• Tidak ada hasil yang ditemukan

Revitalisasi Gedung Bioskop Ria Kota Pematangsiantar Sebagai Upaya Peningkatan Potensi Wisata Sejarah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Revitalisasi Gedung Bioskop Ria Kota Pematangsiantar Sebagai Upaya Peningkatan Potensi Wisata Sejarah"

Copied!
34
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Revitalisasi

2.1.1 Pengertian Revitalisasi

Revitalisasi adalah upaya untuk meningkatkan nilai ekonomi lahan melalui pembangunan kembali suatu bangunan untuk meningkatkan fungsi bangunan sebelumnya (Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor: 18/Prt/M/2010).

Revitalisasi bertujuan untuk mengembalikan vitalitas ataupun daya hidup sebuah bangunan atau kawasan pada suatu kota. Umumnya revitalisasi dapat dikaitkan dengan proses peremajaan bangunan, dimana intervensi yang dilakukan dapat mencakup aspek fisik dan non fisik (ekonomi, sosial budaya, dll.). Selama dua dekade terakhir praktek peremajaan dan revitalisasi bangunan telah terjadi beberapa perubahan dan perkembangan konseptual dalam kebijakan penataan lingkungan binaan (Martokusumo, 2008).

(2)

Rehabilitasi (Rehabilitation) :

Upaya meningkatkan fungsi bangunan melalui peningkatan kualitas lingkungan, dengan mepertimbangkan aspek sosial budaya dan karakteristik kawasan

Redevelopment:

Proses peremajaan yang ditandai dengan adanya perubahan total terhadap struktur fisik dan morfologi bangunan fungsional kota (pembangunan kembali) untuk peningkatan fungsi bangunan.

Gambar 2.1 Skema Hubungan Peremajaan, Rehabilitasi, Redevelopment dengan Revitalisasi

Sumber : Martokusumo, Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota, 2008

Sementara itu, Budiono (2006) mengaitkan revitalisasi sebagai rangkaian upaya untuk menata kembali suatu kondisi kawasan maupun bangunan yang memiliki potensi dan nilai strategis dengan mengembalikan vitalitas suatu kawasan yang mengalami penurunan, agar kawasan-kawasan tersebut mendapatkan nilai tambah yang optimal terhadap produktivitas ekonomi, sosial dan budaya kawasan perkotaan.

Vitalitas kawasan adalah kualitas suatu kawasan yang dapat mendukung kelangsungan hidup warganya dan mendukung produktivitas sosial, budaya, dan ekonomi dengan tetap mempertahankan kualitas lingkungan fisik, dan/atau mencegah kerusakan warisan budaya (Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor: 18/Prt/M/2010).

Peremajaan (Renewal):

(3)

Penetapan kriteria dan rencana revitalisasi kawasan dapat dilakukan dengan menelaah penyebab penurunan kinerja kawasan. Dimensi penurunan kinerja sebuah kawasan kota dapat mencakup hal-hal sebagai berikut (Martokusumo, 2008):

a. Kondisi lingkungan yang buruk, artinya ditinjau dari segi infrastruktur fisik dan sosial tidak layak lagi untuk dihuni. Kondisi buruk tersebut mempercepat proses degradasi lingkungan yang dipastikan justru kontra produktif terhadap proses kehidupan sosial budaya yang sehat.

b. Tingkat kepadatan bangunan dan manusia melampaui batas daya dukung lahan dan kemampuan infrastruktur (sarana dan prasarana) yang ada.

c. Efektifitas pemanfaatan lahan sangat rendah, akibat terjadinya penurunan aktifitas/ kegiatan atau dengan kata lain under utilised. Hal ini dapat pula diakibatkan oleh alokasi fungsi yang tidak tepat, termasuk lahan-lahan yang tidak memiliki fungsi yang jelas.

d. Lahan memiliki potensi untuk dikembangkan lebih lanjut, karena misalnya letak yang sangat strategis bagi pengembangan tata kota, dan tingkat percepatan pembangunan yang tinggi.

e. Batasan luas lahan yang cukup, harga memadai dan proses pembebasan lahan memungkinkan.

(4)

(cultural landscape), unsur alami yang menarik, sumber tenaga kerja, infrastruktur dasar yang relatif memadai.

