• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Faktor–Faktor yang Berhubungan dengan Ketersediaan Beras di Kabupaten Mandailing Natal

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Faktor–Faktor yang Berhubungan dengan Ketersediaan Beras di Kabupaten Mandailing Natal"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

1. Sebagai bahan informasi dan masukan dalam merencanakan dan mengambil kebijakan untuk meningkatkan ketersediaan beras dalam rangka peningkatan ketahanan pangan.

2. Sebagai bahan referensi untuk penelitian berikutnya .

(2)

2.1. Penelitian Terdahulu

Dengan menggunakan sampel 20 tahun (1987-2006), variabel bebas yang digunakan luas panen, harga beras, harga jagung, dan ketersediaan beras tahun sebelumnya dengan model regresi linier berganda yang tujuannya untuk mengetahui ketersediaan beras di Sumatera Utara didapatkan hasil estimasi bahwa variasi yang terjadi pada luas panen, harga beras, harga jagung, dan ketersediaan beras tahun sebelumnya dapat menjelaskan variasi ketersediaan beras sebesar 99,3%. Dari keseluruhan variabel bebas yaitu luas panen, harga beras, harga jagung dan ketersediaan beras tahun sebelumnya secara serempak memberikan pengaruh yang sangat signifikan, sedangkan secara parsial menunjukkan bahwa variabel bebas luas panen dan harga beras memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap ketersediaan beras. Variabel harga jagung dan ketersediaan beras tahun sebelumnya menunjukkan pengaruh tidak nyata terhadap ketersediaan beras (Hasyim, 2007).

(3)

konsumsi beras. Secara parsial, harga beras dan pendapatan perkapita berpengaruh signifikan terhadap konsumsi beras di Kabupaten Deli Serdang. Pada persamaan harga eceran beras, variabel jumlah konsumsi beras dan lag harga eceran beras berpengaruh positif sedangkan lag jumlah produksi beras berpengaruh negatif. Hanya variabel konsumsi beras yang berpengaruh nyata, sedangkan yang lainnya tidak berpengaruh nyata.

(4)

indeks nilai tukar petani, konsumsi beras, luas panen dan peranan penyuluhan pertanian secara nyata mempengaruhi ketersediaan pangan beras di Provinsi Jambi. Secara parsial konsumsi beras per kapita dan luas panen padi berpengaruh sangat nyata terhadap kemampuan ketersediaan pangan beras.

Penelitian Denny Afrianto (2010), yang bertujuan untuk menganalisis kondisi ketahanan pangan di Jawa Tengah dengan memfokuskan pada ketersediaan beras di masing-masing kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah dengan menggunakan data sekunder runtun waktu (time series) tahun 2005-2007. Penelitian ini menggunakan rasio ketersediaan beras sebagai variabel dependen, sedangkan variabel independen yang digunakan adalah stok beras, luas panen, rata-rata produksi, harga beras eceran, dan jumlah konsumsi beras. Metode analisis yang digunakan adalah analisis data panel dengan membandingkan perilaku ketersediaan beras di tiap kabupaten/kota di Jawa Tengah.

Dari hasil regresi diketahui bahwa stok berpengaruh positif namun tidak signifikan terhadap rasio ketersediaan beras, luas panen dan rata-rata produksi berpengaruh positif dan signifikan terhadap rasio ketersediaan beras, harga beras berpengaruh negatif namun tidak signifikan terhadap rasio ketersediaan beras, dan jumlah konsumsi berpengaruh negatif dan signifikan terhadap rasio ketersediaan beras.

