• Tidak ada hasil yang ditemukan

Konsep Hadis Tentang Jual Beli Makalah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Konsep Hadis Tentang Jual Beli Makalah"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

Konsep Hadis Tentang Jual Beli

Makalah

Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Tafsir Ayat dan Hadis Ekonomi

Dosen Pengampu: Dede Rodin,M.Ag.

Disusun oleh:

1. Wirda Khairunnisa (1605036056)

2. Nafisah (1605036057)

3. Ayu Rizky Fadhilah (1605036058)

4. Muhammad Ihwan S. (1605036059)

S1 PERBANKAN SYARIAH

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO

(2)

1 BAB l

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Islam adalah Agama yang paling diridhoi di sisi Allah SWT. Nabi Muhammad SAW sebagai utusan Allah datang untuk menyempurnakan akhlak manusia. Islam telah mengatur segala aspek kehidupan manusia termasuk muamalah. Dalam mualamah terdapat jual beli, Orang yang melakukan transaksi jual beli tidak dilihat sebagai orang yang mencari keuntungan semata, tetapi ia harus memahami ketentuan-ketentuan yang harus dipenuhi oleh penjual dan pembeli sehingga, supaya jika proses jual beli sudah selesai tidak ada yang dirugikan. Bagaimana pandangan Islam dalam jual beli dan apa saja dalil-dalilnya sehingga jual beli itu merupakan sesuatu yang halal bukan sesuatu yang haram atau syubhat. Dalam makalah ini akan diuraiakan beberapa hadist yang menjelaskan tentang jual beli.

B. Rumusan Masalah

a. Apa Pengertian Jual Beli ?

b. Bagaimana Jual Beli dalam Perspektif Hadis Nabi ?

C. Tujuan Penulisan

a. Untuk mengetahui pengertian jual beli.

(3)

2 BAB II

PEMBAHASAN

1. Pengertian Jual Beli

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, bisnis diartikan sebagai usaha dagang, usaha komersial dalam dunia perdagangan, bidang usaha.

Perdagangan secara termonologis di jelaskan Al-Qur’an dalam beberapa

istilah antara lain al-bai’ berarti menjual, al-syira berarti membeli. Kata jual

beli sering diistilahkan dengan al-tijarah yang disebutkan dalam Al-Qur’an

sebanyak delapan kali dan kata tijaratahum sebanyak satu kali. Istilah tijarah

berasal dari kata ta-ja-ra, yang memiliki makna berniaga dan berdagang.1

Dalam penggunaanya, kata tijarah memiliki dua pemahaman. Pertama,

perdagangan yaitu yang terdapat dalam Q.S Al- Baqarah ayat 282. Kedua,

perniagaan yang dihubungkan dengan masing-masing konteksnya yaitu yang bersifat material dan immaterial kualitatif. Dalam fiqih, jual beli disebut

dengan al-bay’ yang memiliki arti menjual,membeli, serta menukar sesuatu

dengan sesuatu yang lain. Secara etimologi jual beli diartikan sebagai pertukaran sesuatu dengan sesuatu yang lain atau memberikan sesuatu untuk menukarkan sesuatu yang lain. Jual beli juga diartikan dengan pertukaran harta dengan harta atau dengan gantinya mengambil sesuatu yang digantikannya itu.

Adapun definisi jual beli secara istilah, menurut Sayyid Sabiq adalah pertukaran harta dengan harta atas dasar saling rela atau memindahkan milik dengan ganti yang dapat dibenarkan. Menurut Abu Muhammad Mahmud al-Ayni, pada dasarnya jual beli merupakan penukaran barang dengan barang

yang dilakukan dengan suka sama suka, sehingga menurut syara’, jual beli

adalah tukar menukar barang atau harta secara suka sama suka. Menurut Taqi al-Din ibn Abi Bakr ibn Muhammad al-Husayni, adalah pertukaran harta

(4)

3

dengan harta yang diterima dengan menggunakan ijab dan qabul dengan cara

yang diizinkan syara’.

Dikalangan ulama terdapat perbedaan tentang definisi jual beli antara lain sebagai berikut:

a. Ulama Hanafiah

اَبُم .ى ٍص ْوُصْخَم ٍهْج َو ىَلَع ٍلاَمِب ٍلاَم ُةَلَد

“Saling menukar harta dengan harta melalui cara tertentu.”

.ى ٍص ْوُصْخُم ٍدْيَّقُم ٍهْج َو ىَلَع ٍلْثِمِب ِهْيِف ٍب ْوُغ ْرَم ٍئْيَش ٌةَلَداَبُم

“Tukar menukar sesuatu yang diingini dengan yang sepadan melalui cara tertentu yang bermanfaat.”

Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa cara khusus dalam jual beli

adalah ijab (ungkapan membeli dari pembeli) dan qobul (pernyataan

menjual dari penjual) atau dapat dilakukan dengan saling memberikan barang empat harga dari penjual dan pembeli. Disamping itu, harta yang diperjualbelikan haruslah harta yang bermanfaat bagi manusia. Menurut ulama Hanafiyah memperjual belikan barang yang haram dan tidak memiliki manfaat hukumnya adalah tidak sah.

b. Ulama Syafi’iyah, Malikiyah dan Hanabilah

.اًكُّلَمَت َو اًكْيِلْمَت ِلِاملا ُةَلَداَبُم

“saling menukar harta dengan dengan harta dalam bentuk pemindahan milik kepemilikan.”