2.1.2 Manfaat Revitalisasi

Konservasi sebagai suatu proses memelihara pla ce untuk mempertahankan nilai-nilai estetik, sejarah, ilmu pengetahuan dan sosial yang berguna bagi generasi lampau, sekarang dan masa yang akan datang, termasuk di dalamnya

maintenance sangat tergantung kepada keadaan termasuk juga preservation,

restoration, reconstruction, adaptation (revitalisation) dan kombinasinya.

Maintenance bertujuan memberi perlindungan dan pemeliharaan yang terus

menerus terhadap semua material fisik dari place, untuk mempertahankan kondisi bangunan yang diinginkan. Jenis pekerjaan pemeliharaan rutin juga bisa berupa perbaikan. Perbaikan mencakup restoration dan reconstruction, dan harus diperlakukan semestinya. Kerusakan-kerusakan yang harus diperbaiki bisa diakibatkan oleh proses alami, seperti kerapuhan, lapuk, kusam atau proses pemakaian, seperti goresan, pecah dsb (Busono, 2009).

Revitalisasi, sebagai bagian dari pelestarian atau konservasi memiliki beberapa manfaat bagi masyarakat di sebuah ruang kota, diantaranya adalah : a. Identitas dan Sense of Place

(5)

b. Nilai Sejarah

Dalam proses perjalanan sebuah bangsa, terdapat peristiwa-peristiwa yang penting untuk dikenang, dihormati dan dipahami oleh masyarakat. Memelihara bangunan dan lingkungan yang bernilai historis menunjukkan penghormatan kita kepada masa lalu, yang merupakan bagian dari eksistensi masa lalu.

c. Nilai Arsitektur

Salah satu alasan memelihara lingkungan dan bangunan bersejarah adalah karena nilai intristiknya sebagai karya seni, dapat berupa hasil pencapaian yang tinggi, contohnya seperti laggam atau seni tertentu yang menjadi landmark sebuah tempat.

d. Manfaat Ekonomi

Bangunan yang telah ada seringkali memiliki keunggulan ekonomis tertentu. Bukti empiris menunjukkan bahwa pemanfaatan bangunan yang sudah ada seringkali lebih murah daripada membuat bangunan baru. Di negara maju, proyek konservasi telah berhasil menjadi pemicu revitalisasi lingkungan kota yang sudah menurun kualitasnya, melalui urban renewal dan adaptive-reuse. e. Pariwisata dan Rekreasi

Kekhasan atau nilai sejarah suatu tempat telah terbukti mampu menjadi daya tarik yang mendatangkan wisatawan ke tempat tersebut.

f. Sumber Inspirasi

(6)

g. Edukasi

Lingkungan, bangunan dan artefak bersejarah melengkapi dokumen tertulis tentang masa lampau. Melalui ruang dan benda tiga dimensi sebagai laboratorium, orang dapat belajar dan memahami kehidupan dalam kurun waktu yang menyangkut peristiwa, masyarakat atau individu tertentu, serta lebih menghormati lingkungan alam.

Manfaat revitalisasi lainnya menurut Direktorat Jenderal Penataan Ruang Kementrian Pekerjaan Umum (2013) adalah sebagai berikut :

a. Peningkatan kualitas ruang kota/ kawasan b. Menguatnya identitas kota/ kawasan c. Terselamatkannya aset pusaka kota

d. Meningkatnya vitalitas/ produktivitas ekonomi perkotaan

2.2 Bioskop

2.2.1 Pengertian Bioskop

Bioskop adalah pertunjukan yang diperlihatkan dengan gambar (film), yang disorot sehingga dapat bergerak (berbicara); gedung pertunjukan film cerita (Kamus Besar Bahasa Indonesia 2001). Secara populer ”Bioskop” dikenal sebagai

gedung atau tempat pertunjukan film untuk umum dengan dipungut biaya ataupun bayaran.

Bioskop berasal dari bahasa yunani, gabungan suku kata bios = hidup dan

skoein = melihat atau mengamati. Sejak awal kehadirannya di Indonesia

(7)

tempat bercengkrama (rendevous) bagi pembuat (sinears) dengan penggemar/ pecinta seni film dan alur seni (Tjasmadi, 1992).

