• Tidak ada hasil yang ditemukan

Studi Perbandingan Antara Gable Frame Metode Baja Taper Dengan Metode Baja Konvensional Ditinjau Dari Segi Kekuatan Dan Biaya

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Studi Perbandingan Antara Gable Frame Metode Baja Taper Dengan Metode Baja Konvensional Ditinjau Dari Segi Kekuatan Dan Biaya"

Copied!
82
0
0

Teks penuh

(1)

6 BAB II

TEORI DASAR

II.1. Pengenalan Struktur Baja II.1.1. Struktur baja

Baja merupakan logam yang berunsurkan Fe dan C, yang umumnya digunakan dalam bentuk plat, lembaran, pipa, dan batang. Kekerasan dan keuletan baja secara garis besar dikelompokkan sebagai berikut :

1. Baja Karbon rendah (0.08-0.35 % C)

digunakan untuk kawat, baja profil, skrup, ulir baut. 2. Baja Karbon sedang (0.35-0.55 % C)

digunakan untuk rel kereta api, as roda gigi dan lain-lain. 3. Baja Karbon tinggi (0.55-1.77 % C)

digunakan untuk perkakas potong, gergaji, pisau dan bagian yang tahan gesekan.

II.1.2. Kelebihan dan kelemahan baja sebagai material konstruksi Berikut keunggulan baja sebagai material konstruksi :

1. Kekuatan Tinggi ( High Strength )

Baja struktural umumnya mempunyai daya tarikan (tensile strength) antara 400 s/d 900 Mpa. Hal ini sangat berguna untuk dipakai pada struktur – struktur yang memiliki bentang panjang dan struktur pada tanah lunak.

2. Keseragaman ( Uniformity )

Sifat – sifat baja tidak berubah karena waktu. Hampir seluruh bagian baja memiliki sifat – sifat yang sama sehingga menjamin kekuatannya.

3. Elastisitas ( Elasticity )

Baja mendekati perilaku seperti asumsi yang direncanakan oleh perencana, karena mengikuti hukum Hooke, walaupun telah mencapai tegangan yang cukup tinggi. Modulus elastisitasnya sama untuk tarik dan tekan.

4. Daktalitas ( Ductility )

Daktalitas adalah kemampuan struktur atau komponennya untuk melakukan deformasi inelastik bolak – balik berulang diluar batas titik leleh pertama, sambil mempertahankan sejumlah besar kemampuan daya dukung bebannya. Manfaat daktalitas ini bagi kinerja struktural adalah pada saat baja mengalami

(2)

pembebanan yang melebihi kekuatannya, baja tidak langsung hancur tetapi akan meregang sampai batas daktalitas. Demikian juga pada beban siklik, daktalitas yang tinggi menyebabkan baja dapat menyerap energi yang besar. 5. Kuat Patah / Rekah ( Fracture Toughness )

Baja dalah material yang sangat ulet sehingga dapat memikul beban yang berulang – ulang. Komponen struktur baja yang dibebani sampai mengalami deformasi besar, masih mampu menahan gaya – gaya yang cukup besar tanpa mengalami fraktur. Keuletan ini dibutuhkan jika terjadi konsentrasi tegangan walaupun tegangan yang masih dibawah batas yang diizinkan. Pada bahan yang tidak memiliki keuletan yang tinggi, keruntuhan dapat terjadi pada tegangan yang rendah dan akan bersifat getas ( keruntuhan secara langsung ).

Berikut kelemahan baja sebagai material konstruksi : 1. Biaya Perawatan ( Maintenance Cost )

Baja bisa berkarat karena berhubungan dengan air dan udara. Oleh sebab itu, baja harus dicat secara berkala

2. Biaya Penahan Api ( Fire Proofing Cost )

Kekuatan baja dapat berkurang drastis pada temperatur tinggi. 3. Kelelahan ( Fatigue )

Kelelahan pada baja tidak selalu dimulai dengan yielding ( leleh ) atau deformasi yang sangat besar, tetapi dapat juga disebabkan beban siklik ataupun pembebanan berulang – ulang dalam jangka waktu yang lama. Kejadian ini sering terjadi dengan adanya konsentrasi tegangan karena adanya lubang.

4. Rekah Kerapuhan

Struktur baja ada kalanya tiba – tiba runtuh tanpa menunjukkan tanda – tanda deformasi yang membesar. Kegagalan ini sangat berbahaya dan harus dihindari. Berbeda dengan kelelahan, rekah kerapuhan disebabkan oleh beban statik.

II.1.3. Kategori Baja Struktural

(3)

8 Tabel II.1.31 Mutu Baja berdasarkan SNI 03 – 1729 – 2002 ; RSNI T-03-2005

Tipe Kuat leleh min (Mpa) Kuat Tarik min

Tabel II.1.3.2 Mutu baja berdasarkan ASTM (2004)

(4)

A709 – Gr.E t≤ 100 415 550~690

A709 – Gr.36 t≤ 75 250 400~550 20

A709 – Gr.50 345 450 18

A852 485 620~760 19

A871 – Gr.60 415 520 16

A871 – Gr.65 450 550 15

A913 – Gr.50 345 450 18

A913 – Gr.60 415 520 16

A913 – Gr.65 450 550 15

A913 – Gr.70 485 620 14

A992 345~450 450 18

A1026 – Gr.50 345~450 450 18

A1026 – Gr.65 450~550 550 15

A1043 – Gr.36 250 400~550 20

A1043 – Gr.50 345 450 18

A1077 – Gr.36

t≤ 100 250 400~550 20

A1077 – Gr.50 345 450 18

Tabel II.1.3.3 Spesifikasi baja bangunan menurut ASTM ASTM Keterangan

A36 Carbon Structural Steel

Catatan : jenis baja karbon yang umum dipakai untuk konstruksi A242 High–Strength Low - Alloy Structural Steel

Catatan : baja tahan cuaca (weathering steels), bisa dipakai tanpa pengecatan.

A441 High–Strength Low - Alloy Structural Manganese Vanadium Steel Catatan : sudah tidak berlaku dan telah digantikan A572.

(5)

10 Catatan : baja mutu tinggi untuk struktur jembatan dengan las

A529 High–Strength Carbon-Manganese Steel of Structural Quality Catatan : jenis baja karbon- mangan untuk konstruksi

A572 High-Strength Low-Alloy Columbium-Vanadium Steel

Catatan : baja mutu tinggi dengan lima grade mutu (42,50,55,60, dan 65), adapun grade 50 setara dengan baja A992 yang lebih baru.

A588 High-Strength Low-Alloy Structural Steel, up to 50 ksi (345 Moa) Minimum Yield Point, with Atmospheric Corrosion Resistance.

Catatan : baja tahan cuaca (weathering steels), bisa dipakai tanpa pengecatan A633 Normalized High-Strength Low-Alloy Structural Steel Plates

Catatan : cocok untuk temperature rendah , -50°F [-45°C] ke atas.

A709 Carbon and High-Strength Low-Alloy Structural Steel Shapes, Plates, and Bars and Quenched-and-Tempered Alloy Structural Steel Plates for Bridges Catatan : baja pelat untuk struktur jembatan.

A852 Quenched and Tempered Low-Alloy Structural Steel Plate

Catatan : baja mutu tinggi untuk struktur jembatan dengan las, punya ketahanan korosi yang tinggi, tetapi tahan 2010 ditarik lagi karena tidak popular.

A871 High-Strength Low-Alloy Structural Steel Plate With Atmospheric Corrosion Resistance

Catatan : baja tahan korosi untuk pipa atau tiang (pole)

A913 High-Strength Low-Alloy Steel Shapes of Structural Quality, Produced by Quenching and Self-Tempering Process (QST)

Catatan : baja mutu tinggi mutu grade 50, 60, 65, dan 70, karena karakter proses pembuatannya maka tipe ini tidak boleh dipanasi lebih dari 600°C A992 Steel for Structural Shapes for Use in Building Framing

Catatan : spesifikasi baru (1998) profil baja hot-rolled setara A572 Gr.50 untuk bangunan tahan gempa dimana ratio Fy / Fu ≤ 0.8 untuk menjamin daktailitasnya. Populer digunakan sebagai pengganti baja karbon A36 (Zpruba dan Grubb 2003)

(6)

A1026 Alloy Steel Structural Shapes for Use in Building Framing

Catatan : ratio Fy / Fu ≤ 0.8 tidak boleh galvanis dan dipanasi lebih dari 400°C

A1043 Structural Steel with Low Yield to Tensile Ratio for Use in Buildings Catatan : material baru untuk struktur bangunan dengan ratio Fy / Fu ≤ 0.8 A1077 Standard Specification for Structural Steel with Improved Yield Strength at

High Temperature for Use in Buildings

Catatan : spesifikasi baru (2012), material baja tahan api (fire resistant steel) untuk struktur bangunan gedung tanpa perlu tambahan lapisan fire proofing, karena mempunyai kuat leleh yang ditingkatkan pada temperature tinggi

Tabel II.1.3.4. Mutu baja profil canal panas menurut JIS G3101 – 2004 (Jepang)

Tipe

Tabel II.1.3.5.. Material baja standar JIS (Jepang) – JASS 6 (1996)

(7)

12

II.1.4 Jenis – Jenis Baja Struktural yang Umum Digunakan

Adapun jenis – jenis baja struktural yang umum digunakan adalah baja canai panas (hot-rolled ) dan baja canai dingin (cold formed) atau sering disebut juga dipasaran sebagai baja ringan. Adanya design-code yang dibedakan menunjukkan bahwa karakter kedua macam baja tersebut berbeda, yang menyebabkan ahli di bidang struktur baja canai panas belum tentu juga ahli di bidang struktur baja canai dingin.

