• Tidak ada hasil yang ditemukan

Respon Negara negara Asia Tenggara terha (2)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Respon Negara negara Asia Tenggara terha (2)"

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 1

Pendahuluan

1. Latar Belakang

Pembajakan kapal merupakan salah satu kejahatan internasional dan menjadi ancaman utama bagi komunitas dunia, hal ini karena tindak kejahatan pembajakan kapal menyebabkan kerugian perdagangan yang sangat meresahkan. Geopolicity1 (2011) dalam laporan independennya tentang kasus pembajakan

kapal di dunia memperkirakan kerugian akibat kejahatan tersebut di seluruh dunia kurang lebih sebesar USD 4,9 Milyar hingga USD 8,3 Milyar per tahun dan memiliki kemungkinan akan meningkat menjadi USD 13 Milyar hingga USD 15 Milyar pada tahun 2015.

Asia Tenggara merupakan kawasan yang menjadi salah satu target pembajakan kapal bersama dengan beberapa kawasan lain seperti Afrika dan Karibia di Amerika Tengah. Sejak tahun 2009 hingga 2013, kasus pembajakan di kawasan Asia Tenggara terutama daerah dekat Singapura, Malaysia dan Indonesia terus meningkat. International Chamber of Commerce’s International Maritime Bureau melaporkan bahwa pada tahun 2009 kasus pembajakan yang tercatat sebanyak 42 kasus dan jumlah kasus pembajakan terus meningkat secara signifikan sebanyak 63 pada tahun 2010, 74 kasus pada tahun 2011, 101 kasus di tahun 2012, dan 2013 dengan 125 kasus yang tercatat. Jumlah ini berbanding terbalik dengan yang terjadi di Somalia dan Teluk Aden yang menurun dari 197 kasus pada tahun 2010 menjadi hanya 13 kasus pada tahun 2013.2

1 Geopoliticity adalah perusahaan konsultasi manajemen internasional yang mengeluarkan riset terkait efek ekonomi dari pembajakan kapal dan berbasis di Dubai, Uni Emirat Arab.

(2)

Grafik di bawah ini menjelaskan perbandingan kasus pembajakan kapal yang terjadi di Selat Malaka dan Singapura dengan pembajakan yang terjadi di Perairan Somalia dimana dalam grafik tersebut memperlihatkan terjadinya perubahan angka yang cukup signifikan dimana kasus pembajakan kapal di Perairan Somalia menurun drastis sedangkan berbeda halnya dengan yang terjadi di Selat Malaka dan Singapura dimana peningkatan terus terjadi sejak 2009.

Grafik 1 Kasus Pembajakan Kapal di Selat Malaka dan Singapura dengan Perairan Somalia 2009 – 2013

20090 2010 2011 2012 2013 50

100 150 200 250

(3)

Sumber: International Chamber of Commerce's International Maritime Bureau (2009 – 2013)

Daerah rawan pembajakan di Asia Tenggara antara lain Selat Malaka merupakan wilayah ‘favorit’ para pembajak, faktor geografis dan faktor ekonomi menjadi alasan mengapa pembajak sering melakukan aksinya di daerah ini. Secara geografis, daerah ini dapat dikatakan sempit. Finn (1979) menjabarkan dalam bukunya Oil Pollution From Tankers In The Straits Of Malacca bahwa Selat Malaka sebagai jalur masuk mempunyai lebar seluas 220 mil laut sedangkan Selat Singapura di ujung selatan hanya memiliki lebar 3,2 mil laut. Walaupun daerah ini cenderung sempit, daerah ini merupakan jalur perdagangan utama yang menghubungkan laut Hindia dengan laut Tiongkok Selatan. Sebanyak 200 kapal diestimasikan melewati jalur ini per harinya, hal ini membuat total kapal yang mungkin melewati jalur ini sebanyak kurang lebih 70.000 kapal per tahun dan merupakan jalur transportasi bagi sepertiga barang yang diperdagangkan di dunia (Gilmartin, 2008).

(4)

tersebut melalui Admiral Thomas Fargo dari US Pasific Command menyatakan kesiapan membantu ASEAN dalam mengamankan selat Malaka dengan mengajukan konsep The Regional Maritime Security Initiative seandainya ASEAN tidak mampu mengontrol kawasan perairan sekitar Selat Malaka. Jika anggapan ini semakin diperlihatkan oleh banyak negara lainnya, bukan tidak mungkin komunitas internasional akan memaksa ASEAN untuk memberikan izin kepada negara-negara lain untuk mengamankan Selat Malaka.

