• Tidak ada hasil yang ditemukan

IDENTIFIKASI KERENTANAN DINDING BENDUNGAN DENGAN MENGGUNAKAN METODE MIKROSEISMIK (STUDI KASUS BENDUNGAN JATIBARANG, SEMARANG) -

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "IDENTIFIKASI KERENTANAN DINDING BENDUNGAN DENGAN MENGGUNAKAN METODE MIKROSEISMIK (STUDI KASUS BENDUNGAN JATIBARANG, SEMARANG) -"

Copied!
49
0
0

Teks penuh

(1)

IDENTIFIKASI KERENTANAN DINDING BENDUNGAN

DENGAN MENGGUNAKAN METODE MIKROSEISMIK

(STUDI KASUS BENDUNGAN JATIBARANG, SEMARANG)

Skripsi

disusun sebagai salah satu syarat

untuk memperoleh gelar Sarjana Sains

Program Studi Fisika

oleh

Koen Dian Pancawati 4211412053

JURUSAN FISIKA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG

2016

(2)
(3)
(4)
(5)

MOTTO DAN PERSEMBAHAN

MOTTO

▪ Success is not a final, only an achievement and Intelligence is not the

measurement, but intelligence support all

▪ You can if you think you can, Tak ada yang tidak mungkin. Semuanya adalah

proses, Cukup lakukanlah yang terbaik

PERSEMBAHAN

Untuk Bapak, Mama, Guru-guru, Kakak

Adik, Keluarga, Rekan, dan Sahabat

(6)

PRAKATA

Puji syukur senantiasa tercurahkan kehadirat Allah SWT atas limpahan

rahmat dan hidayah-Nya, sehingga skripsi yang berjudul “Identifikasi Kerentanan

Dinding Bendungan dengan Metode Mikroseismik (Studi Kasus Bendungan

Jatibarang, Semarang)” ini dapat terselesaikan dengan baik, dan tepat waktu.

Ucapan terima kasih tak lupa penulis sampaikan kepada:

1. Prof. Dr. Fathur Rokhman, M.Hum., selaku Rektor Universitas Negeri

Semarang;

2. Prof. Dr. Zaenuri, S.E, M.Si, Akt., selaku Dekan Fakultas Matematika dan Ilmu

Pengetahuan Alam, Universitas Negeri Semarang;

3. Dr. Suharto Linuwih, M.Si., selaku Ketua Jurusan Fisika, Fakultas Matematika

dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Negeri Semarang;

4. Dr. Mahardika Prasetya Aji, M.Si., selaku Ketua Program Studi Fisika, Jurusan

Fisika Universitas Negeri Semarang;

5. Prof. Dr. Supriyadi, M.Si., selaku dosen pembimbing 1 yang telah meluangkan

waktu untuk memberikan bimbingan, arahan, saran dan motivasi dalam

penyusunan skripsi maupun pelaksanaan penelitian;

6. Dr. Khumaedi, M.Si., selaku selaku dosen pembimbing 2 yang telah

meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan, arahan, saran dan motivasi

dalam penyusunan skripsi;

7. Drs. Ngurah Made Dharma Putra, M. Si., Ph. D., selaku dosen wali yang telah

banyak memberikan arahan, semangat dan motivasi, serta seluruh dosen

Jurusan Fisika Universitas Negeri Semarang yang telah memberikan bekal ilmu

kepada penulis selama menempuh studi;

8. Sekretaris dan TU Jurusan Fisika maupun Fakultas Matematika dan Ilmu

(7)

Pengetahuan Alam yang telah membantu kelancaran dalam administrasi

penyusunan skripsi.

9. Bapak, Ibu, kakak dan adik tercinta atas doa dan dukungannya.

10. Teteh, Aang, Om, tante, segenap keluarga besar yang selalu ada didalm duka dan

suka, serta senantiasa menyemangati dan mendoakan penulis setiap waktu.

11. Teman Aipot, Teman Ex-kyu, serta Teman seperjuangan Fisika 2012, atas

semangat dan dukungannya.

12. Kakak angkatan serta adik angkatan untuk semangat, kebersamaan, dan pelajaran

yang telah diberikan.

13. M. Ahganiya Naufal yang selalu memberikan semangat, pendapat dan pikiran serta

doa bagi penulis.

14. Alwiyah, Ayu, Diah, Dodoh, Dwi, Elvira, Eva, Herdita, Ikhsana, Itsnaini, Lela,

Mita, Tri, Siti W, Ka Widi, Ka Gunawan, Ka Nadine, Ka Uzi, Ka Retno, Retno W,

Tahlis, Anna, Arum, Aini, Purwa, Hendri, Anggit, Ahmad Yani, segenap KSGF

2015 dan 2016 yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu atas semangat dan

bantuannya.

15. Semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi, yang

tidak dapat disebutkan satu per satu.

Semoga hasil yang ada dapat bermanfaat.

Akhirnya, penulis menyadari bahwa masih terdapat banyak kesalahan baik dalam

pelaksanaan penelitian maupun dalam penulisan skripsi ini. Oleh karena itu, kritik dan saran

senantiasa penulis nantikan untuk perbaikan karya-karya yang selanjutnya.

Semarang,

Penulis

vii

(8)

ABSTRAK

Pancawati, K. D. 2016. Identifikasi Kerentanan Dinding Bendungan dengan Menggunakan Metode Mikroseismik (Studi Kasus Bendungan Jatibarang, Semarang). Skripsi, Jurusan Fisika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Negeri Semarang. Pembimbing Utama Prof. Dr. Supriyadi, M.Si. dan Pembimbing Pendamping Dr. Khumaedi, M.Si.

Kata kunci: Kerentanan, Bendungan, Mikroseismik, HVSR, Ground Shear Strain

Peristiwa jebolnya waduk Situ Gintung pada tahun 2009 menunjukkan bahwa kurangnya kajian mengenai kerentanan dinding bendungan. Salah satu metode yang mampu mengestimasi kerentanan dinding bendungan untuk mitigasi bencana adalah metode mikroseismik. Penelitian ini dilakukan di Bendungan Jatibarang dengan menggunakan metode mikroseismik teknik HVSR dan durasi perekaman selama 30 menit. Data lapangan tersebut diolah menggunakan software Geopsy dan dianalisis. Berdasarkan hasil pengolahan data didapatkan bahwa pada B1 dan A3 nilai frekuensi natural dan percepatan getaran tanah maksimum bernilai tinggi, sedangkan nilai indeks kerentanan seismik, ketebalan lapisan lapuk dan ground shear strain bernilai rendah. Pada titik B4 dan A6 nilai frekuensi natural dan ground shear strain bernilai rendah, sedangkan nilai percepatan getaran tanah maksimum, indeks kerentanan seismik dan ketebalan lapisan lapuk bernilai sedang. Pada titik B2, B3, A4 dan A5 nilai frekuensi natural dan percepatan getaran tanah maksimum bernilai tinggi, sedangkan nilai indeks kerentanan seismik, ketebalan lapisan lapuk dan ground shear strain bernilai tinggi. Jadi dapat disimpulkan bahwa pada titik B1 dan A3 memiliki resiko tingkat kerawanan yang rendah pada titik B4 dan A6 memiliki resiko tingkat kerawanan yang sedang namun dimungkinkan adanya rekahan atau penurunan tanah, serta pada titik B2, B3, A4 dan A5 memiliki resiko tingkat kerawanan yang tinggi.