Standar perencanaan yang ada selama ini adalah untuk baja canai panas saja. Adapun standar perencanaan baja canai dingin, baru diterbikan yaitu SNI 7971 : 2013 (Struktur baja canai dingin) yang mengacu standar dari Australia.

Pemakaian baja canai dingin berbeda dibanding baja canai panas. Meskipun ringan, tetapi perilaku bahan dan keruntuhannya relative kompleks, sehingga risiko gagal lebih tinggi apalagi jika dipakai untuk konfigurasi struktur yang tidak biasa.

(8)

Tentang hal itu, sudah banyak Negara yang memahami sehingga dibuat peraturan perencanaan yang berbeda.

II.1.5. Hubungan Antara Tegangan dan Regangan pada Konstruksi Baja Dalam peraturan AISC 2005, perhitungan rumus kekuatan nominal (Rn)

menggunakan tegangan leleh (Fy) maupun tegangan ultimate (Fu), pemilihan tegangan baik itu Fy maupun Fu didasarkan atas kemampuan struktur mempertahankan stabilitasnya setelah beban maksimum diberikan.

Gambar II.1.5. Grafik hubungan tegangan regangan [Salmon, Charles G, STEEL STRUCTURE)

Grafik diatas menunjukkan hasil pengukuran hubungan tegangan - regangan dalam percobaan tarik baja. Tipikal grafik tersebut hanya dapat diperoleh pada percobaan tarik baja lunak (mild).

(9)

14 mengalami tegangan tidak melewati titik A dan apabila dilepaskan, maka baja masih dapat kembali ke bentuk atau panjang semula.

Ketika beban diperbesar sehingga tegangan baja sampai ke titik B, maka hubungan tegangan regangan tidak linear lagi. Titik B merupakan titik leleh (Fy) dari baja yang ditandai dengan tegangan yang relatif tidak naik dan regangan yang meningkat. Daerah antara titik A dan titik C merupakan daerah plastis, dimana jika suatu batang baja mengalami tegangan sampai melewati titik A ( masuk kedalam daerah A s/d C ) dan beban dilepaskan, maka baja tidak akan kembali ke panjang semula. Dengan demikian terdapat regangan residu yang disebabkan karena inelastis dari bahan tersebut.

Apabila beban diperbesar lagi, maka yang terjadi adalah regangan akan terus meningkat tanpa disertai tegangan. Titik C disebut dengan pengerasan regangan, pada titik C terdapat kenaikan tegangan yang disebabkan karena regangan bahan sudah hampir mencapai maksimum. Bahan masih mampu menahan tegangan tambahan sampai pada titik D, yang disebut dengan tegangan ultimate (Fu). Daerah anatara titik C dan titik D merupakan daerah strain hardening yang ditandai dengan peningkatan tegangan dan regangan setelah melewati batas plastis.

Jika beban ditambah samapi melewati batas tegangan ultimate, maka baja akan mengalami kegagalan struktural yang ditandai dengan penurunan tegangan dan regangan yang terus bertambah sampai benda uji putus.

II.1.6. Pengaruh suhu terhadap material baja

Bangunan konstruksi baja memang tidak terbakar jika terkena panas api, tetapi akibat suhu tinggi dapat mengalami penurunan kekuatan secara drastic, sehingga sampai-sampai tidak kuat memikul berat sendiri yang dapat mengakibatkan keruntuhan bangunan total.

(10)

Gambar II.1.6. Pengaruh suhu pada baja (Brockenbrough – Merrit 2011)

(11)

16 dibanding kekuatan pada suhu ruang. Padahal factor keamanan struktur baja umumnya 1.5, yang berarti hanya mengakomodasi penurunan sampai 66% nya saja. Wajar jika terjadi kebakaran pada bangunan baja dan terjadi peningkatan suhu sampai 646°C, system struktur baja akan mengalami keruntuhan karenan tidak kuat menahan beban bahkan dari berat sendirinya saja.

Pemberian fireproofing agar kenaikan temperatur ekstrim saat kebakaran dapat dihambat. Fungsinya tentu tidak membuat agar bangunan menjadi tahan api, tetapi minimal memerlukan waktu yang lama untuk terjadinya kenaikan temperature, sehingga ada waktu pemadaman api, tanpa struktur mengalami kerusakan yang berarti. Pemberian fireproof juga baik untuk melindungin baja dari risiko terjadinya korosi.

II.1.7. Kelelahan baja akibat beban monotonic dan siklik

Beban monotonic adalah pembebanan tetap, yang berlangsung terus menerus di dalam kondisi yang tetap. Beban siklik atau cyclic load adalah pembebanan berulang, seperti tekanan berulang yang teratur pada suatu bagian, yang kadang-kadang menyebabkan fraktur kelelahan (fatigue).

Deformasi selama pembebanan siklik akan tergantung pada kepadatan tanah, besarnya dan durasi beban siklik, dan jumlah pembalikan tegangan geser. Jika pembalikan tegangan (stress reversal) terjadi, tegangan geser yang efektif bisa mencapai nol, maka pencairan (likuifaksi) siklik dapat terjadi. Jika pembalikan stres tidak terjadi, tegangan efektif nol tidak mungkin terjadi, maka mobilitas siklik terjadi. Istilah pembebanan siklik menyarankan sistem pembebanan yang menunjukkan tingkat keteraturan baik dalam besarnya dan frekuensinya. Sistem pembebanan yang cenderung siklik dalam arti ini memang ditemui dalam praktek. banyak mesin dan bahkan struktur lepas pantai, misalnya, menyalurkan tekanan (stress) cukup ritmis ke pondasi. Namun, dalam kasus tersebut membatasi lingkup pekerjaan untuk membatasi volume tidak hanya dibenarkan tetapi yang lebih penting juga akan gagal untuk mengidentifikasi banyak fitur – fitur yang membedakan perilaku statis dari perilaku siklik. Sedangkan kejadian dari beberapa fenomena, seperti resonansi pondasi, tergantung pada frekuensi dan keteraturan beban yang diterapkan, keteraturan pembebanan memiliki konsekuensi kecil dalam banyak kasus.

(12)

Menurut Egor Popov (1979), akibat beban siklik (bolak balik) yang terus menerus akan terjadi penurunan kapasitas daya tekan batang yang bisa mencapai 50% dari kapasitas awalnya bahkan cukup hanya dengan sebuah beban siklik kuat saja.

Gambar II.1.7. Hubungan load-displacement akibat beban monotonic (kiri) dan beban siklik (kanan)

Pada grafik Kumazawa dan Ohkubo diatas diperoleh bahwa kurva evelope akibat beban monotonic tidak mengalami perubahan yang signifikan bila dibandingkan dengan kurva envelope pada hubungan beban perpindahan akibat beban siklik.

II.2. Metode Perencanaan Konstruksi Baja

II.2.1. Metode ASD ( Allowable Stress Design )

Metode ASD (Allowable Stress Design) merupakan metode yang paling konvensional dalam perencanaan konstruksi. Metode ini menggunakan beban servis sebagai beban yang harus dapat ditahan oleh material konstruksi. Agar konstruksi aman maka harus direncanakan bentuk dan kekuatan bahan yang mampu menahan beban tersebut. Tegangan maksimum yang diizinkan terjadi pada suatu konstruksi saat beban servis bekerja harus lebih kecil atau sama dengan tegangan leleh (σy). Untuk memastikan bahwa tegangan yang terjadi tidak melebihi tegangan leleh (σy) maka diberikan faktor keamanan terhadap tegangan izin yang boleh terjadi.

(13)

18 sehingga boleh dipastikan bahwa tegangan maksimum yang diizinkan terjadi adalah 2/3 Fy yang berarti juga akan terletak pada daerah elastis. Perencanaan memakai ASD akan memberikan penampang yang lebih konvensional.

II.2.2. Metode LRFD ( Load Resistance Factor Design )

Metode LRFD ( Load Resistance Factor Design ) lebih mementingkan perilaku bahan atau penampang pada saat terjadinya keruntuhan. Seperti kita ketahui bahwa suatu bahan (khususnya baja) tidak akan segera runtuh ketika tegangan yang terjadi melebihi tegangan leleh (Fy), namun akan terjadi regangan plastis pada bahan tersebut. Apabila tegangan yang tejadi sudah sangat besar maka akan terjadi strain hardening yang mengakibatkan terjadinya peningkatan tegangan sampai ke tegangan runtuh / tegangan ultimate (FU). Pada saat tegangan ultimate dilampaui maka akan terjadi keruntuhan bahan. Metode LRFD umumnya menggunakan perhitungan dengan menggunakan tegangan ultimate (FU) menjadi tegangan izin, namun tidak semua perhitungan metode LRFD menggunakan tegangan ultimate (FU) ada juga perhitungan yang menggunakan tegangan leleh (Fy), terutama pada saat menghitung deformasi struktur yang mengakibatkan ketidakstabilan struktur tersebut.

Metode LRFD menggunakan beban terfaktor sebagai beban maksimum pada saat terjadi keruntuhan. Beban servis akan dikalikan dengan faktor amplikasi yang tentunya lebih besar dari 1 dan selanjutnya akan menjadi beban terfaktor. Selain itu kekuatan nominal (kekuatan yang dapat ditahan bahan) akan diberikan faktor resistansi juga sebagai faktor reduksi akibat dari ketidak sempurnanya pelaksanaan dilapangan maupun di pabrik.

Dimana : Ru = Kuat perlu

= Faktor tahanan = Kuat rencana

(14)

Kuat perlu, Ru adalah nilai maksimum dari berbagai kombinasi beban terfaktor yang dicari dengan bantuaan analisis struktur. Faktor beban di atas disiapkan untuk analisis struktur cara elastic. Dapat dilihat bahwa untuk penampang yang sama hasil kekuatan nominal yang akan didapat dari metode LRFD akan lebih tinggi dari metode ASD.