Dari sisi ekonomi, kerugian materiil akan banyak dirasakan oleh negara negara Asia Tenggara karena selat Malaka merupakan selat penting sebagai jalur perdagangan. Singapura misalnya, berdasarkan penelitian Dela Pena (2009) merasakan kerugian yang signifikan pertahunnya terutama terhadap kelancaran arus bongkar muat ekspor impor akibat terlambatnya kapal karena berhadapan dengan pembajak kapal. Malaysia di sisi lain, sangat dependen terhadap selat Malaka dimana 80% perdagangan Malaysia melewati jalur ini dan bahkan pelabuhan-pelabuhan utama Malaysia berada tepat di selat Malaka (Dela Pena, 2009). Peningkatan kasus pembajakan kapal sama artinya dengan mematikan perekonomian Malaysia.

(5)

Malacca Strait Sea Patrol (MSSP) dengan tujuan untuk mengurangi kasus pembajakan yang muncul di daerah tersebut.

Hasil dari MSSP cukup memuaskan, dalam rentang waktu 2005 – 2009, kasus pembajakan kapal di daerah tersebut turun signifikan. Bahkan pada tahun 2009, International Maritime Bureau melaporkan bahwa kasus pembajakan yang tercatat di Selat Malaka tidak mencapai angka 50 lebih tepatnya ‘hanya’ berjumlah 42 kasus. Angka tersebut, pada saat itu, sangat jauh dibawah angka pembajakan yang terjadi di perairan Somalia yang mencapai 197 kasus selama tahu 2009. Hal ini karena selain dilakukannya kerjasama koordinatif yang sering dikenal sebagai ‘joint sea patrol’dalam mengawal perairan Malaka oleh 3 negara litoral tersebut, ASEAN meluncurkan Eyes In the Sky initiative (EIS) pada tahun 2005 untuk mendukung patroli di laut dengan mengawasi melalui udara serta kerjasama untuk berbagi informasi intelejen terkait pembajakan kapal dengan nama Intelligence Exchange Group (EIG). Ketiga inisiatif tersebut merupakan rangkaian dari kerjasama praktikal yang kemudian diimplementasikan dalam satu wadah baru bernama Malacca Strait Patrol Intelligence Group pada 2006. (Baird, 2010)

Namun, ‘dongeng manis’ tersebut tidak bertahan lama karena sejak tahun 2009, kasus pembajakan kapal di Selat Malaka kembali meningkat. Data dari International Maritime Bureau (IMB) dan Regional Cooperation Agreement on Combating Piracy and Armed Robbery against Ships in Asia (ReCAAP) menunjukkan kenaikan signifikan sejak tahun 2009 walaupun memiliki angka yang berbeda.3

(6)

Dibawah ini penulis memperlihatkan peta penyebaran kasus pembajakan kapal di tahun 2009 melalui Gambar 1 dan 2013 melalui Gambar 2. Dari peta tersebut dapat terlihat jelas terjadinya perubahan titik panas (hotspot) kasus pembajakan kapal dari awalnya berada di wilayah sekitar Tanduk Afrika menjadi di perairan Asia Tenggara.

Gambar 1 Peta Penyebaran Pembajakan Kapal pada tahun 2009

Sumber: International Maritime Bureau – Piracy Map 2009 report

Rapuhnya wilayah Asia Tenggara terhadap pembajakan kapal kemudian depiksikan oleh majalah TIME (2014) dalam sebuah judul artikelnya di situsnya sebagai “The Most Dangerous Waters in The World”. Persatuan Bangsa Bangsa (PBB) seperti yang dilaporkan oleh berita online Japan Times (2014) juga menyatakan bahwa perairan di Asia Tenggara mengalahkan Teluk Aden dekat

(7)

Somalia sebagai ‘world’s hot spot for pirate attacks’. Hal ini tidak berlebihan mengingat sejak tahun 1995 hingga 2013, 41% serangan pembajakan kapal yang terjadi di dunia dilakukan di perairan kawasan Asia Tenggara sedangkan perairan Teluk Aden dan Afrika Barat masing masing menyumbang 28% dan 18%. (TIME.com, 2014)

Gambar 2 Peta Penyebaran Pembajakan Kapal tahun 2013

Sumber: International Maritime Bureau – Piracy Map 2013 report

(8)

penjagaan udara di sekitar perairan Selat Malaka dan Singapura. (Oceanbeyondpiracy.org, 2013)

Ditambah lagi, kerjasama bidang militer untuk mengamankan perairan di barat Asia Tenggara ini tidak lah benar benar bekerja laiknya ‘joint military’ melainkan hanya berupa kerjasama terkoordinasi. Hal ini merupakan keputusan yang disetujui negara anggota MSSP sejak dimulainya kerjasama pada tahun 2004 (Indonesia, Malaysia, Singapura) karena ketidakinginan masing masing negara jika wilayah perairannya dimasuki oleh kapal militer antar negara anggota bila kerjasama MSSP berbentuk joint. Sikap yang ditunjukkan oleh ketiga negara ini sebenarnya banyak mendapat tentangan karena tidak sesuai dengan semangat untuk menanggulangi pembajakan kapal, namun keputusan tetap tidak mengalami perubahan mengingat isu tentang cross-border merupakan isu yang sensitif bagi negara di kawasan tersebut. (Raymond, 2009)

Berbeda dengan yang terjadi di Teluk Aden dan Somalia, pemberantasan kejahatan ini cenderung hanya melalui negara negara anggota ASEAN tanpa campur tangan komunitas internasional sebagai mana halnya yang terjadi di Teluk Aden. Kurang adanya campur tangan ini terjadi karena negara negara Asia Tenggara terutama Indonesia dan Malaysia tidak melihat masuknya negara lain selain negara di Asia Tenggara sebagai solusi melainkan hanya sebagai tindakan intervensif yang tidak perlu.