(9)

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN SAMPUL...i

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ...iv

HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN ...v

PRAKATA ...vi A. Tinjauan Geologi Daerah Penelitian ...7

B. Gempa Bumi ...8

B.1. Mekanisme Gempa Bumi ...9

B.2. Jenis Gempa Bumi ...9

D.2 Horizontal to Vertical Spectral Ratio (HVSR) ...19

(10)

E. Amplifikasi ...23

F. Analisis HVSR ...24

G. Analisis Frekuensi Domain...27

H. Analisis Periode Dominan ...28

I. Indeks Kerentanan Seismik ...30

J. Ground Shear Strain ...31

K. Peak Ground Acceleration ...32

BAB 3 METODE PENELITIAN A. Tempat Penelitian ...33

B. Peralatan ...33

C. Prosedur Pengukuran ...34

D. Diagram Alir Penelitian ...35

D.1. Diagram Alir Pelaksanaan Penelitian ...35

D.2. Pengambilan data di Lapangan ...37

E. Pengolahan Data ...38

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Pengolahan data mentah rekaman mikroseismik daerah penelitian ...40

A.1. Frekuensi Dominan Tanah (f0) ...41

A.2. Faktor Amplifikasi (A0) ...42

A.3. Ketebalan Lapisan Lapuk (H) ...43

A.4. Indeks Kerentanan Seismik (Kg) ...44

A.5. Percepatan Getaran Tanah Maksimum (PGA) ...45

A.6. Ground Shear Strain ( )...47

B. Pembahasan rekaman data mikroseismik daerah penelitian ...48

B.1. Nilai Frekuensi Dominan Tanah (f0) ...48

B.2. Nilai Amplifikasi (A0) ...49

B.3. Nilai Ketebalan Lapisan Lapuk (H) ...50

B.4. Nilai Indeks Kerentanan Seismik (Kg) ...51

B.5. Nilai Percepatan Getaran Tanah Maksimum (PGA) ...51

B.6. Nilai Ground Shear Strain ( ) ...52

C. Pembahasan data antara Hubungan F0, A0, Kg, H, PGA dan GSS ...53

(11)

BAB 5 PENUTUP

A. Simpulan ...56

B. Saran ...56

DAFTAR PUSTAKA ...57

LAMPIRAN

(12)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

Tabel 2.1 Data Tabel Klasifikasi Tanah Berdasarkan Nilai Frekuensi Domain

Mikroseismik pada Tanah ...28

Tabel 2.2 Data Tabel Klasifikasi Tanah Kanai- Omote Nkajima ...29

Tabel 2.3 Tabel Lapisan Berdasarkan Indeks Kerentanan Seismik ...31

Tabel 2.4 Tabel Hubungan antara dengan Sifat Dinamik Tanah ...32

Tabel 2.5 Rentang skala Percepatan Getaran Tanah Maksimum ...32

Tabel 3.1 Tabel Pengambilan Data di Lapangan ...37

(13)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

Gambar 2.1 Gelombang P ...13

Gambar 2.2 Gelombang S ...14

Gambar 2.3 Gelombang Love ...16

Gambar 2.4 Gelombang Rayleigh ...17

Gambar 2.5 Deskripsi Komputasi Metode HVSR...21

Gambar 2.6 Daerah dengan Lapisan Tanah Berbeda ...30

Gambar 2.7 Deformasi Regangan Pada Permukaan Tanah ...31

Gambar 3.1 Peta Lokasi Penelitian ...33

Gambar 3.2 Diagram Alir Pelaksanaan Penelitian ...36

Gambar 4.1 Peta Persebaran Nilai Frekuensi Dominan Tanah ...41

Gambar 4.2 Peta Persebaran Nilai Frekuensi Amplifikasi ...42

Gambar 4.3 Peta Persebaran Nilai Ketebalan Lapisan Lapuk ...44

Gambar 4.4 Peta Persebaran Nilai Indeks Kerentanan Seismik ...44

Gambar 4.5 Peta Persebaran Nilai Peak Ground Acceleration ...46

Gambar 4.6 Peta Persebaran Nilai Ground Shear Strain ...47

(14)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman

Lampiran 1 Data Pengukuran di Lapangan ...59

Lampiran 2 Data Hasil Penelitian secara Perhitungan ...60

Lampiran 3 Dokumentasi Hasil Pengolahan ...61

Lampiran 4 Dokumentasi di Lapangan ...63

Lampiran 5 SK Pembimbing ...64

(15)

1

BAB 1

PENDAHULUAN

A.

Latar Belakang

Indonesia secara geografis berada di garis khatulistiwa, hal ini

menyebabkan Indonesia memiliki dua musim yaitu musim kemarau dan

musim penghujan. Pada musim kemarau sebagian besar wilayah Indonesia

mengalami kekeringan. Sebaliknya pada saat musim hujan kondisi aliran

sungai mempunyai debit yang sangat besar. Kesenjangan akibat

perubahan musim tersebut perlu dilakukan pengkajian, supaya besaran

debit yang terjadi bisa dimanfaatkan dan tidak menimbulkan masalah.

Salah satu pemecahan masalah ini perlu dibuat sebuah penampung air di

alur sungai yaitu bendungan atau waduk. Dinding bendungan yang kokoh

mampu menahan volume air yang banyak. Namun, tekanan volume air

dan material lain yang bertumbukan dengan dinding bendungan

menyebabkan dinding bendungan mengalami pengikisan.

Gejala geologi yang mempengaruhi kerentanan dinding bendungan

salah satunya adalah gempa bumi. Gempa bumi menyebabkan getaran

pada permukaan tanah. Salah satu akibat yang ditimbulkan oleh gempa

bumi adalah kerusakan struktur pada dinding bendungan. Kerusakan pada

dinding bendungan disebabkan oleh kekuatan dan kualitas bangunan,

kondisi geologi dan geotektonik suatu daerah terhadap akibat gempa bumi

(16)

2

menganalisis dampak gempa bumi terhadap suatu bangunan. Salah satu

metode yang dapat mengetahui kerentanan suatu bangunan adalah metode

mikroseismik.

Menurut Susilo dan Wiyono (2012), Mikroseismik adalah getaran

tanah yang disebabkan oleh faktor alam maupun buatan seperti angin,

ombak atau aktivitas kendaraan sehingga menyebabkan kondisi geologi

pada permukaan. Mikroseismik merupakan salah satu metode geofisika

pasif. Metode mikroseismik pada dasarnya merekam getaran tanah alami

yang merefleksikan kondisi geologi suatu daerah.