2.2.2 Sejarah Bioskop

Gedung Bioskop pertama di dunia dibuka pada tanggal 16 Juni 1889. Bangunan permanen yang dirancang khusus untuk memutar film itu berada di Perancis, tepatnya di Kota Pelabuhan La Ciotat dan diberi nama L‟ Eden Theatre

(www.konstelasi.com). Meskipun pemutaran film bioskop pertama di dunia terjadi pada tahun 1846, namun pemutaran film tersebut diadakan di sebuah gedung pertunjukan musik Koster & Bials Music Hall (http://cyberman.cbn.net.id).

Gambar 2.2 Gedung Bioskop pertama di dunia Sumber : www.konstelasi.com

(8)

sehingga mayoritas penontonnya adalah orang-orang Belanda. Gedung bioskop pertama mulai didirikan pada tahun 1903 di beberapa tempat di Batavia. Dengan munculnya gedung bioskop, sedikit demi sedikit seni pertunjukan tradisional keliling juga mulai ditinggalkan, puncaknya terjadi pada tahun 1930-an (www.karbonjournal.org).

Gambar 2.3 Salah satu gedung bioskop pertama di Indonesia, terdapat di Batavia Sumber : KITLV Collection

(9)

akhirnya banyak gedung bioskop beralih fungsi atau lenyap sama sekali (www.filmindonesia.or.id).

2.2.3 Bioskop Ria Kota Pematangsiantar

Bioskop di Kota Pematangsiantar mulai berkembang di tahun 1970-an. Salah satunya adalah Bioskop Ria. Bioskop Ria Kota Pematangsiantar berdiri sekitar tahun 1955 dengan Arsitektur Kolonial Belanda. Data sejarah mengenai gedung bioskop ini sangat terbatas, sehingga sulit untuk menemukan fakta mendalam mengenai gedung bioskop ini.

Data sejarah yang ada mengenai perkembangan perfilman di bioskop-bioskop di Kota Pematangsiantar menyebutkan bahwa pada masa dahulu, bioskop-bioskop diminati masyarakat. Masa kejayaan bioskop di Kota Pematangsiantar terjadi pada era 1970-1980-an. Sebelum menyandang nama Bioskop Ria, bioskop ini memiliki nama Bioskop Rio dan hanya menayangkan layar tancap hingga tahun 1970-an.

Gambar 2.4 Gedung Bioskop Rio (Sekarang „Ria‟) pada tahun 1955-1965 Sumber : KITLV Collection

(10)

gedung bioskop. Banyak orang beralih minat dari bioskop ke video VHS, dilanjutkan oleh Video Compact Disc (VCD) bajakan yang murah dan produk lanjutannya yang dapat ditonton sendiri di rumah. Akhirnya bioskop ini ditutup pada tahun 2003 dan diserahkan menjadi aset Provinsi Sumatera Utara. Setelah sekian dekade tidak berfungsi, gedung bioskop ini disewakan oleh Pemerintah Provinsi Sumatera Utara kepada pihak swasta selama 30 tahun dan akan dibangun sebuah pusat perbelanjaan di Kota Pematangsiantar (www.hetanews.com).

Gambar 2.5 Gedung Bioskop Ria Pada Masa Sekarang Sumber : Dokumentasi Pribadi, 2015

2.3 Pariwisata

2.3.1 Pengertian Pariwisata

Pariwisata adalah fenomena pergerakan manusia, barang dan jasa yang sangat kompleks. Ia terkait erat dengan organisasi, hubungan-hubungan kelembagaan dan individu, kebutuhan, layanan, penyediaan kebutuhan layanan dan sebagainya (Damanik dan Weber, 2006).

(11)

Pariwisata adalah industri yang paling besar di dunia saat ini bila dilihat dari jumlah orang yang terlibat maupun uang yang beredar di dalamnya. Bersama-sama dengan sektor pertanian dan industri manufaktur, pariwisata adalah ujung tombak perekonomian dunia. Industri pariwisata terbentuk dari 7 unsur, yaitu : a. Informasi Wisata

g. Unsur Penunjang (seperti pendidikan pariwisata maupun pemasaran) Infrastuktur, sumber daya alam dan budaya merupakan syarat penting keberhasilan pariwisata. Demikian halnya dengan keinginan baik (public

goodwill) dan keramahtamahan penduduk daerah tujuan wisata. Kedua hal diatas

merupakan faktor-faktor yang mendukung pelaksanaan pariwisata pusaka

(heritage tourism).

Menurut Undang-undang No. 10 Tahun 2009 Tentang Kepariwisataan, yang dimaksud dengan pariwisata adalah berbagai macam kegiatan wisata dan didukung berbagai fasilitas serta layanan yang disediakan oleh masyarakat, pengusaha, Pemerintah dan Pemerintah Daerah.

