• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perdagangan atau Jual Beli Al Bai

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Perdagangan atau Jual Beli Al Bai"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Manusia adalah makhluk sosial, yakni tidak dapat hidup sendiri dan selalu membutuhkan orang lain dalam memenuhi segala kebutuhan hidupnya. Terutama dalam hal muamalah, seperti jual beli, baik dalam urusan diri sendiri maupun untuk kemaslahatan umum. Namun sering kali dalam kehidupan sehari-hari banyak kita temui kecurangan-kecurangan dalam urusan muamalah ini dan merugikan masyarakat. Untuk menjawab segala problema tersebut, agama memberikan peraturan dan pengajaran yang sebaik-baiknya kepada kita yang telah diatur sedemikian rupa dan termaktub dalam Al-Qur’an dan hadits, dan tentunya untuk kita pelajari dengan sebaik-baiknya pula agar hubungan antar manusia berjalan dengan lancar dan teratur.

Jual beli adalah kegiatan tukar menukar barang dengan cara tertentu yang setiap hari pasti dilakukan namun kadang kala kita tidak mengetahui apakah caranya sudah memenuhi syara’ ataukah belum. Kita perlu mengetahui bagaimana cara berjual beli menurut syariat. Oleh karena itu, dalam makalah ini, kami bahas mengenai jual beli, karena sangat kental dengan kehidupan masyarakat. Disini pula akan kita bahas jual beli mudharabah, salam, istishna’ dan juga akan membahas mengeniai khiyar.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana pengertian dan dasar hukum jual beli? 2. Apa macam- macam jual beli yang di perbolehkan?

C. Tujuan

1. Mahasiswa dapat mengetahui dasar dan hukum jual beli 2. Mahasiswa dapat mengetahui jual beli yang diperbolehkan

(2)

BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian Jual-Beli

Jual beli Adalah proses pemindahan hak milik/barang atau harta kepada pihak lain dengan menggunakan uang sebagai alat tukarnya.

Menurut etimologi, jual beli adalah pertukaran sesuatu dengan sesuatu (yang lain). Kata lain dari jual beli adalah ba’i, asy-syira’, al-mubadah, dan at-tijarah. Menurut terminologi, para ulama berbeda pendapat dalam mendefinisikannya, antara lain :

a . Menurut ulama Hanafiyah : J u a l b e l i a d a l a h ” p e r t u k a r a n h a r t a ( b e n d a ) d e n g a n h a r t a berdasarkan cara khusus (yang dibolehkan).”

b . Menurut Imam Nawawi dalam Al-Majmu’ : Jual beli adalah “ pertukaran harta dengan harta untuk kepemilikan.”

c . Menurut Ibnu Qudamah dalam kitab Al-mugni : Jual beli adalah “ pertukaran harta dengan harta, untuk saling menjadikan milik.” Pengertian lainnya jual beli ialah persetujuan saling mengikat antara penjual ( yakni pihak yang menyerahkan/menjual barang) danpembeli (sebagai pihak yang membayar/membeli barang yang dijual).Pada masa Rasullallah SAW harga barang itu dibayar dengan mata uangyang terbuat dari emas (dinar) dan mata uang yang terbuat dari perak(dirham).

B. Dasar Hukum Jual-Beli

Landasan atau dasar hukum mengenai jual beli ini disyariatkan berdasarkan Al-Qur’an, Hadist Nabi, dan Ijma’ Yakni :

1. Al Qur’an

Yang mana Allah SWT berfirman dalam surat An-Nisa : 29

(3)

29). “Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba” (QS. Al-Baqarah : 275).

2. Sunnah

Nabi, yang mengatakan:” Suatu ketika Nabi SAW, ditanya tentang mata pencarian yang paling baik. Beliau menjawab, ’Seseorang bekerja dengan tangannya dan setiap jual beli yang mabrur.” (HR. Bajjar, Hakim yang menyahihkannya dari Rifa’ah Ibn Rafi’). Maksud mabrur dalam hadist adalah jual beli yang terhindar dari usaha tipu-menipu dan merugikan orang lain.

