• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Proses Perencanaan dan Penganggaran Program Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) di Dinas Kesehatan Kabupaten Deli Serdang Tahun 2014

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Proses Perencanaan dan Penganggaran Program Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) di Dinas Kesehatan Kabupaten Deli Serdang Tahun 2014"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Penurunan Angka Kematian Ibu (AKI), Angka Kematian Bayi (AKB) dan

Angka Kematian Balita (AKABA) yang terintegrasi dalam upaya peningkatan

Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) merupakan salah satu agenda penting dalam

Millenium Development Goals (MDGs) yaitu pada tujuan keempat dan kelima.

Program KIA secara nasional merupakan salah satu prioritas program dalam

pembangunan kesehatan di Indonesia (Kemenkes RI, 2010).

Menurut Kementerian Kesehatan RI (2008), indikator pelaksanaan program

KIA dilihat dari Kunjungan Ibu Hamil Kala Keempat (K4), persentase cakupan

pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan atau bidan, persentase ibu hamil refsiko

tinggi yang dirujuk, persentase kunjungan neonatus, persentase kunjungan bayi dan

persentase kunjungan Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) yang ditangani. Hal ini

sejalan dengan target-target yang direkomendasikan dalam Standar Pelayanan

Minimal (SPM) bidang kesehatan.

Program KIA terfokus pada 3 (tiga) pesan kunci Making Pregnancy Safer

(MPS) atau Gerakan Nasional Kehamilan yang Aman, antara lain (1) setiap

persalinan ditolong oleh tenaga kesehatan terlatih, (2) setiap komplikasi obstetri dan

neonatal memperoleh pelayanan yang adekuat, dan (3) setiap wanita usia subur

(2)

komplikasi keguguran (Kemenkes RI, 2010). Keseluruhan pesan tersebut terjabarkan

dalam program KIA yang dimaksudkan untuk menurunkan AKI dan bayi baru lahir,

dan meningkatkan KIA.

Sampai tahun 2013, masalah KIA di Indonesia masih menjadi permasalahan

kesehatan dan masih menjadi kontribusi permasalahan kesehatan dalam mencapai

target MDGs. Secara terus-menerus Indonesia berkomitmen untuk mencapai tujuan

MDGs tersebut di tahun 2015 melalui upaya penurunan AKI dari 359 menjadi 102

per 100.000 kelahiran hidup dan AKB dari 32 menjadi 23 per 1.000 kelahiran hidup,

dan kematian balita dari 40 menjadi 32 per 1.000 kelahiran hidup.

Hasil analisis Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI)

menunjukkan bahwa lebih dari tiga perempat dari semua kematian balita terjadi

dalam tahun pertama kehidupan anak dan mayoritas kematian bayi terjadi pada

periode neonatus. Menurut data World Health Organization (WHO) 2003, AKB di

Indonesia sebagian besar terkait dengan faktor nutrisi yaitu sebesar 53%, beberapa

penyakit yang timbul akibat malnutrisi antara lain pneumonia (20%), diare (15%),

dan perinatal (23%) (Kemenkes RI, 2013).

Berbagai penyebab terjadinya kematian ibu di Indonesia, antara lain penyebab

langsung yaitu pendarahan, hipertensi/eklamsia dan infeksi, serta penyebab tidak

langsung yaitu terlambat dalam pemeriksaan kehamilan, terlambat dalam

memperoleh pelayanan persalinan dari tenaga kesehatan, dan terlambat sampai di

fasilitas kesehatan pada saat dalam keadaan darurat. Kematian ibu didominasi 90%

(3)

(24%), infeksi (11%), komplikasi puerperium (8%), abortus (5%), trauma obstetrik

(5%), emboli (5%), partus lama/macet (5%), dan lain-lain (11%) termasuk

didalamnya penyebab penyakit non obstetrik (Kemenkes RI, 2011c).

