• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERAN IDENTITAS KEAGAMAAN DAN PERSEPSI A

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "PERAN IDENTITAS KEAGAMAAN DAN PERSEPSI A"

Copied!
33
0
0

Teks penuh

(1)

PERAN IDENTITAS KEAGAMAAN DAN PERSEPSI

ANCAMAN ANTAR KELOMPOK AGAMA TERHADAP

SIKAP MULTIKULTURALISME AGAMA

Potensi konflik bernuansa agama di Binjai dan Tanjung Balai,

Sumatera Utara, ditinjau dari perspektif psikologi sosial

Omar Khalifa Burhan Ridhoi M. Purba Irmawati

Omar Khalifa Burhan, Ridhoi M. Purba, Irmawati; Pusat Kajian Konflik dan Radikalisme Universitas Sumatera Utara, Indonesia.

Korespondensi mengenai penelitian ini dapat dilayangkan kepada Omar Khalifa Burhan, Departemen Psikologi Sosial, Universitas Sumatera Utara, Jl. Dr. Mansyur No. 7, Kampus USU Padang Bulan, Medan, Indonesia. Email:

omarkburhan@hotmail.com / omar@usu.ac.id

Acknowledgement: Penelitian ini merupakan hasil kerja sama antara Pusat Kajian Konflik dan Radikalisme USU dengan Kesbangpol dan Linmas Provinsi Sumatera Utara.

(2)

ABSTRAK

Di dalam penelitian ini, kami menelaah dukungan terhadap multikulturalisme serta bagaimana peran kelekatan, kebanggaan, dan komitmen terhadap kelompok agama (i.e., identitas keagamaan) dan persepsi ancaman antar kelompok agama dalam menentukan dukungan individu-individu umat beragama terhadap multikulturalisme di kota Binjai dan Tanjung Balai, Sumatera Utara. Secara umum, para partisipan penelitian ini memiliki sikap atau dukungan terhadap multikulturalisme yang rendah dan lebih cenderung mendukung orientasi akulturasi antar kelompok agama yang berpotensi mengarahkan pada hubungan antar kelompok agama yang problematikal dan konfliktual, yaitu orientasi akulturasi asimilasi, segregasi, atau ekslusi. Terlepas dari agama yang dianut, partisipan memiliki derajat kelekatan, kebanggaan, dan komitmen terhadap kelompok agama (i.e. identitas keagamaan) dan persepsi ancaman antar kelompok agama yang tinggi (di atas mid-point skala). Analisis mengenai dinamika asosiasi antara identitas keagamaan, persepsi ancaman antar kelompok, dan sikap multikulturalisme menunjukkan bahwa individu-individu yang memiliki identitas keagamaan yang tinggi memiliki kecenderungan untuk mempersepsikan kelompok agama lain sebagai ancaman. Pemersepsian kelompok agama lain sebagai ancaman kemudian mengarahkan individu-individu untuk memiliki dukungan terhadap multikulturalisme yang rendah. Diskusi kami arahkan kepada analogi ‘rumput kering’, ‘angin’, dan ‘api’, yang diutarakan oleh tokoh gerakan perdamaian nasional “Baku Bae”, Dr. Ichsan Malik.

(3)

PENDAHULUAN

Indonesia merupakan negara yang terdiri atas beragam kelompok

masyarakat, baik itu dari segi etnis, budaya, ras, agama dan kepercayaan.

Kesadaran Indonesia tentang pentingnya berbagai keberagaman yang dimiliki

tertuang dalam semboyan negara Indonesia, Bhinneka Tuggal Ika (Peraturan

Pemerintah No. 66, 1951). Semboyan ini merepresentasikan pengabsahan

Indonesia terhadap ideologi multikulturalisme (multiculturalism) sebagai landasan

untuk menyokong persatuan dan kesatuan Indonesia. Multikulturalisme sendiri

merupakan ideologi yang meliputi kesadaran, penghargaan, dan dukungan aktif

terhadap keberagaman, baik itu keberagaman budaya; agama dan kepercayaan;

etnisistas; maupun cara hidup (ways of life: Berry, 2005; Morrison, Plaut, & Ybarra,

2010; Sam & Berry, 2010). Singkatnya, sejak awal kemerdekaannya, Indonesia

telah berkomitmen untuk mencapai persatuan dan kesatuan melalui

multikulturalisme. Namun demikian, keberagaman kelompok di Indonesia masih

saja berujung pada berbagai konflik. Meskipun konflik antar kelompok di

Indonesia dapat berbasis pada berbagai macam hal (e.g., etnisitas, sumber daya

alam, dll.), di dalam penelitian ini kami akan berfokus pada konflik yang berbasis

pada kelompok agama. Secara spesifik, kami akan berfokus pada aspek-aspek

psikologis individu anggota kelompok agama yang dapat berpotensi

menimbulkan atau pecahnya konflik antar umat beragama.

Konflik yang bernuansa agama bukanlah hal yang baru di Indonesia. Hal

(4)

Cikeusik dan kelompok kepercayaan Ahmadiyah yang terjadi pada 6 Februari

2011 menelan setidaknya tiga orang korban jiwa dan lima orang menderita luka

parah (Handayani & Muhammad, 2011; KontraS, 2011; Wardah, 2013). Insiden

Temanggung (8 Februari 2011) yang dipicu oleh pelecehan agama Islam oleh

Antonius Richmond Bawengan mengakibatkan tiga gereja dan satu sekolah

Kristen rusak serta sembilan orang luka-luka (Malau, 2011; Siswanto, 2011).

Beberapa konflik yang kental dengan nuansa keagamaan yang sangat penting

diingat adalah konflik di Ambon (Maluku) yang menelan korban sekitar 5,000

jiwa dari kurun tahun 1999 sampai 2002 dan konflik di Poso (Sulawesi Tengah)

yang diestimasi menelan sekitar 1,000 korban jiwa dan 25,000 pengungsi (Centre

for Humanitarian Dialogue, 2011; The Jakarta Post, 2012). Dengan demikian,

pengkajian konflik yang kental dengan nuansa agama penting untuk diteliti agar

strategi-strategi penanggulangan dapat diambil sedini mungkin.

KONFLIK BERNUANSA AGAMA DI SUMATERA UTARA

Sumatera Utara merupakan provinsi dengan populasi penduduk ke-empat

terbesar di Indonesia, dengan penduduk berjumlah sekitar 15 juta jiwa. Dari segi

agama, dibandingkan dengan komposisi penduduk di Indonesia, komposisi

penduduk Sumatera Utara cukup variatif, di mana pemeluk agama Islam secara

relatif tidak terlalu dominan dibanding dengan pemeluk agama lainnya. Secara

spesifik, penganut agama Islam adalah sebanyak 66% (dibanding dengan

nasional sebanyak 87%), Protestan 27%, Katolik 4%, Hindu, Budha, dan

(5)

Kebervariasian kelompok agama ini dapat menjadi sumber konflik antar

kelompok.

Meskipun belum ada kasus selayaknya di Ambon dan Poso, media telah

mencatat beberapa kasus konflik bernuansa agama di Sumatera Utara. Di

pertengahan tahun 2010, organisasi Gerakan Islam Bersatu melakukan

demonstrasi ke kantor DPRD dan Walikota Tanjung Balai menuntut penurunan

patung Budha pada satu-satunya Vihara (Vihara Tri Ratna) di kota Tanjung Balai.