3. Ijma’

Ulama telah sepakat bahwa jual beli diperbolehkan dengan alasan bahwa manusia tidak akan mampu mencukupi kebutuhan dirinya, tanpa bantuan orang lain. Namun demikian, bantuan atau barang milik orang lain yang dibutuhkannya itu, harus diganti dengan barang lainnya yang sesuai. Mengacu kepada ayat-ayat Al Qur’an dan hadist, hukum jual beli adalah mubah (boleh). Namun pada situasi tertentu, hukum jual beli itubisa berubah menjadi sunnah, wajib, haram, dan makruh.

C. Rukun dan Syarat Jual-Beli

1. Shighat yaitu ucapan ijab(penyerahan) dan qabul (penerimaan).

Orang yang mengucapkannya telah akil balig dan berakal

Kabul sesuai dengan ijab

Ijab dan kabul sebaiknya dilakukan dalam satu majelis 2. Dua orang yang bertransaksi, yaitu penjual dan pembeli.

Penjual dan pembeli adalah orang yang merdeka, dewasa dan mengerti.

Yang melakukan aakad itu adalah orang yang berbeda. 3. Obyek akad, yaitu harga dan barang.

(4)

manfaatnya atau barang yang manfaatnya haram seperti khamr, babi, dan yang lainnya.

Barang yang jual adalah milik penjual sendiri

Barang yang diperjualbelikan bisa diketahui lewat sifatnya atau menyasikannya.

Barang yang diperjualbelikan bisa diserahterimakan. Tidak boleh menjual burung di udara dan semisalnya.

Harganya harus jelas.1

D. Jual Beli Murabahah 1. Pengertian Murabahah

Kata murabahah berasal dari kata ribhu (keuntungan). Sehingga murabahah berarti saling menguntungkan. Jual beli murabahah secara terminologis adalah pembiayaan saling menguntungkan yang dilakukan oleh shahib al-mal dengan pihak yang membutuhkan melalui transaksi jual beli dengan penjelasan bahwa harga pengadaan barang dan harga jual terdapat nilai lebih yang merupakan laba atau keuntungan bagi shahib al-mal dan pengembaliannya dilakukan secara tunai atau angsur. Jual beli murabahah adalah pembelian oleh satu pihak untuk kemudian dijual kepada pihak lain yang telah mengajukan permohonan pembelian terhadap suatu barang dengan keuntungan atau tambahan harga yang transparan. Akad ini merupakan salah satu bentuk natural certainty contracts, karena dalam murabahah ditentukan berapa keuntungan yang ingin diperoleh.2

Murabahah merupakan salah satu bentuk jual beli dimana penjual memberikan informasi kepada pembeli tentang biaya-biaya yang dikeluarkan untuk mendapatkan komoditas (harga pokok pembelian), dan tambahan profit yang diinginkan yang tercermin dalam harga jual. Murabahah bukanlah merupakan transaksi dalam bentuk memberikan pinjaman/kredit pada orang lain dengan adanya penambahan interest/bunga, akan tetapi ia merupakan jual beli komoditas. Jual beli ini

1 Penerjemah: Nurul Mukhlisin dan Izzzudin Karimi, Intisari Fiqih Islami.

(Surabaya: Pustaka La Raiba Bima Amanta 2007) hal. 146-148

(5)

menekankan adanya pembelian komoditas berdasarkan permintaan nasabah, dan adanya proses penjualan kepada nasabah dengan harga jual yang merupakan akumulasi dari biaya beli dan tambahan profit yang diinginkan.3