Kondisi objektif permasalahan kematian ibu, bayi dan balita di Indonesia

berimplikasi terhadap pencapaian program KIA secara keseluruhan. Program KIA

menjadi salah satu program wajib di tingkat pelayanan dasar di puskesmas serta

program utama dalam pelayanan rujukan di tingkat rumah sakit. Otorisasi

pelaksanaan program KIA secara umum dilakukan oleh Dinas Kesehatan sebagai

organisasi pemerintah yang memiliki kewenangan di bidang kesehatan. Implementasi

program KIA akan berjalan dengan baik jika pada level perencanaan benar-benar

dilakukan berdasarkan analisa kebutuhan yang objektif dan terukur.

Permasalahan yang lazim terjadi terhadap pencapaian program kesehatan pada

umumnya adalah adanya disparitas antara perencanaan dengan penganggaran, artinya

kuantitas anggaran dialokasikan tidak sesuai dengan kebutuhan anggaran yang efektif

untuk implementasi program kesehatan yang telah direncanakan. Permasalahan lain,

masih tingginya alokasi anggaran untuk keperluan fisik, dibandingkan pelaksanaan

program-program kesehatan berbasis masyarakat seperti program pemberdayaan

masyarakat dan program peningkatan KIA. Untuk itu perencanaan yang tepat

memegang peranan penting. Menurut Gani (2004), perencanaan yang tepat

diperlukan agar tidak terjadi alokasi anggaran yang salah sasaran.

Secara umum diketahui bahwa alokasi anggaran bidang kesehatan sesuai

(4)

dan pemerintah daerah wajib mengalokasikan anggaran tersebut di luar gaji. Namun

secara aktual persentase anggaran bidang kesehatan di beberapa daerah di Indonesia

masih di bawah 10%. Demikian halnya dengan provinsi Sumatera Utara, sebagian

besar masih berkisar antara 5-9%, apalagi alokasi anggaran untuk program-program

kesehatan berbasis masyarakat juga masih sangat rendah. Hal ini tentunya berkaitan

dengan perencanaan program kesehatan yang dirumuskan oleh Dinas Kesehatan

kabupaten/kota.

Perencanaan sebagai suatu proses berkesinambungan yang mencakup

pengambilan keputusan atau pilihan mengenai bagaimana memanfaatkan sumber

daya yang ada semaksimal mungkin guna mencapai tujuan-tujuan tertentu atau

kenyataan-kenyataan yang ada dimasa datang. Perencanaan program yang baik

seharusnya berbasis bukti/data (evidence based). Pada kenyataanya, perencanaan

program kesehatan banyak yang belum dijalankan dengan baik, dan bentuk kegiatan

yang direncanakan hanya menyesuaikan atas program dan kegiatan pada tahun

sebelumnya (Arsyad, 2002).

Proses penyusunan anggaran dimulai dari analisis situasi yang mencakup

review kinerja tahun lalu dan analisis situasi dan kebijakan kesehatan. Langkah

selanjutnya adalah dilakukan rapat kerja perencanaan tahap pertama, musyawarah

perencanaan pembangunan (musrenbang) desa/kelurahan, unit-unit di Dinas

Kesehatan menyusun perencanaan dan penganggaran terpadu, kemudian dilanjutkan

dengan musrenbang kecamatan, rapat kerja perencanaan tahap kedua, dan dilakukan

(5)

1. Analisis Situasi 2. Raker Perencanaan I

3. Musrenbang Desa/Kelurahan 4. Puskesmas dan Unit-unit di Dinas

Kesehatan menyusun PKT 5. Musrenbang Kecamatan

6. Raker Perencanaan II 7. Forum SKPD

8. Musrenbang Kabupaten

9. Kebijakan Umum & Anggaran

10. Asistensi Anggaran

11. Keputusan Anggaran

unsur Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda), selanjutnya dilakukan

musrenbang kabupaten. Langkah berikutnya adalah kebijakan umum anggaran dan

asistensi anggaran serta keputusan angggaran yang melibatkan Dinas Kesehatan,

Bappeda dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Anggaran yang telah

disahkan berupa Dokumen Pelaksanaan Anggaran (DPA) SKPD menjadi dasar bagi

eksekutif untuk melaksanakan aktivitasnya dalam pemberian pelayanan publik dan

acuan bagi legislatif untuk melaksanakan fungsi pengawasan dan penilaian kinerja

eksekutif dalam hal pertanggungjawaban kepala daerah. Secara skematis dapat dilihat

pada Gambar 1.1. berikut ini (Depkes RI, 2007).

