BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN
A. Pengertian Perjanjian
Dalam kehidupan sehari-hari, manusia selalu terlibat dalam pergaulan dengan
sesamanya, sehingga terjadi hubungan antar manusia yang disebut juga dengan
hubungan antar individu. Hubungan antar individu menimbulkan hubungan yang
dapat bersifat hubungan biasa dan hubungan hukum. Suatu hubungan disebut
hubungan hukum, apabila hubungan antara dua orang atau dua pihak tersebut
diatur oleh hukum, yaitu hubungan antara sesama manusia yang dilindungi oleh
hukum atau akibat-akibat yang ditimbulkan oleh pergaulan itu dilindungi oleh
hukum.
Definisi hukum menurut beberapa pakar yaitu :7
1. R. Soeroso
Definisi hukum secara umum adalah himpunan peraturan yang dibuat oleh
yang berwenang dengan tujuan untuk mengatur tata tertib kehidupan
bermasyarakat yang memiliki ciri perintah dan larangan serta mempunyai sifat
memaksa dengan menjatuhkan sanksi-sanksi hukuman bagi pelanggarnya.
Unsur-unsur yang terkandung dalam definisi hukum sebagai berikut :
a. peraturan dibuat oleh yang berwenang.
b. tujuannya mengatur tata tertib kehidupan masyarakat.
c. mempunyai ciri memerintah dan melarang.
d. bersifat memaksa dan ditaati.
7
2. Abdulkadir Muhammad
Hukum adalah segala peraturan tertulis dan tidak tertulis yang mempunyai
sanksi yang tegas terhadap pelanggarnya.
3. C.S.T. Kansil
Hukum itu mengadakan ketatatertiban dalam pergaulan manusia, sebagai
keamanan dan ketertiban terpelihara.
4. J.C.T. Simorangkir dan Woerjono Sastropranoto
Hukum adalah peraturan-peraturan yang bersifat memaksa, yang
menentukan tingkah laku manusia dalam lingkungan masyarakat, yang dibuat
oleh badan-badan resmi yang berwajib, pelanggaran-pelanggaran yang dikenai
tindakan-tindakan hukum tertentu.
5. Utrecht
Hukum merupakan himpunan petunjuk hidupperintah dan larangan yang
mengatur tata tertib dalam suatu masyarakat yang seharusnya ditaati oleh seluruh
anggota masyarakat oleh karena itu pelanggaran petunjuk hidup tersebut dapat
menimbulkan tindakan oleh pemerintah atau penguasa itu.
Sebabnya hukum ditaati orang menurut Utrecht, yaitu :8
a. Karena orang merasakan bahwa peraturan dirasakan sebagai hukum.
Mereka benar berkepentingan akan berlakunya peraturan tersebut.
b. Karena orang harus menerimanya supaya ada rasa ketentraman.Penerimaan
rasional itu sebagai akibat adanya sanksi-sanksi hukum supaya tidak
8
mendapatkan kesukaran, orang memilih untuk taat saja pada peraturan
hukum karena melanggar hukum mendapat sanksi hukum.
c. Karena masyarakat menghendakinya. Dalam kenyataannya banyak orang
yang tidak menanyakan apakah sesuatu menjadi hukum atau belum.
Mereka tidak menghiraukan dan baru merasakan dan memikirkan apabila
telah melanggar hingga merasakan akibat pelanggaran tersebut. Mereka
baru merasakan adanya hukum apabila luas kepentingannya dibatasi oleh
peraturan hukum yang ada.
d. Karena adanya paksaan (sanksi) sosial. Orang merasakan malu atau
khawatir dituduh sebagai orang yang asosial apabila orang melanggar suatu
kaidah sosial atau hukum.
Sedangkan tujuan hukum itu sendiri, menurut : 9
1. Apeldorn,yaitu mengatur pergaulan hidup manusia secara damai karena
hukum menghendaki perdamaian.
2. Subekti, tujuan hukum adalah mengabdi pada tujuan negara yang pada
pokoknya tujuan negara adalah mewujudkan kemakmuran dan memberikan
kebahagiaan pada rakyat di negaranya.10
Hukum adalah sekumpulan peraturan yang berisi perintah dan larangan
yang dibuat oleh pihak yang berwenang sehingga dapat dipaksakan
pemberlakuaanya berfungsi untuk mengatur masyarakat demi terciptanya
ketertiban disertai dengan sanksi bagi pelanggarnya. Salah satu bidang hukum
yang mengatur hak dan kewajiban yang dimiliki pada subyek hukum dan
9
Subekti, Op. Cit, hlm. 6.