Murabahah merupakan kontrak penjualan dengan habis penangguhan pembayaran dan harga yang ditentukan dengan dasar fixed mark up profit. Harga mark up ini bukan dihubungkan dengan penundaan pembayaran, karena jika pihak yang didanai mengalami default pada saat jatuh tempo maka jumlah yang harus dibayar tetap sama. Mark up sebagai tingkat keuntungan yang diperoleh pemilik dana berkaitan dengan jasanya dalam memeroleh barang dan resiko yang dihadapi dalam upaya perolehan tersebut. Dalam transaksi ini, A meminta B untuk membeli komoditi dengan spesifikasi tertentu, setelah B mendapatkannya menjual kepada A dengan murabahah.4

2. Dasar Hukum Jual-Beli Murabahah

Murabahah merupakan akad jual beli yang diperbolehkan, hal ini berlandaskan atas dalil-dalil yang terdapat dalam Al Qur’an, Al Hadits ataupun ijma ulama. Di antara dalil (landaan syariah) yang memerbolehkan praktik akad jual beli murabahah adalah sebagai berikut :5

a. QS. An Nisa : 29

                .………

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu….”

3 Dimyauddin Djuwaini, Pengantar Fiqh Muamalah, (Yogyakarta: Pustaka

Belajar, 2010) hal 104-105

4 Iggi H. Achsien, Investasi Syariah di Pasar Modal, (Jakarta: PT Gramedia

Pustaka Utama, 2003) hal 57

(6)

Ayat ini melarang segala bentuk transaksi yang batil. Di antara transaksi yang dikategorikan batil adalah yang mengandung bunga (riba) sebagaimana terdapat pada sistem kredit konvensional. Berbeda dengan murabahah, dalam akad ini tidak ditemukan uunsur bunga, namun hanya menggunakan margin. Ayat ini juga mewajibkan untuk keabsahan setiap transaksi murabahah harus berdasarkan prinsip kesepakatan kedua pihak yang dituangkan dalam suatu perjanjian yang menjelaskan dan dipahami segala hal yang menyangkut hak dan kewajiiban masing-masing.

b. QS. Al Baqarah : 275

…..      …… 

“...dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba..”

Dalam ayat ini, Allah memertegas legalitas dan keabsahan jual beli secara umum, serta menolak dan melarang konsep ribawi. Berdasarkan ketentuan ini, jual beli murabahah mendapat pengakuan dan legalitas dari syara’, dan sah untuk dioperasionalkan dalam praktik pembiayaan bank syariah karena ia merupakan salah satu jual beli dan tidak mengandung unsur ribawi.

c. Dari Abu Sa'id Al-Khudri , bahwa Rasullulah Saw bersabda: "Sesungguhnya jual beli itu harus dilakukan suka sama suka".(HR.al-Baihaqi,Ibnu Majah dan Shahi menurut Ibnu Hibban)

Hadits ini merupakan dalil atas keabsahan jual beli secara umum. Hadits ini memberikan prasyarat bahwa akad jual beli murabahah harus dilakukan dengan adanya kerelaan masing-masing pihak ketika melakukan transaksi. Segala ketentuan yang yang terdapat dalam jual beli murabahah, seperti penentuan harga jual, margin yang diinginkan, mekanisme pembayaran dan lainnya, harus terdapat persetujuan dan kerelaan antara pihak nasabah dan bank, tidak bisa ditentukan secara sepihak.

(7)

a. Syarat Murabahah yaitu :6

1) Pihak yang berakad,yaitu Ba'i' dan Musytari harus cakap hukum atau balik (dewasa), dan mereka saling meridhai (rela).

2) Khusus untuk Mabi' persyaratanya adalah harus jelas dari segi sifat jumlah, jenis yang akan ditransaksikan dan juga tidak termasuk dalam kategori barang haram.

3) Harga dan keuntungan harus disebutkan begitu pula system pembayarannya, semuanya ini dinyatakan didepan sebelum akad resmi (ijab qabul) dinyatakan tertulis.

b. Ketentuan Umum Murabahah diantaranya sebagai berikut :7

1) Jual beli murabahah harus dilakukan atas barang yang telah dimiliki atau hak kepemilikan telah berada ditangan penjual. 2) Adanya kejelasan informasi mengenai besarnya modal (harga

pembeli) dan biaya-biaya lain yang lazim dikeluarkan dalam jual beli.

