• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Paradigma Konstruktivisme - Konstruksi Pemahaman Wartawan Terhadap UU KIP (Studi Dengan Pendekatan Konstruktivisme Terhadap Wartawan Aliansi Jurnalis Independen Cabang Medan Dalam Memahami Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Paradigma Konstruktivisme - Konstruksi Pemahaman Wartawan Terhadap UU KIP (Studi Dengan Pendekatan Konstruktivisme Terhadap Wartawan Aliansi Jurnalis Independen Cabang Medan Dalam Memahami Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1"

Copied!
29
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Paradigma Konstruktivisme

Paradigma adalah salah satu cara pandang untuk memahami kompleksitas dunia nyata. Paradigma tertanam kuat dalam sosialisasi para penganut dan praktisinya. Paradigma menunjukkan pada mereka apa yang penting, absah dan masuk akal. Paradigma juga bersifat normatif, menunjukkan kepada praktisinya apa yang harus dilakukan tanpa perlu melakukan pertimbangan eksistensial atau epistemologis yang panjang (Mulyana, 2003:9).

Paradigma yang dipakai dalam penelitian ini adalah paradigma

konstruktivisme. Paradigma konstruktivisme adalah paradigma yang hampir merupakan antitesis dari paham yang meletakkan pengamatan dan objektivitas dalam

menemukan suatu realitas dalam ilmu pengetahuan. Paradigma ini memandang ilmu sosial sebagai analisis sistematis terhadap socially meaningful action melalui pengamatan secara langsung dan terperinci terhadap pelaku sosial yang bersangkutan menciptakan dan memelihara atau mengelola dunia sosial mereka (Hidayat, 2003:3).

(2)

Giambatissta Vico, seorang epistimolog dari Italia, ia adalah cikal bakal

konstruktivisme (Suparno, 1997:24).

Kritik kaum konstruktivisme terhadap positivisme yang meyakini pengetahuan harus merupakan representasi (gambaran atau ungkapan) dari kenyataan dunia yang terlepas dari pengamat (objektivisme). Konstruktivisme menolak keyakinan tersebut karena pengetahuan bukanlah gambaran dunia keyataan yang ada. Menurut mereka pengetahuan justru selalu merupakan akibat dari suatu konstruksi kognitif. Selanjutnya, mereka menjelaskan bahwa subjek pengamat tidaklah kosong dan tanpa terlibat dalam tindak pengamatan. Kemudian keberadaan realitas tidak hadir begitu saja pada benak subjek pengamat. Menurut mereka, realitas ada karena pada diri manusia terdapat skema, kategori, konsep, dan struktur pengetahuan yang berkaitan dengan objek yang diamati (Ardianto & Q Anees, 2007:154).

Menurut Driver dan Bell dalam Bettencourt (1989), ilmu pengetahuan bukanlah hanya kumpulan hukum atau daftar fakta. Ilmu pengetahuan adalah ciptaan

pikiran manusia dengan semua gagasan dan konsepnya yang ditemukan secara bebas. Untuk menemukan kenyataan yang sebenarnya, tidak cukup dengan hanya

mengamati objek yang ada. Ada dunia yang berbeda yakni dunia kenyataan dan dunia pengertian. Maka dari itu, untuk menjembatani keduanya diperlukan proses konstruksi imajinatif.

(3)

(justifikasi). Ketiga, kemampuan untuk lebih menyukai pengalaman yang satu dari yang lain.

Pieget (1970) telah membedakan dua aspek berfikir dalam pembentukan pengetahuan, yakni aspek figuratif dan aspek operatif. Aspek figuratif a dalah imajinasi keadaan sesaat dan statis. Aspek operatif lebih berkaitan dengan transformasi dari satu level ke level lain. Dengan kata lain, aspek yang lebih esensial dari berfikir adalah aspek operatif. Berfikir seperti inilah yang memungkinkan seseorang untuk mengembangkan pengetahuan dari satu level tertentu ke level yang lebih tinggi (Ardianto & Q Anees, 2007:154-155).

Secara ringkas gagasan konstruktivisme mengenai pengetahuan dapat dirangkum sebagai berikut :

a. Pengetahuan bukanlah merupakan gambaran dunia kenyataan belaka, tetapi

selalu merupakan konstruksi kenyataan melalui kegiatan subjek.

b. Subjek membentuk skema kognitif, kategori, konsep, dan struktur yang perlu

untuk pengetahuan.

c. Pengetahuan dibentuk dalam struktur konsepsi seseorang. Struktur konsepsi membentuk pengetahuan bila konsepsi itu berlaku dalam berhadapan berhadapan dengan pengalaman-pengalaman seseorang (Ardianto & Q Anees, 2007:155).

(4)

Dalam pandangan konstruktivisme, bahasa tidak hanya dilihat sebagai alat

untuk memahami realitas objektif belaka dan dipisahkan dari subjek sebagai penyampai pesan. Konstruktivisme menganggap subjek sebagai faktor sentral dalam kegiatan komunikasi serta hubungan-hubungan sosialnya. Subjek memiliki kemampuan untuk melakukan kontrol terhadap maksud-maksud tertentu dalam setiap wacana. Komunikasi dipahami, diatur dan dihidupkan oleh pernyataan-pernyataan yang bertujuan. Setiap pernyataan pada dasarnya adalah tindakan penciptaan makna, yakni tindakan pembentukan diri serta pengungkapan jati diri sang pembicara. Oleh karena itu analisis dapat dilakukan demi membongkar maksud dan makna-makna tertentu dari komunikasi (Ardianto & Q Anees, 2007:151).

Konstruktivisme berpendapat bahwa semesta secara epistimologi merupakan hasil konstruksi sosial. Pengetahuan manusia adalah konstruksi yang dibangun dari proses kognitif dengan interaksinya dengan dunia objek material. Pengalaman manusia terdiri dari interpretasi bermakna terhadap kenyataan dan bukan reproduksi kenyataan. Dengan demikian dunia muncul dalam pengalaman manusia secara terorganisasi dan bermakna. Maka dari itu, konstruktivisme percaya bahwa tidak ada

pengetahuan yang koheren, sepenuhnya transparan dan independen dari subjek yang mengamati (Ardianto & Q Anees, 2007:151-152).