Para ulama ini memberikan penekanan terhadap kata milik dan kepemilikan, karena pada kenyataannya terdapat tukar menukar harta yang

sifatnya tidak harus memiliki yakni sewa menyewa(ijarah). Jual beli juga

(5)

4

Dari beberapa definisi diatas dapat disimpulkan bahwa jual beli dapat terjadi dengan cara pertukaran harta antara dua pihak atas dasar atas dasar kerelaan, dan memindahkan milik dengan ganti yang dapat dibenarkan yaitu alat tukar yang sah diakui dalam lalu lintas perdagangan. Jual beli merupakan transaksi atau tindakan yang telah disyariatkan dalam artian telah jelas hukumnya dalam islam, berkenaan dengan hukum taklifi. Hukum jual beli

adalah mubah(boleh). 2

2. Jual beli dalam perspektif hadis

Menurut Rasulullah SAW mata pencaharian yang paling baik ialah

jual beli.3 Hal ini tidak terlepas dar hakikat manusia sebagai makhluk sosial

yang memiliki sifat saling membutuhkan antara satu dengan lainnya. Agama Islam mengajarkan umatnya untuk melakukan kerjasama dalam aktivitas ekonomi untuk memperoleh keuntungan. Disamping itu, Islam juga mengajarkan umatnya agar melakukan penegakan nilai-nilai yang positif agar terhindar dari tindakan penipuan dan pemerasan. Dalam memenuhi kebutuhan hidup, transaksi ekonomi harus dilaksanakan dengan cara yang benar dan

sesuai dengan aturan syariah yang berlaku yaitu yang sesuai dengan syari’at

Allah dan Rasul-Nya.4 Apresiasi rasulullah terhadap jual beli sebagai mata

pencaharian yang paling baik terdapat pada sabdanya di hadis berikut ini:

َيْطَا ِبْسَكْلا ُّيَا :َلِئُس َمَلَس َو ِهْيَلَع ُهللا ىَلَص َيِبَنلا َنَا ُهْنَع ُهللا َي ِضَر ٍعِفاَر ِنْب َةَعاَف ِر ْنَع َلاََ ُب

َحَص َو ُراَزَبلْا ُها َوَر( ٍر ْوُرْبَم ٍعْيَب ُلُك َو ِهِدَيِب ِلُجَّرلا ُلَمَع .)ُمِكاَحلْا ُهَح

2 Idri, HADIS EKONOMI Ekonomi dalam Perspektif Hadis Nabi, (Jakarta: Prenada Media

Group, 2016), hlm. 158.

3 Abdul QadirSyaibah al-Hamd, SYARAH BULUGHUL MARAM Fiqhul Islam, (Jakarta: Darul

Haq, 2005), hlm. 1.

4 Choirul Huda, “SYARIAH DALAM PERSPEKTIF PELAKUBISNIS MLM SYARI’AH AHADNET

(6)

5

“Dari Rifa’ah ibn Rafi’ r.a. bahwasanya Rasulullah SAW ditanya: Mata pencaharian apakah yang paling bagus? Rasulullah menjawab, “pekerjaan

seseorang dengan tangannya sendiri dan tiap-tiap jual beli yang baik.”(HR.

al-Bazzar dinyatakan shoheh oleh al-Hakim al-Nasyaburi).

Rasulullah SAW sangat melarang perilaku dan sikap negatif dalam jual beli, antara lain sebagai berikut:

Pertama, jual beli dengan menyembunyikan cacat barang yang dijual, yaitu

menjual barang yang sebenarnya cacat dan tidak layak untuk dijual, akan tetapi penjual menjualnya dengan memanipulasi barang seolah-olah sangat

beharga dan berkualitas baik.5 Jual beli seperti ini hukumnya tidak sah karena

mengandung pemalsuan dan penipuan. Penjual seharusnya memberitahukan keadaan yang sebenarnya mengenai barang tersebut kepada pembeli. Jika penjual melakukan tindakan penyembunyian tentang kecacatan barang yang dijualnya, maka akan terkena ancaman dari Rasulullah SAW dalam sabdanya:

لا ىَلَص َّيِبَّنلا ِنَع ٍماَز ِخ ِنْب ِمْيِكَح ْنَع ََ َّرَفَتَي ْمَل اَم ِراَي ِخْل اِب ِناَعَّيَبْلا :َلاََ َمَلَس َو ِهْيَلَع ُهل

اَََدَص ْنَِِف ا

)ْمِلْسُم ُها َو َر( اَمِهِعْيَب ُةَكَرَب ْتَق ِحُم اَمَتَك َو اَبَدَك ْنِإ َو اَمِهِعْيَب ىِف اَمُهَل َك ِر ْوُب اَنَّيَب َو

“Dari Hakim ibn Hizam dari Nabi SAW, ia bersabda, “Penjual dan pembeli memiliki hak pilih selama belum berpisah. Jika keduanya jujur, niscaya keduanya akan diberikan barakah pada jual beli mereka. Jika keduanya berbohong dan menyembunyikan(cacat barang), niscaya berkah jual beli

mereka dihapus. (HR. Muslim)

Suatu ketika Rasullah melewati sekumpulan orang yang melakukan penipuan lalu beliau menegurnya. Seperti didalam hadis yang diriwayatkan Abu Hurayrah berikut ini:

“Diriwayatkan Abu Hurayrah r.a Rasulullah SAW pernah lewat dihadapan orang yang menjual setumpuk makanan. Lalu beliau memasukkan tangannya kedalam tumpukan makanan itu, ternyata tangan beliau mengenai makana yang basah didalamnya. Kemudian beliau bertanya kepada orang itu, “Mengapa ini basah wahai penjual makanan?” orang itu menjawab,

5Muhammad Saifullah, “KAJIAN SEJARAH: ETIKA BISNIS DALAM PRAKTEK MAL BISNIS

(7)