Sebagai reaksi, Walikota Tanjung Balai memerintahkan penurunan Patung Budha

Amitabha dari Vihara Tri Ratna tersebut (Amri, 2010; Bangun, 2010). Reaksi

pemerintah kota Tanjung Balai ini mendapatkan kecaman dari berbagai pihak,

mulai dari masyarakat awam, politisi, bahkan sebagian organisasi Islam (e.g.,

Jaringan Islam Liberal, Muhammadiyah) ikut memberikan kecaman (e.g.,

Tjiptono, 2010). Meskipun sampai saat ini, penurunan patung Budha di Vihara Tri

Ratna masih belum terealisir, kejadian penuntutan dan perencanaan penurunan

patung Budha ini merupakan salah satu contoh intoleransi antar umat beragama

yang berpotensi mengarah kepada konflik antar umat beragama.

Kasus lainnya terjadi di Binjai di pertengahan tahun 2008. Ratusan massa

dari berbagai organisasi Islam, yang tergabung dalam Forum Umat Islam Bersatu

berunjuk rasa menolak pembangunan dan menuntut pembongkaran Gereja Huria

Kristen Batak Protestan (HKBP) di kota Binjai (Efendi, 2008). Intoleransi antar

umat beragama juga terjadi di Padang Lawas, Tapanuli Selatan, pada awal tahun

2010, di mana dua gereja dibakar sehingga menimbulkan keresahan bagi umat

(6)

pembongkaran tidak hanya dialami oleh umat minoritas di Sumatera Utara, umat

mayoritas pun (Islam) mengalaminya. Pada 11 April 2011, Forum Umat Islam

Sumatera Utara bersama dengan Pusat Advokasi Hukum dan Hak Asasi Manusia

melaporkan enam kasus pembakaran mesjid di berbagai daerah di Sumatera

Utara, yang meliputi dua mesjid di Kabupaten Asahan, satu mesjid

masing-masing di kota Medan, Kabupaten Langkat, Toba Samosir, dan Deli Serdang

(Desastian, 2011).

Kasus-kasus yang kami gambarkan di atas merupakan gambaran nyata

potensi konflik bernuansa agama di Sumatera Utara. Dengan demikian,

identifikasi determinan-determinan yang dapat bermuara kepada konflik

bernuansa agama merupakan suatu hal yang penting untuk dilakukan. Di dalam

penelitian ini, kami akan berfokus pada determinan yang bersifat

psikologis-individual. Secara spesifik, kami akan mengeksaminasi bagaimana peran

kelekatan dan kebanggaan terhadap agama (i.e., identitas keagamaan) yang

berlebihan dapat membuat individu mempersepsikan individu-individu pemeluk

agama lain sebagai ancaman (i.e., ancaman antar kelompok agama). Dinamika

antara kelekatan dan kebanggaan terhadap agama yang berlebihan serta persepsi

ancaman antar kelompok agama ini kemudian dapat mengarahkan

individu-individu yang berafiliasi pada agama yang berbeda untuk memiliki orientasi

akulturasi yang berpotensi menciptakan hubungan antar kelompok yang tidak

harmonis. Sebagaimana dijelaskan oleh Bourhis et al (1997), orientasi akulturasi

antar kelompok yang berbeda dapat memicu hubungan yang konsensual

(7)

oleh Berry (2005) hubungan yang harmonis, idealnya dapat dicapai suatu

masyarakat jika setiap kelompok mendukung akulturasi yang bersifat

multikulturalisme. Dengan demikian, penelitian ini akan melihat sejauh apa

dukungan masyarakat Sumatera Utara terhadap multikulturalisme dan sejauh

apa identitas keagamaan dan persepsi ancaman antar kelompok mendeterminasi

sikap multikulturalisme yang dimiliki oleh individu-individu di dalam

masyarakat.

PERAN IDENTITAS KEAGAMAAN DAN PERSEPSI ANCAMAN

ANTAR KELOMPOK TERHADAP ORIENTASI AKULTURASI

AGAMA

Orientasi akulturasi agama

Akulturasi merupakan proses perubahan dan penyesuaian psikologis dan

perilaku yang bersifat dua arah antara individu-individu kelompok suatu kultur

tertentu dengan kelompok kultur lainnya, ketika kedua kelompok tersebut

bertemu (Berry, 2005; Sam & Berry, 2010). Dikaitkan dengan agama, akulturasi

agama di dalam penelitian ini kami definisikan sebagai proses perubahan dan

penyesuaian psikologis perilaku yang bersifat dua arah antara indvidu-individu

kelompok suatu agama tertentu dengan kelompok agama lainnya ketika

kelompok-kelompok tersebut bertemu atau hidup secara berdampingan. Adapun

proses penyesuaian psikologis dan perilaku yang kami maksud di sini terkait

dengan nilai-nilai, budaya, dan cara hidup (ways of life).

Akulturasi merupakan konstruk yang bidimensional, yang dibentuk dari:

(8)

identitas (i.e., nilai-nilai, budaya, norma, dan cara hidup) kelompoknya; (2)dan

relasi antar kelompok yang diupayakan oleh individu-individu anggota

kelompok-kelompok yang terlibat (Arends-Tóth & Vijver, 2003; Sam & Berry,

2010; Berry, 2005; Bourhis, Moïse, Perreault, & Senécal, 1997). Berdasarkan Berry

(2005), kombinasi dua dimensi ini memungkinkan empat macam orientasi

akulturasi, yaitu multikulturalisme (atau integrasi), melting pot (atau asimilasi),

segregasi (atau separasi), ekslusi. Orientasi multikulturalisme adalah ketika

individu anggota kelompok tertentu berupaya untuk menjaga identitas

kelompoknya, sekaligus mengupayakan relasi antar kelompok yang harmonis

dengan kelompok-kelompok lainnya. Termasuk dalam menjaga relasi antar

kelompok ini adalah memberikan hak bagi kelompok lain untuk menjaga

identitas yang mereka miliki. Orientasi asimilasi adalah ketika individu anggota

kelompok tertentu menginginkan agar kelompok lain menanggalkan identitas

kelompoknya dan mengupayakan relasi yang baik dengan kelompok yang

menjadi afiliasi individu. Orientasi segregasi adalah orientasi di mana individu

anggota kelompok tertentu memberikan hak bagi kelompok lain untuk menjaga

identitasnya, namun individu menolak upaya relasi antar kelompok yang

diusahakan oleh kelompok lain tersebut. Orientasi eksklusi adalah orientasi di

mana individu menolak upaya kelompok lain untuk menjaga identitasnya;

sekaligus menolak pula upaya relasi antar kelompok yang baik, yang diupayakan

(9)

Selanjutnya, dengan mendasarkan pada Berry (2005), sebagaimana yang

telah kami paparkan, kami akan menguraikan aplikasi teori dan definisi tersebut

dalam ranah hubungan antar umat beragama, sebagai berikut:

Orientasi multikulturalisme agama adalah ketika individu anggota agama

tertentu berupaya menjaga dan menegakkan identitas agamanya, sekaligus

berupaya untuk menjaga hubungan harmonis dengan umat beragama

yang lain. Dalam hal ini, individu memberikan kesempatan bagi umat

agama lain untuk menjaga identitas agamanya.

