• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tinjauan Hukum Perjanjian Sewa Beli Kendaraan Bermotor Dengan Asuransi (Studi Pada PT. Jasa Motor Jaya Belawan)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Tinjauan Hukum Perjanjian Sewa Beli Kendaraan Bermotor Dengan Asuransi (Studi Pada PT. Jasa Motor Jaya Belawan)"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN

A. Pengertian Perjanjian

Dalam kehidupan sehari-hari, manusia selalu terlibat dalam pergaulan dengan

sesamanya, sehingga terjadi hubungan antar manusia yang disebut juga dengan

hubungan antar individu. Hubungan antar individu menimbulkan hubungan yang

dapat bersifat hubungan biasa dan hubungan hukum. Suatu hubungan disebut

hubungan hukum, apabila hubungan antara dua orang atau dua pihak tersebut

diatur oleh hukum, yaitu hubungan antara sesama manusia yang dilindungi oleh

hukum atau akibat-akibat yang ditimbulkan oleh pergaulan itu dilindungi oleh

hukum.

Definisi hukum menurut beberapa pakar yaitu :7

1. R. Soeroso

Definisi hukum secara umum adalah himpunan peraturan yang dibuat oleh

yang berwenang dengan tujuan untuk mengatur tata tertib kehidupan

bermasyarakat yang memiliki ciri perintah dan larangan serta mempunyai sifat

memaksa dengan menjatuhkan sanksi-sanksi hukuman bagi pelanggarnya.

Unsur-unsur yang terkandung dalam definisi hukum sebagai berikut :

a. peraturan dibuat oleh yang berwenang.

b. tujuannya mengatur tata tertib kehidupan masyarakat.

c. mempunyai ciri memerintah dan melarang.

d. bersifat memaksa dan ditaati.

7

(2)

2. Abdulkadir Muhammad

Hukum adalah segala peraturan tertulis dan tidak tertulis yang mempunyai

sanksi yang tegas terhadap pelanggarnya.

3. C.S.T. Kansil

Hukum itu mengadakan ketatatertiban dalam pergaulan manusia, sebagai

keamanan dan ketertiban terpelihara.

4. J.C.T. Simorangkir dan Woerjono Sastropranoto

Hukum adalah peraturan-peraturan yang bersifat memaksa, yang

menentukan tingkah laku manusia dalam lingkungan masyarakat, yang dibuat

oleh badan-badan resmi yang berwajib, pelanggaran-pelanggaran yang dikenai

tindakan-tindakan hukum tertentu.

5. Utrecht

Hukum merupakan himpunan petunjuk hidupperintah dan larangan yang

mengatur tata tertib dalam suatu masyarakat yang seharusnya ditaati oleh seluruh

anggota masyarakat oleh karena itu pelanggaran petunjuk hidup tersebut dapat

menimbulkan tindakan oleh pemerintah atau penguasa itu.

Sebabnya hukum ditaati orang menurut Utrecht, yaitu :8

a. Karena orang merasakan bahwa peraturan dirasakan sebagai hukum.

Mereka benar berkepentingan akan berlakunya peraturan tersebut.

b. Karena orang harus menerimanya supaya ada rasa ketentraman.Penerimaan

rasional itu sebagai akibat adanya sanksi-sanksi hukum supaya tidak

8

(3)

mendapatkan kesukaran, orang memilih untuk taat saja pada peraturan

hukum karena melanggar hukum mendapat sanksi hukum.

c. Karena masyarakat menghendakinya. Dalam kenyataannya banyak orang

yang tidak menanyakan apakah sesuatu menjadi hukum atau belum.

Mereka tidak menghiraukan dan baru merasakan dan memikirkan apabila

telah melanggar hingga merasakan akibat pelanggaran tersebut. Mereka

baru merasakan adanya hukum apabila luas kepentingannya dibatasi oleh

peraturan hukum yang ada.

d. Karena adanya paksaan (sanksi) sosial. Orang merasakan malu atau

khawatir dituduh sebagai orang yang asosial apabila orang melanggar suatu

kaidah sosial atau hukum.

Sedangkan tujuan hukum itu sendiri, menurut : 9

1. Apeldorn,yaitu mengatur pergaulan hidup manusia secara damai karena

hukum menghendaki perdamaian.

2. Subekti, tujuan hukum adalah mengabdi pada tujuan negara yang pada

pokoknya tujuan negara adalah mewujudkan kemakmuran dan memberikan

kebahagiaan pada rakyat di negaranya.10

Hukum adalah sekumpulan peraturan yang berisi perintah dan larangan

yang dibuat oleh pihak yang berwenang sehingga dapat dipaksakan

pemberlakuaanya berfungsi untuk mengatur masyarakat demi terciptanya

ketertiban disertai dengan sanksi bagi pelanggarnya. Salah satu bidang hukum

yang mengatur hak dan kewajiban yang dimiliki pada subyek hukum dan

9

Subekti, Op. Cit, hlm. 6.

