• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hukum Yang Cacat Sejak Lahir: Kasus Undang-Undang Hak Cipta Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Hukum Yang Cacat Sejak Lahir: Kasus Undang-Undang Hak Cipta Indonesia"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
(8)

0000000000000000

1.

Pengantar

Intervensi Barat terhadap timur telah berlangsung lebih dari tujuh abad sejak keruntuhan dinasti Osmania di Turki dan memudarnya pengaruh inperium Cina serta terbelahnya kerajaan-kerajaan di India dan Negara-Negara Asia lainnya. Jika dahulu interpensi itu melalui perebutan kekuasaan dengan jalan peperangan, saat ini bergeser melalui instrumen penjajahan ideologi, politik, ekonomi dan instrumen hukum internasional.

Uraian berikut ini akan mengetengahkan tentang pengaruh ideologi Barat terhadap Timur dengan instrumen politik, ekonomi dan ideologi dalam pembentukan undang-undang Hak Cipta Nasional Indonesia dalam berbagai kurun waktu, yang berujung pada cacatnya undang-undang hak cipta

2. Latar Belakang

Sejarah perjalanan Undang-undang Hak Cipta Indonesia yang telah mengalami lima kali perubahan sejak pertama kalinya diperkenalkan dalam tatanan masyarakat Indonesia melalui Auteurswet 1912 Stb. No. 600 hingga sekarang melalui UU No. 28 Tahun 2014 – penuh dengan kegagalan dan carut-marut. Gagal karena undang-undang ini tak mampu melindungi hak pencipta. Carut-marut karena kerap kali negara-negara maju “mengintervensi” Indonesia agar merubah undang-undang hak ciptanya agar disesuaikan dengan standard perlindungan di negara mereka. Terakhir harus disesuaikan dengan standard pengaturan yang terdapat dalam

Agreement on Trade Related Aspect of Intellectual Property Rights (TRIPs Agreement) hasil Uruguay Round Tahun 1994.

Sejak lahir Undang-undang Hak Cipta Indonesia pada tataran basic policy cacat secara kultural dan dalam perjalanannya cacat secara ideologi. Sedangkan pada tataran Enactment Policy undang-undang hak cipta gagal diterapkan. Law enforcement undang-undang hak cipta Indonesia gagal diterapkan karena budaya hukum masyarakat Indonesia belum mampu menerima model-model perlindungan hukum hak cipta dalam budaya hukum Barat. Aparat penegak hukum Indonesia-pun belum mampu mengimbangi tuntutan profesionalisme sebagaimana dikehendaki oleh undang-undang itu., ada kesalahan dalam pilihan politik hukum baik pada tataran basic policy maupun pada tataran Enactment policy dalam bidang hak cipta. Menelusuri kembali akar sejarah dan akar kultural serta akar ideologi kehadiran UU Hak cipta guna melihat baik buruknya perjalanan Undang-undang ini guna merumuskan undang-undang hak cipta yang lebih baik di kemudian hari, adalah menjadi alasan penting mengapa artikel ini ditulis. Selain penting artinya guna melahirkan konsep akademis khususnya pada tataran basic policy tulisan ini juga di harapkan memberi masukan pada tataran praktis (anactment policy/law enforcement) tulisan ini akan menjadi lebih bermakna.

Kesemua itu tentu saja dimaksudkan untuk membangun hukum Indonesia masa HUKUM YANG CACAT SEJAK LAHIR:

KASUS UNDANG-UNDANG HAK CIPTA INDONESIA

OK. Saidin

Lecturer in Law Faculty University of North Sumatera (USU) Jl. Universitas No.4, Kampus USU Medan 20155 INDONESIA

Phone/Fax : +6261-8213571, 8213572, 8217172, 8214210 Fax : +6261-8213571 Email: ok_saidin@yahoo.com

Abstract

The Copyright Law number 28 of 2014 was born from a very long legal policy process. It was started with the Auteurswet 1918 Stb Number 600, a legal product in the era of Dutch Colonialism until th e era of independence which has been revised five times. Alteration by alteration kept happening, but they didn’t reflect any effectiveness in law enforcement. Piracy of Copyright is still happening until today. This Act was already been defective since the day it was born. This Act didn’t show the moral link between national legal development with Copyright Law enforcement legal policy, both in basic policy order or in enactment policy order.

(9)

depan, hukum yang berkeadilan, berkepastian dan bermanfaat bagi kemaslahatan umat manusia di muka bumi.

3. Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan sejarah dan politik hukum dengan pilihan metode penelitian doktrinal riset. Metode doktrinal riset ini dalam terminologi penelitian hukum sering disebut dengan penelitian normatif.

Teknik pengumpulan data dilakukan dengan mengumpulkan informasi melalui bahan-bahan hukum primer seperti: wet/, undang-undang hak cipta, Konvensi Internasional, penelitian-penelitian terdahulu, jurnal, dan bahan-bahan kepustakaan hukum primer lainnya.

Teknik analisis data dilakukan dengan menghubungkan semua informasi melalui inventarisasi pasal demi pasal peraturan perundang-undangan terkait dan kemudian di abstraksi dengan metode deduktif untuk mendapatkan nilai atau asas hukum yang menjadi latar belakang ideologi peraturan perundang-undangan tersebut. Khusus untuk bahan-bahan kepustakaan yang bersumber dari penelitian penelitian terdahulu termmasuk jurnal di gunakan metode analisis isi (Content Analysis) kesimpulan di tarik dari temuan yang diperoleh dari analisis tersebut.

4. Undang-undang Hak Cipta Indonesia :

Perspektif Sejarah

Keberadaan hukum Indonesia hari ini tidak terlepas dari dinamika perjalanan sejarah politik hukum sejak jaman Hindia Belanda (dan bahkan sebelumnya) hingga pasca kemerdekaan. [1] Upaya untuk membangun tatanan (sistem) hukum Indonesia adalah sebuah upaya politik yang memang secara sadar dilaksanakan yakni dengan menerapkan kebijakan-kebijakan yang berakar pada transformasi kultural budaya Indonesia asli dan dikombinasikan dengan budaya (hukum) asing yang berasal dari luar dengan segala keberhasilan dan kegagalannya.

Transformasi kultural ini di dalamnya menyiratkan pilihan politik hukum melalui transplantasi hukum pada tataran basic policyyang berasal dari proses perjalanan sejarah peradaban Bangsa Indonesia. Pada hakekatnya tidak ada suatu produk hukum yang lahir di Indonesia tidak bersumber dari proses transformasi kultural yang berpangkal pada

budaya yang beraneka ragam dengan pilihan politik hukum transplantasi hukum (budaya) asing dalam proses yang disebut sebagai akulturasi dan inkulturasi.

Sejak awal, perkembangan tata hukum Indonesia bersumber dari hukum kolonial, demikian Soetandyo Wignjosoebroto [2]meskipun upaya untuk memberlakukan hukum kolonial terhadap golongan bumi putera mendapat tantangan dari kalangan mereka sendiri. Meskipun akhirnya terhadap golongan Bumi Putera diberlakukan hukum adat, kebiasaan dan hukum agamanya atau yang dikenal dengan Goddien Stigwetten, Volkinstelingen en Gubreiken.

Ada upaya pemerintah Hindia Belanda untuk mensejajarkan berlakunya hukum di negaranya dengan hukum yang berlaku di daerah jajahannya. Kebijakan ini kemudian dikenal dengan penerapan azas konkordansi. Meskipun kemudian kebijakan penerapan azas konkordansi ini mendapat perlawanan dari ilmuwan hukum Bangsa Belanda sendiri seperti Van Vollenhoven dan Ter Haar.[3]

Dalam bidang Hak Kekayaan Intelektual upaya untuk melakukan kodifikasi dan unifikasi hukum Eropa di tanah jajahan dijalankan dengan memberlakukan hokum - yang tersebar secara sporadic yang tidak terkodifikasi dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata dan Hukum Dagang di dalam negerinya - antara lain adalah hukum tentang merk, paten dan hak cipta. Hukum tentang hak cipta yang berlaku di Negeri Belanda pada waktu itu adalah hukum yang berasal dari hukum hak cipta yang berlaku di Prancis yang dibawa melalui ekspedisi Napoleon. Pada masa Kolonial Belanda. Hukum ini dikenal dengan nama Auteurswet Stb. 1912 No. 600 kemudian diberlakukan di Indonesia dengan asas konkordansi. Pemberlakuan hukum Kolonial dengan asas konkordansi ini akan semakin menciptakan keadaan pluralisme hokum, yang sebelumnya - karena perbedaan kultural - keadaan pluralisme hukum itu telah lebih dahulu ada dalam tatanan masyarakat Indonesia sendiri ketika itu.