Jika alat analisis struktur dilengkapi opsi memperhitungkan efek P-Δ (non liniear geometri), maka ketentuan analisis stabilitas strukstur selain memakai cara ELM (Effective Length Method ) juga dapat memakai cara DAM (Direct Analysis Method).

Tabel II.2.2 Faktor tahanan Ø (AISC 2010)

Komponen struktur Faktor tahanan Ø

Lentur 0,9

- Kombinasi geser dan tarik - Baut tumpu

- Las tumpul penetrasi penuh

- Las sudut/tumpul penetrasi sebagain - Las pengisi

(15)

20 Perbedaan cara lama, ELM dengan cara DAM, adalah pada analisis stabilitas struktur global. Cara ELM, stabilitas struktur yang terkalibrasi hanya pada elemen tunggal (local), dan itu juga dipakai bersama dengan cara DAM. Pada kondisi tersebut, keduanya sama.

Ketika struktur tidak terdiri dari elemen tunggal, amak tinjauan stabilitas perlu dilakukan secara menyeluruh (global). Pada kondisi ini baru terjadi perbedaan antara kedua cara tersebut. Cara ELM mengandalkan analisa struktur elastic, baik yang linier atau non linear, khususnya efek P-Δ (nonlinear geometri). Jika tersedia opsi menghitung efek P-Δ, maka factor pembesaran momemn untuk Ru tidak diperlukan. Tetapi karena masalah stabilitas adalah tidak sekedar efek P-Δ saja, maka antara stabilitas struktur (global) dan stabilitas elemen (local) yang telah dikalibrasi perlu dibuatkan penyesuaian, yaitu dengan factor K yang sesuai.

II.3. Pembebanan

Beban adalah gaya luar yang bekerja pada suatu struktur. Pada umumnya penentuan besarnya beban hanya merupakan perkiraan. Meskipun beban yang bekerja pada suatu lokasi dari struktur dapat diketahui secara pasti, namun distribusi beban dari elemen ke elemen lainnya umumnya memerlukan asumsi dan pendekatan. Jenis beban yang biasa diperhitungkan pada perencanaan struktur bangunan antara lain sebagai berikut:

II.3.1 Beban Mati

Menurut (peraturan pembebanan Indonesia,2013), beban mati adalah berat seluruh bahan konstruksi bangunan gedung yang terpasang, termasuk dinding, lantai, atap, plafon, tangga, dinding partisi tetap, finishing, klading gedung dan komponen arsitektural dan structural lainnya serta peralatan layan terpasang lain termasuk berat crane.

Dalam memperhitungkan beban mati (dead load), biasanya berat elemen struktur disebut berat sendiri (self weight), berat bagian non-struktur disebut beban mati tambahan (superimposed dead load).

(16)

Tabel II.3.1. berat bangunan berdasarkan SNI 03-1727-1989-F

No Konstruksi Berat Satuan

1 Baja 7850 Kg/m3

2 Beton Bertulang 2400 Kg/m3

3 Beton 2200 Kg/m3

4 Dinding pas. Bata ½ bt 250 Kg/m3

5 Dinding pas. Bata 1 bt 450 Kg/m3

6 Curtain wall + rangka 60 Kg/m3

7 Cladding + rangka 20 Kg/m3

8 Pasangan Batu kali 2200 Kg/m3

9 Finishing lantai (tegel) 2200 Kg/m3

10 Plafon + penggantung 20 Kg/m3

11 Mortar 2200 Kg/m3

12 Tanah, Pasir 1700 Kg/m3

13 Air 1000 Kg/m3

14 Kayu 900 Kg/m3

15 Aspal 1400 Kg/m3

16 Instalasi Plumbing 50 Kg/m3

II.3.2 Beban Hidup

(17)

22 Tabel II.3.2Beban hidup menurut kegunaan Berdasarkan SNI 1727;2013 Hunian atau penggunaan Merata (kN/m2) Terpusat

(kN) Apartemen (lihat rumah tinggal)

Sistem lantai akses Gudang persenjataan dan ruang latihan 7,18a

Ruang pertemuan

Kursi tetap (terikat di lantai) Lobi

Kursi jenis dapat dipindahkan Panggung siding Jalur untuk askses pemeliharaan 1,92 Koridor

Ruang makan dan restoran 4,79a

Hunian (lihat rumah tinggal)

Ruang mesin elevator (pada daerah 50mm x 50mm 1,33 Konstruksi pelat lantai finishing ringan (pada area

25mm x 25mm)

0,89

(18)

Jalur penyelamatan terhadap kebakaran Hunian satu keluarga saja

4,79 1,92

Tangga permanen Lihat pasal 4.5

Garasi/Parkir

Mobil penumpang saja Truk dan bus

192a,b,c

Susunan tangga, rel pengaman dan batang pegangan Lihat pasal 4.5

Helipad 2,87de tidak boleh

direduksi Rumah sakit :

Ruang operasi, laboratorium Ruang pasien

Koridor diatas lantai pertama

2,87 Hotel (lihat rumah tinggal)

Perpustakaan Ruang baca

Ruang penyimpanan

Koridor diatas lantai pertama

2,87 beban yang lebih berat berdasarkan pada perkiraan hunian

Lobi dan koridor lantai pertama Kantor

Koridor diatas lantai pertama

(19)

24

 Bangsal dansa & Ruang dansa Gimnasium

Tempat menonton baik terbuka/tertutup

Stadium & tribun/arena dengan tempat duduk tetap

3,59a

Hunian(satu keluarga dan dua keluarga) Loteng yang tidak dapat didiami tanpa gudang Loteng yang tidak dapat didiami dengan gudang Loteng yang dapat didiami dan ruang tidur Semua ruang kecuali tangga dan balkon Semua hunian rumah tinggal lainnya

Ruang pribadi dan koridor yang melayani mereka Ruang publica dan koridor yang melayani mereka

0,48l

Atap datar, berbubung, dan lengkung Atap digunakan untuk taman atap Atap yang digunakan untuk tujuan lain

Atap yang digunakan untuk hunian lainnya Awning dan kalnopi

Konstruksi pabrik yang didukung oleh struktur rangka kaku ringan

Rangka tumpu layar penutup

(20)

Semua konstruksi lainnya

Komponen struktur atap utama, yang terhubung langsung dengan pekerjaan lantai

Titik panel tunggal dari batang bawah rangka atap atau setiap titik sepanjang komponen struktur utama yang mendukung atap diatas pabrik, gudang dan perbaikan garasi

Semua komponen struktur atap utama lainnya

Semua permukaan atap dengan beban pekerja pemeliharaan

Koridor diatas lantai pertama Koridor lantai pertama Bak-bak/scuttles, rusuk untuk atap kaca dan

langit-langit yang dapat diakses

0,89

Pinggir jalan untuk pejalan kaki, jalan lintas kendaraan, dan lahan/jalan untuk truk-truk

11,97a,p 35,6q

Tangga dan jalan keluar

RUmah tinggal untuk satu dan dua keluarga saja

4,79 1,92

300r 300r Gudang diatas langit-langit

(21)

26

Penghalang kendaraan Lihat pasal 4.5

Susuran jalan dan panggung yang ditinggikan (selain jalan keluar)

2,87

Pekarangan dan teras, jalur pejalan kaki 4,79a

II.3.3 Beban Angin

Beban angin adalah beban yang terjadi akibat adanya perbedaan selisih tekanan udara. Semakin tinggi suatu bangunan, maka selisih tekanan udara akan semakin besar sehingga beban angin yang terjadi akan semakin besar juga.

Dalam merencanakan beban angin yang terjadi, berikut parameter yang harus diperhatikan menurut SNI 1727;2013, yaitu :

1. Kecepatan angin dasar, V ( Pasal 26.5) 2. Faktor arah angin, Kd (Pasal 26.6) 3. Kategori eksposur (Pasal 26.7) 4. Faktor topografi, Kzt (Pasal 26.8) 5. Faktor efek-tiupan angin (Pasal 26.9) 6. Klasifikasi ketertutupan (Pasl 26.10)

7. Koefisien tekanan internal (GCpi) (Pasal 26.11) Keterangan :

1. Kecepatan angin dasar, V

Kecepatan angin dasar untuk tiap daerah berbeda. Untuk Negara Indonesia, kecepatan angin maksimal yang mungkin terjadi adalah 7meter/detik. 2. Faktor arah angin, Kd

Tabel II.3.3.1Faktor arah angin, Kd

Tipe Struktur Faktor Arah Angin (Kd) Bangunan Gedung

Sistem Penahan Beban Angin Utama 0,85

(22)

Komponen dan Klading Bangunan Gedung 0,85

Atap Lengkung 0,85

Cerobong asap, Tangki, dan Struktur yang sama Segi empat Dinding pejal berdiri bebas dan papan reklame pejal

berdiri bebas dan papan reklame terikat 0,85 Papan reklame terbuka dan kerangka kisi 0,85 Rangka batang menara

Segitiga, segiempat, persegi pnajang Penampang lainnya

0,85 0,95

3. Kategori eksposur

Eksposur B : untuk bangunan gedung dengan tinggi atap ≤ 9,1 meter Eksposur C : untuk bangunan yang bukan eksposur B dan D

Eksposur D : untuk kekasaran permukaan tanah yang lebih besar dari 20x tinggi bangunan.

