• Tidak ada hasil yang ditemukan

Competitivenes Analysis and Government Policy Effect on Business of Vanda doughlas Orchid in Tangerang Selatan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Competitivenes Analysis and Government Policy Effect on Business of Vanda doughlas Orchid in Tangerang Selatan"

Copied!
106
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS DAYA SAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN

PEMERINTAH TERHADAP USAHA ANGGREK

VANDA DOUGHLAS

DI KOTA TANGERANG SELATAN

MILA JAMILAH

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Analisis Daya Saing dan Dampak Kebijakan Pemerintah terhadap Usaha Anggrek Vanda doughlas di Kota Tangerang Selatan adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

(4)
(5)

RINGKASAN

MILA JAMILAH. Analisis Daya Saing dan Dampak Kebijakan Pemerintah terhadap Usaha Anggrek Vanda doughlas di Kota Tangerang Selatan. Dibimbing oleh ANNA FARIYANTI dan ANDRIYONO KILAT ADHI.

Neraca perdagangan anggrek Indonesia bernilai positif sejak tahun 2008-2012. Salah satu jenis anggrek yang paling banyak diminati adalah Vanda doughlas. Kota Tangerang Selatan adalah wilayah penghasil Vanda doughlas terbesar di Jabodetabek.

Tujuan dari penelitian ini adalah (1) menganalisis daya saing anggrek Vanda doughlas di Kota Tangerang Selatan, (2) menganalisis dampak kebijakan Pemerintah terhadap daya saing anggrek Vanda doughlas di Kota Tangerang Selatan, (3) menganalisis pengaruh perubahan peningkatan harga input serta peningkatan dan penurunan produksi terhadap daya saing anggrek Vanda doughlas di Kota Tangerang Selatan. Penelitian ini menggunakan metode Polisi Analisis Matriks (PAM) dan Analisis Sensitivitas.

Hasil analisis menunjukkan bahwa anggrek Vanda doughlas di Kota Tangerang Selatan memiliki keuntungan privat Rp927 976 392 per hektar dan keuntungan sosial Rp9 438 355 442 per hektar, artinya pengusahaan anggrek Vanda doughlas menguntungkan secara finansial maupun ekonomi. Anggrek Vanda doughlas di Kota Tangerang Selatan juga memiliki nilai Privat Cost Ratio (PCR) sebesar 0.6089 dan Domestic Resource Cost (DRC) Ratio sebesar 0.1325. Hal ini berarti bahwa anggrek Vanda doughlas di Kota Tangerang Selatan memiliki keunggulan kompetitif yang lebih rendah dibandingkan keunggulan komparatifnya, namun tetap memiliki daya saing.

Dampak kebijakan pemerintah terhadap output belum mendukung peningkatan daya saing anggrek Vanda doughlas di Kota Tangerang Selatan. Hal ini bisa dilihat dari nilai Transfer Output (TO) Rp-8 505 773 472 dan Koefisien Proteksi Output Nominal (NPCO) 0.2189. Selanjutnya, dampak kebijakan pemerintah terhadap input juga belum mendukung peningkatan daya saing anggrek Vanda doughlas di Kota Tangerang Selatan. Hal ini bisa dilihat dari nilai Transfer Input Rp1 697 803, Transfer Faktor (TF) Rp2 907 775, dan Koefisien Proteksi Input Nominal (NPCI) 1.1918. Begitu pula dengan dampak kebijakan pemerintah terhadap output-input yang juga belum mendukung peningkatan daya saing anggrek Vanda doughlas di Kota Tangerang Selatan. Hal ini bisa dilihat dari nilai Koefisien Proteksi Efektif (EPC) 0.2181, Transfer Bersih (TB) Rp-8 510 379 050, Koefisien Keuntungan 0.0983, dan Rasio Subsidi Produsen (SRP) -3.4871.

Peningkatan harga obat-obatan dan pupuk anorganik serta penurunan jumlah produksi output sebesar 10 persen bisa menurunkan keunggulan komparatif dan kompetitif (daya saing) anggrek Vanda doughlas di Kota Tangerang Selatan, namun masih menguntungkan secara finasial dan ekonomi. Sedangkan peningkatan produksi output sebesar 10 persen mampu meningkatkan keunggulan komparatif dan kompetitif (daya saing) anggrek Vanda doughlas di Kota Tangerang Selatan.

(6)
(7)

SUMMARY

MILA JAMILAH. Competitivenes Analysis and Government Policy Effect on Business of Vanda doughlas Orchid in Tangerang Selatan. Supervised by ANNA FARIYANTI and ANDRIYONO KILAT ADHI.

Indonesian orchid trade balance was positive since 2008-2012. One of The highest demand for orchid cut flowers is Vanda doughlas. Tangerang Selatan is the largest producer of Vanda doughlas in the Jabodetabek area.

The purpose of this study are (1) to analyze the competitiveness of Vanda doughlas Orchid in Tangerang Selatan, (2) to analyze the government policy effect on competitiveness of Vanda doughlas Orchid in Tangerang Selatan,(3) and to analyze the effects of changes in input prices and the increase or decrease of production on competitiveness of Vanda doughlas Orchid in Tangerang Selatan. This study uses the Policy Analysis Matrix (PAM) and Sensitivity Analysis.

The result shows that the Vanda doughlas of Tangerang Selatan has private benefit Rp927 976 392 per hectare and social benefit of Rp9 438 355 442 per hectare, it means that business of Vanda doughlas Orchid is beneficial in finance and economy. Vanda doughlas of Tangerang Selatan has Privat Cost Ratio (PCR) value 0.6089 and Domestic Resource Cost (DRC) Ratio 0.1352. It means that the Vanda doughlas of Tangerang Selatan has competitive advantage lower than comparative advantage but still has competitiveness.

Government policy effect for output did not have great effect in increasing the competitivenes of Vanda doughlas in Tangerang Selatan. It is showed on Output Transfer (TO) value Rp-8 505 773 472 and Nominal Protection Coefficient Output (NPCO) 0.2189. Also, government policy effect for input have not been succeeded in increasing the competitivenes of Vanda doughlas in Tangerang Selatan. It can be showed on Input Transfer (TI) value Rp1 697 803, Factor Transfer (TF) Rp2 907 775, dan Nominal Protection Coefficient Input (NPCI) 1.1918. Same as before, government policy effect for output-input have not been increasing the competitivenes of Vanda doughlas in Tangerang Selatan. It can be showed on Effective Protection Coefficient (EPC) 0.2181, Net Transfer (TB) Rp-8 510 379 050, Provitablity Coefficient (PC) 0.0983, dan Subsidy Ratio to Producer (SRP) -3.4871.

The increasing in prices of insecticides, inorganic fertilizer, and the decreasing in production about 10 percent may reduces comparative and competitive advantage (competitiveness) of the Vanda doughlas in Tangerang Selatan but it is still beneficial in finance and economy. Whereas, the increase in production output about 10 percent can raise comparative and competitive advantage (competitiveness) of Vanda douglas in Tangerang Selatan.

(8)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(9)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Agribisnis

ANALISIS DAYA SAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN

PEMERINTAH TERHADAP USAHA ANGGREK

VANDA DOUGHLAS

DI KOTA TANGERANG SELATAN

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2014

(10)

Penguji Ujian Tesis Luar Komisi : Dr Amzul Rifin, SP MA

(11)

Judul Tesis : Analisis Daya Saing dan Dampak Kebijakan Pemerintah terhadap Usaha Anggrek Vanda doughlas di Kota Tangerang Selatan Nama : Mila Jamilah

NIM : H451110361

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Ketua

Dr Ir Anna Fariyanti, MSi

Anggota

Dr Ir Andriyono Kilat Adhi

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Magister Sains Agribisnis

Prof Dr Ir Rita Nurmalina, MS

Dekan Sekolah Pascasarjana,

Dr Ir Dahrul Syah, MscAgr

Tanggal Ujian: 30 Desember 2013

(12)
(13)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vii

DAFTAR GAMBAR viii

DAFTAR LAMPIRAN viii

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 5

Tujuan Penelitian 8

Manfaat Penelitian 8

Ruang Lingkup Penelitian 8

2 TINJAUAN PUSTAKA 9

Bisnis Anggrek Indonesia 9

Daya Saing anggrek Indonesia 10

Kebijakan anggrek Indonesia 12

3 KERANGKA PEMIKIRAN 14

Kerangka Pemikiran Teoritis 14

Konsep Daya Saing 14

Konsep Keunggulan Komparatif 15

Konsep Keunggulan Kompetitif 16

Konsep Kebijakan Pemerintah 17

Policy Analysis Matrix (PAM) 21

Harga Bayangan 22

Analisis Sensitivitas 23

Kerangka Pemikiran Operasional 23

4 METODE 27

Lokasi dan Waktu 27

Jenis Dan Sumber Data 27

Metode Pengambilan Sampel 27

Metode Analisis Data 28

Penentuan Faktor Input-Output 29

Penentuan Komponen Biaya Domestik dan Asing 29 Penentuan Harga Privat dan Penaksiran Harga Bayangan Output-Input 29

Harga Bayangan Nilai Tukar 31

Tabulasi dan Analisis PAM 31

Metode Analisis Sensitivitas 35

5 GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 36

Kondisi Umum, Geografi, dan Iklim Kota Tangerang Selatan 36

Karakteristik Petani Responden 38

Keragaan Usahatani Anggrek Vanda doughlas di Kota Tangerang Selatan 43 Analisa Keuntungan Usahatani Anggrek Vanda doughlas di Kota

Tangerang Selatan 45

(14)

6 HASIL DAN PEMBAHASAN 49 Analisis Daya Saing Usaha Anggrek (Vanda doughlas) di Kota

Tangerang Selatan 49

Analisis Dampak Kebijakan Pemerintah terhadap Daya Saing Usaha

Anggrek (Vanda doughlas) di Kota Tangerang Selatan 55

Dampak Kebijakan Output 56

Dampak Kebijakan Input 58

Dampak Kebijakan Input dan Output 59

Analisis Sensitivitas Usahatani Anggrek (Vanda doughlas) di Kota

Tangerang Selatan 61

Dampak Peningkatan Harga Obat-obatan 62

Dampak Peningkatan Harga Pupuk Anorganik 62

Dampak Peningkatan Jumlah Produksi 63

Dampak Penurunan Jumlah Produksi 64

7 SIMPULAN DAN SARAN 65

Simpulan 65

Saran 66

DAFTAR PUSTAKA 66

LAMPIRAN 66

RIWAYAT HIDUP 87

(15)

