• Tidak ada hasil yang ditemukan

MEREKONTRUKSI KEMBALI PENDIDIKAN AGAMA I

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "MEREKONTRUKSI KEMBALI PENDIDIKAN AGAMA I"

Copied!
4
0
0

Teks penuh

(1)

MEREKONTRUKSI KEMBALI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DALAM MELAHIRKAN MASYARAKAT YANG RELIGIUS

Benny Prasetiya1 Abstrak

Berkembangnya Ilmu Pengetahuan dan Teknologi yang bertumpu pada paradigma yang salah akan menghasilkan pemikiran untuk tidak membutuhkan nilai-nilai religiusitas. Hal ini bias dilihat pendidikan Agama yang ada di sekolah-sekolah tidak mampu mengarahkan dan membentuk pribadi siswa yang bermoral dan membentuk masyarakat yang religius. Pemikiran inilah yang menjadi landasan utama untuk merekontruksi kembali sistem pemikiran dan pendidikan Islam sehingga mampu melahirkan SDM yang modern dan religius.

Pendahuluan

Dalam era global seperti sekarang ini, persoalan pokok yang kita hadapi adalah bagaimana cara menyiapkan SDM yang modern dan religius, yang mampu bersaing dan tidak tersesat dalam menghadapi kehidupan yang selalu diwarnai budaya IPTEK. Berkembangnya Ilmu Pengetahuan dan Teknologi yang bertumpu pada paradigma yang salah akan menghasilkan pemikiran untuk tidak membutuhkan nilai-nilai religiusitas. Pemikiran yang menyesatkan inilah dimana akan memicu masyarakat yang memiliki sifat sekularistik yang jelas-jelas memisahkan kehidupan beragama dengan masalah-masalah keduniawian. Persoalannya adalah apakah sistem pendidikan Islam yang ada sekarang ini cukup akomodatif terhadap tantangan itu, ataukah kita harus berpikir bagaimana alternatif tentang sistem pendidikan Islam sehingga mampu mengahadapi segala persoalan dan tantangan jaman?

1Benny Prasetiya adalah pengajar pada prodi Tarbiyah STAIM Probolinggo

Pada satu sisi harus diakui bersama bahwa pendidikan Islam yang ada di sekolah-sekolah tidak mampu mengarahkan dan membentuk pribadi siswa yang bermoral dan membentuk masyarakat yang religius. Malah yang terjadi di tengah-tengah masyarakat Indonesia adalah berita-berita mengenai tindakan pencurian kendaraan baik roda dua maupun empat, penguna narkoba atau bahkan pengedar, pemerasan dan perampokan yang hampir setiap hari mewarnai tiap lini kehidupan di negara kita tercinta ini banyak dilakukan oleh oknum golongan terpelajar. Semua ini jadi tanda tanya besar kenapa hal tersebut terjadi?. Apakah dunia Pendidikan khususnya pendidikan Islam (dari SD sampai PT) kita sudah tidak lagi mengajarkan tata susila, pemantapan akidah dan prinsip saling sayang - menyayangi kepada siswa atau mahasiswanya atau kurikulum pendidikan Islam sudah melupakan prinsip kerukunan antar sesama? Atau inikah hasil dari sistim pendidikan Islam selama ini ?. Dilain pihak, tindakan korupsi, kolusi dan nepotisme yang membuat bangsa ini morat-marit dengan segala permasalahanya baik dalam bidang keamanan, politik, ekonomi, sosial budaya serta pendidikan banyak dilakukan oleh orang orang yang mempunyai latar belakang pendidikan tinggi baik dalam negri maupun luar negri. Dan parahnya, era reformasi bukannya berkurang tapi malah tambah jadi. Sehingga kapan krisis multidimensi ini akan berakhir belum ada tanda-tandanya.

Pendidikan nasional khususnya pendidikan agama di sekolah mungkin selama ini telah mengeyampingkan banyak hal. Seharusnya pendidikan nasional dan agama kita mampu menciptakan pribadi (generasi penerus) yang bermoral, mandiri, matang dan dewasa, jujur, berakhlak mulia, berbudi pekerti luhur, berperilaku santun, tahu malu dan tidak arogan serta mementingkan kepentingan bangsa bukan pribadi atau kelompok.Tapi kenyataanya bisa kita lihat saat ini. Pejabat yang melakukan korupsi, kolusi dan nepotisme baik di legislative, ekskutif dan yudikatif semuanya orang-orang yang berpendidikan bahkan tidak tanggung-tanggung, mereka bergelar dari S1 sampai Prof. Dr.