4. Faktor topografi

Tabel II.3.3.2Faktor topografi

Parameter untuk peningkatan kecepatan di atas bukit dan tebing Bentuk bukit K1 / (H/Lh)

ɣ

μ

Eksposur Sisi angin

(23)

28

Tebing 2 dimensi 0,75 0,85 0,95 2,5 1,5 4

Bukit simetris 3

dimensi 0,95 1,05 1,15 4 1,5 1,5

Kzt = ( 1 + K1 K2 K3)2

Kzt = 1 jika semua kondisi tidak memenuhi

5. Faktor efek tiupan angin

Faktor efek-tiupan angin untuk bangunan kaku diambil sebesar 0,85. 6. Klasifikasi ketertutupan

 Bangunan terbuka

 Bangunan tertutup sebagian  Bangunan tertutup

7. Koefisien tekanan internal (GCpi)

Tabel II.3.3.3. Nilai koefisien tekanan internal (GCpi)

Klasifikasi Ketertutupan (GCpi)

Bangunan gedung terbuka 0,00

Bangunan gedung tertutup sebagian +0,55 -0,55

Bangunan gedung tertutup +0,18

-0,18

8. Pengaruh angin terhadap bentuk atap

Gambar II.3.3 Pengaruh gaya angin pada portal

(24)

Dimana :

G = Faktor tiupan angin

Cp = Koefisien tekanan eksternal qz = tekanan velositas pada ketinggian z qh = tekanan velositas pada ketinggian h V = kecepatan angin

qz = tekanan velositas pada ketinggian z qh = tekanan velositas pada ketinggian h V = kecepatan angin

qz = 0,613 Kz Kzt Kd V2 N/m2 qh = 0,613 Kh Kzt Kd V2 N/m2

Kz = 2,01 ( ) ; Kh = 2,01 ( )

Gambar II.5.3.4Penentuan nilai α dan zg berdasarkan kategori eksposur

II.3.4. Kombinasi beban

Kombinasi beban mengacu pada SNI Pembebanan gedung 1727:2013 ; pasal 2.3.2. (metode LRFD).

1. 1,4D

2. 1,2D + 1,6L + 0,5 (Lr atau S atau R)

3. 1,2D + 1,6 (Lr atau S atau R) + (L atau 0,5W) 4. 1,2D + 1,0W + L + 0,5 (Lr atau S atau R) 5. 1,2 D + 1,0E + L + 0,2S

(25)

30 7. 0,9D + 1,0E

II.4. Kondisi batas baja

Stabilitas portal baja dapat terpenuhi apabila kondisi batas strukturnya dapat menahan gaya yang terjadi. Kriteria perencanaan memastikan bahwa kondisi batas harus kecil kemungkinan terlampaui, caranya dengan memilih kombinasi gaya, factor tahanan dan nilai ketahanan yang tidak mungkin terlampaui berdasarkan criteria perencanaan yang ada. Ada dua jenis kondisi batas yang diterapkan pada struktur, yaitu :

 Konfisi batas kekuatan (ultimate strength) yang menetapkan besarnya keamanan terhadap kondisi beban ekstrim selama masa pakai struktur.

 Kondisi batas layan yang menetapkan batasan-batasan agar struktur dapat berfungsi sesuai yang direncanakan.

Fokus perencanaan struktur berbasis AISC – LRFD adalah kondisi batas kekuatan (limit states of strength) yang menjamin keselamatan public (manusia dan barang miliknya).

Kondisi batas kekuatan yang umum digunakan adalah :

 Terjadinya leleh baja sampai terbentuknya sendi plastis, dan mekanisme plastisnya, ketidakstabilan elemen dan struktur

 Tekuk torsi lateral, tekuk local

 Fraktur tarik atau adanya kemungkinan retak akibat fatig  Ketidak-stabilan elemen atau struktur

Alternating plasticity  Deformasi yang berlebihan Kondisi batas layan umumnya meliputi :

 Lendutan atau drift elastic yang berlebihan  Struktur yang bergetar melebihi ambang tertentu  Lendutan permanen

(26)

II.5. Batang Tekan

Batang tekan ditujukan untuk komponen struktur yang memikul beban tekan sentries tepat pada titik berat penampang, atau kolom dengan gaya aksial saja. Namun, umumnya pastilah terdapat eksentrisitas, oleh ketidak lurusan batang, atau oleh ketidak tepatan pembebanan, juga kekangan dari tumpuannya yang menimbulkan momen. Tetapi jika momen relative kecil sehingga dapat diabaikan, maka prosedur desain berikut dapat digunakan.

Parameter material Fy dan Fu akan menentukan kuat batang tarik, tetapi pada batang tekan hanya Fy yang penting, Fu tidak pernah tercapai. Selain material, maka batang tekan juga dipengaruhi oleh parameter lain, yaitu konfigurasi bentuk fisik atau geometri. Parameter geometri terjadi dari :

- Luas penampang (A)

- Pengaruh bentuk penampang terhadap kekauan lentur (Imin)

- Panjang batang dan kondisi pertambatan atau tumpuan, yang diwakili oleh panjang efektif (KL)

Ketiganya dapat diringkas lagi menjadi satu parameter tunggal, yaitu rasio

kelangsingan batang (KL/rmin), dimana rmin = adalah radius girasi pada arah tekuk.

(27)

32 Gambar II.5. Fenomena Tekuk (White et.al 1976)

Gambar II.5. memperlihatkan tekuk atau buckling pada kolom langsing. Keruntuhan tekuk umumnya terjadi pada kondisi tegangan yang relative rendah, dibawah tegangan leleh. Itu berarti keruntuhannya masih dalam kondisi elastic. Fenomena tekuk tidak terdeteksi oleh analisa struktur elastic-linier, diperlukan analisa struktur non-linier. Keruntuhan tekuk bersifat mendadak, khususnya jenis bifurcation, tanpa didahului oleh lendutuan yang besar. Jadi perlu dihindari.

Secara visual, tekuk dapat dibedakan menjadi dua, yaitu tekuk local pada elemen penampang dan tekuk global pada kolom atau batang tekan secara menyeluruh. Jika elemen-elemen profil penampang relatif langsing dan panjang kolomnya relatif pendek, dapat terjadi tekuk local. Sebaliknya, jika elemen-elemen profil penampang relatif tebal dan batang kolomnya langsing maka akan terjadi tekuk global yang sifatnya menyeluruh.

Perilaku tekuk dibedakan, yaitu tekuk local dan tekuk global. Itu terjadi karena tempat terjadinya tekuk dan solusi penyelesaian untuk kedua fenomena itu ternyata berbeda. Penyelesaian masalah tekuk local lebih kompleks dibanding tekuk global, yang terakhir ini sudah dirumuskan oleh Euler (1757) dan menjadi pengetahuan dasar perancangan kolom untuk berbagai design-code di dunia. Jika terjadi tekuk local,

(28)

selain penyelesaiannya tidak sederhana, maka pemakaian penampangnya akan tidak efisien karena terjadi pada kondisi beban elastic (belum leleh).

Agar strukturnya optimal, maka risiko tekuk local harus dihindari. Untuk itu dibuat klasifikasi untuk memisahkan penampang tidak langsing dan langsing. Itu dilakukan dengan cara mengecauasi rasio lebar –tebal (b/t) tiap-tiap elemen dari penampang. Elemen-elemen dipilah berdasarkan kondisi kekangannya, apakah kedua sisinya tersambung kepada elemen lain, atau masih ada sisi bebas. Nilai b/t setiap elemen profil penampang selanjutnya dibandingkan dengan nilai batas rasio b/t dari tabel 5.1.

(29)

34 Tabel II.5. Klasifikasi elemen pada batang tekan aksial (Table B4.1a AISC 2010)

Tabel II.5. mengklasifikasikan profil penampang batang sebagai tidak langsing atau langsing. Struktur efisien jika penampangnya tidak langsing, karena tidak ada risiko tekuk local. Penyelesaian AISC 2010 untuk batang tekan dengan klasifikasi langsing, juga sekedar memberikan factor reduksi, sehingga beban kritis terhadap tekuk local tidak tercapai terlebih dahulu. Jadi pada dasarnya strategi perencanaan batang tekan AISC 2010 adalah didasarkan pada tekuk global.

(30)

II.5.1. Teori tekuk (buckling)

Perilaku tekuk perlu dipelajari karena menjadi salah satu penyebab keruntuhan batang tekan. Meskipun umumnya telah belajar banyak tentang analisa struktur, sehingga dapat menghitung gaya atau momen internal batang, serta reaksi struktur yang dibebani, tetapi itu tidak menjamin memahami perilaku tekuk tersebut. Analisa struktur yang diberikan pada level sarjanan umumnya analisis ebrbasis elastic liner, yang belum bisa memperhitungkan masalah tekuk.

Tekuk sendiri hanya terjadi pada elemen langsing dan menerima gaya tekan. Pada material beton yang relative lemah dibanding bahan baja menyebabkan dimensi komponen strukturnya relative besar (tidak langsing). Oleh sebab itu pada perencanaan kolom beton, jarang yang memperhitungkan tekuk, cukup diatasi dengan diagram interaksi penampang berdasarkan prinsip kompatibilitas tegangan regangan pada material penampangnya.

Untuk mengenal tentang tekuk, ada baiknya meilihat foto perilaku penggaris plastik yang ditekan sebagai berikut.

Gambar II.5.1.1. Perilaku tekuk elemen langsing (Ji-Bell 2008)

(31)

36 Gambar II.5.1.2. Percobaan daya dukung kolom model (Ji-Bell 2008)

Kolom pinned-pineed di Gambar II.5.1.2. kiri dianggap sebagai kolom acuan, perhatikan kelengkungan pada sekitar tumpuan. Di sebelah kanannya, kolom fixed-fixed dapat memikul beban lebih besar, jika tumpuan bawah dikembalikan lagi jadi pinned, beban berkurang. Perilaku ekstrim, adalah kolom paling kanan, dimana di bagian atas dianggap fixed (tidak bisa berotasi) dan dibagian bawah ujungnya bisa bertranslasi.