Salah satu teknik dalam mikroseismik adalah teknik HVSR

(Horizontal to Vertical Spectral Ratio). Teknik HVSR pertama kali

diperkenalkan oleh Noghosi dan Igarashi dan disebarkan oleh Nakamura,

sehingga metode ini biasa dikenal juga dengan teknik Nakamura. Teknik

HVSR didasarkan pada perbandingan spektral amplitudo komponen

horizontal terhadap komponen vertikal. Parameter penting yang dihasilkan

dari teknik HVSR adalah frekuensi natural (f0) dan amplifikasi (A0).

Parameter tersebut digunakan sebagai karakterisasi geologi setempat.

Menurut Warnana et al., (2001). Teknik HVSR secara luas dapat digunakan untuk studi efek lokal dan mikrozonasi. Selain sederhana dan bisa dilakukan kapan dan dimana saja, Nakamura (2000) menyebutkan

bahwa teknik HVSR untuk analisis mikroseismik bisa digunakan untuk

memperoleh frekuensi natural sedimen. Penggunaan mikroseismik sendiri

(17)

3

bangunan dan struktur tanah di bawahnya. Kemampuan teknik HVSR bisa

memberikan informasi yang bisa diandalkan dan diasosiasikan dengan

efek lokal yang ditunjukkan secara cepat yang dikorelasikan dengan

parameter HVSR yang dicirikan oleh frekuensi natural rendah (periode

tinggi) dan amplifikasi tinggi.

Peristiwa jebolnya waduk Situ Gintung pada tahun 2009

(www.nasional.kompas.com) menunjukkan bahwa kurangnya kajian

mengenai kerentanan dinding bendungan. Hal ini dikarenakan tidak

adanya informasi tentang estimasi kerentanan dinding bendungan yang

mampu dijadikan acuan untuk meminimalisir jatuhnya korban jiwa pada

saat dinding bendungan tidak mampu lagi menahan volume air yang

banyak. Salah satu metode yang mampu mengestimasi kerentanan dinding

bendungan adalah metode mikroseismik. Pada metode mikroseismik

terdapat teknik HVSR yang mampu mengestimasi frekuensi resonansi

secara langsung tanpa harus mengetahui struktur kecepatan gelombang

geser dan kondisi geologi bawah permukaan lebih dahulu (Warnana et al., 2001). Dari frekuensi resonansi tersebut dapat dilakukan kajian mengenai

indeks kerentanan suatu dinding bendungan sebagai langkah awal mitigasi

bencana.

B.

Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang dipaparkan di atas maka

(18)

4

bendungan Jatibarang dengan metode Mikroseismik, Kecamatan

Gunungpati, Kabupaten Semarang Jawa Tengah?

C.

Batasan Masalah

Penelitian ini menggunakan metode mikroseismik HVSR di

Bendungan Jatibarang, Semarang, Jawa Tengah.

D.

Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian inovatif ini adalah untuk mengetahui

estimasi kerentanan tubuh bendungan Jatibarang dengan metode

Mikroseismik, Kecamatan Gunungpati, Kabupaten Semarang, Jawa

Tengah.

E.

Manfaat Penelitian

1. Memberikan informasi bagi masyarakat sekitar tentang lokasi yang

harus dihindari apabila suatu saat terjadi kebocoran.

2. Memberikan informasi bagi pemerintah terkait metode

mikroseismik sebagai salah satu metode untuk dasar mengetahui

kerentanan bangunan Bendungan Jatibarang.

3. Memberikan informasi tentang mitigasi bencana dari nilai

kerentanan bangunan Bendungan Jatibarang.

F.

Penegasan Istilah

Pada penelitian ini untuk menghindari penafsiran yang berbeda

terhadap beberapa istilah yang digunakan, maka diperlukan penegasan

(19)

5

1. Mikroseismik merupakan getaran tanah selain gempa bumi, bisa

berupa getaran akibat aktivitas manusia maupun aktivitas alam.

2. Horizontal to Vertical Spectra Ratio (HVSR) adalah didasarkan pada perbandingan spektral vertikal komponen horizontal terhadap

komponen vertikal.

G.

Sistematika Penulisan Skripsi

Sistematika penulisan skripsi disusun untuk memudahkan

pemahaman tentang struktur dan isi skripsi. Penulisan ini dibagi menjadi

tiga bagian yaitu : bagian pendahuluan skripsi, bagian isi skripsi, dan

bagian akhir skripsi.

1. Bagian awal skripsi berisi tentang lembar judul, persetujuan

pembimbing, lembar pengesahan, lembar pernyataan, motto dan

persembahan, kata pengantar, abstrak, daftar isi, daftar tabel, daftar

gambar dan lampiran.

2. Bagian isi skripsi terdiri dari :

Bab I Pendahuluan yang berisi tentang latar belakang pemilihan judul,

rumusan masalah, tujuan masalah, tujuan penelitian, manfaat

penelitian, batasan masalah, dan sistematika penulisan skripsi.

Bab II Landasan teori terdiri dari kajian mengenai landasan teori yang

mendasari penelitian.

Bab III Metode Penelitian berisi waktu dan tempat pelaksanaan

penelitian, desain penelitian, dan metode analisis serta interpretasi data

(20)

6

Bab IV Hasil dan Pembahasan berisi tentang hasil-hasil penelitian dan

pembahasannya.

Bab V Penutup berisi tentang kesimpulan dan saran.

(21)

7

BAB 2

KAJIAN PUSTAKA

A.

Tinjauan Geologi Daerah Penelitian

Berdasarkan Peta Geomorfologi Indonesia disebutkan bahwa daerah

Semarang dan sekitarnya, pada umumnya ditempati oleh dataran alluvium

dengan beberapa pematang dan rawa. Endapan yang merupakan isian pada

cekungan antar-pegunungan dan kompleks perbukitan lipatan terdapat di

sebagian Semarang selatan dan timur. Wilayah lainnya merupakan

morfologi kompleks endapan gunung api. Sesar berarah utara–selatan yang

memanjang disebelah timur Semarang memotong endapan Kuarter hasil

Gunung Api Merbabu dan Merapi hingga dasar Laut Jawa di sebelah utara

Semarang. Berdasarkan Peta Geomorfologi Lembar Semarang dan Bagian

Utara Ungaran, memperlihatkan bahwa Semarang bagian utara, dari

Kecamatan Tugu sampai Kecamatan Semarang Timur bagian utara, dan

sebagian daerah aliran Sungai Kali Kreo memanjang sampai Sungai

Kaligarang terbentuk oleh satuan bentukan asal struktur. Satuan bentukan

asal gunung api terdapat di bagian barat daya Semarang selatan, sementara

satuan bentukan asal sungai tersebar luas terutama di bagian timur.

Thanden et al., (1996) menyatakan bahwa kegiatan tektonik paling akhir di Semarang terjadi pada Plio–Plistosen. Struktur sesar terutama

(22)

8

Formasi Damar dan Formasi Kaligetas maupun Kerek yang berumur

Miosen Tengah. Sesar tersebut terutama didominasi oleh sesar normal di

bagian timur. Sementara di bagian barat didominasi oleh sesar naik.