(5)

Penawaran adalah jumlah suatu barang yang yang ditawarkan untuk dijual oleh para produsen kepada konsumen dalam suatu pasar pada tingkat harga dan waktu tertentu yang sangat tergantung pada sejumlah besar variabel. Konsep dari fungsi penawaran untuk suatu produk dapat dinyatakan dalam bentuk hubungan antara kuantitas penawaran dan sekumpulan variabel yang mempengaruhi penawaran dari produk tersebut. Konsep penawaran suatu produk dapat digambarkan dengan fungsi sebagai berikut:

Qsx = f (Px, Pr, Pi,T,Pe,O ) ………...(2.1) Keterangan:

Qsx : Penawaran komoditi tersebut Px : Harga komoditi tersebut

Pr : Harga komoditi substitusi dan komplementer Pi : Harga faktor produksi

T : Tingkat penggunaan teknologi Pe : Harapan produsen

O : Faktor-faktor lain yang berkaitan dengan penawaran produk tersebut

Jika terjadi perubahan terhadap faktor-faktor tersebut, maka penawaran juga akan berubah. Apakah perubahan tersebut menurun atau meningkat, tergantung pada pengaruh dari faktor tersebut apakah berpengaruh positif atau negatif terhadap barang yang ditawarkan tersebut.

(6)

A

C

D

B

S

Kurva penawaran merupakan hubungan antara jumlah penawaran dan harga. Hubungan antara jumlah penawaran dan harga yang ditawarkan adalah searah.

Sumber: Eachern, 2001

Adanya kegiatan konsumsi terhadap barang maka akan terbentuk permintaan barang tersebut. Hubungan antara penawaran dan permintaan suatu komoditi merupakan petunjuk penting dalam teori ekonomi. Hubungan tersebut memperlihatkan berbagai jumlah barang dan jasa yang diminta atau dibeli oleh konsumen dan yang ditawarkan oleh produsen secara bersamaan sebagai pengaruh dari adanya perubahan harga barang dan jasa yang bersangkutan atau faktor lainnya. Harga dibentuk oleh pasar yang mempunyai dua sisi, yaitu penawaran dan permintaan.

Bahan pangan yang merupakan hasil pertanian cenderung mengalami perubahan harga yang lebih besar daripada harga barang-barang industri. Harga hasil-hasil pertanian cenderung mengalami naik turun yang relatif besar.

Q 0

P

(7)

Harganya bisa mencapai tingkat yang tinggi sekali pada suatu masa dan mengalami kemerosotan yang sangat buruk pada masa berikutnya. Sifat perubahan harga seperti itu disebabkan karena penawaran ke atas barang-barang pertanian adalah tidak elastis, yang artinya persentase perubahan harga jauh lebih besar daripada perubahan jumlah barang yang diminta ataupun ditawarkan. Faktor yang menyebabkan barang pertanian bersifat tidak elastis antara lain, barang pertanian bersifat musiman dan kapasitas berproduksi cenderung maksimal dan tidak terpengaruh oleh perubahan permintaan (Sukirno, 2003).

Keseimbangan pasar terjadi pada harga yang menyebabkan jumlah yang diminta konsumen sama dengan jumlah yang ditawarkan produsen. Jika harga di atas tingkat ekuilibrium, jumlah yang ditawarkan lebih besar daripada jumlah yang diminta. Sebaliknya jika harga di bawah tingkat ekuilibrium, jumlah yang diminta melebihi jumlah yang ditawarkan. Kekurangan jumlah yang ditawarkan menyebabkan adanya tekanan harga untuk naik (Eachern, 2001).

2.3. Ketersediaan Beras

(8)

hidup yang sehat. Sementara pada World Food Summit tahun 1996, ketahanan pangan disebut sebagai akses setiap RT atau individu untuk dapat memperoleh pangan pada setiap waktu untuk keperluan hidup yang sehat dengan persyaratan penerimaan pangan sesuai dengan nilai atau budaya setempat (Pambudy (2002) dalam Tambunan, 2003).

Secara nasional konsep ketahanan pangan ini mencakup penyediaan pangan dalam jumlah dan kualitas yang cukup serta dengan harga yang terjangkau oleh masyarakat. Ketersediaan dan kecukupan pangan juga mencakup kuantitas dan kualitas bahan pangan agar setiap individu dapat terpenuhi standar kebutuhan kalori dan energi untuk menjalankan aktivitas ekonomi dan kehidupan sehari-hari. Sedangkan aksesabilitas setiap individu terhadap bahan pangan dapat dijaga dan ditingkatkan melalui pemberdayaan sistem pasar serta mekanisme pemasaran yang efektif dan efisien, intervensi kebijakan harga yang memadai serta menguntungkan dan memuaskan berbagai pihak yang terlibat (Arifin, 2001).