Orientasi asimilasi agama adalah ketika individu berupaya menjaga dan

menegakkan identitas agamanya, namun menolak penegakan nilai-nilai

agama yang dianut oleh kelompok agama lain. Dalam hal ini, upaya

kelompok lain untuk menjaga hubungan harmonis dengan kelompok di

mana individu bernaung hanya dapat diterima jika kelompok lain

menanggalkan identitas agamanya dan mengikuti tata cara menjalani

kehidupan yang dianut oleh individu dan kelompoknya.

Orientasi segregasi agama adalah ketika individu membolehkan kelompok

agama lain untuk menjaga nilai-nilai agama mereka, namun individu

menolak untuk membangun dan upaya pembangunan relasi antar

kelompok yang dilakukan oleh kelompok agama lain.

Orientasi eksklusi agama adalah ketika individu menolak upaya kelompok

agama lain untuk menjaga nilai-nilai keagamaan mereka, sekaligus

(10)

Seperti yang dijelaskan oleh Bourhis et al (1997), hubungan antar

kelompok kultur (dan agama) ditentukan oleh orientasi akulturasi setiap

kelompok yang terlibat. Hubungan yang dapat terjadi dapat bersifat: (1)

Konsensual, (2) problematikal, (3) atau konfliktual. Hubungan konsensual terjadi

jika dua kelompok agama yang terlibat memiliki orientasi yang bersifat kongruen,

misalnya jika setiap kelompok sama-sama mendukung multikulturalisme. Jika

satu kelompok agama memiliki orientasi asimilasi, sedangkan kelompok lain

multikulturalisme, maka hubungan problematikal akan muncul. Hubungan yang

konfliktual akan muncul jika kedua kelompok sama-sama berorientasi asimilasi,

karena setiap individu anggota kelompok yang berbeda sama-sama

menginginkan agar anggota kelompok yang lain menanggalkan identitasnya dan

berasimilasi dengan identitas yang dimiliki oleh kelompok masing-masing

individu. Para ahli percaya bahwa idealnya, hubungan yang bersifat konsensual

dapat dicapai oleh masyarakat jika setiap kelompok-kelompok agama (atau

kultur) yang berbeda sama-sama mendukung multikulturalisme (Berry, 2005;

Bourhis et al., 1997; Sam & Berry, 2010; Verkuyten & Yildiz, 2006; Verkuyten,

2006, 2008).

Identitas agama dan orientasi akulturasi agama

Identitas sosial merupakan pengetahuan tentang kelompok di mana diri

bernaung, sekaligus derajat kelekatan psikologis yang dirasakan oleh individu

terhadap kelompoknya tersebut (Hogg & Abrams, 1988; Tajfel & Turner, 1979;

Tajfel, 1978). Pada perkembangannya, identitas sosial diteorikan memiliki tiga

(11)

kebanggaan (atau keangkuhan) individu terhadap kelompoknya (group

self-esteem), (2) pengetahuan dan kelekatan terhadap kelompok (self-categorization),

dan (3) komitmen terhadap kelompok (commitment to the group). Konsep identitas

sosial dapat diaplikasikan pada afiliasi seseorang terhadap kelompok apapun,

termasuk pengelompokan berbasis agama. Terminologi identitas agama di dalam

penelitian ini merupakan aplikasi spesifik dari konstruk identitas sosial. Dengan

demikian, identitas keagamaan di dalam penelitian ini adalah pengetahuan

tentang kelompok agama apa individu bernaung, sekaligus derajat kelekatan

psikologis dan kebanggaan atas nilai-nilai, norma, cara hidup (ways of life) yang

dianut, serta komitmen untuk menjaga; membangun; dan mempromosikan

kelompok agama di mana diri individu bernaung.

Selanjutnya identitas sosial merupakan bagian dari konsep diri (atau

identitas diri) yang diperoleh dari afiliasi individu terhadap kelompoknya (Tajfel

& Turner, 1986; Tajfel, 1982; Turner & Oakes, 1986). Berhubung identitas agama

adalah identitas sosial dan identitas sosial merupakan bagian dari identitas diri,

maka identitas agama menjadi sesuatu yang tentunya mendefinisikan atau

memberikan arti penting pada diri seseorang (i.e., konsep diri). Sehubungan

dengan kategorisasi agama sebagai bagian dari konsep diri, individu memiliki

kecenderungan untuk menjaga kepositivan diri setinggi mungkin, khususnya

ketika membandingkan antara diri sendiri dengan orang lain (Self-evaluation

maintenance theory: Tesser, 1988). Oleh karena itu, individu juga memiliki

kecenderungan untuk menjaga kepositivan kelompoknya setinggi mungkin

(12)

agama akan berusaha menjaga kepositivan kelompoknya sepositif mungkin pula,

khususnya terhadap ancaman-ancaman yang dapat membuat kepositivan

individu menjadi berkurang atau malah menjadi negatif. Sebagaimana

ditunjukkan oleh penelitian terdahulu, kecenderungan untuk membela,

mempromosikan, dan menjaga kepositivan kelompok ini lebih cenderung dan

lebih ekstrim dilakukan oleh individu yang memiliki kelekatan atau identitas

yang tinggi terhadap kelompoknya (Branscombe, Ellemers, Spears, & Doosje,

1999). Jadi, individu-individu anggota agama tertentu yang memiliki identitas

keagamaan yang tinggi adalah mereka yang memiliki kecenderungan untuk

membela, mempromosikan, dan menjaga kepositivan agamanya, termasuk juga

dengan cara-cara yang tergolong ekstrim.

Persepsi ancaman antar kelompok agama

Persepsi merupakan proses identifikasi dan pemberian makna pada

stimulus-stimulus yang terdapat pada lingkungan yang dilakukan dalam rangka

memahami lingkungan (Schachter, 2011). Dengan kata lain, persepsi merupakan

proses memperoleh pemahaman pada berbagai hal yang terdapat di dalam

lingkungan sekitar individu. Proses ini terjadi dengan unik pada setiap individu,

sehingga untuk satu stimulus yang sama, setiap orang yang berbeda dapat

mengintepretasikan dengan berbeda. Persepsi ancaman antar kelompok

merupakan pemersepsian terhadap stimulus yang berasal dari pengalaman

individu dalam berelasi dengan kelompok lain. Relasi atau hubungan antar

kelompok sendiri merupakan perilaku yang dilakukan oleh seseorang (atau

(13)

keanggotaan kekelompokan setiap orang (atau sekelompok) orang yang terlibat

(Tajfel & Turner, 1979). Dengan demikian, persepsi ancaman antar kelompok

merupakan sejauh apa individu anggota kelompok tertentu mengidentifikasikan

dan memahami atribut-atribut kelompok lain sebagai ancaman bagi diri dan

kelompok di mana individu berafiliasi.