Beberapa sesar mendatar berarah barat laut–tenggara berkembang di bagian

barat Kecamatan Mijen. Peta Geologi Lembar Magelang dan Semarang

memperlihatkan adanya sesar yang memisahkan Formasi Damar berumur

Kuarter dan Formasi Kerek berumur Miosen Tengah. Sesar tersebut muncul

kembali di Desa Jatirejo dan Srondolwetan memotong sungai Kreo, Sungai

Kripik, dan Sungai Garang. Pada zaman Kuarter, sesar–sesar ini teraktifkan

kembali. Sesar yang berarah utara–selatan teraktifkan lagi sebagai sesar

mengiri, dan Sesar Kaligarang termasuk dalam kelompok ini. Sesar yang

berarah timur laut–barat daya teraktifkan lagi sebagai sesar naik, termasuk

di dalamnya Sesar Kali Pengkol dan Sesar Kali Kreo, sedangkan sesar yang

berarah barat–timur teraktifkan lagi sebagai sesar naik menganan.

B. Gempa Bumi

Gempa bumi adalah peristiwa bergetarnya bumi akibat pelepasan

energi dari dalam bumi secara tiba-tiba yang ditandai dengan patahnya

lapisan batuan pada kerak bumi. Akumulasi energi penyebab terjadinya

gempa bumi dihasilkan dari pergerakan lempeng-lempeng tektonik. Energi

yang dihasilkan dipancarkan ke segala arah berupa gelombang gempa bumi

sehingga efeknya dapat dirasakan sampai ke permukaan bumi

(23)

9

1. Mekanisme Gempa Bumi

Gempa bumi adalah getaran yang ditimbulkan oleh lewatnya

gelombang seismik yang dipancarkan oleh suatu sumber energi elastik yang

dilepaskan secara tiba-tiba. Pelepasan energi elastik tersebut terjadi pada

saat batuan di lokasi sumber gempa tidak mampu menahan gaya yang

ditimbulkan oleh gerak relatif antar blok batuan, daya tahan batuan

menentukan besar kekuatan gempa.

Teori yang menjelaskan tentang energi elastik yang dapat diterima

adalah pergeseran sesar dan teori kekenyalan elastis dikemukakan oleh

Harry Fielding Rheid. Teori ini menjelaskan jika permukaan bidang sesar saling bergesekan, batuan akan mengalami deformasi (perubahan wujud)

jika perubahan tersebut melampaui batas elastisitas atau regangannya, maka

batuan akan patah dan akan kembali ke bentuk asalnya.

2. Jenis Gempa Bumi

Gempa bumi yang terjadi dapat dibagi berdasarkan penyebabnya,

antara lain:

A. Gempa Bumi Runtuhan

Kalau saja terjadi keruntuhan di dalam bumi, hal itu hanya mungkin

terjadi pada daerah pertambangan bawah tanah (under ground), penggalian

batu kapur, dan sejenisnya. Akan tetapi keruntuhan yang terjadi hanya dapat

menimbulkan getaran bumi yang sangat kecil dan bersifat setempat (lokal)

(24)

10

B. Gempa Bumi Vulkanik

Aktivitas gunung api dapat menimbulkan gempa yang disebut gempa

bumi vulkanik. Gempa bumi ini terjadi baik sebelum, selama, ataupun

sesudah letusan gunung api. Penyebab gempa ini adalah adanya persentuhan

antara magma dengan dinding gunung api dan tekanan gas pada letusan

yang sangat kuat, atau perpindahan magma secara tiba-tiba dari dapur

magma.

Kekuatan gempa bumi vulkanik sebenarnya lemah dan hanya terjadi

wilayah sekitar gunung api yang sedang aktif. Dari seluruh gempa bumi

yang terjadi hanya 7% yang termasuk ke dalam gempa bumi vulkanik,

walaupun demikian kerusakannya cukup luas juga, karena disertai dengan

letusan gunung api.

Berdasarkan kedudukan sumber gempanya (posisi kegiatan magma)

dapat dibedakan menjadi empat jenis, yaitu:

1. Gempa vulkanik dalam memiliki kedalaman sumber gempa ±2 – 30 Km.

gempa bumi ini banyak persamaannya dengan gempa bmi tektonik,

terutama mengenai gempa susulannya. Gempa bumi ini terjadi pada saat

menjelang letusan suatu gunung api atau sebagai pertanda bahwa suatu

gunung api tengah mulai aktif.

2. Gempa vulkanik dangkal memiliki kedalaman sumber gempa kurang dari

2 Km yang terjadi pada saat mendekati terjadinya letusan, saat letusan,

(25)

11

3. Gempa bumi ledakan terjadi sehubungan dengan tengah berlangsungnya

ledakan gunung api. Sumber gempa ini sangat dangkal yaitu kurang dari

1 Km.

4. Getaran vulkanik atau tremor, terjadi terus-menerus sehingga

menciptakan suasana tidak tenang. Sumber gempa ini terletak pada

kedalaman 30 Km sampai permukaan.

C. Gempa Bumi Tektonik

Gempa Bumi tektonik adalah jenis gempa bumi yang disebabkan

oleh pergeseran lempeng plat tektonik. Gempa ini terjadi karena besarnya

tenaga yang dihasilkan akibat adanya tekanan antar lempeng batuan

dalam perut bumi. Gempa Bumi ini adalah jenis gempa yang paling sering

dirasakan, terutama di Indonesia.

Gempa tektonik yang kuat sering terjadi di sekitar tapal

batas lempengan-lempengan tektonik. Lempengan-lempengan tektonik ini

selalu bergerak dan saling mendesak satu sama lain. Pergerakan

lempengan-lempengan tektonik ini menyebabkan terjadinya penimbunan energi secara

perlahan-lahan. Gempa tektonik kemudian terjadi karena adanya pelepasan

energi yang telah lama tertimbun tersebut. Gempa tektonik biasanya jauh

lebih kuat getarannya dibandingkan dengan gempa vulkanik, maka getaran

gempa yang merusak bangunan kebanyakan disebabkan oleh gempa

tektonik. Tenaga yang dihasilkan oleh tekanan antara batuan dikenal sebagai

(26)

12

menjelaskan bahwa bumi terdiri dari beberapa lapisan batuan, sebagian

besar area dari lapisan kerak itu akan hanyut dan mengapung di lapisan

seperti salju. Lapisan tersebut begerak perlahan sehingga berpecah-pecah

dan bertabrakan satu sama lainnya. Hal inilah yang menyebabkan terjadinya

gempa tektonik.

C. Gelombang

1. Gelombang Seismik

Gelombang seismik adalah gelombang yang menjalar di dalam bumi.

Gelombang seismik sering timbul akibat adanya gempa bumi atau ledakan.

Gelombang seismik dibagi menjadi dua yakni :

A. Gelombang badan.

B. Gelombang permukaan.

C. 1. A. Gelombang badan

Gelombang badan menjalar melalui interior bumi dan efeknya

kerusakannya cukup kecil. Gelombang badan dibagi menjadi dua, yaitu :

Gelombang badan atau gelombang P merupakan gelombang yang waktu

penjalarannya paling cepat. Kecepatan gelombang P antara 1,5 km/s sampai

8 km/s pada kerak bumi. Kecepatan penjalaran gelombang P dapat

(27)

13

= (2.1)

Dengan :

= kecepatan gelombang P

µ = modulus geser

ρ = densitas material yang dilalui gelombang

k = modulus Bulk

Seperti terlihat pada gambar 2.1 dibawah ini, arah gerakan partikel

gelombang P searah dengan arah rambat gelombangnya. Gelombang P

dapat menjalar pada semua medium baik padat, cair, maupun gas.