(5)

termediasi oleh teori, kerangka konseptual atau bahasa yang disepakati secara sosial

(Ardianto & Q Anees, 2007:152).

Bahasa merupakan hasil kesepakatan sosial serta memiliki sifat yang tidak permanen sehingga terbuka dan mengalami proses evolusi. Berbagai versi tentang objek-objek dan tentang dunia muncul dari berbagai komunitas sebagai respons terhadap tertentu, sebagai upaya mengatasi masalah tertentu dan cara memuaskan kebutuhan dan kepentingan tertentu. Masalah kebenaran dalam konstruktivis bukan lagi permasalahan fondasi atau representasi, melainkan kesepakatan pada komunitas tertentu (Ardianto & Q Anees, 2007:153).

2.1.1 Konstruktivisme Dalam Ilmu Komunikasi

Dalam ilmu komunikasi, konstruktivisme adalah pendekatan teoritis yang dikembangkan tahun 1970-an oleh Jesse Delia dan rekan-rekannya. Relevansi

penggunaan teori ini pada waktu tersebut untuk meneliti komunikasi antarpersonal yang dikembangkan para akademisi secara sistematik dengan membuat peta

terminologi secara teoritik dan hubungan-hubungannya dengan mengelaborasi sejumlah asumsi serta uji coba teori dalam ruang lingkup situasi produksi pesan. Robyn Penmann merangkum kaitan konstruktivisme dalam hubungannya dengan ilmu komunikasi :

a. Tindakan komunikatif sifatnya sukarela. Pembuat komunikasi adalah subjek yang memiliki pilihan bebas, walaupun lingkungan sosial membatasi apa yang dapat dan telah dilakukan.

b. Pengetahuan adalah sebuah produk sosial. Pengetahuan bukan sesuatu yang objektif melainkan diturunkan melalui interaksi dalam kelompok sosial. Pengetahuan itu dapat ditemukan dalam bahasa, melalui bahasa itulah konstruksi realitas tercipta.

(6)

d. Teori-teori menciptakan dunia. Teori bukanlah alat, melainkan suatu cara

pandang yang ikut memengaruhi cara pandang kita terhadap realitas. Jadi, dunia dapat dikatakan sebagai hasil pemahaman manusia atas kenyataan diluar dirinya.

e. Pengetahuan bersifat sarat nilai (Ardianto & Q Anees, 2007:157-158).

Teori konstruktivisme menyatakan bahwa individu menginterpretasikan dan bereaksi menurut kategori konseptual dari pikiran. Realitas tidak menggambarkan diri individu namun harus disaring melalui cara pandang orang terhadap realitas tersebut. George Keely menegaskan cara pemahaman pribadi seseorang dilakukan dengan pengelompokan peristiwa menurut persamaan dan perbedaannya. Perbedaan tersebut menjadi dasar penilaian sistem kognitif individual yang bersifat pribadi dan karenanya berbeda dengan konstruksi sosial. Aliran ini meyakini bahwa sistem kognitif individu berkembang kompleks (Ardianto & Q Anees, 2007:158-159).

2.2 Konstruksi Realitas Sosial

Menurut Suparno, konstruksi sosial berawal dari filsafat konstruktivisme yang dimulai dari gagasan-gagasan konstruktif kognitif. Sedangkan istilah konstruksi sosial atas realitas menjadi terkenal sejak diperkenalkan oleh Peter L. Berger dan Thomas Lukcmann melalui bukunya yang berjudul “The Social Constructions of Reality, a Treatise in the Sosiological of Knowladge” (Bungin, 2008:188).

(7)

subjektif dari perilaku sosial membuat individu mengarahkan dan memperhitungkan

kelakuan orang lain dan mengarahkan kepada subjektif itu. Perilaku itu memiliki kepastian kalau menunjukkan keseragaman dengan perilaku pada umumnya dalam masyarakat (Veeger, 1993:171).

Secara definitif, teori konstruksionisme sosial (constructionism social) menurut Denis McQuail adalah ide mengenai masyarakat sebagai sebuah realitas objektif yang menekan individu dilawan dengan pandangan alternatif (yang lebih liberal) bahwa struktur, kekuatan dan ide mengenai masyarakat dibentuk oleh manusia secara terus menerus dibentuk dan diproduksi ulang dan juga terbuka untuk diubah dan kritik. Selanjutnya, ia menjelaskan bahwa ada penekanan secara umum terhadap kemungkinan untuk tindakan dan juga pilihan dalam memahami realitas. Realitas sosial harus dibuat dan diberikan makna (ditafsirkan) oleh aktor manusia (McQuail, 2011:110).

Pada kenyataannya, realitas sosial tidak berdiri sendiri tanpa kehadiran

individu baik didalam maupun diluar realitas tersebut. Realitas sosial itu memiliki makna ketika realitas sosial dikonstruksi dan dimaknakan secara subjektif oleh

individu lain sehingga memantapkan realitas itu secara objektif. Individu mengkonstruksi realitas sosial dan merekonstruksinya dalam dunia realitas, memantapkan realitas itu berdasarkan subjektifitas individu lain dalam institusi sosialnya (Bungin, 2008:82).

2.2.1 Karakteristik Realitas Sosial

(8)

sosial merupakan cara berperilaku baik yang tetap maupun yang tidak tetap atau

setiap cara bertingkah laku yang umum di dalam masyarakat, yang pada saat waktu bersamaan tidak bergantung pada manifes individual (Bungin, 2008:83).

Sztompka (2004) juga membagikan realitas sosial kedalam dua bagian, yakni realitas potensial dan realitas aktual. Realitas potensial adalah realitas yang secara potensial dapat diungkapkan oleh peneliti melalui pengamatan yang mendalam dan kajian yang panjang. Sedangkan realitas aktual adalah realitas yang dapat langsung diamati melalui pengindraan (Bungin, 2008:83).

Menurut Berger dan Lukcmann, realitas sosial ada tiga macam, yakni realitas objektif, realitas simbolis dan realitas intersubjektif. Realitas objektif adalah realitas yang terbentuk dari pengalaman di dunia objektif yang berada di luar individu dan realitas ini dianggap sebagai kenyataan. Realitas simbolis merupakan ekspresi simbolis dari realitas objektif dalam berbagai bentuk. Sedangkan realitas subjektif adalah realitas yang terbentuk sebagai proses penyerapan kembali realitas objektif

dan simbolis ke dalam individu melalui proses internalisasi (Subiakto, 1997:93).