DAFTAR TABEL

1 Nilai PDB Hortikultura Berdasarkan Harga Berlaku Tahun 2007-2011 1 2 Produksi Komoditas Unggulan Tanaman Hias di Indonesia Tahun

2008-2012 2

3 Ekspor-Impor dan Neraca Perdagangan Anggrek Tahun 2008-2012 3 4 Perkembangan Nilai Ekspor (Trade Value) Anggrek oleh

Negara-Negara Produsen Tahun 2007-2011(dalam $ US) 3 5 Produksi, Luas Panen, dan Produktivitas Anggrek di Indonesia Tahun

2008-2011 4

6 Produksi dan Harga Jual Petani Anggrek per Kecamatan di Kota

Tangerang Selatan pada Triwulan IV (Oktober-Desember) Tahun 2012 5 7 Produksi dan Pertumbuhan Vanda doughlas Kota Tangerang Selatan

Tahun 2010-2012 6

8 Tipe alternatif Kebijakan Pemerintah 17

9 Policy Analysis Matrix (PAM) 22

10 Tujuh Kelompok Tani Anggrek Vanda douglas di Kota Tangerang

Selatan. 28

11 Laju Pertumbuhan Ekonomi (LPE) Kota Tangerang Selatan Menurut

Lapangan Usaha Tahun 2009-2011 (%) 37

12 Sebaran Responden Berdasarkan Usia 38

13 Sebaran Responden Berdasarkan Pengalaman Usahatani 39 14 Sebaran Responden Menurut Tingkat Pendidikan 39

15 Sebaran Responden Menurut Luas Lahan 40

16 Sebaran Responden Menurut Status Usahatani 40

17 Sebaran Responden Menurut Status Lahan 41

18 Sebaran Responden Menurut Keikutsertaan dalamPelatihan/Penyuluhan 42 19 Sebaran Responden Menurut Lembaga Pemasaran 42

20 Sebaran Responden Menurut Sumber Modal 43

21 Tabel Input-Output Usahatani Vanda doughlas 43

22 Budget Usahatani Vanda doughlas 46

23 Policy Analysis Matrix (PAM) Usaha Anggrek Vanda doughlas di Kota

Tangerang Selatan (Rp/Ha) 50

24 Nilai Keunggulan Kompetitif dan Komparatif Anggrek Vanda doughlas

Di Kota Tangerang Selatan 53

25 Indikator-Indikator Dampak Kebijakan Pemerintah terhadap Anggrek

Vanda doughlas di Kota Tangerang Selatan 56 26 Perubahan Indikator Daya Saing dan Dampak Kebijakan Pemerintah

terhadap Anggrek Vanda doughlas di Kota Tangerang Selatan pada

Berbagai Skenario 61

27 Tabulasi PAM Skenario Peningkatan Harga Obat-obatan Sebesar 10

persen 62

28 Tabulasi PAM Skenario Peningkatan Harga Pupuk Anorganik Sebesar

10 persen 63

(16)

DAFTAR GAMBAR

1 Aliran Perdagangan Internasional 14 2 Dampak Subsidi Positif Terhadap Produsen dan Konsumen Barang Impor 18 3 Subsidi dan Pajak pada Input Tradable 20 4 Dampak Subsidi dan Pajak pada Input Domestik 20

5 Alur Kerangka Pemikiran Operasional 26

6 Peta Kota Tangerang Selatan 36

7 Alur Pemasaran Vanda doughlas di Kota Tangerang Selatan 46

DAFTAR LAMPIRAN

1 Syarat Kualitas Vanda 70

2 Gambar Alur Usahatani Anggrek Vanda doughlas

71

3 Proporsi Biaya Input Terhadap Biaya Input Total Pengusahaan Anggrek

Vanda doughlas di Kota Tangerang Selatan

74

4 Perhitungan Nilai Tukar Bayangan Tahun 2012 75 5 Perhitungan Harga Bayangan Output Vanda doughlas di Kota

Tangerang Selatan 76

6 Budget Privat Anggrek Vanda doughlas di Kota Tangerang Selatan 77 7 Budget Sosial Anggrek Vanda doughlas di Kota Tangerang Selatan 81 8 Rekapitulasi Budget Privat Anggrek Vanda doughlas di Kota

Tangerang Selatan dalam Rp/Ha

85

9 Rekapitulasi Budget Sosial Anggrek Vanda doughlas di Kota

Tangerang Selatan dalam (Rp/Ha) 86

(17)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Komoditas hortikultura merupakan komoditas potensial yang mempunyai nilai ekonomi dan permintaan pasar yang tinggi. Pembangunan hortikultura juga meningkatkan nilai dan volume perdagangan internasional atas produk hortikultura nasional dan ketersediaan sumber pangan masyarakat. Pembangunan hortikultura pada berbagai sentra dan kawasan telah difasilitasi pemerintah melalui berbagai program dan kegiatan baik dengan dana dari pusat (APBN) maupun daerah (APBD), serta dukungan dari masyarakat (petani dan swasta).

Pembangunan hortikultura bertujuan untuk mendorong berkembangnya agribisnis hortikultura yang mampu menghasilkan produk hortikultura yang berdaya saing, mampu menyerap tenaga kerja, meningkatkan pendapatan petani dan pelaku, memperkuat perekonomian wilayah serta mendukung pertumbuhan pendapatan nasional (Direktorat Jenderal Hortikultura 2012). Oleh sebab itu diperlukan pembangunan hortikultura yang mengarah pada terciptanya pertanian yang efisien supaya mampu memenuhi permintaan domestik, bahkan bisa mengekspor. Indikator ekonomi makro berupa Produk Domestik Bruto (PDB) pada Tabel 1 dapat digunakan sebagai salah satu alat ukur untuk mengetahui peranan dan kontribusi hortikultura terhadap pendapatan nasional.

Tabel 1 Nilai PDB Hortikultura Berdasarkan Harga Berlaku Tahun 2008-2011 No Komoditas Nilai PDB (Milyar Rupiah)

2008 % 2009 % 2010 % 2011 % 1 Buah-buahan 47 060 55.97 48 437 54.83 45 482 52.54 46 736 52.60 2 Sayuran 28 205 33.55 30 506 34.54 31 244 36.09 33 137 37.30 3 Tanaman Hias 4 960 5.90 5 494 6.22 6 174 7.13 5 984 6.73 4 Biofarmaka 3 853 4.58 3 897 4.41 3 665 4.24 2 995 3.37

Hortikultura 84 078 2.47 88 334 -1.01 86 565 1.30 88 851 Sumber: Direktorat Jenderal Hortikultura 2012

Berdasarkan Tabel 1, dari tahun 2008 sampai tahun 2009, nilai kontribusi subsektor hortikultura terhadap PDB nasional mengalami peningkatan sebesar 2.47 persen. Namun pada tahun 2010, nilai PDB hortikultura mengalami penurunan sebesar 1.01 persen. Penurunan PDB hortikultura pada tahun 2010 disebabkan oleh penurunan jumlah produksi dari komoditas buah-buahan dari dan tanaman biofarmaka. Kemudian pada tahun 2011, nilai PDB hortikultura mengalami peningkatan kembali sebesar 1.30 persen.

Salah satu kelompok komoditas hortikultura yang cukup prospektif dalam pengembangannya adalah tanaman hias. Sejak tahun 2008 hingga tahun 2011, perkembangan tanaman hias memberikan kontribusi yang meningkat terhadap PDB nasional, yaitu dari 5.90 persen menjadi 7.13 persen. Peningkatan ini terjadi karena tanaman hias memiliki permintaan yang semakin besar yang berpengaruh pada peningkatan produksi dan luas panen di beberapa wilayah di Indonesia.

(18)

2

potensial baik di pasar domestik maupun pasar mancanegara dilihat dari sisi permintaan. Pertama, dengan jumlah penduduk Indonesia yang cukup besar dan cenderung pendapatannya meningkat merupakan pasar yang besar. Apalagi saat ini Indonesia masih tergolong negara dengan konsumsi per kapita florikultura terendah di dunia. Kedua, terdapat sejumlah perubahan yang membuka kesempatan bagi agribisnis florikultura Indonesia. Perubahan yang dimaksud adalah, pertama, kawasan Asia Pasifik khususnya kawasan ASEAN dan Asia Timur merupakan lokomotif perekonomian dunia menggeser kawasan Atlantik. Pertumbuhan kawasan tersebut diikuti pertumbuhan kawasan pemukiman, perkantoran, dan pusat belanja lainnya yang cukup besar. Pertumbuhan tersebut akan meningkatkan permintaan terhadap tanaman hias. Kedua, meningkatnya pendapatan masyarakat serta meningkatnya pengetahuan masyarakat akan kesegaran dan keindahan juga akan meningkatkan pemintaan akan bunga potong1

Menurut Ditjenhorti (2013) dan BPS (2013), terdapat tujuh komoditas unggulan tanaman hias Indonesia yaitu Krisan, Sedap Malam, Mawar, Melati, Anggrek, Pakis, dan Palem (Tabel 2).

.

Tabel 2 Produksi Komoditas Unggulan Tanaman Hias di Indonesia Tahun 2010-2012 Sumber : Direktorat Jenderal Hortikultura 2013 dan Badan Pusat Statistik 2013

Ket: *) angka sementara

Dibandingkan dengan ke-7 tanaman hias unggulan lainnya, jumlah produksi anggrek memang hanya menempati urutan ke-5. Namun, anggrek termasuk kelompok tanaman hias yang mempunyai keunikan dan keunggulan tersendiri dibandingkan dengan bunga lainnya. Salah satunya adalah bunga anggrek dapat bertahan lebih lama setelah mekar. Selain itu, anggrek memiliki kelebihan lain berupa spektrum yang luas pada warna, bentuk, ukuran tekstur dan banyaknya variasi yang menjadikan anggrek banyak disukai orang dan penggemarnya. Anggrek merupakan tanaman hias yang tetap banyak diminati meskipun tidak mengikuti trend tanaman hias. Anggrek memberikan prestise karena sulit dirawat.