(10)

melakukan pilihan politik hukum yang tersendiri pula untuk memenuhi tuntutan tatanan hukum Indonesia pasca kemerdekaan. Tampaknya faktor politik tidak pernah lepas dari rangkaian kegiatan penyusunan tata hukum di Indonesia. Pengaruh-pengaruh tekanan politik asing (luar negeri) terus mempengaruhi kebijakan pembangunan hukum di Indonesia. Terutama pasca ratifikasi GATT/WTO 1994 sebagai instrument globalisasi ekonomi (namun tetap membawa dampak pada sistem sosial lainnya) yang mengharuskan Indonesia menyesuaikan beberapa peraturan perundang-undangannya khususnya dalam lapangan Hak Kekayaan Intelektual dengan TRIPs Agreement yang merupakan instrumen hukum hasil Putaran GATT/WTO 1994.

Dominasi politik asing dan kepentingan politik negara maju tidak dapat dilepaskan dari langkah-langkah kebijakan negara Indonesia dalam penyusunan peraturan perundang-undangan bidang HKI khususnya dalam lapangan Hak Cipta. Faktor yang turut mempengaruhi pilihan kebijakan politik itu tidak lain dikarenakan lemahnya penguasaan kapital dalam negeri Indonesia, rendahnya tingkat kemampuan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, sumber daya manusia Indonesia dan memburuknya sistem pengelolaan manajemen negara. Inilah yang menurut M. Solly Lubis [4] sebagai sebuah kelemahan yang dimiliki oleh bangsa Indonesia dengan ungkapan sebagai berikut :

Mereka (negara maju, pen) memiliki dan menguasai keunggulan strategis dalam tiga hal, yakni keunggulan capital (funds and equipment) keunggulan teknologi canggih dan keunggulan manajemen yang cukup rapid an tersistem dengan apik.

Kelemahan dan ketergantungan kita di tiga bidang itu, sekaligus membuktikan lemahnya kemandirian kita dan ketergantungan inilah yang menyebabkan kita tidak bisa mengelakkan intervensi dan berbagai dikte terbuka ataupun terselubung oleh negara-negara lain itu terhadap kita.

Bahkan disana-sini terasa sebagai eksploitasi ekonomi, dominasi politis dan penetrasi kultur, tiga target mana adalah merupakan tiga target utama

pada kaum kolonialis-imperalis dan kapitalis.

Dominasi kebijakan politik ekonomi asing di Indonesia sebenarnya tidak hanya dimulai pada saat ratifikasi konvensi-konvensi yang berkaitan dengan perdagangan internasional seperti GATT/WTO. Perebutan negara-negara yang hari ini sebagai penguasa ekonomi di dunia yang tergabung dalam negara industri maju seperti G-8 dan G-20 berawal dari perjalanan sejarah yang cukup panjang. Peristiwa yang melatar belakangi munculnya Perang Dunia ke-2 adalah tidak terlepas dari perebutan sumber-sumber ekonomi yang ada di berbagai belahan bumi. Ekspansi negara-negara Eropa ke Asia, sebut saja misalnya Inggris ekspansi ke India, Burma, Hongkong dan Malaysia, Prancis ekspansi ke Indocina (Laos, Kamboja dan Vietnam), Belanda ekspansi ke Indonesia bahkan Amerika dengan sekutunya Inggris, Prancis dan Belanda turut mengontrol aktivitas di kawasan Pasifik. Sampai hari ini, negara-negara maju tersebut termasuk Jepang meskipun kalah dalam Perang Asia Timur Raya melawan negara-negara sekutu (Amerika dan Eropa) dominasi dalam politik ekonomi semakin hari semakin menguat hingga hari ini. Catatan yang dikemukakan oleh Stephen E. Ambrose dan Douglas G. Brinkley,[5] memberikan pencerahan untuk sampai pada suatu kesimpulan bahwa kekuatan politik ekonomi di berbagai belahan Asia masih dan akan terus beraada di bawah bayang-bayang kekuatan Barat (Amerika dan Eropa Barat) :

(11)

Dalam kasus undang-undang hak cipta Indonesia, bayang-bayang kekuatan barat itu ditandai dengan 5 kali perubahan Undang-undang Hak Cipta di Indonesia tetap didominasi oleh kekuatan politik (hukum) asing baik itu melalui tekanan ekonomi maupun melalui tekanan politik melalui instrument pinjaman luar negeri dan instrument hukum internasional (konvensi dan perjanjian bilateral).

Atas nama globalisasi dan pasar bebas yang merupakan tantangan berat bagi Indonesia ke depan untuk menghadapi sempalan rakus dari negara-negara maju. Politik internasional yang dilancarkan oleh negara-negara maju dengan membungkus rapi idealisme untuk menjaga kebersamaan hidup di dunia di balik issu lingkungan hidup dan hak asasi untuk menjaga kelestarian bumi guna pencapaian kesejahteraan kehidupan bersama di muka bumi adalah politik yang terang-terangan mengelabui umat manusia. Hal itu ditandai dengan kenyataan bahwa di belahan dunia lain, khususnya di negara-negara dunia ketiga politik semacam itu sering diterjemahkan sebagai sebuah keinginan negara maju untuk menguasai sumber-sumber ekonomi di negara-negara dunia ketiga. [6].

Dalam bidang hak kekayaan intelektual khususnya dalam lapangan hukum hak cipta, instrument hukum internasional telah dijadikan sebagai alat untuk membatasi upaya negara-negara dunia ketiga dalam mengelola sumber daya alam yang ia miliki melalui pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi yang diprotek melalui instrument hukum hak kekayaan intelektual.

Dahulupun ketika Kolonial Belanda menginjakkan kakinya di bumi Indonesia, masyarakat Indonesia tidak mengenal sama sekali instrument perlindungan hak kekayaan intelektual. Dalam lapangan hukum hak cipta misalnya kehadiran Auteurswet 1912 Stb. No. 600 oleh masyarakat Indonesia ketika itu bukanlah sesuatu yang mutlak sangat diperlukan. Akan tetapi sejak diberlakukannya wet itu masyarakat Indonesia hampir tidak pernah merasakan arti penting keberadaan instrument hukum itu. Itulah sebabnya sampai Indonesia merdeka wet itu tidak pernah terpikir oleh bangsa ini untuk diganti. Baru kemudian setelah 70 tahun wet itu berlaku di bumi Indonesia, baru pada tahun 1982 melalui Undang-undang No. 6 Tahun 1982 wet itu

dicabut. Meskipun wet itu dicabut, ternyata “roh” yang mendasari undang-undang No. 6 Tahun 1982 masih tetap melekat “roh” undang-undang peninggalan Kolonial Belanda itu meskipun para pembuat undang-undang ketika itu telah berusaha untuk konsisten dalam mempertahankan ideologi Pancasila sebagai dasar pembentukan norma hukum. Memang, setelah Indonesia merdeka dari dominasi politik imperialis Belanda, secara politis telah terputus hubungan ketatanegaraan dengan pemerintah Hindia Belanda. Indonesia berdiri sebagai negara yang memiliki kedaulatan sendiri. Akan tetapi khusus dalam bidang hukum termasuk dalam bidang hukum hak cipta, Indonesia belum mampu melepaskan kekuatan instrument hukum peninggalan Kolonial Belanda. Bahkan oleh Lev, [7] dikatakannya, meskipun Indonesia telah merdeka secara politik, perangkat-perangkat birokrasinya masih menggunakan model-model birokrasi peninggalan Kolonial Belanda.