2.2.2 Realitas Sosial Bentukan Konstruksi Sosial

(9)

yaitu pandangan hidupnya yang menyeluruh, yang memberi legitimasi dan mengatur

bentuk-bentuk sosial serta memberi makna pada berbagai bidang kehidupannya. Pendek kata, Berger dan Luckmann mengatakan terjadi dialektika antara individu menciptakan masyarakat dan masyarakat menciptakan individu (Bungin, 2008:191).

Menurut Berger dan Luckmann proses dialektika yang terjadi dalam masyarakat seperti yang sudah penulis jelaskan di atas berlangsung dalam tiga momen simultan. Pertama, eksternalisasi (penyesuaian diri) dengan dunia sosiokultural sebagai produk manusia. Kedua, objektivasi yaitu interaksi sosial yang terjadi dalam dunia intersubjektif yang dilembagakan atau mengalami proses institusionalisasi. Ketiga, internalisasi yaitu proses yang mana individu mengidentifikasikan dirinya dengan lembaga-lembaga sosial tempat individu menjadi anggotanya (Bungin, 2008:193).

Eksternalisasi adalah bagian penting dalam kehidupan individu dan menjadi bagian dari dunia sosiokulturalnya. Dengan kata lain, eksternalisasi terjadi pada tahap

yang sangat mendasar, dalam satu pola interaksi antara individu dengan produk-produk sosial masyarakatnya. Maksud dari proses ini adalah ketika sebuah produk-produk

sosial telah menjadi bagian penting dalam kehidupan seseorang untuk melihat dunia luar. Menurut Berger dan Lukcmann yang perlu ditekankan bahwa eksternalisasi itu sebuah keharusan antropologis yang berakar dalam perlengkapan biologis manusia. Keberadaan manusia tak mungkin berlangsung dalam suatu lingkungan interioritas yang tertutup dan tanpa gerak. Manusia harus terus-menerus mengeksternalisasikan dirinya dalam aktivitas. Dengan demikian, tahap eksternalisasi ini berlangsung ketika produk sosial tercipta di dalam masyarakat, kemudian individu mengeksternalisasikan (penyesuaian diri) ke dalam dunia sosiokulturalnya sebagai bagian dari produk manusia (Bungin, 2008:194).

(10)

memanifestasikan diri dalam produk-produk kegiatan manusia yang tersedia, baik

bagi produsen-produsennya, maupun bagi orang lain sebagai unsur dari dunia bersama. Objektivasi ini bertahan lama sampai melampaui batas tatap muka di mana mereka dapat dipahami secara langsung (Bungin, 2008:194).

Dengan demikian, individu melakukan objektivasi terhadap produk sosial, baik penciptanya maupun individu lain. Kondisi ini berlangsung tanpa mereka saling bertemu. Artinya, objektivasi itu bisa terjadi melalui penyebaran opini sebuah produk sosial yang berkembang di masyarakat melalui diskursus opini masyarakat tentang produk sosial, dan tanpa harus terjadi tatap muka antar individu dan pencipta produk sosial itu (Bungin, 2008:195).

Menurut Berger dan Lukcmann (dalam Bungin, 2008:195), hal terpenting dalam objektivasi, yakni pembuatan tanda-tanda oleh manusia. Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa sebuah tanda (sign) dapat dibedakan dari objektivasi-objektivasi lainnya keran tujuannya yang eksplisit untuk digunakan sebagai isyarat atau indeks

bagi pemaknaan subjektif, maka objektivasi juga dapat digunakan sebagai tanda meskipun semula tidak dibuat untuk maksud itu.

Selanjutnya ia menjelaskan bahwa sebuah wilayah penandaan (signifikasi) menjembatani wilayah-wilayah kenyataan, dapat didefinisikan sebagai sebuah simbol dan modus linguistik, dengan apa trensendensi seperti itu dicapai, dapat juga

dinamakan bahasa simbol. Kemudian pada tingkat simbolisme, signifikasi linguistik terlepas secara maksimal dari “di sini dan sekarang” dalam kehidupan sehari-hari. oleh karena itu, bahasa memegang peranan penting dalam objektivasi terhadap tanda-tanda dan bahkan tidak saja dapat memasuki wilayah de facto, melainkan juga a priori yang berdasarkan kenyataan lain, tidak dapat dimasuki dalam pengalaman sehari-hari.

(11)

menjadi objektivasi linguistik, yaitu pemberian tanda verbal maupun simbolisasi yang

kompleks (Bungin, 2008:196).

Internalisasi dalam arti umum merupakan dasar bagi pemahaman mengenai “sesama saya” yaitu pemahaman individu dan orang lain serta pemahaman mengenai dunia sebagai sesuatu yang maknawi dari kenyataan sosial. Pemahaman ini bukanlah hasil dari penciptaan makna secara otonom oleh individu-individu yang terisolasi, melainkan dimulai dengan individu yang “mengambil alih” dunia di mana sudah ada orang lain. Pada proses tersebut, individu dapat memodifikasi dunia dan bahkan dapat menciptakan kembali dunia kreatif. Dalam konteks seperti ini, Berger dan Luckmann mengatakan, bagaimanapun juga dalam bentuk internalisasi yang kompleks, individu tidak hanya “memahami” proses subjektif orang lain yang berlangsung sesaat. Individu juga “memahami” dunia di mana ia hidup dan dunia itu menjadi dunia individu bagi dirinya. Ini menandai bahwa individu dan orang mengalami kebersamaan dalam waktu, dengan cara yang lebih dari sekadar sepintas lalu, dan juga suatu perspektif komprehensif yang mempertautkan urutan situasi secara intersubjektif. Sekarang masing-masing dari mereka tidak hanya memahami definisi

pihak lain tentang kenyataan sosial yang dialaminya bersama, namun mereka juga mendefinisikan kenyataan-keyataan itu secara timbal balik (Bungin, 2008:197-198).