(9)

terutama negara negara Barat sebagai ancaman walaupun komunitas internasional sudah memperlihatkan kapabilitasnya dalam menangani bajak laut melalui banyak resolusi PBB di Teluk Aden dan perairan Somalia. (Baird, 2010)

Sedangkan negara negara lain Asia Tenggara (Selain Indonesia, Malaysia, Singapura, dan Thailand) cenderung pasif dalam melihat kejahatan pembajakan kapal padahal negara negara di kawasan ini yang tergabung dalam ASEAN dan ASEAN Regional Forum (ARF) pada tahun 2007 sepakat untuk melihat pembajakan kapal sebagai salah satu ancaman utama terhadap keamanan maritim selain terorisme, tumpang tindih klaim perbatasan, penyelundupan manusia, dan degradasi lingkungan. (ASEAN Secretariat, 2007) Kesepakatan ini merupakan upaya dari negara negara Asia Tenggara untuk melihat pembajakan kapal sebagai masalah bersama yang mana seharusnya ancaman ini harus di jawab dengan penanganan dan respon yang juga dilakukan bersama sama. Namun sikap negara di kawasan Asia Tenggara yang memaknai ancaman ini dengan prioritas yang berbeda beda membuat tindakan untuk mengatasi isu pembajakan kapal di Selat Malaka dan Singapura tidak dilakukan secara bersama sama.

(10)

berada di dekat selat Malaka dan Singapura seperti Indonesia, Singapura, Malaysia, dan Thailand telah dan sedang melakukan serangkaian kegiatan militer yang terkoordinir guna menangani kasus pembajakan kapal di wilayah tersebut. Anomali kedua adalah setelah terjadinya peningkatan kasus pembajakan dari tahun 2009, negara negara yang berada di wilayah Asia Tenggara tidak lagi merespon kasus pembajakan kapal seperti halnya yang telah dilakukan pada tahun 2004 dengan membentuk kerjasama koordinasi. Secara teknis, memang kawasan Asia Tenggara telah memiliki MSSP, namun peningkatan signifikan yang terjadi sejak tahun 2009 menunjukkan bahwa efektifitas MSSP dalam menangani kasus pembajakan kapal telah memasuki masa jenuh atau kurang efektif. Inefektifitas ini kemudian tidak dibarengi dengan inisiatif atau terobosan lain yang berusaha untuk menanggulangi atau setidaknya menahan peningkatan kasus pembajakan kapal.

2. Rumusan Masalah

(11)

3. Tujuan Penelitian

Tujuan tujuan penelitian berikut adalah hasil yang diharapkan akan muncul setelah peneliti berhasil menjawab rumusan masalah yang telah dipaparkan di sub-bab sebelumnya, yaitu:

1. Mendeskripsikan kasus pembajakan kapal di Asia Tenggara terutama Selat Malaka secara umum dan khususnya sejak tahun 2009

2. Mengetahui respon negara di kawasan Asia Tenggara dalam menangani kasus pembajakan kapal di Selat Malaka

3. Menganalisis alasan tentang sikap pasif yang ditunjukkan sebagian besar negara di Asia Tenggara terhadap pembajakan kapal.

4. Manfaat Penelitian 4.1. Akademis

Memberikan kontribusi terhadap penggunan paradigma Konstruktivisme dalam ilmu Hubungan Internasional untuk menganalisis isu isu transnasionalisme terutama terkait dengan isu pembajakan kapal.

4.2. Praktis

Sebagai bahan referensi bagi pemerintah untuk membuat kebijakan, organisasi internasional, dan LSM internasional dalam menangani kasus pembajakan kapal di Selat Malaka .

5. Kerangka Pemikiran 5.1. Konstruktivisme

(12)

Disebut demikian karena berbeda dengan beberapa paradigma klasik seperti Realisme dan Liberalisme yang cenderung memandang perilaku negara secara kaku dengan menganggap negara pasti melakukan hal yang sama karena sistem yang sudah ada, Konstruktivisme melihat perilaku negara layaknya prilaku manusia. Perbedaan cara pandang antara kaum konstrutivisme dengan kaum pendukung realisme ataupun liberalisme tidak lepas dari akar ilmu tersebut didapatkan. Realisme dan Liberalisme merupakan pengembangan dari ilmu politik, sedangkan Konstruktivisme (Rosyidin, 2015) memiliki akar ilmu dari sosiologi dimana konsep konstruktivisme secara khusus terinspirasi dari teori Interaksionisme Simbolis karya Herbert Blumer.