3) Ada informasi yang jelas tentang hubungan baik nominal maupun presentase sehingga diketahui oleh pembeli sebagai salah satu syarat sah murabahah.

4) Dalam system murabahah, penjual boleh menetapkan syarat kepada pembeli untuk menjamin kerusakan yang tidak tampak pada barang, tetapi lebih baik syarat seperti itu tidak ditetapkan. 5) Transaksi pertama (anatara penjual dan pembeli pertama)

haruslah sah, jika tidak sah maka tidak boleh jual beli secara murabahah (anatara pembeli pertama yang menjadi penjual kedua dengan pembeli murabahah.

4. Penerapan Murabahah Dalam Lembaga Keuangan Syariah

Cara operasi bank syariah hakikatnya sama saja dengan bank konvensional, yang berbeda hanya dalam masalah bunga dan praktik

6Yayasan Pendidikan Pengembangan Perbankan dan LKS (Jakarta : Muamalat

Institute 1999). hal 42

(8)

lainnya yang menurut syariat islam tidak dibenarkan. Bank ini memang tidak menggunakan konsep bunga seperti bank konvensional lainnya.8

Produk dalam bank syariah yaitu pembiayaan dengan margin (murabahah), dalam produk ini terjadi transaksi antara pembeli (nasabah) dan penjual (bank). Bank dalam hal ini membelikan barang yang dibutuhkan nasabah (nasabah yang menentukan spesifikasinya) dan menjualnya kepada nasabah dengan harga plus keuntungan. Jadi produk ini, bank menerima laba atas jual beli. Harga pokoknya sama-sama diketahui oleh dua belah pihak. Apa yang dibeli nasabah, uang atau pinjaman? Tentu bukan uang dan bukan juga pinjaman, karena menjual uang dengan benda sejenis dengan imbalan lebih adalah riba dalam terminologi islam. Nasabah menerimanya dalam produk yang diinginkan melalui bank, produk ini biasanya modal kerja dan berjangka pendek.9

Murabahah merupakan salah satu bentuk penghimpun dana yang dilakukan oleh perbankan syariah, baik untuk kegiatan usaha. secara umum, nasabah pada perbankan syariah mengajukan permohonan pembelian suatu barang. Dimana barang tersebut akan dilunasi oleh pihak bank syariah kepada penjual, sementara nasabah bank syariah melunasi pembiayaan bank tersebut kepada bank syariah dengan menambah sejumlah margin kepada pihak bank sesuai dengan kesepakatan yang terdapat pada perjanjian murabahah yang telah disepakti sebelumnya antara nasabah dengan bank syariah. Setelah itu pihak nasabah dapat melunasi pembiayaan tersebut baik dengan cara tunai maupun dengan cara kredit.10

E. Jual-Beli Salam 1. Pengertian Salam

Secara terminologi, jual beli salam ialah menjual suatu barang yang penyerahannya ditunda, atau menjual suatu barang yang ciri-cirinya

8 Sofyan Syafri, Akuntansi Islam, (Jakarta: Bumi Aksara,2004) hal 94-95 9 Ibid., hal 95

10 Zainuddin Ali, Hukum Perbankan Syariah, (Jakarta: Sinar Grafka, 2010) hal

(9)

disebutkan dengan jelas dengan pembayaran modal terlebih dahulu, sedangkan barangnya diserahkan dikemudian hari.11 Jual beli salam ialah

menjual sesuatu yang tidak dilihat zatnya, hanya ditentukan dengan sifat, barang itu ada di dalam tanggungan si penjual.

2. Dasar Hukum Salam

Landasan syariah dari jual beli salam terdapat di dalam Al Qur’an dan hadits:

a. Dalam surat Al-Baqarah ayat 282: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.”