Beban yang dipikul turun drastis, paling kecil dibanding kolom lain. Daya dukung kolom disini adalah kemampuan menerima beban sebelum kehilangan kekuatan akibat tekuk. Jumlah besi pemberat terpasang pada model kolom, menunjukkan besarnya daya dukung tersebut. Kolom fixed-fixed daya dukung terbesar, dan yang terkecil adalah kolom fixed-free.

Selanjutnya ditinjau kolom langsing dengan tumpuan sendi-sendi, yaitu kolom kiri Gambar II.5.1.2. Dalam hal ini ditinjau kolom ideal, batangnya lurus sempurna, berat sendiri diabaikan kecuali beban aksial P yang dipikul, panjang kolom L, modulus elastic bahan E, penampang dengan luas A dan momemn inersia I. Semua parameter tersebut dapat terwakili pada model struktur sebagai berikut.

(32)

Gambar II.5.1.3. Model kolom ideal dari Euler

Teori kolom ideal pada model diatas, dirumuskan oleh Leonhard Euler tahun 1744. Rumus Euler menghubungkan parameter geometri (L,A,I) ; material (E), dan beban aksial tekan P sesaat sebelum tekuk (Pcr). Rumus tekuk kolom yang terkenal itu adalah :

Pcr = 2 2

)

(

KL

E

II.5.2. Panjang efektif

(33)

38 Gambar II.5.2. Konsep panjang efektif dan daya dukung kolom

Dengan cara panjang efektif kolom, maka rumus tekuk Euler dapat dipakai untuk berbagai kondisi kolom, dengan format berikut :

Pcr = 2 2

)

(

KL

E

Karena rumus diatas hanya valid digunakan untuk memprediksi kolom pada kondisi elastic, yaitu kondisi tegangan sebelum nmencapai batas proposionalnya, maka setiap kali diapakai perlu dievaluasi terlebih dahulu terhadap kondisi tegangannya. Oleh sebabab itu bentuk rumus dalam format tegangan kritis memudahkan melihat validitas pemakainnya. Format yang dimaksud adalah

cr

 = PAcrA(KL)2  Pcr

2 2

) (

r KLE

Dimana :

A

I

r

atau “radius girasi penampang”, tergantung sumbu penampang yang

ditinjaunya. Pada format tegangan kritis muncul paramenter KL/r atau “rasio kelangsingan kolom”. Ini parameter penting bagi insinyur karena berkorelasi langsung

(34)

dengan daya dukung kolom. Sejak itu, untuk menjelaskan perilaku kuat tekan kolom maka digunakan variable rasio kelangsingan KL/r.

Perhitungan komponen struktur tekan haruslah memenuhi :

< 200 dengan :

K = Faktor panjang efektif

L = panjang tanpa dibreising lateral dari komponen struktur R = radius girasi

II.5.3. Pengaruh bentuk penampang terhadap tekuk

Batang tekan pendek tidak mengalami tekuk, jika dibebani aksial tekan tanpa eksentrisitas, tegangan bertambah dan dapat mencapai kondisi leleh, batang memendek. Perilakunya seperti batang tarik, kekuatannya tergantung luas penampangnya, bentuk tidak berpengaruh. Beda dengan batang tekan langsing, jika dibebani yang sama, sebelum leleh bisa mencapai tekuk (buckling), yaitu adanya perpindahan lateral, seperti efek lentur balok, yang besar pada kondisi beban konstan. Terhadap tekuk, yang berpengaruh adalah luas dan momemn inersia penampang. Keduanya bersama panjang batang disebut factor kelangsingan batang, atau KL/rmin

yang diperoleh dari

A KL

in/ Im

Konstruksi baja beda dengan beton, bentuk penampangnya lebih bervariasi. Tidak hanya parameter momen inersia saja yang berpengaruh, parameter geometri terkait torsi juga menentukan.

(35)

40 Gambar II.5.3. Bentuk penampang dan perilaku tekuk kolom

Parameter kelangsingan penampang, yaitu radius girasi atau rmin = (Im ) A

in

adalah tinjauan terhadap tekuk lentur. Memang, tekuk jenis ini yang umum dijumpai, dan hampir semua penampang kolom bisa mengalaminya. Meskipun demikian, jika kekakuan torsi penampang relative kecil, tekuk torsi akan terjadi terlebih dahulu. Parameter kelangsingan terhadap tekuk lentur, yaitu radius girasi rmin merupakan cara mudah membayangkan kapasitas tekuk. Cara yang sama dapat digunakan juga untuk menghitung radius girasi ekivalen terhadap tekuk torsi, yaitu rt sebagai berikut

Rt = ( 0,04 ( )2) pS

w I

KL J C

IpS adalah momen inersia polar terhadap pusat geser. Pada penampang simetri ganda, pusat berat berhimpit dengan pusat geser, sehingga IpS = IpG = Ix + Iy.Dengan membandingkan nilai rt terhadap rx atau ry maka r yang terkecil akan menunjukkan fenomena tekuk mana yang terjadi lebih dahulu, tekuk torsi atau tekuk lentur, jika dipakai penamapng kolom simetri ganda.

(36)

II.5.4. Kuat Tekan Nominal

Secara umum, kuat tekan nominal suatu batang ditentukan oleh persamaan berikut ini.

Pu = φPn Dengan :

= Gaya tekan terfaktor. ø = Faktor reduksi kekuatan, 0.9

= Kuat tekan nominal komponen struktur.

Tekuk global ditentukan oleh kelangsingan elemen penampang dan bentuknya. Ada tiga perilaku tekuk, yaitu tekuk lentur, tekuk tori, dan tekuk torsi lentur. Adapun tekuk global atau local tergantung kalsifikasi penampang. Jika penamapnanya tidak langsing maka tidak terjadi tekuk local, dan sebaliknya penampang langsing berisiko tekuk local terlebih dahulu. Karena tekuk terjadi pada kondisi elastic, sebelum leleh maka agar efisien, perlu dipilihi kolom penampang tidak langsing.

II.5.4.1. Tekuk lentur

Tekuk lentur yang dimaksud adalah fenomena tekuk global pada penampang dengan klasifikasi elemen tidak langsing. Beban kritis yang menyebabkan tekuk tersebut telah dirumuskan oleh Euler. Sampai saat ini rumus tersebut tetap dijadikan dasar menentukan kuat nominal batang tekan (Pn). Agar berkesesuaian dengan cara perencanaan batang tarik, maka luas penampang utuh atau gross (Ag) dijadikan konstanta tetap, adapun variabelnya adalah tegangan kritis (Fcr), yang dituliskan dalam format berikut.

Pn = Fcr Ag

(37)

42

Nb : Tegangan kritis kolom pada daerah kelangsingan ini banyak dipengaruhi oleh : tegangan residu dan konfisi imperfection atau tidak kelurusan dari batang. Fenomena keruntuhannya disebut tekuk inelastic. Rumus Euler tidak bisa memprediksi tekuk jenis ini, sehingga dikembangkan teori Double Modulus (Considere) dan Modulus Tangent (Engesser) tahun 1889 secara terpisah. Itupun hasilnya masih perlu dikoreksi lagi berdasarkan data hasil uji empiris yang diolah secara statistic.

b. Bila > 4,71

Fe = tegangan tekuk Euler (elastic) sebagai berikut

Fe = memperhitungakan imperfection. Koreksi yang diberikan didasarkan hasil kalibrasi dengan data uji kolom secara empiris.

Adanya kondisi batas tekuk inelastis atau elastic mempengaruhi efisien tidaknya pemakaian mutu baja. Jika kelangsingan kolom lebih besar dari 4,71

y

F

E

maka mutu baja tidak berpengaruh. Hal itu bisa dilihat dari perbandingan kurva tegangan kritis (Fcr) dari berbagai mutu baja ASTM terhadap kelangsingan kolom.

(38)

Gambar II.5.4.1. Perbandingan kurva Fcr berbagai mutu baja ASTM terhadap KL/r

II.5.4.2. Tekuk Torsi dan Tekuk Lentur-Torsi

Fenomena tekuk, selain lentur ada lagi yaitu puntir (tekuk torsi) atau gabungan keduanya yaitu tekuk lentur-torsi. Biasa terjadi pada penampang dengan kekakuan torsi yang relative kecil atau pusat geser dan pusat beratnya tidak berhimpit.

Penampang dengan kekakuan torsi relative kecil, yaitu profil built-up simetri ganda bentuk I atau X, atau penampang simetri tunggal dengan pusat geser dan pusat berat tidak berhimpit, missal profil siku atau tee, harus dihitung kapasitasnya terhadap tekuk torsi atau tekuk lentur torsi. Jika kapasitasnya lebih kecil dibanding kapasitas tekuk lentur, maka perilaku tekuk torsi atau lentur-torsi yang akan terjadi lebih dahulu (menentukan).

Kapasitas tekan nominal penampang kolom tidak langsing terhadap tekuk torsi dan lentur torsi adalah sebagai berikut.

(39)

44 Pada profil dengan simetri ganda, tegangan kritis, Fcr dihitung berdasarkan syarat berikut :

E = Modulus elasticitas baja (200000 MPa) G = Modulus elastisitas geser baja (77200 Mpa) J = konstanta torsi (mm4)

KzL = factor panjang efektif untuk tekuk torsi Cw = konstanta pilin/warping (mm6)

IxIy = momen inersia terhadap sumbu utama , mm4

Berikut parameter penentuan tekuk yang terjadi merupakan tekuk inelastic atau elastic.

Istilah balok lentur umumnya merujuk struktur yang ditempatkan secara horizontal, dan dibebani pada arah vertical, tegak lurusnya. Untuk analisa struktur dapat dibuat model dengan elemen garis, dimana dianggap perilaku lentur yang dominan.

(40)

Jika pembebanan relatif kecil, mekanisme lentur tidak mengubah konfigurasi bentuk balok secara permanen. Jadi ketiga bebannya hilang, balok akan kembali pada kondisinya yang semula. Jika itu terjadi maka perilaku yang dimaksud disebut elastic.