10

(4)

hubungan antara subyek hukum. Hukum perdata disebut pula hukum privat atau

hukum sipil sebagai lawan dari hukum publik. Jika hukum publik mengatur

hal-halyang berkaitan dengan negara serta kepentingan umum (misalnya politik dan

pemilu (hukum tata negara), kegiatan pemerintahan sehari-hari (hukum

administrasi atau tata usaha negara), kejahatan (hukum pidana), maka hukum

perdata mengatur hubungan antara penduduk atau warga negara sehari-hari,

seperti misalnya kedewasaan seseorang, perkawinan, perceraian, kematian,

pewarisan, harta benda, kegiatan usaha dan tindakan-tindakan yang bersifat

perdata lainnya.

Sedangkan hukum perjanjian dalam bahasa belanda disebut verbintenis

yang artinya mengikat dan diatur dalam Buku III Kitab Undang-Undang Hukum

Perdata, tetapi definisi mengenai Perikatan tidak diatur didalamnya. Hukum

Perikatan merupakan bagian dari hukum harta kekayaan (vermogensrecht) dan

bagian lain dari hukum harta kekayaan adalah hukum benda. Setiap orang dapat

mengadakan perikatan yang bersumber pada perjanjian, perjanjian apapun dan

bagaimanapun isinya yang mereka kehendaki, baik yang diatur dalam

undang-undang maupun yang tidak diatur di dalam undang-undang-undang-undang. Inilah yang disebut

dengan kebebasan berkontrak (contractsvrijheid), dengan syarat bahwa kebebasan

berkontrak ini dibatasi dengan pembatasan umum, yaitu yang diaturdalam

ketentuan pasal 1337 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menyatakan

“suatu sebab adalah terlarang, jika sebab itu bertentangan dengan kesusilaan atau

dengan ketertiban umum”, juga dibatasi oleh ketentuan didalam pasal 1254 Kitab

Undang-Undang Hukum Perdata yang menyatakan “semua syarat yang bertujuan

(5)

kesusilaan yang baik, atau sesuatu yang dilarang oleh undang-undang adalah batal

dan mengakibatkan persetujuan yang digantungkan padanya tidak berlaku”.11

Definisi perikatan menurut Sudikno Mertokusumo adalah hubungan

hukum antara dua pihak yang menimbulkan hak dan kewajiban atas suatu prestasi.

Ada pula yang mendefinisikan perikatan sebagai hubungan hukum didalam

lapangan harta kekayaan antara dua pihak, pihak yang satu berkewajiban dan

pihak yang lainnya berhak atas suatu prestasi. Perikatan sifatnya lebih luas dan

abstrak daripada perjanjian yang lebih sempit dan konkret.12

“Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu pihak atau lebih dengan mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”. Perjanjian menurut pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang

berbunyi:

13

Istilah “perjanjian” atau “kontrak” dalam sistem hukum nasional memiliki

pengertian yang sama. Suatu perjanjian atau kontrak memiliki unsur-unsur yaitu

pihak-pihak yang kompeten, pokok yang disetujui, pertimbangan hukum,

perjanjian timbal balik, serta hak dan kewajiban timbal balik. Ciri kontrak yang

utama ialah bahwa kontrak merupakan suatu tulisan yang memuat janji dari para

pihak secara lengkap dengan ketentuan-ketentuan dan persyaratan-persyaratan

serta berfungsi sebagai alat bukti tentang adanya seperangkat kewajiban. Dengan

demikian, dalam perjanjian para pihak yang melakukan kontrak memiliki

beberapa kehendak yaitu :14

1. Kebutuhan terhadap janji atau janji-janji.

11

Firman Floranta Adoranta, “Aspek-aspek Hukum Perjanjian”,Bandung, CV Mandar Maju, 2014,hlm.1.

12

Ibid., hlm.3.

13

Surbekti dan R. Tjitrosudibio, “Kitab Undang-Undang Hukum Perdata”, Jakarta, PT Pradnya Paramita, 2007, hlm. 338.

14

(6)

2. Kebutuhan terhadap janji atau janji-janji antara dua atau lebih pihak

dalam suatu perjanjian.

3. Kebutuhan terhadap janji-janji yang dirumuskan dalam bentuk kewajiban.

4. Kebutuhan terhadap kewajiban bagi penegakan hukum.

Perjanjian atau kontrak merupakan salah satu dari dua dasar hukum

yangada selain dari undang-undang yang dapat menimbulkan perikatan. Perikatan

adalah suatu hubungan hukum yang mengikat satu atau lebih subyek hukum

dengan kewajiban-kewajiban yang berkaitan satu sama lain.