Namun istilah ‘konstruktivisme’ sebagai konsep dari ilmu Hubungan Internasional sendiri baru dikemukakan oleh Nicholas Onuf pada tahun 1989 di dalam bukunya World of Our Making. Di dalam bukunya, Onuf (1989a) melihat manusia sebagai pembentuk negara dalam melaksanakan kebijakan yang mana hal ini berpengaruh terhadap dunia secara keseluruhan. Beliau juga berargumen bahwa manusia pula lah yang senantiasa mengkontruksi, atau membentuk, realitas sosial, bahkan dirinya sendiri. (1989b) Singkatnya, kaum konstruktivis menolak cara pikir klasik kaum realis dan liberalis yang berasumsi bahwa sistem internasional yang anarki ini menyebabkan negara negara bertindak secara atomistik atau memiliki keseregaman perilaku. (Rosyidin, 2015)

(13)

Alexander Wendt (1992) dalam bukunya “Anarchy is what states make of it: the social construction of power politics” menjelaskan bahwa interaksi telah membuat negara membentuk identitas atas negaranya dan memaknai negara lain, hal ini menjadi pertimbangan negara dalam menentukan kepentingan nasionalnya serta perilakunya di dalam sistem.

“Interactions create and instantiate one structure of identities and interests rather than another structure has no existence or causal powers apart from process” (Wendt, 1992: 394)

Konstruktivisme berasal dari ilmu sosiologi yang mempelajari tentang interaksi antar manusia, maka unit analisis atau aktor tidak hanya terpaku pada interaksi antar negara.

5.2. Konsep Identitas Konstruktivisme

(14)

Makna

Identita

s

Kebijak

an

subjek akan melakukan proses sekuritsasi agar objek yang menjadi ancaman tersebut tidak menimbulkan masalah kepada negara berkaitan.

Gambar 3 Siklus Perputaran konsep Identitas menurut Konstruktivisme

Sumber: Wendt dikutip dalam buku “The Power of Idea” oleh M. Rosyidin (2015)

Untuk memahami konsep identitas, kaum Konstruktivis menyatakan bahwa ada dua cara terkait dengan bagaimana seorang aktor mendapatkan identitasnya. Konsep identitas yang muncul karena proses interaksi dinamakan ‘identitas sosial’ (social identity) yang membedakannya dengan konsep identitas sebagai unsur intrinsik yaitu ‘identitas personal’ (personal identity). (Rosyidin, 2015a)

Identitas sosial merupakan identitas yang didapatkan oleh seorang aktor setelah ia berinteraksi dengan aktor lainnya. Untuk mendapatkan identitas ini, maka aktor tersebut membutuhkan pihak lainnya sehingga muncul pembedaan makna antara saya/kami dengan kamu/kalian. (Rosyidin, 2015b) Ini artinya, dibutuhkan seorang yang memaknai dirinya sebagai bawahan agar seseorang lainnya dapat memaknai diri sebagai atasan.

(15)

shuttle diplomacy.4 Dari contoh kasus tersebut dapat terlihat bagaimana Indonesia

memaknai dirinya sebagai mediator karena pihak lainnya dalam hal ini Kamboja dan Thailand yang memaknai diri mereka sebagai aktor yang berkonflik.

“In other words, social relations make or construct people--ourselves--into the kind of beings that we are. Conversely, we make the world what it is, from the raw materials that nature provides, by doing what we do with each other and saying what we say to each other.” (Kubálková, Onuf, & Kowert, 1998: 59)

Setelah sebelumnya dijelaskan bagaimana identitas sangat berpengaruh dalam menentukan tindakan yang diambil oleh negara, maka dapat disimpulkan bahwa kurangnya pemaknaan terhadap suatu objek atau aktor lain dapat menyebabkan aktor yang melakukan pemaknaan tersebut tidak menganut identitas yang diharapkan. Contoh, Singapura merupakan negara pesisir yang berbatasan langsung dengan Selat Malaka dan Selat Malaka yang merupakan selat dimana kasus pembajakan kapal sering terjadi padahal aktivitas perdagangan melalui laut merupakan sumber pemasukan devisa yang cukup besar bagi Singapura, hal ini membuat pemerintah Singapura memaknai tindakan pembajakan kapal merupakan tindakan yang harus diberantas. Kemudian interaksi antara Singapura dengan tindakan pembajakan kapal membuat kebijakan Singapura dalam bidang keamanan fokus untuk melawan pembajakan kapal. Serangkaian hal tersebut membuat Singapura dilabeli sebagai negara yang memberantas kasus pembajakan. Situasi berbeda mungkin ada di negara lain seperti Vietnam yang tidak berbatasan langsung dengan Selat Malaka sehingga kemudian Vietnam tidak dapat memaknai kasus pembajakan di Selat Malaka sebagai sesuatu yang perlu

(16)

mendapat fokus lebih, kekurangan terhadap pemaknaan membuat Vietnam tidak memiliki identitas yang sama dengan Singapura yang berimplikasi pada sikap atau kebijakan Vietnam yang cenderung pasif terhadap penanganan kasus pembajakan kapal di selat tersebut.