Selain itu, menurut Ketua Persatuan Anggrek Indonesia (Kalla 2012), kebutuhan anggrek secara nasional mencapai 3 000 tangkai per bulan. Jumlah ini belum terpenuhi karena produksi anggrek masih rendah.

1

(19)

3 Agar kebutuhan tersebut terpenuhi, pengembangan produksi terutama dari sisi teknologi budidaya anggrek dibutuhkan. Sehingga peningkatan produksi akan mampu memperbaiki kesejahteraan petani anggrek2

Berdasarkan nilai neraca perdagangan anggrek yang bernilai positif dari tahun 2008-2012 pada Tabel 3, anggrek Indonesia masih berpeluang menjadi komoditas promosi ekspor. Jenis anggrek yang diekspor Indonesia adalah

Dendrobium, Oncidium Golden Shower, Cattleya, Vanda, dan anggrek lainnya. Sedangkan jenis anggrek yang diimpor yaitu, Phalaenopsis, Dendrobium, dan

Cymbidium.

.

Permintaan anggrek Indonesia di pasar internasional diminati oleh negara seperti Singapura, Taiwan, dan Malaysia (BPS 2011). Singapura mengimpor anggrek lebih banyak dari Indonesia dibandingkan negara lainnya. Jenis anggrek yang banyak diekspor ke Singapura adalah Vanda doughlas.

Tabel 3 Ekspor-Impor dan Neraca Perdagangan Anggrek Tahun 2008 2012 Tahun Sumber : Direktorat Jenderal Hortikultura 2013

Di pasar dunia, negara pengekspor Anggrek segar ditempati oleh beberapa negara seperti Belanda, Thailand, Singapura, Jepang, Cina, dan Indonesia (Tabel 4). Belanda menjadi negara dengan nilai ekspor anggrek tertinggi di dunia, diikuti oleh Thailand, Singapura, Jepang, Cina, dan Indonesia. Dibandingkan dengan negara-negara pengekspor anggrek lainnya, nilai ekspor anggrek Indonesia berada di urutan ke-6. Di pasar tanaman hias dunia untuk kawasan Asia Tenggara, perkembangan industri tanaman hias Indonesia khususnya anggrek lebih lambat dibandingkan dengan Thailand sebagai kompetitor utama (Kartikasari 2008). Tabel 4 Perkembangan Nilai Ekspor (Trade Value) Anggrek oleh Negara-Negara

Produsen Tahun 2008-2011(dalam $ US)

Negara Tahun Rata-Rata

Pertumbuhan/tahun (%)

(20)

4

Berdasarkan perbandingan nilai ekspor tahun 2008-2011 dari negara-negara produsen anggrek dunia pada Tabel 4, posisi Indonesia mengalami rata-rata penurunan ekspor anggrek sebesar 59.46 persen per tahun. Indonesia mengalami tingkat penurunan ekspor yang paling tinggi dibandingkan dengan negara-negara pesaingnya.

Melihat keunggulan komparatif Indonesia sebagai penyumbang 25 persen spesies anggrek yang ada didunia, seharusnya Indonesia mampu menjadi negara pengekspor anggrek yang besar. Namun, rata-rata pertumbuhan pertahun ekspor anggrek Indonesia menunjukkan penurunan yang besar. Pesaing utama anggrek Indonesia di pasar dunia adalah Thailand. Hal ini dilihat dari jenis anggrek tropis yang sama-sama dimiliki oleh kedua negara. Thailand menjadi habitat dari 177 jenis dan 1 125 spesies anggrek tropis yang pada tahun 1965 mampu memberikan kontribusi dalam ekonomi nasional sebesar 3 juta bath dan meningkat secara mengesankan menjadi 2 500 juta bath pada tahun 2005 atau setara dengan 795 trilyun rupiah. Suatu jumlah yang sangat besar bila dibandingkan dengan kontribusi tanaman hias di Indonesia terhadap PDB yang hanya 4.8 trilyun rupiah pada periode yang sama. Hasil industri kultur jaringannya menempati posisi nomor dua terbesar di pasar dunia untuk bunga setelah Belanda dan kedua terbesar di dunia untuk tanaman setelah Taiwan3

Salah satu faktor penyebab menurunnya eskpor anggrek Indonesia adalah produksi. Pada tahun 2008 sampai 2011, produksi, luas panen, dan produktivitas anggrek Indonesia mengalami fluktuasi serta kecenderungan yang menurun (Tabel 5). Menurut Zamroni (2000), produktivitas merupakan salah satu indikator daya saing dilihat dari keunggulan komparatifnya. Kemampuan anggrek Indonesia untuk bersaing di pasar dunia akan menurun, jika produktivitas, efisiensi usahatani serta kualitas anggrek Indonesia tidak segera ditingkatkan.

.

Tabel 5 Produksi, Luas Panen, dan Produktivitas Anggrek di Indonesia Tahun 2008-2011 Sumber : Badan Pusat Statistik 2013

Ket: *) angka sementara

Selain itu, posisi daya saing anggrek Indonesia juga dipengaruhi oleh kebijakan yang telah diterapkan pemerintah. Kebijakan tersebut adalah Peraturan Menteri Keuangan No.241/PMK.011/2010 yang menaikkan bea masuk (pajak impor) sebesar 5 persen atas produk bahan baku pertanian seperti, pupuk dan obat-obatan.

3

(21)

5 Pemerintah juga mengeluarkan Peraturan Pemerintah nomor 7 tahun 2007 mengenai Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 10 persen atas input-input produksi seperti peralatan, pupuk dan obat-obatan4

Kebijakan lain yang juga sudah diterapkan oleh Pemerintah adalah subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) sebesar Rp3 000 pada tahun 2013. Kebijakan ini tertuang dalam Pengumuman Nomor 07 PM/12/MPM/2013 tentang penyesuaian harga eceran BBM bersubsidi, sesuai ketentuan pasal 4, pasal 5 dan pasal 6 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 15 Tahun 2013, tentang harga jual eceran dan konsumen penggguna jenis BBM tertentu dan peraturan Menteri Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 18 Tahun 2013 tentang harga jual eceran jenis BBM tertentu untuk konsumen pengguna tertentu

.

5

Ketiga kebijakan ini akan mempengaruhi pendapatan usahatani anggrek baik dari sisi biaya input, output, dan transportasi yang akhirnya akan berdampak pada daya saing anggrek Indonesia. Oleh karena itu, penelitian tentang daya saing serta dampak dari kebijakan-kebijakan yang pemerintah terapkan terhadap anggrek Indonesia saat ini penting untuk diteliti.

.

Perumusan Masalah

Kota Tangerang Selatan merupakan penghasil anggrek jenis Vanda doughlas terbesar di wilayah Jabodetabek. Menurut Ditjenhorti (2013), Sentra Pengutuhan (pengembangan komoditas bernilai tinggi) anggrek di Provinsi Banten terletak di Kota Tangerang Selatan. Lahan perkebunan untuk pengembangan budidaya anggrek di Kota Tangerang Selatan tersebar di 5 Kecamatan: Ciputat, Serpong, Setu, Pondok Aren, Pamulang (Tabel 6). Kecamatan Pamulang merupakan kecamatan penghasil anggrek terbesar di Kota Tangerang Selatan dengan jenis Vanda doughlas dan memiliki produktivitas sebesar 54.53 kg/m2/tahun.

Tabel 6 Produksi dan Harga Jual Petani Anggrek per Kecamatan di Kota Tangerang Selatan pada Triwulan IV (Oktober-Desember) Tahun 2012 Kecamatan Produksi (Kg) Jenis Anggrek Harga Jual Petani

(Rp/Kg)

Ciputat 3 975 Dendrobium 15 000

Serpong 125 936 Dendrobium 17 000

Setu 44 000 NA NA

Pondok Aren 1 500 NA NA

Pamulang 1 250 000 Vanda doughlas 50 000 – 100 000 Sumber : Dinas Pertanian Kota Tangerang Selatan 2013

Ket: NA=data tidak tersedia

4

Suwarta. 2012. Peraturan pajak: 32 Peraturan Menteri Keuangan. http://www.wartapajak.com/index.php.

5

(22)

6

Anggrek jenis Vanda doughlas yang dihasilkan Kota Tangerang Selatan memiliki keunggulan dibandingkan daerah lain di Jawa dan Sumatera yaitu kelopak bunga yang lebih tebal serta lebih tahan lama disimpan. Kota Tangerang Selatan juga menjadi pemasok anggrek Vanda doughlas terbesar di pasar bunga Rawa Belong Jakarta. Keunggulan anggrek Vanda doughlas dan prospek usaha pengembangan anggrek di Kota Tangerang Selatan diharapkan mampu memberikan dampak positif baik bagi pembangunan daerah maupun pembangunan ekonomi daerah.

Saat ini, pengembangan agribisnis anggrek Vanda doughlas di Kota Tangerang Selatan mulai mengarah ke pasar internasional. Menurut Sobari (2011), Kepala Dinas Pertanian Ketahanan Pangan Tangerang Selatan, anggrek Tangerang Selatan sudah menembus pasar Singapura dan Malaysia khususnya untuk jenis Golden shower dan Vanda doughlas namun sifatnya belum kontinu6

Salah satu faktor kontinuitas adalah efisiensi produksi. Rata-rata pertumbuhan produksi Vanda doughlas Kota Tangerang Selatan sejak tahun 2010-2012 adalah 4.12 persen (Tabel 7). Nilai ini menunjukkan bahwa Vanda Doughlas Kota Tangerang Selatan memiliki potensi sebagai komoditas promosi ekspor.

.