Dalam praktek legislasi nasional kecuali pada waktu pembentukan Undang-undang No. 6 Tahun 1982 setelahnya tidak pernah lagi terlihat konsistensi dalam mempertahankan ideologi Pancasila. Pilihan politik hukum pragmatis dari waktu ke waktu terus menjadi pilihan nyata legislatif dalam melahirkan undang-undang Hak Cipta Nasional.

Pilihan politik hukum transplantasi telah berlangsung baik secara sadar maupun tidak namun oleh Pemerintah Kolonial Belanda sejak awal telah dirancang secara sistematis dan diteruskan pada masa kemerdekaan dan secara sadar pula dilanjutkan pada era globalisasi dengan segala dinamikanya. Dinamika sejarah politik hukum transplantasi Undang-undang Hak Cipta di negeri ini memperlihatkan pilihan politik hukum yang beragam pada tiap-tiap babakan sejarah. Pada masa Hindia Belanda menyamakan pemberlakuan Undang-undang Hak Cipta di negerinya dengan Undang-undang Hak Cipta di negeri koloninya dengan menerbitkan Auteurswet 1912 Stb. No. 600 wet (undang-undang) ini berlaku selama 70 tahun, melalui pilihan politik hukum konkordansi.

(12)

1912 Stb No. 600 tidak sesuai dengan cita-cita hukum nasional oleh karena itu wet ini harus dicabut dan bersamaan dengan itu lahirlah Undang-undang No. 6 Tahun 1982, akan tetapi undang-undang ini hanya berusia 5 tahun melalui pilihan politik hukum transplantasi.

Hiruk pikuk dan berbagai tudingan terhadap Indonesia oleh Negara-negara maju sebagai Negara pembajak karya cipta asing, dengan berbagai tekanan (asing) Indonesia harus menerima ide dan gagasan asing tersebut dan berujung pada revisi Undang-undang yang baru berusia 5 tahun tersebut diikuti dengan kelahiran Undang-undang No. 7 Tahun 1987 melalui pilihan politik hukum pragmatis.

Pada saat undang-undang ini berjalan selama 7 tahun tepatnya pada tanggal 15 April 1994 di Marakesh (Maroko), Indonesia meratifikasi Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia (Agreement Establishing the Worl Trade Organization), berikut semua lampirannya yang berisikan berbagai-bagai persetujuan antara lain salah satu di dalamnya terdapat TRIPs Agreement yang sarat dengan muatan ideologis/filosofis kapitalis-liberalis.

Tiga tahun setelah ratifikasi TRIPs Agreement itu, Indonesia kembali merubah undang-undang hak ciptanya pada tahun 1997, melalui Undang-undang No. 12 Tahun 1997 melalui pilihan politik hukum transplantasi yang bersifat pragmatis.

Dalam perjalanannya, Undang-undang No. 12 Tahun 1997 juga tidak dapat menyahuti keinginan-keinginan negara maju terutama semakin maraknya pelanggaran terhadap hak cipta yang merugikan para pencipta dan perekonomian negara maju akibatnya 5 tahun kemudian melalui Undang-undang No. 19 Tahun 2002, Indonesia kembali merubah undang-undang hak cipta nasionalnya.

Dalam perjalanan selanjutnya, Undang-undang No. 19 Tahun 2002 juga tidak efektif dalam melindungi hak-hak para pencipta. Salah satu alasan yang dikemukakan oleh berbagai pihak adalah masih lemahnya praktek penegakan hukum dan juga secara substantive ancaman pidana yang dimuat dalam Undang-undang No. 19 Tahun 2002 terhadap pelaku tindak pidana pelanggaran hak cipta masih terlalu ringan. Disamping itu, adanya tuntutan agar

undang-undang hak cipta Indonesia ke depan harus disesuaikan dengan TRIPs Agreement dan konvensi ikutannya. [8]

Akhirnya pada tahun 2014 Undang-undang No. 19 Tahun 2002 dirubah dengan Undang-undang No. 28 Tahun 2014.

Ada beberapa hal baru dalam undang-undang ini, antara lain : semakin dikuatkannya posisi pencipta dan pemegang hak cipta dalam hal penyewaan (rental rights) atas hak cipta. Undang-undang ini lebih menekankan pada aspek economic rights yang mengantarkan kesimpulan tentang semakin terang dan nyata menguatnya ideologi kapitalis. Serapan ideologi kapitalis itu dapat dilihat dari berbagai-bagai pasal dalam undang-undang tersebut yang memuat tentang frase economic rights yang dahulu tidak dikenal. Demikian juga tentang seluruh hak penyewaan (rental rights) harus mendapat izin dari pencipta atau pemegang hak, padahal ini sangat bertentangan dengan prinsip hukum benda yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata.

Agaknya negeri ini harus belajar kembali pada perjalanan sejarah. Betapa dalam kurun waktu lebih dari 10 dekade (1912-2015) pemberlakuan undang-undang hak cipta di negeri ini dengan 6 bentuk undang-undang (satu bentukan pemerintah Hindia Belanda) kesemuanya tidak memperlihatkan sisi yang menggembirakan baik dari segi substansi (mengabaikan nilai-nilai yang terkandung dalam ideologi Pancasila) maupun dari sisi penerapan hukumnya. Menjadi penting bagi para politisi khususnya yang berkesimpung dalam badan legislatif nasional untuk melakukan pendekatan hukum melalui studi sejarah dalam menentukan arah pilihan politik hukum nasional. Pendekatan semacam ini tidak hanya dimaksudkan untuk melihat keberadaan hukum masa lalu dan yang berlaku hari ini akan tetapi studi sejarah ini paling tidak dapat dijadikan sebagai sebuah pembelajaran guna menyusun langkah-langkah atau strategi politik hukum yang akan dikembangkan ke depan.

(13)

Intelektual perlu penguatan dari dalam untuk mengantisipasi serbuan produksi-produksi barang sejenis dari negara lain di era globalisasi yang sedang berlangsung saat ini. [9]

5. Hukum Yang Tercerabut dari Akar Budaya

Konstruksi undang-undang hak cipta nasional yang berlaku hari ini adalah hasil rekonsfigurasi politik hukum melalui pilihan politik hukum konkordansi dan transplantasi yang pernah dilakukan selama kurun waktu hampir satu abad di kawasan nusantara. Dalam proses itu ada sejumlah nilai sosial dan kultural yang tak terkira jumlahnya yang hilang, terkikis ataupun terpendam. Dengan meminjam konsep geologi tentang proses peremajaan (rejuvenation) akan sangat mungkin terjadi proses penuaan terhadap nilai-nilai yang hilang itu dan menjadi manifest (muncul), lalu berubah menjadi sikap menetang, ketidak pedulian atau terang-terangan memberi perlawanan pada saat kaedah hukum hasil transplantasi itu diterapkan ketika terjadi stagnasi dalam proses penegakan hukum yang mengabaikan realitas. [10]

Para produsen karya cipta khususnya karya cipta sinematografi illegal dan para konsumen illegal, menjadi tidak peduli dengan kenyataan bahwa negeri ini memiliki undang-undang hak cipta, negeri ini memiliki kesepakatan dengan dunia internasional dan negeri ini mempunyai perangkat penegak hukum, serta negeri inipun memiliki lembaga peradilan yang siap menjatuhkan sanksi hukum.

