamnya. Sedangkan para filsuf sejati adalah mereka yang (Humean) skeptis. Mereka mengetahui kegagalan atas usaha mereka untuk merespon orang skeptis secara teoretis namun pengenalan itu meninggalkan sesuatu yang bersifat personal: orang di jalanan yang percaya, orang skeptis dalam belajar. Williams melihat paradigma Rorty bersifat “intuitive realist” yang adalah musuh bagi seorang pragmatis.34

Titik pijak pemikiran Rorty adalah kosakata akhir (final vocabulary) dalam mengobservasi komitmen akhir (ultimate commitment). Kosakata akhir tidak memberikan ruang bagi suatu keraguan (doubt) sebab kata-kata digunakan sejauh dalam bahasa; melampaui bahasa yang ada hanyalah akan menghasilkan pasivitas yang tak tertolong.35 Orang skeptis tidak dapat dijustifikasi di hadapan

kosakata akhir. Kesadaran akan ketanpadasaran (groundlessness) komitmen paling akhir dari seseorang disebut “irony” oleh Rorty dan seorang ironis berhadapan dengan tiga kondisi: (1) mereka yang ragu secara radikal dan berkesinambungan akan kosakata akhirnya sebab mereka telah terkesan oleh kosakata akhir yang lain. (2) Mereka yang merealisasikan argumentasinya dalam kehadiran kosakatanya dapat menanggungnya maupun menghapus keraguan itu dan (3) sejauh dia berfilsafat tentang situasinya, dia tidak memikirkan bahwa kosakatanya dekat pada realitas dari pada orang lain.36

Menurut Williams, Rorty secara persis mengikuti pemikiran Hume terutama tentang tripartisi manusia.37Pertama, kelompok non-intelektual yang hidup tanpa mempersoalkan status kepercayaan

dan nilai-nilai dasar, hal ini senada dengan pemikiran Hume tentang manusia vulgar. Kedua, kaum metafisikus yang bermaksud menolong common sense dalam keseharian mereka dari gangsiran skeptis, melanjutkan tipe manusia kedua Hume: false Philosopher. Ketiga, kaum ironis telah menerima bahwa tidak ada setiap pekerjaan yang mungkin, hal ini sama dengan filsuf sejatinya Hume. Menurut Hume, setiap orang yang berusaha menyangkal skeptisisme ekstrim telah “disputed without an antagonist”, sama persis dengannya Rorty, menurut Williams, jika relativisme adalah “the view that every belief on a certain topic or about any topic, is as good as any other,” maka

(9)

“tidak ada seorang pun yang akan menganut pandangan tersebut.38 Menurut Williams, Rorty tidak

punya pilihan untuk menghindari jatuh ke dalam pemikiran Hume. “Hume menemukan skeptisisme di dalam studi dan di tempat tertentu juga; Rorty mengontraskan “privat irony” dengan “liberal hope.”39

5. Dari Falibilisme ke Skeptisisme

Michael Williams mengatakan bahwa pandangan Rorty tentang ironi adalah skeptisisme dengan nama berbeda. Bentuk skeptisisme halus (mild) merupakan pandangan tentang “tak satupun yang mutlak pasti”, segala sesuatu dapat direvisi.40 Skeptisisme ini disebut falibilisme. Selanjutnya

adalah skeptisisme radikal yang, selain mengiyai skeptisisme halus, cenderung menegaskan bahwa tidak ada alasan untuk percaya akan suatu hal lebih baik dari pada hal lain.41 Tidak ada alasan untuk

percaya ini atau itu. Ada dua hal yang perlu ditimbang lagi mengenai pandangan Rorty tentang ironi.

Pertama, ironi merupakan akibat langsung dari keterbukaan (exposure) akan pandagan berbeda dari seseorang yang merupakan dampak langsung dari skeptisisme Pyrrhonian, yang tergantung pada metode yang cocok. Keterbukaan akan pandangan orang lain merupakan basis dari keraguan yang radikal dan berkesinambungan. Hal itu dapat membuat seseorang menjadi falibilis dan dengan demikian skeptisisme belum berada dalam pandangan (in view). Kedua, tentang genesis ironi di mana kesadaran akan keragaman membuat seseorang menjadi historis dan nominalis. Rorty memberikan legitimasi bagi seorang ironis untuk menjadi lebih skeptis. Basis real dari ironi adalah argumen skeptis yang diselundupkan melalui definisi kosakata akhir. Tanpa keraguan (doubt) argumen ini keluar dari jalurnya menuju skeptisisme radikal.

Menurut Williams, Rorty secara kontradiktif bergerak ke arah skeptisme, namun dari skeptisisme Cartesian, yang mana persoalan originalitas dan paradigmatik yang fokusnya pada pengetahuan kita tentang dunia eksternal.42 Sebagai seorang behavioris metodologis, Rorty meyakini

kemampuan pikiran dan kepercayaan perlu menguasai suatu bahasa dan tidak ada seorang pun yang menguasai suatu bahasa kecuali dia memperoleh beberapa hal yang benar. Kita tidak mempunyai pilihan namun hanya melihat sejumlah besar dari apa yang kita dan setiap orang percayai sebagai benar. Artinya, jika kita berpikir tentang kepercayaan kita, hal tersebut harus secara aktual benar.