Tabel 7 Produksi dan Pertumbuhan Vanda doughlas Kota Tangerang Selatan Tahun 2010-2012

Tahun Produksi (ikat) Pertumbuhan (%)

2010 13 385

2011 11 293 -8.48

2012 15 828 16.72

Rata-rata 4.12

Sumber: UPT Rawa Belong Jakarta 2013

Pembangunan dan pengembangan agribisnis anggrek Vanda doughlas Kota Tangerang Selatan tidak terlepas dari peran dan kebijakan pemerintah baik daerah maupun pusat. Beberapa upaya dan kebijakan yang telah dilakukan oleh pemerintah daerah Kota Tangerang Selatan di antaranya melakukan penguatan citra Vanda doughlas dengan menjadikan jenis anggrek tersebut sebagai icon Kota Tangerang Selatan. Peningkatkan produktivitas dengan pembuatan cluster dari titik-titik wilayah yang sudah ada yaitu Kelurahan Pondok Benda dan Benda Baru di Kecamatan Pamulang. Program pembuatan area pertanian terpadu di Ruang Terbuka Hijau Bumi Serpong Damai (RTH BSD) sektor 12 seluas 10.3 hektar pada tahun 2014. Serta program pendaftaran varietas Vanda doughlas (Genta Bandung) Kota Tangerang Selatan menjadi varietas nasional.

Sampai saat ini belum ada kebijakan Pemerintah langsung yang digunakan untuk memproteksi output anggrek jenis Vanda doughlas. Namun, kebijakan seperti subsidi BBM secara tidak langsung sudah membantu mengurangi biaya transportasi untuk usaha komoditas ini baik dari segi usahatani maupun pemasarannya. Sehingga mampu meningkatkan efisiensi produksi dan pendapatan usahatani Vanda doughlas.

6

(23)

7 Selain itu, Pemerintah pusat juga sudah menetapkan Peraturan Menteri Keuangan No.241/PMK.011/2010 yang menaikkan bea masuk (pajak impor) sebesar 5 persen atas produk bahan baku pertanian seperti, pupuk dan obat-obatan dan Peraturan Pemerintah nomor 7 tahun 2007 mengenai Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 10 persen atas input-input produksi seperti peralatan, pupuk dan obat-obatan. Kedua Kebijakan Pemerintah ini dapat menyebabkan harga pupuk dan obat-obatan ditingkat petani termasuk petani Vanda doughlas menjadi lebih tinggi. Akibatnya biaya produksi yang harus dikeluarkan oleh petani Vanda doughlas meningkat. Oleh karena itu, subsidi ini bisa menurunkan efisiensi produksi dan pendapatan usahatani Vanda doughlas.

Menurut Coelli et al. (2005), esensi dari daya saing suatu komoditas yaitu efisiensi dan produktivitas. Salah satu sumber pertumbuhan produktivitas suatu komoditas adalah efisiensi teknis. Sehingga, kebijakan yang mengakibatkan biaya input menurun dan menambah nilai guna output akan meningkatkan efisiensi produksi, begitu pula sebaliknya. Jika efisiensi produksi Vanda doughlas menurun, daya saing dari komoditas tersebut juga akan menurun karena keunggulan komparatifnya rendah. Oleh karena itu perlu diketahui bagaimana dampak kebijakan pemerintah terhadap daya saing usaha Vanda doughlas dengan terlebih dahulu menganalisis efisiensi produksi di dalam budget usahataninya.

Saat ini, usahatani anggrek Vanda doughlas Kota Tangerang Selatan menghadapi masalah penurunan luas tanam. Luas tanam anggrek di Kota Tangerang Selatan menurun dari 101 000 m2 pada tahun 2012 menjadi 91 700 m2

Harga anggrek Vanda doughlas di tingkat petani yang cenderung berfluktuatif yaitu Rp50 000 – Rp100 000 per ikat (100 batang) masih membuat permintaan anggrek tetap tinggi. Namun pemasok anggrek Vanda doughlas ke pasar di wilayah Jabodetabek tidak hanya berasal dari Tangerang Selatan saja. Kabupaten Bogor, tepatnya Kecamatan Gunung Sindur juga memasok anggrek

Vanda doughlas ke pasar yang sama. Selain memiliki pesaing di Jabodetabek,

Vanda doughlas Tangerang Selatan juga memiliki pesaing yang berasal dari wilayah Semarang. Namun, Semarang tidak memasok Vanda doughlas untuk pasar di wilayah Jabodetabek. Adanya pesaing yang memasok Vanda doughlas di pasar yang sama yaitu wilayah Jabodetabek berpotensi menyebabkan penjualan

Vanda doughlas Kota Tangerang Selatan turun. Hal ini akan terjadi jika kualitas anggrek Vanda doughlas Tangerang Selatan cenderung menurun dibandingkan dengan kualitas pesaingnya.

pada tahun 2013 (Dinas Pertanian Tangerang Selatan 2013). Hal ini disebabkan oleh pembangunan properti yang semakin tinggi di Kota Tangerang Selatan. Penurunan luas tanam akan mengakibatkan jumlah produksi turun, sehingga pendapatan usahatani petani anggrek Vanda doughlas juga ikut menurun. Selain itu, petani anggrek Vanda doughlas juga menghadapi masalah kenaikan harga input khususnya obat-obatan (antracol, rizotin, dursban) dan pupuk anorganik (atonik) setiap tahun. Adanya kenaikan harga input akan menambah biaya input petani dan akhirnya mengurangi efisiensi produksi. Sementara itu, harga output anggrek Vanda doughlas masih bergantung pada kondisi cuaca dan hari raya.

Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka perumusan masalah penelitian ini sebagai berikut:

(24)

8

2. Bagaimana dampak kebijakan pemerintah terhadap daya saing anggrek

Vanda doughlas di Kota Tangerang Selatan?

3. Bagaimana pengaruh perubahan peningkatan harga input serta peningkatan dan penurunan produksi terhadap daya saing anggrek di Kota Tangerang Selatan?

Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah, tujuan penelitian ini adalah : 1. Menganalisis daya saing anggrek Vanda doughlas.

2. Menganalisis dampak kebijakan pemerintah terhadap daya saing anggrek

Vanda doughlas.

3. Menganalisis pengaruh perubahan peningkatan harga input serta peningkatan dan penurunan produksi terhadap daya saing anggrek Vanda doughlas.

Manfaat Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah dan tujuan penelitian di atas, penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut :

1. Pihak Pemerintah, sebagai bahan masukan serta evaluasi bagi penetapan arah dan prioritas kebijakan pembangunan daya saing anggrek Vanda doughlas

sebagai icon dan komoditas unggulan di Kota Tangerang Selatan.

2. Penulis, sebagai pengalaman dan wawasan baru yang berharga guna mengembangkan analisis daya saing komoditas agribisnis.

3. Pihak akademis dan pembaca, sebagai informasi dan bahan referensi, baik untuk penelitian selanjutnya maupun bahan bacaan penambah wawasan.

Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian ini adalah analisis usahatani Vanda doughlas

selama umur ekonomi (3 tahun) serta analisis daya saing pada output Vanda doughlas dalam bentuk bunga segar dengan satuan rupiah per ikat (100 batang).

Vanda doughlas yang digunakan merupakan komoditas promosi ekspor. Tingkat daya saing yang diukur adalah keunggulan kompetitif dan komparatif serta dampak kebijakan terhadap daya saing Vanda doughlas. Kebijakan Pemerintah yang digunakan merupakan kebijakan nasional terkait komoditas Vanda doughlas

(25)

9

2 TINJAUAN PUSTAKA

Bisnis Anggrek Indonesia

Anggrek dapat dipasarkan dalam bentuk kompot (Community pot), tanaman individu/tanaman remaja, tanaman dewasa dan bunga potong. Selera konsumen terhadap mutu bunga potong anggrek dipengaruhi oleh produsen dan trend luar negeri. Pada saat ini anggrek yang selalu disukai masyarakat adalah jenis

Dendrobium (34 persen), diikuti oleh Oncidium Golden Shower (26 persen),

Cattleya (20 persen) dan Vanda (17 persen) serta anggrek lainnya (3 persen). Pemilihan warna bunga anggrek yang dikonsumsi banyak dipengaruhi oleh maksud penggunaannya. Pada hari Natal warna bunga yang disukai didominasi oleh warna putih; pada hari Imlek disukai warna merah, pink dan ungu; untuk keperluan ulang tahun banyak digunakan warna lembut, seperti putih, pink, ungu, sedangkan untuk menyatakan belasungkawa umumnya digunakan warna kuning dan ungu.

Konsumen pasar dalam negeri adalah penggemar dan pecinta anggrek, pedagang keliling, pedagang kios, perhotelan, perkantoran, gedung-gedung pertemuan, pengusaha pertamanan, toko bunga/florist dan dekorator. Jenis-jenis anggrek yang banyak diminta pasar adalah Vanda douglas, Dendrobium, Oncidium dan Golden shower. Permintaan anggrek dalam negeri, selain dipenuhi oleh produksi dalam negeri juga dipasok dari produk impor untuk jenis-jenis tertentu, seperti Phalaenopsis, Dendrobium dan Cymbidium.

Dalam perdagangan internasional tidak terdapat aturan baku mengenai standar mutu. Standar mutu lebih ditentukan oleh importir dari negara tujuan ekspor. Negara-negara tujuan ekspor memberikan syarat harus bebas dari Organisme Pengganggu Tanaman (OPT) baik berupa hama, penyakit, maupun gulma. Importir menghendaki standar mutu/grade tertentu yang lebih dikaitkan dengan harga.