Memori sejarah politik hukum pembentukan undang-undang hak cipta nasional sering direntang terlalu pendek manakala hendak mengkonstruksikan undang-undang hak cipta yang baru, pemenggalan-pemenggalan pengalaman masa lalu terus dilakukan dan rentang sejarah yang utuh cenderung diabaikan dan yang kemudian dimunculkan adalah kebutuhan sesaat dengan menimbang kenyataan hari ini yang menguntungkan hari ini. Pilihan politik hukum pembentukan undang-undang hak cipta nasional kemudian menjadi sangat pragmatis padahal semua mengetahui bahwa undang-undang hak cipta nasional dengan pilihan politik pragmatis itu tidak dapat ditegakkan. Berkali-kali alasan rendahnya sanksi hukum pidana dikemukakan sebagai alasan perubahan undang-undang hak cipta dari waktu ke waktu, akan tetapi setelah sanksi hukum pidana itu dinaikkan (diperberat) dalam undang-undang yang baru itu,perilaku pembajakan karya

cipta sinematografi tidak pernah berhenti, alasan yang sama dikemukakan lagi (yakni ancaman hukuman masih terlalu rendah) untuk sekedar memberi jastifikasi guna perubahan kembali undang-undang yang baru itu.

Jika para politisi yang melibatkan diri dalam pembuatan undang-undang hak cipta nasional mau merentang tali sejarah, sebenarnya embrio undang-undang hak cipta nasional sudah mulai dikonstruksi sejak tahun 1912, pada saat Auteurswet 1912 Stb. No. 600 diberlakukan di wilayah nusantara. Pada saat itu pemberlakuan wet itu telah memperlihatkan suatu kenyataan bahwa kepatuhan masyarakat di wilayah Hindia Belanda terhadap wet itu ketika itu hampir dapat dikatakan tidak ada. Pada masa Kolonial Belanda itu, masyarakat di Hindia Belanda bisa dihitung jari yang mengetahui - dan bahkan untuk kelompok Bumi Putra tidak mengenal sama sekali – bahwa ada instrumen hukum yang memproteksi hak cipta. Apalagi dalam bidang karya sinematografi karena pada waktu itu film pertama sekali diproduksi di wilayah Hindia Belanda adalah pada tahun 1926. Teknologi pembajakan karya sinematografi pun belum dikenal pada waktu itu. Sehingga dapat dipastikan tidak ada masyarakat Indonesia yang peduli dengan instrumen perlindungan hukum karya sinematografi pada waktu itu. Dalam bidang karya cipta lainnya seperti buku, pada masa itu dan sampai pada masa awal kemerdekaan pembajakan juga terus berlangsung. Artinya, kesadaran hukum masyarakat untuk penegakan hukum hak cipta pada waktu itu bukan tidak dimiliki, akan tetapi masyarakat tidak mengapresiasi undang-undang itu karena secara sosiologis dan kultural proteksi hukum semacam itu tidak pernah dikenal dalam sejarah kehidupan mereka. Inilah tadi yang dikatakan bahwa pembelajaran sejarah dalam rentang pemberlakuan Auteurswet 1912 Stb. No. 600 tidak dijadikan dasar untuk rekonstruksi penyusunan undang-undang hak cipta nasional Indonesia pada saat dilahirkannya Undang-Undang Hak Cipta No.6 Tahun 1982, menggantikan wet itu.

(14)

juga ada memori sejarah yang dilupakan ketika harus mengganti Undang-undang No. 7 Tahun 1987 dengan Undang-undang No. 12 Tahun 1997. Memori sejarah itupun dilupakan juga ketika menyusun Undang-undang No. 19 Tahun 2002 menggantikan Undang-undang No. 12 Tahu 1997. Yang diingat adalah kebutuhan-kebutuhan sesaat yang mendesak untuk menjawab berbagai tekanan politik internasional hingga akhirnya yang terjadi adalah pilihan politik hukum yang pragmatis dan itu memberi warna dalam Undang-undang No. 19 Tahun 2002. Warna itu tidak hanya menyangkut warna normatif akan tetapi juga menyangkut nilai-nilai filosofis yang merupakan the original paradigmatic value of Indonesian culture and society yang terabstraksi dalam landasan ideologi bangsa dan negara yakni Pancasila. Landasan ideologi inilah kemudian dijadikan sebagai landasan politik hukum pembuatan peraturan perundang-undangan di Indonesia.

Sebuah ideologi adalah sebuah gagasan, sebuah idea, sebuah cita-cita, sebuah harapan yang diyakini oleh penganutnya sebagai suatu landasan kebenaran untuk mewujudkan cita-cita atau harapan tersebut. Berbeda dengan agama, ideologi oleh pencetusnya yakni Destutt de Tracy seorang pemikir Perancis yang pertama kali menggunakan istilah ideologi dalam bukunya, Elements d’ ideologie yang terbit tahun 1827 adalah sebuah kebenaran di luar otoritas agama. Konsep ini muncul adalah proyek besar filsuf “Pencerahan” yang berusaha keras mensterilkan tubuh ilmu pengetahuan dari virus-virus prasangka agama, kepentingan pribadi dan kepercayaan mistik-metafisik dengan mengukuhkan metode ilmiah sebagai satu-satunya epistimologi yang sahih.

Namun, setelah lebih dari satu abad berselang pasca de Tracy, ideologi tidak lagi bermakna tunggal. Karena tidak henti-hentinya dicermati dari pelbagai kerangka pemikiran dan sudut pandang, ideologi menjadi satu istilah penting dalam ranah ilmu sosial yang memiliki banyak tafsir. Muncullah kemudian pelbagai konsep ideologi dengan pendekatan, kekhasan dan ruang lingkup yang beragam. Tetapi, jika ideologi kita letakkan dalam kerangka umum, Microsoft Encarta Encylopedia (2003) akan menawarkan pada kita sebuah definisi yang tampaknya agak komprehensif, yakni suatu sistem kepercayaan yang memuat nilai-nilai

dan ide-ide yang diorganisasi secara rapi sebagai basis filsafat, sains, program sosial ekonomi politik yang menjadi pandangan hidup, aturan berpikir, merasa, dan bertindak individu atau kelompok. [11]

Pendekatan studi hukum sangat erat kaitannya dengan ideologi, karena hukum memuat cita-cita, harapan dan keinginan. Di Indonesia cita-cita dan keinginan itu dituangkan dalam pembukaan UUD 45. Itu jugalah alasannya, mengapa kemudian ideologi dijadikan sebagai landasan filosofis pembuatan peraturan perundang-undangan di Indonesia. Undang-undang tak boleh bertentangan dengan cita-cita negara, bermakna juga tak boleh bertentangan dengan ideologi bangsa. Ideologi akan selalu bersembunyi di balik atau di belakang tiap-tiap norma hukum atau undang-undang. Negara penganut ideologi komunis, dalam undang-undangnya akan tergambar nilai-nilai komunis (comunism values). Demikian juga negara penganut ideologi Islam, dalam undang-undangnya akan tercermin nilai-nilai Islam (Islamic values). Nilai-nilai hukum yang kapitalis tersembunyi di balik norma hukumnya, pastilah negara itu penganut ideologi kapitalis. Indonesia sebagai penganut ideologi Pancasila seyogyanya dalam undang-undangnya mencerminkan nilai-nilai Pancasila.

(15)

Belacu” dan ideologi Pancasila tergerus dan bahkan terkikis di tangan anak bangsa sendiri.

Pilihan politik transplantasi hukum asing ke dalam undang-undang hak cipta nasional utamanya yang bersumber dari perjanjian Internasional, seharusnya dilakukan dengan penuh pertimbangan yang arif, dan perhitungan yang jauh ke depan. Pandangan ini didasarkan pada berbagai kasus yang menunjukkan bahwa instrumen hukum Internasional digunakan sebagai alat imperialis model baru, seperti yang diingatkan oleh Hikmahanto Juwono [12] sebagai berikut :

Hukum Internasional, utamanya perjanjian internasional, digunakan oleh negara maju untuk ‘mengekang’ kebebasan dan kedaulatan Indonesia. Berbagai perjanjian internasional yang diikuti oleh Indonesia berdampak pada terbatasnya ruang gerak pemerintah dalam mengambil kebijakan. Bahkan kebijakan yang diambil dengan diikutinya perjanjian internasional yang ditandatangani diharapkan selaras dengan standar internasional.