(12)

pariwisata jenis pertama lebih ditekankan pada aspek kesenangan (leisure) maka pada tipe kedua penekanannya adalah pada aspek pengalaman dan pengetahuan (Cahyadi, Gunawijaya, 2009).

Menurut Damanik dan Weber, ada beberapa peran mutlak yang menjadi tanggungjawab pemerintah terhadap pariwisata, yaitu :

a. Penegasan dan konsistensi tentang tata guna lahan untuk pengembangan kawasan wisata, termasuk kepastian hak kepemilikan, sistem persewaan dan sebagainya.

b. Perlindungan lingkungan alam dan cagar budaya untuk mempertanyakan daya tarik objek wisata, termasuk aturan pemanfaatan sumber daya lingkungan tersebut.

c. Penyediaan infrastuktur (jalan, pelabuhan, bandara dan angkatan pariwisata). d. Fasilitas fiskal, pajak, kredit dan ijin usaha yang tidak rumit agar masyarakat

lebih terdorong untuk melakukan wisata dan usaha-usaha kepariwisataan semakin cepat berkembang.

e. Keamanan dan kenyamanan berwisata melalui penugasan polisi khusus pariwisata di kawasan wisata dan uji kelayakan fasilitas wisata (kendaraan, jalan dan lain-lain).

f. Jaminan kesehatan di daerah tujuan wisata melalui sertifikasi kualitas lingkungan dan mutu barang yang digunakan wisatawan.

(13)

h. Pendampingan dalam promosi wisata, yakni perluasan dan intensifikasi jejaring kegiatan promosi di dalam dan luar negeri.

i. Regulasi persaingan usaha yang memungkinkan kesempatan yang sama bagi semua orang untuk berusaha di sektor pariwisata, melindungi UKM wisata, mencegah perang tarif dan sebagainya.

j. Pengembangan sumber daya manusia dengan menerapkan sistem sertifikasi kompetensi tenaga kerja pariwisata dan akreditasi lembaga pendidikan pariwisata.

2.3.2 Jenis-jenis Pariwisata

Menurut Pendit (1994), pariwisata dapat dibedakan menurut motif wisatawan untuk mengunjungi suatu tempat. Jenis-jenis pariwisata tersebut adalah sebagai berikut :

a. Wisata Budaya atau Sejarah b. Wisata Maritim atau Bahari

c. Wisata Cagar Alam (Taman Konservasi) d. Wisata Konvensi

e. Wisata Pertanian (Agrowisata) f. Wisata Buru

g. Wisata Ziarah

(14)

pariwisata. Semakin kreatif dan banyak gagasan-gagasan yang dimiliki oleh mereka yang mendedikasikan hidup mereka bagi perkembangan dunia kepariwisataan, semakin bertambah pula bentuk dan jenis wisata yang dapat diciptakan bagi kemajuan industri ini.

Swarbrooke dan Horner (1999) membagi jenis-jenis wisata dalam beberapa bagian, yaitu:

a. Visiting Friends And Relatives (VFR)

Pada dasarnya, VFR adalah keinginan untuk bertemu dan berkumpul bersama keluarga, teman, dan/ relasi yang berada/ tinggal di tempat yang berlainan sehingga wisatawan mendapatkan nuansa/ pemandangan baru.

b. Wisata Bisnis (Business Tourism)

Wisata bisnis adalah wisata yang ada hubungannya dengan kegiatan bisnis. Seperti seminar, konferensi, kunjungan ke perusahaan, kunjungan ke potential

customer, launching product, dan sebagainya.

c. Wisata Pilgrim (Religious Tourism)

Wisata Pilgrim adalah jenis wisata yang berhubungan dengan agama, sejarah, adat istiadat, dan kepercayaan yang di anut oleh wisatawan. Tujuan wisatawan melakukan perjalanan wisata ini dengan niat untuk mendapatkan ketenangan dan kekuatan batin, keteguhan iman, memperoleh restu, dan banyak juga yang bertujuan untuk mencari kekayaan dan berkah.

d. Wisata Kesehatan (Health Tourism)

(15)

jasmani, dan kebugaran tubuh. Jenis kunjungan ini disebut wisata karena wisatawan mendapatkan berbagai bentuk hiburan di sela-sela kegiatannya. e. Wisata Sosial (Social Tourism)