5.3. Teori Sekuritisasi Buzan dan Waever

Barry Buzan merupakan seorang pemikir Hubungan Internasional beraliran Konstruktivisme yang bermahzab Kopenhagen (Copenhagen School). Copenhagen School sendiri merupakan mahzab yang memiliki fokus terhadap keamanan terutama dari sisi sosial (socieatal security). (Kostić, 2007) Dalam teorinya, Buzan (1998) menjelaskan bahwa mahzab Copenhagen School meyakini bahwa menurut pembagian sektornya, konsep keamanan dapat dibagi menjadi 5 kelompok yaitu keamanan bidang militer, keamanan bidang politik, keamanan bidang sosial, keamanan bidang lingkungan, dan keamanan bidang ekonomi. Kelima bidang ini berdasarkan dengan sifat alami dari masing masing bidang terkadang dapat memberikan sebuah ancaman nyata (existential threat) sehingga kemudian mahzab ini memaknai ancaman di bidang bidang tersebut sebagai ancaman alami dalam studi keamanan. (Buzan, Waever & Wilde, 1998a)

(17)

tersebut dianggap sebagai ancaman yang nyata dan memerlukan penanganan lebih di luar prosedur politik standar). (Buzan, Waever & Wilde, 1998b)

Untuk lebih memahami teori ini, dapat dilihat dari beberapa contoh seperti misalkan Fillipina memandang isu yang muncul di Laut Tiongkok Selatan sebagai isu yang memerlukan penanganan khusus dengan prosedur diluar prosedur standar karena pemaknaan pemerintah Fillipina yang melihat isu isu yang muncul di wilayah tersebut mengancam salah satu sektor keamanan Manila. Ditempat lain, Australia tidak memandang isu yang muncul di Laut Tiongkok Selatan sebagai sebuah isu yang mengancam, pemerintah Australia malah melihat isu isu pengungi yang berdatangan dari kawasan Timur Tengah sebagai isu yang mengancam keamanan Canberra. Dari contoh tersebut dapat dilihat bahwa sebuah isu “keamanan” itu merupakan self-referential practice atau berdasarkan pemahaman dan pemaknaan aktor terhadap suatu isu karena isu tersebut tidak perlu berupa suatu ancaman yang memang benar benar ada namun hanya perlu dipresentasikan sebagai sebuah ancaman. Namun selain membutuhkan isu yang akan disekuritisasi dan aktor yang mensekuritisasi isu, diperlukan audiens atau penonton atau masyarakat yang menyetujui jika isu tersebut memerlukan penanganan khusus dengan proses sekuritisasi. Ini berarti, jika kemudian suatu isu disekuritisasi oleh aktor tanpa adanya persetujuan dari masyarakat atau audiens, tindakan yang dilakukan aktor tersebut hanya disebut sebagai gerakan mensekuritisasi, namun tidak menjadikan isu tersebut menjadi ancaman.

(18)

6. Metode Penelitian

Dalam penelitian ini metode yang digunakan adalah metode penelitian

kualitatif. Prosedur-prosedur metode kualitatif berupa pengambilan sampel secara

sengaja, pengumpulan data terbuka, analisis teks atau gambar, penyajian informasi

data dalam bentuk table dan gambar, serta interpretasi pribadi atas temuan-temuan

(Creswell, 2013). Alasan penggunaan metode ini karena tema dan topik yang

dibahas dalam penulisan skripsi ini mengenai sebuah studi kasus. Dalam

penelitian kualitatif, studi kasus merupakan strategi penelitian di mana di

dalamnya peneliti menyelidiki secara cermat suatu peristiwa, aktivitas, program,

proses atau sekelompok individu. Dalam strategi studi kasus, kasus-kasus dibatasi

oleh waktu dan aktivitas, dan peneliti mengumpulkan informasi secara lengkap

dengan menggunakan prosedur-prosedur pengumpulan data berdasarkan waktu

yang telah ditentukan (Stake, 1995)

Adapun pembahasan terfokus kepada proses dan peristiwa secara interaktif dengan pembahasan yang dibatasi situasi periode waktu 2009 - 2013, serta analisis dan deskripsi yang berdasarkan kepada fakta dan data dari lapangan. Relevansi dari penggunaan metode penelitian ini terletak pada permasalahan yang peneliti angkat yakni pada pengungsi sebagai salah satu fenomena dalam hubungan internasional, lebih spesifik yang transnasional, sebagai sebuah fenomena sosial.

6.1. Definisi Konseptual 6.1.1. Pembajakan Kapal

(19)

mana di dalam laporan tersebut dijelaskan pula terkait dengan definisi “pembajakan kapal”.