10
hubungan antara subyek hukum. Hukum perdata disebut pula hukum privat atau
hukum sipil sebagai lawan dari hukum publik. Jika hukum publik mengatur
hal-halyang berkaitan dengan negara serta kepentingan umum (misalnya politik dan
pemilu (hukum tata negara), kegiatan pemerintahan sehari-hari (hukum
administrasi atau tata usaha negara), kejahatan (hukum pidana), maka hukum
perdata mengatur hubungan antara penduduk atau warga negara sehari-hari,
seperti misalnya kedewasaan seseorang, perkawinan, perceraian, kematian,
pewarisan, harta benda, kegiatan usaha dan tindakan-tindakan yang bersifat
perdata lainnya.
Sedangkan hukum perjanjian dalam bahasa belanda disebut verbintenis
yang artinya mengikat dan diatur dalam Buku III Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata, tetapi definisi mengenai Perikatan tidak diatur didalamnya. Hukum
Perikatan merupakan bagian dari hukum harta kekayaan (vermogensrecht) dan
bagian lain dari hukum harta kekayaan adalah hukum benda. Setiap orang dapat
mengadakan perikatan yang bersumber pada perjanjian, perjanjian apapun dan
bagaimanapun isinya yang mereka kehendaki, baik yang diatur dalam
undang-undang maupun yang tidak diatur di dalam undang-undang-undang-undang. Inilah yang disebut
dengan kebebasan berkontrak (contractsvrijheid), dengan syarat bahwa kebebasan
berkontrak ini dibatasi dengan pembatasan umum, yaitu yang diaturdalam
ketentuan pasal 1337 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menyatakan
“suatu sebab adalah terlarang, jika sebab itu bertentangan dengan kesusilaan atau
dengan ketertiban umum”, juga dibatasi oleh ketentuan didalam pasal 1254 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata yang menyatakan “semua syarat yang bertujuan
kesusilaan yang baik, atau sesuatu yang dilarang oleh undang-undang adalah batal
dan mengakibatkan persetujuan yang digantungkan padanya tidak berlaku”.11
Definisi perikatan menurut Sudikno Mertokusumo adalah hubungan
hukum antara dua pihak yang menimbulkan hak dan kewajiban atas suatu prestasi.
Ada pula yang mendefinisikan perikatan sebagai hubungan hukum didalam
lapangan harta kekayaan antara dua pihak, pihak yang satu berkewajiban dan
pihak yang lainnya berhak atas suatu prestasi. Perikatan sifatnya lebih luas dan
abstrak daripada perjanjian yang lebih sempit dan konkret.12
“Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu pihak atau lebih dengan mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”. Perjanjian menurut pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang
berbunyi:
13
Istilah “perjanjian” atau “kontrak” dalam sistem hukum nasional memiliki
pengertian yang sama. Suatu perjanjian atau kontrak memiliki unsur-unsur yaitu
pihak-pihak yang kompeten, pokok yang disetujui, pertimbangan hukum,
perjanjian timbal balik, serta hak dan kewajiban timbal balik. Ciri kontrak yang
utama ialah bahwa kontrak merupakan suatu tulisan yang memuat janji dari para
pihak secara lengkap dengan ketentuan-ketentuan dan persyaratan-persyaratan
serta berfungsi sebagai alat bukti tentang adanya seperangkat kewajiban. Dengan
demikian, dalam perjanjian para pihak yang melakukan kontrak memiliki
beberapa kehendak yaitu :14
1. Kebutuhan terhadap janji atau janji-janji.
11
Firman Floranta Adoranta, “Aspek-aspek Hukum Perjanjian”,Bandung, CV Mandar Maju, 2014,hlm.1.
12
Ibid., hlm.3.
13
Surbekti dan R. Tjitrosudibio, “Kitab Undang-Undang Hukum Perdata”, Jakarta, PT Pradnya Paramita, 2007, hlm. 338.
14
2. Kebutuhan terhadap janji atau janji-janji antara dua atau lebih pihak
dalam suatu perjanjian.
3. Kebutuhan terhadap janji-janji yang dirumuskan dalam bentuk kewajiban.
4. Kebutuhan terhadap kewajiban bagi penegakan hukum.
Perjanjian atau kontrak merupakan salah satu dari dua dasar hukum
yangada selain dari undang-undang yang dapat menimbulkan perikatan. Perikatan
adalah suatu hubungan hukum yang mengikat satu atau lebih subyek hukum
dengan kewajiban-kewajiban yang berkaitan satu sama lain.