Industri hulu perbenihan dilakukan hanya di pusat agribisnis anggrek DKI Jakarta, Jawa Barat, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Sumatera Utara dan Sulawasi Selatan. Produk industri anggrek adalah bunga segar, sementara itu industri hilir kurang berkembang. Packing untuk ekspor hingga saat ini masih dilakukan oleh eksportir. Industri yang dikembangkan adalah anggrek bunga potong dan tanaman pot berbunga. Industri anggrek di Indonesia mempunyai berbagai skala usaha yaitu (1) Usaha Kecil Menengah (UKM) anggrek potong dengan luas lahan 1 000 – 2 500 m2 diperkirakan dapat menghasilkan 10 000 – 25 000 tangkai bunga; (2) usaha anggrek potong skala besar, dengan luas lahan 3 000 m2 hingga lebih dari 1 hektar, dapat menghasilkan bunga antara 30 000 sampai 100 000 tangkai; (3) usaha tanaman pot berbunga kecil menengah, dengan luas lahan 1 000 – 2 500 m2

Dalam upaya menarik investasi untuk pengembangan anggrek, dibutuhkan berbagai dukungan kebijakan, antara lain: rangkaian modal investasi, proteksi bea masuk, insentif ekspor, peniadaan pungutan, kemudahan perijinan termasuk CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Flora and Fauna), keringanan pajak, kemudahan kargo dan transportasi udara, penyediaan pendingin di bandara, kemudahan ekspor, pembebasan bea masuk

(26)

10

untuk alat dan bahan-bahan kimia yang digunakan untuk pengembangan agribisnis anggrek serta membangun sistem kemitraan.

Penelitian ini menspesifikkan jenis anggrek yang diteliti yaitu Anggrek Terestrial khususnya jenis Vanda douglas. Penemu hasil persilangan Vanda doughlas adalah Miss Joaquim yang merupakan seorang ahli botani yang tinggal di Singapura pada tahun 1898 (Dinas Pertanian Tangerang Selatan 2013).

Daya Saing Anggrek Indonesia

Studi tentang daya saing terhadap anggrek Indonesia belum banyak dilakukan. Namun, studi daya saing komoditas lain selain anggrek sudah banyak dilakukan baik di Indonesia maupun di luar negeri. Di Indonesia, penelitian tentang aspek daya saing anggrek sudah dilakukan oleh Kartikasari (2008). Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa perkembangan industri tanaman hias Indonesia lebih lambat dibandingkan dengan Thailand sebagai kompetitor utama di pasar tanaman hias dunia untuk kawasan Asia Tenggara. Metode yang digunakan untuk menganalisis hal ini dengan menggunakan RCA (Revealed Comparative Advantage). Selain itu, dengan menggunakan gravity model, aliran perdagangan ekspor anggrek Indonesia ke negara tujuan dipengaruhi oleh faktor waktu tempuh, pendapatan per kapita, populasi, harga anggrek Indonesia dan nilai tukar. Sementara itu faktor harga anggrek di negara tujuan tidak berpengaruh terhadap model aliran perdagangan. Sehingga daya saing tanaman hias Indonesia khususnya anggrek di dunia menjadi rendah.

Sedangkan penelitian daya saing untuk komoditas lain diantaranya sudah dilakukan oleh Fachrodji (2010), Daryanto (2007), Rochman (2011), dan Rodgers (2008). Penelitian tentang aspek daya saing juga sudah banyak terdapat di jurnal internasional. Diantaranya dilakukan oleh oleh Chong, Ooi, Chong, dan Tan (2009), Pitelis (2009), Mobasser et al. (2012), Kapaj et al. (2010), Basavaraj et al. (2013), Feher dan Papp (2002), Neptune dan Jacque (2007).

Fachrodji (2010) menggunakan metode analisis RCA dan ANP (Analytic Network Process) untuk melihat produk gondorukem Indonesia dibandingkan negara Cina dan Brazil. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa gondorukem Indonesia akan cenderung naik pada sepuluh tahun kedepan dengan profit margin yang lebih tinggi yaitu 12.80 persen pada tahun 2009. Sedangkan asil analisis ANP menunjukkan bahwa gondorukem dan industri gondorukem Indonesia memiliki kekuatan bersaing di pasar internasional.

(27)

11 analisis faktor-faktor penentu keunggulan diperoleh alternatif-alternatif strategi yang selanjutnya akan ditentukan prioritasnya dengan menggunakan AHP.

Rochman (2011) juga melakukan penelitian yang bertujuan untuk mengkaji strategi pengembangan nanoteknologi dalam rangka peningkatan daya saing global agroindustri nasional dengan menggunakan kombinasi analisis SWOT (Strength, Weakness, Opportunity, Threats), AHP (Analytic Hierarchy Process) and ANP (Analytic Network Process) dalam perspektif BOCR (Benefit, Opportunity, Cost, Risk). Kajian dimulai dengan melakukan identifikasi sepuluh agroindustri yang berpotensi menerapkan nanoteknologi dengan menggunakan analisis SWOT. Kemudian dilanjutkan dengan penentuan posisi daya saing dan prioritas agroindustri nasional yang berpotensi menerapkan nanoteknologi dengan mempertimbangkan variabel-variabel kunci dengan metode SWOT-AHP. Terakhir disusun strategi pengembangan nanoteknologi dalam rangka peningkatan daya saing global agroindustri nasional dengan mempertimbangkan variabel-variabel kunci yang saling mempengaruhi dengan metode SWOT-ANP dalam perspektif BOCR.

Chong, Ooi, Chong, dan Tan (2009) menemukan bahwa metode Total Quality Management (TQM) dapat digunakan untuk melihat keunggulan kompetitif. TQM digunakan untuk membangun model konseptual keunggulan kompetitif. Hasil penelitian tersebut dapat memberikan pengetahuan bagi manajemen atas organisasi dalam meningkatkan kualitas praktek manajemen yang kemudian mencapai keunggulan kompetitif. Pitelis (2009) menemukan bahwa

Foreign Direct Investment (FDI) dan Clusters bisa menjadi daya saing sebuah negara khususnya negara berkembang ketika kedua hal tersebut dikombinasikan dan selaras dengan keunggulan kompetitif dan posisi kompetitif yang selektif.

Selanjutnya, Rodgers (2008) menggunakan PAM untuk menganalisis efisiensi produksi dan keuntungan penggunaan analisis neraca lahan yang dibandingkan dengan sistem neraca lahan tahunan (petani karet monokultur dan sistem petani karet agroforestry). Analisis PAM dihitung berdasarkan harga privat dan sosial dan nilai NPV (Net Present Value) pada harga privat sebagai indikator insentif produksi dan harga sosial yang menghapus dampak kebijakan pemerintah (pajak, subsidi, dan pungutan lokal lainnya). Penggunaan indikator DRC dan PCR pada PAM dirasa cukup baik. Penelitian Daya Saing yang menggunakan metode PAM juga digunakan oleh Mobasser et al. (2012), Kapaj et al. (2010), Basavaraj

et al. (2013), Feher dan Papp (2002), dan Neptune dan Jacque (2007).

Mobasser et al. (2012) menemukan bahwa, budidaya rapeseed di wilayah Sistan belum memiliki keunggulan relatif meskipun hasil produksinya meningkat. Biaya penurunan produksi dan peningkatan metode usahatani merupakan faktor yang efektif untuk meningkatkan keuntungan usahatani rapeseed di wilayah Sistan. Kapaj et al. (2010) menemukan bahwa produksi olive oil di Albania menguntungkan bagi produsen. Nilai DRC yang diperoleh sebesar 2.2 yang artinya bahwa produksi olive oil di Albania tidak memiliki keunggulan komparatif baik dari sisi produksi, teknologi, dan harga. Hal ini berarti, meskipun produksi

olive oil menguntungkan di pasar domestik tetapi tidak bisa bersaing dengan negara lain di Uni Eropa.

Basavaraj et al. (2013) menemukan bahwa, usahatani sweet sorghum di wilayah rainfed agro-ecological di Maharastra memiliki daya saing sebagai

(28)

12

pemerintah. Hasil penelitian Feher dan Papp (2002) menunjukkan bahwa produksi

dairy, fruits and vegetables, and roast goose di Hungaria memiliki daya saing sosial yang relatif rendah. Pada saat kebijakan proteksi produk agro-food Uni Eropa tinggi, daya saing dari produk olahan makanan Hungaria pada pasar dunia menjadi rendah untuk semua produk. Neptune dan Jacque (2007) dalam penelitiannya menemukan bahwa semua sitem produksi coklat di Trinidad dan Tobago menguntungkan dan memiliki keunggulan komparatif serta keunggulan kompetitif.

Ada banyak metode analisis yang dapat digunakan untuk menghitung maupun menilai daya saing suatu komoditas. Di antaranya adalah Revealed Comparative Advantage (RCA), Berlian Porter, TQM, dan Policy Analysis Matrix

(PAM). Indeks RCA digunakan untuk mengukur keunggulan komparatif suatu komoditas. Sedangkan Berlian Porter dan TQM dapat digunakan untuk mengukur dan menganalisis keunggulan kompetitif suatu komoditas. Sedangkan PAM dapat digunakan untuk mengukur tiga analisis sekaligus yaitu keuntungan privat dan keuntungan sosial atau ekonomi, analisis daya saing (keunggulan komparatif dan kompetitif) serta analisis dampak kebijakan pemerintah terhadap komoditas. Metode RCA dan PAM sama-sama bisa digunakan untuk mengukur keunggulan komparatif (indikator daya saing) suatu komoditas. Namun, kedua metode ini memiliki perbedaan dilihat dari start penelitiannya. Metode RCA dimulai dari pangsa pasar ekspor, sedangkan PAM dimulai dari analisis usahatani. Berdasarkan hasil analisis usahatani di awal metode PAM, apakah memproduksi satu satuan output di dalam negeri yang diperoleh bisa menguntungkan atau tidak apabila dibandingkan dengan mengimpornya dalam satuan devisa?. Hal ini bisa dilihat dari nilai efisiensi produksi (R/C rasio) yang diperoleh.

Penelitian terkait efisiensi produksi dan pendapatan usahatani anggrek jenis

Vanda doughlas pernah dilakukan oleh Sagala (2012). Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa, nilai R/C rasio atas biaya total adalah 1.73. Artinya, setiap satu rupiah biaya total yang dikeluarkan untuk usahatani anggrek Vanda doughlas

akan memberikan penerimaan sebesar Rp1.73. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa Vanda doughlas layak untuk dikembangkan. Hasil tersebut juga menunjukkan bahwa usahatani anggrek Vanda doughlas efisien secara produksi.