38 Ibid. 39 Ibid., hal. 74 40 Ibid., hal. 76 41 Ibid.

(10)

Secara metafisis, Rorty tidak mempunyai konsep tentang kebenaran yang membuatnya menarik suatu garis tentangnya dan, secara epistemologis, apa yang pernah kita lakukan adalah menenun kembali jaringan kepercayaan sebagai yang paling baik diketahui dalam terang konsiderasi yang relevan. Menurut Williams, kontingensi dalam pemikiran Rorty merupakan sahabat dari falibilisme dan sekaligus musuh bagi skeptisisme: hal itu adalah ironi.43

6. Penutup

Pemikiran Rorty tentang kebenaran dan pengetahuan membuka ruang duskursus bagi kebenaran-kebenaran lain untuk menampakan diri dalam realitas. Kebenaran universal yang selama ini tidak memberikan ruang bagi kebenaran-kebenaran partikular telah dihapus dan digantikan dengan suatu perbincangan antar individu dalam komunitas. Kita tidak bisa lagi menilai atau mengkaji suatu kebenaran di daerah tertentu secara epistemologis melainkan secara hermeneutis. Rorty mengatakan “hermeneutika bukan suatu cara untuk mengetahui melainkan cara lain untuk mengatasi (coping) realitas.”44 Dengan demikian realitas tidak direduksi sebagai representasi pikiran

dan pikiran menjadi fondasi bagi realitas tetapi realitas adalah suatu kebenaran otonom.

Pemikiran Rorty tersebut mengkritik secara radikal filsafat yang cenderung sistematis, ia mengangkat suatu pemikiran yang tidak bersifat sistematik tetapi suatu pemikiran yang membawa perbaikan/perubahan (edifying philosophy). Menurutnya, seorang pragmatis adalah mereka yang skeptis terhadap kebenaran yang ada di dalam filsafat sistematis karena semua proyek filsafat nyatanya dapat diperbincangkan dan dengan demikian dapat diperbandingkan (commensuration). Pemikiran yang membawa perubahan itu tidak berada dalam traktat moral atau traktat sistematis lainnya tetapi berada dalam sebuah karya sastra tertentu, misalnya novel. Orang akan lebih merasa berempati dan terlibat di sisi korban ketika membaca La Peste (Sampar) karya Albert Camus ketimbang membaca “Kritik atas Rasio Praktis” karya Kant.

Dengan memahami pemikiran Rorty, kita diharapkan lebih bersikap inklusif, terbuka, dan mau berdialog dengan kepercayaan-kepercayaan lain karena, saya yakin, di dalam kepercayaan tersebut terwayuhkan juga kebenaran-kebenaran tertentu yang dapat kita jadikan sebagai suatu perbandingan atas kebenaran yang kita anut. Dialog sangatlah penting dalam menjalin relasi.

43 Ibid. hal. 79

(11)

Perbincangan intersubjektivitas akan membuka suatu pemahaman yang baru atas kebenaran dalam kepercayaan lain.

Daftar Pustaka

Baert, Patrick. Philosophy of the Social Sciences. Cambridge: Polity Press, 2005

Dwi Kristanto, Heribertus, Filsafat dan Cermin Realitas: Gugatan Rorty terhadap Epistemologi. Jakarta: STF Driyarkara, 2003.

Gutting, Gary. “Rorty’s Critique of Epistemology”, in: Charles Guignon and David R. Hiley (ed),

Richard Rorty: Contemporary Philosophy in Focus. Cambridge: Cambridge University Press, 2003

Rorty, Richard. Philosophy and the Mirror of Nature. Princeton: Princeton University Press, 1979

____________, Consequences of Pragmatisme. Minessota: Minessota University Press, 1982

____________, Objectivity, Relativism, and Truth. Cambridge: Cambridge University Press, 1991

Williams, Michael. “Rorty on Knowledge and Truth”, dalam: Charles Guignon and David R. Hiley (ed), Richard Rorty: Contemporary Philosophy in Focus. Cambridge: Cambridge University

Press, 2003

Woolfolk, Robert L. “Behaviorism, Rorty, and the End of Epistemology”, dalam: Behaviorism.

Referensi

Dokumen terkait

Fouda juga menolak anjuran sistem khilafah yang digaungkan kaum Islamis, menurutnya sistem ini tidak lebih dari salah satu sistem dalam sejarah Islam yang banyak

Anggapan bahwa kusta adalah "penyakit berbahaya yang mudah menular", “penyakit yang tidak dapat disembuhkan”, "kutukan", atau "dapat tertular jika menyentuh

Autisme bukan suatu penyakit yang tidak bisa disembuhkan anak autisme mampu berkembang selayaknya masyarakat pada umumnya dengan melalui komunikasi interpersonal yang

Adalah tidak layak bagi seseorang menjadi muslim seorang diri saja sedangkan orang-orang di sekelilingnya tidak dihiraukan, karena di antara pesan-pesan dari seruan Islam

DM merupakan penyakit yang tidak dapat disembuhkan, sehingga seseorang yang terkena DM cenderung memiliki persepsi yang negative terhadap penyakitnya.Persepsi seseorang

Oleh karena itulah kita sebagai hamba Allah yang diciptakan di muka bumi, harus menguasai ilmu tidak hanya ilmu dunia tapi juga ilmu akhirat karena apabila kita ingin bahagia di

Latar Belakang: Diabetes melitus tipe 2 merupakan penyakit kronik yang tidak dapat disembuhkan tetapi dapat dicegah dan dikendalikan. Penyakit ini berhubungan dengan gaya

Yaitu jika memberikan beberapa obat untuk suatu indikasi penyakit yang sama, pemberian lebih dari satu obat untuk penyakit yang diketahui dapat disembuhkan dengan