• Tidak ada hasil yang ditemukan

Makalah Hukum PEMDA dan OTSUS Papua

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Makalah Hukum PEMDA dan OTSUS Papua"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

TUGAS MAKALAH

HUKUM PEMERINTAHAN DAERAH

DAN OTONOMI KHUSUS PAPUA

“UU Nomor 21 Tahun 2001

tentang Otonomi Khusus

Bagi Provinsi Papua”

Oleh :

KELOMPOK II

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

(2)
(3)

P E N D A H U L U A N

A. Latar Belakang

Sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia menurut Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa. Keputusan politik penyatuan Papua (semula disebut Irian Barat kemudian berganti menjadi Irian Jaya) menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia pada hakikatnya mengandung cita-cita luhur. Namun kenyataannya berbagai kebijakan dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan yang sentralistik belum sepenuhnya memenuhi rasa keadilan, belum sepenuhnya memungkinkan tercapainya kesejahteraan rakyat, belum sepenuhnya mendukung terwujudnya penegakan hukum, dan belum sepenuhnya menampakkan penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) di Provinsi Papua, khususnya masyarakat Papua.

Momentum reformasi di Indonesia memberi peluang bagi timbulnya pemikiran dan kesadaran baru untuk menyelesaikan berbagai permasalahan besar bangsa Indonesia dalam menata kehidupan berbangsa dan bernegara yang lebih baik. Sehubungan dengan itu, Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia pada tahun 1999 dan 2000 menetapkan perlunya pemberian status Otonomi Khusus kepada Provinsi Irian Jaya. Hal ini merupakan suatu langkah awal yang positif dalam rangka membangun kepercayaan rakyat kepada Pemerintah, sekaligus merupakan langkah strategis untuk meletakkan kerangka dasar yang kukuh bagi berbagai upaya yang perlu dilakukan demi tuntasnya penyelesaian masalah-masalah di Provinsi Papua.

(4)

Otonomi Khusus bagi Papua harus diartikan secara jelas dan tegas sejak awal, karena telah terbentuk berbagai pemahaman yang negative mengenai Otonomi di kalangan rakyat Papua. Pengalaman jelek yang dialami oleh rakyat Papua dalam masa pemerintahan Orde Lama dan Orde Baru, yang juga memperlakukan daerah Papua sebagai suatu daerah otonomi, merupakan alasan penting dimilikinya sikap negatif ini.

Istilah “otonomi” dalam Otonomi Khusus haruslah diartikan sebagai kebebasan bagi rakyat Papua untuk mengatur dan mengurus diri sendiri, sekaligus pula berarti kebebasan untuk berpemerintahan sendiri dan mengatur pemanfaatan kekayaan alam Papua untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat Papua dengan tidak meninggalkan tanggung jawab untuk ikut serta mendukung penyelenggaraan pemerintahan pusat dan daerah-daerah lain di Indonesia yang memang berkekurangan. Hal ini yang tidak kalah penting adalah kebebasan untuk menentukan strategi pembangunan social, budaya, ekonomi dan politik yang sesuai dengan karakteristik dan kekhasan sumber daya manusia serta kondisi alam dan kebudayaan orang Papua. Hal ini penting sebagai bagian dari pengembangan jati diri orang Papua yang seutuhnya yang ditunjukkan dengan penegasan identitas dan harga dirinya.

Istilah “khusus” hendaknya diartikan sebagai perlakuan berbeda yang diberikan kepada Papua karena kekhususan yang dimilikinya. Kekhususan tersebut mencakup hal-hal seperti tingkat social ekonomi masyarakat, kebudayaan dan sejarah politik. Dalam pengertian praktisannya, kekhususan otonomi Papua berarti bahwa ada hal-hal mendasar yang hanya berlaku di Papua dan mungkin tidak berlaku di daerah lain di Indonesia, dan ada hal-hal yang berlaku di daerah lain di Indonesia yang tidak diterapkan di Papua.

(5)

1. Perlindungan terhadap Hak-Hak Dasar Penduduk Asli Papua

Perlindungan terhadap hak-hak dasar orang Papua mencakup enam dimensi pokok kehidupannya:

1) Perlindungan hak hidup orang Papua di Tanah Papua yaitu suatu kualitas kehidupan yang bebas dari rasa takut serta terpenuhi seluruh kebutuhan jasmani dan rohaninya secara baik dan proporsional.