Menurut Stephan, Ybarra, & Morrison (2009), individu-individu anggota

kelompok tertentu dapat mempersepsikan dua jenis ancaman yang dapat

diberikan oleh kelompok lain, yaitu ancaman yang bersifat simbolik dan ancaman

yang bersifat realistik. Ancaman simbolik merupakan ancaman yang

dipersepsikan oleh individu-individu suatu kelompok, bahwa kelompok lain

dapat merusak tatanan nilai-nilai (misal: nilai agama), cara hidup, norma, dan

ideologi yang dimiliki kelompoknya. Sedangkan ancaman realistik merupakan

ancaman yang dipersepsikan oleh individu-individu suatu kelompok, bahwa

kelompok lain dapat merugikan kesejahteraan kelompoknya (misal: Ancaman

terhadap kekuatan politik, ekonomi, dll.).

Menurut perspektif group identity lense (Turner & Reynolds, 2001;

Verkuyten, 2008), identitas kelompok (ingroup identity) membentuk cara

anggota-anggota kelompok dalam mempersepsikan lingkungan di sekitar mereka.

Sebagaimana telah dijelaskan, anggota yang memiliki kelekatan yang kuat

dengan agamanya merupakan individu-individu yang memiliki kecenderungan

untuk membela, mempromosikan, serta menjaga kelompoknya. Kecenderungan

ini membuat individu-individu anggota kelompok memiliki alertness atau

(14)

2013; Burhan, 2011; Mashuri et al., 2013). Mengaplikasikan rasionalisasi ini ke

dalam hubungan antar umat beragama, dapat dinalarkan bahwa

individu-individu suatu agama tertentu, yang memiliki identitas atau kelekatan terhadap

agama yang tinggi merupakan mereka yang akan sangat sensitiv dalam

mengidentifikasi dan mendefinisikan ancaman-ancaman dari kelompok agama

lain, terlepas dari apakah ancaman tersebut nyata atau tidak.

HIPOTESIS

Berdasarkan penelaahaan yang telah kami lakukan, kami berhipotesis

bahwa identitas atau kelekatan terhadap agama yang tinggi dapat mengarahkan

individu untuk memiliki orientasi akulturasi yang berpotensi menumbuhkan

hubungan antar kelompok yang problematikal, bahkan konfliktual. Dengan kata

lain, individu yang memiliki identitas keagamaan yang tinggi akan memiliki

kecenderungan untuk menolak multikulturalisme, dan sebaliknya, mendukung

orientasi akulturasi yang bersifat asimilasi, segregasi, dan ekslusi. Adapun

hubungan negatif antara identitas keagamaan dengan dukungan terhadap

multikulturalisme ini dapat terjadi karena individu-individu yang memiliki

identitas agama tinggi cenderung memandang kelompok-kelompok agama lain

sebagai ancaman terhadap nilai-nilai agama yang dianutnya. Singkatnya, kami

mengajukan dua hipotesis, yaitu identitas keagamaan yang tinggi akan

mengarahkan individu untuk memiliki persepsi ancaman antar kelompok agama

yang tinggi (Hipotesis 1), dan persepsi ancaman antar kelompok sebagaimana

(15)

tidak mendukung multikulturalisme, dan sebaliknya mendukung asimilasi,

separasi, dan ekslusi (Hipotesis 2).

METODE

PARTISIPAN

Untuk keperluan penelitian ini, kami mengambil data di kota Binjai dan

Tanjung Balai. Dua kota ini kami pilih berdasarkan pertimbangan bahwa dua

kota ini memiliki hostoris konflik bernuansa agama (lihat penjelasan di bagian

pendahuluan). Dari 500 kuesioner yang disebar (250 kuesioner per kota),

sebanyak 439 yang kembali (182 Binjai, 250 Tanjung Balai, 7 orang tidak

menjawab kota asal). Para partisipan terdiri atas 216 (49%) orang laki-laki, 184

(42%) orang perempuan, dan 39 orang tidak mengidentifikasikan jenis

kelaminnya (9%). Rata-rata umur para partisipan adalah 27.90 tahun (SD = 15.07),

yang penyebarannya digambarkan pada Tabel 1. Berdasarkan agama, mayoritas

memeluk agama Islam, disusul Protestan, Katolik, Hindu, Budha, dan

Konghuchu (lihat Tabel 2).

Tabel 1 Partisipan berdasarkan usia

Kategori usia Frekuensi %

Tidak menjawab 83 19

14 sampai 19 tahun 44 10

20 sampai 30 tahun 157 36

31 sampai 40 tahun 92 21

41 sampai 50 tahun 64 15

(16)

Tabel 2 Frekuensi partisipan berdasarkan agama

Agama Frekuensi %

Tidak menjawab 37 8

Islam 280 64

Protestan 62 14

Katolik 23 5

Hindu 18 4

Budha 16 4

Konghuchu 3 1

ALAT UKUR

Sikap multikulturalisme

Sikap multikulturalisme kami ukur dengan menggunakan lima aitem yang

kami adaptasi dari Arends-Tóth & van de Vijver (2003), agar sesuai dengan

konteks umat beragama, yang menjadi fokus di dalam penelitian ini. Skala ini

merupakan skala bipolar dengan sikap yang mendukung asimilasi, separasi, dan

ekslusi pada satu ujung skala dan sikap yang mendukung multikulturalisme

agama di ujung skala lainnya. Setiap aitem dibentuk dalam format skala tujuh

titik (1 = “Sangat tidak setuju” – 7 = “Sangat setuju”). Jadi, semakin tinggi respon

individu pada skala ini, semakin tinggi dukungannya terhadap

multikulturalisme. Skala kami ciptakan dengan mereratakan aitem-aitem. Rerata

aitem kemudian merepresentasi sebagai sikap multikulturalisme individu yang

merentang antara 1 sampai 7 (1 = Sangat tidak mendukung multikulturalisme, 4 =

Titik netral, dan 7 = Sangat mendukung multikulturalisme). Analisis reliabilitas

Cronbach’s alpha menunjukkan bahwa lima aitem ini konsisten untuk

merepresentasikan sikap multikulturalisme para partisipan (α = .76). Aitem-aitem

(17)

Identitas keagamaan

Kami mengukur identitas keagamaan para partisipan dengan

menggunakan alat ukur yang kami adaptasi dari penelitian-penelitian

sebelumnya (Verkuyten & Brug, 2004; Verkuyten & Thijs, 2002; Verkuyten, 2008;

Blank & Schmidt, 2003; Davidov, 2008; Dijksterhuis, Smith, van Baaren, &

Wigboldus, 2005; Skitka, 2005). ). Alat ukur ini terdiri atas lima aitem berbentuk

skala tujuh titik (1 = “Sangat tidak sesuai” – 7 = “Sangat sesuai”). Skala kami

ciptakan dengan mereratakan aitem-aitem. Rerata aitem kemudian

merepresentasi sebagai derajat kelekatan serta kebanggaan individu terhadap

agamanya (i.e., identifikasi terhadap agama) yang merentang antara 1 sampai 7 (1

= “Identitas keagamaan rendah”, 4 = “Titik netral”, dan 7 = “Identitas keagamaan

tinggi”). Dengan kata lain, semakin tinggi respon individu pada skala ini,

semakin tinggi identifikasi dirinya terhadap agamanya (i.e., identitas keagamaan).

Analisis reliabilitas Cronbach’s alpha menunjukkan bahwa lima aitem ini konsisten

untuk merepresentasikan derajat identifikasi terhadap agama para partisipan (α =

.72). Aitem-aitem pengukuran identitas keagamaan ini dapat dilihat pada

Lampiran.

