• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Tingkat Pengetahuan dengan Tindakan Pencegahan Blepharoptosis Akibat Pemakaian Lensa Kontak pada Mahasiswa FK USU

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Hubungan Tingkat Pengetahuan dengan Tindakan Pencegahan Blepharoptosis Akibat Pemakaian Lensa Kontak pada Mahasiswa FK USU"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1Perilaku

Perilaku merupakan suatu respon seseorang yang dikarenakan adanya suatu stimulus/ rangsangan dari luar. Berdasarkan teori Bloom, perilaku dibagi menjadi tiga yaitu pengetahuan (knowledge), sikap (attitude), dan praktik/tindakan (Notoatmodjo, 2012).

2.1.1 Pengetahuan (knowledge) Definisi Pengetahuan

Pengetahuan merupakan hasil dari tahu yang terjadi setelah seseorang melakukan pengindraan terhadap objek tertentu. Pengindraan terjadi melalui pancaindra yang meliputi indra penglihatan, indra pendengaran, indra penciuman, indra perasa, dan indra peraba. Pengetahuan merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang (Notoatmodjo, 2007).

Tingkat pengetahuan

Kognitif atau pengetahuan merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang. Menurut Notoatmodjo (2007) secara garis besarnya tingkat pengetahuan dapat dibagi menjadi enam tingkatan, yakni:

1. Tahu (Know), diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya. Termasuk didalamnya adalah mengingat kembali (recall) terhadap suatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang diterima.

(2)

3. Aplikasi (Application), diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada suatu kondisi riil (sebenarnya). Aplikasi di sini dapat diartikan dengan penggunaan hukum-hukum, rumus, metode, prinsip, dan sebagainya dalam konteks atau situasi lain.

4. Analisis (Analysis), adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih dalam satu struktur organisasi tersebut, dan masih terkait satu sama lain. Kemampuan analisis ini dapat dilihat dari penggunaan kata-kata kerja, dimana dapat menggambarkan (membuat bagan atau tabel), membedakan, memisahkan, mengklasifikasikan, dan berbagai hal lainya.

5. Sintesis (Synthesis), menunjukkan suatu bentuk kemampuan dalam meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru. Dengan kata lain, sintesis dapat diartikan sebagai suatu bentuk kemampuan untuk menyusun formula baru dari formula-formula yang telah ada sebelumya.

6. Evaluasi (Evaluation), berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilaian-penilaian tersebut berdasarkan suatu kriteria yang ditentukan sendiri, atau menggunakan kriteria-kriteria yang telah ada sebelumnya.

Cara Pengukuran Pengetahuan

(3)

a. Alat ukur : Kuesioner dengan kriteria jawaban sebagai berikut :

Tiap-tiap pernyataan responden yang menyatakan pernyataan positif, maka diberi nilai untuk jawaban :

1. Nilai 1 untuk jawaban yang benar 2. Nilai 0 untuk jawaban yang salah

b. Cara ukur : Wawancara tertulis dengan menggunakan sepuluh pertanyaan dengan kriteria jawaban.

c. Hasil ukur :

Kalau mengajukan sepuluh pertanyaan terhadap responden maka nilai yang akan didapat adalah :

1. Pengetahuan baik, jika jumlah nilai 6-10 pertanyaan 2. Dikatakan tidak baik, jika jumlah nilai 0-5 pertanyaan

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pengetahuan

Faktor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan menurut Notoatmodjo (2007), yaitu :

1) Tingkat pendidikan

Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, maka seseorang tersebut akan lebih mudah dalam menerima hal-hal baru sehingga akan lebih mudah pula menyelesaikan hal-hal baru tersebut.

2) Informasi

Seseorang yang mempunyai sumber informasi yang lebih baik banyak akan memberikan pengetahuan yang jelas.

3) Budaya

Budaya sangat berpengaruh terhadap tingkat pengetahuan seseorang. Hal ini dikarenakan informasi-informasi baru akan disaring, kira-kira sesuai tidaknya dengan kebudayaan yang ada dan agama yang dianut.

4) Pengalaman

(4)

5) Status Ekonomi

Tingkatan seseorang untuk memenuhi kebutuhan hidup disesuaikan dengan penghasilan yang ada sehingga menuntut pengetahuan yang dimiliki harus dipergunakan semaksimal mungkin, begitupun dalam mencari bantuan ke sarana kesehatan yang ada, mereka sesuaikan dengan pendapatan keluarga.