Mekanisme lentur bukanlah satu-satunya mekanisme pada suatu balok yang dibebani. Untuk konfigurasi tertentu, mekanisme lain yang tidak mengandalkan mekanisme lentur, bisa saja itu terjadi.

Gambar II.6.1. Dimensi balok dan perilakunya

Akibat perbedaan rasio bentang terhadap tinggi (L/h), maka perilakunya dalam memikul beban menjadi berbeda. Bentuk geometri balok biasa, beban dialihkan dengan mekanisme lentur sedangkan pada balok tinggi beban dialihkan menjadi diagonal gaya tekan (struc) di sisi tas, dan gaya tarik (ti) di sisi bawah tanpa terjadinya efek lentur.

(41)

46 Gambar II.6.2. Dimensi balok dan perilakunya

Struktur baja menggunakan produk hasil industry, yang terbatas dalam menentukan dimensi profulnya. Ini memang kelemahannya dibanding struktur beton yang relative bebas dalam menetapkan ukuran atau dimensi. Pada struktur beton, membuat balok (biasa) atau balok tinggi (deep-beam), tidaklah ditemukan kesulitan yang berarti. Padahal di struktur baja, dimensi penampang umumnya adalah tertentu, mengikuti standardiasi yang telah ditetapkan, yaitu agar produksinya efisien. Jika memakai profil baja hot-rolled maka kemungkinannya sangat kecil menghasilkan struktur yang berperilaku sebagai balok tinggi. Kalaupun ada hanya mungkin jika digunakan profil I built-up .

II.6.1. Pengaruh Kelangsingan Elemen II.6.1.1. Tekuk local

Umum diketahui bahwa penampang balok baja terdiri dari profil terbuka dan elemennya relative tipis. Kelangsingan dapat diukur dari rasio lebar-tebal. Jika terjadi tegangan tekan, elemen berisiiko mengalami keruntuhan tekuk local (local buckling).

Gambar II.6.1.1.1. lokal buckling pada balok (a) sayap tertekan (b) badan tertekan.

(a) (b)

(42)

Gambar II.6.1.1.2.. Tekuk local pada pelat badan dan sayap

Sisi lainnya, analisa struktur untuk mencari gaya internal struktur, umumnya hanya memakai permodelan elemen garis, sehingga kelangsingan elemen profil tidak terdeteksi. Tekuk local tentu tidak bisa diabaikan. Keberadaaannya mengurangi kinerja struktur, bahkan bisa memicu kerusakan yang lebih besar. Bagaimanapun juga telah disadari bahwa analisis struktur memprediksi tekuk local tersebut adalah tidak mudah (kompleks).

Gambar II.6.1.1.3. Tekuk local pada penampang langsing (Maljaars 2008)

Simulai numeric dengan FEM pakai elemen shell memang bisa memberikan solusi yang efektif. Tetapi prosedurnya tidak cukup praktis jika digunakan dalam proses perencanaan rutin yang biasa. Untuk mengatasi masalah agar cara perencanaan mudah dan praktis maka dipilih cara klasifikasi penampang balok uang didasarkan pada rasio b/t atau lebar terhadap tebal elemen-elemen penyusun profil balok sebagai tahap dasar.

II.6.1.2. Tekuk torsi lateral

(43)

48 Oleh sebab it, tekuk torsi lateral harus selalu diperhitungkan dalam menentukan kuat lentur nominal suatu balok. Sebuah balok yang memiliki kelangsingan arah lateral (samping) yang kecil akan dapat mengalai tekuk torsi lateral dan lentur secara bersamaan ketika balok tersebut memikul beban. Akibat beban balok akan bertranslasi ke bawah dan akibat tekuk lateral batang akan menekuk ke samping diikuti dengan memuntirnya penampang, hal ini dapat dilihat pada gambar II.6.

Akibat tekuk torsi lateral, penampang pada tengah bentang selain mengalamin penurunan (u) juga berdeformasi lateral (v) serta berotasi (φ).

Gambar II.6.1.2.1 Balok yang mengalami lentur dan tekuk lateral

Telah dipahami, struktur kantilever dengan profil UNP (Channel) yang dibebani pada pusat berat (cg) mengalami punter. Untuk menghindari, beban dipindah ke pusat geser (S).

Gambar II.6.1.2.2 Perilaku struktur kantilever dengan profil UNP

(44)

Profil I simetri ganda, pusat berat berhimpit dengan pusat geser, sehingga tidak seperti profil UNP, tidak mengalami puntir. Fakta menunjukkan ternyata kantilever profil I dapat mengalami rotasi (puntir) dan bertranslasi arah lateral seperti pada gambar Gambar II.6.1.2.3.

Gambar II.6.1.2.3 Fenomena tekuk lateral pada kantilever (Trahair et.al 2008)

Kondisi bahwa penamapng balok I dapat berotasi sekaligus bertranslasi lateral ini disebut tekuk torsi lateral (lateral torsional buckling), atau istilah singkatnya LTB. Ini terjadi jika kekakuan lateral penampangnya relative kecil dibanding pertambatan lateral yang tersedia. Sehingga seperti halnya batang tekan dengan Pcr maka balok dalam ini juga mempunyai Mcr (momen kritis) sebagai factor pemicunya. Dengan kata lain, selama beban yang diberikan tidak melebih Mcr, maka fenomena LTB tidak terjadi. Ini tentu berbeda dari profil UNP yang langsung terpuntir saat dibebani.

(45)

50 Gambar II.6.1.2.4 Pertambatan lateral pada jembatan

(sumber www.shortspansteelbridges.org)

Gambar II.6.1.2.4 memperlihatkan pertambatan lateral (bracing) yang ditempatkan tegak lurus balok, berupa struktur rangka (truss) yang menghubungkan tiap-tiap balok. Dengan adanya struktur truss tersebut, torsi yang timbul akan diubah dan dijadikan kopel gaya antar balok yang terhubung tadi, sehingga yang terjadi hanya momen lentur biasa. Balok tidak terpuntir lagi tetapi bertranslasi vertical, yang berarti tidak terjadi LTB. Jarak pertambatan lateral, Lb jika semakin pendek maka semakin kecil risiko terjadi LTB, tetapi konsekuensinya struktur menjadi semakin mahal. Mencari proporsi jarak L sehingga risiki LTB menjadi minimum tetapi tetap ekonomis adalah prinsip desain balok lentur.

Untuk mengetahui parameter yang mempengaruhi Mcr ditinjau balok penampang persegi dengan pertambatan lateral pada titik tumpuannya, jadi Lb = L. Balok diberi momen, pada tumpuannya secara simultan dan dengan arah saling berlawanan, sehingga dihasilkan momen lentur konstan disepanjang bentang. Jika penampangnya ditinjau secara detail, maka pada sisi atas akan timbul tegangan tekan dan sisi bawah tegangan tarik.

Ketika beban M ditambahkan terus sampai Mcr saat itu terjadilah tekuk torsi lateral, balok mengalami deformasi arah lateral dan berotasi cukup besar secara tiba-tiba (Gambar II.6.1.2.5), sehingga struktur menjadi tidak stabil dan memicu keruntuhan total.

(46)

Gambar II.6.1.2.5 Stabilitas balok lentur

Momen kritis yang menimbulkan LTB dapat diungkapkan sebagai berikut :

Mcr = EIyGJ Dimana :

E = modulus selasis material baja, 200000 MPa Iy = momen inersia pada arah sumbu lemah

G = modulus geser elastisitas material, 80000 MPa J = konstanta torsi penampang (tidak ada warping). L = bentang balok tanpa pertambatan lateral

(47)

52 orientasi balok dibebani pada arah sumbu kuatnya. Secara umum momen inersia yang berpengaruh tentunya momen inersia tegak lurus arah pembebanan.

Jadi jika penampang balok orientasi pembebanannya diarah sumbu lemah, maka parameter Iy akan digantikan dengan parameter Ix, sehingga Mcr meningkat dan risiko terjadi LTB menjadi kecil. Akhirnya yang menentukan adalah kuat material (yielding), bukan stabilitas geometri (LTB).

Gambar II.6.1.2.6 berisi nilai J (konstanta torsi) beberapa penampang solid dan tertutup, kecuali pipa terbelah yang masuk kategori penamapng terbuka. Pipa terbelah tesebut untuk menunjukkan pada yang dimaksud dengan penampang tertutup dan penampang terbuka.

Gambar II.6.1.2.6. Konstanta torsi(J) penampang tertutup dan pipa terbelah

Meskipun awal mula sama, misal profil pipa, tetapi jika kemudian dibelah maka perilakunya berubah signifikan terhadap momen torsi. Maklum semula adalah penampang tertutup, yang mempunyai kekakuan torsi yang besar, ketika berubah menjadi penampang terbuka maka kekakuan torsinya menjadi relative kecil.

(48)

II.6.1.3. Bentuk momen dan factor Cb

Diagram momen untuk menghitung momen kritis terhadap tekuk torsi lateral (LTB) dianggap konstan linier sepanjang Lb (Gambar II.6.1.3). Jika diagram momen tidak konstan atau momen gradient, sehingga luasan momennya lebih kecil dibanding sebelumnya, maka tentunya momen kritis dapat ditingkatkan. Untuk itu rumus LRB sebelumnya masih dapat dipakai, cukup dimofikasi dengan memberikan factor Cb > 1. Nilainya dihitung sebgai berikut.

Cb =

Mmaks = momen maksimum dalam segmen tanpa dibreising (Nmm)

MA = momen pada titik seperempat dari segmen tanpa dibreising (Nmm) MB = momen pada sumbu segmen ( ) tanpa dibreising (Nmm)

Mc = momen pada titik tiga perempat segmen tanpa dibreising (Nmm) Sistem pertambatan lateral yang dipasang tentu saja bersifat “setempat” bukan menerus.