Persepsi ancaman antar umat beragama

Persepsi ancaman antar umat beragama kami ukur dengan enam aitem

yang kami buat berdasarkan intergroup threat theory (Stephan, Ybarra, & Morrison,

2009; lihat juga Verkuyten, 2008). Alat ukur ini terdiri atas lima aitem berbentuk

(18)

merepresentasi derajat persepsi ancaman yang dirasakan individu terhadap

keberadaan agama lain, yang merentang antara 1 sampai 7 (1 = “Sangat tidak

mengancam”, 4 = “Titik netral”, dan 7 = “Sangat mengancam”). Dengan kata lain,

semakin tinggi respon individu pada skala ini, semakin tinggi persepsi ancaman

antar kelompok yang dipersepsikannya. Analisis reliabilitas Cronbach’s alpha

menunjukkan bahwa enam aitem ini konsisten untuk merepresentasikan persepsi

ancaman antar umat beragama yang dirasakan para partisipan (α = .81).

Aitem-aitem pengukuran persepsi ancaman antar kelompok agama ini dapat dilihat

pada Lampiran.

HASIL

STATISTIK DESKRIPTIF

Sikap multikulturalisme

Secara umum, para partisipan menunjukkan orientasi terhadap

multikulturalisme yang cukup rendah (M = 3.50, SD = 1.37). Untuk memastikan

kecenderungan sikap yang rendah ini, kami melakukan analisis one-sample t-test

membandingkan rata-rata respons para partisipan dengan titik netral. Hasil

one-sample t-test menunjukkan hasil yang signifikan, t(438) = 7.80, p = .001). Dengan

demikian, dapat dipastikan bahwa para partisipan secara umum memang

memiliki kecenderungan sikap multikulturalisme yang rendah dan cenderung

lebih mendukung orientasi akulturasi yang bersifat asimilatif, segregasi, atau

(19)

Meskipun demikian, komposisi partisipan di dalam penelitian ini terlalu

banyak didominasi oleh partisipan yang beragama Islam. Dengan demikian,

sikap multikulturalisme perlu diperiksa dalam ranah kategori partisipan yang

mayoritas (Islam) dibanding dengan partisipan yang minoritas (non-Islam:

Protestan, Katolik, Hindu, Budha, Konghuchu). Hasil independent t-test

menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan antara sikap multikulturalisme

partisipan yang beragama Islam (M = 3.55, SD = 1.28) dengan non-Islam (M =

3.35, SD = 1.51), t(199.76) = 1.27, p = .207. Dengan demikian, baik partisipan yang

beragama Islam maupun non-Islam sama-sama memiliki sikap multikulturalisme

yang rendah dan cenderung mendukung orientasi akulturasi yang bersifat

asimilatif, segregasi, atau ekslusi.

Begitu pula dengan perbandingan berdasarkan kota, sikap

multikulturalisme partisipan dari Binjai (M = 3.50, SD = 1.12) tidak berbeda secara

signifikan dengan partisipan dari Tanjung Balai (M = 3.47, SD = 1.29), t(360.61) =

0.20, p = .841). Dengan demikian, partisipan dari Binjai dan Tanjung Balai

sama-sama memiliki sikap multikulturalisme yang cenderung rendah.

Identitas keagamaan

Secara umum, para partisipan memiliki identitas keagamaan yang

cenderung tinggi (M = 5.62, SD = 1.05). One-sample t-test menunjukkan bahwa

rata-rata identitas keagamaan berbeda secara signifikan dengan titik netral, t(438)

= 32.35, p = .001. Dengan demikian, dapat dipastikan bahwa secara agregat, para

(20)

Persepsi ancaman antar umat beragama

Secara umum para partisipan mempersepsikan keberadaan umat agama,

selain yang setiap individu anut sebagai ancaman (M = 4.67, SD = 1.31).

One-sample t-test mengindikasikan bahwa rata-rata respon para partisipan secara

signifikan berada di atas titik netral, t(438) = 10.48, p = .001. Dengan demikian,

secara umum, dapat dipastikan bahwa para partisipan memandang keberadaan

kelompok agama lain sebagai ancaman bagi diri dan kelompok agamanya.

Perlu menjadi perhatian adalah komposisi partisipan penelitian ini yang

melibatkan lebih dari setengah beragama Islam. Bisa jadi, rerata persepsi

ancaman antar kelompok ini hanya berlaku pada partisipan beragama Islam.

Untuk itu, kami melakukan analisis tambahan dengan membedakan persepsi

ancaman yang dirasakan oleh umat Islam dibanding dengan umat non-Islam.

Analisis independent t-test menunjukkan bahwa partisipan yang beragama Islam

lebih merasa agama lain sebagai ancaman (M = 4.84, SD = 1.13) dibanding dengan

umat non-Islam (M = 4.14, SD = 1.65), t(172.47) = 4.27, p = .001. Ini menunjukkan

bahwa persepsi ancaman antar kelompok lebih kental dirasakan oleh partisipan

yang beragama Islam dibandingkan dengan yang non-Islam.

PERAN IDENTITAS KEAGAMAAN DAN PERSEPSI ANCAMAN

ANTAR KELOMPOK TERHADAP SIKAP

MULTIKULTURALISME

Kami berhipotesis bahwa sikap multikulturalisme yang rendah merupakan

dampak dari dinamika antara identitas keagamaan dan persepsi ancaman antar

(21)

memiliki kelekatan dan kebanggaan (i.e., identitas keagaaman) yang berlebihan

cenderung mempersepsikan kelompok-kelompok agama lain sebagai ancaman

(Hipotesis 1). Sebagai implikasi, persepsi ancaman antar kelompok agama ini

membuat individu untuk menolak multikulturalisme agama dan lebih

mendukung asimilasi, segregasi, dan ekslusi antar kelompok agama (Hipotesis 2).

Untuk mengujikan hipotesis ini, kami mulai dengan memeriksa korelasi antar

variabel-variabel penelitian (lihat Tabel 3).

Tabel 3 Korelasi antar variabel

Identitas keagamaan Persepsi ancaman antar umat agama

Sikap multikulturalisme -.33* -40*

Identitas keagamaan .43*

* p < .001

Analisis kami lanjutkan dengan dua tahap. Pada tahap pertama, kami

melakukan analisis regresi yang melibatkan Identitas keagamaan sebagai

prediktor tunggal Sikap keagamaan. Hasil pada analisis ini menunjukkan ekuasi

yang signifikan, F(1, 437) = 52.49, p = .001, R2 = .11, B = -.43, t = 7.25, p = .001. Hasil

ini menunjukkan bahwa semakin tinggi identitas keagamaan, semakin individu

tidak mendukung multikulturalisme dan lebih cenderung mendukung orientasi

akulturasi agama yang bersifat asimilasi, segregasi, dan ekslusi.

Pada tahap ke-dua, analisis kami lanjutkan dengan menggunakan

“Process”, sebuah SPSS Macro yang dikembangkan oleh Andrew F. Hayes (2013).