Keterangan :

PKT = Perencanaan Kerja Tahunan Raker = Rapat kerja

(6)

Menurut WHO (2009), ada variasi alokasi anggaran untuk peningkatan KIA.

Alokasi anggaran untuk KIA di negara-negara di Asia Selatan seperti Bangladesh,

India, Nepal dan Pakistan rata-rata sebesar US$1,21-2,97 per kapita pertahun.

Alokasi anggaran program KIA untuk wilayah Asia Tenggara seperti China, India,

Myanmar, Papua Nugini dan Timor Leste rata-rata berkisar antara US$0,61-0,83 per

kapita pertahun. Artinya bahwa investasi anggaran untuk program KIA seperti di

Indonesia cenderung sangat sedikit untuk menanggulangi

permasalahan-permasalahan KIA.

Penelitian Vincente, et all., (2013) menjelaskan bahwa keberhasilan program

KIA di Philipina sangat didukung oleh proporsi anggaran yang disediakan dengan

program kesehatan lainnya. Pendekatan perencanaan berbasis bukti dan alokasi

anggaran secara proporsional dapat menurunkan permasalahan KIA di Philipina.

Pendekatan analisa perencanaan berbasis bukti adalah dengan mengidentifikasi data

dan informasi yang objektif tentang keadaan kesehatan ibu dan anak di semua

wilayah seperti data proporsi jumlah fasilitas kesehatan dengan jumlah penduduk, dan

jumlah kemampuan ekonomi daerah.

Komitmen pemerintah di bidang kesehatan, khususnya KIA, dapat dinilai

dengan melihat kecenderungan alokasi anggaran untuk kesehatan secara umum.

Selama periode 2006-2013, kecenderungan keseluruhan alokasi anggaran pemerintah

Indonesia untuk sektor kesehatan mengalami peningkatan secara nominal. Namun,

meskipun kecenderungan peningkatan nilai nominal, nilai faktual sebenarnya

(7)

dibutuhkan untuk menjalankan program-program kesehatan dibandingkan dengan

besaran alokasi anggaran yang telah ditetapkan, dan tidak disesuaikan dengan

pertumbuhan ekonomi dan inflasi. Dengan kata lain bahwa pemerintah Indonesia

berada pada posisi di luar komitmen dalam upayanya untuk memenuhi komitmen

kesehatan ibu sebagaimana terindikasi bahwa pemerintah gagal mempertahankan

kecenderungan peningkatan nilai riil alokasi anggaran kesehatan (Dwicaksono dan

Donny, 2013).

Penelitian Faulia, dkk., (2009) di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT)

menemukan bahwa porsi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) untuk

program KIA selama kurun waktu 2007-2008 cenderung menurun dari 0,7% menjadi

0,6%, dan di tahun 2009 menurun menjadi 0,4% dari alokasi belanja langsung, dan

dari sejumlah anggaran tersebut salah satu alokasi anggaran terendah justru pada

kegiatan dan upaya penurunan kasus kematian ibu dan anak. Hal ini disebabkan

karena alokasi anggaran untuk program KIA cenderung lebih didukung oleh sumber

Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) seperti dana dekonsentrasi dan

dana bersumber dari bantuan lembaga donor seperti United Nation International

Children’s Emergency Fund (UNICEF) dan United States Agency for International

Development (USAID).

Penelitian Iswarno, dkk., (2013), menunjukkan bahwa komitmen pemerintah

di Kabupaten Kepahiang Provinsi Bengkulu terhadap program KIA masih rendah.