Individu menurut Berger dan Luckmann (dalam Bungin, 2008:198) dikatakan, mengalami dua proses sosialisasi, yakni sosialisasi primer dan sosialisasi sekunder. Sosialisasi primer merupakan proses, di mana individu terlibat dengan dunia sosial lebih dari sekadar belajar secara kognitif semata-mata. Sosialisasi sekunder adalah proses memperoleh pengetahuan khusus sesuai dengan perannya (role specific knowladge), di mana peran-peran secara langsung atau tidak langsung berakar dalam pembagian kerja (Bungin, 2008:198).

(12)

kompleksitas linguistik yang lebih tinggi bagi pemahamannya dibandingkan dengan

legitimasi lainnya. Sosialisasi primer akan berakhir apabila konsep tentang orang lain pada umumnya dan segala sesuatu yang menyertainya, telah terbentuk dan tertanam dalam kesadaran individu. Pada titik ini ia sudah menjadi anggota efektif masyarakat, dan secara subjektif memiliki suatu “diri” dan sebuah dunia (Bungin, 2008:199).

Dalam sosialisasi sekunder, telah terjadi internalisasi “subdunia” kelembagaan atau yang berlandaskan lembaga. Karena itu, wilayah jangkauan dan sifatnya ditentukan oleh kompleksitas pembagian kerja dan distribusi pengetahuan dalam masyarakat yang menyertainya. Dengan demikian, “subdunia” yang dijelaskan di atas adalah yang diinternalisasi dalam sosialisasi sekunder dan pada umumnya merupakan kenyataan-kenyataan parsial, di mana kenyataan itu berbeda dengan “dunia dasar” yang diperoleh dalam sosialisasi primer. Walaupun demikian “subdunia” itu merupakan kenyataan yang sedikit banyak kohesif, bercirikan komponen normatif, dan efektif maupun yang kognitif (Bungin, 2008:200).

Proses internalisasi juga melibatkan identifikasi subjektif dengan peran dan norma-normanya yang sesuai. Sifat sosialisasi sekunder, seperti bergantung kepada

status prangkat pengetahuan yang bersangkutan di dalam universum simbolis secara keseluruhan. Bagunan sosialisasi sekunder selalu dibangun di atas dunia yang sudah terbentuk dan suatu dunia yang sudah diinternalisasi. Dalam kenyataannya, internalisasi memiliki konsistensi antara internalisasi pertama dengan yang baru. Dengan kata lain, sosialisasi memiliki konsistensi yang bergantung pada masalahnya (Bungin, 2008:200-201).

Dalam hal bagaimana individu belajar dalam sosialisasi sekunder, maka keterbatasan biologis semakin kurang penting bagi tahap-tahap belajar, yang sekarang ditentukan menurut sifat-sifat intrinsik dari pengetahuan yang hendak dicapai, menuntut struktur landasan pengetahuan itu (Bungin, 2008:200-201).

(13)

memelihara hubungan realitas subjektif dan realitas objektif. Sosialisasi yang tidak

sempurna itu berakibat terbentuknya konstruksi sosial baru di masyarakat. Inilah proses eksternalisasi yang dimaksud oleh Berger dan Luckmann. Di mana realitas sosial bisa saja menciptakan suatu realitas pencitraan kelas tertentu bagi kelompok -kelompok sosial dibawahnya melalui pemaknaan dalam interaksi simbolis maupun proses totemisme (Bungin, 2008:201-202).

2.3 Wartawan

Dalam Rinawani (2002:45), istilah wartawan dahulunya dikenal sebagai “kuli tinta atau kuli pena”. Istilah itu berubah dalam satu dekade belakangan ini, yakni “kuli disket”. Perubahan julukan bagi wartawan tersebut didasari dengan pemanfaatan perkembangan teknologi dalam tugasnya. Jika dulunya wartawan menulis berita dengan tinta atau pena, hal itu berubah setelah penerapan teknologi komputerisasi. Namun, meskipun istilah-istilah tersebut berubah, tugas dari wartawan tetap sama, yakni memberikan informasi yang benar bagi masyarakat.

Pada prinsipnya wartawan adalah orang yang secara teratur melaksanakan kegiatan jurnalistik. Ini berarti wartawan tidak identik dengan orang yang memiliki kartu pers. Walaupun seseorang memiliki seribu kartu pers, tetapi jika dia tidak melakukan kegiatan jurnalistik, dia bukanlah wartawan (Sukardi, 2012:92). Definisi ini pun sejalan dengan Undang-undang Republik Indonesia No. 40 Tahun 1999

Tentang Pers seperti yang termaktub dalam pasal 1 ayat 4, menyatakan wartawan adalah orang yang secara teratur melaksanakan kegiatan jurnalistik.

(14)

Dalam Anggaran Rumah Tangga Aliansi Jurnalis Independen (AJI) BAB I

pasal 2 tentang pengertian jurnalis/wartawan adalah orang yang melakukan semua pekerjaan sah yang berhubungan dengan kegiatan jurnalistik seperti pengumpulan, pengolahan dan penyiaran berita opini, ulasan, gambar/ilustrasi, karikatur dan sebagainya dalam bidang komunikasi. Menurut Sukardi (2012:93), meskipun pada prinsipnya semua orang berhak menjadi wartawan, tidaklah berarti pula semua orang otomatis dapat melakukan profesi wartawan. Maka dari itu, profesi warta wan adalah profesi yang honorable (terhormat), mengabdi kepada kepentingan umum dan tunduk kepada hukum dibidang profesinya. Pertama, untuk menjalankan profesi wartawan yang honorable (terhormat) seseorang secara teoritis harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :

a. Mencapai standar kompetensi yang sangat tinggi dibidangnya b. Menyangkut kepentingan publik

c. Mengandung trust atau kepercayaan tinggi dalam relasi pekerja d. Tingkat independensinya tinggi

e. Penghasilan berdasarkan kinerja

f. Memiliki kode etik

(15)

2.3.1 Standar Kompetensi Wartawan

Peraturan Dewan Pers (dalam Sukardi, 2012:94), tentang standar kompetensi wartawan yang telah dirumuskan bahwa yang dimaksud dengan standar kompetensi wartawan (SKW) adalah rumusan kemampuan kerja yang mencakup aspek pengetahuan, keteranpilan/keahlian dan sikap kerja yang relevan dengan pelaksanaan tugas kewartawanan. Standar kompetensi wartawan mengikuti piramida sebagai berikut ini :

Gambar : 1

Model dan Kategori Kompetensi

Sumber : Sukardi, 2012 : 95

Kesadaran atau awarenes

Dalam melaksanakan pekerjannya wartawan dituntut menyadari norma-norma etika dan ketentuan hukum. Garis besar kompetensi kesadaran wartawan yang diperlukan bagi peningkatan kinerja dan profesionalisme wartawan adalah kesadaran etika dan hukum, kepekaan jurnalistik, jejaring dan lobi.