Secara spesifik, kami menggunakan Model 4 (lihat Hayes, 2013 untuk detail), di

mana Identitas keagamaan kami masukkan sebagai variabel bebas, Persepsi

(22)

luaran pada analisis ini. Pada luaran pertama, hasil menunjukkan ekuasi yang

signifikan pada hubungan antara identitas keagamaan dengan persepsi ancaman

antar kelompok, F(1, 437) = 103.88, R2 = .19, B = .55, t = 10.19, p = .001. Sesuai

dengan Hipotesis 1, identitas keagamaan yang berlebihan membuat individu

mempersepsikan kelompok agama lain sebagai ancaman. Pada luaran ke-dua,

hasil juga menghasilkan equasi yang signifikan, F(2, 436) = 49.96), R2 = .19, p =

.001. Secara spesifik, meskipun tetap berekuasi signifikan, efek identitas keagama-

an sebagaimana pada analisis tahap pertama menjadi berkurang (B = -.25, t = 3.96,

p .001). Mendukung Hipotesis 2, persepsi ancaman antar kelompok sebagai

dampak dari identitas keagamaan yang tinggi berimplikasi pada menurunnya

sikap terhadap multikulturalisme (B = -.33, t = 6.52, p = .001). Mengacu pada

Baron & Kenny (1986), hasil ini menunjukkan efek mediasi parsial persepsi

ancaman antar kelompok dalam asosiasi identitas keagamaan dengan sikap

multikulturalisme. Dinamika antara identitas keagamaan, persepsi ancaman antar

kelompok, dan sikap multikulturalisme dapat dilihat pada Gambar 1.

Identitas

Gambar 1 Dinamika antara identitas keagamaan dan persepsi ancaman antar kelompok dalam memprediksikan sikap multikulturalisme.

(23)

PEMBAHASAN

Di dalam penelitian ini, kami menelaah determinan toleransi antar umat

beragama yang melibatkan partisipan dari dua kota di Sumatera Utara yang

beberapa tahun belakangan terjadi konflik bernuansa agama, yaitu Binjai dan

Tanjung Balai. Secara spesifik, kami memeriksa sikap atau dukungan para

partisipan sebagai individu terhadap multikulturalisme agama di dalam

masyarakat. Statistik deskriptif penelitian ini menunjukkan bahwa para

partisipan masih memiliki sikap multikulturalisme yang cukup rendah (di bawah

mid-point skala). Sejalan dengan sikap multikulturalisme yang rendah, para

partisipan menunjukkan identitas keagamaan dan persepsi ancaman antar

kelompok agama yang tinggi. Sesuai dengan analisis mediasional yang telah kami

paparkan, rendahnya sikap multikulturalisme para partisipan merupakan

dampak dari identitas keagamaan dan persepsi ancaman antar kelompok yang

tinggi. Secara spesifik, identitas keagamaan yang berlebihan membuat individu

memiliki sensitivitas untuk mempersepsikan keberadaan kelompok agama lain

sebagai ancaman terhadap diri dan kelompok agama yang dianut oleh individu

tersebut. Persepsi ancaman antar kelompok sebagai dampak dari identitas

keagamaan yang berlebihan ini kemudian menentukan sikap atau dukungan

individu terhadap multikulturalisme agama. Dalam hal ini, sikap

multikulturalisme yang rendah.

Dr. Ichsan Malik, seorang tokoh perdamaian nasional yang mencetus

(24)

rumput dan pohon yang sudah kering, dengan cepat sekali membakar, meluas,

terlebih-lebih apabila ada angin panas yang kencang, maka kebakaran menjadi tidak terperikan

dasyatnya” (Malik, 2009). Terdapat tiga faktor penting dalam analogi ini, yaitu: (1)

Rumput kering, (2) angin, (3) dan api. Sebagaimana dijelaskan oleh Malik,

‘rumput kering’ merupakan analogi dari sumber konflik, yaitu hal-hal yang

menjadi dasar terjadinya konflik. Api merupakan krisis-krisis yang dapat menjadi

pemicu konflik. Sedangkan angin merupakan hal-hal yang mendorong konflik

menjadi semakin membesar atau meluas. Sumber konflik tentunya tidaklah

tunggal dan salah satu yang penting diperhatikan adalah sumber yang berasal

dari dinamika psikologis individu-individu anggota masyarakat dalam

menjalankan hubungan atau relasi antar kelompok (i.e., hubungan sosial

psikologis: Malik, 2003), yang merupakan fokus dari penelitian ini. Secara

spesifik, kelekatan, kebanggaan, dan komitmen terhadap kelompok (i.e., identitas

keagamaan) para partisipan sangatlah tinggi sehingga membuat mereka

mempersepsikan kelompok agama lain sebagai ancaman. Ini merupakan indikasi

bahwa secara psikologis, individu-individu pada kelompok-kelompok agama di

kota Binjai dan Tanjung Balai sudah memiliki potensi untuk berkonflik. Dengan

kata lain, secara psikologis individu-individu anggota kelompok-kelompok

agama di Binjai dan Tanjung Balai sedang mengalami apa yang disebut dengan

‘rumput kering’. Sebagaimana analogi yang diungkapkan oleh Ichsan Malik,

rumput yang kering ini hanya membutuhkan percikan api yang kecil saja untuk

membangkitkan konflik. Perlu diperhatikan di sini, aksi menuntut penurunan

(25)

terjadi pada masa pemilihan Bupati setempat. Aksi protes dan perusakan gereja

di Binjai, sebagaimana kami paparkan di awal laporan ini, juga terjadi dalam

masa peralihan atau akhir rezim pemerintahan kabupaten yang sedang berkuasa

saat itu. Merujuk pada Ichsan Malik, isu-isu politik dapat menjadi contoh kontrit

dari analogi ‘api’ yang diungkapkannya (Malik, 2009). Secara spekulatif, bukan

tidak mungkin isu-isu politik tersebut merupakan ‘pemantik api’ pada ‘rumput

kering’ yang dirasakan oleh masyarakat setiap kota tersebut.

Hasil penelitian ini cukup menjadi alarm bagi hubungan antar kelompok

agama di kota Binjai dan Tanjung Balai. Sesuai dengan Bourhis et al (1997),

orientasi akulturasi merupakan determinan krusial dalam hubungan antar

kelompok. Ini berarti bahwa orientasi akulturasi yang tidak kongruen antara

kelompok-kelompok agama dapat menyebabkan hubungan antar kelompok yang

problematikal, bahkan konfliktual. Sebagaimana ditunjukkan penelitian ini, baik

individu yang menganut agama mayoritas (Islam), maupun

individu-individu penganut agama minoritas (agama selain Islam) menunjukkan sikap

multikulturalisme yang rendah. Artinya, para individu kelompok-kelompok

agama yang berbeda tersebut sama-sama lebih cenderung memilih orientasi

akulturasi yang berpotensi mengarahkan hubungan antar kelompok agama yang

problematikal dan/atau konfliktual, yaitu asimiliasi, separasi, atau ekslusi.

Rendahnya dukungan terhadap multikulturalisme ini tentunya tidak sesuai

dengan falsafah bangsa Indonesia, “Bhinneka Tunggal Ika”, yang kental dengan

makna multikulturalisme, yaitu ‘Berbeda-beda tapi satu jua”. Jadi, kondisi

(26)

rentan konflik antar umat beragama, akan tetapi merujuk pula pada ancaman

terhadap identitas dan ideologi bangsa Indonesia. Dengan demikian,

upaya-upaya ‘menghijaukan’ kembali ‘rumput kering’ pada masyarakat di dua kota ini

perlu diupayakan dengan serius.