(2)

Persoalan di atas didasarkan pada fakta yang terjadi ditengah-tengah masyarakat kita, dimana bangsa Indonesia yang merupakan masyarakat plural yang mayoritas umat Islam kurang bermartabat dibandingkan dengan kelompok-kelompok lain yang justru minoritas. Ketidakmartabatan itu bisa dilihat ari 30 juta umat Islam berada dibawah garis kemiskinan. Tentunya dengan kondisi semacam ini bangsa Indonesia tidak akan pernah maju dan sejahtera selama selama umat Islam masih terbelakang dan terus miskin. ( Mulkan:1998)

Rekontruksi Pendidikan Islam menuju Masyarakat Religius dan modern

Dalam sebuah masyarakat modern menurut Ashraf (1996), merencanakan pendidikan Islam atas dasar metafisika tidaklah mudah, karena masyarakat meragukan, menantang dan bahkan menantang asumsi lama tentang masyarakat. Orang-orang muslim yang sudah teracuni dengan paham sekularisme tidak mempercayai asumsi dasar bahwa kebudayaan dan peradaban Islam sama dengan peradaban barat Modern. Mereka tidak bisa percaya adanya alam semesta ciptaan Tuhan dimana fenomena alamiah adalah ayat Alah dan bersamaaan dengan itu pula menganggap fenomena itu tidak lebih dari bahan yang dirampas untuk kepentingan sementara. Pada sisi lain mereka tidak percaya bahwa Adam adalah manusia pertama yang diciptakan Allah, tapi bersamaan dengan itu pula percaya pada evolusi.

Persoalan di atas dapat diatasi dengan usaha yang seoptimal mungkin untuk membentuk masyarakat religius di tengah masyarakat modern. Faktor yang cukup esensi dalam pendidikan Islam bertumpu pada stucture of religius person. Karena bagaimanapun juga untuk membentuk masyarakat yang religius tidak terlepas dari individu-individunya. Sebab pada dasarnya masyarakat merupakan kumpulan dari individu, dan apapun yang ada dalam lingkungan masyarakat merupakan kumpulan dari individu, dan apapun yang ada dalam lingkungan masyarakat itulah yang akan mewarnai profil individu yang pada kahirnya akan mempengaruhi profil dari peradaban manusia.

Djohar (1998) mengungkapkan apabila profil kehidupan setiap individu dalam masyarakat itu baik, dapat diharapkan profil masyarakat itu baik juga. Oleh karena itu, bagaimana profil masyarakat religius itu secara induktif dapat disekati dari karakteristik pribadi. Karena religiositas individu merupakan karakteristik pribadi, maka perwujudannya dalam diri seseorang paralele dengan proses pertumbuhan perkembangan kepribadian orang tersebut.

Profil religius stucture ini tentunya menggambarkan personalia seseorang atau manusia yang meruapakan internalisasi nilai-nilai religiositas secara utuh, yang diperoleh dari hasil sosialisasi nilai religius disepanjang kehidupannya. Sehingga kalau seseorang itu religius, mestinya personalitanya menggambarkan bangunan integral atau struktur integral dari manusia yang religius. Karakteristik reliusitas semacam itulah yang tentunya diharapkan oleh semua pihak. Artinya, masyarakat yyang memiliki peradaban yang bukan didominasi karakteristik materialistik, individualistik dan hedonistik, yang justru menjauh dari norma peradaban manusia itu sendiri.

Selanjutnya Djohar (1998) memaparkan bahwa untuk mewujudkan masyarakat yang memiliki Sumberdaya manusia yang modern dan religius perlu merekontruksi pendidikan Islam. Rekontruksi tersebut bisa melalui kelembagaan, substansi dan proses. Paradigma proses pendidikan yang diharapkan dalam hal ini dapat memenuhi tuntutan pendidikan Islam sebagai substansi internalisasi pendidikan islam. Sehingga dalam pendidikan islam dapat menghasilkan produk pendidikan Islam yang bisa mengambil peran dalam Iptek.