Gambar 2.1 Gelombang P (Elnashai dan Sarno, 2008)

Gelombang S atau gelombang transversal merupakan gelombang

yang waktu penjalaran gelombang S lebih lambat daripada gelombang P.

Kecepatan gelombang S biasanya 60%-70% dari kecepatan gelombang P.

(28)

14

= (2.2)

Dengan :

= kecepatan gelombang S

µ = modulus geser

ρ = densitas material yang dilalui gelombang

Arah gerakan partikel dari gelombang S tegak lurus dengan arah

rambat gelombangnya seperti terlihat pada gambar 2.2.

Gambar 2.2 Gelombang S (Elnashai dan Sarno, 2008)

Gelombang S hanya dapat menjalar pada medium padat. Gelombang

S terdiri dari dua komponen yaitu gelombang SV dan gelombang SH.

Gelombang SV adalah gelombang S yang gerakan partikelnya terpolarisasi

pada bidang vertikal, sedangkan gelombang SH adalah gelombang S yang

gerakan partikelnya horizontal. Kegunaan gelombang P dan gelombang S

(29)

15

Amplitudo gelombang P juga digunakan dalam perhitungan magnitudo

gempa.

C. 1. B. Gelombang Permukaan

Gelombang permukaan bisa diandaikan seperti gelombang air yang

menjalar diatas permukaan bumi. Gelombang permukaan memiliki waktu

penjalaran yang lebih lambat daripada gelombang badan. Karena

frekuensinya yang rendah, gelombang permukaan lebih berpotensi

menimbulkan kerusakan pada bangunan daripada gelombang badan.

Amplitudo gelombang permukaan akan mengecil dengan cepat terhadap

kedalaman. Hal ini diakibatkan oleh adanya dispersi pada gelombang

permukaan, yaitu penguraian gelombang berdasarkan panjang

gelombangnya sepanjang perambatan gelombang.

Ada dua tipe gelombang permukaan yaitu Gelombang Love dan

Gelombang Rayleigh.

Gelombang Love diperkenalkan oleh Augustus Edward Hough Love

(1911), seorang ahli matematika dari Inggris pada tahun 1911. Gelombang

Love merambat pada permukaan bebas medium berlapis dengan gerakan

partikel seperti gelombang SH. Gelombang Love adalah gelombang

permukaan yang menyebabkan tanah mengalami pergeseran kearah

(30)

16

Gambar 2.3 gelombang Love ( Elnashai dan Sarno, 2008)

Gelombang Love dapat diekspresikan dengan persamaan :

Tan = (2.3)

Gelombang Rayleigh merupakan gelombang permukaan yang orbit

gerakannya elips tegak lurus dengan permukaan dan arah penjalarannya.

Gelombang jenis ini adalah gelombang permukaan yang terjadi akibat

adanya interferensi antar gelombang tekan dengan gelombang geser secara

konstruktif.

Persamaan dari kecepatan gelombang Rayleigh ( ) adalah sebagai

berikut :

= 0,92 (2.4)

(31)

17

Gambar 2.4 Gelombang Rayleigh (Elnashai dan Sarno, 2008)

D. Mikroseismik

Mikroseismik merupakan getaran tanah selain gempa bumi, bisa

berupa getaran akibat aktivitas manusia maupun aktivitas alam.

Mikroseismik bisa terjadi karena getaran akibat orang yang sedang berjalan,

getaran mobil, getaran mesin-mesin pabrik, getaran angin, gelombang laut

atau getaran alamiah dari tanah. Mikroseismik mempunyai frekuensi lebih

tinggi dari frekuensi gempabumi, periodenya kurang dari 0,1 detik yang

secara umum antara 0.05–2 detik dan untuk mikroseismik periode panjang

bisa 5 detik, sedang amplitudonya berkisar 0,1–2,0 mikron. Kaitannya

dengan mikroseismik merupakan getaran tanah yang menjalar dalam

bentuk gelombang yang disebut gelombang mikroseismik. Belakangan ini

aplikasi mikroseismik digunakan untuk mengidentifikasi resonansi

frekuensi natural bangunan dantanah (Mucciarelli et al., 2001). Salah satu metode yang digunakan untuk mengetahui karakteristik bangunan tanpa

merusak bangunan tersebut adalah analisis mikroseismik yang direkam pada

setiap lantai bangunan dengan menggunakan gangguan alami berupa

(32)

18

pada perekaman ambient noise untuk menentukan parameter karakteristik dinamis suatu bangunan damping rasio, frekuensi natural dan fungsi

perpindahan amplifikasi dan frekuensi bangunan.

Metode yang digunakan metode kualitatif, yaitu dengan analisis data

pengujian lapangan mikroseismik. Dengan diperolehnya input data rekaman

mikroseismik yang berupa domain waktu (time series) dan amplitudo akan

didapatkan frekuensi natural dan amplifikasi bangunan dengan metode

HVSR. Kemudian dilanjutkan dengan analisis struktur bila terbukti

bangunan tersebut membutuhkan tindakan retrofitting. Teknik yang dilakukan guna memperoleh data adalah berupa teknik observasi berupa

pengujian lapangan yaitu dengan pengujian mikroseismik.

1. Mikroseismik Pada Tanah

Pada analisis data mikroseismik telah digunakan Teknik HVSR

secara luas untuk studi efek lokal dan mikrozonasi (Warnana et al., 2001). Selain sederhana dan bisa dilakukan kapan dan dimana saja, teknik ini juga

mampu mengestimasi frekuensi resonansi secara langsung tanpa harus

mengetahui struktur kecepatan gelombang geser dan kondisi geologi bawah

permukaan lebih dulu. Nakamura (2000) menyebutkan bahwa metode

HVSR untuk analisis mikroseismik bisa digunakan untuk memperoleh

frekuensi natural sedimen. Penggunaan mikroseismik sendiri telah banyak

dilakukan untuk mengidentifikasi resonansi frekuensi dasar bangunan dan

(33)

19

berkaitan dengan kekuatan bangunan (Nakamura, 2000) dan keseimbangan

bangunan (Gosar,2010).

Dalam analisis HVSR pada pengukuran data sedimen yang

dilakukan, harus memenuhi kriteria yang disarankan yaitu berdasarkan

hubungannya dengan puncak frekuensi terhadap panjang windows, jumlah

siklus signifikan dan standar deviasi puncak amplitudo. Kriteria selanjutnya

untuk membersihkan puncak berdasarkan hubungannya dengan puncak

amplitudo terhadap level kurva HVSR standar deviasi puncak frekuensi dan

amplitudonya. Jika semua kriteria tersebut terpenuhi, maka puncak

frekuensi tersebut bisa dipertimbangkan sebagai frekuensi natural sedimen

dari kontras impedansi kuat pertama. Sedangkan menurut Nakamura (2008)

dalam mengestimasi nilai amplifikasi, dipengaruhi oleh sumber meskipun

sangat kecil. Frekuensi natural sendiri bisa diketahui dari puncak HVSR dan

nilai amplifikasinya adalah puncak dari HVSR.