Dalam kaitan ayat tersebut, Ibnu Abbas menjelaskan keterkaitan ayat tersebut dengan transaksi bai’ as-salam. Hal ini tampak jelas dari ungkapan beliau, “Saya bersaksi bahwa salaf (salam) yang dijamin untuk jangka waktu tertentu telah dihalalkan oleh Allah pada kitab-Nya dan diizinkan-kitab-Nya.” Ia lalu membaya ayat tersebut.

b. Al-Hadits

Ibnu Abbas meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. datang ke Madinah dimana penduduknya melakukan salaf (salam) dalm buah-buahan (untuk jangka waktu) satu, dua, dan tiga tahun. Beliau berkata: “Barang siapa melakukan salaf (salam), hendaknya ia melakukan dengan takaran yang jelas dan timbangan yang jelas pula, untuk jangka waktu yang diketahui.”

Dari hadits lain: dari Shuhaib r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Tiga hal yang di dalamnya terdapat keberkahan: jual beli secara tangguh, muqaradhah (mudharabah), dan mencampur gandum dengan tepung untuk keperluan rumah, bukan untuk dijual.” (HR Ibnu Majah)12

3. Rukun, Syarat, dan Sifat Akad Salam

11 M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam, (Jakarta: PT Raja

Grafndo Persada, 2004) hal 143

12 Muhammad Syafii Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktik, (Jakarta:

(10)

Sebagaimana jual beli, dalam akad salam harus terpenuhi rukun dan syaratnya. Adapun rukun salam adalah sebagai berikut:13

a. Muslam atau pembeli b. Muslam ilaih atau penjual c. Modal atau uang

d. Muslam fiihi atau barang e. Sighat atau ucapan

Syarat-syarat salam sebagai berikut:

a. Uangnya dibayar di tempat akad, berarti pembayaran dilakukan terlebih dahulu.

b. Barangnya menjadi utang bagi penjual

c. Barangnya dapat diberikan sesuai dengan waktu yang dijanjikan. Berarti pada waktu dijanjikan barang tersebut harus sudah ada. Oleh sebab itu, men-salam buah-buahan yang yang waktunya ditentukan bukan pada musimnya tidak sah.

d. Barang tersebut hendaklah jelas ukuranny, takarannya, ataupun bilangannya, menurut kebiasaan cara menjual barang itu. e. Diketahui dan ditentukan sifat-sifat dan macam barangnya

dengan jelas, agar tidak ada keraguan yang mengakibatkan perselisihan antara dua belah pihak. Dengan sifat itu, berarti harga dan kemauan orang pada barang tersebut dapat bebeda. f. Disebutkan tempat menerimanya.14

4. Perbedaan antara Jual Beli Salam dengan Jual Beli Biasa

Semua syarat-syarat dasar suatu akad jual beli biasa masih tetap ada pada jual beli salam. Namun ada beberapa perbedaan antara keduanya. Misalnya :

a. Dalam jual beli salam, perlu ditetapkan periode pengiriman barang, yang dalam jual beli biasa tidak perlu.

13 Ibid., hal 109

(11)

b. Dalam jual beli salam, komoditas yang tidak dimiliki oleh penjual dapat dijual; yang dalam jual beli biasa tidak dapat dijual.

c. Dalam jual beli salam, hanya komoditas yang secara tepat dapat ditentukan kualitas dan kuantitasnya dapat dijual, yang dalam jual beli biasa, segala komoditas yang dapat dimiliki bisa dijual, kecuali yang dilarang oleh Al Quran dan hadits.

d. Dalam jual beli salam, pembayaran harus dilakukan ketika mebuat kontrak; yang dalam jual beli biasa, pembayaran dapat ditunda atau dapat dilakukan ketika pengiriman barang berlangsung.

Jadi, kita dapat menyimpulkan bahwa aturan asal pelarangan jual beli yaitu tidak adanya barang, telah dihapuskan dengan pertimbangan kebutuhan masyarakat terhadap kontrak salam.15

5. Aplikasi Salam di Lembaga Keuangan Syari’ah (LKS)

Salam adalah transaksi jual beli dimana barang yang diperjualbelikan belum ada. Oleh karena itu, barang diserahkan secara tangguh sementara pembayaran dilakukan tunai. Bank bertindak sebagai pembeli, sementara nasabah sebagai penjual. Sekilas transaksi ini mirip jual beli ijon, namun dalam transaksi ini kualitas, kuantitas, harga dan waktu penyerahan barang harus ditentukan secara pasti.