Lain halnya dengan apa yang diungkapkan oleh Achwan (1998), bahwa gagasan rekontruksi ulang pemikiran pendidikan Islam dapat ditawarkan menurut prosedur paradigma filosofis berikut ;

a. Orientasi filosofis-metafisika; pengembangan realitas spiritual dan experience melalui peninjauan kembali persepsi tentang kediktatoran ideologik-ilahiyah yang dapat membatasi pengungkapan kegaiban alam. Bersamaan dengan itu,

(3)

konseptualisasi esensi substansial manusia (to restate the nature of man )kama haddadahu al Islam.

b. Orientasi filosofis-epistemologi; pengungkapan pengetahuan melalui rethinking, sensation, experiencing, emperial verification

dengan prosedur scientific method dalam melihat alam serta

coceptual and logical analysis, terhadap firman Allah. Dalam hal ini perlu mengaitkan pelajar-pelajaran ilmu pengeathuan umum dengan firman-firman Allah.

c. Orientasi filosofis-aksiologi; absolutisasi nilai-nilai Ilahiyah dan relatifisasi nilai-nilai kemanusiaan sepanjang konteks ketuhanan. Misalnya, konsep akhlak yang menjadi alternatif utama bit’sah, seharusnya dimaknai secara kompherensifmaupun kompleksibel. d. Orientasi filosofis; memahami wahyu melalui prinsip-prinsip logika

yang ditawarkan wahyu sendiri.

e. Implikasi eduaksi; metoda, kurikulum, dan sebagainya didunia-akheratkan, dalam makna bahwa keduanya tidak terbatasi dengan ruang dan waktu.

Orientasi tersebut tidak akan pernah terwujud manakala tidak ada relevansi yang baik dengan metode pengajaran yang diberikan guru. Apabila dalam proses pengajaran agama islam hanya mengisi pada aspek kognitif saja atau intelektual, maka tidak akan mengisi pembentukan pribadi dan watak. Hal ini terjadi karena adanya pergeseran-pergeseran di dalam konsep pendidikan itu sendiri. Pendidikan tidak lagi dipandang sebagai lifwe long education, proses pendidikan terus menerus, atau proses dimana menuntut ilmu, upaya meningkatkan kecerdasan, tidak hanya sekedar pengisian intelektual, tapi juga pembentukan pribadi dan watak.

Pemikiran tersebut menjadi sangat relevan dengan zaman sekarang yang disebut dengan zaman pasca modernisme. Zaman ini dimana globalisasi mengakibatkan semakin tingginya dislokasi kekacauan sosial atau juga dislacement, banyaknya orang yang tersingkir atau juga aliensi dan lain sebagainya. Justyru pembentukan watak ini menjadi sangat penting. Orang-orang yang berkepribadian

kuat, yang berkarakter akan lebih tangguh mengahadpi globalisasi maupun dampak –dampak negatifnya.

Inilah yang semakin kurang di dalam sistem pendidikan Islam, bahwa pendidikan Islam semakin formaldimana hanya menekankan pada pengajaran agama saja. Sedangkan aspek learningnya terhadap pembentukan pribadi dan watak islami terabaikan. Oleh karena perlu dirubah dari konsep tarbiyah menuju learning dan ta’lim. Sehingga dari konsep ini akan mengembangkan proses inkulturisasi, proses pembudayaan anak didik dan proses proses pembudayaan orang-orang yang terlibat dalam pendidikan. Dari sinilah kan terbentuk konsep pendidikan yang mengedepankan tauhid paradigm atau paradigma tauhid. Dalam hal ini paradigma tauhid bukan hanya mengesakan Tuhan akan tetapi lebih kearah pengintegrasian seluruh aspek, seluruh pandangan dan aspek kehidupan di dalam sistem dan lapangan kehidupan sosial. Sehingga dengan terbentuknya rekontruksi ini akan mewujudkan masyarakat yang religius sebagaimana tujuan dari pendidikan islam.