Darwanto (2005), menggambarkan bahwa ketahanan pangan sangat tergantung dari ketersediaan beras yang bisa disediakan secara nasional. Beras dapat digolongkan menjadi komoditas subsisten karena produk yang dihasilkan (Q) digunakan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi keluarga produsen atau petani (C) dan selebihnya untuk dijual ke pasar (M). Secara matematik alokasi tersebut dapat diformulasikan sebagai:

Q = C + M ………..(2.2)

(9)

tegak (OCnr) menggambarkan konsumsi barang atau produk lain yang tidak

diproduksi oleh rumahtangga petani. Panjang sumbu datar OF menggambarkan total produk (Q) dengan alokasi untuk konsumsi rumahtangga (C) dan untuk dijual ke pasar (M).

Dengan anggapan bahwa produksi beras mempunyai kontribusi yang relatif besar terhadap pendapatan rumah tangga maka untuk produk sebesar Q0

tersebut akan dialokasikan untuk konsumsi rumah tangga sebesar C0 dan

selebihnya sejumlah M0 untuk dijual ke pasar untuk memaksimalkan utility atau

kesejahteraan anggota rumahtangga (U0). Teori klasik menyatakan bahwa jumlah

hasil yang dijual ke pasar oleh rumah tangga petani akan tergantung pada tingkat harga produk, yaitu semakin tinggi harga produk maka akan semakin besar jumlah produk yang dijual. Namun, untuk produk komoditas subsisten ini pertimbangan harga produk tersebut bukan satu-satunya pertimbangan petani untuk memutuskan besaran jumlah barang yang dijual kepasar tetapi masih akan mempertimbangkan pula harga barang kebutuhan lain yang tidak diproduksi oleh rumah tangga petani tersebut, dengan kata lain dapat disebutkan bahwa besaran jumlah hasil yang dijual ke pasar tersebut akan tergantung pada besarnya kebutuhan uang tunai untuk membeli produk barang atau jasa yang tidak dihasilkan oleh rumahtangga petani tersebut. Untuk gambaran tersebut maka dapat dikemukakan pertimbangan harga tersebut dicerminkan oleh perbandingan harga yaitu Pi= Pr/ Pnr dengan r =

(10)

Cn (Konsumsi barang lain)

A2

A1

A0

X0

C0 M

Q

Gambar 2.2: Model Alokasi Output dari Petani Subsisten untuk Konsumsi Rumah Tangga dan Dijual

Sumber: Toquero et.al dalam Darwanto (2005)

Semakin tinggi harga beras relatif terhadap harga barang lain maka semakin sedikit jumlah produk yang dijual ke pasar karena mampu untuk membeli barang lain dengan hanya menjual beras sejumlah itu. Sebaliknya semakin rendah harga beras relatif terhadap barang lain maka petani akan menjual semakin banyak beras agar mampu membeli barang lain yang dibutuhkan rumah tangganya. Dengan demikian jika harga beras relatif lebih rendah dari harga barang lain maka kemampuan rumah tangga petani untuk membeli barang lain menurun yang berarti pula menurun tingkat kesejahteraannya. Namun, ditinjau

Konsumsi RT Dijual ke Pasar

U1

U0

U2

E2

E1

E0

0

(11)

dari ketersediaan beras di pasar akan meningkat karena petani menjual lebih banyak berasnya ke pasar.

Dalam upaya peningkatan produksi dan ketersediaan pangan, belum seluruh potensi sumberdaya alam yang terdapat di wilayah Indonesia dikelola secara optimal. Terkait dengan penyediaan pangan dan perwujudan ketahanan pangan, maka pengelolaan lahan dan air merupakan sumberdaya alam utama yang perlu dioptimalkan untuk menghasilkan pangan. Sekitar 9,7 juta hektar lahan terlantar dan lahan di bawah tegakan hutan, sangat potensial sebagai sumber produksi pangan nasional dimana potensi lahan pertanian tersebut, tersebar di seluruh provinsi di Indonesia. Dukungan infrastruktur sumberdaya air dalam penguatan strategi ketahanan pangan nasional, dapat ditempuh dengan langkah-langkah: pengembangan jaringan irigasi, pengelolaan jaringan irigasi, optimasi potensi lahan rawa dan air tanah, peningkatan water efficiency, dan pembuatan hujan buatan.