Dalam praktik perbankan, ketika barang telah diserahkan kepada bank, maka bank akan menjualnya kepada rekanan nasabah atau nasabah itu sendiri secara tunai atau secara cicilan. Harga jual yang ditetapkan oleh bank adalah harga beli bank dari nasabah ditambah keuntungan. Dalam hal bank menjualnya secara tunai biasanya disebut pembiayaan talangan (bridginng financing). Adapun dalam hal bank menjualnya secara cicilan, kedua pihak harus nmenyepakati harga jual dan jangka waktu pembayaran.

Harga jual dicantumkan dalam akad jual beli dan jika telah disepakati tidak dapat berubah selama berlakunya akad. Umumnya

(12)

transaksi ini diterapkan dalam pembiayaan barang yang belum ada seperti pembelian komoditas pertanian oleh bank untuk kemudian dijual kembali secara tunai atau secara cicilan.16

F. Jual-Beli Istihna’

1. Pengertian Istishna’

Transaksi bai’ al-istisna’ merupakan kontrak penjualan antara pembeli dan pembuat barang. Dalam kontrak ini, pembuat barang menerima pesanan dari pembeli. Pembuat barang lalu berusaha melalui orang lain untuk membuat atau membeli barang menurut spesifikasi yang telah disepakati dan menjualnya kepada pembeli akhir. Kedua belah pihak bersepakat atas harga serta sistem pembayaran: apakah pembayaran dilakukan di muka, melalui cicilan, atau ditangguhkan sampai suatu waktu pada masa yang akan datang.

Menurut jumhur fuqaha, bai’ al-istishna’ merupakan suatu jenis khusus dari bai’ as-salam. Biasanya, jenis ini dipergunakan dalam bidang manufaktur. Dengan demikian, ketentuan bai’ al-istishna’ mengikuti ketentuan dan aturan akad bai’ as-salam.17

2. Dasar Hukum Istishna’

Ulama yang membolehkan transaksi ishtishna’ berpendapat, bahwa istishna’ disyariatkan berdasarkan sunnah Nabi Muhammad saw. bahwa beliau pernah minta dibuatkan cincin sebagaimana yang diriwayatkan Imam Bukhari sebagai berikut: “Dari Ibnu Umar r.a. bahwa Rasulullah saw. minta dibuatkan cincin dari emas. Beliau memakainya dan meletakkan batu cincin di bagian dalam telapak tangan. Orang-orang pun membuat cincin. Kemudian beliau duduk di atas mimbar, melepas cincinnya, dan bersabda, “Sesungguhnya aku tadinya memakai cincin ini dan aku letakkan batu mata cincin ini di bagian dalam telapak tangan.” Kemudian beliau membuang cincinnya

16 Ibid., hal 123

(13)

dan bersabda, “Demi Allah, aku tidak akan memakainya selamanya.” Kemudian orang-orang membuang cincin mereka.” (HR Bukhari)

Ibnu al-Atsir menyatakan bahwa maksudnya beliau meminta dibuatkan cincin untuknya. Al-Kaisani dalam kitab Bada’iu ash-shana’i menyatakan bahwa istishna’ telah menjadi ijma’ sejak zaman Rasulullah saw. tanpa ada yang menyangkal. Kaum muslimin telah mempraktikkan transaksi seperti ini, karena memang ia sangat dibutuhkan.