Pengertian perikatan sebagaimana diuraikan di atas menunjukan bahwa

perikatan memiliki pengertian yaitu hal yang mengikat antara orang yang satu

dengan yang lain. Hal yang mengikat tersebut adalah peristiwa hukum yang dapat

berupa perbuatan, misalnya jual beli, utang piutang. Berupa suatu kejadian

misalnya kelahiran, kematian, dan berupa keadaan, misalnya perkarangan

berdampingan, rumah bersusun, peristiwa hukum tersebut menciptakan hubungan

hukum.

Dalam hubungan utang piutang, pihak yang berutang disebut debitur,

sedangkan yang memberi utang disebut kreditur. Dalam hal jual beli, pihak

pembeli berposisi sebagai debitur, sedangkan pihak penjual disebut sebagai

kreditur. Dalam perjanjian hibah, pemberi hibah disebut debitur, sedangkan

penerima hibah disebut kreditur. Berdasarkan hal tersebut, maka pengertian

kreditur adalah pihak yang menuntut sesuatu dan debitur adalah pihak yang

berkewajiban memenuhi tuntutan.

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa perikatan adalah suatu

(7)

dapat berupa perbuatan, kejadian atau keadaan. Obyek hukum adalah harta

kekayaan yang dapat dinilai dengan uang. Pihak yang berhak menuntut sesuatu

disebut kreditur, sedangkan pihak yang wajib memenuhi tuntutan disebut debitur.

Dengan demikian dapat dirumuskan bahwa perikatan adalah hubungan hukum

mengenai harta kekayaan yang terjadi antara debitur dan kreditur. Perikatan

memang lebih luas pengertiannya apabila dibandingkan dengan perutangan.

Perikatan meliputi semua hubungan hukum perdata, sedangkan perutangan hanya

meliputi hubungan hukum harta kekayaan, yang diatur dalam Buku III Kitab

Undang-Undang Hukum Perdata. Dengan kata lain, perutangan adalah perikatan

dalam arti sempit.15

Kewajiban debitur membayar utang-utangnya disebut dengan Schuld,

sedangkan kewajiban seorang debitur membiarkan kreditur mengambil harta

kekayaanya sebesar kewajiban pelunasan utangnya disebut Haftung. Debitur yang

mengikatkan diri dalam perjanjian utang piutang wajib melaksanakan pasal-pasal

yang memuat kewajiban sebagai debitur, yaitu membayar utang-utangnya. Jika

pihak debitur menyanggupi pembayarannya sesuai dengan perjanjian, pihak

debitur wajib membiarkan pihak kreditur menyita harta kekayaan yang

dijaminkannya sesuai dengan jumlah utang yang ditanggung debitur. Itulah yang

disebut dengan Schuld dan Haftung.16

B. Asas-Asas Perjanjian

Hukum perjanjian memuat sejumlah asas hukum. Asas hukum merupakan

landasan yang paling luas bagi lahirnya suatu peraturan hukum. Asas hukum

15

Firman Op.Cit., hlm. 4-5.

16

(8)

dapat diartikan sebagai suatu hal yang dianggap oleh masyarakat hukum yang

bersangkutan sebagai basic truth atau kebenaran asasi, sebab melalui asas-asas

hukum itulah pertimbangan etis dan sosial masyarakat masuk ke dalam hukum.

Prinsip-prinsip atau asas-asas fundamental yang menguasai hukum kontrak adalah

prinsip atau asas konsensualitas dimana persetujuan-persetujuan dapat terjadi

karena persesuaian kehendak (konsensus) para pihak. Asas konsensualitas

menyangkut terjadinya suatu persetujuan. Prinsip kekuatan mengikat menyangkut

akibat persetujuan, sedangkan prinsip kebebasan berkontrak berkaitan dengan isi

persetujuan untuk memperoleh pengertian yang benar mengenai persetujuan,

kekuatan mengikat dan kebebasan berkontrak dalam asas konsensualitas.

Asas-asas yang terkandung dalam perjanjian antara lain adalah sebagai

berikut :17

1. Asas Kebebasan Berkontrak (Sistem Terbuka)

Hukum perjanjian menganut sistem terbuka, artinya hukum perjanjian

memberikan kebebasan kepada masyarakat untuk mengadakan perjanjian yang

berisi apa saja sepanjang tidak melanggar ketertiban umum dan kesusilaan. Sistem

terbukajuga mengandung suatu pengertian bahwa perjanjian-perjanjian khusus

yang diatur dalam undang-undang hanyalah perjanjian-perjanjian yang telah

dikenal umum di dalam masyarakat pada waktu Kitab Undang-Undang Hukum

Perdata dibentuk. Contoh :undang-undang hanya mengatur perjanjian jual beli dan

sewa menyewa, namun dalam praktik, ada perjanjian bentuk campuran yang

timbul karena pembeli tidak mampu membayar harga barang sekaligus, yang

dinamakan sewa beli.