2.1.2 Sikap (attitude)

Reaksi yang masih tertutup dari seseorang terhadap stimulus disebut sikap. Sikap belum merupakan suatu tindakan nyata, tetapi masih berupa persepsi dan kesiapan seseorang untuk bereaksi terhadap stimulus yang ada di sekitarnya. Sikap dapat diukur secara langsung dan tidak langsung. Pengukuran sikap merupakan pendapat yang diungkapkan oleh responden terhadap objek (Notoatmodjo, 2007).

Secara garis besar sikap terdiri dari komponen kognitif (ide yang dipelajari), komponen perilaku (berpengaruh terhadap respon sesuai atau tidak sesuai), dan komponen emosi (menimbulkan respon-respon yang konsisten) (Wawan & Dewi, 2011). Berikut akan disajikan skema terbentuknya sikap dan reaksi.

(5)

Tingkatan sikap menurut Notoatmodjo (2003) adalah sebagai berikut: a. Menerima (receiving)

Menerima dapat diartikan bahwa orang (subjek) mau mempertahankan stimulus yang diberikan (objek).

b. Merespon (responding)

Memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan dan menyelesaikan tugas yang diberikan adalah suatu indikasi dari sikap. Karena dengan suatu usaha untuk menjawab pertanyaan atau mengerjakan tugas yang diberikan, terlepas dari pekerjaan itu benar atau salah, adalah berarti orang menerima ide tersebut.

c. Menghargai (valueing)

Indikasi sikap ketiga adalah mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan suatu masalah.

d. Bertanggung jawab (responsible)

Sikap yang paling tinggi adalah bertanggungjawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan segala resiko.

Pengukuran sikap dapat dilakukan secara langsung atau tidak langsung. Secara langsung dapat ditanyakan bagaimana pendapat atau pernyataan responden terhadap suatu objek. Sedangkan secara tidak langsung dapat dilakukan dengan pertanyaan-pertanyaan hipotesis, kemudian ditanyakan pendapat responden. Dan biasanya jawaban berada dalam rentang antara sangat setuju sampai sangat tidak setuju.

2.1.3 Praktik atau Tindakan

(6)

a) Persepsi (perception), yaitu mengenal dan memilih berbagai objek sehubungan dengan tindakan yang akan diambil adalah merupakan praktek tingkat pertama.

b) Respon terpimpin (guided response), yaitu indikator praktek tingkat dua adalah dapat melakukan sesuatu sesuai dengan contoh.

c) Mekanisme (mechanism), yaitu apabila seseorang telah dapat melakukan sesuatu dengan benar secara otomatis, atau sesuatu itu sudah merupakan kebiasaan, maka ia sudah mencapai praktek tingkat tiga.

d) Adopsi (adoption), adalah suatu praktek atau tindakan yang sudah berkembang dengan baik. Artinya tindakan itu sudah dimodifikasinya tanpa mengurangi kebenaran tindakan tersebut.

2.1.4 Proses Adaptasi Perilaku

Dari pengalaman dan penelitian, terbukti bahwa perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng daripada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan. Penelitian Rogers (1974) yang dikutip oleh Notoatmodjo (2007:121) mengungkapkan bahwa sebelum orang mengadopsi perilaku baru (berperilaku baru), di dalam diri orang tersebut terjadi proses yang berurutan, yakni:

1) Awareness (kesadaran)

Subjek tersebut menyadari dalam arti mengetahui stimulus (objek) terlebih dahulu.

2) Interest (tertarik)

Dimana subjek mulai tertarik terhadap stimulus yang sudah diketahui dan dipahami terlebih dahulu.

3) Evaluation (evaluasi)

Menimbang-nimbang baik atau tidaknya stimulus yang sudah dilakukan serta pengaruh terhadap dirinya.

4) Trial (percobaan)

(7)

5) Adoption

Dimana subjek telah berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan, kesadaran dan sikapnya terhadap stimulus.

2.2 Anatomi Kelopak Mata

Kelopak mata terdiri dari tiga otot utama yang dipersarafi oleh tiga saraf yang berbeda. Otot levator palpebrae superioris merupakan otot utama yang berperan dalam membukanya kelopak mata dan dalam mempertahankan postur normal kelopak mata. Dua otot tambahan lainnya adalah otot muller yang dipersarafi oleh sistem saraf simpatetik dan otot frontalis.Sementara itu, penutupan kelopak mata dilakukan oleh kontraksi otot orbikularis okuli yang diinervasi oleh saraf fasialis.