Lebih jauh lagi, definisi menurut International Maritime Bureau ini juga menjelaskan bahwa sebuah tindakan dapat dikatakan sebagai kasus pembajakan kapal baik saat kapal tersebut sedang berlayar, ataupun ketika kapal sedang berhenti.

“Pembajakan Kapal adalah segala tindakan dengan naik ke atas kapal dan memiliki tujuan untuk mencuri atau melakukan tindakan kejahatan lainnya dan menggunakan kekerasan untuk mendukung tindakan tersebut” (Beckman, Grundy-Warr, Forbes & Schofield, 1994: 5)

6.1.2. Negara Asia Tenggara

Negara Asia Tenggara adalah negara negara yang berada di wilayah Asia bagian Tenggara dan tergabung dalam organisasi regional bernama ASEAN (Association of South-East Asian Nations). Adapun negara negara yang tergabung dalam ASEAN berjumlah 10 negara, yaitu: Brunei Darussalam, Fillipina, Indonesia, Kamboja, Laos, Malaysia, Myanmar, Singapura, Thailand, dan Vietnam.

6.1.3. Selat Malaka

(20)

disimpulkan Selat Singapura juga termasuk dalam Selat Malaka karena pada dasarnya kedua selat ini tergabung.

6.1.4. Ancaman

Ancaman merupakan aktivitas atau tindakan yang dimaknai dan dianggap sebagai hal yang berbahaya bagi negara dan membutuhkan penanganan khusus di luar prosedur politik pada umumnya. Adapun dalam hal ini, beberapa tindakan yang dapat dimaknai sebagai ancaman adalah berdasarkan dengan laporan yang dikeluarkan oleh ASEAN Secretariat (2007) tentang beberapa isu keamanan yang dapat menjadi ancaman bagi negara anggota, seperti: Pembajakan kapal, perompakan bersenjata, klaim wilayah antar negara dan permasalahan batas negara, terorisme, perusakan lingkungan, dan penyelundupan senjata dan manusia.

6.1.5. Speech Act

Adalah tindakan atau keputusan untuk memaknai sebuah isu keamanan sebagai ancaman dengan cara memberikan penjelasan secara verbal bahwa isu tersebut memang mengancam dan membutuhkan penanganan khusus. Tanpa adanya keputusan secara verbal tersebut, maka suatu isu tidak dapat dimaknai sebagai ancaman karena tidak dianggap sebagai ancaman yang nyata (exsistential threat)

6.2. Operasionalisasi Konsep 6.2.1. Pembajakan Kapal

a. Kasus yang terdata berdasarkan International Maritime Bureau (IMB) Piracy Reporting Centre

b. Jenis yang dikategorikan sebagai tindak pembajakan kapal adalah segala aktivitas dimulai dari:

- Percobaan penyerangan dari laut terhadap kapal (Attempted Attack) - Sedang dan sudah menaiki kapal (Boarded)

(21)

c. Target pembajakan adalah kapal komersil baik yang sedang berlayar atau bahwa pembajakan kapal merupakan ancaman bagi kepentingan negara dan mendapat dukungan dari rakyat dan (b) pemerintah negara mulai melakukan/menggunakan kekuatan militer negara untuk menanggulangi isu tersebut kekuatan untuk mengubah kebijakan mengatakan suatu kebijakan melalui pernyataan resmi atau pidato kenegaraan atau teks untuk publik.

6.3. Tipe Penelitian

(22)

mengenai hubungan sebab akibat. Pembahasan utama dari skripsi berbentuk eksplanatif ini adalah karena penulis ingin menjelaskan respon negara negara di Asia Tenggara yang cenderung pasif terhadap kasus pembajakan kapal di Selat Malaka.

Dalam skripsi ini, penulis juga berusaha untuk memberikan gambaran lebih tentang (1) peran konsep identitas konstruktivisme berdasarkan pemaknaan intersubjektif aktor, dan (2) alasan negara – negara di Asia Tenggara dalam membuat kebijakan terkait dengan pembajakan kapal menurut teori Sekuritisasi. 6.4. Jangkauan Penelitian

Penulis membatasi jangkauan penelitian dimulai dari tahun 2009 hingga tahun 2013 dengan menganalisis sikap negara di Asia Tenggara terhadap kasus pembajakan kapal di Selat Malaka. Alasan memilih titik awal penelitian diambil pada tahun 2009 karena tahun tersebut merupakan tahun pertama meningkatnya kembali kasus pembajakan kapal sejak penurunan di tahun 2004 serta merupakan tahun pertama sejak negara ASEAN terakhir bergabung dalam MSSP (Thailand bergabung dengan MSSP di akhir tahun 2008). Sedangkan pemilihan tahun akhir penelitian yaitu 2013 adalah karena pada tahun tersebut adalah untuk pertama kalinya tidak ada negara ASEAN lain yang aktif di dalam MSSP sejak 2009 6.5. Teknik Pengumpulan Data