REFERENSI

Amri, A. B. (2010). Buddha, Bua Syafii protes penurunan patung. Vivanews.

diakses pada 6 November 2013, dari

http://nasional.news.viva.co.id/news/read/185139-syafii-maarif-protes-penurunan-patung-buddha

Arends-Tóth, J., & Vijver, F. J. R. Van De. (2003). Multiculturalism and

acculturation: views of Dutch and Turkish-Dutch. European Journal of Social

Psychology, 33(2), 249–266. doi:10.1002/ejsp.143

Badan Pusat Statistik. (2010). Penduduk menurut wilayan dan agama yang dianut

Provinsi Sumatera Utara. Badan Pusat Statistik. diakses pada 6 November

2013, dari

http://sp2010.bps.go.id/index.php/site/tabel?tid=321&wid=1200000000

Bangun, S. (2010). Penurunan patung Budha tunggu ahli. Waspada Online. diakses

pada 6 November 2013, dari

http://www.waspada.co.id/index.php?option=com_content&view=article&

(27)

Baron, R. M., & Kenny, D. A. (1986). The moderator-mediator variable distinction

in social psychological research: conceptual, strategic, and statistical

considerations. (E. Inc, Ed.)Journal of Personality and Social Psychology, 51(6),

1173–1182.

Berry, J. W. (2005). Acculturation: Living successfully in two cultures. International

Journal of Intercultural Relations, 29(6), 697–712.

doi:10.1016/j.ijintrel.2005.07.013

Blank, T., & Schmidt, P. (2003). National Identity in a United Germany:

Nationalism or Patriotism? An Empirical Test With Representative Data.

Political Psychology, 24(2), 289–312. doi:10.1111/0162-895X.00329

Bourhis, R. Y., Moïse, L. C., Perreault, S., & Senécal, S. (1997). Towards an

interactive acculturation model: A social psychological approach.

International Journal of Psychology, 32(6), 369–386.

Branscombe, N., Ellemers, N., Spears, R., & Doosje, B. (1999). The context and

content of social identity threat. In N. Ellemers, R. Spears, & B. Doosje (Eds.),

Social identity,: Context, commitment, content (pp. 35–58). Oxford: Blackwell.

Burhan, O. K. (2011). The role of perceived threat and nationalism on ethnic majority’s

preference to help immigrant. Tesis. VU University Amsterdam.

Burhan, O. K., & Sani, J. (2013). Prasangka terhadap etnis Tionghoa di kota

Medan: Peran identitas nasional dan persepsi ancaman. Psikologia, 8(1), 25–32.

Centre for Humanitarian Dialogue. (2011). Pengelolaan konflik di Indonesia - Sebuah

(28)

2013, dari

http://www.hdcentre.org/uploads/tx_news/64BahasaIndonesiaversion.pdf

Davidov, E. (2008). Measurement Equivalence of Nationalism and Constructive

Patriotism in the ISSP: 34 Countries in a Comparative Perspective. Political

Analysis, 17(1), 64–82. doi:10.1093/pan/mpn014

Desastian. (2011). Lima mesjid dibakar di Medan, FUI Sumatera UTara datangi

Komnas HAM. VOA-Islam. Diakses pada 6 November 2013, dari

http://www.voa-islam.com/news/indonesiana/2011/04/13/14108/

Dijksterhuis, A., Smith, P. K., van Baaren, R. B., & Wigboldus, D. H. J. (2005). The

Unconscious Consumer: Effects of Environment on Consumer Behavior.

Journal of Consumer Psychology, 15(3), 193–202.

doi:10.1207/s15327663jcp1503_3

Efendi, F. (2008). Warga Tolak Pembangunan Gereja. Liputan6.com. Diakses pada 6

November 2013, dari

http://news.liputan6.com/read/158665/warga-tolak-pembangunan-gereja

Ellemers, N., Kortekaas, P., & Ouwerkerk, J. W. (1999). Self-categorisation ,

commitment to the group and group self-esteem as related but distinct

aspects of social identity. European Journal of Social Psychology, 29, 371–389.

Handayani, L. S., & Muhammad, D. (2011). Pemakaman jamaah Ahmadiyah

korban insiden warga Cikeusik diperketat. Republika Online. Diakses pada 4

November 2013, dari

http://www.republika.co.id/berita/breaking-

(29)

Hogg, M. A., & Abrams, D. (1988). Social identifications: A social psychology of

intergroup relations and group processes. London: Routledge.

KontraS. (2011). Negara tak kunjung terusik. Retrieved from

http://www.kontras.org/pers/teks/laporan cikeusik.pdf

Malau, I. L. F. (2011). Insiden Temanggung, PGI imbau umat tenang. Vivanews.

Diakses pada 4 November 2013, dari

nasional.news.viva.co.id/news/read/203549-insiden-temanggung--pgi-imbau-umat-tenang

Malik, I. (2003). Akar-akar konflik antar kelompok di Indonesia. Institut Titian

Perdamaian. Diakses pada 4 November 2013, dari

http://www.titiandamai.or.id/konten.php?nama=Sumber&op=detail_sumb

er&id=9

Malik, I. (2009). Analisis dan Perspektif Resolusi Konflik. Institut Titian

Perdamaian. Diakses pada 4 November 2013, dari

http://www.titiandamai.or.id/konten.php?nama=Sumber&op=detail_sumb

er&id=10

Mashuri, A., Burhan, O. K., & van Leeuwen, E. (2013). The impact of

multiculturalism on immigrant helping. Asian Journal of Social Psychology,

n/a–n/a. doi:10.1111/ajsp.12009

Morrison, K. R., Plaut, V. C., & Ybarra, O. (2010). Predicting whether

multiculturalism positively or negatively influences White Americans’

intergroup attitudes: the role of ethnic identification. Personality & social

(30)

Sam, D. L., & Berry, J. W. (2010). Acculturation: When Individuals and Groups of

Different Cultural Backgrounds Meet. Perspectives on Psychological Science,

5(4), 472–481. doi:10.1177/1745691610373075

Schachter, S. (2011). Psychology. Worth Publisher.

Simatupang, S. (2010). Polisi disesalkan lamban menindak pelaku pembakaran

gereja Padang Lawas. Tempo.co. Diakses pada 6 November 2013, dari

http://www.tempo.co/read/news/2010/01/23/058220954/Polisi-Disesalkan-Lamban-Menindak-Pelaku-Pembakaran-Gereja-Padang-Lawas

Siswanto. (2011). Di Temanggung, Antonius juga lecehkan Katolik. Vivanews.

Diakses pada 4 November 2013, dari

http://nasional.news.viva.co.id/news/read/203558-antonius-dan-perusakan-gereja-di-temanggung

Skitka, L. J. (2005). Patriotism or Nationalism? Understanding Post-September

11,2001, Flag-Display Behavior’. Journal of Applied Social Psychology, 35(10),

1995–2011.

Stephan, W. G., Ybarra, O., & Morrison, K. R. (2009). Intergroup threat theory. In

T. Nelson (Ed.), Handbook of prejudice (pp. 309–332). Mahwah, NJ: Lawrence

Erlbaum Associates.

Tajfel, H. (1978). Social categorization, social identity and social comparison. In H.

