3
II.
TELAAH PUSTAKA
Kromium merupakan unsur yang jarang ditemukan pada perairan alami. Kromium adalah suatu logam putih kebiruan dan mengkristal bentuk kubus. Unsur ini mempunyai empat rumus oksidasi yang umum yaitu Cr2+, Cr3+, Cr5+, dan Cr6+ (P3O-LIPI, 1994). Umumnya di alam krom ditemukan dalam bentuk krom bervalensi III (Cr3+) dan krom bervalensi VI (Cr6+) (Fatmawati et al., 2009). Industri utama yang menghasilkan kromium trivalent adalah pewarnaan tekstil. Kromium heksavalen bersumber dari buangan pelapisan logam dan industri akhir produksi zat warna (pigmen) (Saidy & Badruzsaufari, 2009).
Krom heksavalen dilaporkan lebih toksik dibandingkan dengan krom trivalen, dikarenakan sifatnya mudah larut dalam air dan membentuk oksianion divalen yaitu kromat (CrO42-) dan dikromat (Cr2O72-) (Susilaningsih, 1992). Hasil penelitian
Vymazal (1995) juga menginformasikan bahwa krom heksavalen mempunyai kekuatan lebih besar untuk mengoksidasi, mudah larut dalam air dan lebih mudah melewati membran biologi dibanding dengan krom trivalen. Cr (IV) bersifat lebih toksik dan bertindak sebagai oksidator yang sangat kuat, sedangkan Cr (III) merupakan bentuk yang lebih stabil dalam perairan (Taliwongso & Prayatni, 2005). Krom trivalen mempunyai sifat mirip dengan besi (III), sukar terlarut pada pH di atas 5 dan mudah dioksidasi (Susanti & Henny, 2008).
Menurut Richard & Alain (1991), tingkat toksisitas logam berat tergantung pada spesiesnya dan tahapan perkembangannya. Kondisi toksik terjadi jika organisme tidak dapat mengatasi perubahan konsentrasi logam tersebut secara langsung, yakni akumulasi pada jaringan atau organ ekskresi (Hutagalung, 1991). Sifat toksis pada krom dapat mengakibatkan terhambatnya pertumbuhan, timbulnya penyakit seperti kerusakan pada ginjal bahkan pada konsentrasi lanjut dapat menyebabkan kematian (Okamura & Isao, 1994). Akumulasi krom yang tinggi akan sangat membahayakan bagi lingkungan dan makhluk hidup. Kromium dapat terakumulasi dalam organ-organ tubuh dan bersifat kronis yang akhirnya mengakibatkan kematian organisme akuatik. Hal ini disebabkan logam berat dapat mengganggu kerja organ vital dalam tubuh organisme air termasuk ikan dan dapat menembus membran sel (Buerge & Huge, 1997).
Hasil penelitian OECD (1998) menunjukkan bahwa umur larva yang sesuai untuk uji toksisitas pada ikan mas (Cyprinus carpio) adalah lebih dari 4 hari,
4
sedangkan umur larva yang sesuai untuk uji toksisitas pada zebrafish (Brachydanio rerio) adalah 8-10 hari. Tolok ukur kuantitatif yang paling sering digunakan untuk menyatakan kisaran konsentrasi letal atau toksik adalah konsentrasi letal tengah (LC50). LC50 dilakukan untuk menentukan dosis yang dapat membunuh 50% ikan uji
(Lu, 1995).
Menurut Sutisna & Ratno (1995), fase larva ada dua macam yaitu pro-larva dan post-larva.
a. Fase Pro-larva
Fase pro-larva pada ikan ditandai dengan masih adanya yolk dalam kantong. Dalam hal ini larva belum membutuhkan pakan tambahan dari luar tubuh. Menurut Effendie (1997), ciri-ciri pro-larva adalah masih adanya yolk, tubuh transparan dengan beberapa pigmen yang belum diketahui fungsinya, serta adanya sirip dada dan sirip ekor (caudal fin) walaupun bentuknya belum sempurna. Mulut dan rahang belum berkembang dan ususnya masih merupakan tabung halus, pada saat tersebut pakan didapatkan dari yolk yang belum habis terserap.