Pengertian perikatan sebagaimana diuraikan di atas menunjukan bahwa
perikatan memiliki pengertian yaitu hal yang mengikat antara orang yang satu
dengan yang lain. Hal yang mengikat tersebut adalah peristiwa hukum yang dapat
berupa perbuatan, misalnya jual beli, utang piutang. Berupa suatu kejadian
misalnya kelahiran, kematian, dan berupa keadaan, misalnya perkarangan
berdampingan, rumah bersusun, peristiwa hukum tersebut menciptakan hubungan
hukum.
Dalam hubungan utang piutang, pihak yang berutang disebut debitur,
sedangkan yang memberi utang disebut kreditur. Dalam hal jual beli, pihak
pembeli berposisi sebagai debitur, sedangkan pihak penjual disebut sebagai
kreditur. Dalam perjanjian hibah, pemberi hibah disebut debitur, sedangkan
penerima hibah disebut kreditur. Berdasarkan hal tersebut, maka pengertian
kreditur adalah pihak yang menuntut sesuatu dan debitur adalah pihak yang
berkewajiban memenuhi tuntutan.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa perikatan adalah suatu
dapat berupa perbuatan, kejadian atau keadaan. Obyek hukum adalah harta
kekayaan yang dapat dinilai dengan uang. Pihak yang berhak menuntut sesuatu
disebut kreditur, sedangkan pihak yang wajib memenuhi tuntutan disebut debitur.
Dengan demikian dapat dirumuskan bahwa perikatan adalah hubungan hukum
mengenai harta kekayaan yang terjadi antara debitur dan kreditur. Perikatan
memang lebih luas pengertiannya apabila dibandingkan dengan perutangan.
Perikatan meliputi semua hubungan hukum perdata, sedangkan perutangan hanya
meliputi hubungan hukum harta kekayaan, yang diatur dalam Buku III Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata. Dengan kata lain, perutangan adalah perikatan
dalam arti sempit.15
Kewajiban debitur membayar utang-utangnya disebut dengan Schuld,
sedangkan kewajiban seorang debitur membiarkan kreditur mengambil harta
kekayaanya sebesar kewajiban pelunasan utangnya disebut Haftung. Debitur yang
mengikatkan diri dalam perjanjian utang piutang wajib melaksanakan pasal-pasal
yang memuat kewajiban sebagai debitur, yaitu membayar utang-utangnya. Jika
pihak debitur menyanggupi pembayarannya sesuai dengan perjanjian, pihak
debitur wajib membiarkan pihak kreditur menyita harta kekayaan yang
dijaminkannya sesuai dengan jumlah utang yang ditanggung debitur. Itulah yang
disebut dengan Schuld dan Haftung.16
B. Asas-Asas Perjanjian
Hukum perjanjian memuat sejumlah asas hukum. Asas hukum merupakan
landasan yang paling luas bagi lahirnya suatu peraturan hukum. Asas hukum
15
Firman Op.Cit., hlm. 4-5.
16
dapat diartikan sebagai suatu hal yang dianggap oleh masyarakat hukum yang
bersangkutan sebagai basic truth atau kebenaran asasi, sebab melalui asas-asas
hukum itulah pertimbangan etis dan sosial masyarakat masuk ke dalam hukum.
Prinsip-prinsip atau asas-asas fundamental yang menguasai hukum kontrak adalah
prinsip atau asas konsensualitas dimana persetujuan-persetujuan dapat terjadi
karena persesuaian kehendak (konsensus) para pihak. Asas konsensualitas
menyangkut terjadinya suatu persetujuan. Prinsip kekuatan mengikat menyangkut
akibat persetujuan, sedangkan prinsip kebebasan berkontrak berkaitan dengan isi
persetujuan untuk memperoleh pengertian yang benar mengenai persetujuan,
kekuatan mengikat dan kebebasan berkontrak dalam asas konsensualitas.
