ABSTRAK
Kasus kepailitan PT.BTI, DJP Banten kehilangan haknya untuk didahulukan dan hak tagih terhadap PT.BTI (debitur pailit) karena kurator menolak dan membantah tagihan utang pajak yang diajukan oleh DJP Banten. Penolakan ini didasari karena penagihan dilakukan telah melewati batas ahkir pengajuan utang, yaitu 2 tahun setelah masa insolventie yang telah ditetapkan
Hakim Pengawas berdasarkan Pasal 113 ayat 1 UU No.37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UUK). Namun terlambatnya penagihan yang dilakukan oleh DJP Banten ini karena kurator PT.BTI memberikan laporan pajak tidak lengkap sesuai dengan UU Perpajakan. Sehingga DJP melakukan pemeriksaan utang pajak PT.BTI dan melakukan penagihan pada tanggal 13 Agustus 2004 atau telah melewati batas ahkir pengajuan utang. Oleh karena itu perlu dikaji bagaimana hak dan kewajiban negara sebagai kreditur prefren pada perusahaan pailit, bagaimana penerapan aturan hukum penagihan utang pajak PT Bestindo Tata Industri menurut UUK dan Undang-undang No.16 Tahun 2009 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP), dan bagaimana putusan utang pajak pada PT. Bestindo Tata Industri yang telah dinyatakan pailit menurut UU KUP dan UUK.
Penelitian ini menggunakan penelitian hukum yuridis normatif dan bersifat deskriftif. Alat pengumpulan data yang dipergunakan adalah studi kepustakaan dan mengadakan wawancara terhadap informan yakni Kurator di Medan . Sumber data yang dipergunakan yakni data skunder yang terdiri dari bahan hukum primer, skunder, dan tersier. Data-data yang didapat dianalisis dengan menggunakan metode analisis kualitatif untuk kemudian ditarik kesimpulan yang bersifat deduktif sebagai jawaban atas permasalahan yang diteliti.
Dari hasil penelitian ini diketahui bahwa hak dan kewajiban negara dalam melakukan penagihan pajak pada perusahaan pailit dilakukan berdasarkan UU KUP. Hak tagih pajak merupakan hak istimewa yang pembayaran wajib didahulukan atas harta dari wajib pajak. Hak penagihan ini akan daluwarsa setelah 5 tahun sesuai Pasal 21 ayat 4 UU KUP. Penerapan aturan hukum yang dilakukan DJP Banten pada PT.BTI (debitur pailit) dengan melakukan tata cara pemeriksaan pajak sesuai dengan ketentuan pada UU KUP sudah tepat. Namun kurator menolak dan membantah tersebut, dengan dasar penagihan yang dilakukan tanggal 13 Agustus 2004 telah melewati batas ahkir pengajuan utang. Kemudian Majelis Hakim dalam putusan MA No. 116 PK/Pdt.Sus/2013 terkait permohonan DJP Banten, memutuskan DJP Banten terlambat melakukan penagihan utang pajak pada PT.BTI, yaitu 2 tahun setelah masa insoventie. Putusan ini
bertentangan dengan Pasal 23(a) UUD 1945, dan UU KUP. Karena Pasal 113 UUK dapat diterapakan pada utang-utang lainnya kecuali utang pajak karena ketentuan ini bersifat mengatur dan merupakan kepentingan individu. Sedangkan utang pajak bersifat memaksa dan dilakukan demi kepentingan umum. Sehingga DJP Banten seharusnya masih memiliki hak untuk menagih utang pajak pada PT.BTI dan kurator wajib membayar utang pajak tersebut.
Kata Kunci: Hak Tagih Negara, Utang Pajak, Perusahaan Pailit.