Indonesia terlalu takjub dengan tawaran-tawaran perdagangan bebas, pasar bebas, dan janji-janji bahwa, suatu saat Indonesia akan menjadi negara industri maju di kawasan asia, dan itu disikapi dengan menerima tawaran IMF dan World Bank untuk membiayai berbagai-bagai proyek di Indonesia untuk pencapaian gagasan-gagasan kapitalis-liberal itu. Puncaknya adalah ketika Indonesia meratifikasi GATT/WTO pada tahun 1994 dan di dalamnya memuat TRIPs Agreement, Indonesia kemudian disyaratkan untuk tunduk pada kesepakatan itu. Sebagai konsekuensi, Indonesia tidak hanya diharuskan untuk menyesuaikan peraturan perundang-undangan HKI-nya dengan TRIPs Agreement tetapi lebih jauh juga Indonesia harus mempersiapkan perangkat-perangkat hukum dalam negerinya untuk menegakkan instrument-instrumen hukum sebagai ikutan dari perjanjian internasional yang telah disepakati. Terdapat beberapa perjanjian internasional yang berlatarbelakang ideologi kapitalis yang oleh Pemerintah Indonesia tanpa merujuk pada perjalanan sejarah sebagaimana telah diuraikan di depan. Indonesia kemudian mengambil sikap dengan menyetujui instrumen hukum internasional mengenai perlindungan hak kekayaan intelektualnya. Kesepakatan-kesepakatan yang bersifat bilateral-pun

dibangun dengan negara-negara tersebut yang antara lain dapat dikemukakan sebagai berikut :

1. Keputusan Presiden RI No. 17 Tahun 1988 tentang Pengesahan Persetujuan Mengenai Perlindungan Hukum Secara Timbal Balik Terhadap Hak Cipta atas Karya Rekaman Suara antara Negara Republik Indonesia dengan Masyarakat Eropa;

2. Keputusan Presiden RI No.25 Tahun 1989 tentang Pengesahan Persetujuan Mengenai Perlindungan Hukum Secara Timbal Balik Terhadap Hak Cipta antara Republik Indonesia dengan Amerika Serikat;

3. Keputusan Presiden RI No.38 Tahun 1993 tentang Pengesahan Persetujuan Mengenai Perlindungan Hukum Secara Timbal Balik Terhadap Hak Cipta antara Republik Indonesia dengan Australia; 4. Keputusan Presiden RI No.56 Tahun

1994 tentang Pengesahan Persetujuan Mengenai Perlindungan Hukum Secara Timbal Balik Terhadap Hak Cipta antara Republik Indonesia dengan Inggris; 5. Keputusan Presiden RI N0. 74 Tahun

2004 tentang Pengesahan WIPO Performances and Phonogram Treaty (WPPT);

Belakangan ditambah lagi dengan pembuatan kesepakatan multilateral tentang perlindungan Audiovisual performances yang ditandatangani di Jenewa yang dikenal dengan Beijing Treaty on Audivisual Performance.[13]

Pilihan-pilihan untuk menjalin kerjasama dalam perlindungan karya cipta dengan berbagai negara sayangnya tidak dilakukan dengan sebuah kesungguhan untuk melihat kembali latar belakang sejarah yang telah mengabaikan berbagai nilai-nilai yang terkandung dalam masyarakat Indonesia. Negara Indonesia memanglah tergolong dalam negara yang masih berusia muda. Dalam usianya yang muda itu perjalanan sejarahnya telah mencatat bangsa ini dapat bertahan dan dipertahankan dengan nilai-nilai tradisional (nilai-nilai ke-Indonesiaan) yang dalam tulisan ini berkali-kali disebut sebagai the original paradigmatic value of Indonesian culture and society.

(16)

relevan untuk dikutip dalam naskah ini. Wertheim menulis sebagaimana dikutip oleh Syamsuddin Ishak sebagai berikut :

Proses yang terjadi pada masa lalu harus dipelajari dengan sangat sungguh-sungguh. Bagaimanapun, proses itu bukanlah hukum yang dapat dilepaskan yang harus diterima secara pasif oleh umat mansia. Proses itu tidak lebih dari regularitas yang hanya berlaku dalam suatu pola masyarakat, pada suatu periode tertentu.

Sejarah manusia merupakan suatu interaksi konstan dari pengulangan dan pembaruan, pengulangan yang bisa tampak dalam pakaian yang baru dan pembaruan yang tampak untuk suatu skema pengulangan. [14]

Dalam siklus sejarah semacam itu relevan juga untuk dihubungkan dengan siklus politik hukum unifikasi dalam suasana pluralisme hukum di wilayah negara Hindia Belanda.

Skema : 1

Siklus Politik Unifikasi Hukum Dalam Negara Hindia Belanda

Pada masa Hindia Belanda, ada keinginan agar di wilayah negara Hindia Belanda dapat diberlakukan hukum Eropa. Akan tetapi keinginan itu terus menerus mendapat perlawanan. Kenyataannya di Negara Hindia Belanda terdapat pluralisme hukum karena itu melalui Pasal 6 sampai 10 AB kemudian diteruskan dengan Pasal 75 RR lama diikuti dengan Pasal 75 RR baru terakhir disempurnakan dengan Pasal 131 dan Pasal 163 IS maka secara hukum telah dikukuhkan terdapat 3 golongan penduduk dengan 3 golongan hukum sebagaimana dalam gambar siklus di atas. Proses transformasi hukum Eropa

agar dapat diterima menjadi hukum di wilayah Negara Hindia Belanda dilakukan dengan penerapan politik hukum dengan asas konkordansi yakni menyamakan berlakunya hukum di Kerajaan Belanda dengan di wilayah Hindia Belanda. Politik hukum seterusnya dilakukan adalah setelah mendapat penolakan dari kalangan ahli hukum Bangsa Belanda sendiri yakni Van Vollenhoven untuk menggantikan hukum bumi putera dengan hukum Eropa kemudian dilaksanakan dengan pilihan politik hukum pernyataan berlaku, persamaan hak dan tunduk sukarela. Sampai akhirnya Indonesia merdeka, tak semua hukum Kerajaan Belanda itu dapat menggantikan posisi hukum Bumi Putera. Alasan yang sesungguhnya dapat dikemukakan adalah karena hukum bumi putera itu mempunyai “rohnya sendiri”, mempunyai spirit sendiri, mempunyai ideologi sendiri. Sampai setelah Indonesia merdeka-pun hukum asli bumi putera itu tetap tumbuh, hidup di tengah-tengah masyarakat Indonesia seperti hukum adat dan hukum agama.

Mengapa kemudian Pemerintah Hindia Belanda menempatkan orang Jerman dan orang Jepang kedalam golongan hukum Eropa ? Padahal orang Jepang adalah orang Asia yang dapat dikategorikan sebagai golongan penduduk Timur Asing. Akan tetapi karena ini berkaitan dengan kepentingan dagang dan dagang mempunyai ideologi yang sama yakni kapitalis-liberal, maka orang Jepang pun dikelompokkan kedalam golongan hukum Eropa. Ini adalah sebuah pertanda bahwa ideologi begitu penting dalam pembentukan hukum.

Siklus di bawah ini akan memperlihatkan bagaimana undang-undang hak cipta nasional terbentuk dengan latar belakang ideologi yang berpangkal pada ideologi kapitalis.

Sebuah ideologi yang menurut ramalan Bell dan Fukuyama sebagai ideologi akhir dari peradaban umat manusia yang oleh Ian Adam disebutnya sebagai Ideologi Pemenang.

Dalam kaitannya dengan Undang-undang Hak Cipta, hubungan antara ideologi itu dapat dilihat dalam skema di bawah ini.