17

(9)

Dengan demikian menurut asas kebebasan berkontrak seseorang pada

umumnya mempunyai pilihan bebas untuk mengadakan perjanjian dan didalam

asas ini terkandung suatu pandangan bahwa orang bebas untuk melakukan atau

tidak melakukan perjanjian, bebas dengan siapa ia mengadakan perjanjian, bebas

tentang apa yang diperjanjikan dan bebas untuk menetapkan syarat-syarat

perjanjian.18

2. Asas Konsensualitas (Kesepakatan)

Hal ini tercermin dari Pasal 1338 ayat (1) Kitab Undang-Undang

Hukum Perdata yang menyatakan “semua perjanjian yang dibuat secara sah

berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuat”.

Asas ini menyatakan bahwa perjanjian sudah terjadi dan bersifat mengikat

sejak tercapai kesepakatan (konsensus) antara kedua belah pihak mengenai obyek

perjanjian. Di sini telahditetapkan apa yang menjadi hak dan kewajiban dari

masing-masing pihak. Sebagai contoh adalah transaksi jual beli. Perjanjian telah

timbul sejak penjual melakukan penawaran atas suatu barang dan penawaran itu

kemudian disetujui oleh pembeli. Asas konsensualitas sebagaimana terdapat

dalam pasal 1320 angka (1) yakni sepakat mereka yang mengikatkan dirinya, hal

ini sesuai dengan asas ini yang lahir cukup dengan adanya kesepakatan.

3. Asas Itikad Baik (Kepribadian)

Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 1338ayat (3) asas

itikad baik ini diatur. Asas itikad baik ini sangat mendasar dan penting untuk

diperhatikan di dalam membuat perjanjian. Maksud itikad baik adalah bertindak

sebagai pribadi yang baik. Itikad baik dalam pengertian yang sangat subyektif

dapat diartikan sebagai kejujuran seseorang, yaitu apa yang terletak pada

18

(10)

seseorang pada waktu diadakan perbuatan hukum. Sedangkan itikad baik dalam

pengertian obyektif yaitu bahwa pelaksanaan suatu perjanjian itu harus didasarkan

pada norma kepatutan atau apa-apa yang dirasa sesuai dengan yang patut dalam

masyarakat.

Pasal 1338ayat (3) Kitab Undang-Undang Hukum

Perdatamengidentifikasikan bahwa sebenarnya itikad baik bukan merupakan

syarat sahnya suatu kontrak sebagaimana syarat yang terdapat dalam Pasal 1320

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Unsur itikad baik hanya diisyaratkan

dalam hal pelaksanaan dari suatu kontrak, bukan pada pembuatan suatu kontrak,

sebab unsur “itikad baik” dalam hal pembuatan suatu kontrak sudah dapat dicakup

dari Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tersebut.

4. Asas Pelengkap

Pasal-pasal dalam hukum perjanjian dikatakan sebagai hukum pelengkap,

karena pasal-pasal ini melengkapi perjanjian-perjanjian yang dibuat secara tidak

lengkap. Biasanya orang yang mengadakan suatu perjanjian tidak mengatur secara

terperinci semua persoalan yang berkaitan dengan perjanjian itu. Sebagai contoh

yaitu dalam perjanjian jual beli cukup apabila barang dan harganya telah disetujui.

Mengenai dimana barang diserahkan, siapa yang harus memikul biaya

pengantaran barang dan lain-lain, kadang tidak diperhitungkan dalam perjanjian.

Adapun dasar hukum perjanjian antara lain adalah :

a. Pasal 1233 Kitab Undang-Undang Hukum Perdatayaitu “tiap-tiap

perikatan dilahirkan baik karena persetujuan, baik karena

undang-undang”19

19

(11)

b. Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yaitu “suatu perjanjian

adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan

dirinya terhadap satu orang atau lebih.”20

c. Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yaitu untuk sahnya

suatu perjanjian diperlukan empat syarat antara lain sepakat mereka yang

mengikatkan dirinya, kecakapan untuk membuat suatu perikatan, suatu hal

tertentu, suatu sebab yang halal”.21

C. Syarat-Syarat Sahnya Perjanjian

Suatu perjanjian dianggap sah apabila mengikat kedua belah pihak dan

memenuhi syarat-syarat perjanjian yang terdapat dalam pasal 1320 Kitab

Undang-Undang Hukum Perdata yaitu :

1. Adanya kesepakatan (Toestemming) kedua belah pihak

Kesepakatan adalah persesuaian kehendak antara satu orang atau lebih

dengan pihak lain, artinya pihak-pihak yang mengikatkan perjanjian ini

mempunyai persesuaian kehendak tentang hal-hal pokok dari perjanjian yang

diadakan. Kata sepakat ini lahir dari kehendak yang bebas dari kedua belah pihak,

mereka menghendaki secara timbal balik. Dengan kata sepakat maka perjanjian

tidak dapat ditarik secara sepihak saja namun atas kehendak kedua belah pihak.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa sepakat yang dimaksud adalah

perjanjian atau perikatan yang timbul atau lahir sejak tercapainya kesepakatan,

sebagaimana diatur dalam pasal 1321 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang

20

Ibid, hlm. 338.