Pengetahuan atau knowledge

Kesadaran Etika dan Hukum

Kepekaan Jurnalistik, jejaring dan lobi

Pengetahuan

Peliputan umum, teori dan prinsip jurnalistik Pengetahuan khusus

Keterampilan

(16)

Wartawan dituntut untuk memiliki teori dan prinsip jurnalistik, pengetahuan

umum, serta pengetahuan khsusu. Wartawan juga perlu mengetahui berbagai perkembangan informasi mutakhir dibidangnya termasuk pengetahuan umum, pengetahuan khusus dan pengetahuan teori dan prinsip jurnalistik.

Keterampilan atau skill

Wartawan mutlak harus menguasai keterampilan jurnalistik. Selain itu, wartawan juga harus mampu melakukan riset, investigasi, analisis dan penentuan arah pemberitaan serta keterampilan, menggunakan alat kerjanya termasuk teknologi informasi (Sukardi, 2012:97-98).

Jenjang kompetensi wartawan terdiri dari tiga tingkatan, yakni wartawan muda, wartawan madya dan wartawan utama. Diantara tingkatan kompetensi tersebut, ketiganya dituntut memiliki kompetensi masing-masing, yakni wartawan

muda harus melakukan kegiatan (tugas jurnalisitk), wartawan madya mengelola kegiatan dan wartawan utama mengevaluasi dan memodifikasi proses kegiatan.

Dalam standar kompetensi wartawan di atas, terdapat elemen kompetensi di dalamnya. Yang dimaksud dengan elemen kompetensi adalah bagian kecil unit kompetensi yang mengidentifikasikan aktivitas yang harus dikerjakan untuk mencapai unit kompetensi tersebut. Dalam setiap elemen kompetensi setiap unit harus mencerminkan unsur 6M. Adapun elemen kompetensi wartawan terdiri atas :

a. Kompetensi umum, yakni kompetensi dasar yang dibutuhkan oleh semua orang yang bekerja sebagai wartawan.

b. Kompetensi inti, yakni kompetensi yang dibutuhkan wartawan dalam melaksanakan tugas-tugas umum jurnalistik.

c. Kompetensi khusus, yakni kompetensi yang dibutuhkan wartawan dalam melaksanakan tugas-tugas khusus jurnalistik (Sukardi, 2012:96-97).

(17)

wartawan untuk mencapai kinerja yang dipersyaratkan dalam pelaksanaan tugas unit

kompetensi tertentu. Kompetensi kunci terdiri atas sebelas kategori kemampuan, yakni :

a. Memahami dan menaati etika jurnalistik

b. Mengidentifikasi masalah terkait yang memiliki nilai berita c. Membangun dan memelihara jejaring dan lobi

d. Menguasai bahasa

e. Mengumpulkan dan menganalisis informasi (fakta dan data) dan informasi bahan berita

f. Menyajikan berita g. Menyunting berita

h. Merancang rubrik atau halaman pemberitaan dan atau slot program pemberitaan

i. Manajemen redaksi

j. Menentukan kebijakan dan arah pemberitaan

k. Menggunakan peralatan teknologi pemberitaan (Sukardi, 2012:98).

Konsekuensi diberlakukannya standar kompetensi wartawan bagi wartawan adalah, bagi narasumber berhak melakukan penolakan ketika wartawan yang melakukan wawancara tidak memiliki kompetensi. Selain itu untuk jabatan pemimpin redaksi dan penanggung jawab hanya dapat dipegang oleh wartawan yang memiliki jenjang kompetensi wartawan utama (Sukardi, 2012:99).

2.4 Jurnalistik dan Berita

(18)

yang dikenal dengan “acta diurna”. Dari acta diurna itulah para budak belian memperoleh berita-berita tentang segala sesuatu yang terjadi di negerinya. Dari sebutan acta diurna itu pula para budak belian yang mencari berita dijuluki Diurnarius (tunggal) atau Diurnarii (jamak). Bisa dikatakan istilah inilah yang menjadi sebutan jurnalis kontemporer.

Menurut Mondry (2008), kata jurnalistik berasal dari kata latin, yakni diurnalis (latin), journal (Inggris), atau du jour (Prancis) yang berarti informasi atau peristiwa yang terjadi sehari-hari. Bersamaan dengan munculnya istilah press (Inggris) atau pers (Belanda) yang sebenarnya berarti menekan (pressing) karena mesin cetak menekan kertas untuk memunculkan tulisan. Akibatnya, terdapat dua istilah yang kini muncul di masyarakat dan sering diartikan sama, yakni jurnalis (journalist) merupakan orang pers yang tugasnya mencari informasi guna menjadi bahan berita.

Adinegoro (dalam Amar, 1984) menegaskan, jurnalistik adalah semacam

kepandaian mengarang yang pokoknya memberi perkabaran pada masyarakat dengan selekas-lekasnya agar tersiar seluas-luasnya. Menurut Onong Uchjana Effendy

(2003), bahwa secara sederhana jurnalistik dapat didefinisikan sebagai teknik mengelola berita mulai dari mendapatkan bahan sampai pada menyebarluaskan kepada masyarakat. Sedangkan menurut Sumadira (2005), secara teknis jurnalistik adalah kegiatan menyiapkan, mencari, mengumpulkan, mengelola, menyajikan dan menyebarluaskan berita melalui media berkala kepada khalayak seluas-luasnya dengan secepat-cepatnya.