6

“Makanan yang didalam itu terkena hujan wahai Rasulullah.” Beliau bersabda, “Mengapa tidak kamu letakkan diatasnya supaya diketahui oleh orang yang membelinya? Barang siapa menipu, dia bukan dari golonganku.” (HR. Muslim)

Kedua, menjual barang yang sudah dibeli orang lain (bay’ rajul ‘ala

bay’akhih). Barang yang sudah dibeli orang lain tidak boleh dijual kembali kepada orang lain lagi, karena barang yang sudah dijual itu sudah menjadi milik pembeli sehingga penjual tidak boleh menjual kembali. Rasulullah bersabda:

ا َلوُس َر َّنَأ َرَمُع ِنْبا ِنَع )ٌمِلْسُم ُها َوَر( ٍضْعَب ِعْيَب ىَلَع ْمُكُضْعَب ْعِبَي َلا : َلاََ َمَلَس َو ِهْيَلَع ُهللا ىَلَص ِهلل

“Dari Ibn Umar bahwasanya Rasulullah SAW bersabda, “janganlah sebagian kamu menjual sesuatu penjualan sebagianyang lain.” (HR. Muslim)

Menjual barang orang lain sama halnya dengan mengambil kepunyaan orang dan menjualnya, kecuali jika pemilik barang mengizinkannya. Kalau pembeli (pemilik barang mengizinkan), maka diperbolehkan penjual menjualnya kembali kepada orang lain. Rasulullah SAW bersabda:

ْبا ِنَع َع ْبُطْخَي َلا َو ِهْي ِخَأ ِعْيَب ىَلَع ُلُجَّرلا ِعِبَي َلا : َلاََ َمَلَس َو ِهْيَلَع ُهللا ىَلَص ِ ىِبَّنلا ِنَع َرَمُع ِن ِةَبْط ِخ ىَل

)ٌمِلْسُم ُها َوَر( ُهَل َنَذ ْأَي ْنَّأ َّلاِإ ِهْي ِخَأ

“Dari Ibn Umar dari Nabi SAW, ia bersabda, “janganlah seseorang menjual sesuatu yang telah dijual oleh orang lain dan jangan pula meminang pinangan orang lain kecuali jika ia mengijinkannya.” (HR. Muslim)

(8)

7

beli atau membatalkan akad. Jika akadnya sudah rusak dengan sendirinya, maka orang lain boleh menawarkan barang kepadanya.

Ketiga, jual beli dengan cara mencegat barang dagangan sebelum sampai di

pasar, yaitu mencegat pedagang dalam perjalanannya sebelum sampai di pasar sehingga orang yang mencegatnya dapat membeli barang lebih murah dari harga di pasar sehingga mendapatkan keuntungan yang lebih banyak. Rasulullah bersabda : (supaya harga barang menjadi tinggi), dan janganlah seseorang untuk menjual atas jualan saudaranya.”

Dalam hadis lain riwayat Ibn ‘Umar dijelaskan bahwa Rasulullah SAW

bersabda:

َرَمُع ِنْبا ِنَع ا ُظْفَل اَذَه َو َقا َوْسَلأا َغُلْبَت ىَّتَح ُعَلِ سلا َّقَلَتُت ْنَأ ىَهَن َمَلَس َو ِهْيَلَع ُهللا ىَلَص ِهللا َلوُسَر َّنَأ

ِنْب

)ملسم هاور( ِ قَلَّتلا ِنَع ىَهَن َمَلَس َو ِهْيَلَع ُهللا ىَلَص َّيِبَّنلا َّنِإ ِناَرَخلآا َلاََ َو ٍرْيَمُن

“Dari Ibn ‘Umar bahwasanya Rasulullah SAW melarang menjemput (membeli) barang hingga sampai ke pasar. Ini adalah lafal hadis riwayat Ibn Numayr. Selain Ibn Umar dan Ibn Numayr bahwa sesungguhnya Nabi SAW

melarang menjemput (membeli barang dari desa sebelum sampai ke pasar)”.

(H.R Muslim)

(9)

8

menjadi masalah jika orang-orang desa atau pendalaman itu mengetahui harga pasar waktu itu.

Keempat,, jual beli secara curang (najsyi) supaya harga barang lebih tinggi, yaitu menawar harga tinggi untuk menipu pengunjung lainnya. Misalnya dalam suatu transaksi atau pelelangan, ada penawaran barang dengan harga tertentu, kemuadian ada seseorang yang menaikkan harga tawarnya, padahal ia tidak berniat untuk membelinya. Dia hanya ingin menaikkan harganya untuk memancing pengunjung lainnya dan untuk menipu para pembeli, baik orang ini bekerjasama dengan oenjual ataupun tidak. Orang yang menaikkan harga, padahal tidak berniat membelinya telah melanggar larangan Rasulullah sebagaimana sabdanya:

)ِهْيَلَع ٌقَفَتُم( ِشْجَّنلا ِنَع ىَهَن َمَلَس َو ِهْيَلَعُهللا ىَلَص ِهللا َلوُسَر َّنَأ رَمُع ِنْبا ِنَع

“Dari Ibn Umar bahwasanya Rasulullah SAW melarang jual beli najasyi.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Kelima,jual beli dengan cara paksaan (bay’ al-ikrah). Jika seseorang dipaksa

melakukan jual beli, maka jual beli itu tidak sah. Hanya saja, jika ada kerelaan setelah terjadinya paksaan, maka jual beli tersebut menjadi sah. Jual beli ini tidak mengikat pembeli dan penjual sehingga keduanya mempunyai kebebasan memilih atau meneruskan jual beli setelah membatalkannya setelah paksaan terjadi. Rasulullah bersabda:

ََ ِة َرَمَّثلا ِعْيَبَو ْنَع ِرَرَغْلا ِعْيَب َو رَطْضُمْلا ِعْيَب ْنَع َمَّلَس َو ِهْيَلَع ُهللا ىَّلَص ِ ىِبَنلا ىَهَن ْدََ َو ُها َوَر( َك ِرْدُت ْنَأ َلْب

.)ُدَمْحَا

“Sesungguhnya Nabi SAW melarang jual beli dengan unsur paksaan, jual beli dengan unsur penipuan, dan jual beli buah yang belum diketahui buahnya.” (HR. Ahmad ibn Hanbal)

Keenam, jual beli barang yang diharamkan seperti bangkai, babi, khamar dan

(10)

9

َغ َّرُطْضا ِنَمَف ِهِب ِهللا ِرْيَغِل َّلِهُأ اَم َو ِرْي ِزْن ِخْلا َمْحَل َو َمَّدلا َو َةَتْيَمْلا ُمُكْيَلَع َمَّرَح اَمَّنِإ َهللا َّنَِِف ٍداَع َلا َو ٍغاَب َرْي

ٌمْي ِح َر ٌر ْوُفَغ

“Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan atasmu (memakan) bangkai, darah, daging babi, dan apa yang disembelih dengan menyebut nama selain Allah; tetapi barang siapa memakannya dengan tidak menganiaya dan tidak pula melampaui batas, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

Jika Allah mengharamkan sesuatu, maka Dia juga mengharamkan hasil penjualannya. Rasulullah melarang jual beli yang diharamkan ini. Rasulullah telah melarang menjual khamar, babi, patung dan lain sebagainya, sebagaimana sabdanya:

ْوُل ْوُقَي َمَّلَس َو ِهْيَلَع ُهللا ىَّلَص ِهللا ُل ْوُسَر َعِمَس ُهَّنَأ اَمُهْنَع ُهللا َى ِضَر ِهللا ِدْبَع ِنْب ِرِباَج ْنَع َوُه َو ِِْتَفْلا َماَع

)ُى ِراَخُبْلا ُها َوَر( ِرْمَخْلا َعْيَب َمَّرَح ُهَل ْوُسَر َو َهللا َّنِإ َةَّكَمِب

“Dari Jabir bin Abdillah r.a. Bahwa ia mendengar Rasulullah SAW bersabda pada tahun penaklukan kota Mekkah, pada waktu ia di Mekkah. “Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya mengharamkan jual beli khamar.” (H.R Al-Bukhari)

Ketujuh, jual beli barang yang tidak dimiliki. Misalnya, seorang pembeli

datang kepada seorang pedagang mencari barang tertentu. Adapun barang yang dicari tersebut tidak ada pada pedagang itu. Kemudian antara penjual dan pembeli saling sepakatuntuk melakukan akad dan menentukan harga dengan dibayar sekarag ataupun nanti, sementara itu barang belum menjadi hak milik pedagang ataupun penjual. Pedagang tadi kemudian pergi membeli barang dimaksud dan menyerahkan kepada pembeli. Jual beli seperti hukumnya haram, karena pedagang menjual sesuatu yang barangnya tidak ada padanya, dan menjual sesuatu yang belum menjadi miliknya. Rasulullah melarang cara berjual beli seperti ini. Dalam suatu riwayat, ada seorang

sahabat bernama Hakim bin Hazam berkata Rasulullah, “Wahai Rasulullah

seorang datang kepadaku. Dia ingin membeli sesuatu dariku, sementara barang yang dicari tidak ada padaku, kemudian aku ke pasar dan membelikan

(11)

10

)ُى ِراَخُبلا ُها َوَر( َكَدْنِع َسْيَل اَم ْعِبَت َلا

“Jangan menjual sesuatu yang tidak ada padamu.” (HR. Al-bukhari)

Dari riwayat lain dari Hakim Ibn Hizam, ia mengatakan bahwa Rasulullah melarang menjual sesuatu yang tidak dimilikinya, sebagaimana hadis berikut:

ىِدْنِع َسْيَلاَم َعْيِبَا ْنَا َمَلَس َو ِهْيَلَع ُهللا ىَلَص ِهللا ُل ْوُس َر ىِناَهَن َلاََ ٍماَز ِج ِنْب ِمْيِكَح ْنَع ُىِدِم ْرِتلا َها َو َر(

.)ُىِناَرْبَطلا َو ُدَمْحَا َو

“Dari Hakim Ibn Hizam, ia berkata: Rasulullah melarang aku menjual sesuatu yang bukan milikku.” (HR al-tirmidzi, Ahmad, danAl-Thabrani). Menurut al-Mubarakfuri, hadis diatas berkenaan dengan larangan berjual beli barang yang tidak dimiliki penjual ketika akad dilangsungkan bukan jual beli

sifat seperti jual beli pesanan (bay’ salam) dimana pembeli memesan barang

dengan melihat ciri-cirinya sedang barang itu belum ada ditangan penjual. Jual beli ini diperbolehkan.

Kedelapan, Jual beli sesuatu yang tidak ada (bay’ ma’dum) yaitu menjual

atau membeli suatu barang yang tidak ada, Misalnya, seseorang membeli buah mangga yang belum ada dipohonnya. Hal ini didasarkan pada hadis di atas. Menurut Al-Muhyi al-Din Ali, tidak diragukan bahwa dari hadis diatas dapat dipahami larangan jual beli sesuatu yang tidak ada dalam kenyataan atau tidak ada dalam tanggungan seseorang. Jual beli sejenis ini dilarang sesuai dengan kesepakatan para ulama. Menurutnya, terdapat empat jenis barang yang tidak ada, yaitu:

1. Barang yang tidak ada dan tidak mungkin ada selamanya baik menurut

akal maupun kebiasaan, tidak boleh diperjual belikan selamanya pula.