21

(12)

memberikan pengertian bahwa “tiada sepakat yang sah apabila sepakat itu

diberikan karena kekhilafan, atau diperolehnya dengan paksaan atau penipuan”.

Ada lima cara terjadinya persesuaian pernyataan kehendak, yaitu dengan :

a. Bahasa yang sempurna dan tertulis.

b. Bahasa yang sempurna secara lisan.

c. Bahasa yang tidak sempurna asal dapat diterima oleh pihak lawan. Karena

kenyataannya seringkali seseorang menyampaikan dengan bahasa yang

tidak sempurna tetapi dimengerti oleh pihak lawannya.

d. Bahasa isyarat asal dapat diterima oleh pihak lawannya.

e. Diam atau membisu, tetapi asal dipahami atau diterima pihak lawannya.22

Pada prinsipnya cara yang paling banyak disukai dan digunakan oleh para

pihak yaitu dengan bahasa yang sempurna dan tertulis. Tujuan dibuatnya

perjanjian secara tertulis adalah untuk memberikan kepastian hukum bagi para

pihak yang membuat perjanjian dan dapat digunakan sebagai alat bukti apabila

kemudian hari timbul konflik atau sengketa.

2. Kecakapan bertindak atau cakap untuk membuat suatu perjanjian

Kecakapan bertindak adalah kecakapan atau kemampuan untuk melakukan

perbuatan hukum. Perbuatan hukum adalah perbuatan yang akan menimbulkan

akibat hukum. Pada dasarnya setiap orang sepanjang tidak ditentukan lain oleh

undang-undang dianggap cakap atau mampu melakukan perbuatan hukum yang

dalam hal ini adalah membuat perjanjian. Hal ini ditegaskan didalam pasal

1329Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yaitu “setiap orang adalah cakap

22

(13)

untuk membuat perikatan-perikatan, jika ia oleh undang-undang tidak dinyatakan

tak cakap”.

Sedangkan orang-orang yang tidak termasuk cakap hukum dalam

membuat persetujuan diatur dalam pasal 1330 Kitab Undang-Undang Hukum

Perdata yaitu :

a. orang-orang yang belum dewasa

b. mereka yang ditaruh di bawah pengampuan

c. orang-orang perempuan, dalam hal-hal yang ditetapkan oleh

undang, dan pada umumnya semua orang kepada siapa

undang-undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu.23

Akibat hukum bagi perjanjian yang dibuat oleh pihak yang tidak cakap

hukum diatur di dalam pasal 1331 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan

Pasal 1446 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yaitu :24

a. Pasal 1331 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menyatakan

“karena ituorang-orang yang di dalam pasal yang lalu dinyatakan tak

cakap, boleh menuntut pembatalan perikatan-perikatan yang mereka telah

perbuat, dalam hal-hal dimana kekuasaan itu tidak dikecualikan oleh

undang-undang. Orang-orang yang cakap untuk mengikatkan diri tak

sekali-kali diperkenankan mengemukakan ketidakcakapan orang-orang

yang belum dewasa. Orang-orang yang ditaruh dibawah pengampuan dan

perempuan-perempuan yang bersuami dengan siapa mereka telah

membuat suatu perjanjian”.

23

Subekti, Op.Cit., hlm.341.

24

(14)

b. Pasal 1446 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menyatakan

“semua perikatan yang dibuat oleh orang belum dewasa atau

orang-orang yang ditaruh dibawah pengampuan, adalah batal demi hukum, dan

atas penuntutan yang dimajukan oleh atau dari pihak mereka, harus

dinyatakan batal, semata-mata atas dasar kebelumdewasaanatau

pengampuannya. Perikatan-perikatan yang dibuat oleh orang-orang

perempuan yang bersuami dan oleh orang-orang belum dewasa yang telah

mendapat suatu pernyataan persamaan dengan orang dewasa, hanyalah

batal demi hukum, sekadar perikatan-perikatan tersebut melampaui

kekuasaan mereka.

3. Suatu hal tertentu atau adanya objek perjanjian

Objek perjanjian adalah pretasi (pokok perjanjian). Prestasi adalah kewajiban

debitur dan hak kreditur. Prestasi adalah sesuai dengan pasal 1234 Kitab

Undang-Undang Hukum Perdata yaitu “tiap-tiap perikatan adalah untuk memberikan

sesuatu, untuk berbuat sesuatu atau untuk tidak berbuat sesuatu”. Prestasi harus

dapat ditentukan, dibolehkan, dimungkinkan dan dapat dinilai dengan uang. Dapat

ditentukan, artinya didalam mengadakan perjanjian, isi perjanjian harus

dipastikan, dalam arti dapat ditentukan secara cukup.