Hukum  Eropa 

Hukum  Hindia  Belanda  Hukum 

Bumi  Putera 

(17)

Skema: 11

Siklus Politik Ideologi Pembentukan

Undang-undang Hak Cipta Nasional

Ketika Berne Convention telah ditanda tangani oleh sebagaian besar masyarakat Eropa, Belanda pada masa itu diharuskan menyesuaikan undang-undang hak cipta dengan konvensi itu. Segera setelah Belanda merevisi undang-undang hak ciptanya dengan Auteurswet Stb.1912 No. 600, beberapa waktu kemudian Negeri Kincir Angin itu meratifikasi Berne Convention. Selanjutnya dengan politik hukum kolonial, Kerajaan Belanda memberlakukan wet itu di wilayah jajahannya termasuk Indonesia yang kala itu menjadi bahagian dari Hindia Belanda. Berne Convention dengan latar belakang ideologi kapitalis itu masuk ke hukum Belanda yang juga penganut ideologi yang sama untuk selanjutnya menjalar ke wilayah hukum Hindia Belanda. Pasca kemerdekaan wet itu diteruskan dan menjadi acuan politik hukum nasional dalam penyusunan undang-undang hak cipta nasional, meskipun pada waktu itu ada keinginan murni untuk membangun hukum Indonesia dengan latar belakang ideologi Pancasila, sesuai dengan cita-cita kemerdekaan, sesuai dengan garis politik dan haluan negara, sesuai dengan jati diri bangsa yang disebut sebagai hukum kepribadian bangsa. Akan tetapi dalam kenyataannya, UU No.6 Tahun 1982, undang-undang hak cipta pertama yang menggantikan wet peninggalan Hindia Belanda tidak lebih dari translation atau terjemahan dari Wet yang berbahasa Belanda menjadi undang-undang yang berbahasa Indonesia. Singkatnya undang-undang itu tak dapat “meniupkan roh” Pancasila yang terjadi justeru sebaliknya undang-undang itu terjebak dalam lingkaran jiwa, nafas dan roh kapitalis.

Memasuki perjalanan berikutnya, ketika UU No.6 Tahun 1982 diberlakukan, ternyata di dunia, terutama di negara-negara industeri maju, terjadi perubahan besar pada peradaban umat manusia, ketika teknologi komunikasi, komputer dan teknologi serat optik ditemukan. Karya cipta sinematografi yang berasal dari negara asing itu menjadi industri kreatif yang tumbuh pesat yang banyak menyumbang pertumbuhan ekonomi negara-negara maju tersebut. Sementara di negara dunia ketiga termasuk Indonesia ketika itu, masih terbelakang dalam teknologi itu dan banyaklah kemudian terjadi pembajakan atau pelanggaran hak cipta. Ini kemudian membuat negara seperti Amerika menjadi berang, puncaknya negara itu kemudian meminta kepada Indonesia untuk merubah undang-undang hak cipta nasionalnya yang intinya dapat memberi perlindungan terhadap karya cipta mereka. Ini

Politik 

Ideologi  Pembentukan 

Undang‐ undang Hak 

Cipta  Nasional  Auteurswet 

1912 Stb  No. 600 

UU No.  19/2002

UU No.  28/2014 UU No. 

6/1982 

UU  No.  7/1987 

UU No.  12/1997 Ideologi 

Pancasila 

Bern  Convention

Ideologi 

Kapitalis 

Tekanan Amerika  Negara Industri Maju 

(Ideologi Kapitalis) 

TRIPs  Agreement  dan konvensi 

(18)

fase kedua masuknya ideologi kapitalis ke dalam undang-undang hak cipta nasional. Fase berikutnya terjadi pelembagaan secara normatif dan terstruktur dalam dunia Internasional, ketika Uruguay Round diakhiri dengan persetujuan GATT /WTO pada tahun 1994 yang memasukkan issu Hak Kekayaan Intelektual yang kemudian terlembaga dalam TRIPs Agreement. Hasil akhir ini juga adalah merupakan puncak kemenangan negara-negara kapitalis melawan negara-negara dunia ketiga yang sejak awal begitu “alergi” dengan kapitalis yang sejak awal telah menolak memasukkan issu Hak Kekayaan Intelektual dalam GATT. Pelembagaan secara normatif ini adalah fase ketiga masuknya faham ideologi kapitalis ke dalam undang-undang hak cipta nasional, dengan merubah UU hak Cipta No.7 tahun 1987 menjadi UU Hak Cipta No.12 Tahun 1997. Fase keempat adalah fase ujian, apakah undang-undang yang sudah sesuai dengan keinginan negara-negara kapitalis itu dapat efektif diberlakukan, ternyata jawabannya tidak. Situasi penegakan hukumnya tetap sama seperti pada masa pemberlakuan Auteurswet 1912 Stb. No. 600 pada masa Hindia Belanda. Akan tetapi ada ketidak percayaan negara-negara maju tersebut dengan kenyataan itu. Kenyataan hak cipta asing di lapangan karya sinematografi terus-menerus dibajak. Tudingan pemerintah asing tak dapat ditampik, akan tetapi Pemerintah Indonesia tidak kehilangan akal, perjanjian bilateral untuk saling melindungi karya cipta di bidang itupun dibuat. Entah itu untuk meyakinkkan negara-negara tersebut agar Indonesia dianggap negara yang taat hukum di mata mereka, entah itu sebuah basa-basi, tapi yang pasti setelah perjanjian bilateral itu ditanda tangani pembajakan hak cipta tak pernah berhenti. Negara-negara asing itu tak pernah tahu dan tak pernah ingin tahu faktor penyebabnya, yang mereka tahu sampai hari ini masih pada alasan yang dulu-dulu juga, yakni sanksi hukum terlalu rendah, pada hal ancaman hukumannya sudah 5 tahun dan denda 5 milyar, jumlah uang yang tak pernah dilihat oleh pedagang kaki lima penjual hasil karya sinematografi bajakan.

Pembuat undang-undang di negeri inipun seolah-olah kehabisan kamus, diturunkan razia besar-besaran, tetapi setelah razia praktek pembajakan berjalan lagi. Anjing menggonggong kafilah lalu, biduk lalu kiambangpun bertaut. Tak ada yang istimewa dari gerakan razia yang dilakukan oleh aparat keamanan. Memang sulit untuk memberikan

jawaban terhadap fenomena ini. Pelanggaran demi pelanggaran dalam bidang hak cipta terus berlangsung, hingga akhirnya menempatkan Indonesia pada negara nomor 2 terbesar di dunia setelah Cina sebagai negara pelanggar hak cipta. Tudingan dunia internasional mengarah ke Indonesia yang berujung pada perubahan Undang-undang Hak Cipta No. 19 Tahun 2002. Undang-undang itu adalah Undang-undang No. 28 Tahun 2014 sebagai pengganti undang-undang Hak Cipta No. 19 Tahun 2002. Sebagai instrument untuk mengatur perilaku kehidupan para pencipta dan konsumen hak cipta di Indonesia undang-undang ini mestinya tak boleh cacat. Jika hukum yang akan dijadikan sebagai acuan untuk pedoman tingkah laku dalam hubungan hukum yang berkaitan dengan hak cipta – seperti hak penyewaan, lisensi, larangan memperbanyak hak cipta atau mengumumkan hak cipta tanpa izin pencipta, dan lain-lain – cacat hukum maka sudah dapat dipastikan yang terjadi adalah kekacauan, ketidak harmonisan, penyimpangan perilaku yang berujung pada ketidak seimbangan (disequilibrium) dalam masyarakat yang dalam terminologi hukum disebut sebagai bentuk ketidak adilan. Kata adil [15] selalu menjadi kata kunci dalam hukum baik dalam tataran basic policy maupun dalam tataran anactment policy.Ketidak adilan itu muncul karena hukum yang dilahirkan jauh dari nilai/rasa (value) keadilan masyarakat. Hukum yang dilahirkan itu tidak mengacu pada sosio-kultural yang melekat dalam masyarakat. Kerap kali hukum yang dilahirkan tercerabut dari akar ideologi bangsanya dan memuat ideologi asing yang tidak sesuai dengan the original paradicmatic value of Indonesian culture and society. Dalam kasus hak cipta, undang-undang yang dilahirkan oleh lembaga legislatif Indonesia telah memperlihatkan sisi kelemahan yang mendasar yakni secara filosofis meninggalkan nilai-nilai ideologi bangsa dan negara yakni Pancasila dan dilain pihak mengadopsi norma hukum dengan muatan ideologi kapitalis. [16]