Hal ini terbukti dengan minimnya alokasi anggaran program KIA pada tahun 2008

(8)

Penelitian Erpan, dkk., (2012) di Kabupaten Lombok Tengah, mendeskripsikan

bahwa alokasi anggaran program KIA tahun 2010 sebesar 4,2% dari belanja langsung

Dinas Kesehatan, dan dari sejumlah anggaran KIA tersebut 81,9% diperuntukkan

untuk jaminan persalinan gratis, namun pada tahun 2011 menurun drastis menjadi

0,8% dari belanja langsung Dinas Kesehatan. Hal ini disebabkan adanya sharing dana

dari APBN berupa program Jampersal.

Kondisi disparitas proporsi anggaran KIA juga terjadi di Kabupaten Sabu

Raijua Provinsi Nusa Tenggara Timur. Hasil penelitian Dodo, dkk., (2012), bahwa

alokasi anggaran KIA tahun 2010 hanya 0,8% dari belanja langsung yang bersumber

APBD Dinas Kesehatan, sedangkan alokasi anggaran KIA dari APBD Propinsi NTT

sebesar 11,9%, dan bersumber dari pemerintah pusat berupa dana BOK, dan

Jampersal sebesar 45,93%. Permasalahan yang dihadapi dalam perencanaan program

KIA adalah adanya porsi anggaran yang lebih besar dari pemerintah pusat, sehingga

alokasi anggaran diarahkan kepada pemenuhan sarana dan prasarana.

Fenomena perencanaan kesehatan di Provinsi Sumatera Utara juga masih

menjadi permasalahan awal terhadap pencapaian seluruh indikator program-program

kesehatan, termasuk program KIA. Data profil kesehatan Provinsi Sumatera Utara

tahun 2012 menunjukkan bahwa capaian K4 secara umum sudah mencapai 85,92%,

namun masih dibawah 95%, cakupan kunjungan neonatus 89,97% dan cakupan

pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan masih mencapai 88,78%,

masing-masing mendekati target sebesar 90%. Hal ini karena semakin membaiknya kondisi

(9)

program bidan Pegawai Tidak Tetap (PTT). Namun kondisi objektif tersebut jika

dilihat secara parsial masih ada beberapa daerah yang memiliki permasalahan KIA

baik dilihat dari AKI, AKB, AKABA dan masalah KIA lainnya seperti balita dengan

gizi buruk.

Salah satu kabupaten di Provinsi Sumatera Utara yang masih memiliki

permasalahan KIA adalah Kabupaten Deli Serdang. Profil Kesehatan Kabupaten Deli

Serdang (2012) menunjukkan bahwa kematian ibu, bayi dan balita mengalami

penurunan sepanjang tahun 2008 sampai 2012. Namun masih adanya kasus kematian

menunjukkan permasalahan KIA masih menjadi masalah program kesehatan, dan

perlu ada peningkatan upaya strategis guna mencapai indikator program KIA

sebagaimana diharapkan. Adapun jumlah kematian ibu, bayi dan balita di Kabupaten

Deli Serdang dapat dilihat di tabel 1.1.

Tabel 1.1. Jumlah Kematian Ibu, Bayi dan Balita di Kabupaten Deli Serdang Tahun 2008-2012

No. Indikator Jumlah Kematian

2008 2009 2010 2011 2012

1. Ibu 32 21 20 20 15

2. Bayi 126 134 98 97 74

3. Balita 151 171 135 133 96

Sumber: Dinas Kesehatan Kabupaten Deli Serdang, 2014

Pencapaian SPM untuk program KIA di Kabupaten Deli Serdang selama

kurun waktu 2009-2013 cenderung bervariatif setiap tahunnya. Secara aktual,

persentase secara keseluruhan pencapaian program KIA sudah memenuhi target yang

diharapkan. Namun dilihat secara komprehensif, dampak dari pencapaian program

(10)

bayi, balita, balita dengan status gizi buruk, dan masih ada ibu melahirkan dengan

komplikasi. Hal ini disebabkan karena masih ada sebagian ibu melahirkan yang tidak