Asas-asas yang terkandung dalam perjanjian antara lain adalah sebagai
berikut :17
1. Asas Kebebasan Berkontrak (Sistem Terbuka)
Hukum perjanjian menganut sistem terbuka, artinya hukum perjanjian
memberikan kebebasan kepada masyarakat untuk mengadakan perjanjian yang
berisi apa saja sepanjang tidak melanggar ketertiban umum dan kesusilaan. Sistem
terbukajuga mengandung suatu pengertian bahwa perjanjian-perjanjian khusus
yang diatur dalam undang-undang hanyalah perjanjian-perjanjian yang telah
dikenal umum di dalam masyarakat pada waktu Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata dibentuk. Contoh :undang-undang hanya mengatur perjanjian jual beli dan
sewa menyewa, namun dalam praktik, ada perjanjian bentuk campuran yang
timbul karena pembeli tidak mampu membayar harga barang sekaligus, yang
dinamakan sewa beli.
17
Dengan demikian menurut asas kebebasan berkontrak seseorang pada
umumnya mempunyai pilihan bebas untuk mengadakan perjanjian dan didalam
asas ini terkandung suatu pandangan bahwa orang bebas untuk melakukan atau
tidak melakukan perjanjian, bebas dengan siapa ia mengadakan perjanjian, bebas
tentang apa yang diperjanjikan dan bebas untuk menetapkan syarat-syarat
perjanjian.18
2. Asas Konsensualitas (Kesepakatan)
Hal ini tercermin dari Pasal 1338 ayat (1) Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata yang menyatakan “semua perjanjian yang dibuat secara sah
berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuat”.
Asas ini menyatakan bahwa perjanjian sudah terjadi dan bersifat mengikat
sejak tercapai kesepakatan (konsensus) antara kedua belah pihak mengenai obyek
perjanjian. Di sini telahditetapkan apa yang menjadi hak dan kewajiban dari
masing-masing pihak. Sebagai contoh adalah transaksi jual beli. Perjanjian telah
timbul sejak penjual melakukan penawaran atas suatu barang dan penawaran itu
kemudian disetujui oleh pembeli. Asas konsensualitas sebagaimana terdapat
dalam pasal 1320 angka (1) yakni sepakat mereka yang mengikatkan dirinya, hal
ini sesuai dengan asas ini yang lahir cukup dengan adanya kesepakatan.
3. Asas Itikad Baik (Kepribadian)
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 1338ayat (3) asas
itikad baik ini diatur. Asas itikad baik ini sangat mendasar dan penting untuk
diperhatikan di dalam membuat perjanjian. Maksud itikad baik adalah bertindak
sebagai pribadi yang baik. Itikad baik dalam pengertian yang sangat subyektif
dapat diartikan sebagai kejujuran seseorang, yaitu apa yang terletak pada
18
seseorang pada waktu diadakan perbuatan hukum. Sedangkan itikad baik dalam
pengertian obyektif yaitu bahwa pelaksanaan suatu perjanjian itu harus didasarkan
pada norma kepatutan atau apa-apa yang dirasa sesuai dengan yang patut dalam
masyarakat.
Pasal 1338ayat (3) Kitab Undang-Undang Hukum
Perdatamengidentifikasikan bahwa sebenarnya itikad baik bukan merupakan
syarat sahnya suatu kontrak sebagaimana syarat yang terdapat dalam Pasal 1320
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Unsur itikad baik hanya diisyaratkan
dalam hal pelaksanaan dari suatu kontrak, bukan pada pembuatan suatu kontrak,
sebab unsur “itikad baik” dalam hal pembuatan suatu kontrak sudah dapat dicakup
dari Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tersebut.
4. Asas Pelengkap
Pasal-pasal dalam hukum perjanjian dikatakan sebagai hukum pelengkap,
karena pasal-pasal ini melengkapi perjanjian-perjanjian yang dibuat secara tidak
lengkap. Biasanya orang yang mengadakan suatu perjanjian tidak mengatur secara
terperinci semua persoalan yang berkaitan dengan perjanjian itu. Sebagai contoh
yaitu dalam perjanjian jual beli cukup apabila barang dan harganya telah disetujui.
Mengenai dimana barang diserahkan, siapa yang harus memikul biaya
pengantaran barang dan lain-lain, kadang tidak diperhitungkan dalam perjanjian.