2. Horizontal to Vertical Spectral Ratio (HVSR)

Metode HVSR pertama kali diperkenalkan oleh Noghosi dan

Igarashi dan disebarkan oleh Nakamura, sehingga metode ini biasa dikenal

juga dengan teknik Nakamura. Metode HVSR didasarkan pada

perbandingan spektral amplitudo komponen horizontal terhadap komponen

vertikal. Untuk menganalisis data seismik dengan metode HVSR dapat

menggunakan software Geopsy, Tool dalam Geopsy ini digunakan untuk

mendapatkan rasio spektrum horizontal terhadap vertikal (H/V) dari semua

(34)

20

memproseskan H/V, data yang kita gunakan harus memiliki 3 komponen

sinyal : Utara–Selatan, Timur–Barat dan Vertikal.

Metode HVSR biasanya digunakan pada seismik pasif

(mikroseismik) tiga komponen. Parameter penting yang dihasilkan dari

metode HVSR adalah frekuensi natural dan amplifikasi. HVSR yang terukur

pada tanah bertujuan untuk karakterisasi geologi setempat, frekuensi natural

dan amplifikasi yang berkaitan dengan parameter fisik bawah permukaan

(Herak, 2008). Frekuensi natural memiliki arti frekuensi dasar suatu tempat

dalam menjalarkan getaran atau gelombang, dalam hal ini getaran gempa

bumi yang merambat pada geologi setempat. Sedangkan amplifikasi

merupakan perbesaran gelombang seismik yang terjadi akibat adanya

perbedaan yang signifikan antar lapisan, dengan kata lain gelombang

seismik akan mengalami perbesaran, jika merambat pada suatu medium ke

medium lain yang lebih lunak dibandingkan dengan medium awal yang

dilaluinya. Nilai amplifikasi perambatan gelombang akan semakin

bertambah apabila perbedaan antara kedua parameter tersebut semakin

besar. Faktor amplifikasi dipengaruhi oleh densitas material dan kecepatan

(35)

21

Gambar 2.5 Deskripsi Komputasi Metode HVSR (Nakamura, 1989 (Modifikasi Sunardi et al., 2012)).

Metode HVSR didasari oleh terperangkapnya getaran gelombang

geser (gelombang SH) pada medium sedimen di atas Bedrock. Dengan kata

lain gelombang SH berperan sangat penting didalam kurva HVSR yang

direpresentasikan oleh persamaan berikut ini:

F = (2.5)

Dengan dan berturut-turut menunjukkan frekuensi natural,

(36)

22

bisa disimpulkan bahwa frekuensi natural berbanding lurus terhadap

kecepatan gelombang SH dan berbanding terbalik terhadap ketebalan

sedimen.

Pada analisis mikroseismik yang digunakan untuk karakterisasi suatu

wilayah. Dalam penggunaan metode ini, digunakan beberapa asumsi

(Nakamura,1989) bahwa:

1. Mikroseismik sebagian besar terdiri dari gelombang geser.

2. Komponen vertikal gelombang tidak mengalami amplifikasi lapisan

sedimen dan hanya komponen horisontal yang teramplifikasi.

3. Tidak ada amplitudo yang berlaku dengan arah yang spesifik pada

bedrock dengan getaran ke segala arah.

4. Gelombang Rayleigh diasumsikan sebagai noise mikroseismik dan

diusulkan metode untuk mengeliminasi efek gelombang Rayleigh.

Nakamura (1989) mengidentifikasi bahwa jika diasumsikan

gelombang geser dominan pada mikroseismik, maka rasio spektrum

horisontal terhadap vertikal (HVSR ) pada data mikroseismik suatu tempat

sama dengan fungsi transfer gelombang geser yang bergetar antara

permukaan dan batuan dasar di suatu tempat. Nakamura menduga bahwa

mikroseismik berperiode pendek sebagian besar terdiri dari gelombang

geser dan gelombang permukaan dianggap sebagai noise. Berdasarkan hasil

(37)

23

horizontal dan vertikal dalam setap pengamatan (ΔH/ΔV) ada kaitannya

dengan kondisi tanah dan hampir setara dengan satu kekuatan tanah dengan

beberapa getaran ke semua arah.

Menurut Herak et al., (2010), Pada analisis HVSR, sedimen mungkin terkontaminasi respon bangunan, sehingga identifikasi resonansi

dimungkinkan salah. Metode ini dilakukan dengan cara membandingkan

rasio selisih spektrum masing-masing komponen horizontal bangunan dan

tanah yang kondisi geologinya sama dengan kondisi tanah di bawah

bangunan dengan komponen horizontal masing-masing spektrum bangunan.

E. Amplifikasi

Amplifikasi merupakan perbesaran gelombang seismik yang terjadi

akibat adanya perbedaan yang signifikan antar lapisan, dengan lain

gelombang seismik akan mengalami perbesaran, jika merambat pada suatu

medium ke medium lain yang lebih lunak dibandingkan dengan medium

awal yang dilaluinya. Semakin besar perbedaan itu, maka perbesaran yang

dialami gelombang tersebut akan semakin besar. Nakamura (2000)

menyatakan bahwa nilai faktor penguatan (amplifikasi) tanah berkaitan

dengan perbandingan kontras impedansi lapisan permukaan dengan lapisan

di bawahnya. Bila perbandingan kontras impedansi kedua lapisan tersebut

tinggi maka nilai faktor penguatan juga tinggi, begitu pula sebaliknya.

(38)

24

nilai perbandingan spektral horizontal dan vertikalnya (H/V). Nilai

amplifikasi bisa bertambah, jika batuan telah mengalami deformasi

(pelapukan, pelipatan atau pesesaran) yang mengubah sifat fisik batuan.

Pada batuan yang sama, nilai amplifikasi dapat bervariasi sesuai dengan

tingkat deformasi dan pelapukan pada tubuh batuan tersebut. Berdasarkan

pengertian tersebut, maka amplifikasi dapat dituliskan pada persamaan 2.6

sebagai suatu fungsi perbandingan nilai kontras impedansi, yaitu

A0 = (2.6)

Dengan :

= densitas batuan dasar (gr/ml).

= kecepatan rambat gelombang di batuan dasar(m/dt).

= kecepatan rambat gelombang di batuan lunak(m/dt).

= rapat massa dari batuan lunak (gr/ml).