3. Syarat dan Rukun Istishna’

Syarat ishtishna’ menurut pasal 104-108 Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah adalah sebagai berikut:18

a. Bai’ istishna’ mengikat setelah masing-masing pihak sepakat atas barang yang dipesan.

b. Bai’ istishna’ dapat dilakukan pada barang yang bisa dipesan c. Dalam bai’ istishna’, identifikasi dan deskripsi barang yang dijual

harus sesuai permintaan pemesanan.

d. Pembayaran dalam bai’ istishna’ dilakukan pada waktu dan tempat yang disepakati

e. Setelah akad jual beli pesanan mengikat, tidak satupun boleh tawar-menawar kembali terhadap isi akad yang sudah disepakati.

f. Jika objek dari pesanan tidak sesuai dengan spesifikasi, maka pemesanan dapat menggunakan hak pilihan (khiyar) untuk melanjutkan atau membatalkan pemesanan.

Adapun rukun istishna’ sebagai berikut:

a. Al-‘Aqidain (dua pihak yang melakukan transaksi) harus memunyai hak membelanjakan harta.

b. Shighat, yaitu segala sesuatu yang menunjukkan aspek suka sama suka dari kedua belah pihak, yaitu penjual dan pembeli.

c. Objek yang ditransaksikan, yaitu barang produksi.

(14)

G. Khiyar

1. Pengertian Khiyar

Kata al-Khiyar dalam bahasa Ara berarti pilihan. Secara terminologi, para ulama fiqh telah mendefinisikan al-khiyar, antara lain menurut Sayyid Sabiq:

ِءاَغْلِ ْلاِوَأ ٍءاَضْمِ ْلا َنِمِرْمَ ْلا ِرْيَخ ُبَلَطَوُهُراَيِخْلَا “khiyar ialah mencari kebaikan dari dua perkara, melangsungkan atau membatalakan (jual beli)”.

M. Abdul Mujieb mendefinisikan: “khiyar ialah hak mmeilih atau menentukan pilihan anatra dua jhal bagi pembeli dan penjual, apakah akad jual beli akan diteruskan atua dibatalkan”.19

Hak khiyar ditetapkan syariat Islam bagi orang-orang yang mellakukan transaksi perdata agar tidak dirugikan dalam transaksi yang mereka lakukan, sehingga kemaslahatan yang dituju dalam suatu transaksi tercapai dengan sebaik-baiknya. Jadi hak khiyar itu ditetapkan dalam Islam untuk menjamin kerelaan dan kepuasan timbal balik pihak-pihak yang melakukan jual-beli.20

2. Macam-macam khiyar

Macam-macam khiyar ada yang bersumber dari syara’ , seperti khiyar majlis, aib, dan ru’yah. Selain itu ada yang bersumber dari kedua belah pihak yang berakad, seperti khiyar syarat dan ta’yin.21

a. Khiyar Majlis, yaitu hak pilih dari kedua belah pihak yang berakad untuk membatalkan akad, selama keduanya masih berada dalam majelis akad (di ruangan toko) dan belum berpisah badan.

b. Khiyar ‘Aib, yaitu hak untuk membatalkan atau melangsungkan jual beli bagi kedua belah pihak yang berakad apabila terdapat suatu cacat pada objek yang diperjualbelikan, dan cacat pada objek

19 Abdul Rahman G. Ghufron Ihsan dan Sapiudin Shidiq, Fiqh Muamalat,

(Jakarta : Kencana 2010) hal 97

(15)

yang diperjualbelikan, dan ccat itu tidak diketahui pemiliknya ketika akad berlangsung.

c. Khiyar Ru’yah, yaitu khiyar (hak pilih) bagi pembeliuntuk menyatakan berlaku atau batal jual beli yang ia lakukan terhadap suatu objek yang belum ia lihat ketika akad berlangsung.

d. Khiyar Syarat, yaitu khiyar (hak pilih) yang dijadikan syarat oleh keduanya sewaktu terjadi akad untuk meneruskan atau membatalkan akadnya itu, agar dipertimbangkan setelah sekian hari. Lama syartanya yang diminta paling lama tiga hari.

e. Khiyar Ta’yin, yaitu hak pilih bagi pembeli dalam menentukan barang yang berbeda kualitas dalam jual beli.