Beberapa ketentuan di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang

mengatur tentang objek perjanjian, yaitu :25

a. Pasal 1332 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menyatakan

“hanya barang-barang yang dapat diperdagangkan saja yang dapat menjadi

pokok suatu perjanjian”.

25

(15)

b. Pasal 1333 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menyatakan

“suatu perjanjian harus mempunyai sebagai pokok barang yang paling

sedikit ditentukan jenisnya. Tidaklah menjadi halangan bahwa jumlah

barang tidak tentu, asal saja jumlah itu kemudian dapat ditentukan atau

dihitung”.

c. Pasal 1334 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menyatakan

“barang-barang yang baru akan ada dikemudian hari dapat menjadi pokok

suatu perjanjian”.

Yang diperjanjikan dalam suatu perjanjian haruslah suatu barang atau

objek yang jelas atau tertentu. Barang yang dimaksudkan dalam perjanjian paling

sedikit harus ditentukan jenisnya, jumlahnya walaupun tidak diharuskan oleh

undang-undang.

4. Suatu sebab yang halal (causa)

Kata “causa” berasal dari bahasa latin artinya sebab. Sebab adalah sesuatu

yang menyebabkan orang membuat perjanjian. Tetapi yang dimaksud dengan

causa yang halal bukanlah sebab dalam arti yang menyebabkan atau mendorong

orang membuat perjanjian melainkan sebab dalam arti isi perjanjian itu sendiri

yang menggambarkan tujuan yang akan dicapai oleh pihak-pihak yang melakukan

perjanjian.

Undang-undang tidak memperdulikan apa yang menjadi sebab orang

mengadakan perjanjian, namun yang diperhatikan atau yang diawasi oleh

undang-undang ialah isi perjanjian itu, yang menggambarkan tujuan yang hendak dicapai

(16)

Adapun beberapa ketentuan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

tentang sebab yang dilarang, yaitu :26

a. Pasal 1335 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang

menyatakan “suatu perjanjian tanpa sebab atau yang telah dibuat

karena sesuatu sebab yang palsu atau terlarang, tidak mempunyai

kekuatan”.

b. Pasal 1337 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang

menyatakan “suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh

undang-undang, atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik

atau ketertiban umum”.

Dari uraian tentang syarat-syarat sahnya perjanjian di atas maka syarat

tersebut dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu syarat subjektif dan syarat objektif.

Syarat subjektif terdapat dalam dua syarat pertama karena melekat pada diri orang

yang menjadi subjek perjanjian, apabila tidak terpenuhi maka perjanjian itu dapat

dibatalkan oleh salah satu pihak, sedangkan syarat objektif terdapat dalam dua

syarat yang terakhir, apabila syarat objektif tidak terpenuhi maka perjanjian

tersebut batal demi hukum.

D. Akibat-Akibat Perjanjian

Akibat–akibat yang ditimbulkan karena adanya perjanjian diatur dalam

pasal-pasal Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yaitu :

1. Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai

undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Suatu perjanjian tidak dapat

26

(17)

ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak atau karena

alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan untuk itu dan

perjanjian dilaksanakan dengan itikad baik. Sesuai dengan pasal 1338

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

2. Suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas

dinyatakan di dalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut

sifat perjanjian, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan dan

undang-undang sesuai dengan pasal 1339 Kitab Undang-Undang Hukum

Perdata.

3. Suatu perjanjian hanya berlaku antara pihak-pihak yang membuatnya.

Suatu perjanjian tidak dapat membawa rugi dan manfaat bagi pihak

ketiga (selain dalam hal yang diatur dalam pasal 1317 Kitab

Undang-Undang Hukum Perdata). Sesuai pasal 1340 Kitab Undang-Undang-Undang-Undang

Hukum Perdata.

4. Tiap orang yang berpiutang boleh mengajukan batalnya segala

perbuatan yang tidak diwajibkan yang dilakukan oleh orang yang

berpiutang, asalkan dapat dibuktikan. Sesuai dengan pasal 1341 Kitab

Undang-Undang Hukum Perdata.

E. Risikodalam Perjanjian

Risiko adalah kewajiban memikul kewajiban yang disebabkan karena

suatu kejadian di luar kesalahan salah satu pihak.27

27

Subekti, Hukum Perjanjian Cetakan ke VI, Jakarta, PT. Intermasa,1979, hlm.59.