Adapun dasar hukum perjanjian antara lain adalah :
a. Pasal 1233 Kitab Undang-Undang Hukum Perdatayaitu “tiap-tiap
perikatan dilahirkan baik karena persetujuan, baik karena
undang-undang”19
19
b. Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yaitu “suatu perjanjian
adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan
dirinya terhadap satu orang atau lebih.”20
c. Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yaitu untuk sahnya
suatu perjanjian diperlukan empat syarat antara lain sepakat mereka yang
mengikatkan dirinya, kecakapan untuk membuat suatu perikatan, suatu hal
tertentu, suatu sebab yang halal”.21
C. Syarat-Syarat Sahnya Perjanjian
Suatu perjanjian dianggap sah apabila mengikat kedua belah pihak dan
memenuhi syarat-syarat perjanjian yang terdapat dalam pasal 1320 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata yaitu :
1. Adanya kesepakatan (Toestemming) kedua belah pihak
Kesepakatan adalah persesuaian kehendak antara satu orang atau lebih
dengan pihak lain, artinya pihak-pihak yang mengikatkan perjanjian ini
mempunyai persesuaian kehendak tentang hal-hal pokok dari perjanjian yang
diadakan. Kata sepakat ini lahir dari kehendak yang bebas dari kedua belah pihak,
mereka menghendaki secara timbal balik. Dengan kata sepakat maka perjanjian
tidak dapat ditarik secara sepihak saja namun atas kehendak kedua belah pihak.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa sepakat yang dimaksud adalah
perjanjian atau perikatan yang timbul atau lahir sejak tercapainya kesepakatan,
sebagaimana diatur dalam pasal 1321 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang
20
Ibid, hlm. 338.
21
memberikan pengertian bahwa “tiada sepakat yang sah apabila sepakat itu
diberikan karena kekhilafan, atau diperolehnya dengan paksaan atau penipuan”.
Ada lima cara terjadinya persesuaian pernyataan kehendak, yaitu dengan :
a. Bahasa yang sempurna dan tertulis.
b. Bahasa yang sempurna secara lisan.
c. Bahasa yang tidak sempurna asal dapat diterima oleh pihak lawan. Karena
kenyataannya seringkali seseorang menyampaikan dengan bahasa yang
tidak sempurna tetapi dimengerti oleh pihak lawannya.
d. Bahasa isyarat asal dapat diterima oleh pihak lawannya.
e. Diam atau membisu, tetapi asal dipahami atau diterima pihak lawannya.22
Pada prinsipnya cara yang paling banyak disukai dan digunakan oleh para
pihak yaitu dengan bahasa yang sempurna dan tertulis. Tujuan dibuatnya
perjanjian secara tertulis adalah untuk memberikan kepastian hukum bagi para
pihak yang membuat perjanjian dan dapat digunakan sebagai alat bukti apabila
kemudian hari timbul konflik atau sengketa.
2. Kecakapan bertindak atau cakap untuk membuat suatu perjanjian
Kecakapan bertindak adalah kecakapan atau kemampuan untuk melakukan
perbuatan hukum. Perbuatan hukum adalah perbuatan yang akan menimbulkan
akibat hukum. Pada dasarnya setiap orang sepanjang tidak ditentukan lain oleh
undang-undang dianggap cakap atau mampu melakukan perbuatan hukum yang
dalam hal ini adalah membuat perjanjian. Hal ini ditegaskan didalam pasal
1329Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yaitu “setiap orang adalah cakap
22
untuk membuat perikatan-perikatan, jika ia oleh undang-undang tidak dinyatakan
tak cakap”.
Sedangkan orang-orang yang tidak termasuk cakap hukum dalam
membuat persetujuan diatur dalam pasal 1330 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata yaitu :
a. orang-orang yang belum dewasa
b. mereka yang ditaruh di bawah pengampuan
c. orang-orang perempuan, dalam hal-hal yang ditetapkan oleh
undang, dan pada umumnya semua orang kepada siapa
undang-undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu.23
Akibat hukum bagi perjanjian yang dibuat oleh pihak yang tidak cakap
hukum diatur di dalam pasal 1331 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan
Pasal 1446 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yaitu :24
a. Pasal 1331 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menyatakan
“karena ituorang-orang yang di dalam pasal yang lalu dinyatakan tak
cakap, boleh menuntut pembatalan perikatan-perikatan yang mereka telah
perbuat, dalam hal-hal dimana kekuasaan itu tidak dikecualikan oleh
undang-undang. Orang-orang yang cakap untuk mengikatkan diri tak
sekali-kali diperkenankan mengemukakan ketidakcakapan orang-orang
yang belum dewasa. Orang-orang yang ditaruh dibawah pengampuan dan
perempuan-perempuan yang bersuami dengan siapa mereka telah
membuat suatu perjanjian”.
23
Subekti, Op.Cit., hlm.341.