Itulah sebabnya, banyak peneliti dalam bidang hukum mengingatkan agar dalam mengadopsi hukum asing ke dalam hukum nasional hendaklah memperhatikan aspek struktur dan kultur bangsa tempat dimana hukum itu diberlakukan. [17]

(19)

bukanlah pekerjaan yang mudah. The law of nontransferability of law, demikian ungkapan Seidman untuk menyebutkan, hukum suatu bangsa tak dapat diambil alih begitu saja tanpa mengambil seluruh pernak-pernik sosial budaya, kultur dan struktur yang mengitari tempat dimana hukum itu diberlakukan. Kulturnya adalah nilai (ideologi) yang terkandung dalam norma hukum itu sebagai pilihan sikap budaya (hukum) masyarakatnya. Strukturnya adalah, apakah aparat hukumnya sudah memiliki perilaku yang sama dengan aparat hukum tempat hukum itu berasal. Jika jawabnya tidak, maka itulah jawaban atas kegagalan penegakan hukum hak cipta di negeri ini. Jadi tak cukup transplantasi hukum itu, mencangkokkan norma hukumnya saja, tapi harus diikuti dengan strukturdan budayanya. Tampaknya transplantasi hukum Asing ke Undang-undang hak cipta Nasional masih akan menjalani masa sulit dalam penerapannya untuk tidak dikatakan gagal, sampai ada jawaban dari siapa pemenang Ideologi dalam pertarungan selanjutnya.

Sebagai instrumen untuk mengatur perilaku pada fase kelima yakni periode Undang-undang No. 28 Tahun 2014

Kesimpulan

Berdasarkan uraian di atas, dengan menggunakan perspektif sejarah dan pendekatan politik hukum, uraian ini diakhiri dengan kesimpulan sebagai berikut :

1. Sejak semula undang-undang hak cipta Indonesia berpangkal pada dasar filosofis barat yakni bersumber dari Auteurswet 1912 Stb No. 600 yang merupakan produk hukum Kolonial Belanda – dengan latar belakang ideologi Barat – yang kemudian diteruskan sampai masa kemerdekaan. 2. Catatan sejarah membuktikan bahwa

azas konkordansi – menyamakan berlakunya hukum hak cipta di Negeri Belanda dengan wilayah jajahannya – telah membuahkan kultur hukum asing ke dalam tatanan budaya hukum Indonesia sebagai kristalisasi dari nilai-nilai budaya colonial yang telah merasuk ke dalam tatanan hukum masyarakat Indonesia hingga pasca kemerdekaan dalam berbagai periode kepemimpinan nasional.

3. Dalam perjalanan sejarah berikutnya Indonesia menjadi negara yang sangat bergantung secara ekonomis seperti pinjaman luar negeri – dan bahkan politis terutama dalam bidang pertahanan keamanan- sehingga ketergantungan itu membuat Indonesia tidak mandiri dalam menentukan kebijakan ekonomi negaranya yang berujung pada “intervensi” negara-negara maju melalui instrument hukum internasional dalam tatanan basic policy pembuatan undang-undang hak cipta nasional.

4. Bahwa lima kali perubahan undang-undang hak cipta nasional – mulai dari undang-undang No. 6 Tahun 1982, Undang-undang No. 7 Tahun 1987, Undang-undang No. 12 Tahun 1997, Undang-undang No. 19 Tahun 2002 sampai dengan Undang-undang No. 28 Tahun 2014 – diwarnai dengan pengaruh yang begitu kuat (berupa intervensi) negara maju melalui instrument hukum internasional seperti Bern Convention, Paris Convention, Rome Convention dan TRIPs Agreement serta perjanjian bilateral lainnya.

5. Keharusan Indonesia untuk

menyesuaikan aturan perundang-undangan hak ciptanya – termasuk seluruh hukum yang berkaitan dengan HKI – dengan instrument hukum internasional itu, menyebabkan undang-undang hak cipta Indonesia menjadi cacat pada tataran basic policy, secara kultural dan filosofis serta pada tataran anactment policy undang-undang itu tidak mempunyai kekuatan daya laku atau cacat secara sosiologis.

Rekomendasi

(20)

1. Badan legislasi nasional haruslah benar-benar mempersiapkan naskah akademik yang baik untuk tiap-tiap peraturan perundang-undangan yang akan dilahirkan dengan mengacu pada the original paradigmatic values of Indonesian culture and society yang terjelma dalam dasar filosofis-ideologis negara Indonesia yakni Pancasila. Dengan demikian diharapkan seluruh

peraturan perundang-undangan Indonesia yang lahir di bumi Indonesia

tidak tercerabut dari akar budaya bangsa.

2. Keharusan untuk turut dalam pergaulan internasional pada era globalisasi – sekarang ini dengan semakin terbukanya perdagangan (free trade) duniaadalah sesuatu yang tidak terelakkan yang mesti diterima dengan baik – dan itu tidak bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila akan tetapi westernisasi dengan ideologi kapitalis dan demokrasi liberalnya bukanlah syarat mutlak yang harus diikuti, bangsa ini harus punya jati diri, caranya adalah dengan menguatkan kepemimpinan nasional, menata kembali manajemen pemerintahan yang saat ini porak poranda, mendudukkan struktur lembaga-lembaga negara dengan sistem pemerintahannya yang commit nationaly dengan tanpa mengabaikan act locally, kesemua itu berujung pada “penguatan dari dalam” atau dalam bahasa Bung Karno “berdikari”, barulah kemudian Indonesia dapat turut serta mewarnai dunia dengan konsep think globally.

Referensi :

[1] Sebelum masuknya Pemerintah Kolonial Belanda tatanan masyarakat nusantara telah memiliki hukum asli berupa norma adat, norma agama dan norma kebiasaan yang oleh Van Bollenhoven disebutnya sebagai adat recht, lihat Haar, T., Asas-asas dan Tatanan Hukum Adat, Mandar Maju, Bandung, 2011.

[2] Wignjosoebroto, S.,Dari Hukum Kolonial ke Hukum Nasional Dinamika Sosial-Politik Dalam Perkembangan Hukum di Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta, 1994, hal. 3. Beliau mengungkapkan pilihan itu dilakukan oleh Pemerintah Hindia Belanda yang dilatarbelakangi oleh kebijakan-kebijakan

liberalisme yang mencoba untuk membukakan peluang-peluang lebar pada dan untuk modal-modal swasta dari Eropa guna ditanamkan kedalam perusahaan-perusahaan besar di daerah jajahan (namun juga dengan maksud di lain pihak tetap juga melindungi kepentingan hak-hak masyarakat adat ataupun hak-hak pertanian tradisional masyarakat pribumi). Perlindungan itu diberikan dengan cara mengefektifkan berlakunya hukum untuk rakyat pribumi, dengan memberi ruang berlakunya hukum adat.

[3] Lihat lebih lanjut, Wignjosoebroto, S.,Hukum Paradigma, Metode dan Dinamika Masalahnya, ELSAM, Jakarta, 2002, hal. 266. Kisah ini diawali dari para pejabat Eropa yang direkrut untuk mengisi jabatan dalam pemerintahan kolonial dan untuk itu perlu pendidikan secara khusus di berbagai kota di Belanda yaitu di Leiden, Delf dan Utrecht yang sebahagian besar diajarkan mengenai hukum, bahasa, adat, kebiasaan dan lembaga-lembaga agama rakyat pribumi di daerah koloni. Di ketiga kota yang beroperasi lembaga pendidikan itu Leiden tercatat paling besar dan paling banyak berpengaruh karena Rijks Univesiteit yang berkedudukan di Leiden menjadi pusat pemikiran liberal yang menganut garis politik etis dalam menangani urusan koloni. Akan tetapi secara mengejutkan Leiden ternyata tidak bisa sejalan dengan rencana orang-orang resmi pemerintahan untuk menjalankan politik hukum pemerintah Hindia Belanda dan diantara orang-orang yang menggagalkan upaya itu adalah Van Vollen Hoven dan Ter Haar dikemudian hari lewat kedua orang inilah akhirnya orang-orang pribumi di Indonesia memiliki hukumnya sendiri yang kemudian dikenal dengan Adat Rechts atau hukum adat yang untuk pertama kalinya dipergunakan oleh Snouck Hurgronje dalam bukunya De Atjech hers dan Het Gajo Land.