(19)

buruk dan mengangkat aspirasi yang luput dari telinga orang banyak. Semua itu

terjadi berdasarkan informasi yang sama. Informasi itu disampaikan jurnalisme kepada masyarakat. Maka dari itu jurnalisme memiliki tugas :

1. Menyampaikan kebenaran

2. Memiliki loyalitas kepada masyarakat

3. Memiliki disiplin untuk melakukan verifikasi 4. Memiliki kemandirian terhadap apa yang diliputnya 5. Memiliki kemandirian untuk memantau kekuasaan 6. Menjadi forum bagi kritik dan kesepakatan publik

7. Menyampaikan sesuatu secara menarik dan relevan kepada publik 8. Membuat berita secara komprehensif dan proporsional

9. Memberi keleluasaan wartawan untuk mengikuti nurani mereka (Santana, 2005).

Pada dasarnya tugas utama dari seorang jurnalistik adalah membuat berita

yang akan disiarkan oleh media tempatnya bekerja.

2.4.1 Berita

Dalam Suhandang (2010), istilah “berita” berasal dari “news” (Inggris) atau new (baru), dengan konotasi kepada hal-hal yang baru. Dalam hal ini segala hal yang baru merupakan bahan informasi bagi semua orang yang memerlukannya. Dengan kata lain, semua hal yang baru merupakan bahan informasi yang dapat disampaikan kepada orang lain dalam bentuk berita (news).

(20)

Secara epistemologi, pengertian berita menurut Sumadira (2005) adalah

laporan tercepat mengenai fakta atau ide baru yang benar, menarik, dan atau penting bagi sebagian besar khalayak, melalui media berkala seperti surat kabar, radio, televisi, film dan bahkan juga sekarang ini internet. Dalam definisi jurnalistik, berita adalah laporan fakta atau ide yang termasa, yang dipilih oleh staf redaksi suatu harian untuk disiarkan, yang dapat menarik pembaca, entah karena diluar biasa, entah karena penting atau akibatnya, entah pula karena dia mencakup mencakup segi-segi human intrest (Assegaf, 1984). Sedangkan menurut M. Lyle Spancer berita merupakan kenyataan atau ide yang benar dan dapat menarik perhatian sebagiam besar pembaca. Sedangkan definis berita menurut Mondry adalah informasi atau laporan yang menarik perhatian masyarakat konsumen, berdasarkan fakta, berupa kejadian dan ide yang disusun sedemikian rupa dan disebarkan media massa dalam waktu secepatnya (Mondry, 2008:132).

Dalam sebuah berita, ada istilah nilai berita (news velue). Nilai berita menurut Downie JR dan Kaiser (dalam Santana, 2005) merupakan istilah yang tidak mudah didefinisikan. Ketinggian nilainya tidak mudah untuk dikonkretkan. Nilai berita juga

menjadi tambah rumit bila dikaitkan dengan sulitnya membuat konsep apa yang disebut berita. Namun, dibalik sulitnya mendefinisikan nilai berita tersebut, ada

beberapa elemen nilai berita yang mendasari pelaporan kisah berita, yakni immediacy, proximity, consequence, conflict, oddity, sex, emotion, prominence, suspence dan progress.

a. Immediacy (kesegeraan)

Immediacy sering diistilahkan dengan timelines. Artinya, terkait dengan kesegaran peristiwa yang dilaporkan. Sebuah cerita dinyatakan laporan dari apa yang baru saja terjadi. Unsur waktu sangat penting disini. b. Proximity (kedekatan)

(21)

berbagai peristiwa yang terjadi didekatnya, disekitar kehidupan

sehari-harinya.

c. Consequance (konsekuensi)

Berita yang mengubah kehidupan pembaca adalah berita yang mengandung nilai konsekuensi. Misalnya, berita kenaikan gaji pegawai atau kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM), masyarakat akan segera mengikutinya karena terkait dengan konsekuensi kalkulasi ekonomi sehari-hari yang harus mereka hadapi.

d. Conflict (konflik)

Peristiwa-peristiwa perang, demonstrasi atau kriminal merupakan contoh elemen konflik didalam pemberitaan. Perseteruan antar individu, antar tim atau antar kelompok hingga berita antar negara merupakan elemen-elemen natural dari berita-berita yang mengandung konflik.

e. Oddity (kejanggalan)

Pristiwa yang tidak biasa terjadi adalah sesuatu yang diperhatikan

segera oleh masyarakat. Kelahiran bayi kembar lima, goyangan gempa berskala richter tinggi, pencalonan tukang sapu sebagai kandidat calon

gubernur merupakan hal-hal yang akan menjadi perhatian masyarakat. f. Sex (seks)

Kerap kali sex menjadi suatu elemen utama dari sebuah pemberitaan. Tapi sex sering pula menjadi elemen tambahan dari pemberitaan tertentu, seperti pada berita sports, selebriti atau kriminal.

g. Prominance (terkemuka)

Elemen ini adalah unsur yang menjadi istilah “names make news” atau nama membuat berita. Ketika seseorang menjadi terkenal maka ia akan selalu diburu oleh pembuat berita. Unsur keterkenalan ini tidak hanya dibatasi atau hanya ditujukan kepada status VIP semata. Beberapa tempat, pendapat dan peristiwa termasuk kedalam elemen ini.

(22)

Elemen ini menunjukkan sesuatu yang ditunggu-tunggu terhadap

peristiwa oleh masyarakat. Misalnya, adanya ketegangan menunggu pecahnya perang (invasi) AS ke Irak. Namun, elemen ketegangan ini tidak terkait dengan paparan kisah berita yang berujung pada klimaks kemisterian. Kisah berita yang menyampaikan fakta-fakta tetap merupakan hal yang penting. Oleh karena itu kejelasan fakta dituntut oleh masyarakat.

i. Progress (perkembangan)

Elemen ini merupakan elemen “perkembangan” peristiwa yang ditunggu masyarakat. Misalnya, kesudahan invasi militer AS ke Irak yang ditunggu oleh masyarakat (Santana, 2005).

Penulisan berita tidaklah sama dengan menulis makalah, laporan pertanggungjawaban atau hasil rapat. Dalam jurnalistik, ikhwal penulisan berita ini punya tempat yang khusus, dalam arti, dibahas secara khusus melalui karakteristik dan batasan-batasan yang mesti dipenuhinya. Jurnalistik kemudian membakukan beberapa kategori pemberitaan, yakni hard news, feture, sports, social, interpretive, science, consumer dan financial (Santana, 2005).

a. Hard News

Kisah berita ini merupakan desain utama dari sebuah pemberitaan. Isinya menyangkut hal-hal penting yang langsung terkait dengan kehidupan pembaca, pendengar atau pemirsa. Kisah-kisahnya biasanya adalah hal-hal yang dianggap penting, dan karena itu segera dilaporkan oleh media dari semenjak peristiwa itu terjadi.

b. Feature News

(23)

Berita-berita olahraga bisa masuk ke kategori hard news atau feture.