(12)

pemantapan ketersediaan pangan, cadangan pangan dan penanganan rawan pangan (Badan Ketahanan Pangan RI, 2010).

Presiden RI telah menetapkan Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2011 tentang pengamanan produksi beras nasional. Landasan hukum ini dikeluarkan sebagai uapaya konkret untuk meningkatkan ketahanan pangan dan pengembangan ekonomi pedesaan, memberikan dukungan peningkatan produktivitas padi, kualitas padi dan produksi padi nasional, termasuk pemanfaatan sumber daya lahan dan air, serta upaya diversifikasi pangan dalam rangka kemandirian pangan dalam menghadapi iklim ekstrim. Sasaran utama yang akan dicapai adalah pengamanan terhadap pencapaian sasaran produksi padi/beras nasional untuk mencapai surplus beras nasional 10 juta ton per tahun mulai tahun 2014. Strategi yang akan dilakukan untuk mencapai sasaran tersebut adalah: (i) peningkatan produksi padi/beras sebesar 5% melalui; peningkatan produktivitas 4,9% per tahun dan peningkatan luas panen 0,3% per tahun; (ii) distribusi dan stabilisasi harga produksi, melalui penjaminan distribusi baik sarana produksi maupun pengadaan terfokus yaitu penetapan lokasi khusus untuk areal tanam yang masih dapat meningkatkan produktivitas; (iii) percepatan penganekaragaman konsumsi pangan masyarakat, dengan sasaran berkurangnya konsumsi beras rata-rata 0,654% per tahun (Kemenkoinfo RI, 2011)

2.4. Luas Panen

(13)

digarap/ditanami), semakin besar jumlah produksi yang dihasilkan oleh lahan tersebut (Rahim dan Dwi Hastuti, 2008).

Luas lahan pertanian akan mempengaruhi skala usaha, dan skala usaha ini pada akhirnya akan mempengaruhi efisien atau tidaknya suatu usaha pertanian. Semakin luas lahan yang dipakai sebagai usaha pertanian akan semakin tidak efisienlah lahan tersebut. Sebaliknya pada luasan lahan yang sempit, upaya pengawasan terhadap penggunaan faktor produksi semakin baik, penggunaan tenaga kerja tercukupi dan tersedianya modal juga tidak terlalu besar, sehingga usaha pertanian seperti ini sering lebih efisien (Soekartawi, 2002).

Luas lahan sangat mempengaruhi produksi, karena apabila luas lahan semakin luas maka penawaran beras akan semakin besar, sebaliknya apabila luas lahan semakin sempit maka produksi padi akan semakin sedikit. Jadi hubungan luas lahan dengan produksi padi adalah positif (Triyanto, 2006) .

Lahan pertanian (sawah) mempunyai arti yang terpenting dalam menentukan ketahanan pangan nasional. Saat ini sumberdaya lahan pertanian menghadapi tantangan dan tekanan yang semakin berat. Tingkat persaingan dengan peruntukan non pertanian, berada pada titik yang mengkhawatirkan bagi eksistensi pertanian, khususnya sebagai sektor yang berkepentingan dalam pengadaan pangan nasional.

(14)

diklasifikasikan ke dalam: (a) pangan, (b) dampak terhadap kondisi ekonomi secara keseluruhan, (c) dampak terhadap lingkungan hidup, dan (d) dampak terhadap kondisi sosial-budaya (Simatupang et.al, 1997).

2.5. Produktivitas

Produksi dapat didefenisikan sebagai hasil dari suatu proses atau aktivitas ekonomi dengan memanfaatkan beberapa masukan (input). Dengan demikian, kegiatan produksi tersebut adalah mengkombinasikan berbagai input untuk menghasilkan output (Agung et.al, 2008).