24
b. Pasal 1446 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menyatakan
“semua perikatan yang dibuat oleh orang belum dewasa atau
orang-orang yang ditaruh dibawah pengampuan, adalah batal demi hukum, dan
atas penuntutan yang dimajukan oleh atau dari pihak mereka, harus
dinyatakan batal, semata-mata atas dasar kebelumdewasaanatau
pengampuannya. Perikatan-perikatan yang dibuat oleh orang-orang
perempuan yang bersuami dan oleh orang-orang belum dewasa yang telah
mendapat suatu pernyataan persamaan dengan orang dewasa, hanyalah
batal demi hukum, sekadar perikatan-perikatan tersebut melampaui
kekuasaan mereka.
3. Suatu hal tertentu atau adanya objek perjanjian
Objek perjanjian adalah pretasi (pokok perjanjian). Prestasi adalah kewajiban
debitur dan hak kreditur. Prestasi adalah sesuai dengan pasal 1234 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata yaitu “tiap-tiap perikatan adalah untuk memberikan
sesuatu, untuk berbuat sesuatu atau untuk tidak berbuat sesuatu”. Prestasi harus
dapat ditentukan, dibolehkan, dimungkinkan dan dapat dinilai dengan uang. Dapat
ditentukan, artinya didalam mengadakan perjanjian, isi perjanjian harus
dipastikan, dalam arti dapat ditentukan secara cukup.
Beberapa ketentuan di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang
mengatur tentang objek perjanjian, yaitu :25
a. Pasal 1332 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menyatakan
“hanya barang-barang yang dapat diperdagangkan saja yang dapat menjadi
pokok suatu perjanjian”.
25
b. Pasal 1333 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menyatakan
“suatu perjanjian harus mempunyai sebagai pokok barang yang paling
sedikit ditentukan jenisnya. Tidaklah menjadi halangan bahwa jumlah
barang tidak tentu, asal saja jumlah itu kemudian dapat ditentukan atau
dihitung”.
c. Pasal 1334 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menyatakan
“barang-barang yang baru akan ada dikemudian hari dapat menjadi pokok
suatu perjanjian”.
Yang diperjanjikan dalam suatu perjanjian haruslah suatu barang atau
objek yang jelas atau tertentu. Barang yang dimaksudkan dalam perjanjian paling
sedikit harus ditentukan jenisnya, jumlahnya walaupun tidak diharuskan oleh
undang-undang.
4. Suatu sebab yang halal (causa)
Kata “causa” berasal dari bahasa latin artinya sebab. Sebab adalah sesuatu
yang menyebabkan orang membuat perjanjian. Tetapi yang dimaksud dengan
causa yang halal bukanlah sebab dalam arti yang menyebabkan atau mendorong
orang membuat perjanjian melainkan sebab dalam arti isi perjanjian itu sendiri
yang menggambarkan tujuan yang akan dicapai oleh pihak-pihak yang melakukan
perjanjian.
Undang-undang tidak memperdulikan apa yang menjadi sebab orang
mengadakan perjanjian, namun yang diperhatikan atau yang diawasi oleh
undang-undang ialah isi perjanjian itu, yang menggambarkan tujuan yang hendak dicapai
Adapun beberapa ketentuan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
tentang sebab yang dilarang, yaitu :26
a. Pasal 1335 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang
menyatakan “suatu perjanjian tanpa sebab atau yang telah dibuat
karena sesuatu sebab yang palsu atau terlarang, tidak mempunyai
kekuatan”.
b. Pasal 1337 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang
menyatakan “suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh
undang-undang, atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik
atau ketertiban umum”.
Dari uraian tentang syarat-syarat sahnya perjanjian di atas maka syarat
tersebut dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu syarat subjektif dan syarat objektif.
Syarat subjektif terdapat dalam dua syarat pertama karena melekat pada diri orang
yang menjadi subjek perjanjian, apabila tidak terpenuhi maka perjanjian itu dapat
dibatalkan oleh salah satu pihak, sedangkan syarat objektif terdapat dalam dua
syarat yang terakhir, apabila syarat objektif tidak terpenuhi maka perjanjian
tersebut batal demi hukum.
D. Akibat-Akibat Perjanjian
Akibat–akibat yang ditimbulkan karena adanya perjanjian diatur dalam
pasal-pasal Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yaitu :
1. Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai
undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Suatu perjanjian tidak dapat
26
ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak atau karena
alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan untuk itu dan
perjanjian dilaksanakan dengan itikad baik. Sesuai dengan pasal 1338
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
2. Suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas
dinyatakan di dalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut
sifat perjanjian, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan dan
undang-undang sesuai dengan pasal 1339 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata.