melakukan pemeriksaan kehamilan secara terus-menerus sampai empat kali. Data

tahun 2013 menunjukkan terdapat 42.423 sasaran ibu hamil, namun yang melakukan

kunjungan K4 sebanyak 40.969 ibu hamil, artinya masih terdapat 1.454 ibu hamil

tidak mendapatkan pemeriksaan kehamilan sampai dengan selesai, sehingga dapat

menyebabkan tidak dapat dimonitoring perkembangan dan keadaan kehamilan ibu

menjelang waktu melahirkan, dan keadaan ini dapat juga menyebabkan kematian bayi

saat dilahirkan. Adapun hasil pencapaian program KIA dapat dilihat pada tabel 1.2.

berikut ini:

Tabel 1.2. Pencapaian Standar Pelayanan Minimal (SPM) Program KIA Dinas Kesehatan Kabupaten Deli Serdang Tahun 2009-2013

No. Kegiatan Pencapaian SPM (%) Target

(%)

2009 2010 2011 2012 2013

1. Cakupan kunjungan ibu hamil (K4) 93,13 96,01 96,06 95,91 96,2 95

2. Cakupan komplikasi kebidanan

yang Ditangani 100 100 100 100 100 80

3. Cakupan pertolongan persalinan

oleh nakes yang memiliki kompetensi kebidanan

7. Cakupan desa/kelurahan Universal

Child Immunization (UCI) 89,85 96,95 82,99 96,45 96,7 100

8. Cakupan pelayanan anak 89,95 96,95 82,99 96,45 85,59 90

9. Cakupan pemberian makanan

pendamping ASI anak usia 6 - 24 bulan

85,02 76,56 84,76 84,96 100 100

10. Cakupan balita gizi buruk

mendapat perawatan 100 100 100 100 100 100

(11)

Data tahun 2013 menunjukkan di Kabupaten Deli Serdang terdapat 8.486 ibu

hamil komplikasi yang ditangani tenaga terlatih (bidan), dan masih ada 7 (tujuh)

balita dengan gizi buruk, demikian juga dengan kuantitas neonatus yang komplikasi

ada sebanyak 5.786 kasus. Hal ini menunjukkan peran puskesmas dalam upaya

menurunkan kematian ibu, bayi dan balita belum maksimal yang diindikasikan dari

rendahnya jumlah puskesmas yang melakukan PONED yaitu 21 puskesmas dari 34

puskesmas yang ada, dan dari 21 puskesmas yang dinyatakan PONED hanya 16

puskesmas saja (76,2%) efektif melaksanakannya.

Berbagai upaya telah dilakukan Dinas Kesehatan Kabupaten Deli Serdang

dalam menurunkan kematian ibu dan anak yaitu melalui penguatan program KIA

seperti pelatihan Asuhan Persalinan Normal (APN) bagi bidan desa, distribusi tenaga

bidan keseluruhan wilayah di Kabupaten Deli Serdang, pembangunan poskesdes, dan

peningkatan jumlah puskesmas rawatan, serta penetapan Puskesmas Penanganan

Obstetri Neonatal Emergency Dasar (PONED). Hal ini berkontribusi terhadap

pencapaian program yang dapat dilihat dalam SPM.

Berdasarkan alokasi anggaran APBD Pemerintah Daerah Kabupaten Deli

Serdang diketahui bahwa proporsi anggaran bidang kesehatan (Dinas Kesehatan,

Rumah Sakit, dan Badan Keluarga Berencana dan Pemberdayaan Perempuan)

berfluktuasi selama tahun 2012-2014. Tahun 2012 dan 2013 proporsi anggaran

kesehatan di Kabupaten Deli Serdang belum memenuhi ketentuan yang telah

ditetapkan pemerintah. Tahun 2012 masih sebesar 7,66 % dan tahun 2013 menurun

(12)

sebesar 14,67%. Deskripsi alokasi anggaran di Kabupaten Deli Serdang secara umum

dapat dilihat pada tabel 1.3.