Produktivitas merupakan hasil per satuan luas lahan atau dengan kata lain produktivitas adalah keseimbangan dari semua faktor produksi yang akan menyumbangkan hasil yang tertinggi melalui upaya yang terendah. Dua hal yang menjadi fakta kemerosotan produksi beras. Pertama, produktivitas pertanian padi merosot, yang diiringi oleh menurunnya rangsangan untuk menanam padi dan diiringi dengan makin meningkatnya pengurangan lahan padi. Kedua, yang berkaitan erat dengan itu, merosotnya nilai tukar petani dan meningkatnya kemiskinan di kalangan petani khususnya petani padi (Sumodiningrat, 2001).

(15)

Dengan melihat data-data tersebut, maka upaya peningkatan produksi masih terbuka lebar. Peluang peningkatan produktivitas dari < 5 ton/ha menjadi 6 ton/ha paling tidak masih dapat dilakukan pada areal tanam seluas sekitar 5,9 juta ha. Untuk produktivitas yang di atas 6 ton/ha diterapkan SL-PTT padi hibrida, sedang yang di bawah 6 ton/ha dapat diterapkan SL-PTT padi non hibrida, dengan paket lengkap dan pengawalan/pendampingan yang ketat, di lokasi yang sesuai (tepat).

Pengamanan produksi beras nasional melalui peningkatan produktivitas padi dilakukan dengan: (1) meningkatkan ketersediaan benih, pupuk, dan pestisida yang sesuai, baik dalam jenis, mutu, waktu, lokasi, dan jumlah; (2) meningkatkan tata kelola usahatani, pengendalian OPT, penanganan bencana banjir, dan kekeringan pada lahan pertanian padi; (3) meningkatkan alsintan, baik dalam jumlah maupun mutu untuk mempercepat pengelolaan usahatani padi; (4) meningkatkan kegiatan pasca panen untuk mengurangi kehilangan hasil dan penurunan mutu gabah/beras; (5) memberikan dukungan dalam meningkatkan pengelolaan air irigasi untuk pertanian padi dalam kondisi iklim ekstrim; (6) meningkatkan fungsi BUMN dalam penyediaan dan penyaluran sarana produksi dan distribusi gabah/beras; (7) meningkatkan dan mengembangkan fungsi infrastruktur (PU) dalam menunjang produksi padi (Kemenkoinfo, 2011).

2.6. Harga Beras

(16)

4 persen saja yang merupakan net producer beras. Di daerah pedesaan, net

consumer beras sekitar 60 persen dan hanya 40 persen penduduk desa yang

merupakan net producer beras. Implikasinya adalah setiap kenaikan 10 persen harga beras akan menurunkan daya beli masyarakat perkotaan sebesar 8,6 persen dan masyarakat pedesaan sebesar 1,7 persen atau dapat menciptakan dua juta orang miskin baru (Ikhsan, 2001). Karena beras juga merupakan makanan pokok dengan karakteristik permintaan yang tidak elastis perubahan harga tidak terlalu berpengaruh terhadap konsumsi beras maka kelompok miskinlah yang menderita cukup parah karena perubahan harga beras.

Ketidakstabilan harga dan rendahnya efisiensi sistem pemasaran hasil-hasil pangan, merupakan kondisi yang kurang kondusif bagi produsen dan konsumen pangan nasional, disebabkan: (i) lemahnya disiplin dan penegakan peraturan untuk menjamin sistem pemasaran yang adil dan bertanggung jawab; (ii) terbatasnya fasilitas untuk mendukung transparansi informasi pasar; (iii) terbatasnya kemampuan teknis institusi dan pelaku pemasaran. Penurunan harga komoditas pangan pada saat panen raya cenderung merugikan petani, sebaliknya pada saat tertentu pada musim paceklik dan hari-hari besar, harga pangan meningkat tinggi dan menekan konsumen.