[4] Lihat lebih lanjut Lubis, M. Solly., Serba-Serbi Politik & Hukum, PT. Sofmedia, Jakarta, 2011, hal. 97. Lihat juga Arief, S.&Sasono, A., Indonesia Ketergantungan dan Keterbelakangan, Mizan, Jakarta, 2013.

[5] Stephen, D,E. Ambrose and Brinkley, Douglas G., Rise to Globalism, American Foreign Policy Since 1938, Penguin Books, London, 2011, hal. 1.

(21)

[7]Lev, Daniel S.,The Transition to Guided Democracy Indonesian Politics 1957-1959, Equinox Publishing, Jakarta, 2009, p. 404. Though, Indonesia got freedom from the Netherlands and Japan on 17 August 1945 but it is still bound with bureaucracy structure left by Netherland colonialist and also, in law, Indonesia still had to enforce the Netherland Colonial Law for next few years until the existence of new legislation made by the Government of Indonesia.

[8] Saidin, OK.,Transplantasi Hukum Asing ke Dalam Undang-undang Hak Cipta Nasional dan Penerapannya Terhadap Perlindungan Karya Sinematografi (Studi Kasus tentang Dinamika Politik Hukum dari Auteurswet 1912 ke TRIPs Agreement 1994), Disertasi, Pascasarjana USU, Medan, 2013, hal. 165.

[9]  Saidin, OK.,Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual (Intellectual Property Rights), PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2015, hal. 119.

[10] Perlawanan yang nyata untuk kasus di luar obyek pembahasan dalam artikel ini, ketika nilai-nilai yang terpendam (laten) itu kemudian muncul (manifes) ketika rakyat Aceh menentang dan melakukan gerakan perjuangan untuk keluar dari NKRI lalu dengan sebuah kompromi politik di Helsinky ditanda tangani sebuah kesepakatan bahwa Aceh diberi otonomi khusus untuk menjalankan Syari’at Islam, sebuah nilai yang dihilangkan dalam sejarah perjalanan masyarakat Aceh bergabung di bawah naungan NKRI. Lebih lanjut lihat Eda, Fikar W. dan Dharma, S. Satya., Sebuah Kesaksian Aceh Menggugat, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1999. Lihat juga Reid, A.,Asal Mula Konflik Aceh, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2005.

[11]  Adam,  I.,Ideologi Politik Mutakhir Konsep, Ragam, Kritik dan Masa Depannya, Qalam, Yogyakarta, 2004, hal. viii

[12] Juwono, H., Hukum Internasional Dalam Perspektif Indonesia Sebagai Negara Berkembang, PT. Yarsip Watampone, Jakarta, 2010, hal 37.

[13] Disebut sebagai Beijing Treaty karena kesepakatan itu lahir dari diplomatic conference yang dilaksanakan pada tanggal 24 Juni 2012 di Beijing yang juga sekaligus mengakhiri 12 tahun negosiasi multilateral di bawah WIPO. Indonesia menjadi negara ke-53 yang menandatangani Beijing Treaty ini, namun traktat ini belum diberlakukan menunggu ratifikasi paling sedikit 30 negara-negara anggota penandatangan. Lebih lanjut lihat PTRI Jenewa/EDPY, Indonesia Tandatangani Beijing Treaty on Audiovisual Performance di Jenewa, Rabu 19 Desember 2012.

[14]Ishak, S., Keindonesiaan : Persatuan yang Terhenti, Kesatuan yang Asimetris, Prisma,

Volume 30, 2011, LP3ES, Jakarta, 2011, hal. 4. Lihat lebih lanjut dalam Willem Frederik Wertheim, Masyarakat Indonesia dalam Transisi : Studi Perubahan Sosial, Penerjemah Misbah Zulfa Elizabeth, Tiara Wacana, Yogyakarta, 1999, hal. xii.

[15] Lebih lanjut lihat Rawls, J., A Theory of Justice, Harvard University Press, London, 2005 dan Amartya Sen, The Idea of Justice, Allen Lane, New York, 2009. Rahman Fazlur, Tema Pokok Al-Qur’an, Pustaka, Bandung, 1996. Dalam Al-Qur’an kata adil adalah kata terbanyak ketiga setelah kata ilmu dan kata Tuhan. Demikian pentingnya kata adil sehingga Al-Qur’an mengingatkan janganlah karena kebencianmu terhadap suatu kaum membuat kamu tidak berlaku adil kepadanya. (Q.S.: Al-Maidah ayat 8).

[16] Lebih lanjut lihat Saidin, OK., Transplantation of Foreign Law Into Indonesian Copyright Law : The Victory of Capitalism Ideology on Pancasila Ideology, Journal of Intellectual Property Rights, National Institute of Science Communication and Information Resources, CSIR, New Delhi, India, 2015, 20 (4) pp. 230-249.

[17] Lebih lanjut lihat Black, D., The Behavior of Law, New York, Academic Press, 1976 dan Black, D., Sociological Justice, Oxford University Press, United Kingdom, 1989. Lihat juga Watson, A., Legal Transplants and Approach to Comparative Law, Scotish, Academic Press, America, 1974 ; Watson A., Legal Transplants and European Private Law, University of Belgrade School of Law, Pravni Fakulteit, Belgrade, 2006 ; Watson, A., The Evolution of Western Private Law, The Johns Hopkins University Press, Baltimore and London, 2001.

(22)

HUKUM YANG CACAT SEJAK LAHIR:

KASUS UNDANG-UNDANG HAK CIPTA INDONESIA

 

 

 

 

 

Oleh

 

:

 

OK.Saidin

Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

 

 

 

 

 

 

Disampaikan

 

Dalam

 

Acara

 

Seminar Ilmiah Dies Natalis Ke-63 USU

Tanggal 18-19 Agustus 2015

 

Di

 

Kantor

 

Pusat

 

Administrasi

 

USU

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

FAKULTAS

 

HUKUM

 

UNIVERSITAS

  

SUMATERA

 

UTARA

 

M

 

E

 

D

 

A

 

N

 

Referensi

Dokumen terkait

Industri batu alam buatan: Dikarenakan batu alam adalah bahan alam yang tidak dapat diperbaharui, dan sekarang sulit untuk didapatkan dengan harga yang semakin

Hal ini juga didukung oleh penelitian Hasanah (2012) tentang pengaruh lama fermentasi terhadap kadar alkohol tape singkong ( Manihot utilissima ) menunjukkan bahwa

[r]

Koordinasi dengan seluruh Ketua Pengadilan Tindak Pidana Korupsi diseluruh Indonesia untuk menyamakan persepsi tentang upaya keberatan sebagaimana ketentuan Pasal 19

The writer hopes that this thesis will give useful significances to the reader, especially for the students at English Education Department, Teacher Training

Faktor –faktor yang mendukung dalam penyelesaian konflik penambang pasir di Gampong Limau Purut kecamatan Kluet Utara Kabu Paten Aceh Selatan sangat jelas, karena dari

KOMPOSISI DAN KELIMPAHAN IKAN YANG BERASOSIASI DENGAN LAMUN PADA KERAPATAN LAMUN YANG BERBEDA DI PULAU PANJANG JEPARA. Agus Nurchotim, Ruswahyuni, Niniek

Hasil dari pengujian klasifikasi menggunakan algoritma C4.5 menunjukkan nilai akurasi dalam kategori fair classification , hal ini disebabkan karena faktor penentu