Tabel 1.3. Distribusi Alokasi Anggaran Bersumber Dana APBD Bidang Kesehatan di Kabupaten Deli Serdang Tahun 2012-2014

Alokasi Anggaran

Belanja Langsung 1.023.034.033.947

(50,67%)

Belanja Langsung 78.733.359.400

(38,77%)

Persentase anggaran* 7,66% 6,05% 14,67%

*) Persentase belanja langsung APBD bidang kesehatan dibandingkan dengan belanja langsung APBD kabupaten

Sumber: Dinas Kesehatan Kabupaten Deli Serdang,2014

Alokasi anggaran untuk Dinas Kesehatan tahun 2012-2014 menunjukkan

lebih dominan untuk belanja tidak langsung, dan dari sejumlah belanja langsung

hanya 9,73% di tahun 2012 berkontribusi terhadap peningkatan program KIA. Tahun

2013 menurun menjadi 3,72 % dan 3,73 % di tahun 2014. Anggaran untuk program

KIA di Dinas Kesehatan Kabupaten Deli Serdang selain bersumber dari APBD

(13)

Jampersal, BOK dan JKN. Adapun distribusi alokasi anggaran untuk program KIA

dapat dilihat pada Tabel 1.4.

Tabel 1.4. Distribusi Alokasi Anggaran Program KIA Bersumber APBD di Dinas Kesehatan Kabupaten Deli Serdang Tahun 2012-2014

Alokasi Anggaran

Tahun Anggaran

2012 2013 2014

Rp dan % Rp dan % Rp dan %

APBD Dinas Kesehatan

Belanja Tidak Langsung 97.098.701.290

(71,38%)

103.039.036.954 (76,46%)

108.395.886.308 (51,15%)

Belanja Langsung 38.930.050.000

(28,62%)

Program KIA* 3.789.662.000

(9,73%)

Jampersal 6.835.340.000 2.490.268.000 0

BOK 2.871.920.000 2.905.000.000 3.193.150.000

JKN 0 0 22.500.000.000

Total 9.707.260.000 5.395.268.000 25.693.150.000

*) Persentase program KIA dibandingkan dengan belanja langsung APBD Dinas Kesehatan

Sumber: Dinas Kesehatan Kabupaten Deli Serdang, 2014

Tabel 1.4 juga menunjukkan bahwa secara kuantitatif total anggaran

Jampersal, BOK dan JKN tahun 2012-2014 lebih besar (2-7 kali) dibandingkan

program KIA bersumber dana APBD Kabupaten Deli Serdang. Hal ini menunjukkan

bahwa pemerintah pusat memiliki keseriusan dan perhatian yang lebih dalam

program KIA dibandingkan pemerintah daerah. Dengan demikian dapat diasumsikan

bahwa daerah memiliki komitmen yang kurang terhadap program KIA.

Hasil penelitian Trisnantoro, dkk., (2012) di 4 (empat) kabupaten/kota

(14)

tahun terakhir ini, ada indikasi bahwa pendanaan program KIA mengalami

penurunan, yang disebabkan oleh adanya realokasi dana bagi penjaminan kesehatan

masyarakat miskin melalui skema Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas).

Hasil analisa bahwa kontribusi pembiayaan KIA yang terbesar di tingkat daerah,

masih bersumber dari pembiayaan pemerintah pusat seperti Dana Kementrian

Kesehatan (DKK), Dana Alokasi Khusus (DAK), dan Dana Dekonsentrasi (Dekon).

Secara rata-rata, untuk sumber pembiayaan, APBN pusat mempunyai kontribusi

sebesar 57%, ditambahkan dana pusat yang didaerahkan (DAK dan dekonsentrasi)

sebesar 13%. Kontribusi lokal melalui APBD sebagai dana pendamping hanya 7%,

dan alokasi APBD untuk program inisiatif KIA di daerah sebesar 14%, selain itu juga

ada beberapa daerah yang menerima donor dari luar untuk kegiatan program 9%.

Apabila dibandingkan dengan pembiayaan kesehatan lokal (total APBD kesehatan),

proporsi untuk kegiatan KIA hanya sekitar 2% dari APBD kesehatan atau sekitar

18% jika termasuk gaji dan pembiayaan rutin terkait dengan program KIA.