F. Analisis HVSR

Metode HVSR merupakan metode membandingkan spektrum

komponen horizontal terhadap komponen vertikal dari gelombang

mikroseismik. Mikroseismik terdiri dari ragam dasar gelombang Rayleigh,

diduga bahwa periode puncak perbandingan H/V mikroseismik memberikan

dasar dari periode gelombang S. Perbandingan H/V pada mikroseismik

(39)

25

suatu nilai. Periode dominan suatu lokasi secara dasar dapat diperkirakan

dari periode puncak perbandingan H/V mikroseismik. Pada tahun 1989,

Nakamura mencoba memisahkan efek sumber gelombang dengan efek

geologi dengan cara menormalisir spektrum komponen horizontal dengan

komponen vertikal pada titik ukur yang sama. Hasil pengamatan

menunjukkan bahwa rekaman pada stasiun yang berada pada batuan keras,

nilai maksimum rasio spektrum komponen horizontal terhadap vertikal

mendekati nilai 1.Sedangkan pada stasiun yang berada pada batuan lunak,

rasio nilai maksimumnya mengalami perbesaran (amplifikasi), yaitu lebih

besar dari 1. Berdasarkan kondisi tersebut maka, Nakamura merumuskan

sebuah fungsi transfer HVSR mikroseismik, dimana efek penguatan

gelombang pada komponen horizontal dapat dinyatakan oleh persamaan 2.7

berikut :

SE (w) = HS (w) / HB (w) (2.7) Dengan :

HS (w) = spektrum mikroseismik komponen horizontal di permukaan.

HB (w) = spektrum mikroseismik komponen horizontal di batuan dasar.

Penguatan gelombang pada komponen vertikal dapat dinyatakan

sebagai rasio spektrum komponen vertikal di permukaan dan di batuan dasar

(persamaan 2.8), yaitu,

(40)

26

Dengan :

VS (w) = spektrum mikroseismik komponen vertikal di permukaan.

VB (w) = spektrum mikroseismik komponen vertikal di batuan dasar.

Untuk mereduksi efek sumber, maka spektrum penguatan horizontal

SE (w) dilakukan normalisasi terhadap spektrum sumber AS (w) pada persamaan 2.9 yaitu :

SM (w) = SE (w) / AS (w) = (2.9)

Dengan, SM (w) adalah fungsi transfer untuk lapisan soil.

Jika = 1

Maka,

SM (w) = (2.10)

Dalam pengamatan di lapangan ada dua komponen horizontal yang

diukur yaitu komponen utara–selatan dan komponen barat–timur, sehingga

persamaan 2.10 berubah menjadi,

SM (w) = (2.11)

Dengan :

adalah spektrum mikroseismik komponen horizontal utara-selatan.

(41)

27

G. Analisis Frekuensi Domain

Frekuensi dominan adalah nilai frekuensi kerap muncul sehingga

diakui sebagai nilai frekuensi dari lapisan batuan di wilayah tersebut

sehingga nilai frekuensi dapat menunjukkan jenis karakterisktik batuan

tersebut. Lachet dan Brad (1994) melakukan uji simulasi dengan

menggunakan model struktur geologi sederhana dengan kombinasi variasi

kontras kecepatan gelombang geser dan ketebalan lapisan soil. Hasil

simulasi menunjukkan nilai puncak frekuensi berubah terhadap variasi

(42)

28

Tabel 2.1 Kalisifikasi Tanah Berdasarkan Nilai Frekuensi Dominan Mikroseismik Oleh Kanai (Dikutip dari Buletin Meteorologi dan

GeofisikaNo.4, 1998).

H. Analisis Periode Dominan

Nilai periode dominan merupakan waktu yang dibutuhkan

gelombang mikroseismik untuk merambat melewati lapisan endapan Klasifikasi

Jenis I 6,667-20 Batuan Tersier atau lebih tua.

Jenis II 10-4 Batuan alluvial,

dengan Jenis III 2,5-4 Batuan alluvial,

(43)

29

sedimen permukaan atau mengalami satu kali pemantulan terhadap bidang

pantulnya ke permukaan. Nilai periode dominan juga mengindikasikan

karakter lapisan batuan yang ada di suatu wilayah ditunjukkan pada tabel

2.2 dibawah ini.

Tabel 2.2 Klasifikasi Tanah Kanai – Omote – Nakajima (Dikutip dari Buletin Meteorologi dan Geofisika No.4, 1998).

Klasifikasi Tanah Periode (T) second

Keterangan Karakter

Jenis I Jenis A 0,05-0,15 Batuan tersier atau lebih tua. Terdiri dari batuan Hard sandy, gravel, dll.

Keras

Jenis II 0,10- Batuan alluvial, dengan

ketebalan 5 m. Terdiri dari sandy-gravel,sandy hard clay, loam, dll.

Sedang

Jenis III Jenis B 0,25- Batuan alluvial, hampir sama dengan jenis II, hanya dibedakan oleh adanya formasi bluff.

Lunak

Jenis IV Jenis C Lebih dari Batuan alluvial, yang terbentuk dari

Nilai periode dominan didapatkan berdasarkan perhitungan berikut :

T0 = 1 / f0 (2.12)

Dengan :

T0 = periode dominan.

(44)

30

I. Indeks Kerentanan Seismik (Kg)

Nilai indeks kerentanan tanah dapat dinyatakan dalam persamaan

berikut (Nakamura, 2000):

Kg = (2.13)

Dengan Kg merupakan indeks kerentanan seismik, A0 merupakan amplitudo dan f0 merupakan frekuensi natural. Nilai Kg yang tinggi umumnya ditemukan pada tanah dengan litologi batuan sedimen yang

lunak. Nilai yang tinggi ini menggambarkan bahwa daerah tersebut rentan

terhadap gempa dan jika terjadi gempa dapat mengalami goncangan yang

kuat. Sebaiknya, nilai Kg yang kecil umumnya ditemukan pada tanah dengan

litologi batuan penyusun yang kokoh sehingga saat terjadi gempa tidak

mengalami banyak goncangan ditunjukkan seperti pada gambar 2.6

(Damsiar, 2015) dan pada Tabel 2.3.

(45)

31

Struktur Tabel 2.3 lapisan berdasarkan indeks kerentanan seismik (Sumber: Sunardi, et al., 2012)

No Indeks Kerentanan Tanah

(Kg) Lapisan

1 0,1 – 3,3 Material batuan breksiandesit atau

andesit di permukaan.

2 3,3 - 4,8 Material sedimen tipis seperti topsoil

atau lempung.

J. Ground Shear Strain

Dalam penentuan indeks kerentanan seismik, perlu diperhatikan

pergeseran regangan pada permukaan tanah. Untuk menyederhanakan

perubahan posisi pergeseran regangan pada permukaan tanah ditunjukan

oleh Gambar 2.7

Gambar 2.7 Deformasi regangan pada permukaan tanah (Nakamura,2008)

Besarnya pergeseran regangan tanah atau Ground Shear Strain dapat

dihitung dengan menggunakan persamaan

(2.14)

Dengan :

H = ketebalan lapisan lapuk (m)

d = perpindahan gelombang seismik di batuan dasar (m)

(46)

32

Tabel 2.4 Hubungan antara dengan sifat dinamik tanah (Nakamura, 2008) Ukuran Strain 10-6– 10-5 10-4– 10-3 10-2– 10-1 Sifat Dinamis Elastisitas Elasto-plastisitas Efek yang

berulang, efek proses dari

kecepatan

K. Peak Ground Acceleration (PGA)

Peak Ground Acceleration (PGA) merupakan pengukuran suatu parameter yang mempresentasikan percepatan getaran gempa di tanah.PGA

juga dikenal sebagai Design Basis Earthquake Ground Motion (DBEGM). Nilai PGA suatu daerah bukanlah termasuk ke dalam pengukuran terhadap

besar energi suatu gempabumi. PGA merupakan pengukuran kuat

goncangan tanah suatu daerah (Damsiar, 2015). Rentang skala Percepatan

Getaran Tanah ditunjukkan pada Tabel 2.5 dibawah ini.