2) Perlindungan hak-hak orang Papua atas tanah dan air dalam batas-batas tertentu dengan sumber daya alam yang terkandung di dalamnya.

3) Perlindungan hak-hak orang Papua untuk berkumpul dan mengeluarkan pendapat dan aspirasinya.

4) Perlindungan hak-hak orang Papua untuk terlibat secara nyata dalam kelembagaan politik dan pemerintahan melalui penerapan kehidupan berdemokrasi yang sehat.

5) Perlindungan kebebasan orang Papua untuk memilih dan menjalankan ajaran agama yang diyakininya,tanpa ada penekanan dari pihak manapun; dan

6) Perlindungan kebudayaan dan istiadat orang Papua.

2. Demokrasi dan Kedewasaan Berdemokrasi

Rakyat Papua perlu terus mengembangkan kemampuannya untuk berdemokrasi secara dewasa yang ditinjukkan dengan kemampuan utnuk menghargai pluralisme atas dasar suku, agama, dan perbedaan-perbedaan sosial lainnya. Rakyat Papua juga perlu secara optimal memanfaatkan berbagai perangkat demokrasi yang tersedia dalam sutau negara modern seperti partai politik, pemilihan umum dan lembaga-lembaga perwakilan rakyat agar berbegai aspirasi yang dimiliki dapat disalurkan secara baik dan memiliki legalitas yang kuat dan efektif demi tercapainya kehidupan berdemokrasi secara dewasa dan bertanggung jawab.

(6)

Etika dan Moral merupakan tuntutan hidup orang Papua sejak dahulu yang telah dikembangkan oleh nenek moyang dan merupakan bagian dari adat-istiadat. Etika dan Moral ini kemudian diperkaya oleh ajaran-ajaran agama Kristen Protestan, Katolik, Islam, dan agama-agama lain yang dipeluk oleh orang-orang Papua sejak kurang lebih 200 tahun lalu. Penghargaan etika dan moral inilah yang memungkinkan Tanah Papua hingga kini masih jauh lebih aman dibandingkan beberapa daerah tertentu di Indonesia, walaupun ada pihak-pihak yang terus menerus menyebarluaskan kesan bahwa Papua adalah daerah yang rawan keamanan. Hubungan sosial yang erat dan saling menghormati antarsesama warga Tanah Papua yang terus dipertahankan bahkan dikembangkan hingga saat ini adalah akibat adanya penghargaan terhadap etika dan moral yang telah ada sejak dahulu.

4. Penghormatan terhadap Hak-hak Asasi Manusia

Pelaksanaan pembangunan melalui Otonomi Khusus di Tanah Papua harus dapat dilakukan dengan mengubah total semua praktik-praktik pembangunan di masa lalu, yang mengabaikan bahkan melanggar HAM rakyat Papua. Penggunaan kekuatan keamanan dan militer yang berlebihan dan melanggar HAM di waktu lalu, yang mengakibatkan banyak rakyat Papua hidup dalam rasa takut, harus dihilangkan di dalam era Otonomi Khusus ini. Pelaksanaan Otonomi Khusus harus mampu mewadahi proses ini secara damai dan bermartabat dan sekaligus membangun kerangka-kerangka dasar dalam rangka penyelesaian tuntas masalah-masalah yang terkait dengan pelurusan sejarah ini.

5. Penegakan Supremasi Hukum

(7)

mencapai kesejahteraan rakyat di Tanah Papua. Di dalam Otonomi Khusus Papua, supremasi hukum harus dapat ditegakkan dan terlihat secara nyata dalam penyelenggaraan pemerintahan, proses peradilan dan penegakan HAM.

6. Penghargaan terhadap Pluralisme

Penghargaan akan pluralisme yang telah dianut sejak dahulu harus terus dapat dipelihara dan dimanfaatkan di Tanah Papua dalam era Otonomi Khusus. Penghargaan akan pluralisme yang dimaksud adalah barang tentu harus diwarnai dengan keberpihakan secara tegas kepada mereka yang paling menderita, paling tertinggal, dan berada pada hierarki paling bawah dalam hal akses terhadap berbagai fasilitas kesejahteraan sosial, ekonomi, dan budaya.