Contoh numeriknya.

(49)

54 Untuk balok dengan momen konstan (uniform) dan katilever, maka nilai Cb = 1.0. Ini adalah nilai yang konservatif (aman).

Nb : perencanaan dengan program computer (Misalnya SAP2000) dapat menghitung otomatis nilai Cb > 1. Padahal baloknya adalah kantilever, sehingga hasilnya tidak sesuai ketentuan. Hal ini tentu perlu menjadi perhatian karena pada dasarnya proses analisis dan desain pada program computer adalah berbeda algoritmanya,

II.6.1.4. Rasio lebal-tebal dan klasifikasi

Klasifikasi profil adalah tahapan awal proses perencanaan struktur baja. Cara tersebut dipakai untuk antisipasi terhadap bahaya (local buckling) dari elemen-elemen penyusun profil. Cara ini adalah langkah sederhana yang efektif, dimana rasio terhadap tebal (b/t) menunjukkan kelangsingan elemen pelat sayap dan badan (web), yang kemudian akan dievaluasi berdasarkan kondisi kekangannya (restraint).

Elemen-elemen penyusun profil diklasifikasi sebagai : kompak, non-kompak, atau langsing (ref. Table B4.1b AISC 2010). Klasifikasi elemen pelat penyusun profil balok sangat penting karena menentukan langkah hitungan dan formulasi yang dipakai

(50)
(51)

56 Tabel II.6.1.4. disalin dari Tabel B4.1b (AISC 2010), dan dipakai untuk menetapkan klasifikasi elemen profil balok, apakah kompak, non-kompak, atau langsing. Profil balok disebut kompak jika b/t dari keseluruhan elemen (pelat sayap dan pelat badan) memenuhi klasifikasi kompak. Balok profil kompak mampu memikul momen sampai serat terluarnya mencapai tegangan leleh, ketika diberi momen lagi dapat berotasi lagi, sekaligus mendistribusi tegangan ke serat penampang bagian dalam, sampai semuanya plastis (Mp). Kapasitas rotasi inelastic balok kompak minimal 3 kali kapasitas rotasi elastic sebelum terjadi tekuk local. Balok struktur daktail untuk bangunan tahan gempa, kapasitas rotasinya bahkan dipersyaratkan lebih besar, yaitu 7 atau lebih (Chen-Lui 2005).

Profil kompak merupakan konfigurasi geometri penampang yang paling efisien dalam memanfaatkan material. Itu alasan mengapa hampir sebagian besar profil WF hot-rolled buatan pabrik, masuk pada katefori profil kompak. Karena kemampuan profil mencapai momen plastis, perilaku keruntuhannya bersifat daktail, sehingga menjadi syarat penting bangunan tahan gempa. Meskipun begitu, untuk penampang balok kompak yang khusus digunakan sebagai system rangka daktail (penampang plastis), maka kriterianya lebih ketat, termasuk juga jarak pertambatan lateralnya (AISC 2010).

Penampang non-kompak mempunyai efisiensi satu tingkat lebih kecil dibanding penampang kompak dan ketika dibebani serat tepi terluarnya dapat mencapai tegangan leleh, meskipun demikian sebelum penampang plastis penuh terbentuk, profil akan mengalami tekuk local terlebih dahulu. Oleh karena itu kapasitas momen yang dapat diandalkan pada penampang ini adalah My < Mp.

Penampang langsing adalah konfigurasi profil yang tidak efisien ditinjau dari segi pemakaian material. Apalagi jika yang dipakai adalah bahan baja bermutu tinggi. Jadi saat dibebani sebelum tegangan mencapai kondisi leleh telah terjadi tekuk local terlebih dahulu. Oleh karena keruntuhannya ditentukan oleh tekuk, yang sifatnya tidak daktail, maka penampang langsing tidak disarankan untuk digunakan sebagai elemen struktur utama, apalagi untuk bangunan tahan gempa. Kapasitas momen balok adalah M < My.

Jadi klasifikasi penampang balok diperlukan untuk membedakan perilakunya dalam memikul momen sampai kondisi inelastisnya. Hal ini dapat dilihat berdasarkan kurva hubungan momen dan kelengkungan (curvature) pada gambar II.6.1.4

(52)

Gambar II.6.1.4. Perilaku penampang berdasarkan klasifikasi (Kulak – Gronding 2002)

II.6.2 Pertambatan Lateral

Pertambatan lateral atau lateral bracing adalah kondisi geometri, bisa berupa elemen atau struktur khusus tambahan, bisa elemen lain yang terhubung pada balok, yang berfungsi mencegah balok mengalami tekuk torsi lateral (LTB). Agar bekerja sebagai lateral bracing, struktur yang dimaksud harus dapat memegang komponen balok yang mengalami tekan, yang berpotensi LTB. Oleh karena adanya lateral bracing tersebut, balok tertahan terhadap terjadinya translasi lateral dan rotasi, menjelang momen krisits.

Tujuan ditambahkannya pertambatan lateral akan berhubungan dengan nilai Lb, dimana nilai Lb akan semakin kecil tergantung dari jarak pertambatan lateral. Tegangan lentur ijin balok-balok dengan dukungan lateral dipasang di tempat-tempat tertentu bergantung kepada panjang bagian yang tak terdukung dan gradien momen. Semakin panjang bagian tak terdukung semakin rendah tegangan ijinnya, begitu pula kapasitas momennya.

Gambar II.6.2.1. Balok dengan pertambatan lateral. Pertambatan Lateral

Pertambatan Lateral x

(53)

58 Sistem pertambatan lateral bisa setempat atau menerus. Untuk yang setempat, minimal harus dipasang apda titik-titik tumpuannya. Adapun Lb adalah jarak antar pertambatan lateral setempat sedangkan L adalah bentang balok.

Gambar II.6.2.2. Kondisi pertambatan lateral pada balok

Garis putus-putus menunjukkan mode tekuk lateral yang bisa saja terjadi meskipun telah dipasang pertambatan. Pada kondisi lainnya, dimana komponen balok yang mengalami desak, yaitu elemen sayap dapat tertanam/terpegang baik oleh lantai pelat beton (ada shear conncector) atau pelat baja (di las), maka dapat dianggap pertamabtan lateral yang ada adalah menerus di sepanjang balok, yang berarti tidak ada risiko untuk terjadi tekuk. Kondisi itu dianggap mencukupi sebgai lateral bracing khususnya jika baloknya mempunyati rasio pelat badan yang kaku, untuk balok tinggi maka tetap dierlukan strukrur bracing yang khusus.

Untuk menjadi lateral bracing maka yang penting adalah kemampuannya mencegah terjadinya perpindahan lateral dan sekaligus perputaran pada balok. Selain itu, struktur bracing juga dapat dimanfaatkkan sebagai strukru diaphragm, untuk mendistribusikan beban berlebih pada satu balok ke balok yang lain disampingnya. Hanya saja jika beban berlebih itu ternyata ada disemua balok, maka tentu saja struktur diaphragam tidak berperan banyak dalam meningkatkan keamanan balok. Efektif tidaknya lateral bracing untuk menjadi distributor beban berlebih (lokal) tentu tergantung juga dari konfigurasi atau kekakuan tipe bracing yang dipasang.

(54)

Gambar II.6.2.3. Sistem bracing pada jembatan baja melengkung

Kontruksi baja profil I lengkung horizontal keberadaan bracing yang dipasang tegak lurus di interval tertentu di sepanjang balok, tidak sekedar berfungsi sebagai lateral bracing atau diaphragm untuk pembebanan berlebih saja, tetapi menjadi kesatuan dengan struktur balok itu sendiri. Tanpa bracing, balok tidak bisa melengkung secara aman. Itu terjadi karena bentuk geometri lengkung memicu momen torsi, baik akibat berat sendirinya maupun beban hidup rencana. Oleh karena itu dalam analisis strukturnya, elemen balok dan elemen bracing harus dimodelkan sekaligus, sebagai struktur grid (2D) atau rangka ruang (3D).

Oleh sebab itu, dalam memilihi sistem struktur lateral bracing harus mengetahui juga perilaku struktur yang dianalisis. Maklum jika fungsinya sebgai lateral bracing saja, maka keberadaannya tidak perlu sampai dimodelkan pada analisis struktur. Bagaimanapun juga lateral bracing bukanlah bagian sistem pemikul beban, tetapi lebih kepada stabilitas balok. Jika memakai analisa struktur elasitk linier baisa, yang tidak bisa mengakses stabilitas struktur, maka memasukkan sistem bracing pada pemodelan strukurnya adalah pekerjaan sia-sia karenan pasti tidak ada pengaruhnya.

(55)

60 Untuk menentukan apakah balok telah tertambat dengan baik atau tidak, tidak mudah ditetapkan secara awam. Sepintas, bisa saja terlihat ada komponen yang memegang balok, tetapi ternyata kategorinya tidak tertambat (bisa berisiko LTB) sehingga perlu dipasangan lateral bracing.

Gambar II.6.2.4.. Kategori penampang yang dianggap tanpa lateral bracing

Untuk antisipasi adanya LTB, lateral bracing harus dipasang pada sayap kritis, yaitu elemen sayap pada profil balok yang menerima tegangan tekan. Maklum gaya tekan adalah penyebab adanya LTB, jika tidak ada gaya tekan, tidak ada bahaya LTB. Berbagai strategi pemasangan lateral bracing yang disarankan AS 4100-1998.

Gambar II.6.2.5 Prinsip dasar pemasangan lateral bracing (AS 4100-1998)

(56)

Pemilihan sistem struktur untuk lateral bracing banyak mengacu pengalaman empiris yang telah sukses sebelumnya. Jadi mempelajari sistem yang ada akan sangat membantu menemukan sistem yang paling sesuai.