Sebuah kegiatan yang banyak melibatkan orang-orang untuk tujuan sosial. Jenis liburan yang disubsidi dalam beberapa cara, baik oleh instansi pemerintah atau sektor sukarela seperti organisasi non-profit atau serikat pekerja.

f. Wisata Pendidikan (Educational Tourism)

Wisata Pendidikan dapat didefinisikan sebagai suatu penjalanan wisata dengan tujuan untuk memperoleh pendidikan dan memperluas wawasan wisatawan mengenai suatu fenomena. Seperti pertukaran pelajar, dimana seorang pelajar melakukan perjalanan keluar negeri untuk mempelajari lebih banyak tentang budaya dan bahasa dari masyarakat di negara tersebut.

g. Wisata Budaya (Cultural Tourism)

Wisata budaya adalah perjalanan wisata yang dilakukan untuk memperluas pengetahuan tentang seni, adat istiadat, cara hidup, kebiasaan, dan budaya dari tempat yang dikunjungi.

h. Wisata Alam (Scenic Tourism)

Kegiatan wisata untuk melihat pemandangan alam yang spektakuler dapat di sebut sebagai wisata alam. seperti mengunjungi lokasi Air terjun, hiking, melihat matahari terbit dari puncak gunung, dan sebagainya.

i. Wisata Hedonistik (Hedonistic Tourism)

(16)

dan sex. Semua kegiatan wisata yang di lakukan akan berhubungan dengan empat „S‟ tersebut.

j. Wisata Aktivitas (Activity Tourism)

Wisata aktivitas adalah sebuah kegiatan wisata yang didasarkan pada keinginan akan sebuah pengalaman dan pandangan baru mengenai suatu objek wisata. k. Wisata Minat Khusus (Special Interest Tourism)

Wisata minat khusus adalah jenis kegiatan wisata untuk menikmati minat tertentu di lokasi yang baru atau lokasi yang familiar, atau mengembangkan minat baru di lokasi yang baru atau lokasi yang familiar (Swarbrooke and Horner, 1999)

Menurut Soetomo (1994), yang didasarkan pada ketentuan WATA (World Association of Travel Agent), wisata adalah perjalanan keliling selama lebih dari tiga hari yang dilaksanakan oleh wisatawan. Pengertian wisata lebih menekankan pada kegiatan yang dilakukan oleh wisatawan dalam suatu perjalanan pariwisata.

2.4 Wisata Sejarah

2.4.1 Pengertian Wisata Sejarah

Pariwisata berbasis sejarah merupakan komponen di bidang pengembangan kepariwisataan yang saat ini makin gencar dilakukan karena pertimbangan bahwa setiap daerah memiliki sejarah yang berbeda dan unik yang tidak dimiliki daerah lain (Mackellar, 2006).

(17)

dan di sisi lain memberikan manfaat bagi penumbuh-kembangan industri kreatif yang berpengaruh bagi peningkatan pendapatan per kapita di daerah (Saleh, 2004).

Riset tentang wisata berbasis sejarah banyak dilakukan dengan berbagai model pendekatan, misalnya dari aspek arsitektur, arkeologi, historis, keterlibatan atau partisipasi publik, cost budgeting, konservasi, sosio-ekonomi-budaya dan juga eksibisi yang dipromosikan (Shipley dan Kovacs, 2008).

Wisata sejarah (historic tourism) adalah salah satu bentuk wisata budaya. Wisata budaya sendiri didefinisikan sebagai perjalanan yang dilakukan atas dasar keinginan untuk memperluas pandangan hidup seseorang dengan mengadakan kunjungan, mempelajari keadaan rakyat, kebiasaan dan adat istiadat, cara hidup, budaya dan seni suatu daerah (Budiyono et al., 2012).

(18)

Dua tempat favorit wisatawan adalah Changtai Tower dan Nereus Temple. Changtai Tower merupakan bangunan dua lantai dengan pondasi kayu dan bata, berfungsi sebagai menara pemantau. Sementara itu, Nereus Temple merupakan sebuah kuil bersejarah dari masa Dinasti Qing, dulunya menjadi tempat berdoa para kaisar kepada leluhur sebelum melanjutkan perjalanan ke sebelah Timur Laut Cina (www.ilmusiana.com).