BAB III PENUTUP

B. Kesimpulan

(16)

beli yang bersih”.(H.R. Al-Bazzar) Dalam pada itu ulama sepakat mengenai kebolehan berjual beli ini sebagai salah satu usaha yang telah dipraktekkan semenjak masa Nabi SAW hingga saat sekarang ini.

Rukun dan Syarat

Untuk syah nya jual beli yang dilakukan diperlukan beberapa rukun dan syarat yang harus dipenuhi, yaitu : penjual dan pembeli dengan syarat

(Berakal, bagi yang gila, bodoh dan lainnya tidak syah melakukan jual beli,

Kehendak sendiri, bukan karena dipaksa, Keadaannya tidak mubazir (pemboros), orang pemberos hartanya dibawah wali, Barang-barang yang terlarang diperjualbelikan, Keharaman memperjualbelikan barang-barang tersebut didasarkan kepada hadist nabi SAW, yang artinya sebagai berikut: “dan sesungguhnya allah, apabila mengharamkan makan sesuatu kapada suatu kaum, maka mengharamkan pula harganya.

Daftar Pustaka

Abdul Rahman G. Ghufron Ihsan dan Sapiudin Shidiq. 2010 . Fiqh Muamalat, Jakarta : Kencana

Achsien, Iggi H. 2003. Investasi Syariah di Pasar Modal, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama

Ali, Zainuddin. 2010. Hukum Perbankan Syariah. Jakarta: Sinar Grafika

(17)

Azharudin , Latifh Ah.. 2005. Fiqih Muamalat, Jakrata: UIN Jakarta

Djuwaini,Dimyauddin. 2010. Pengantar Fiqh Muamalah, Yogyakarta: Pustaka Belajar

Hasan , M. Ali. 2004. Berbagai Macam Transaksi dalam Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada

Mardani. 2012. Fiqh Ekonomi Syariah, Jakarta: Kencana

Penerjemah: Nurul Mukhlisin dan Izzzudin Karimi, 2007. Intisari Fiqih Islami. Surabaya: Pustaka La Raiba Bima Amanta

Syafri , Sofyan. 2004. Akuntansi Islam. Jakarta : Bumi Aksara

Referensi

Dokumen terkait

Nilai pantulan saluran biru yang tinggi (mean = 75,282), disebabkan karena citra Pulau Nusalaut lebih banyak didominasi oleh laut dangkal (shallow water) sepanjang pantai

13 ISNAINI ROSMAYANI 14 LIANA SUKMAWATI 15 MUHAMMAD AMIN 16 MUHAMMAD HALILUDDIN 17 MARWAN ALI 18 MARIANAH 19 NURUL WAHIDAH 20 NURMAYANTI 21 NURHAINI 22 NURHASANAH 23 RETNO ASRI

Boru Sitorus maka peneliti mengakat judul ”Tanggapan Orang Tua Yang Berstatus Single Parent Terhadap Pendidikan Anak Pada Keluarga Etnis Batak Toba di Desa Huta

Model alokasi tunggal dan model alokasi ganda yang kami diusulkan dalam makalah ini adalah masalah lokasi fasilitas berkapasitas (Capacitated) untuk

(1) Koordinasi di tingkat pusat dilakukan oleh Komisi Pestisida sebagaimana telah dibentuk dengan keputusan Menteri Pertanian yang keanggotaannya terdiri dari

Tema superordinat yang ditemukan mencakup (1) Persepsi keluarga terhadap kanker sebagai penyakit yang mengancam kehidupan, (2) Pengalaman keluarga merawat penderita kanker,

Populasi penelitian ini terdiri atas 45 perusahaan yang sahamnya masuk jajaran LQ-45.Pengambilan sampel dilakukan dengan teknik purposive sampling sehingga diperoleh 29 perusahaan

Defenisi system konstruksi dalam bangunan merupakan bagian atau elemen yang menempel pada system struktur utama, sedangkan fungsi dari system konstruksi adalah elemen yang