7. Persamaan Kedudukan, Hak dan Kewajiban sebagai Warga Negara

Penegakan supremasi hukum perlu disebarluaskan kepada seluruh lapisan masyarakat Papua, termasuk kalangan aparat pemerintah dan keamanan tentang hak dan kedudukan sebagai warganegara yang sama di depan hukum, dan harus dilaksanakan secara bijaksana dengan peka terhadap kondisi objektif sebagian besar penduduk di Papua yang kondisi sosial, ekonomi, dan politiknya memerlukan perlindungan-perlindungan tertentu. Dengan perkataan lain, perlindungan yang diberikan itu harus mampu mengembangkan kemampuan diri masyarakat Papua untuk dalam waktu yang secepatnya dapat terlayani hak-hak dan memenuhi kewajiban-kewajibannya sama seperti semua warga negara lain.

D. Garis-garis Besar pokok pikiran yang dimasukkan ke dalam Undang-Undang Otonomi Khusus Papua

1. Pembagian Kewenangan antara Pusat dan Provinsi Papua

(8)

pemberian status otonomi khusus, tetapi yang tidak kalah pentingnya adalah pelaksanaan prinsip-prinsip demokratisasi penyelenggaraan negara dengan memberikan kesempatan sebesar-besarnya kepada rakyat dan daerah untuk mengatur dan mengurus dirinya sendiri secara nyata.

Dengan menggunakan semangat seperti ini, Pemerintah Pusat memiliki kewenangan untuk mengatur hal-hal sebagai berikut:

(1) Politik luar negeri yaitu bahwa Pemerintah Pusat memiliki kewenangan penuh mengurus politik luar negeri negara, dan Provinsi Papua termasuk ke dalamnya.

(2) Pertahanan terhadap ancaman eksternal yaitu bahwa Pemerintah Pusat bertanggung jawab penuh untuk menangkal setiap ancaman eksternal yang bertujuan untuk menghancurkan integritas Negara Kesatuan Republik Indonesia.

(3) Moneter yaitu pada dasarnya pengaturan sistem moneter di Provinsi Papua diatur oleh Pemerintah Pusat, namun tidak menutup kemungkinan bagi Provinsi Papua untuk memiliki sistem mata uang sendiri, di samping Rupiah, apabila memang lebih memberikan keuntungan kepada rakyat dan perkembangan perekonomian Papua.

(4) Peradilan Kasasi yaitu bahwa proses peradilan tingkat pertama dan tingkat banding dilakukan di Provinsi Papua, sementara peradilan tingkat kasasi dilakukan di tingkat nasional. Hal ini sekaligus menunjukkan sistem hukum di Provinsi Papua tetap merupakan bagian dari sistem hukum nasional Indonesia.

(9)

2. Pembagian Kewenangan di dalam Provinsi Papua

Otonomi Khusus Papua berarti bahwa ada hubungan hirarkis antara pemerintah tingkat provinsi dan kabupaten/kota, namun pada saat yang sama provinsi, kabupaten/kota dan kampung masing-masing adalah daerah otonom yang memiliki kewenangannya sendiri-sendiri. Prinsip yang dianut adalah bahwa kewenangan perlu diberikan secara proporsional ke bawah, terutama untuk berbagai hal yang langsung berkaitan dengan masyarakat. Hal ini konsisten dengan salah satu prinsip dasar otonomi yaitu menempatkan sedekat-dekatnya penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan ke subjek, yaitu rakyat. Karena itu, di dalam konteks Otonomi Khusus Provinsi Papua, fungsi-fungsi pengaturan berada di tingkat provinsi sedangkan fungsi-fungsi dan kewenangan pelayanan masyarakat diberikan sebesar-besarnya kepada kabupaten/kota dan kampung.

Untuk menyelenggarakan pemerintahan yang demokratis, profesional dan bersih, dan sekaligus memiliki ciri-ciri kebudayaan dan jati diri rakyat Papua, serta mengakomodasi sebanyak mungkin kepentingan penduduk asli Papua, perlu dibentuk empat badan/ lembaga, yaitu:

1) Lembaga Eksekutif, di tingkat Provinsi dipimpin seorang Gubernur dan di tingkat Kabupaten/ Kota dipimpin oleh Bupati atau Walikota. Gubernur, Bupati, dan Walikota dipimpin lembaga legislatif. Lembaga eksekutif berfungsi untuk melaksanakan tugas-tugas pemerintahan Gubernur dipilih oleh Lembaga Legislatif.