2. Barang yang tidak ada sewaktu akad jual beli tapi kemungkinan ada

(12)

11

3. Barang yang tidak ada yang mengikuti barang yang ada, misalnya jual beli

buah pohon yang belum tampak bersamaan dengan pohonnya. Seseorang membeli pohon dan buahnya yang belum nampak ikut terbeli, ini diperbolehkan.

4. Barang yang tidak ada yang disifati dengan tanggungan yang kemudian

akan ada, seperti jual beli pesanan. Barang yang dibeli atau dipesan waktu akad tidak ada, tetapi nantinya barang itu akan ada diserahkan kepada pembeli sesuai dengan perjanjian atau sifat-sifat yang ditentukan.

Kesembilan, jual beli sesuatu sebelum diterima atau dimiliki (bay’ al-sil’ah

qabl qabdhiha), misalnya seorang akan membeli suku cadang sepeda motor

ke suatu dealer padahal disitu tidak tersedia, kemudian dealer itu melakukan

akad jual beli sambil mencari suku cadang. Hal ini dilarang sebgai mana sabda Nabi :

ملس و هيلع هللا يلص يبنلا لاَ : لوقي امهنع هللا يضر رمع نبا تعمس لاَر اني د يب هللا دبع نع ]يراخبلا هاور[ هضبقي يتح هعبي لاف اماعط عاتبا نم

“ Dari ‘Abd. Allah ibn Dinar, katanya : Aku mendengar ibn Umar r.a berkata : Rasulullah SAW bersabda “barang siapa membeli makanan maka

janganlah ia membeli (membayar)-nya hingga ia menerimanya.” (H.R. ah

-Bukhari)

Hadist diatas menjelaskan bahwa Nabi melarang menjual bahan makanan

sebelum bahan itu ada ditangannya. Jual beli ini disebut bay’ al-sil’ah qabl

qabdh , yaitu jual beli sebelum diterima (dimiliki) penjual. Dikalangan ulama

fiqh, terdapat beberapa pendapat tentang jual beli ini :

a. Ibn Abbas, Jabir ibn ‘Abd. Allah,Sa’id ibn al-Musayyib, Sufyan al-Tsawri, al-Syafi’I, ahmad ibnu Hambal, Muhammad ibnu Hasan dan Zufa dari

Mazhab Hanafi, ulama Zhahiriyah dan Syi’ah Zaydiyah menyatakan bahwa

(13)

12

b. ‘Atha ibn Rabbah , ‘Utsman al-Batti, dan golongan Syi’ah Immamiyah berpendapat bahwa boleh jual beli sesuatu sebelum diterima secara mutlak dan segala bentuk transaksi yang terkait dengannya.

c. Malik ibn Annas, Ahmad dalam salah satu riwayatnya, Abu Tsur, dan Ibnu

Mundzir mengambil jalan tengah dan memerinci serta mereka berbeda pendapat tentang sesatu yang boleh dan tidak boleh diperjual belikan sebelum dimilikinya.

Kesepuluh, jual beli secara ‘inah, yaitu seseorang menjual barang kepada

orang lain dengan membayar dibelakang, kemudian orang itu membeli barang itu lagi dari pembeli tadi dengan harga yang lebih murah tetapi dengan pembayaran kontan yang diserahkan kepada pembeli. Ketika sudah tempo pembayaran, dia meminta pembeli membayar penuh sesuai harga yang telah ditentukan saat dia membeli barang. Hal ini haram, karena hanya bersifat menimpakan kehinaan kepada kalian. Allah tidak akan mengangkatnya sampai kalian kebali kepada agama kalian.”(HR Abu Dawud)

Kesebelas, jual beli muzabanah, yaitu jual beli buah yang basah dengan buah

yang kering, atau menjual padi yang kering dengan harga padi yang basah. Hal ini dilarang karena berat timbangan biji padi yang basah yang kering berbeda dan mengandung unsur penipuan dalam transaksi semacam ini.

ةلَ احملا نع ملسو هيلع هللا ىلص هللا لوسر ىهن لاَ هنا هنع هللا يضر كلام نب سنا نع ىراخبلا هاور( ةنبازملاو ةذبانملاو ةسملاملاو ةرضاخملاو )

(14)

13

“Dari Anas ibn Malik r.a ia berkata : Rasulullah melarang jual beli muhakalah, mukhadarah, mulamasah,munabadzah, dan muzabanah.” (HR al-Bukhari)

Kedua belas, jual beli bersyarat, yaitu jual beli yang dikaitkan dengan syarat

tertentu. Jual beli bersyarat ini dilarang oleh Rasulullah sebagaimana hadist yang diriwayatkan oleh at-Thirmidzi :

)ىناربطا هاور( طرشو عيب نع ملسو هيلع هللا ىلص هللا لوسر ىهن

”Rasulullah SAW melarang jual beli dengan syarat.” (HR Thabrani)

Ketiga belas, jual beli dengan cara menimbun barang, yaitu seseorang

membeli barang yang dibutuhkan masyarakat, kemudian menyimpannya sehingga barang tersebut berkurang di pasaran dan mengakibatkan meningkatnya harga. Penimbunan seperti ini dilarang karena dapat merugikan orang lain dengan kelangkaannya dan sulit didapat yang mengakibatkan harga barang yang tinggi. Rasulullah melarang menimbun harta sebagaimana dalam hadisnya :

)ملسملا هاور( ئطاخ وهف ركتحا نم : ملسو هيلع هللا لوسر لاَ لاَ رمعم نع

“Dari Ma’mar ia berkata, Rasulullah SAW bersabda :”barang siapa yang menimbun barang maka ia bersalah (berdosa).” (HR Muslim)