Maraknya krisis moral yang menimpa bangsa ini memberikan suatu pandangan terhadap pemerhati pendidikan dan masyarakat akan gagalnya pendidikan yang diperoleh di sekolah khususnya pendidikan agama. Dengan demikian persoalan ini membutuhkan solusi yang konstruktif terhadap sistem pendidikan agama islam yang ternyata tidak mampu mengantarkan siswa menjadi pribadi yang bermoral dan berwatak religius sebagai mana yang terdapat dalam ajaran agama Islam.

Kesimpulan

(4)

kognitif saja, namun jauh dari itu penerapan dan aplikasi dalam kehidupan sehari-hari dan penghayatan terhadap agama yang diyakininya. Di samping itu harus ada revansi yang baik terhadap pengajaran agama yang senantiasa dikaitkan dengan aspek lingkungan yang menyangkut science dan teknologi sebagai penterjemahan dari ayat-ayat Allah.

Tentunya dengan konsep pendidikan yang direkontruksi diharapkan mampu menjawab keinginan masyarakat untuk membentuk masyarakat yang religius dan modern dengan tidak mengeyampingkan pedoman dasar agama Islam yaitu Al-qur’an dan Sunnah Rosul.

Keberhasilan pendidikan Islam tidak hanya bergantung pada pengajar atau guru dalam menyampaikan materi pendidikan agama Islam, namun lebih dari itu peran masyarakat dan orang tua sebagai lingkungan yang sangat mempengaruhi watak dan pribadi anak. Lingkungan yang sehat dan keluraga yang religius akan amat mudah membentuk kepribadian anak yang religius pula.

Kepada para pendidik diharapkan pendidikan agam Islam yang diberikan disekolah hendaknya tidak hanya dipaparkan pada pengetahuan agama saja, akan tetapi aplikasi dan penghayatan terhadap nilai-nilai agama Islam harus dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari. Pendidik atau guru hendaknya tidak terlalu terfokus pada tataran kemampuan siswa dalam menjawab soal-soal dalam ujian. Namun seorang pendidik harus mampu menanamkan nilai dan kesadaran bagi para siswa.

Referensi

Mulkan, Munir. 1998. Religiusitas Iptek. Yogyakarta; Pustaka Pelajar Djohar, 1998. Profil Religiositas Sosial dalam Pendidikan Islam.

Yogyakarta, Pustaka Pelajar

Achwan, Roihan. 1998. Kontruksi Filosofis Pendidikan Islam. Yogyakarta. Pustaka Pelajar

An Nahlawi, Abdurrahman.1995. Pendidikan islam di Rumah, Sekolah dan Masyarakat. Jakarta; Gema Insani Press

Tafsir, Ahmad. 1994. Ilmu Pendidikan dalam Prespektif Islam. Bandung; Rosdakarya

Ashraf, Ali. 1996. Horison Baru Pendidikan Islam. Jakarta; Pustaka Firdaus.

Tafsir, Ahmad. 1992. Metodik Khusus Pendidikan Agama Islam. Bandung; Rosdakarya

Referensi

Dokumen terkait

Hasil temuan yang berbeda dari para peneliti - peneliti yang telah diuraikan di atas, maka penulis tertarik untuk menguji kembali pengaruh operating leverage dan

Sejak sekitar tahun 1970-an, institusi litbang kehutanan di Gunung Batu, Bogor (namanya sejak dulu sudah sering berubah dan sekarang bernama Pusat Litbang Hasil Hutan Bogor)

Pada analisis akhir perhitungan dengan menggunakan uji t diperoleh hasil nilai sig (2-tailed) 0,002 < 0,05 maka Ho ditolak dan Ha diterima, sehingga terdapat perbedaan antara

Peserta yang maju ke babak final dipilih dari seleksi 5 finalis yang memiliki nilai tertinggi hasil kumulatif dari semua aspek penilaian yang dikategorikan dalam

Setiap orang yang melanggar ketentuan dalam Pasal 76D dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling

Pendidikan Khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan fisik, emosional,

orangtua seringkali tidak mengetahui anak mereka memiliki spektrum autis hingga beberapa bulan bahkan hingga 3 tahun setelah dilahirkan. Hal ini dikarenakan

Pada prinsipnya tanggung jawab organ atau yayasan yang jatuh pailit sama saja seperti tanggung jawab pada yayasan dalam keadaan normal, Pertanggungjawaban organ