(10)

juga berfungsi untuk mengawasi pelaksanaan tugas Dewan perwakilan Rakyat.

3) Lembaga Adat, mengatur segala sesuatu yang terkait dengan hak-hak masyarakat adat di wilayah hukum adat tertentu.

4) Lembaga Peradilan, berpedoman pada sistem hukum nasional Indonesia. Penyelesaian-penyelesaian perkara menurut hukum adat juga diberlakukan di Papua.

3. Ekonomi dan Keuangan

Fokus utama yang ingin dicapai melalui pembangunan ekonomi di Tanah Papua adalah:

1) Memberikan manfaat sebanyak-banyaknya kepada penduduk Papua, terutama penduduk asli Papua yang selama ini terabaikan atau terpinggirkan dalam pembangunan ekonomi.

2) Mengembangkan kemampuan diri penduduk Papua, terutama penduduk asli Papua, untuk terlibat secara nyata dalam semua jenis kegiatan perekonomian.

3) Memastikan bahwa semua kegiatan ekonomi yang dilakukan di masa sekarang tidak mengabaikan menurunnya kualitas kehidupan generasi Papua di masa depan.

Karena itu, pembangunan ekonomi di Tanah Papua dilakukan dengan berpedoman pada hal-hal berikut ini:

(11)

2) Pengolahan lanjutan dalam rangka pemanfaatan sumberdaya alam sebagaimana yang dimaksud pada butir di atas diupayakan untuk dilakukan sepenuhnya di Tanah Papua.

3) Perizinan dan perjanjian kerjasama yang telah dilakukan oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Provinsi dengan pihak lain tetap berlaku dan dihormati sepanjang tidak merugikan masyarakat asli Papua dan tidak bertentangan dengan jiwa dan semangat Undang-undang Otonomi Khusus Papua.

4) Pembangunan perekonomian berbasis kerakyatan dilaksanakan dengan memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada masyarakat adat dan atau masyarakat setempat.

5) Perundingan yang dilakukan antara Pemerintah Provinsi/ Kabupaten/ Kota dan penanam modal harus melibatkan masyarakat adat.

4. Kesehatan dan Gizi

Rendahnya mutu indikator-indikator kependudukan orang-orang asli Papua sesungguhnya merupakan refleksi dari rendahnya mutu kesehatan dan gizi penduduk Papua, terutama orang-orang asli Papua. Hal tersebut terefleksi secara jelas dalam Rancangan Undang-undang Otonomi Khusus yang mengatur bahwa Pemerintah Provinsi berkewajiban menetapkan standar mutu dan memberikan pelayanan kesehatan bermutu bagi penduduk.

Untuk menjamin bahwa pelayanan kesehatan bermutu itu dapat dinikmati oleh seluruh peduduk Papua, termasuk mereka yang berada di daerah terpencil, ditempuh dua pendekatan:

1) Setiap penduduk Papua berhak memperoleh pelayanan kesehatan bermutu dengan beban biaya yang serendah-rendahnya, dan

(12)

Hal yang sama berlaku pula untuk program perbaikan dan peningkatan gizi penduduk Papua, terutama untuk memenuhi kelompok-kelompok rawan gizi seperti ibu-ibu hamil dan balita.

5. Keagamaan

Salah satu realitas terpenting dari kebebasan suara hati nurani adalah kebebasan beragama. Dalam kebebasan seperti ini, setiap orang berhak untuk menentukan sendiri bagaimana ia beragama, ia juga berhak untuk hidup sesuai dengan keyakinan agamanya, ia juga berhak untuk mengkomunikasikan agamanya kepada orang lain sepanjang orang itu bersedia tanpa paksaan menerima komunikasi itu, ia juga berhak untuk meninggalkan agamanya dan memeluk agama baru yang diyakininya, dan bahkan ia pun berhak untuk tidak didiskriminasikan kaerna agama atau keyakinannya.

Di dalam Otonomi Khusus Papua, dengan berpedoman pada hak-hak manusia universal, setiap penduduk Papua dijamin hak dan kebebasannya untuk memeluk agama dan kepercayaannya masing-masing. Maka, agar tercipta suasana yang kondusif bagi pembangunan keagamaan di Papua, Pemerintah Provinsi berkewajiban untuk:

1) Menjamin kebebasan, membina kerukunan dan melindungi semua umat beragama di Tanah Papua untuk menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya.