Fisura palpebrae, pembukaan antara kelopak mata atas dan kelopak

mata bawah, merupakan jalan masuk menuju kantong konjungtiva yang dibatasi oleh batas-batas kelopak mata (gambar 2.1). Ketika kelopak mata membuka, fisura palpebrae berbentuk elips asimetris dengan panjang 22-30 mm dan tinggi 12-15 mm. Sulkus palpebrae superior atau yang biasa disebut lipatan kelopak mata atas berada 3-4 mm diatas batas atas kelopak mata dan merupakan lipatan mata yang paling jelas terlihat. Lipatan ini merupakan tempat melekatnya otot orbikularis okuli terhadap tarsus serta merupakan tempat levator aponeurosis berlekatan dengan kulit pretarsal.

Kelopak mata mempunyai struktur lempeng tarsal seperti kartilago. Struktur tersebut memberi bentuk pada kelopak mata dan berfungsi dalam memproteksi mata. Lempeng tarsus terbagi atas dua, yaitu lempeng tarsus superior dan lempeng tarsus inferior. Lempeng tarsus superior berukuran 29 mm dari medial ke lateral dan dengan tinggi 10 mm. Sementara itu, lempeng tarsus inferior mempunyai tinggi 3,5-5 mm dan ukuran medial ke lateral yang sama seperti ukuran lempeng tarsus superior. Lempeng tarsus mengandung kelenjar sebaseus yang disebut kelenjar meibomian.

(8)

dengan levator aponeurosis sekitar 3-4 mm diatas batas atas tarsus. Septum orbita berfungsi sebagai tempat perlekatan aponeurosis ke kulit (Skarf, 2008).

Selain itu, kelopak mata juga mempunyai sebaris bulu mata yang sensitif terhadap sentuhan dan partikel yang dekat dengan mata dengan menstimulasi refleks berkedip. Kelopak mata juga mengandung kelenjar-kelenjar yang berfungsi untuk mempertahankan tear layer.

Secara embriologi, otot levator palpebrae superioris berasal dari annulus of Zinn. Otot levator palpebrae superioris merupakan otot lurik yang

Gambar 2.2 Anatomi kelopak mata dilihat dari sisi l t l

(9)

dipersarafi oleh divisi superior dari saraf okulomotor (saraf cranialis III). Otot ini mempunyai panjang 40 mm. Otot tersebut membentang dari bagian atas orbital dan berjalan turun dimulai dari lesser wing tulang sphenoid menuju sisi anterior. Namun, pada batas ligamen Whitnall (juga disebut ligamentum transversum superioris), otot tersebut turun ke sisi posterior dari ligamen Whitnall terlebih dahulu sebagai tendon. Berikutnya barulah tendon tersebut

berjalan menurun ke sisi anterior ligament Whitnall sebagai tendineus aponeurosis. Aponeurosis yang memiliki panjang 14-20 mm ini bersatu

dengan septum orbita dan melekat ke tarsus superior. Aponeurosis ini juga melekat ke kulit dan membentuk lipatan pada kelopak mata atas. Ligamentum Whitnall mengubah arah tarikan dari otot levator palpebrae dari horizontal ke

arah vertikal. Perlekatan levator pada ligamentum Whitnall merupakan komponen penting tenaga penutupan kelopak mata secara pasif (Skarf, 2008).

Sementara itu, otot muller yang memiliki panjang 12 mm berjalan dari bagian bawah levator superioris hingga memasuki bagian superior dari tarsal border. Otot muller mengangkat kelopak mata sekitar 2 mm (Skarf, 2008).

Gambar 2.3 Anatomi otot levator palpebre superioris dan aponeurosisnya. A, Sisi anterior berhubungan dengan aponeurosis levator (D) terhadap tarsus superior (*) dan terhadap Ligamen Whitnall (B). A, kelenjar lakrimal; C, pembungkus tendon

obliqus superioris; E, sisi lateral dari aponeurosis levator; F, sisi medial dari

(10)

2.3 Lensa Kontak

2.3.1 Definisi Lensa Kontak

Lensa kontak merupakan lensa plastik tipis yang dipakai menempel pada kornea mata. Lensa kontak memiliki fungsi yang sama dengan kacamata, yaitu mengoreksi kelainan refraksi, kelainan akomodasi, terapi dan kosmetik. (nusantara, 2008)

2.3.2 Indikasi Penggunaan Lensa Kontak Indikasi Optik

Penggunaan Lensa Kontak atas indikasi optik antara lain: anisometropia, afakia unilateral, myopia berat, keratokonus, dan astigmatisma ireguler.