6.5.1. Data Primer

(23)

melakukan wawancara online kepada peneliti kasus pembajakan kapal di Selat Malaka yang bekerja di International Maritime Bureau serta wawancara secara langsung/ online dengan stake-holder atau pemangku kebijakan dari 10 negara ASEAN terkait dengan kebijakan masing masing negara ASEAN. Untuk lebih menguatkan teori yang digunakan penulis, penulis juga akan melakukan wawancara langsung dengan dosen Hubungan Internasional Universitas Diponegoro, Mohamad Rosyidin, M.A. selaku peneliti konsep Konstruktivis dalam Hubungan Internasional. Nantinya, hasil dari wawancara tersebut penulis jadikan sebagai data pendukung bagi tulisan ilmiah ini dalam bentuk opini para ahli.

6.5.2. Data Sekunder

Adalah data yang diperoleh oleh peneliti secara tidak langsung melalui sumberyang sudah ada Dalam hal ini peneliti akan melakukan intepretasi terhadap ide-ide dan informasi yang diberikan oleh sumber data untuk kemudian diaplikasikan dalam kasus yang sedang diteliti sebagai sumber penelitian. Data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari buku, jurnal ilmiah, majalah, surat kabal online, laporan, undang-undang, publikasi, konvensi internasional, serta sumber-sumber informasi lainnya seperti data-data yang terdokumentasikan melalui situs-situs internet yang bersangkutan. Penulis melakukan pengumpulan data melalui teknik studi kepustakaan (library research), yang ditujukan untuk memperoleh data-data dan informasi-informasi sekunder yang diperlukan dan relevan dengan penelitian. Data sekunder disini merupakan data yang sudah tersedia sehingga kita tinggal mencari dan mengumpulkan. 6.6. Teknis Analisis Data

(24)

bersifat deskriptif dan cenderung menggunakan analisis dengan pendekatan induktif.

Penelitian menggunakan teknik analisis data kualitatif dalam penulisan skripsi ini dilakukan melalui beberapa cara seperti sebagai berikut : Pertama,yakni reduksi data berupa proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan, dan transformasi data mentah yang muncul dari catatan-catatan tertulis di lapangan. Kedua, yakni visualisasi data berupa sekumpulan informasi tersusun yang memberi kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan.

6.7. Sistematika Penulisan

Bab 1 akan membahas tentang latar belakang yang menjelaskan urgensi dari pembahasan kasus pembajakan kapal yang terjadi di Selat Malaka sejak tahun 2009, pembahasan dalam latar belakang ini digunakan untuk memberikan pemaparan tentang fenomena yang terjadi dan anomaly-anomali yang muncul dalam fenomena tersebut. Dalam Bab ini juga terdapat tujuan serta manfaat dari dilakukannya penelitian ilmiah ini, hipotesis penelitian, kerangka pemikiran yang berisi teori-teori yang penulis gunakan sebagai acuan dan panduan dalam berpikir dan melihat permasalahan untuk membantu menjelaskan permasalahan yang penulis angkat, definisi konseptual, operasionalisasi konsep, tipe penelitian, jangkauan penelitian, teknik analisis data serta sistematika penulisan.

(25)

penekanan-penekanan formula yang melandasi suatu kebijakan negara dari sudut pandang konstruktivis. Di bab ini pula, penulis akan mendeskripsikan tentang kasus pembajakan yang lebih spesifik, yaitu yang terjadi di Selat Malaka. Hal ini berguna untuk menjelaskan faktor-faktor pembeda tentang isu pembajakan kapal di Selat Malaka dengan pembajakan kapal di wilayah lain. Dengan pemaparan faktor tersebut, penulis dapat memberikan gambaran yang lebih dalam tentang akar permasalahan di Selat Malaka termasuk di dalamnya penangan-penanganan yang telah dilakukan negara ASEAN terhadap isu tersebut

(26)

Daftar Pustaka

Buku

Beckman, R., Grundy-Warr, C., Forbes, V., & Schofield, C. (1994). Acts of piracy in the Malacca and Singapore straits. Durham, UK: International Boundaries Research Unit, Dept. of Geography, University of Durham. Buzan, B., Waever, O., & Wilde, J. (1998). Security: A new framework for

analysis. Boulder [u.a.]: Rienner.

Finn, D. (1979). Oil pollution from tankers in the Straits of Malacca. Honolulu: East-West Center.

Jackson, R., & Sørensen, G. (1999). Introduction to international relations. Oxford [England]: Oxford University Press.

Kostić, R. (2007). Ambivalent peace. Uppsala: Uppsala Universitet.

Kubálková, V., Onuf, N., & Kowert, P. (1998). International relations in a constructed world. Armonk, N.Y.: M.E. Sharpe.

Onuf, N. (1989). World of our making. Columbia, S.C.: University of South Carolina Press.