(18)

1. Risiko pada perjanjian sepihak

Perjanjian sepihak adalah perjanjian yang menerbitkan kewajiban

hanya pada satu pihak saja, misal pada perjanjian penghibahan dan

perjanjian pinjam pakai.Menurut Pasal 1237 Kitab Undang-Undang

Hukum Perdata menyatakan bahwa :

“Dalam hal adanya perikatan untuk memberikan suatu kebendaan tertentu, kebendaan itu semenjak perikatan dilahirkan, adalah atas tanggungan si berputang, jika si berutang lalai akan menyerahkannya, maka semenjak saat kelalaian, kebendaan adalah atas tanggungannya”.

2. Risiko pada perjanjian timbal balik

Perjanjian timbal balik adalah suatu perjanjian yang membebankan

kewajiban pada kedua belah pihak, misalnya perjanjian jual beli, sewa

menyewa, dan tukar menukar. Sesuai dengan tujuan hukum yaitu untuk

mencapai suatu keadilan maka sudah selayaknya dalam suatu perjanjian

timbal balik bila salah satu pihak tidak dapat memenuhi kewajibannya,

dengan sendirinya pihak yang lain juga dibebaskan dari kewajibannya.

Dengan kata lain seseorang hanya bersedia memberikan sesuatu karena

mengharapkan akan menerima sesuatu pula dari pihak lainnya.

Pasal 1545 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan

bahwa :

“jika suatu barang tertentu, yang telah dijanjikan untuk ditukar, musnah diluar salah pemiliknya, maka perjanjian dianggap sebagai gugur, dan siapa yang dari pihaknya telah memenuhi perjanjian, dapat menuntut kembali barang yang ia telah berikan dalam tukar menukar”.

Selanjutnya pada Pasal 1543 Kitab Undang-Undang Hukum

(19)

“jika pihak yang satu telah menerima barang yangditukarkan

kepadanya, dan kemudian ia membuktikan bahwa pihak yanglain

bukan pemilik barang tersebut, maka tak dapatlah ia

dipaksamenyerahkan barang yang ia telah janjikan dari pihaknya

sendiri,melainkan hanya untuk mengembalikan barang yang telah

diterimanya”.

Jadi, intinya adalah mengatur masalah risiko dalam perjanjian sewa

menyewa, yang meletakan risiko diatas pundak pemilik barang yang

disewakan.Jadi dapat disimpulkan bahwa sesuai dengan tujuan hukum yaitu untuk

mencapai suatu keadilan maka dalam perjanjian timbal balik berlaku asas umum

bahwa risiko yang terjadi akibat dari suatu keadaan memaksa, wajib dipikul oleh

pemilik barang sendiri.

F. Wanprestasi

Wanprestasi artinya tidak memenuhi sesuatu yang diwajibkan seperti yang

telah ditetapkan dalam perikatan. Tidak dipenuhinya kewajiban oleh debitur

disebabkan oleh dua kemungkinan alasan, yaitu:

1. Karena kesalahan debitur, baik dengan sengaja tidak dipenuhinya kewajiban

maupun karena kelalaian.

2. Karena keadaan memaksa (overmacht), force mejeure, jadi di luar kemampuan

debitur. Debitur tidak bersalah.

Wanprestasi mempunyai hubungan yang sangat erat dengan somasi.

Wanprestasi adalah tidak memenuhi atau lalai melaksanakan kewajiban

(20)

debitur. Dalam restatement of the law of contracts (Amerika Serikat), wanprestasi

atau breach of contracts dibedakan menjadi dua macam, yaitu total breachts dan

partial breachts. Total breachts artinya pelaksanaan kontrak tidak mungkin

dilaksanakan, sedangkan partial breachts artinya pelaksanaan perjanjian masih

mungkin untuk dilaksanakan. Seorang debitur dikatakan wanprestasi apabila ia

telah diberikan somasi oleh kreditur atau juru sita. Somasi itu minimal telah

dilakukan sebanyak tiga kali oleh kreditur atau juru sita. Apabila somasi itu tidak

diindahkannya, maka kreditur berhak membawa persoalan itu kepengadilan. Dan

pengadilan yang akan memutuskan, apakah debitur melakukan wanpretasi atau

tidak.28

1. Debitur tidak memenuhi prestasi sama sekali.

Untuk menentukan apakah seorang debitur bersalah melakukan wanprestasi,

perlu ditentukan dalam keadaan bagaimana debitur dikatakan sangaja atau lalai

tidak memenuhi prestasi. Ada tiga keadaan, yaitu:

2. Debitur memenuhi prestasi, tetapi tetapi tidak baik atau keliru.

3. Debitur memenuhi prestasi, tetapi tidak tepat waktunya atau terlambat.

Untuk mengetahui sejak kapan debitur dalam keadaan wanprestasi, perlu

diperhatikan apakah dalam perkataan itu ditentukan tenggang waktu pelaksanaan

pemenuhan prestasi atau tidak. Dalam hal tenggang waktu pelaksanaan

pemenuhanprestasi "tidak ditentukan", perlu memperingatkan debitur supaya ia

memenuhi prestasi.Tetapi dalam hal telah ditentukan tenggang waktunya, menurut

ketentuan pasal 1238 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan bahwa

28

(21)

“si berutang adalah lalai, apabila ia dengan sebuah akta sejenis itu telah

dinyatakan lalai, atau demi perikatannya sendiri.