Keuntungan penggunaan lensa kontak dibandingkan dengan kacamata adalah dapat mengoreksi astigmatisma ireguler yang tidak dapat dikoreksi oleh kacamata baca, lensa kontak tetap mempertahankan lapangan pandang, menghindari terjadinya abrasi perifer pada penggunaan kacamata, hujan dan kabut tidak mengganggu penglihatan seperti pada penggunaan kacamata biasa; secara kosmetik penggunaan lensa kontak lebih dapat diterima oleh pasien, terutama pasien wanita, daripada menggunakan kacamata baca yang tebal pada gangguan refraksi tinggi.

Indikasi Terapeutik

Indikasi Terapeutik pada penggunaan lensa kontak antara lain;

a. Penyakit kornea; seperti ulkus kornea tanpa penyembuhan, keratopati bulosa, keratitis, sindrom erosi kornea rekuren.

b. Penyakit pada iris; seperti aniridia, koloboma, dan albinisme. c. Pada glaukoma, sebagai perantara masuknya obat glaukoma. d. Pada ambliopia, lensa kontak digunakan mencegah oklusi.

(11)

Indikasi Preventif

Indikasi preventif penggunaan lensa kontak antara lain: mencegah simbleparon dan restorasi forniks pada luka bakar kimiawi, keratitis, dan trikiasis

Indikasi Diagnostik

Indikasi diagnostik penggunaan lensa kontak antara lain; gonioskopi, elektroretinografi, pemeriksaan fundus pada astigmatisma regular, fundus photoghrapy, Goldmann’s 3 mirror examination

Indikasi Operatif

Lensa kontak dapat digunakan pada operasi goniotomi pada glaucoma kongenital, vitektomi, dan fotokoagulasi endokuler.

Indikasi Kosmetik

Indikasi kosmetik penggunaan lensa kontak antara lain; pada skar kornea yang mengganggu penglihatan, ptosis, dan kosmetik lensa sclera pada ptosis bulbi.

Indikasi Okupasi

Indikasi okupasi penggunaan lensa kontak antara lain; pada atlet, pilot dan aktor.

2.3.3 Kontraindikasi Pemakaian Lensa Kontak

Kontraindikasi penggunaan lensa kontak antara lain a. Kontraindikasi Absolut

Kurangnya motivasi, keadaan peradangan seperti : blepharitis, konjungtivitis akut, dan keratitis.

b. Kontraindikasi Relatif

(12)

2.3.4 Jenis-jenis Lensa Kontak

Lensa Kontak Rigid (Rigid Contact Lens)

Lensa Kontak Rigid merupakan lensa kontak yang pertama dibuat. Lensa ini terbuat dari polymethyl metharylate (PMMA atau Perspex/Plexiglas). Karena tidak permeabel terhadap oksigen, lensa ini sulit dipakai untuk jangka panjang serta menyebabkan edema kornea dan rasa tidak enak pada mata. Namun demikian, lensa kontak rigid merupakan lensa kontak pertama yang benar-benar berhasil dan diterima secara luas sebagai pengganti kacamata. Pengembangan selanjutnya antara lain adalah lensa kaku yang permeable udara, yang terbuat dari asetat butirat selulosa, silicon atau berbagai polimer plastic hidrogel, semuanya memberikan kenyamanan yang lebih baik, tetapi risikonya terjadi komplikasi yang lebih besar.

Lensa kontak keras secara spesifik diindikasikan untuk koreksi astigmatisme regular, iregularitas kornea seperti pada keratokonus. Lensa kontak rigid lebih bertahan dibanding lensa kontak lunak dikarenakan sifatnya yang lebih inert secara kimiawi. Namun, karena strukturnya yang keras, lensa kontak rigid memerlukan waktu beradaptasi pasca pemakaian yang lebih lama dibandingkan pada lensa kontak lunak (Riordan & Whitcher, 2007).