Tajfel (Ed.), Differentiation between social groups: Studies in the social psychology

of intergroup relations (pp. 61–76). London: Academic Press.

Tajfel, H. (1982). Social psychology of intergroup relations. Annual Review of

(31)

Tajfel, H., & Turner, J. C. (1979). An integrative theory of intergroup conflict. In

W. G. Austin & S. Worchel (Eds.), The social psychology of intergroup relations

(pp. 33–47). Brooks-Cole. Retrieved from

http://dtserv2.compsy.uni-jena.de/ss2009/sozpsy_uj/86956663/content.nsf/Pages/58BD3B477ED06679

C125759B003B9C0F/$FILE/Tajfel Turner 1979.pdf

Tajfel, H., & Turner, J. C. (1986). The social identity theory of intergroup behavior.

In S. W. Worchel & W. G. Austin (Eds.), Psychology of intergroup relations (2nd

ed., pp. 7–24). Chicago: Nelson-Hall.

Tesser. (1988). Toward a self-evaluation maintenance model of social behavior.

Advances in Experimental Social Psychology, 121, 181.

The Jakarta Post. (2012). Poso struggles for religious peace. Jakarta Post. Diakses

pada 4 November 2013, dari

http://www.thejakartapost.com/news/2012/11/14/poso-struggles-religious-peace.html

Tjiptono, D. (2010). Rencana penurunan patung Budha di Tanjung Balai dikecam

di Twitter. detikNews. Diakses pada 6 November 2013, dari

http://news.detik.com/read/2010/10/21/135617/1471247/10/rencana-penurunan-patung-buddha-di-tanjung-balai-dikecam-di-twitter

Turner, J. C., & Oakes, P. (1986). The significant of the social identity concept for

social psychology with the reference to individualism interactionisme and

(32)

Turner, J. C., & Reynolds, J. J. (2001). The social identity perspective in intergroup

relations: Theories Thems, anc controversies. In Handbook of Social Psychology:

Intergroup Processes (pp. 133–152). Cambridge: Blackwell.

Verkuyten, M. (2006). Multicultural recognition and ethnic minority rights: A

social identity perspective. European Review of Social Psychology, 17(1), 148–

184. doi:10.1080/10463280600937418

Verkuyten, M. (2008). Support for Multiculturalism and Minority Rights: The Role

of National Identification and Out-group Threat. Social Justice Research, 22(1),

31–52. doi:10.1007/s11211-008-0087-7

Verkuyten, M., & Brug, P. (2004). Multiculturalism and group status: The role of

ethnic identification, group essentialism and protestant ethic. European Journal

of Social Psychology, 34(6), 647–661. doi:10.1002/ejsp.222

Verkuyten, M., & Thijs, J. (2002). Multiculturalism among minority and majority

adolescents in the Netherlands. International Journal of Intercultural Relations,

26(1), 91–108. doi:10.1016/S0147-1767(01)00039-6

Verkuyten, M., & Yildiz, A. A. (2006). The Endorsement of Minority Rights : The

Role of Group Position , National Context , and, 27(4), 527–548.

Wardah, F. (2013). Setahun insiden Cikeusik, warga Ahmadiyah belum bisa

pulang. Voice of America. Retrieved November 04, 2013, from

(33)

LAMPIRAN

Skala sikap multikulturalisme

1. Yang terbaik bagi kota ini adalah jika semua orang dapat segera mengabaikan latar belakang agama masing-masing

2. Persatuan masyarakat kota ini dilemahkan oleh keberadaan berbagai kelompok agama yang berbeda.

3. Jika orang-orang penganut agama tertentu ingin menjalankan ibadah, mereka seharusnya melakukan itu pada lingkungan mereka sendiri saja, tidak secara terbuka pada ruang publik.

4. Masyarakat yang terdiri atas berbagai kelompok agama yang berbeda lebih rentan terhadap masalah persatuan nasional dibandingkan dengan masyarakat yang memiliki satu atau dua kelompok agama saja.

5. Orang-orang yang beragama minoritas seharusnya dapat menyesuaikan perilaku mereka agar sesuai dengan agama yang mayoritas di kota ini.

Catatan: Dalam menganalisis, semua aitem dikodifikasi terbalik (reversed scored) terlebih dahulu, kemudian direratakan untuk menciptakan skala dengan nilai minimum 1 (Sangat mendukung asimilasi, segregasi, atau eklusi) sampai nilai maksimum 7 (Sangat mendukung multikulturalisme).

Skala identitas keagamaan

1. Secara umum, saya bangga ketika memikirkan diri saya sebagai bagian dari umat agama yang saya anut.

2. Dunia akan menjadi lebih baik jika saja semua orang seagama dengan agama yang saya anut.

3. Agama yang saya anut lebih baik daripada agama lainnya.

4. Sejarah yang telah dilalui oleh agama yang saya anut membuat saya merasa bangga.

5. Moral dari agama yang saya anut seharusnya menjadi standar moral dan contoh bagi agama-agama lainnya.

Skala persepsi ancaman antar kelompok

1. Saya khawatir jika para pemeluk agama lain terus saja diberikan terlalu banyak kebebasan, mereka akan menguasai kota ini.

2. Saya takut jika keberadaan orang-orang yang tidak seiman dengan saya dapat mengkontaminasi iman keluarga, saudara-saudara, dan orang-orang terdekat. 3. Saya khawatir jika para pemimpin, khususnya pucuk pimpinan kota ini dipegang

oleh orang yang tidak seiman dengan saya.

4. Sebaiknya, tampuk kepemimpinan kota ini dipegang oleh orang yang seiman dengan saya.

5. Saya khawatir dengan semakin berkembangnya norma, nilai-nilai, dan moral agama-agama selain yang saya anut.

Gambar

Tabel 1 Partisipan berdasarkan usia
Tabel 2 Frekuensi partisipan berdasarkan agama
Tabel 3 Korelasi antar variabel
Gambar 1 Dinamika antara identitas keagamaan dan persepsi ancaman antar kelompok dalam memprediksikan sikap multikulturalisme

Referensi

Dokumen terkait

Dengan otonomi rumah sakit yang mengarah pada desen- tralisasi pengambilan keputusan keuangan, maka dapat disimpulkan bahwa aplikasi ekonomi manajerial dalam sektor rumah

KPIs pengukuran kinerja yang ditinjau dari perspektif pembelajaran dan pertumbuhan untuk mengukur kinerja yang harus dibangun dengan tujuan menciptakan pertumbuhan

Hal tersebut sependapat dengan apa yang diteliti oleh Adam (2012) Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara variabel kualitas

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui spesies tumbuhan paku yang berada di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, Jawa Barat yang dilakukan pada tanggal 3 -

SIJARI EMAS atau Sistem informasi jejaring rujukan maternal dan neonatal adalah sebuah sistem informasi terpadu yang dirancang khusus oleh Pengelola program EMAS

Tujuan penelitian ini adalah untuk menguji pengaruh pemberian berbagai jenis madu, yaitu madu kelengkeng, madu leci dan madu randu dengan rasio pengenceran berbeda setelah

Setelah diberikan posttest, dari hasil uji

Hasil penelitian ini mengungkapkan empat temuan yaitu: 1) Pelaksanaan APE di RA Nurul Amal sudah berjalan dengan baik dan bertujuan untuk mengembangkan kreativitas anak