Kebijakan Anggrek Indonesia

Studi tentang kebijakan anggrek Indonesia mengenai dampak kebijakan pemerintah belum banyak dilakukan. Namun, studi tentang dampak kebijakan terhadap komoditas lain baik di Indonesia maupun di luar negeri sudah banyak dilakukan. Analisis yang digunakan untuk melihat dampak dari adanya suatu kebijakan terhadap suatu komoditas dapat dianalisis dengan menggunakan matrik analisis kebijakan (PAM). Matriks ini telah banyak digunakan secara luas pada penelitian empiris kebijakan pertanian antara lain studi yang mengungkapkan Pranoto (2011), Najarzadeh et al. (2011), dan Ugochukwu dan Ezedinma (2011).

(29)

13 hasil penelitian menunjukkan bahwa usahatani lada putih di provinsi Bangka Belitung layak untuk dikembangkan. Adanya kebijakan pemerintah tidak berdampak positif dan tidak memberikan perlindungan yang efektif bagi petani lada putih untuk berproduksi yang ditunjukkan dengan nilai koefisien proteksi efektif (EPC) sebesar 0.89. Berdasarkan analisis sensitivitas menunjukkan bahwa usahatani lada putih lebih peka (sensitif) terhadap penurunan produksi sebesar 20 persen dan penurunan harga output lada putih sebesar 20 persen. Perubahan ini menyebabkan usahatani lada putih di Bangka Belitung tidak memiliki daya saing baik secara kompetitif maupun komparatif sehingga tidak efisien lagi untuk diproduksi di dalam negeri.

Selanjutnya Najarzadeh et al. (2011) meneliti tentang dampak liberalisasi perdagangan terhadap Karpet Persia. Metode PAM digunakan juga dalam penelitian ini untuk menganalisis industri karpet Persia di tiga provinsi. Hasil dari penelitian ini mengindikasikan bahwa ketiga provinsi tersebut memiliki keunggulan komparatif di dalam memproduksi karpet dan potensial untuk bisa mengekspor ke pasar dunia. Indikator keunggulan komparatif tersebut bernilai 0.83, 0.79, dan 0.84.

Penelitian lain juga dilakukan oleh Ugochukwu dan Ezedinma (2011) yang meneliti tentang dampak kebijakan intensifikasi terhadap sistem produksi beras di Nigeria bagian wilayah Tenggara. Kebijakan intensifikasi tersebut yaitu upland rice production system, inland rice production system, double rice cropping system. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa keuntungan finasial dan sosial yang tinggi dari berbagai teknologi yang diterapkan. Hal ini bisa dilihat dari nilai DRC (Domestic Resorce Cost)<1 dan nilai PCR (Private Cost Ratio)<1. Sehingga, dampak dari penerapan kebijakan intensifikasi pertanian ini mampu meningkatkan produksi beras lokal.

(30)

14

3 KERANGKA PEMIKIRAN

Kerangka Pemikiran Teoritis

Konsep Daya Saing

Faktor penentu komoditas memiliki daya saing jika mampu memproduksi secara efisien. Daya saing suatu komoditas akan tercermin pada harga jual yang rendah di pasar dan mutu yang tinggi. Analisis daya saing suatu komoditas biasanya ditinjau dari sisi penawaran karena struktur biaya produksi merupakan komponen utama yang akan menentukan harga jual komoditas tersebut (Salvatore 1997). Daya saing juga merupakan penentu keberhasilan suatu negara di dalam perdagangan internasional. Krugman dan Obstfeld (2004) menyatakan bahwa setiap negara melakukan perdagangan internasional karena dua alasan utama, yang masing-masing menjadi sumber bagi adanya keuntungan perdagangan (gain from trade) bagi mereka. Alasan pertama negara berdagang adalah karena mereka berbeda satu sama lain. Kedua, negara-negara berdagang satu sama lain dengan tujuan untuk mencapai skala ekonomis (economies of scale) dalam produksi. Maksudnya, seandainya setiap negara bisa membatasi kegiatan produksinya untuk menghasilkan sejumlah barang tertentu saja, maka mereka berpeluang memusatkan perhatian dan segala macam sumber dayanya sehingga ia dapat menghasilkan barang-barang tersebut dengan skala yang lebih besar dan lebih efisien dibandingkan jika negara tersebut mencoba memproduksi berbagai jenis barang secara sekaligus.

Perdagangan internasional terjadi karena adanya perbedaan dalam hal kepemilikan sumberdaya dan cara pengolahannya di tiap-tiap negara. Suatu negara akan mengekspor sejumlah barang, jasa, dan faktor produksi untuk ditukarkan dengan impor barang, jasa, dan faktor produksi lain yang hanya dapat diproduksi dengan cara yang kurang efisien atau tidak diproduksi sama sekali. Dengan demikian akan berkembang hubungan saling ketergantungan dan peranan perdagangan internasional dari setiap negara akan menjadi penting. Secara lebih jelas aliran perdagangan internasional terdapat pada Gambar 1.

P

(31)

15 Keterangan:

P2 :Harga keseimbangan di pasar dunia

P3 :Harga keseimbangan di negara B sebelum berdagang P1 :Harga keseimbangan di negara A sebelum berdagang Da :Permintaan domestik negara A

Sa :Penawaran domestik negara A D :Permintaan di pasar dunia S :Penawaran di pasar dunia Sb :Permintaan domestik negara B Db :Penawaran domestik negara B

Menurut Porter (1990), konsep daya saing (competitiveness) sebagai suatu kemampuan negara untuk menciptakan nilai tambah yang berkelanjutan melalui kegiatan perusahaan-perusahaannya dan untuk mempertahankan tingkat kualitas kehidupan yang tinggi bagi warga negaranya. Pendekatan yang dapat digunakan untuk mengukur daya saing suatu komoditas adalah tingkat keuntungan yang dihasilkan dan efisiensi dari pengusahaan komoditas tersebut. Tingkat keuntungan dapat dilihat dari keuntungan privat dan keuntungan sosial, sedangkan efisiensi pengusahaan komoditas dapat dilihat dari tingkat keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif.

Oleh karena itu, konsep daya saing masih terus mengalami perkembangan. Implikasi dari pengertian daya saing adalah efisiensi produksi, efisiensi pemasaran, dan kemampuan memasok produk sesuai yang diinginkan konsumen yang pada akhirnya akan menghasilkan produk yang relatif murah dengan kualitas baik. Dalam jangka panjang, keunggulan kompetitif harus didukung dengan keunggulan komparatif (efisiensi produksi), sehingga daya saing komoditi atau produk tersebut relatif stabil, dinamis, dan kontinu sesuai dengan keinginan konsumen (Asmarantaka 2011)

Konsep Keunggulan Komparatif

Daya saing suatu komoditas sering diukur dengan menggunakan pendekatan keunggulan komparatif dan kompetitif. Keunggulan komparatif merupakan suatu konsep yang dikembangkan oleh David Ricardo untuk menjelaskan efisiensi alokasi sumber daya yang terbuka (Krugman dan Obstfeld 2004). Suatu negara akan memperoleh manfaat dari perdagangan internasional apabila melakukan spesialisasi produksi dan mengekspor barang dimana barang tersebut dapat berproduksi relatif lebih efisien serta mengimpor barang dimana negara tersebut berproduksi relatif kurang atau tidak efesien. Kelemahan teori ini adalah Ricardo tidak dapat menjelaskan mengapa terdapat perbedaan fungsi produksi antara dua negara. Sedangkan kelebihannya adalah perdagangan internasional antara dua negara tetap dapat terjadi walaupun hanya satu negara yang memiliki keunggulan

(32)

16

proporsi faktor produksi yang dimiliki masing-masing negara. Adanya perbedaan

opportunity cost tersebut dapat menimbulkan tejadinya perdagangan internasional. Negara yang memiliki faktor produksi yang relatif banyak atau murah cenderung akan melakukan spesialisasi produksi dan mengekspor produknya. Sebaliknya mengimpor barang yang memiliki faktor produksi yang relatif langka atau mahal.

Pearson et al. (2005) mengemukakan bahwa keunggulan komparatif bersifat dinamis, dengan kata lain keunggulan komparatif tidak stabil dan dapat diciptakan karena dipengaruhi oleh perubahan dalam sumberdaya alam, perubahan faktor-faktor biologi, perubahan harga input, perubahan teknologi, dan biaya transportasi. Suatu daerah yang memiliki keunggulan komparatif di sektor tertentu secara potensial harus mampu mempertahankan dan bersaing dengan negara lain. Komoditas yang memilki keunggulan komparatif dapat dikatakan telah mencapai efisiensi ekonomi yang terkait dengan kelayakan secara ekonomi.

Konsep Keunggulan Kompetitif

Keunggulan kompetitif adalah alat untuk mengukur daya saing suatu kegiatan berdasarkan pada kondisi perekonomian aktual. Keunggulan kompetitif digunakan untuk mengukur kelayakan suatu kegiatan dimana keuntungan privat diukur berdasarkan harga pasar dan nilai uang yang berlaku berdasarkan analisis finansial. Harga pasar adalah harga yang sebenarnya dibayar oleh produsen untuk membeli faktor produksi dan harga yang benar-benar diterima dari hasil penjualan output. Konsep keunggulan kompetitif didasarkan pada asumsi bahwa perekonomian yang tidak mengalami distorsi sama sekali sulit ditemukan di dunia nyata dan keunggulan komparatif suatu kegiatan ekonomi dari sudut pandang atau individu yang berkepentingan langsung (Salvator 1997). Konsep keunggulan kompetitif pertama kali dikembangkan oleh Porter pada tahun 1980 dengan bertitik tolak dari kenyataan-kenyataan perdagangan internasional yang ada. Porter menyatakan bahwa kekuatan kompetitif menentukan tingkat persaingan dalam suatu industri baik domestik maupun internasional yang menghasilkan barang dan jasa. Menurut Porter (1991), keunggulan perdagangan antar negara dengan negara lain di dalam perdagangan internasional secara spesifik untuk produk-produk tertentu sebenarnya tidak ada. Kenyataan yang ada adalah persaingan antara kelompok-kelompok kecil industri yang ada dalam suatu negara. Selain itu, keunggulan kompetitif tidak bergantung pada kondisi alam suatu negara, namun lebih ditekankan pada produktivitasnya. Hal ini disebabkan karena tidak ada korelasi langsung antara dua faktor produksi seperti sumber daya alam yang melimpah dan sumber daya yang murah. Porter menyatakan bahwa disamping faktor produksi, peran pemerintah juga sangat penting dalam peningkatan daya saing.