b. Fase Post-larva
Fase post-larva pada ikan ditandai dengan menyusut sisa kantong yolk dan timbul lipatan sirip serta mulai terlihat pigmen. Pada fase ini larva sudah memerlukan pakan tambahan dari luar tubuhnya. Menurut Effendie (1997), masa post-larva ikan ialah masa mulai habisnya yolk sampai terbentuk organ-organ baru atau penyempurnaan organ-organ yang ada. Pada akhir fase tersebut, secara morfologi larva telah memiliki bentuk tubuh hampir seperti induknya. Pada tahap ini sirip punggung (dorsal fin) sudah mulai dapat dibedakan, sudah ada garis bentuk sirip ekor (caudal fin) dan larva ikan sudah lebih aktif berenang.
Menurut Laurila & Ismo (1990), perkembangan larva dimulai dari telur menetas sampai dengan terbentuknya organ-organ lengkap. Tahapan perkembangan larva pada ikan Carassius carassius L. dimulai saat telur menetas, diikuti habisnya yolk, tumbuhnya duri pada sirip ekor (caudal fin), terbentuknya sirip-sirip secara jelas dan menghilangnya lipatan sirip preanal. Leis & Denise (1983)dalamUsman et al. (2003), membagi perkembangan larva ikan kerapu atas 4 fase yaitu: (1) fase yolk sacyaitu mulai dari menetas hingga yolk habis, (2) fasepreflexionyaitu dimulai dari yolk habis terserap sampai terbentuk spina, (3) fase flexion yaitu dimulai dari terbentuknya spina, calon sirip ekor (caudal fin), perut dan punggung sampai
5
hilangnya spina, (4) fasepasca flexionyaitu dimulainya dari hilang atau tereduksinya spina sampai menjadi juvenil.
Larva ikan Carassius auratus L. pada umur antara 7-8 hari pasca menetas, sirip-sirip belum terdiferensiasi, ujung apikal sirip ekor (caudal fin) masih membulat. Pada umur antara 15-18 hari dengan panjang rata-rata 7,9 mm sirip ekor (caudal fin) bercagak, sirip punggung (dorsal fin) terdiferensiasi dan pigmentasi kulit banyak. Umur antara 22-23 hari pasca menetas memperlihatkan perkembangan sirip punggung (dorsal fin), sirip dubur (anal fin) sudah terdiferensiasi dan berduri, sementara sirip perut (abdominal fin) terbentuk tunas (Battle, 1940).
Salah satu larva ikan model yang dapat digunakan untuk penelitian ini adalah larva ikan Nilem (Osteochilus hasselti). Ikan ini merupakan ikan asli Indonesia yang hidup di sungai-sungai dan rawa-rawa. Ciri-ciri ikan nilem hampir serupa dengan ikan mas. Ciri-cirinya yaitu pada sudut mulutnya terdapat dua pasang sungut peraba. Sirip punggung disokong oleh tiga jari-jari keras dan 12-18 jari-jari lunak. Sirip ekor bercagak, bentuknya simetris. Sirip dubur disokong oleh 3 jari keras dan 5 jari-jari lunak. Sirip perut disokong oleh 1 jari-jari-jari-jari keras dan 13-15 jari-jari-jari-jari lunak. Jumlah sisik-sisik gurat sisi ada 33-36 keping, bentuk tubuh ikan nilem agak memanjang dan pipih, ujung mulut runcing dengan moncong terlipat, serta bintik hitam besar pada ekornya. Ikan ini termasuk kelompok omnivora, makanannya berupa ganggang penempel yang disebut epifit dan perifit (Djuhanda, 1981). Ikan Nilem hidup di air tawar. Jenis ikan ini menyukai air yang jernih atau daerah-daerah pegunungan. Nilem mudah berkembang biak dan tumbuh di perairan bebas seperti rawa-rawa dan danau-danau (Djuhanda, 1991).