Lensa Kontak Lunak (Soft Contact Lens)

Lensa kontak lunak tersedia untuk pemakaian jangka panjang dan pemakaian harian. Jenis lensa kontak lunak hanya membutuhkan waktu beberapa hari untuk penyesuaian. (nusantara, 2008)

Lensa kontak lunak terbagi beberapa jenis berdasarkan masa pakainya, yakni: harian, mingguan, 2 mingguan, bulanan dan setahun. Lensa kontak lunak ini dapat dilalui oleh oksigen dengan kadar yang berbeda tergantung dari bahan, kadar air, desain serta ketebalannya. Kelebihan dan kekurangan Lensa kontak lunak :

• Masa adaptasi yang singkat biasanya hanya beberapa hari

• Lebih kecil kemungkinan akan terlepas pada saat melakukan aktivitas yang

berlebihan

(13)

• Mudah untuk memperolehnya serta lebih murah dibandingkan dengan RGP • Karena kadar air yang tinggi sehingga lensa kontak lunak lebih mudah kotor • Mudah robek

Lensa kontak lunak diklasifikasikan lagi menurut jadwal penggunaannya, yaitu sebagai berikut :

1. Daily wear contact lens merupakan lensa kontak yang dipakai hanya satu hari dan dilepaskan ketika tidur.

2. Extended wear contact lens (atau disebut continuous wear) merupakan lensa kontak yang didesain untuk penggunaan sepanjang malam, biasanya untuk penggunaan lebih dari enam malam. Lensa kontak ini dapat digunakan dalam jangka waktu yang lama tanpa dilepaskan karena permeabilitasnya yang tinggi terhadap oksigen. Saat mata terbuka, mata mendapat oksigen dari udara luar, sedangkan ketika tidur, oksigen disuplai dari pembuluh darah belakang kelopak mata. Extended wear contact lens memungkinkan transfer oksigen lima hingga enam kali lebih permeabel dibandingkan lensa kontak lunak konvensional. Hal ini memungkinkan mata tetap sehat meskipun lensa kontak dipakai semalaman.

Lensa Kaku Permeabel Gas (Rigid Gas Permeable Lens)

(14)

Kelebihan dan kekurangan Rigid Gas Permeable Lens : 1. Tidak mudah robek

2. Diameter lebih kecil antara 8.5 – 10 mm 3. Transmisi oksigen yang lebih tinggi

4. Mudah dirawat dan dibersihkan karena RGP tidak mengandung air 5. Mampu mengoreksi astigmatisme

6. Memberikan penglihatan yang lebih tajam 7. Masa pakai lebih lama, lebih dari 2 tahun

8. Masa adaptasi yang lebih lama, biasanya memerlukan 2 minggu hingga 1 bulan

9. Apabila lebih dari seminggu tidak dipakai maka pada saat pemakaian kembali memerlukan penyesuaian/adaptasi

10.Harga lebih mahal dibandingkan dengan lensa kontak lunak

Lensa Lunak Torik (Toric Soft Contact Lens)

Lensa kontak torik adalah lensa kontak yang mempunyai kekuatan cylinder sehingga bisa digunakan untuk mengoreksi kelainan astigmatisma.

Prinsip dasar untuk semua jenis desain lensa kontak torik adalah untuk memberikan koreksi yang maksimal bagi semua penderita astigmatisma. Perbedaan kekuatan antara meredian yang satu dengan meredian yang lainnya menyebabkan terjadinya perbedaan ketebalan yang harus diperhatikan dalam menentukan desain torik yang nantinya disesuaikan dengan kondisi astigmatisma yang dimiliki oleh pasien.

2.3.5 Komplikasi Lensa Kontak

Pemakaian lensa kontak akan aman bila digunakan secara benar. Komplikasi yang dikarenakan penggunaan lensa kontak yang salah terjadi pada sekitar 5% dari pengguna lensa kontak tiap tahunnya. Penggunaan lensa kontak yang tidak benar akan mengiritasi kelopak mata, konjungtiva, dan kornea. Perawatan lensa kontak yang tidak benar juga akan memicu terjadiya infeksi dari berbagai mikroorganisme, seperti bakteri, jamur, dll.

(15)

tidak memiliki sistem vaskularisasi mendapat suplai oksigen dari paparan udara ekternal ketika mata terbuka, sedangkan ketika tidur, kornea mendapat suplai oksigen dari pembuluh darah di belakang kelopak mata. Komplikasi yang dapat terjadi dikarenakan suplai oksigen yang sedikit dalam jangka waktu lama pada kornea adalah terjadinya neovaskularisasi kornea, peningkatan permeabiilitas epitel, perlekatan bakteri, mikrokista, edema kornea, endothelial polymegathism, dan peningkatan resiko miopia (Groos, 2006).

Beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh pemakai lensa kontak : (nusantara, 2008)

1. Selalu mencuci tangan sebelum menyentuh lensa kontak. 2. Cuci dan disinfeksi lensa kontak setiap kali setelah pemakaian.