(33)

17 itu, untuk mengantisipasi keadaan pasar tersebut, usaha komoditas pertanian harus lebih berorientasi kepada keinginan konsumen atau lebih berwawasan menjual. Konsep Kebijakan Pemerintah

Kebijakan pemerintah ditetapkan dengan tujuan untuk meningkatkan ekspor ataupun sebagai usaha dalam melindungi produk dalam negeri agar dapat bersaing dengan produk luar negeri. Kebijakan tersebut biasanya diberlakukan untuk input dan output yang menyebabkan terjadinya perbedaan antara harga input dan harga output yang diminta produsen (harga privat) dengan harga yang sebenarnya terjadi jika dalam kondisi perdagangan bebas (harga sosial). Kebijakan yang ditetapkan pemerintah pada suatu komoditas ada dua bentuk yaitu subsidi dan hambatan perdagangan. Kebijakan subsidi terdiri dari subsidi positif dan subsidi negatif (pajak), sedangkan hambatan perdagangan berupa tarif dan kuota. Menurut Monke dan Pearson (1989) perbedaan kebijakan perdagangan dengan subsidi berbeda dalam tiga aspek yaitu pada budget pemerintah, tipe alternatif kebijakan yang dilakukan, dan tingkat kemampuan penerapan kebijakannya. Beberapa tipe alternatif kebijakan yang dilaksanakan pemerintah terdapat pada Tabel 8.

Tabel 8 Tipe alternatif Kebijakan Pemerintah

Instrument Dampak Pada Produsen Dampak Pada Konsumen

Kebijakan Subsidi Subsidi Kepada Produsen Subsidi Kepada Konsumen

b. Pada barang ekspor (S+PE ; S-PE)

Sumber: Monke dan Pearson 1989 Keterangan :

S + : Subsidi S - : Pajak

PE : Produsen untuk barang ekspor PI : Produsen untuk barang impor CE : Konsumen untuk barang ekspor CI : Konsumen untuk barang impor

TPE : Hambatan kepada produsen untuk barang ekspor TPI : Hambatan kepada produsen barang impor

Penjelasan dari delapan alternatif kebijakan akan dibagi menjadi dua bagian yang besar, yaitu kebijakan pemerintah dalam subsidi (poin a sampai poin f), dan intervensi pemerintah yaitu hambatan perdagangan (poin g sampai poin h).

(34)

18

Menurut Salvatore (1994), subsidi adalah pembayaran dari atau untuk pemerintah. Pembayaran dari pemerintah disebut subsidi positif dan pembayaran untuk pemerintah disebut subsidi negatif (pajak). Subsidi bertujuan untuk melindungi konsumen atau produsen dengan menciptakan harga domestik agar berbeda dengan harga internasional. Kebijakan Perdagangan adalah pembatasan yang diterapkan pada impor atau ekspor suatu komoditas. Salah satu kebijakan perdagangan adalah kuota yang diterapkan dengan tujuan agar produsen tidak menjual seluruh produknya ke pasar internasional yang disebabkan oleh harga di pasar internasional yang tinggi, sehingga berdampak merugikan konsumen dalam negeri karena ketersediaan barang di dalam negeri berkurang. Kebijakan subsidi dapat diterapkan untuk setiap komoditas yang tradable maupun yang non tradable

sedangkan kebijakan perdagangan yang hanya diterapkan untuk barang-barang yang diperdagangkan (tradable).

Kebijakan Output

Kebijakan terhadap output baik berupa subsidi mapun pajak dapat diterapkan pada barang ekspor maupun impor. Kebijakan pemerintah terhadap output dijelaskan dengan menggunakan Transfer Output (TO) dan Koefisien Proteksi Output Nominal (Nominal Protection Coefficient on Output/NPCO). Dampak dari subsidi positif terhadap produsen dan konsumen pada barang impor terdapat pada Gambar 2.

Gambar 2 Dampak Subsidi Positif Terhadap Produsen dan Konsumen Barang Impor

Sumber : Monke dan Pearson 1989 Keterangan :

Pw : Harga di Pasar Internasional Pd : Harga di Pasar Domestik

Pp : Harga di tingkat produsen setelah diberlakukan pajak dan subsidi S + PI : Subsidi kepada produsen untuk barang impor

(35)

19 Gambar 2(a) merupakan gambar subsidi positif untuk produsen barang impor dimana harga yang diterima oleh produsen domestik lebih tinggi dari harga di pasar internasional. Hal ini menyebabkan output produksi dalam negeri meningkat dari Q1 menjadi Q2 sedangkan konsumsi tetap pada Q3. Harga yang diterima konsumen akan tetap sama dengan harga di pasar dunia. Subsidi ini akan menyebabkan jumlah impor turun dari Q3-Q1 menjadi Q3-Q2. Tingkat subsidi per output sebesar (Pp – Pw) pada output Q2, maka transfer total dari pemerintah kepada produsen sebesar Q2 x (Pp – Pw) atau PpABPw. Subsidi menyebabkan barang yang seharusnya diimpor menjadi diproduksi sendiri dengan biaya korbanan sebesar Q1CAQ2, sedangkan opportunity cost yang diperoleh jika barang tersebut diimpor adalah sebesar Q1CBQ2. Dengan adanya subsidi tersebut, maka akan terjadi kehilangan efisiensi sebesar CAB. Gambar 2(b) menunjukkan subsidi untuk produsen barang ekspor. Adanya subsidi dari pemerintah menyebabkan harga yang diterima produsen lebih tinggi dari harga yang berlaku di pasar dunia. Harga yang tinggi berakibat pada peningkatan output produksi dalam negeri dari Q3 ke Q4, sedangkan konsumsi menurun dari Q1 ke Q2 sehingga jumlah ekspor meningkat dari Q3 ke Q4. Tingkat subsidi yang diberikan pemerintah adalah sebesar GABH.

Gambar 1(c) menunjukkan subsidi positif untuk konsumen untuk output yang diimpor. Kebijakan subsidi sebesar Pw–Pd kepada konsumen menyebabkan produksi menurun dari Q1 menjadi Q2 sedangkan konsumsi akan meningkat dari Q3 menjadi Q4 karena kebijakan subsidi akan merubah harga dalam negeri menjadi lebih rendah. Subsidi ini akan menyebabkan peningkatan impor dari Q3- Q1 menjadi Q4-Q2. Transfer pemerintah terdiri dari dua bagian, yaitu transfer dari pemerintah ke konsumen sebesar ABGH dan transfer dari produsen ke konsumen sebesar PwAPd. Dengan demikian akan terjadi kehilangan efisiensi ekonomi pada sisi konsumsi dan produksi. Di sisi produksi, output turun dari Q2 menjadi Q1 menyebabkan hilangnya pendapatan sebesar Q2FAQ1 atau sebesar Pw x (Q2-Q1), sehingga terjadi inefisiensi ekonomi sebesar AFB. Di sisi konsumsi opportunity cost akibat peningkatan konsumsi adalah sebesar Pw x (Q4 – Q3) atau sebesar Q3EGHQ4 dengan kemampuan membayar konsumen sebesar Q3EHQ4 sehingga terjadi inefisiensi sebesar EGH. Dengan demikian total inefisiensi yang terjadi adalah sebesar AFB dan EGH.

Gambar 3(d) menunjukkan subsidi untuk barang ekspor, pada grafik tersebut harga dunia (Pw) lebih besar dari harga yang diterima produsen (Pp). Harga yang lebih rendah menyebabkan konsumsi barang ekspor menjadi meningkat dari Q1 menjadi Q2. Perubahan ini akan menyebabkan opportunity cost sebesar Pw x (Q2 –Q1) atau area yang sama dengan kemampuan membayar konsumen yaitu Q1CAQ2, dengan inefisiensi yang terjadi yaitu sebesar CBA.

Kebijakan Input

(36)

20

a. Kebijakan Input Tradable

Kebijakan pada input tradable dapat berupa subsidi, pajak, dan hambatan perdagangan. Pengaruh subsidi dan pajak pada input tradable terdapat pada Gambar 3.

Gambar 3 Subsidi dan Pajak pada Input Tradable

Sumber : Monke dan Pearson 1989

Gambar 3(a) menunjukkan pengaruh pajak terhadap input tradable yang digunakan. Adanya pajak pada input menyebabkan biaya produksi meningkat sehingga output domestik turun dari Q1 menjadi Q2 dan kurva penawaran (supply) bergeser ke atas. Efisiensi ekonomi yang hilang adalah sebesar ABC yang merupakan perbedaan antara nilai output yang hilang yaitu Q1CAQ2 dengan biaya produksi output sebesar Q2BCQ1.

Gambar 3(b) menunjukkan dampak subsidi pada input tradable yang digunakan. Adanya subsidi pada input tradable menyebabkan biaya produksi semakin rendah sehingga kurva penawaran bergeser ke bawah (S’) dan produksi meningkat dari Q1 menjadi Q2. Efisiensi yang hilang dari produksi adalah sebesar ABC yaitu perbedaan antara biaya produksi yang bertambah setelah meningkatnya output dengan peningkatan nilai output.

b. Kebijakan Input Non Tradable

Kebijakan pemerintah pada input non tradable meliputi kebijakan pajak dan subsidi. Ilustrasi mengenai kebijakan tersebut terdapat pada Gambar 4.

Gambar 4 Dampak Subsidi dan Pajak pada Input Domestik Sumber : Monke dan Pearson 1989

Keterangan :

Pd : Harga domestik sebelum diberlakukan pajak dan subsidi Pc : Harga konsumen setelah diberlakukan pajak dan subsidi

(37)

21 Gambar 4(a) menunjukkan bahwa sebelum diberlakukannya pajak terhadap input, harga dan jumlah keseimbangan dari penawaran input non tradable berada pada Pd dan Q1. Adanya pajak sebesar Pd-Pp menyebabkan produk yang dihasilkan turun menjadi Q2. Harga yang diterima produsen turun menjadi Pp dan harga yang diterima konsumen naik menjadi Pc. Efisiensi ekonomi yang hilang dari produsen sebesar BCA dan dari konsumen hilang sebesar DBA.