2) Menghormati nilai-nilai agama yang dianut oleh umat beragama 3) Mengakui otonomi lembaga keagamaan

(13)

BAB II

UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2001

TENTANG OTONOMI KHUSUS PAPUA

Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua diberikan oleh Negara Republik Indonesia melalui Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 (Lembaran Negara Tahun 2001 No. 135 dan Tambahan Lembaran Negara No. 4151) yang telah diubah dengan Perpu No. 1 Tahun 2008 (LN Tahun 2008 No. 57 dan TLN No. 4843). UU 21/2001 yang terdiri dari 79 pasal ini mengatur kewenangan-kewenangan Provinsi Papua dalam menjalankan Otonomi Khusus. Untuk materi lengkap bisa dilihat di dalam UU 21/2001. Selain hal-hal yang diatur secara khusus dalam UU ini, Provinsi Papua masih tetap menggunakan UU tentang Pemerintahan Daerah yang berlaku secara umum bagi seluruh daerah di Indonesia.

A. Provinsi Papua

Provinsi Papua adalah Provinsi Irian Jaya yang kemudian menjadi Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat yang diberi Otonomi Khusus dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Otonomi Khusus sendiri adalah kewenangan khusus yang diakui dan diberikan kepada Provinsi Papua, termasuk provinsi-provinsi hasil pemekaran Provinsi Papua, untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi dan hak-hak dasar masyarakat Papua.

(14)

B. Wilayah Papua

Provinsi Papua terdiri atas Daerah Kabupaten dan Daerah Kota yang masing-masing sebagai Daerah Otonom. Daerah Kabupaten/Kota terdiri atas sejumlah Distrik. Distrik (dahulu dikenal dengan Kecamatan) adalah wilayah kerja Kepala Distrik sebagai perangkat daerah Kabupaten/Kota; Distrik terdiri atas sejumlah kampung atau yang disebut dengan nama lain. Kampung atau yang disebut dengan nama lain adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dalam sistem pemerintahan nasional dan berada di daerah Kabupaten/Kota.

Di dalam Provinsi Papua dapat ditetapkan kawasan untuk kepentingan khusus yang diatur dalam peraturan perundang-undangan atas usul Provinsi. Pemekaran Provinsi Papua menjadi Provinsi-provinsi yang baru dilakukan atas persetujuan MRP dan DPRP setelah memperhatikan dengan sungguh-sungguh kesatuan sosial-budaya, kesiapan sumberdaya manusia dan kemampuan ekonomi dan perkembangan di masa datang.

C. Pemerintahan

Pemerintahan Daerah Provinsi Papua terdiri atas Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) sebagai badan legislatif, dan Pemerintah Provinsi sebagai badan eksekutif. Dalam rangka penyelenggaraan Otonomi Khusus di Provinsi Papua dibentuk Majelis Rakyat Papua (MRP) yang merupakan representasi kultural orang asli Papua yang memiliki kewenangan tertentu dalam rangka perlindungan hak-hak orang asli Papua, dengan berlandaskan pada penghormatan terhadap adat dan budaya, pemberdayaan perempuan, dan pemantapan kerukunan hidup beragama.

D. Legislatif

(15)

Provinsi Papua sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan. Sebagai contoh mudah, jika jatah anggota DPRD Papua menurut UU Susduk MPR, DPR, DPD, dan DPRD adalah 100 kursi maka jumlah kursi DPRP adalah 125 kursi.

E. Eksekutif

Pemerintah Provinsi Papua dipimpin oleh seorang Kepala Daerah sebagai Kepala Eksekutif yang disebut Gubernur. Gubernur dibantu oleh Wakil Kepala Daerah yang disebut Wakil Gubernur. Tata cara pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur ditetapkan dengan Perdasus sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Berbeda dengan Provinsi-provinsi lain di Indonesia, yang dapat dipilih menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur Papua memerlukan syarat khusus, diantaranya adalah Warga Negara Republik Indonesia dengan syarat-syarat:

 orang asli Papua;

 setia kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia dan mengabdi kepada rakyat Provinsi Papua;

 tidak pernah dihukum penjara karena melakukan tindak pidana, kecuali dipenjara karena alasan-alasan politik; dan

 tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan keputusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, kecuali dipenjara karena alasan-alasan politik.