Kelalaian disini adalah kelalaian dari pihak yang wajib memenuhi suatu

prestasi yang telah diperjanjikan. Sehingga dikatakan ia telah ingkar janji karena

tidak melakukan apa yang telah disepakati atau ia telah melakukan suatu

perbuatan yang justru dalam isi perjanjian tidak boleh dilakukannya. Menurut

pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, wanprestasi adalah tiap

perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada orang lain,

mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, menggantikan

kerugian tersebut.

Istilah wanprestasi berasal dari bahasa Belanda yang berarti prestasi buruk,

artinya debitur tidak memenuhi prestasinya sebagaimana yang telah ditentukan

dalam perjanjian.

Wanprestasi seorang debitur dapat berupa :

a. Sama sekali tidak memenuhi prestasi

b. Tidak tunai memenuhi prestasinya

c. Terlambat memenuhi prestasinya

d. Keliru memenuhi prestasinya.

Wanpretasi dapat membawa akibat yang merugikan bagi pihak debitur,

karena sejak ditetapkan lalai, debitur dapat diancam beberapa sanksi atau

hukuman. Hukuman bagi debitur yang lalai antara lain ada 4 (empat), yaitu :29

1. Ganti rugi

2. Pembatalan perjanjian atau pemecahan perjanjian

29

(22)

3. Peralihan risiko

4. Membayar biaya perkara, bila diperkarakan dipengadilan.

Dalam perjanjian sewa beli apabila pihak penyewa melakukan salah satu

dari bentuk-bentuk wanprestasi, maka untuk pelaksanaan hukumnya

undang-undang menghendaki penyewa untuk memberikan pernyataan lalai kepada pihak

yang menyewakan.

Dengan demikian, wanprestasi yang dilakukan oleh pihak penyewa itu

pokoknya harus secara formal dinyatakan telah lebih dahulu, yaitu dengan

memperingatkan penyewa bahwa penyewa atau pihak menghendaki pembayaran

seketika atau jangka waktu pendek yang telah ditentukan. Singkatnya, hutang itu

harus ditagih dan yang lalai harus ditegur dengan peringatan atau sommatie.

Cara pemberian teguran terhadap debitur yang lalai tersebut telah diatur

dalam dalam pasal 1238 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menyatakan

bahwa teguran itu harus dengan surat perintah atau dengan akta sejenis. Yang

dimaksud dengan surat perintah dalam pasal tersebut adalah peringatan resmi dari

juru sita pengadilan, sedangkan yang dimaksud dengan akta sejenis adalah suatu

tulisan biasa (bukan resmi), surat maupun telegram yang tujuannya sama yakni

untuk memberi peringatan kepada debitur untuk memenuhi prestasi dalam waktu

Referensi

Dokumen terkait

Menentukan pusat massa lempeng homogen tak beraturan dapat ditentukan dari perpotongan garis kesetimbangan dari beberapa titik yang digunakan sebagai poros

Prinsip kerja dari arus searah adalah membalik phasa tegangan dari gelombang yang mempunyai nilai pos itif dengan menggunakan komutator, dengan demikian arus yang

Dalam kegiatan pengadaan tanah tersangkut kepentingan dua pihak, yaitu instansi pemerintah yang memerlukan tanah dan masyarakat yang tanahnya diperlukan untuk

Segenap anggota jemaat Klasis Pulau Jawa menyatakan turut berdukacita dan berdoa kiranya Tuhan Yang Maha Pengasih memberikan penghiburan sejati dan kekuatan

Pada saat semua sel konduksi pada jantung (nodus SA, nodus AV, serat Purkinje) menghasil- kan impuls, nodus SA menghasilkan impuls lebih cepat, sehingga dapat mem- batalkan

Dengan adanya Rencana Program Investasi Jangka Menengah (RPIJM) Bidang PU Cipta Karya diharapkan Kabupaten dapat menggerakkan semua sumber daya yang ada untuk

Namun peristiwa yang terjadi dalam Kisah Para Rasul 2:4 harus dipahami sebagai sebuah penggenapan atas janji Bapa yang disebutkan dalam Kisah Para Rasul 1:5,

Data primer diperoleh dari pengamatan dan wawancara langsung dengan responden berdasarkan daftar pertanyaan (kuisioner) dengan data yang diperlukan adalah data sebelum