3. Tempat lensa kontak dicuci dan dibiarkan kering setiap hari. Seminggu sekali, tempat lensa kontak didesinfeksi dengan air mendidih.

4. Gantilah tempat lensa kontak secara teratur.

5. Ikutilah petunjuk perawatan lensa kontak yang diberikan oleh dokter mata Anda.

6. Buanglah cairan yang telah dipakai segera, janganlah digunakan untuk kedua kalinya.

7. Janganlah menggunakan cairan saline yang dibuat sendiri.

8. Jangan menyimpan lensa kontak dalam cairan yang tidak steril seperti air keran atau air distilasi.

9. Jangan memakai lensa kontak yang rusak atau sudah lama. 10.Periksakan mata Anda secara teratur (minimal setahun sekali).

11.Periksa dengan dokter mata Anda sebelum menggunakan obat (larutan) tetes mata, karena ada larutan tetes mata (termasuk yang dijual bebas) yang dapat berinteraksi dengan lensa kontak.

12.Hentikan pemakaian lensa kontak segera jika mata merah atau tidak nyaman saat memakai lensa kontak.

(16)

kontak yang salah, yaitu : kelainan pada kornea, mata merah, CLARE (Contact-Lens Induced Acute Red Eye) ,transmisi HIV pada perawatan lensa kontak. Bila pada penggunaan lensa kontak terjadi komplikasi seperti yang telah disebutkan diatas,maka segera untuk melepaskan lensa kontak dari mata dan melakukan pemeriksaan pada dokter spesialis mata.

2.3.6 Mekanisme Lensa Kontak menyebabkan Blepharoptosis (ptosis)

Terdapat banyak mekanisme yang dapat menyebabkan Contact Lens-induced Ptosis (CLIP). Hal ini dikategorikan menjadi penyebab aponeurogenik

(mempengaruhi beberapa bentuk disfungsi aponeurosis) dan penyebab non-aponeurogenik.

Penyebab Aponeurogenik pada CLIP

1. Penekanan pada Kelopak Mata

“Forced Blinking” yang tidak alami ketika pelepasan lensa kontak rigid memaksa otot levator dan otot orbikularis. Karena pengguna lensa kontak keras diinstruksikan untuk membuka mata dengan lebar ketika melakukan kedipan yang kuat, maka baik otot levator dan otot orbikularis berkontraksi secara bersamaan. Dua aksi otot yang seharusnya bekerja berlawanan ini (antagosnistic contraction) menyebabkan peningkatan traksi (penarikan) pada levator aponeurosis. Hal ini memicu terjadinya disinsersi & penurunan pada levator.

2. Lateral Eyelid Stretching

(17)

3. Berkedip memicu Lens Rubbing

Ketika lensa kontak rigid masih berada di dalam konjungtiva mata, setiap kedipan mata akan menyebabkan lensa menggores struktur kelopak mata, walaupun dampak yang diakibatkan tidak seburuk ketika pelepasan dan pemasangan lensa kontak. Goresan kronik ini ditambah dengan tindakan pelepasan lensa kontak yang akan menyebabkan penipisan dan peregangan dari levator aponeurosis maka cara pelepasan lensa kontak, ukuran, ketebalan, dan posisi lensa kontak mempengaruhi terjadinya CLIP.

4. Tenaga yang Berlebihan pada Pemasangan dan Pelepasan Lensa

Kontak Lunak

Studi Reddy et all menyatakan bahwa metode pemasangan dan pelepasan lensa kontak lunak yang berlebihan akan menyebabkan ptosis. Blepharoptosis terjadi pada pasien yang memberikan tenaga yang

berlebihan pada kelopak mata mereka ketika memasukkan atau melepaskan lensa kontak lunak.

Penyebab Non-Aponeurogenik pada CLIP

1. Oedema

(18)

2. Papilary Conjungtivitis

Contact Lens-Induced Papilary Conjunctivitis grade 4 (severe) akan

menyebabkan inflamasi berat dan oedema pada kelopak mata yang menyebabkan pembengkakan pada kelopak mata dan blepharoptosis. Ptosis jenis ini biasanya terjadi pada pengguna lensa kontak lunak dan biasanya terjadi secara bilateral.