F. MRP (Majelis Rakyat Papua)

MRP beranggotakan orang-orang asli Papua yang terdiri atas wakil-wakil adat, wakil-wakil agama, dan wakil-wakil perempuan yang jumlahnya masing-masing sepertiga dari total anggota MRP. Keanggotaan dan jumlah anggota MRP ditetapkan dengan Perdasus. Masa keanggotaan MRP adalah 5 (lima) tahun. Pelantikan anggota MRP dilaksanakan oleh Menteri Dalam Negeri.

(16)

 memberikan pertimbangan dan persetujuan terhadap bakal calon Gubernur dan Wakil Gubernur yang diusulkan oleh DPRP; dan

 memberikan pertimbangan dan persetujuan terhadap Rancangan Perdasus yang diajukan oleh DPRP bersama-sama dengan Gubernur.

G. Parpol

Penduduk Provinsi Papua dapat membentuk partai politik. Rekrutmen politik oleh partai politik di Provinsi Papua dilakukan dengan memprioritaskan masyarakat asli Papua. Partai politik wajib meminta pertimbangan kepada MRP dalam hal seleksi dan rekrutmen politik partainya masing-masing.

H. Peraturan Daerah

Peraturan Daerah Khusus (Perdasus) adalah Peraturan Daerah Provinsi Papua dalam rangka pelaksanaan pasal-pasal tertentu dalam UU 21/2001. Perdasus dibuat dan ditetapkan oleh DPRP bersama-sama Gubernur dengan pertimbangan dan persetujuan MRP. Peraturan Daerah Provinsi (Perdasi) adalah Peraturan Daerah Provinsi Papua dalam rangka pelaksanaan kewenangan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan. Perdasi dibuat dan ditetapkan oleh DPRP bersama-sama Gubernur.

I. Keuangan

1. Dana Perimbangan

Dalam rangka otonomi khusus Provinsi Papua (dan provinsi-provinsi hasil pemekarannya) mendapat bagi hasil dari pajak dan sumber daya alam sebagai berikut:

1) Pajak Bumi dan Bangunan sebesar 90% (sembilan puluh persen)

2) Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan sebesar 80% (delapan puluh persen)

(17)

4) Kehutanan sebesar 80% (delapan puluh persen) 5) Perikanan sebesar 80% (delapan puluh persen)

6) Pertambangan umum sebesar 80% (delapan puluh persen)

7) Pertambangan minyak bumi 70% (tujuh puluh persen) selama 25 tahun terhitung dari tahun 2001. Mulai tahun ke-26 menjadi 50% (lima puluh persen)

8) Pertambangan gas alam 70% (tujuh puluh persen) selama 25 tahun terhitung dari tahun 2001. Mulai tahun ke-26 menjadi 50% (lima puluh persen).

Sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh persen) penerimaan Pertambangan minyak bumi dan gas alam dialokasikan untuk biaya pendidikan, dan sekurang-kurangnya 15% (lima belas persen) untuk kesehatan dan perbaikan gizi.

2. Dana lain-lain

Dana Alokasi Khusus yang ditetapkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan dengan memberikan prioritas kepada Provinsi Papua. Penerimaan khusus dalam rangka pelaksanaan Otonomi Khusus yang besarnya setara dengan 2% (dua persen) dari plafon Dana Alokasi Umum Nasional, yang terutama ditujukan untuk pembiayaan pendidikan dan kesehatan yang berlaku selama 20 (dua puluh) tahun. Dana tambahan dalam rangka pelaksanaan Otonomi Khusus yang besarnya ditetapkan antara Pemerintah dengan DPR berdasarkan usulan Provinsi pada setiap tahun anggaran, yang terutama ditujukan untuk pembiayaan pembangunan infrastruktur.

J. Perekonomian

(18)

kerakyatan dilaksanakan dengan memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada masyarakat adat dan/atau masyarakat setempat yang dilakukan dalam kerangka pemberdayaan masyarakat adat agar dapat berperan dalam perekonomian seluas-luasnya. Penanam modal yang melakukan investasi di wilayah Provinsi Papua harus mengakui dan menghormati hak-hak masyarakat adat setempat. Pemberian kesempatan berusaha Perundingan yang dilakukan antara Pemerintah Provinsi, Kabupaten/Kota, dan penanam modal harus melibatkan masyarakat adat setempat.