Tabel 2.5 Rentang skala Percepatan Getaran Tanah Maksimum

(47)

56

BAB 5

PENUTUP

A. Simpulan

Berdasarkan hasil pengolahan data rekaman mikroseismik di daerah

asdam bendungan Jatibarang pada titik B2, B3, A4 dan A5 memiliki nilai F0

dan PGA yang rendah serta nilai Kg, H, GSS yang tinggi, sehingga memiliki

resiko tingkat kerawanan yang tinggi. Pada titik B4 dan A6 memiliki nilai

F0, H, PGA, Kg dan GSS yang sedang, sehingga memiliki resiko tingkat

kerawanan yang sedang namun dimungkinkan pada titik tersebut terdapat

rekahan atau penurunan tanah. Pada titik B1 dan A3 memiliki nilai F0 dan

PGA yang tinggi serta nilai Kg, H, GSS yang rendah, sehingga memiliki

resiko tingkat kerawanan yang rendah dan aman untuk didirikan bangunan.

B. Saran

Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut, mengetahui kondisi dan

cuaca tempat penelitian untuk meminimalisir noise serta perlu dilakukan

pemantauan secara berkelanjutan dan berkala untuk penurunan tanah atau

(48)

57 Historical, Geological And Instrumental Information. Proceedings of Workshop of E.S.C..Sub-Comm.On Historical Seismology. Italy: Macerata. Damsiar. 2015. Buku Panduan Mikroseismik. http://www.scribd.com.

Diakses pada tanggal 11Maret 2016.

Dewi, E. R. 2013. Analisis Ground Shear Strain di Wilayah Kecamatan Jetis Kabupaten Bantul Berdasarkan Pengukuran Mikroseismik. Skripsi. Yogyakarta: Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga.

Elnashai, A. S. & L. D. Sarno. 2008. Fundamentals of Earthquake Engineering From Source To Fragility. United State of American: Pennsylvania.

Herak, M. 2008. Model HVSR-A Matlabs tool to model horizontal to vertical spectral ratio of ambient noise. Journal Computer and Geosciences, 34(11): 1514-1526.

Herak, M., Allegretti, I., Herak, D., Kuk, K., Kuk, V., Marić, K., & Stipčević,

J. 2010. HVSR of Ambient Noise in Ston (Croatia): Comparison With Theoretical Spectra and With The Damage Distribution After The 1996 Ston-Slano Earthquake. Bulletin of Earthquake Engineering, 8(3): 483-499.

Herawati. 2014. Mikrozonasi Multidisaster Daerah Sekitar Waduk Sermo Berbasis Analisis Keputusan Multikriteria Simple Additive Weight (SAW) Berdasarkan Pengukuran Mikrotremor. Skripsi. Yogyakarta: Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga.

Lachet, C. & P.Y. Brad.1994. Numerical and Theoretical Investigations on

The Possibilities and Limitations of Nakamura’s Technique. Journal Physic Earth, 42: 377-397.

Marjiyono, Soehaimi, & Kamawan. 2007. Identifikasi Sesar Aktif Daerah Cekungan Bandung Berdasarkan Citra dan Kegempaan. Jurnal Sumberdaya Geologi, 18(2): 81-88.

(49)

58

Pusat Listrik Reaktor Daya. Skripsi. Yogyakarta: Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga.

Nakamura, Y. 1989. A method for dynamic characteristics estimation of subsurface using microtremor on the ground surface. Railway Technical Research Institute, Quarterly Reports, 30(1): 25-33.

Nakamura, Y. 2000. Clear Identification of Fundamental Idea of

Nakamura’s Technique and its Applications. Prosiding12th World Conference on Earthquake Engineering. New Zealand: Auckland.

Nakamura, Y. 2008. On The H/V Spectrum. Prosiding14th World Conference on Earthquake Engineering. China: Beijing

Sunardi, B., Daryono., J. Arifin., P.Susilanto., D. Ngadmanto., B. Nurdiyanto., & Sulastri.2012. Kajian Potensi Bahaya Gempabumi Daerah Sumbawa Berdasarkan Efek Tapak Lokal. Jurnal Meteorologi Dan Geofisika, 13(2):131-137.

Susilo, A. dan S. A. Wiyono. 2012. Frequency Analysis and Seismic Vulnerability Index by Using Nakamura Methods at a New Artery Way in Porong, Sidoarjo, Indonesia. International Journal of Applied Physics and Mathematics, 2(4): 227-230.

Sumarta, V. A. 2014. Identifikasi Resiko Bahaya Seismik Pada Bendungan Sermo Berdasarkan Pengukuran Mikrotremor. Skripsi. Yogyakarta: Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga.

Sonora. 2009. Tanggul Air Jebol Situ Gintung Terendam. Tersedia di http://www.nasional.kompas.com/read/2009/03/27/06591210/tanggul.air.j ebol.situ.gintung.terendam [diakses 05-04-2016]

Gambar

Tabel 3.1 Tabel Pengambilan Data di Lapangan .......................................................37
gambar dan lampiran.
Gambar 2.1 Gelombang P (Elnashai dan Sarno, 2008)
Gambar 2.2 Gelombang S (Elnashai dan Sarno, 2008)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Teknologi pembuatan teh bunga sepatu ini diharapkan memiliki nilai keberhasilan yang relatif baik, mengingat cara pembuatan teh bunga sepatu sangat mudah dan hanya

Dengan demikian, terapi atau psikoterapi tidak bisa terlepaskan dari bimbingan konseling, karena pada dasarnya manusia tidak bisa luput dari permasalahan, baik permasalahan itu

Untuk mendapatkan variabilitas tanaman yang tinggi, dosis anjuran iradiasi sinar gamma pada biji kecombrang antara 20-40

Indikator yang digunakan untuk mengukur akses penduduk terhadap rumah sakit dan besarnya upaya rumah sakit dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada penduduk. Angka ini

Sistem BHS non- DOL merupakan program implementasi pengerjaan kegiatan panen yang terkonsentrasi pada satu seksi yang harus diselesaikan dalam satu hari dimana

Lembar Kegiatan Siswa (LKS) diberikan kepada setiap kelompok untuk dipelajari, bukan sekedar diisi dan diserahkan kembali. Siswa mengerjakan tugas secara mandiri atau

Lokasi Korban Gempa adalah pada pin digi- tal arduino yang telah diolah pada IC driver L298N akan mengaktifkan motor DC sebagai penggerak robot dan pergerakan arah servo,

Berdasarkan penjelasan diatas maka dapat disimpulkan bahwa kebosanan kerja merupakan perasaan yang tidak menyenangkan, karena melakukan pekerjaan yang bersifat