3. Suatu perjanjian hanya berlaku antara pihak-pihak yang membuatnya.
Suatu perjanjian tidak dapat membawa rugi dan manfaat bagi pihak
ketiga (selain dalam hal yang diatur dalam pasal 1317 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata). Sesuai pasal 1340 Kitab Undang-Undang-Undang-Undang
Hukum Perdata.
4. Tiap orang yang berpiutang boleh mengajukan batalnya segala
perbuatan yang tidak diwajibkan yang dilakukan oleh orang yang
berpiutang, asalkan dapat dibuktikan. Sesuai dengan pasal 1341 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata.
E. Risikodalam Perjanjian
Risiko adalah kewajiban memikul kewajiban yang disebabkan karena
suatu kejadian di luar kesalahan salah satu pihak.27
27
Subekti, Hukum Perjanjian Cetakan ke VI, Jakarta, PT. Intermasa,1979, hlm.59.
1. Risiko pada perjanjian sepihak
Perjanjian sepihak adalah perjanjian yang menerbitkan kewajiban
hanya pada satu pihak saja, misal pada perjanjian penghibahan dan
perjanjian pinjam pakai.Menurut Pasal 1237 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata menyatakan bahwa :
“Dalam hal adanya perikatan untuk memberikan suatu kebendaan tertentu, kebendaan itu semenjak perikatan dilahirkan, adalah atas tanggungan si berputang, jika si berutang lalai akan menyerahkannya, maka semenjak saat kelalaian, kebendaan adalah atas tanggungannya”.
2. Risiko pada perjanjian timbal balik
Perjanjian timbal balik adalah suatu perjanjian yang membebankan
kewajiban pada kedua belah pihak, misalnya perjanjian jual beli, sewa
menyewa, dan tukar menukar. Sesuai dengan tujuan hukum yaitu untuk
mencapai suatu keadilan maka sudah selayaknya dalam suatu perjanjian
timbal balik bila salah satu pihak tidak dapat memenuhi kewajibannya,
dengan sendirinya pihak yang lain juga dibebaskan dari kewajibannya.
Dengan kata lain seseorang hanya bersedia memberikan sesuatu karena
mengharapkan akan menerima sesuatu pula dari pihak lainnya.
Pasal 1545 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan
bahwa :
“jika suatu barang tertentu, yang telah dijanjikan untuk ditukar, musnah diluar salah pemiliknya, maka perjanjian dianggap sebagai gugur, dan siapa yang dari pihaknya telah memenuhi perjanjian, dapat menuntut kembali barang yang ia telah berikan dalam tukar menukar”.
Selanjutnya pada Pasal 1543 Kitab Undang-Undang Hukum
“jika pihak yang satu telah menerima barang yangditukarkan
kepadanya, dan kemudian ia membuktikan bahwa pihak yanglain
bukan pemilik barang tersebut, maka tak dapatlah ia
dipaksamenyerahkan barang yang ia telah janjikan dari pihaknya
sendiri,melainkan hanya untuk mengembalikan barang yang telah
diterimanya”.
Jadi, intinya adalah mengatur masalah risiko dalam perjanjian sewa
menyewa, yang meletakan risiko diatas pundak pemilik barang yang
disewakan.Jadi dapat disimpulkan bahwa sesuai dengan tujuan hukum yaitu untuk
mencapai suatu keadilan maka dalam perjanjian timbal balik berlaku asas umum
bahwa risiko yang terjadi akibat dari suatu keadaan memaksa, wajib dipikul oleh
pemilik barang sendiri.
F. Wanprestasi
Wanprestasi artinya tidak memenuhi sesuatu yang diwajibkan seperti yang
telah ditetapkan dalam perikatan. Tidak dipenuhinya kewajiban oleh debitur
disebabkan oleh dua kemungkinan alasan, yaitu:
1. Karena kesalahan debitur, baik dengan sengaja tidak dipenuhinya kewajiban
maupun karena kelalaian.
2. Karena keadaan memaksa (overmacht), force mejeure, jadi di luar kemampuan
debitur. Debitur tidak bersalah.
Wanprestasi mempunyai hubungan yang sangat erat dengan somasi.