K. Penegakan Hukum

1. Kepolisian

Tugas Kepolisian di Provinsi Papua dilaksanakan oleh Kepolisian Daerah Provinsi Papua sebagai bagian dari Kepolisian Negara Republik Indonesia. Pengangkatan Kepala Kepolisian Daerah Provinsi Papua dilakukan oleh Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan persetujuan Gubernur Provinsi Papua. Seleksi untuk menjadi perwira, bintara, dan tamtama Kepolisian Negara Republik Indonesia di Provinsi Papua dilaksanakan oleh Kepolisian Daerah Provinsi Papua dengan memperhatikan sistem hukum, budaya, adat istiadat, dan kebijakan Gubernur Provinsi Papua. Pendidikan dasar dan pelatihan umum bagi bintara dan tamtama Kepolisian Negara Republik Indonesia di Provinsi Papua diberi kurikulum muatan lokal, dan lulusannya diutamakan untuk penugasan di Provinsi Papua. Penempatan perwira, bintara dan tamtama Kepolisian Negara Republik Indonesia dari luar Provinsi Papua dilaksanakan atas Keputusan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan memperhatikan sistem hukum, budaya dan adat istiadat di daerah penugasan.

2. Kejaksaan

(19)

Provinsi Papua dilakukan oleh Jaksa Agung Republik Indonesia dengan persetujuan Gubernur.

3. Peradilan

Kekuasaan kehakiman di Provinsi Papua dilaksanakan oleh Badan Peradilan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Di samping kekuasaan kehakiman tersebut, diakui adanya peradilan adat di dalam masyarakat hukum adat tertentu. Peradilan adat adalah peradilan perdamaian di lingkungan masyarakat hukum adat, yang mempunyai kewenangan memeriksa dan mengadili sengketa perdata adat dan perkara pidana di antara para warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan. Pengadilan adat disusun menurut ketentuan hukum adat masyarakat hukum adat yang bersangkutan.

Pengadilan adat memeriksa dan mengadili sengketa perdata adat dan perkara pidana berdasarkan hukum adat masyarakat hukum adat yang bersangkutan. Pengadilan adat tidak berwenang memeriksa dan mengadili sengketa perdata dan perkara pidana yang salah satu pihak yang bersengketa atau pelaku pidana bukan warga masyarakat hukum adatnya.

Hukum Adat adalah aturan atau norma tidak tertulis yang hidup dalam masyarakat hukum adat, mengatur, mengikat dan dipertahankan, serta mempunyai sanksi. Masyarakat Hukum Adat adalah warga masyarakat asli Papua yang sejak kelahirannya hidup dalam wilayah tertentu dan terikat serta tunduk kepada hukum adat tertentu dengan rasa solidaritas yang tinggi di antara para anggotanya.

(20)

L. Adat Papua dan Perlindungannya

Adat adalah kebiasaan yang diakui, dipatuhi dan dilembagakan, serta dipertahankan oleh masyarakat adat setempat secara turun-temurun. Pemerintah Provinsi Papua wajib mengakui, menghormati, melindungi, memberdayakan dan mengembangkan hak-hak masyarakat adat dengan berpedoman pada ketentuan peraturan hukum yang berlaku. Masyarakat adat adalah warga masyarakat asli Papua yang hidup dalam wilayah dan terikat serta tunduk kepada adat tertentu dengan rasa solidaritas yang tinggi di antara para anggotanya.

Hak-hak masyarakat adat tersebut meliputi hak ulayat masyarakat hukum adat dan hak perorangan para warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan. Hak Ulayat adalah hak persekutuan yang dipunyai oleh masyarakat hukum adat tertentu atas suatu wilayah tertentu yang merupakan lingkungan hidup para warganya, yang meliputi hak untuk memanfaatkan tanah, hutan, dan air serta isinya sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Penyediaan tanah ulayat dan tanah perorangan warga masyarakat hukum adat untuk keperluan apapun, dilakukan melalui musyawarah dengan masyarakat hukum adat dan warga yang bersangkutan untuk memperoleh kesepakatan mengenai penyerahan tanah yang diperlukan maupun imbalannya.

(21)

M. Hak Asasi dan Rekonsiliasi

Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan penduduk Provinsi Papua wajib menegakkan, memajukan, melindungi, dan menghormati Hak Asasi Manusia di Provinsi Papua. Untuk hal itu Pemerintah membentuk perwakilan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Pengadilan Hak Asasi Manusia, dan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Provinsi Papua. Untuk menegakkan Hak Asasi Manusia kaum perempuan, Pemerintah Provinsi berkewajiban membina, melindungi hak-hak dan memberdayakan perempuan secara bermartabat dan melakukan semua upaya untuk memposisikannya sebagai mitra sejajar kaum laki-laki.