Gambar 4(b) menunjukkan bahwa sebelum diberlakukan subsidi terhadap input, harga dan jumlah keseimbangan dari permintaan dan penawaran input non tradable berada pada Pd dan Q1. Subsidi akan menyebabkan produksi meningkat dari Q1 menjadi Q2. Harga yang diterima produsen akan naik menjadi Pp sedangkan harga yang diterima oleh konsumen akan turun menjadi Pc. Efisiensi yang hilang dari produsen adalah sebesar ACB dan dari konsumen adalah sebesar ABE. Kehilangan efisiensi dapat dilihat dari perbandingan antara peningkatan nilai output dengan meningkatnya biaya produksi dan meningkatnya keinginan konsumen untuk membayar.

Policy Analysis Matrix (PAM)

Menurut Monke dan Pearson (1989), PAM (Policy Analysis Matrix) adalah alat yang digunakan untuk menganalisis pengaruh intervensi pemerintah dan dampaknya pada sistem komoditas. Sistem komoditas meliputi empat aktivitas yaitu aktivitas usahatani (farm production), penyampaian dari usahatani ke pengolah, pengolahan, dan pemasaran. Metode PAM dapat digunakan untuk mengidentifikasi tiga hal, yaitu analisis keuntungan (Privat dan Sosial), analisis daya saing (keunggulan komparatif dan kompetitif), serta analisis dampak kebijakan pemerintah. Asumsi yang digunakan dalam penelitian PAM adalah komoditas yang ditelti merupakan barang tradable serta biaya input komoditas tersebut bisa dibagi ke dalam biaya faktor domestik dan biaya input tradable.

PAM terdiri dari tiga baris dan empat kolom. Baris pertama untuk mengestimasi keuntungan privat yaitu perhitungan penerimaan dan biaya berdasarkan harga berlaku yang mencerminkan nilai-nilai yang dipengaruhi oleh semua kebijakan pemerintah dan kegagalan pasar. Baris kedua untuk mengestimasi keunggulan ekonomi atau daya saing dalam keunggulan komparatif. Istilah ekonomi mengacu pada peneimaan dan biaya berdasarkan harga efisien dimana kegagalan pasar dan intervensi pemerintah tidak ada. Baris ketiga merupakan selisih antara baris pertama dan baris kedua yang menggambarkan adanya divergensi akibat adanya kebijakan pemerintah. Matriks PAM juga terdiri dari 4 kolom yang secara berurutan terdiri dari kolom penerimaan, kolom biaya input tradable, kolom biaya input domestik, dan kolom keuntungan yang merupakan selisih antara penerimaan dengan biaya.

Ada beberapa asumsi yang digunakan dalam metode PAM, diantaranya : 1. Perhitungan berdasarkan harga privat (privat cost) yaitu harga yang

benar-benar terjadi dan diterima oleh produsen dan konsumen atau harga yang benar-benar terjadi setelah adanya kebijakan.

(38)

22

3. Output bersifat tradable (dapat diperdagangkan) dan input dapat dipasarkan ke dalam input faktor domestik dan input tradable.

Eksternalitas positif dan negatif dianggap saling meniadakan (Eksternalitas=0). Selain itu analisis metode PAM juga memiliki beberapa kelebihan diantaranya :

1. Analisis PAM adalah perhitungan yang dapat dilakukan secara keseluruhan, sistematis, dan output dapat beragam.

2. Analisis dapat digunakan pada sistem komoditas dengan berbagai daerah, berbagai tipe usahatani dan teknologi.

Menurut Morrison dan Balcombe (2002), PAM juga memiliki beberapa kelemahan sehingga memerlukan kehati-hatian dalam menginterpretasikan indikator-indikator PAM, yaitu:

1. PAM bekerja pada kerangka kerja parsial dan statis, serta mengabaikan umpan balik (feedback) dan efek multiplier.

2. Keakuratan data yang digunakan, diantaranya: pertama, harga pasar dan kuantitas input yang digunakan pada baris pertama kerangka kerja PAM sering dikumpulkan dalam keadaan sistem informasi pasar pertanian yang kurang berkembang. Di sektor pertanian, keragaman harga-harga input dan output tidak cukup digambarkan dengan harga rata-rata biasa. Kedua, umumnya harga dunia (world price) digunakan untuk menyusun harga perbatasan (border parity price), kemudian digunakan sebagai proxy dari harga ekonomi. Hal ini menimbulkan kesulitan karena adanya hambatan perdagangan di banyak negara menyebabkan variabilitas harga dunia cenderung tinggi, namun variabilitas ini umumnya tidak ditransmisikan secara penuh ke harga domestik.

Matrik PAM terdapat pada Tabel 9. Tabel 9 Policy Analysis Matrix (PAM)

Uraian Penerimaan

Sumber: Pearson et.al. 2005 Keterangan:

Harga Bayangan (Social Opportunity Cost)

(39)

23 ditemukan, maka untuk memperoleh nilai yang mendekati biaya imbangan atau harga sosial perlu dilakukan penyesuaian terhadap harga pasar yang berlaku (Gittinger 1986). Alasan penggunaan harga bayangan adalah:

1. Harga bayangan tidak mencerminkan korbanan yang dikeluarkan jika sumber daya tersebut dipakai untuk kegiatan lainnya.

2. Harga yang berlaku di pasar tidak menunjukkan apa yang sebenarnya diperoleh masyarakat melalui suatu produksi dari aktivitas tersebut.

Penentuan harga dasar yang terjadi belum tentu dapat dipakai langsung dalam analisis ekonomi karena tidak mencerminkan biaya imbangan sosial (opportunity cost). Suatu komoditas akan mempunyai biaya imbangan sama dengan biaya pasar jika berada pada pasar persaingan sempurna. Oleh karena itu, untuk memperoleh suatu nilai yang mendekati nilai biaya imbangan sosial diperlukan penyesuaian.

Penyesuaian menggunakan acuan seperti yang dilakukan Gittinger (1986). Penelitian terhadap pengusahaan komoditas menggunakan CIF (Cost Insurance and Freight) jika output dan input merupakan barang impor. Sedangkan penggunaaan FOB (Free on Board) jika output dan input merupakan barang ekspor.

Analisis Sensitivitas

Analisis sensitivitas bertujuan untuk melihat bagaimana perubahan harga obat-obatan, pupuk anorganik, dan jumlah produksi terhadap daya saing anggrek

Vanda doughlas di Kota Tangerang Selatan. Menurut Kadariah (1999), analisis sensitivitas dilakukan dengan cara: (1) Mengubah besarnya faktor-faktor yang penting, masing-masing terpisah atau beberapa dalam kombinasi dengan suatu persentase dan menentukan seberapa besar kepekaan hasil perhitungan terhadap perubahan-perubahan tersebut, (2) Menentukan seberapa besar faktor yang berubah sehingga hasil perhitungan membuat proyek tidak dapat diterima.

Analisis sensitivitas membantu menentukan unsur-unsur kritikal yang berperan dalam menentukan hasil proyek. Analisis sensitivitas mengubah suatu faktor kemudian menentukan pengaruh dari perubahan tersebut terhadap hasil analisis. Kelemahan dari analisis sensitivitas adalah :

1. Tidak digunakan untuk pemilihan proyek karena merupakan analisis parsial yang hanya mengubah satu parameter pada saat tertentu.

2. Hanya mencatat apa yang terjadi jika faktor berubah-ubah dan bukan untuk menentukan layak atau tidaknya suatu proyek.

Analisis sensitivitas dilakukan untuk menjawab pertanyaan penelitian yang ke-3. Analisis ini juga dilakukan karena metode sebelumnya yaitu PolicyAnalysis Matrix hanya memberlakukan satu tingkat harga padahal dalam keadaan sebenarnya tingkat harga yang berlaku untuk input dan output sangat variatif. Oleh karena itu, analisis sensitivitas penting untuk dilakukan.

Kerangka Pemikiran Operasional

Gambar

Tabel 1  Nilai PDB Hortikultura Berdasarkan Harga Berlaku Tahun 2008-2011
Gambar 1. Aliran Perdagangan Internasional
Tabel 8 Tipe alternatif Kebijakan Pemerintah
Gambar 2  Dampak Subsidi Positif Terhadap Produsen dan Konsumen Barang
+7

Referensi

Dokumen terkait

Contoh, brosur dan gambar-gambar untuk Polybag yang disampaikan tidak jelas/tidak ada keterangan sehingga tidak dapat diketahui kandungan/ukuran/ spesifikasi teknisnya sehingga

Metode Pengadaan e-Seleksi Sederhana Metode Kualifikasi Pascakualifikasi Metode Dokumen Satu File Metode Evaluasi Biaya Terendah Anggaran 2017 - APBD.. Nilai Pagu Paket

109.980.000,-( seratus sembilan juta sembilan ratus delapan puluh ribu rupiah ) yang akan dilaksanakan menggunakan metode Pelelangan Sederhana dengan Pascakualifikasi,

(iii) Ahli waris dengan bagian tertentu dan ashabah sekaligus atau salahsatunya yaitu bapak, kakek, (b) ahli waris ashabul furudh atau ashabah yaitu anak

Rendahnya konflik peran yang dihadapi Pegawai Kantor Pelayanan Pajak Pratama disebabkan oleh kendali diri dalam diri mereka yang baik dalam pengambilan

sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan tepat waktu..  Kakak (Vera Febrianti) yang selalu memberikan doa dan semangat

Deoksi ribonukleotida terdiri atas tiga omponen yaitu basa purin atau pirimidin, gula 5-karbon (deoksiribosa) dan gugus fosfat. 3) enzim polimerase, yaitu enzim utama

Edward Sallis (2012: 30) menyebutkan ada banyak sumber dalam pendidikan yang memengaruhi peningkatan mutu, misalnya sarana gedung yang bagus, guru yang terkemuka,