Wanprestasi adalah tidak memenuhi atau lalai melaksanakan kewajiban
debitur. Dalam restatement of the law of contracts (Amerika Serikat), wanprestasi
atau breach of contracts dibedakan menjadi dua macam, yaitu total breachts dan
partial breachts. Total breachts artinya pelaksanaan kontrak tidak mungkin
dilaksanakan, sedangkan partial breachts artinya pelaksanaan perjanjian masih
mungkin untuk dilaksanakan. Seorang debitur dikatakan wanprestasi apabila ia
telah diberikan somasi oleh kreditur atau juru sita. Somasi itu minimal telah
dilakukan sebanyak tiga kali oleh kreditur atau juru sita. Apabila somasi itu tidak
diindahkannya, maka kreditur berhak membawa persoalan itu kepengadilan. Dan
pengadilan yang akan memutuskan, apakah debitur melakukan wanpretasi atau
tidak.28
1. Debitur tidak memenuhi prestasi sama sekali.
Untuk menentukan apakah seorang debitur bersalah melakukan wanprestasi,
perlu ditentukan dalam keadaan bagaimana debitur dikatakan sangaja atau lalai
tidak memenuhi prestasi. Ada tiga keadaan, yaitu:
2. Debitur memenuhi prestasi, tetapi tetapi tidak baik atau keliru.
3. Debitur memenuhi prestasi, tetapi tidak tepat waktunya atau terlambat.
Untuk mengetahui sejak kapan debitur dalam keadaan wanprestasi, perlu
diperhatikan apakah dalam perkataan itu ditentukan tenggang waktu pelaksanaan
pemenuhan prestasi atau tidak. Dalam hal tenggang waktu pelaksanaan
pemenuhanprestasi "tidak ditentukan", perlu memperingatkan debitur supaya ia
memenuhi prestasi.Tetapi dalam hal telah ditentukan tenggang waktunya, menurut
ketentuan pasal 1238 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan bahwa
28
“si berutang adalah lalai, apabila ia dengan sebuah akta sejenis itu telah
dinyatakan lalai, atau demi perikatannya sendiri.
Kelalaian disini adalah kelalaian dari pihak yang wajib memenuhi suatu
prestasi yang telah diperjanjikan. Sehingga dikatakan ia telah ingkar janji karena
tidak melakukan apa yang telah disepakati atau ia telah melakukan suatu
perbuatan yang justru dalam isi perjanjian tidak boleh dilakukannya. Menurut
pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, wanprestasi adalah tiap
perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada orang lain,
mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, menggantikan
kerugian tersebut.
Istilah wanprestasi berasal dari bahasa Belanda yang berarti prestasi buruk,
artinya debitur tidak memenuhi prestasinya sebagaimana yang telah ditentukan
dalam perjanjian.
Wanprestasi seorang debitur dapat berupa :
a. Sama sekali tidak memenuhi prestasi
b. Tidak tunai memenuhi prestasinya
c. Terlambat memenuhi prestasinya
d. Keliru memenuhi prestasinya.
Wanpretasi dapat membawa akibat yang merugikan bagi pihak debitur,
karena sejak ditetapkan lalai, debitur dapat diancam beberapa sanksi atau
hukuman. Hukuman bagi debitur yang lalai antara lain ada 4 (empat), yaitu :29
1. Ganti rugi
2. Pembatalan perjanjian atau pemecahan perjanjian
29
3. Peralihan risiko
4. Membayar biaya perkara, bila diperkarakan dipengadilan.
Dalam perjanjian sewa beli apabila pihak penyewa melakukan salah satu
dari bentuk-bentuk wanprestasi, maka untuk pelaksanaan hukumnya
undang-undang menghendaki penyewa untuk memberikan pernyataan lalai kepada pihak
yang menyewakan.
Dengan demikian, wanprestasi yang dilakukan oleh pihak penyewa itu
pokoknya harus secara formal dinyatakan telah lebih dahulu, yaitu dengan
memperingatkan penyewa bahwa penyewa atau pihak menghendaki pembayaran
seketika atau jangka waktu pendek yang telah ditentukan. Singkatnya, hutang itu
harus ditagih dan yang lalai harus ditegur dengan peringatan atau sommatie.
Cara pemberian teguran terhadap debitur yang lalai tersebut telah diatur
dalam dalam pasal 1238 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menyatakan
bahwa teguran itu harus dengan surat perintah atau dengan akta sejenis. Yang
dimaksud dengan surat perintah dalam pasal tersebut adalah peringatan resmi dari
juru sita pengadilan, sedangkan yang dimaksud dengan akta sejenis adalah suatu
tulisan biasa (bukan resmi), surat maupun telegram yang tujuannya sama yakni
untuk memberi peringatan kepada debitur untuk memenuhi prestasi dalam waktu