Dalam rangka pemantapan persatuan dan kesatuan bangsa di Provinsi Papua dibentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Tugas Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi adalah melakukan klarifikasi sejarah Papua untuk pemantapan persatuan dan kesatuan bangsa dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia dan merumuskan dan menetapkan langkah-langkah rekonsiliasi.

N. Agama, Pendidikan, dan Kebudayaan

Setiap penduduk Provinsi Papua memiliki hak dan kebebasan untuk memeluk agama dan kepercayaannya masing-masing. Pemerintah Provinsi Papua berkewajiban untuk menjamin:

 kebebasan, membina kerukunan, dan melindungi semua umat beragama untuk menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaan yang dianutnya;

 menghormati nilai-nilai agama yang dianut oleh umat beragama;

 mengakui otonomi lembaga keagamaan; dan

(22)

Pemerintah mendelegasikan sebagian kewenangan perizinan penempatan tenaga asing bidang keagamaan di Provinsi Papua kepada Gubernur Provinsi Papua.

Pemerintah Provinsi bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan pendidikan pada semua jenjang, jalur, dan jenis pendidikan di Provinsi Papua. Pemerintah Provinsi wajib melindungi, membina, dan mengembangkan kebudayaan asli Papua. Pemerintah Provinsi berkewajiban membina, mengembangkan, dan melestarikan keragaman bahasa dan sastra daerah guna mempertahankan dan memantapkan jati diri orang Papua. Selain bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional, bahasa Inggris ditetapkan sebagai bahasa kedua di semua jenjang pendidikan. Bahasa daerah dapat digunakan sebagai bahasa pengantar di jenjang pendidikan dasar sesuai kebutuhan.

O. Lingkungan Hidup

Pemerintah Provinsi Papua berkewajiban melakukan pengelolaan lingkungan hidup secara terpadu dengan memperhatikan penataan ruang, melindungi sumber daya alam hayati, sumber daya alam nonhayati, sumber daya buatan, konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, cagar budaya, dan keanekaragaman hayati serta perubahan iklim dengan memperhatikan hak-hak masyarakat adat dan untuk sebesar-besarnya bagi kesejahteraan penduduk.

P. Lain-lain

(23)

Q. Penerbitan Perpu No. 1 Tahun 2008

(24)

DAFTAR PUSTAKA

Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2008 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua Menjadi Undang-undang

www.google.com

http://geschidenis01.blogspot.com/2013/03/otonomi-khusus-papua-dinamika-dan.html

Referensi

Dokumen terkait

Integrasi model ketiga dimaksudkan untuk membentuk kesatuan yang baru yakni bangsa Indonesia yang merdeka, memiliki semangat kebangsaan (nasionalisme) yang baru atau

Berbagai masalah politik yang masih harus dipecahkan bersama oleh bangsa Indonesia saat ini seperti diberlakukannya Otonomi daerah, sistem multi partai, pemisahan TNI dengan Polri

misalnya pancasila, sebagai pandangan hidup bangsa Indonesia yang kemudian menjadi falsafah Negara merupakan sumber hukum dalam arti materiil yang tidak saja menjiwai

Permasalahan yang dihadapi pemerintah dalam penegakan HAM di Indonesia Kenyataan menunjukkan bahwa masalah HAM di Indonesia selalu menjadi sorotan tajam dan

Sebagai suatu ideologi bangsa dan negara Indonesia maka Pancasila pada hakekatnya bukan hanya merupakan suatu hasil perenungan atau pemikiran seseorang atau kelompok orang

Sebagai suatu ideologi bangsa dan negara Indonesia maka Pancasila pada hakikatnya bukan hanya merupakan suatu hasil perenungan dan pemikiran seseorang atau kelompok orang

Dengan mengkaji lebih lanjut pemikiran Ibn Khaldun, diharapkan akan memberi penawaran baru terhadap permasalahan tersebut, khususnya tentang peran lembaga hisbah yang

Kondisi persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia dewasa ini serta penyimpangan implementasi Pancasila pada masa Orde Lama dan Orde Baru yang menimbulkan gerakan reformasi