Keempat belas, jual beli sperma binatang, Rasulullah melarang seseorang

menjual sperma binatang jantan yang digunakan untuk membuahi binatang betina sehingga bisa melahirkan, sebagaimana sabdanya :

بلا هاور( لحفلا بسع نع ملسو هيلع هللا يلص يبنلا يهن لاَ امهنع هللا يضر رمع نبا نع )يراخ

(15)

14

“Diriwayatkan dari Ibnu Umar r.a berkata “Rasulullah SAW melarang seseorang menjual spermma binatang jantan.” (HR. al-Bukhari) 6

A. Rukun dan syarat jual beli

Menurut Shalih ibn Ghanim al-Sadln, rukun jual beli dibagi menjadi tiga :

a. Shigat (ijab dan qabul)

b. Dua pihak yang berakad (penjual dan pembeli)

c. Tempat akad (harga dan barang)

Adapun rukun jual beli menurut jumhur ulama’ :

a. Penjual (Bai’)

b. Pembeli (musytari)

c. Ijab qabul

d. Nilai tukar pengganti barang7

Disamping rukun, terdapat pula syarat jual beli yaitu sesuatu yang harus ada

pada setiap rukun jual beli. Menurut jumhur ulama’ syarat-syarat tersebut :

1. Orang yang berakad (‘aqaid). Baik penjual maupun pembeli harus

memenuhi syarat tertentu sehingga aktifitas jual belinya sah secara hukum,

yaitu berakal (aqil) dan orang yang berakad harus cakap dalam bertindak

hukum.

2. Saling rela antara ke dua belah pihak. Kerelaan antara kedua belah pihak

untuk melakukan transaksi syarat mutlak keabsahannya berdasarkan hadist

Nabi Riwayat Ibnu Majah : “Jual beli haruslah atas dasar kerelaan (suka

sama suka)

3. Barang atau objek jual beli jual beli (ma’qud ‘alayh) harus memenuhi

syarat sebagai berikut :

6 Idri, Hadist Ekonomi dalam Perspektif Hadist Nabi (Jakarta : Prenada Media Grup, 2016), hlm

167

(16)

15

a. Barang tersebut harus ada, maka tidak sah menjual barang yang tidak

ada atau belum ada. Sesuai dengan hadist Nabi :

كدنع سيل ام عبتلا )يراخبلا هاور(

“Jangan menjual sesuatu yang tidak ada padamu.” (HR. al -Bukhari)

b. Benda yang diperjual belikan harus miliknya atau milik orang yang

diwakilkan. Jika benda yang diperjual belikan bukan milik sendiri,

menurut mazhab Syafi’i, Maliki, dan Hambali jual beli tersebut boleh dan sah dengan syarat harus mendapat ijin dari pemiliknya begitupun sebaliknya. Sesuai dengan hadist Rasulullah :

ملسو هيلع هللا يلص يبنلا لاَ :لوقي امهنع هللا يضر رمع نبا تعمس لاَ رانيد نب هللا دبع نع يتح هعبي لاف اماعط عاتبا نم )يراخبلا هاور( هضبقي

“Dari ‘Abdullah ibn Dinar, berkata : aku mendengar Ibn ‘Umar r.a berkata : Rasulullah bersabda :”barang siapa membeli makanan, maka janganlah ia membeli (mambayar)-nya kecuai setelah ia menerima atau memegangnya.” (HR. al-Bukhari)

c. Barang tersebut dapat diserahkan secara langsung meskipun akad sedang berlangsung, atau barang diserahkan sesuai waktu yang telah disepakati. Ketika transaksi berlangsung kemampuan untuk menyerahkan barang di idsyaratkan tidak ada kesulitan. Misalnya, memebeli ikan dalam kolam tetapi ikan tersebut nampak jelas dan bisa dilihat, dan air kolam tersebut tidak bertemu air sungai atau air laut adalah sah, karena tidak ada unsur penipuan. Sedangkan, jual beli yang mengandung penipuan adalah dilarang dalam islam. Seperti pada hadist Nabi :

َب ْنَع َو ِتاَصَحْلا ِعْيَب ْنَع َمَّلَس َو ِهْيَلَع ُهللا ىَّلَص ِهللا ُل ْوُسَر ىَهَن َلاََ َةَرْيَرُه ىِبَأ ْنَع

ِعْي

)ملسم هاور( ِر َرَغْلا

“Dari Abu Hurayrah r.a. Berkata Rasulullah saw melarang jual beli

dengan lemparan batu (kerikil) dan jual beli gharar.” (HR. Muslim)

(17)

16

benda yang di perjual belikan bisa menggunakan jalan isyarah (menyebutkan spesifikasi benda tersebut). Ketentuan tersebut terdapat dalam Hadis :

ْمُه َو ُةَنْيِدَمْلا :ملسو هيلع هللا ىلص ُّيِبَّنلا َمَدََ َلاََ اَمُهْنَع ُهللا َي ِضَر ْساَّبَع ِنْبا ْنَع

َن ْوُقِ لَسُي

ْوُلْعَم ٍن ْز َو َو ٍم ْوُلْعَم ٍلْيَك ْيِف ٍئْيَش ْيِف َفَلْسَا ْنَم َلاَقَف ِث َلاَّثلا َو ِنْيَتَنَّسلا ِرَمَّثلاِب

ٍلَجَا ىَلِا ٍم

ُلْعَم

)ملسم هاور( ٍم ْو

“Diriwayatkan dari ibn Abbas r.a. ia berkata: Nabi SAW datang ke Madinah dimana masyarakatnya melakukan transaksi salam (memesan) kurma selama dua tahun dan tiga tahun. Kemudian Nabi bersabda, “barangsiapa yang melakukan akad salam terhadap sesuatu hendaklah dilakukan dalam takaran yang jelas, timbangan yang jelas, dan sampai batas waktu yang jelas.” (HR. Muslim)

e. barang tersebut harus ada manfaatnya dan harus suci. Barang yang tidak ada manfaatnya dan najis maka tidak sah transaksinya. Seperti yang

diterangkan dalam surah al-a’raf ayat 157.