Traksi yang rekuren pada aponeurosis ketika pelepasan lensa kontak keras

Inflamasi

Lunak yang tidak benar, serta hygeine yang tidak

Inflamasi akut, pelepasan lensa kontak lunak yang tidak tepat Iritasi kronis kelopak

(19)

2.4 Blepharoptosis

2.4.1 Definisi Blepharoptosis

Blepharoptosis terdiri dari dua kata yaitu blepharal dan ptosis. Ptosis

adalah istilah medis untuk suatu keadaan yang berarti prolaps, depresi abnormal dari suatu organ atau bagian organ tertentu. Sementara itu, blepharal menurut Kamus Dorland berarti palpebrae, yang artinya kelopak mata. Jadi, blepharoptosis juga dapat diartikan sebagai keadaan dimana kelopak mata atas

(palpebra superior) turun di bawah posisi normal saat membuka mata yang dapat terjadi unilateral atau bilateral. Posisi normal kelopak mata atas adalah 1,5-2 mm dari tepi limbus atas. (Bosch dan Lemij, 2012)

2.4.2 Etiologi Blepharoptosis

Blepharoptosis dibedakan menjadi blepharoptosis kongenital dan

blepharoptosis didapat. Blepharoptosis kongenital kebanyakan disebabkan

oleh disgenesis miogenik otot levator superioris lokal. Blepharoptosis kongenital juga bisa diakibatkan dari defek kromosom, genetik, atau disfungsi neurologis, namun jumlah kejadiannya tidak begitu banyak.

(20)

miogenik adalah abnormalitas perkembangan eyelid, blepharophimosis, sindrom orbital fibrosis, double elevator palsy. Sementara pada blepharoptosis jenis neurogenik, etiologinya adalah third nerve palsy, marcus Gunn jaw winking, sindrom horner, myasthenia. Etiologi pada blepharoptosis mekanikal adalah adanya massa orbital atau massa eyelid, pasca operasi segmen anterior, pasca operasi katarak. Berikutnya, penyebab blepharoptosis aponeurotik adalah kongenital, pasca-trauma, penggunaan lensa kontak (Cohen, 2013). Blepharoptosis didapat kebanyakan disebabkan oleh jenis aponeurotik. Hal ini

umumnya terjadi melalui disinsersi dan penurunan levator aponeurosis. Pasien yang berumur kurang dari 35 tahun dengan riwayat penggunaan lensa kontak lima kali lebih berisiko menderita blepharoptosis didapat (Bosch dan Lemij, 2012).

Berdasarkan tingkat keparahan, blepharoptosis ringan adalah blepharoptosis dengan batas kelopak mata atas menutupi kornea < 2 mm,

blepharoptosis sedang jika batas kelopak mata atas menutupi kornea 2-4 mm,

dan blepharoptosis berat jika batas kelopak mata atas menutupi kornea > 4 mm.

2.4.3 Diagnosis Blepharoptosis

Pasien dengan blepharoptosis dapat mengeluhkan kesulitan membaca karena blepharoptosis yang bertambah buruk pada saat melihat ke bawah. Hal ini disebabkan karena adanya relaksasi otat frontalis. Bila pasien belum pernah diperiksa oleh oftamologis maka diperlukan pemeriksaan okular lengkap.

Kuantifikasi dan kualifikasi blepharoptosis diperlukan untuk kepentingan diagnosis dan penatalaksanaannya. Semua pengukuran kuantitatif kelopak mata dan alis mata harus dilakukan sebelum diberikan dilating drops.

Pengukuran-pengukuran yang akan dilakukan adalah : (Cohen, 2013)

Fisura palpebrae

Fisura palpebrae memiliki panjang 22-30 mm dan tinggi 12-15 mm

MRD-1

Marginal reflex distance-1 adalah jarak vertikal antara pusat pupil

(21)

Seseorang didiagnosa mengalami blepharoptosis bila didapatkan hasil MRD-1 kurang dari 4.5 mm (Hashemi, 2010)

MRD-2

Marginal reflex distance-2 adalah jarak vertikal antara pusat pupil

dengan margin kelopak mata bawah saat pemberian refleks cahaya. Hasil pengukuran yang normal adalah 5 mm.

Margin crease distance

Merupakan jarak antara margin kelopak mata atas dengan lipatan kelopak mata. Pada wanita barat, nilai normal dari pengukuran ini adalah 10-11 mm, sedangkan pada laki-laki barat, nilai normalnya adalah 8-10 mm.

Fungsi levator

Merupakan jarak kelopak mata ketika bola mata melihat dari bawah ke atas dengan keadaan dimana otot frontalis tidak bergerak. Nilai normal pengukuran ini adalah 10 mm, sedangkan nilai 0-5 mm dianggap kurang.