Selain dari hasil-hasil pertandingan atau perlombaan atau rangkaian kompetisi musiman, pemberitaan juga meliputi berbagai bidang lain yang terkait sports, seperti tokoh-tokoh olahragawan, kehidupan pemain olahraga sampai kepada penggemarnya.

d. Social News

Kisah-kisah kehidupan sosial seperti sports bisa masuk ke dalam pemberitaan hard atau feature news. Namun, pada umumnya social news meliputi pemberitaan yang terkait dengan kehidupan masyarakat sehari-hari mulai dari soal keluarga hingga perkawinan anak-anak.

e. Interpretive

Pada kisah berita interpretive ini wartawan berupaya untuk memberi kedalaman analisis dan melakukan survei terhadap bebagai hal yang terkait

dengan peristiwa yang hendak dilaporkan. f. Science

Dalam kisah berita ini para wartawan berupaya untuk menjelaskan kemajuan dan perkembangan teknologi.

g. Consumer

Para penulis a consumer story ialah para pembantu khalayak yang hendak membeli barang-barang kebutuhan sehari-hari baik yang bersifat kebutuhan primer dan sekunder.

h. Financial

Para penulis berita financial memfokuskan perhatiannya pada bidang-bidang bisnis, komersial atau investasi. Pada umumnya, penulis berita ini mempunyai referensi akademis atau kepakaran terhadap subjek-subjek yang dibahasnya (Santana, 2005).

Selain elemen nilai berita, terdapat pula beberapa macam jenis berita yang dibagi berdasarkan tiga hal, yakni :

(24)

Berita yang dapat diduga

Berita yang tidak dapat diduga 2. Berdasarkan jarak geografis

Berita lokal Berita regional Berita nasional Berita internasional 3. Berdasarkan persoalan

Berita politik Berita ekonomi

Berita hukum dan peradilan Berita kriminal

Berita kecelakaan

Berita seni dan budaya Berita olahraga

Berita ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) Berita perang

Berita lainnya (Santana, 2005).

2.5 Undang-undang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP).

Desakan untuk melahirkan payung hukum Keterbukaan Memperoleh Informasi Publik (KMIP) bukan tanpa dasar. TAP MPR XVII/MPR/1998, Undang-Undang Hak Asasi Manusia, dan sejumlah konvensi internasional sudah mengakomodir hak atas informasi. Koalisi akhirnya mengajukan usul Rancangan Undang-Undang KMIP ke DPR. Rancangan itu kemudian diterima sebagai usul inisiatif DPR. Melalui pembahasan yang panjang selama beberapa tahun, termasuk perubahan judul, Pemerintah dan DPR setuju untuk mengesahkan RUU Keterbukaan Informasi Publik (KIP) menjadi Undang. Akhirnya 30 April 2008, Undang-Undang No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP)

(25)

setelah pengundangan, yakni tanggal 30 April 2010. Selain itu, diskursus perlunya

jaminan hukum bagi keterbukaan informasi terus bergulir baik di tingkatan masyarakat, birokrasi, hingga legislator. Bahkan di beberapa daerah, meskipun UU KIP belum disahkan karena pembahasan yang sangat lama, telah terbit aturan hukum tentang transparansi atau keterbukaan informasi, baik dalam bentuk Peraturan Daerah atau Peraturan Kepala Daerah (Subagiyo dkk, 2009:iii).

Bagi masyarakat, UU KIP merupakan bentuk pengakuan hak masyarakat atas informasi dan bagaimana hak tersebut harus dipenuhi dan dilindungi oleh negara. Sedangkan bagi pemerintah maupun badan publik lainnya, UU KIP merupakan pedoman hukum untuk memenuhi dan melindungi hak atas informasi masyarakat. Pedoman hukum tersebut untuk menghindari terjadinya pelanggaran hak masyarakat atas informasi sekaligus jaminan agar keterbukaan tidak merugikan kepentingan setiap orang dan kepentingan negara yang dilindungi oleh hukum (Subagiyo dkk, 2009:iii).

Dengan kata lain, dalam pendekatan akuntabilitas publik, kebebasan informasi merupakan kewajiban dinas atau badan publik untuk menyebarluaskan produk

kebijakan, aturan, rencana dan hasil kedinasan serta kelembagaannya kepada masyarakat luas. Maka dari itu, hak dari masyarakat luaslah untuk mengetahui produk kedinasan tersebut sebagai pengetahuan untuk mengikuti penyelenggaraan negara yang transparan dan yang berpola umpan balik (koalisi untuk kebebasan informasi, tanpa tahun:vii).

(26)

Praktisnya, sebagai sarana hukum, UU KIP mengatur hak setiap warga negara

untuk mengakses informasi. Dalam merespon permintaan informasi, UU KIP mewajibkan setiap pejabat publik untuk menyediakan informasi secara proaktif. UU KIP juga menjabarkan kewajiban pejabat publik untuk menyediakan dan memberikan informasi yang diminta dengan cepat dan dengan harga yang wajar; kategori informasi dengan perkecualian; dan kewajiban pejabat publik untuk mengatur dan menyimpan informasi (Karanicolas dalam Erdianto dkk, 2012:12-13).

2.5.1 Pokok-pokok Pikiran UU KIP

Sebagai undang-undang yang tidak hanya sekedar mengatur hak atas informasi melainkan juga mengatur tentang hak akses terhadap informasi tersebut, UU KIP mengandung beberapa pokok pikiran sebagai berikut ini :

a. Setiap badan publik wajib menjamin keterbukaan informasi publik.

Pada saat reformasi, diskursus tentang pentingnya praktek-praktek penyelenggaraan pemerintahan yang baik (good governance) semakin mengemuka dan memunculkan wacana publik tentang pentingnya jaminan hukum yang komprehensif bagi hak atas informasi. Jaminan hukum tersebut diharapkan dapat mempertegas kewajiban badan publik dalam pemenuhan hak atas informasi sebagai implikasi dari jaminan pengakuan hak masyarakat terhadap informasi.

b. Setiap informasi publik bersifat terbuka dan dapat diakses oleh publik.