4. syarat yang berkaitan dengan ijab dan qabul, agar sebuah transaksi menjadi sahnya akad maka harus memenuhi beberapa syarat berikut : a) Tujuan pernyataan jelas, b) Antara ijab dan qabul harus ada kesesuaian, artinya antara penjual dan pembeli mengerti betul tentang barang tersebut dan pembeli rela akan barang tersebut, c) Pernyataan ijab dan qabul mengacu pada suatu kehendak masing-masing pihak secara pasti dan tidak ragu-ragu.

Beberapa cara untuk menyatakan ijab dan qabul, yaitu:

a) Ucapan, dalam hal ini tidak disyaratkan untuk menyebut barang yang menjadi objek kecuali akad dalam pernikahan.

b) Tulisan, dapat dilakukan oleh yang dapat bicara maupun tidak.

(18)

17

d) Isyarat, hanya boleh dilakukan oleh orang yang tuna wicara, namun, apabila mereka bisa melakukan tulis menulis alangkah baiknya menyatakan dengan tulisan.

5. syarat yang berkaitan dengan nilai tukar (harga barang). Ulama fiqh mengemukakan syarat dari nilai tukar sebagai berikut:

a) Harga yang disepakati harus jelas jumlahnya

b) Dapat diserahkan secara langsung ketika akad sedang berlangsung, apabila

barang tersebut dibayar kemudian (utang) maka harus jelas pula kapan pembayaranya

c) Apabila jual beli dilakukan secara barter maka barang tersebut yang

dijadikan sebagai nilai tukar dan barang yang dibenarkan oleh syara’.

Persyaratan diatas bersifat kumulatif, artinya keseluruhan syarat haruslah di penuhi untuk menjadi sah nya suatu transaksi. Apabila salah satu dari hal diatas tidak dipenuhi maka salah satu pihak akan merasa diberatkan atau dirugikan. Akibatnya akan termakan harta orang lain yang bukan hak.

B. Tujuan dan Bentuk-bentuk Jual Beli

Dalam aktifitas jual beli terdapat unsur tolong-menolong, dimana penjual mencari rezeki dengan menjual barang daganganya dan pembeli membelinya, umtuk pembeli kebutuhanya terpenuhi dan dapat membelinya yang telah disediakan oleh penjual di pasar. Alquran sendiri telah menjelaskan bahwa hidup itu harus saling tolong menolong seperti yang terkandung dalam surah

al-maidah ayat 2.

(19)

18 “Allah mengasihi kepada orang-orang yang memberikan kemudahan ketika ia menjual dan membeli serta ketika menagih haknya.” (HR. al-Bukhari)

Selain itu, jual beli menghindarkan seseorang dari penguasaan harta secara tunggal atay agar harta tersebut tidak berputar atau beredar dilingkungan

orang kaya saja (QS. Al-Hasyr: 7), dan juga agar umat manusia terutama

kaum beriman terhindar dari perbuatan memakan harta yang diperoleh secara

batil maka di adakanlah perniagaan atau jual beli (QS. An-Nisa: 29).

Bentuk-bentuk jual belidapat dilihat dari beberapa segi, yakni:

1) Dari segi keabsahanya menurut syara’, ada dua bentuk jual beli yaitu: a) Jual belli yang Sahih

b) Jual beli yang tidak Sahih, jual beli yang rukunya tidak terpenuhi.

2) Dilihat dari objek jual beli ada tiga bentuk:

a) Jual beli umum yakni menukar barang dengan uang

b) Jual beli al-surf (money changer) yaitu penukaran uang dengan uang

c) Jual beli Barter yakni menukar barang dengan barang

3) Dilihat dari standarisasi harga, terdapat tiga bentuk, diantaranya:

a) Jual beli tawar menawar, penjual tidak memberikan harga perolehan

barang dagangan

b) Jual beli amanah, penjual memberitahukan harga perolahan barang

dagangan

c) Jual beli lelang, penjual menawarkan suatu barang kemudian pembeli

berlomba-lomba menawar barang tersebut namun penjual menjualnya kepada pembeli yang berani menawar tinggi.

4) Dilihat dari cara pembayaran, terdapat empat bentuk jaul beli

a) Jual beli dengan penyerahan barang dan pembayaran dilakukan secara

langsung

(20)

19

c) Jual beli dengan penyerahan barang tertunda

d) Jual beli dengan penyerahan barang dan pembayaran sama-sama

tertunda.

C.Prinsip-prinsip Jual Beli

Berbagai penjelasan mengenai jual beli tidak lain agar aktivitas jual beli sesuai dengan prinsip-prinsip jual beli dalam islam, prinsip yang dimaksud adalah:

a) Prinsip suka sama suka (‘an taradhin).Segala bentuk aktifitas

dalam jua beli yang di halalkan dan tidak boleh ada unsur paksaan, penipuan, kecurangan, atau praktik-praktik lain yang dapat menghilangkan kebebasan, kebenaran, dan kejujuran dalam transaksi. Yang dimaksud suka sama suka yakni penjual dan pembeli sepakat atas barang dan harga yang ditransaksikan.

b) Takaran dan timbangan yang benar. Dalam perdagangan nilai

timbangan dan ukuran yang tepat dan standar harus di utamakan.