Kondisi ini diasumsikan karena proses perencanaan anggaran program KIA

maupun program kesehatan lainnya belum didasarkan pada kebutuhan yang objektif

dan belum didasarkan pada data yang real, dan masih pada pemenuhan pagu anggaran

saja. Perencanaan juga diasumsikan belum optimal dalam melibatkan sektor

pelayanan dasar seperti puskesmas dan stakeholder bidang kesehatan lainnya,

sehingga berimplikasi terhadap implementasi program KIA guna mencapai indikator

(15)

Berdasarkan hasil wawancara singkat dengan Kepala Bidang Kesehatan

Keluarga pada tanggal 04 Januari 2014 menjelaskan bahwa anggaran untuk KIA

sangat kecil dibandingkan dengan bidang lain, karena program KIA masih dianggap

belum prioritas dibandingkan dengan upaya percepatan pembangunan fisik, selain itu

juga karena adanya pembatasan anggaran, sehingga sulit memilah prioritas program

yang bisa diajukan dalam Rencana Kerja dan Anggaran (RKA).

Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka peneliti tertarik untuk

meneliti proses perencanaan dan penganggaran program KIA di Dinas Kesehatan

Kabupaten Deli Serdang tahun 2014.

1.2. Permasalahan

Adapun permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana proses

perencanaan dan penganggaran program KIA di Dinas Kesehatan Kabupaten Deli

Serdang tahun 2014.

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis proses perencanaan dan

(16)

1.4. Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini adalah:

1. Menjadi masukan bagi Dinas Kesehatan Kabupaten Deli Serdang dalam

merumuskan rencana kegiatan dan anggaran dalam rangka peningkatan pelayanan

KIA di wilayah kerjanya.

2. Menjadi masukan bagi Puskesmas di seluruh Kabupaten Deli Serdang dalam

merumuskan jenis kegiatan yang terintegrasi dalam program KIA berdasarkan

analisa kebutuhan yang sesuai.

3. Menjadi masukan untuk pengembangan pengetahuan dan rujukan penelitian

Gambar

Gambar 1.1. Siklus Perencanaan dan Penganggaran Tahunan
Tabel 1.2. Pencapaian Standar Pelayanan Minimal (SPM) Program KIA Dinas Kesehatan Kabupaten Deli Serdang Tahun 2009-2013
Tabel 1.3. Distribusi Alokasi Anggaran Bersumber Dana APBD Bidang
Tabel 1.4. Distribusi Alokasi Anggaran Program KIA Bersumber APBD di Dinas Kesehatan Kabupaten Deli Serdang Tahun 2012-2014

Referensi

Dokumen terkait

Ketidak-berdayaaan warga masyarakat sukubangsa setempat dalam melawan pemerintah atau sistem nasional, kecuali di Aceh, mungkin dikarenakan bahwa:

Dalam proses pembelajaran, guru perlu menyadari adanya multiple intelligence dalam diri siswa yang perlu dikembangkan secara optimal dan proporsional agar para siswa pada

Perawatan Tangan, Kaki, Khusus dan Kreatif Nail Art dan Rias Wajah 280 42. Perawatan Wajah, Badan (Body Massage) dan

Perawatan Wajah (Beauty Aesthetic) pada SPA 902 3.. Perawatan Badan (Body Treatment) Pada SPA

the best results can be obtained by verbal communication among participants learners are supported by positive interdependence. Learners should face each other and

Bahasa Inggris dan Bahasa Asing Lainnya 352 B.. Muatan Peminatan

Berdasarkan analisis tabel 27 di atas, maka untuk setiap indikator atau aspek maupun rekapitulasi dari pernyataan responden mengenai komitmen kepala sekolah

Proses karbonisasi yang dilakukan untuk memproduksi kokas dalam penelitian ini adalah dengan cara memasukkan bongkahan batubara muda dengan ukurannya panjang sekitar 54 mm dan