Konsep negara demokrasi memandang bahwa penyelenggaraan pemerintahan merupakan amanat rakyat. Oleh karena itu, segala informasi yang dihasilkan dan mengenai penyelenggaraan pemerintah tersebut merupakan milik rakyat sebagai pemberi mandat. Dengan demikian sudah selayaknya jika informasi tentang kegiatan yang didanai dengan dana publik menjadi informasi milik publik pula.

(27)

Meskipun pada dasarnya informasi publik bersifat terbuka dan dapat

diakses, namun dalam praktek tidak semua informasi dapat dibuka. Ada informasi tertentu yang apabila dibuka dapat menimbulkan kerugian atau bahaya bagi kepentingan publik maupun kepentingan yang sah dilindungi oleh Undang-Undang. Namun, pada prinsipnya pengecualian informasi publik tersebut haruslah untuk melindungi kepentingan publik itu sendiri. Pengecualian informasi bersifat ketat mengindikasikan bahwa UU KIP menghendaki adanya dasar keputusan yang objektif dalam melakukan pembatasan melalui pengecualian informasi. Sifat ketat juga menghendaki pengecualian informasi harus dilakukan secara teliti dan cermat. Sedangkan pengecualian informasi bersifat tidak mutlak/permanen artinya bahwa tidak ada pengecualian informasi berlaku selama-lamanya.

d. Setiap informasi publik harus dapat diperoleh dengan cepat, tepat waktu,

biaya ringan dan cara sederhana.

Badan publik harus menjamin akses setiap orang terhadap informasi

publik sedemikian rupa secara cepat, tepat waktu, biaya ringan, dan dengan cara sederhana. Selain itu, asas ini juga dijadikan dasar bagi pengembangan

aturan tentang mekanisme memperoleh informasi. e. Informasi publik bersifat proaktif

Prinsip bahwa informasi bersifat proaktif menunjukkan bahwa badan publiklah yang seharusnya secara proaktif menyampaikan informasi, khususnya mengenai informasi dasar yang dibutuhkan oleh masyarakat pada umumnya. UU KIP mengatur tentang informasi aktif dimana informasi publik tertentu harus disampaikan kepada publik tanpa menunggu adanya permintaan.

f. Informasi publik harus bersifat utuh, akurat dan dapat dipercaya.

Melekat dalam hak atas informasi tentunya adalah informasi yang utuh, akurat dan dapat dipercaya (reliable).

(28)

UU KIP membagi penyelesaian sengketa dalam tingkat badan publik

melalui pengajuan keberatan, di tingkat komisi informasi melalui mediasi dan ajudikasi, serta di tingkat pengadilan melalui pengadilan negeri dan pengadilan tata usaha negara. Mahkamah Agung tetap dipilih oleh perumus UU KIP sebagai lembaga terakhir bagi seluruh penyelesaian sengekta informasi tersebut.

h. Ancaman pidana bagi penghambat informasi.

Sanksi pidana merupakan salah satu perangkat untuk menimbulkan efek jera (deterrent effect) bagi pelanggar ketentuan UU KIP. Namun demikian penggunaan sanksi pidana harus dilakukan secara selektif mengingat efektifitas suatu aturan tidak dapat hanya mengandalkan pendekatan ancaman pidana semata yang berimplikasi pada pengurangan kemerdekaan seseorang. Selain itu, UU KIP juga mengatur tentang ancaman

pidana bagi penyalahgunaan informasi dan pembocoran informasi rahasia (Subagiyo dkk, 2009:13-18).

2.5.2 Struktur UU KIP

Pokok-pokok pikiran di atas termuat dalam 12 bab dan 64 pasal yang tersusun dalam struktur sebagai berikut ini :

BAB I Ketentuan umum Pasal 1

BAB II Asas dan tujuan Pasal 2 – 3

BAB III Hak dan kewajiban pemohon dan pengguna Pasal 4 – 8

informasi publik serta hak dan kewajiban

badan publik

BAB IV Informasi yang wajib disediakan dan Pasal 9 – 16

(29)

BAB V Informasi yang dikecualikan Pasal 17 – 20

BAB VI Mekanisme memperoleh informasi Pasal 21 – 22

BAB VII Komisi informasi Pasal 23 – 34

BAB VIII Keberatan dan penyelesaian sengketa Pasal 35 – 39

melalui komisi informasi

BAB IX Hukum acara komisi Pasal 40 – 46

BAB X Gugatan ke pengadilan dan kasasi Pasal 47 – 50

BAB XI Ketentuan pidana Pasal 51 - 57

BAB XII Ketentuan lain-lain Pasal 58

BAB XIII Ketentuan peralihan Pasal 59 - 62

BAB XIV Ketentuan penutup Pasal 63 – 64

Gambar

Gambar : 1

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil pengujian dan permbahasan dapat disimpulkan bahwa komposisi struktur modal yang optimum selalu diikuti dengan perubahan EBIT yang akan terjadi pada

Berdasarkan analisis data penelitian yang telah dijelaskan di atas, dapat ditarik beberapa temuan sebagai berikut: (1) terdapat determinasi disiplin belajar terhadap

dengan penambahan ekstrak buah naga merah (Hylocereus polyrhizus) sebagai pewarna alami Pemeriksaan jamur Aspergillus sp pada penelitian ini menggunakan ekstrak

 Belum tersedia kebijakan dan strategi nasional dalam penyelenggaraan PKP yang terpadu dengan perencanaan pembangunan nasional dan kebijakan lintas sektor2.  Lemahnya

Tentang praktik percaloan jual beli sepeda motor bekas di kota Martapura, di dalam sekripsi yang ditulis oleh Iskandar Zulkamain adalah dimana para pecalo

Dari hasil observasi dan wawancara yang di lakukan terhadap nelayan di Kecamatan Pesisir Tengah menunjukkan bahwa nelayan banyak yang sudah bekerja keras dengan

Maksud dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan kajian lama waktu fermentasi terhadap aktivitas anti-bakteri dan antioksidan black garlic sehingga dapat

Dengan demikian, hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi tingkat pengetahuan ibu tentang kontrasepsi suntik maka ibu semakin patuh untuk