Hal ini sebagaimana firman Allah dalam surah al-Mutaffifin (83)

ayat 1-7.

c) Iktikad baik. Islam selain menenekankan pada timbangan agar

melakukanya dengan benar dan tepat juga harus menunjukkan iktikad yang baik dalam bertransaksi karena hal ini merupakan hakikat bisnis. Segala perjanjian harus dinyatakan dalam bentuk tulisan karena hal tersebut dapat menguatkan kesaksian dan mencegah keragu-raguan. Hal ini juga dipaparkan dalam firman

(21)

20 BAB III

PENUTUP

A. Simpulan

Jual beli adalah pertukaran harta antara dua pihak atas dasar atas dasar kerelaan, dan memindahkan milik dengan ganti yang dapat dibenarkan yaitu alat tukar yang sah diakui dalam lalu lintas perdagangan, jual beli merupakan transaksi atau tindakan yang telah jelas hukumnya dalam islam. Dalam persepektif hadis jual beli juga dibenarkan selama tidak melanggar ketentuan syariah karena disini jual beli merupakan kegiatan yang mengandung unsur tolong menolong selain dalam mencari keuntungan.

Dalam memenuhi kebutuhan hidup, transaksi ekonomi harus dilaksanakan dengan cara yang benar dan sesuai dengan aturan syariah yang

berlaku yaitu yang sesuai dengan syari’at Allah dan Rasul-Nya, Rasulullah

SAW sangat melarang perilaku dan sikap negatif dalam jual beli, antara lain sebagai berikut:

1. Jual beli dengan menyembunyikan cacat barang yang dijual

2. Jual beli secara curang (najsyi) supaya harga barang lebih tinggi,

yaitu menawar harga tinggi untuk menipu pengunjung lainnya 3. Jual beli dengan cara paksaan (bay’ al-ikrah)

Melakukan transaksi jual beli juga harus ada rukun dan syarat Jual beli, untuk rukun jual beli ada beberapa pendapat. Adapun rukun jual beli menurut

jumhur ulama’ :

a. Penjual (Bai’)

b. Pembeli (musytari)

c. Ijab qabul

(22)

21

Disamping rukun, terdapat pula syarat jual beli yaitu sesuatu yang harus ada

pada setiap rukun jual beli. Menurut jumhur ulama’ syarat-syarat tersebut :

1.Orang yang berakad (‘aqaid).

2. Saling rela antara ke dua belah pihak.

3. Barang yang diperjual belikan harus sesuai syarat menurut syariah, seperti:

a) Barang tersebut harus ada, maka tidak sah menjual barang yang

tidak ada atau belum ada.

b) Benda yang diperjual belikan harus miliknya atau milik orang yang

diwakilkan.

c) Barang tersebut dapat diserahkan secara langsung meskipun akad

sedang berlangsung, atau barang diserahkan sesuai waktu yang telah disepakati.

d) Barang tersebut diketahui oleh kedua belah pihak.

(23)

DAFTAR PUSTAKA

Rodin, Dede, Tafsir Ayat Ekonomi, Semarang: Karya Abadi Jaya, 2015.

Idri, HADIS EKONOMI Ekonomi dalam Perspektif Hadis Nabi, Jakarta:

Prenada Media Group, 2016.

Al-Hamd, Abdul Qadir Syaiban, SYARAH BULUGHUL MARAM: Fiqhul

Islam, Jakarta: Darul Haq, 2005.

Huda, Choirul, “SYARIAH DALAM PERSPEKTIF PELAKU BISNIS MLM SYARI’AH AHADNET INTERNASIONAL (Studi Kasus di Kota Semarang)”, economica, (Vol. IV, No. 2, November/ 2013)

Saifullah, Muhammad, “KAJIAN SEJARAH: ETIKA BISNIS DALAM

PRAKTEK MAL BISNIS MUHAMMAD”, economica, (Vol. II, NO. 2, November/ 2010)

Referensi

Dokumen terkait

pembeli menjawab, “saya beli dengan harga sepuluh ribu rupiah”. 3) Ijab dan qabul dilakukan dalam satu majelis, maksudnya adalah. bahwa kedua belah pihak yang melakukan

Imam Syafii mengatakan bahwa jika telah terjadi akad dengan memakai pola seperti yang dilarang dalam hadis ini, maka akad tersebut harus dibatalkan dengan alasan

Ibnu Qudamah berpendapat tentang tidak sahnya akad nikah dengan mendahulukan Qabul dan mengakhirkan Ijab karena menurut beliau, berdasarkan nash dan sunnah di atas, hukum

Apabila penjual mengucapkan ijab, lalu pembeli beranjak sebelum mengucapkan qabul atau pembeli mengadakan aktivitas lain yang tidak ada kaitannya dengan jual beli tersebut,

Berdasarkan syarat jual beli yang terjadi di Pasar Papringan Ngadiprono Temanggung jika dilihat dari syarat sah ijab qabul dan orang-orrang yang berakad maka prakteknya

Jual beli dalam syariat Islam dianggap sah apabila memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan, maka harus ada ijab (dari penjual) dan qabul (dari pembeli) yang

adalah akad, yaitu segala sesuatu yang menunjukan atas kerelaan kedua belah pihak yang melakukan jual beli, baik itu ijab atau qabul. Khusus untuk barang yang kecil,

Syarat shighat (lafal ijab dan kabul). Ulamak Hanafiyah yang sepakat dengan syarat ini. 2) Ijab dan kabul dilakukan dalam satu majelis. Ulamak yang sepakat denga syarat