Gambar II.6.2.6. Macam-macam pertambatan lateral balok (Gorenc et.al 2005)

(57)

62 sebagai pertambatan lateral harus dipasang relatif rapat. Bandingkan dengan tinggi profil-I built up nya.

Gambar II.6.2.7. Pertambatan Lateral pada konstruksi jembatan

Jika sistem rangka hanya dipakai sebagai pertambatan lateral saja, tentu dalam analisis struktur tidak ada gaya-gaya yang dipikul. Maklum fungsinya hanya untuk stabilitas struktur utama, profil I built up. Meskipun begitu, untuk desain tidak boleh sembarangan. Menurut AS 41000-1998 sistem rangka perlu direncanakan terhadap gaya transversal sebesal 0.025 dari gaya tekan terbesar elemen yang ditambat. Tetapi, jika pemasangan sistem rangka begitu rapat, maka volume bajanya tentuk tidak kalah dibanding volume baja struktur utama. Jadi kalah dipakai sekedar untuk stabilitas saja (bukan pemikul utama), maka dengan volume yang besar tersebut tentu suatu saat akan dipertanyakan efisiensinya.

Agar efisien, perencana dapat memanfaatkannya sebagai struktur pemikul lantai. Perhatikan balok memanjang kecil yang ditopang sistem rangka, yang akan bersama-sama balok utam memikul lantai. Keuntungannya, bentang struktur lantai menjadi pendek, sehingga tentunya lebih ringan. Jadi sistem rangka yang diapsang tidak sekedar pertambatan lateral saja, tetapi sistem strukturnya itu sendiri. Jadi sistem tersebut relatif efisien.

(58)

II.6.3. Kuat lentur nominal

Dari hasil klasifikasi berdasarkna rasio lebal-tebal elemen profil balok lentur, yaitu sayap dan badan pada tabel II.6.1.4, selanjutnya dapat dipilih prosedur perencanaan LRFD yang sesuai, menurut tabel II.6.3.1.

(59)

64 Tabel II.6.3.2. Batas kelangsingan elemen badan penampang menurut SNI 1729 ;

2015 (table b4.1a)

Untuk perencanaan balok lentur dengan profil IWF, baik yang simetri ganda ataupun tunggal, dengan berbagai variasi rasio lebar-tebal elemen-elemen penyusun profil maka langkah-langkah perencanaan lengkap dapat dirangkai berdasarkan prosedur berikut ini.

(60)

Gambar II.6.3.1. Prosedur perencanaan balok lentur dengan profil IWF

(61)

66 Mu = Øb Mn

Dimana :

Mu = kuat lentur perlu atau momen maksimum hasil kombinasi beban sesuai ketentuan LRFD

Øb = factor ketahanan lentur, sebesari 0,9

Mn = kuat lentur nominal balok ditinjadu terhadap ebrbagai kondisi batas (material atau gometri) sesuai prosedur.

Ketentuan ini tidak memasukkan pengaruh fatique (kelelahan). Jika hal itu cukup dominan, perencanaan harus memperhitungkan tegangan terhadap beban kerja dan tegangan maksimum yang diijinkan adalah 0,66 Fy. Itu perlu karena fatig adalah fenomenan pada pembebanan siklik (berulang) dimana frekuensi dan besarnya beban mengakibatkan fraktur (retak) pada kondisi tegangan rendah (elastic). Jika itu terjadi, maka akibat beban berulang retak dapat bertambah besar dan akhirnya memicu terjadinya kerusakan fatal.

II.6.3.1. Profil I kompak

Ketentuan berlaku untuk profil kompak, I simetri ganda dan UNP, dibebani pada sumbu kuat dan melalui pusat geser. Khusus profil UNP, jika beban tidak bisa berhimpit pada pusat geser, maka perlu ditambahkan bracing atau semacamnya untuk mencegah torsi.

Gambar II 6.3.1.1. Spesifikasi penamapang untuk prosedur AISC – F2

(62)

Pada ketentuan ini, kuat lentur nominal penampang, Mn diambil dari nilai terkecil yang dihasilkan kondisi batas, yang berupa material leleh (momen plastis), dan tekuk torsi lateral.

Kondisi-kondisi batas yang menentukan kuat lentur balok adalah :

1. Material leleh (Momen Plastis)

Distribusi tegangan pada sebuah penampang akibat momen lentur, diperlihatkan dalam gambar II.6.3.1.2. Pada daerah beban layan, penampang masih elastik (gambar II.6.3.1.2), kondisi elastik berlangsung hingga tegangan pada serat terluar mencapai kuat lelehnya ( ). Setelah mencapai tegangan leleh (εy), tegangan akan terus naik tanpa diikuti kenaikan tegangan.

Gambar II.6.3.1.2. Mekanisme Struktur Baja leleh

Ketika kuat leleh tercapai pada serat terluar (gambar 3.2), tahanan momen nominal sama dengan momen leleh Myx, dan besarnya adalah

= = .

p

M<Myx f<fy

p F=fy

M=Myx

p F=fy

Myx<M<Mp

p F=fy

(63)

68 Dan pada saat kondisi pada gambar II.6.3.1.2 tercapai, semua serat dalam penampang melampaui regangan lelehnya, dan dinamakan kondisi plastis. Tahanan momen nominal dalam kondisi ini dinamakan momen plastis Mp, dan besarnya :

Kuat batas leleh (Y = yielding) Mn = Mp = Fy Zx

Dimana :

Mn = kuat lentur nominal nalok, Nm

Mp = momen lentur penampang plastis, Nm

Fy = kuat leleh minimum, tergantung mutu baja, Mpa

Zx = modulus plastis penampang terhadap sumbu kuat, mm3

= .

Dengan :

A = Luas penampang, cm2 a = Tinggi efektif, mm (a = H – (2 . Cx))

Cx = Pusat berat arah sumbu x, cm

Cx

2

Cy

(64)

2. Tekuk torsi lateral

Alih-alih menghitung besarnya Mcr yang menyebabkan terjadinya tekuk torsi lateral (LTB) yang besarnya pasti tidak akan melebihi atau minimal sama dengan MP. Oleh karena itu, lebih baik dimulai dengan mencari Lp atau jarak pertambatan maksimum untuk menghindari tekuk torsi lateral (LTB) sebelum penampang plastis terbentuk sempurna, dapat dhitung sebagai berikut.

Lp = 1,76 ry y

F

E

Dimana :

E = modulus elastitis baja (200000 Mpa)

Fy = kuat leleh minimum tergantung mutu baja MPa ry = radius girasi balok terhadap sumbu lemah

Jika Lb adalah jarak pertambatan lateral yang dipasang pada balok maka untuk Lb ≤ Lp, diperoleh :

Mn = Mp

Profil kompak untuk balok pada kondisi ini, paling efisien dalam pemakaian bahan, khususnya profil hot-rolled yang mempunyai mutu sama, antara elemen badan dan elemen sayapnya.

Bila Lb > Lp, tetapi ingin tetap efisien, maka ditetapkan batasan Lr, yaitu jarak pertambatan lateral maksimum sedemikian sehingga serat terluar penampang (sayap) bisa mencapai leleh. Kondisinya seperti pada penampang non-kompak. Adanya residual stress atau tengagan sisa pada elemen terdesak akibat proses pembuatan ternayta berpengaruh dan akan mengurangi kapasitas penampang sehingga harus diperhitungkan. Besarnya tegangan sisa tersebut ternyata bervariasi tergantung prosesnya, pertaturan lama (AISC 1999 dan sebelumnya) menetapkan tegangan sisa sebesar 69 MPa (profil hot-rolled) dan 114 MPa (profil buatan dengan las).

(65)

70 adalah sebesar 0,7Fy (AISC 2005). Dengan demikian nilai Lr dapat dihitung sebagai berikut :

Sx = modulus elastic penampang terhadap sumbu kuat, mm3

h0 = jarak antara titik berat elemen sayap, mm

profil I atau WF simeteri ganda, c = 1

Untuk profil I, nilai

2

Nilai rts cukup akurat dengan hanya memperhitungkan radius girasi pelat sayap tekan

ditambah 1/6 tinggi pelat badan (web) sebagai berikut :

rts =

Jika Lb = Lr maka Mn = 0,7 Sx Fy, yaitu momen nominal efektif yang menyebabkan tegangan leleh pada serat desak terluar dari profil. Jika Lp ≤ Lb ≤ Lr, maka kapasistas lentur penampang nominal berbanding lurus, Mp ≥ Mn ≥ 0,7 Sx Fy dihitung dengan ineterpolasi linier sederhana sebagai berikut.

Gambar

Gambar II.1.6. Pengaruh suhu pada baja (Brockenbrough – Merrit 2011)
Tabel II.3.1. berat bangunan berdasarkan SNI 03-1727-1989-F
Gambar II.5.3.4 Penentuan nilai α dan zg berdasarkan kategori eksposur
Gambar II.5. Fenomena Tekuk (White et.al 1976)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Beton pada lantai jembatan ditumpu oleh gelagar induk dengan sayapnya dan untuk mengadakan beton dan baja diberi satu penghubung geser (shear connector). Dalam

Penulisan Tugas Akhir ini bertujuan untuk mendapatkan perbandingan biaya antara struktur beton dan struktur baja pada elemen balok kolom sebagai pertimbangan untuk

Komponen yang menggunakan elemen beton pracetak pada gedung apartemen ini adalah pelat lantai, tangga, balok, dan kolom.. Tidak memperhitungkan unsur arsitektur

Perbandingan Sistem Pelat Konvensional dan Precast half slab Half Slab Ditinjau Dari Segi Waktu dan Biaya Pada Proyek My Tower Apartement Surabaya.. Institut Teknologi Sepuluh