Apabila hasil pengukuran diatas berada di bawah nilai normal dan didukung dengan adanya keluhan pasien terhadap gangguan penglihatan karena turunnya kelopak mata, maka pasien ditegakkan diagnosa menderita ptosis. Selain itu, kelopak mata yang turun akan menutupi sebagian pupil sehingga penderita mengkompensasi keadaan tersebut dengan cara menaikkan alis matanya atau menghiperekstensikan kepalanya.

2.4.4 Komplikasi Blepharoptosis

Blepharoptosis merupakan penyebab penting dari kehilangan

penglihatan. Meskipun gangguan lapang pandang terjadi pada daerah superior, namun penglihatan sentral dapat juga terganggu. Komplikasi pada blepharoptosis adalah ambliopia, strabismus, dan astigmatisma. Pasien

blepharoptosis memiliki resiko tiga kali lebih besar menderita ambliopia

(22)

2.4.5 Penatalaksanaan Blepharoptosis

Penatalaksanaan blepharoptosis tergantung dari etiologi dan derajat blepharoptosis (derajat fungsi levator), hasil pemeriksaan oftalmologis, dan

tingkat keahlian serta pengalaman dari ahli bedah.

Menurut etiologinya, pada blepharoptosis kongenital (myogenic etiology) dilakukan pembedahan (memperpendek) otot levator yang lemah

serta aponeurosisnya atau menggantungkan kelopak mata pada otot frontal. Tindakan pembedahan dilakukan apabila blepharoptosis telah terjadi sangat parah hingga telah mengganggu penglihatan.

Sedangkan menurut derajat patologisnya, prosedur operasi untuk koreksi blepharoptosis dibagi menjadi 3 kategori yaitu: (Virgana, 2008)

1. pada blepharoptosis berat (> 4 mm) dengan fungsi levator yang buruk (< 4 mm), dilakukan frontalis muscle suspension. Selain itu, pada blepharoptosis berat, juga dapat dilakukan koreksi menggunakan

metode fox (teknik penyambungan menggunakan tendon palmaris longus). Metode ini terbukti efektif dan memberikan hasil jangka panjang yang bagus.(Shin, 2008)

2. pada blepharoptosis sedang atau ptosis dengan fungsi levator minimal 5 mm, dilakukan internal (transkonjungtiva) reseksi otot levator/tarsus/ Muller's. Banyaknya reseksi tergantung dari fungsi levator dan tingkat beratnya blepharoptosis.

3. pada blepharoptosis ringan atau blepharoptosis aponeurotik dengan fungsi levator baik , dilakukan eksternal (transcutaneus) levator advancement atau bisa juga dilakukan prosedur Fasenella-Servat.

Gambar

Gambar 2.1 Anatomi superfisial  mata dan kelopak  mata
Gambar 2.3 Anatomi otot     levator palpebre superioris dan aponeurosisnya. A, Sisi anterior berhubungan dengan aponeurosis levator (D) terhadap tarsus superior (*) dan terhadap Ligamen Whitnall (B)
Gambar 2.4 Pasien dengan  Lid crease) tidak terlihat pada mata kiri pasien.  Defek pada sulkus superior terlihat pada kedua mata pasien, dan pasien berusaha   blepharoptosis kiri

Referensi

Dokumen terkait

The International Archives of the Photogrammetry, Remote Sensing and Spatial Information Sciences, Volume XLII-4/W2, 2017 FOSS4G-Europe 2017 – Academic Track, 18–22 July 2017, Marne

Menghayati dan Mengamalkan perilaku jujur, disiplin, tanggung jawab, peduli (gotong royong, kerjasama, toleran, damai), santun, responsif dan proaktif

The International Archives of the Photogrammetry, Remote Sensing and Spatial Information Sciences, Volume XLII-3/W1, 2017 2017 International Symposium on Planetary Remote Sensing

Isi pesan yang disampaikan pantun pada bacaan 2 adalah .... Belajar bersama saat akan

Flight testing a Real-Time Hazard Detection System for Safe Lunar Landing on the Rocket-Powered Morpheus Vehicle, AIAA Guidance, Navigation, and Control

[r]

Diunduh dari situs lpse.jatengprov.go.id dengan ini kami mengundang perusahaan Saudara untuk diadakan klarifikasi dan verifikasi Dokumen Penawaran serta Pembuktian

Diunduh dari situs lpse.jatengprov.go.id dengan ini kami mengundang perusahaan Saudara untuk diadakan klarifikasi dan verifikasi Dokumen Penawaran serta Pembuktian