(17)

Pengaruh perubahan harga terhadap konsumsi beras terlihat memiliki pola yang sama dengan pengaruh perubahan pendapatan. Semakin besar tingkat pendapatan, semakin berkurang pengaruh perubahan harga maupun terhadap konsumsi beras. Turunnya harga beras akan menguntungkan jika konsumen adalah petani subsisten yang menjadi net buyer. Sebaliknya, turunnya harga beras akan merugikan petani konsumen yang net seller.

Teori ekonomi menjelaskan bahwa pendorong terjadinya pergerakan barang dari suatu daerah ke daerah lain adalah adanya perbedaan harga yang merupakan mekanisme dinamis pasar dalam mencapai terjadinya keseimbangan. Ada dua hal yang menyebabkan terjadinya perbedaan harga beras sehingga mendorong beras untuk di transportasikan /dipindahkan dari satu daerah ke daerah lain yaitu karena adanya:

1. Perbedaan jumlah ketersediaan beras, sehingga beras dikirim dari daerah surplus ke daerah yang membutuhkan/defisit beras (daerah konsumen);

2. Perbedaan preferensi dan daya beli masyarakat, sehingga beras yang berkualitas bagus dikirim ke daerah konsumen dengan daya beli dan selera lebih tinggi untuk ditukar tambah dengan beras yang berkualitas lebih rendah dan lebih murah (Suryana dan Mardianto, 2001).

2.7. Konsumsi Beras

(18)

pangan. Dengan melihat hal ini, maka faktor-faktor yang mempengaruhi aspek ini adalah tingkat pendapatan dalam level agregat, jumlah penduduk, harga keseimbangan beras dan harga komoditi substitusi seperti jagung. Pada kenyataannya persepsi masyarakat Indonesia terhadap pangan menjadi salah satu faktor penentu perubahan atau peningkatan permintaan beras (Suryana dan Mardianto, 2001).

Angka konsumsi beras per kapita per tahun rata-rata penduduk Indonesia yang digunakan pada perhitungan saat ini adalah 139,15 kg/kapita/tahun. Sedangkan jumlah beras yang dikonsumsi langsung di dalam rumah tangga berdasarkan data Susenas 2010 sebesar 100,76 kg/kapita/tahun.

Tingginya dominasi beras dalam pola konsumsi pangan penduduk Indonesia menyebabkan rendahnya kualitas konsumsi pangan nasional dan cerminan konsumsi pangan penduduk yang belum beragam dan bergizi seimbang dengan indikator skor PPH yang masih di bawah standar ideal. Kontribusi beras dalam sumbangan konsumsi kelompok padi-padian mencapai 80,7 % terhadap total energi padi-padian (1.218 kkal/kap/hr) pada tahun 2010.

Posisi beras dalam konsumsi rumah tangga memang masih menonjol. Beras menempati pangsa rata-rata sebesar 27,6 persen dari pengeluaran rumah tangga total. Angka tersebut tentunya akan semakin membesar jika dilihat pangsa pengeluaran beras pada total rumah tangga untuk bahan makanan. Engel’ Law

(19)

Berdasarkan uraian pada konsumsi dapat memberikan implikasi bagi kebijakan perberasan: (a) Penurunan harga beras terutama menguntungkan konsumen berpendapatan rendah di perkotaan maupun di pedesaan; (b) harga beras memiliki pengaruh yang besar bagi diversifikasi konsumsi pangan, di mana efek pendapatan yang besar memberikan dampak buruk bagi konsumsi pangan lainnya jika harga beras naik; (c) peningkatan pendapatan konsumen akan disertai dengan peningkatan harga dari beras yang dibelinya, yang mengindikasikan pentingnya perbaikan kualitas atupun atribut komoditas beras yang dijual (Suryana dan Mardianto, 2001).

2.8. Kerangka Pemikiran

Beras sebagai makan pokok mendominasi pola makan orang Indonesia dan memiliki peranan penting dalam menyokong ketahanan pangan secara nasional maupun regional. Pentingnya peranan beras baik dari segi ketersediaan, kontrol harga dan distribusi bahkan produksi komoditi beras memerlukan campur tangan pemerintah.