Rosyidin, M. (2015). The Power of Idea: Konstruktivisme dalam Studi Hubungan Internasional (p. 17). Yogyakarta: Tiara Wacana.

Wendt, A. (1999). Social theory of international politics. Cambridge, U.K.: Cambridge University Press.

Jurnal

(27)

Situs Online

BBC News,. (2004). Anti-piracy drive in Malacca Straits. Didapat dari http://news.bbc.co.uk/2/hi/asia-pacific/3908821.stm

Japan Times,. (2014). Southeast Asia now biggest global danger zone for piracy: U.N., p. 1. Didapat dari http://www.japantimes.co.jp/news/2014/06/13/asia-

pacific/crime-legal-asia-pacific/piracy-falls-somalia-ticks-southeast-asia/#.VUfS7fntmkp

Kemp, T. (2014). Dangerous waters: Meet the new face of piracy. CNBC. Didapat 2 May 2015, dari http://www.cnbc.com/id/101969104

Kompas.com,. (2011). Penyelesaian Konflik Thailand-Kamboja. Didapat 23 Juni 2015, dari http://internasional.kompas.com/read/2011/02/22/17270840 /Penyelesaian.Konflik.Thailand-Kamboja

McCauley, A. (2014). The Most Dangerous Waters in The World. TIME.com. Didapat 2 Mei 2015, dari http://time.com/piracy-southeast-asia-malacca-strait/

Oceansbeyondpiracy.org,. (2013). Malacca Strait Patrols. Didapat 4 Mei 2015, dari http://oceansbeyondpiracy.org/matrix/malacca-strait-patrols

E-book dan PDF

ASEAN and ARF Maritime Security Dialogue and Cooperation. (2007) (1st ed., p. 3). Jakarta. Didapat dari http://www.un.org/depts/los/consultative_process /mar_sec_submissions/asean.pdf

Dela Pena, J. (2009). Maritime Crime in the Strait of Malacca: Balancing Regional and Extra-Regional Concerns. 1st ed. [ebook] California: Standford University, p.5. Available at: http://web.stanford.edu/ group/sjir/pdf/ Pirates.pdf

Baird, R. (2010). Transnational Security Issues in the Asian Maritime Environment: Fisheries and Piracy (1st ed., p. 4). Brisbane. Didapat dari http://www.griffith.edu.au /__data /assets/pdf_file/0011/246089/Baird.pdf

(28)

http://www.isn.ethz.ch/Digital- Library/Publications/Detail/?ots591=0c54e3b3-1e9c-be1e-2c24-a6a8c7060233&lng=en&id=94660

International Hydrographic Organization. (1953). Limits of Oceans and Seas: Special Publication No 23. (3rd ed., p. 23). Monaco. Didapat dari http://epic.awi.de/29772/1/IHO1953a.pdf

Raymond, C. (2009). Piracy and Armed Robbery in the Malacca Strait: A Problem Solved? (1st ed., p. 37). Newport: U.S Naval War College. Didapat dari https://www.usnwc.edu/getattachment/7835607e-388c-4e70-baf1-b00e9fb443f1/Piracy-and-Armed-Robbery-in-the-Malacca-Strait--A-.aspx Geopoliticity Inc. (2011). The Economics of Piracy: Pirate Ransoms & Livehoods

Gambar

Grafik 1 Kasus Pembajakan Kapal di Selat Malaka dan Singapura dengan
Gambar 1 Peta Penyebaran  Pembajakan Kapal pada tahun 2009
Gambar 2 Peta Penyebaran Pembajakan Kapal tahun 2013
Gambar 3 Siklus Perputaran konsep Identitas menurut Konstruktivisme

Referensi

Dokumen terkait

DENGAN PERJANJIAN KERJA PADA TIGA PULUH LIMA PERGURUAN TINGGI..

Untuk lebih menguasai materi diagnosis dan penanganan PC maka dilakukan pengulangan materi pada pertemuan ke 2 dan ke 3 pada siklus II sekaligus mempertahankan hasil belajar hal

Seluruh penerimaan dari zakat, ‘usyr, dan sedekah ditransfer ke Baitul Mal (Kas Negara) untuk membiayai pengeluaran bagi kesejahteraan fakir miskin,

Kebijakan fiskal dapat didefinisikan sebagai kebijakan yang dilakukan pemerintah melalui instrumen fiskal seperti pengeluaran pemerintah dan/atau pajak untuk

The questionnaire contains emotion regulation scale of Emotion Regulation Questionnaire (ERQ), which previously has been adapted and modified by Avinda Rizki in

[r]

Berdasarkan masalah yang telah peneliti rumuskan, maka tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan pengetahuan yang tepat (sahih, valid, benar) dan dapat

Zulham Mulyadi Nasution: Perlindungan Hukum Terhadap Penumpang Dan Barang Pada Angkutan Darat..., 2004... Zulham Mulyadi Nasution: Perlindungan Hukum Terhadap Penumpang Dan Barang