Sebagai salah satu wilayah/kabupaten sentra produksi padi di Sumatera Utara, maka Kabupaten Mandailing Natal juga menghadapi permasalahan yang menjadi kendala dalam pemenuhan ketersediaan beras pada daerah tersebut. Dari persoalan tersebut maka dalam penelitian ini akan dianalisis faktor-faktor yang berhubungan dengan ketersediaan beras di Kabupaten Mandailing Natal dengan indikator luas panen, produktivitas, harga beras, dan jumlah konsumsi beras.

(20)

salah satu faktor produksi yang merupakan “pabriknya” produk pertanian berupa padi yang mempunyai kontribusi yang cukup besar terhadap ketersediaan beras. Besar kecilnya produksi padi antara lain dipengaruhi oleh luas sempitnya lahan yang digunakan. Sehingga semakin besar pula luas panen tanaman padi maka diharapkan menunjang ketersediaan beras. Namun demikian ada peluang lain yang menyebabkan tidak demikian, mengingat adanya alih fungsi lahan ke non pertanian, perubahan iklim yang dapat menyebabkan kekeringan (tidak tersedianya air) dan banjir, serta prasarana pengairan (irigasi) yang kurang baik sehingga akhirnya mengakibatkan penurunan produktivitas.

Variabel jumlah konsumsi beras merupakan variabel selanjutnya yang berhubungan ketersediaan beras. Semakin besar jumlah penduduk maka ketersediaan kebutuhan beras semakin besar. Namun demikian, konsumsi per kapita yang semakin menurun dapat berlaku jika konsumsi ke non beras semakin besar dengan adanya diversifikasi makanan pokok.

Variabel lain yang juga berhubungan ketersediaan beras adalah harga beras. Pergerakan barang dari suatu daerah ke daerah lain adalah adanya perbedaan harga yang merupakan mekanisme dinamis pasar, terjadinya perbedaan harga beras sehingga mendorong beras untuk dipindahkan ke daerah lain karena adanya perbedaan jumlah ketersediaan beras, sehingga beras dikirim dari daerah surplus ke daerah yang membutuhkan/defisit beras.

(21)

Gambar 2.3: Skema Kerangka Pemikiran

2.9. Hipotesis

Berdasarkan identifikasi masalah, maka yang menjadi hipotesis penelitian adalah:

a. Luas panen mempunyai hubungan positif dan signifikan dengan ketersediaan

beras.

b. Produktivitas lahan mempunyai hubungan positif dan signifikan dengan

ketersediaan beras.

c. Harga beras mempunyai hubungan negatif dan signifikan dengan ketersediaan

beras.

d. Jumlah konsumsi beras mempunyai hubungan negatif dan signifikan dengan

ketersediaan beras.

Ketersediaan Beras

Gambar

Gambar 2.1. Kurva Penawaran Produsen
Gambar 2.3: Skema Kerangka Pemikiran

Referensi

Dokumen terkait

skor penilaian yang diperoleh dengan menggunakan tafsiran Suyanto dan Sartinem (2009: 227). Pengkonversian skor menjadi pernyataan penilaian ini da- pat dilihat

Bentuk interaksi yang terjadi antara mahasiswa kedua prodi tidak berjalan dengan baik, pola interaksi cenderung bersifat disosiasif..Fokus penelitian: alasan mengapa

Tahap norming terdiri dari pembentukan struktur yang dilakukan melalui diskusi dan votting , pembagian peran dengan cara berdiskusi, pembentukan aturan kelompok dengan

In view of the coming changes in generational and domestic diversity, organizations are likely to modify their future HR practices to meet the needs of employees with diverse

Namun, berdasarkan studi awal penelitian terkait pasca konflik, diperoleh data awal bahwa bias- bias relasi antar kelompok (stereotip dan prasangka) masih bersemayam dalam

Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Verynus (2013:5), dapat dilihat dari hasil penelitian tentang meningkatkan hasil belajar ekonomi siswa kelas

(1990) dalam Ruslina (2014: 8) faktor-faktor yang mempengaruhi work-family conflict adalah: 1) Time Pressure , semakin banyak waktu yang digunakan untuk bekerja maka

Rekloml Lanlri II Krnl,us Limau