Gambar 2.6 Changtai Tower, salah satu tempat favorit wisatawan Sumber : www.google.co.id

Wisatawan yang berkunjung ke Tembok Besar Cina selalu ramai dan mengalami peningkatan setiap tahunnya. Tercatat pada tahun 2001 sebanyak 2,5 juta wisatawan datang ke tempat ini dalam setahun dan pada tahun 2011 meningkat menjadi 70.000 pengunjung dalam sehari (www.chinahighlights.com).

(19)

di Provinsi DKI Jakarta dengan luas kawasan 1,3 kilometer persegi. Kawasan Kota Tua Jakarta memiliki banyak gedung-gedung bersejarah peninggalan jaman Kolonial Belanda. Bangunan-bangunan tersebut berupa lima buah museum (Museum Bank Mandiri, Museum Bank Indonesia, Museum Fatahillah, Museum Seni Rupa dan Keramik Indonesia serta Museum Wayang), Gedung Pos Indonesia, Gedung Kerta Niaga, Cafe Batavia, dan Rumah Merah. Terdapat juga area terbuka yang pada akhir pekan dijadikan tempat kegiatan seni dan budaya Indonesia. Dalam kawasan ini, pengunjung dapat berbelanja barang-barang yang dijual pedagang kaki lima ataupun berkeliling dengan menyewa sepeda onthel (www.indotravellers.com).

Gambar 2.7 Kawasan Kota Tua Jakarta Sumber : www.google.co.id

(20)

Provinsi Sumatera Utara juga memiliki destinasi wisata berbasis sejarah. Salah satunya adalah Istana Maimun yang terdapat di Kota Medan. Istana Maimun merupakan peninggalan Kerajaan Deli yang saat itu disebut juga Istana Putri Hijau. Istana Maimun dibangun pada tanggal 28 Agustus 1888 oleh Sultan Mahmud Al Rasyid dan selesai pada tanggal 18 Mei 1891. Bangunan istana terdiri dari dua lantai dengan tiga bagian, yaitu bangunan induk, bangunan sayap kanan dan bangunan sayap kiri. Istana didesain dengan gaya tradisional Melayu dan pola India Islam (Moghul) yang terlihat dari bentuk lengkungan atap.

Gambar 2.8 Istana Maimun, Medan Sumber : www.google.co.id

(21)

2.4.2 Tempat-tempat Wisata di Kota Pematangsiantar

Pematangsiantar, merupakan salah satu kota yang terdapat di Provinsi Sumatera Utara memiliki karakteristik Kota Kolonial yang masih terlihat. Gedung-gedung atau benda-benda bersejarah masih dapat terlihat di kota ini. Namun, belum satupun benda bersejarah di kota ini terdaftar sebagai benda cagar budaya. Beberapa tempat wisata termasuk wisata sejarah di Kota Pematangsiantar dapat dilihat pada tabel 2.1 berikut:

Tabel 2.1 Daftar Beberapa Tempat Wisata di Kota Pematangsiantar

Jenis Wisata Objek

Lapangan Merdeka (Taman Bunga) 0,30 km Kolam Renang Detis Sari Indah 1 km Kolam Renang Siantar Hotel 0,80 km

Gedung Olahraga 1,70 km Bangunan Bersejarah

Wisata Alam

Permandian Karang Anyar 5 km

Permandian Sampuran 3 km

Taman Rekreasi Rindam 3 km

Permandian Timuran 6 km

Air Terjun Serbelawan 8 km

Kolam Renang Tirta Yudha (Bah Sorma)

4,10 km

(22)

Jenis Wisata Objek

Jarak Lokasi dari Pusat Kota (km)

Keterangan

Sejarah GKPS Sudirman 0,15 km Bangunan Bersejarah

HKBP Martoba 1,5 km Bangunan Bersejarah

Siantar Hotel 0,5 km Bangunan Bersejarah

Monumen Perjuangan Rakyat 0,40 km Situs Bersejarah Lapangan H. Adam Malik 0,23 km Kawasan Bersejarah Mesjid Raya Siantar 0,80 km Bangunan Bersejarah

Wisata Religi

Vihara Avalokitesvara 2,54 km

Gereja Katolik St. Laurensius 1,50 km Bangunan Bersejarah Wisata Ziarah Makam Raja Siantar 1,16 km Kawasan Bersejarah

Wisata Sosial Siantar Waterpark 6 km

Wisata Kuliner

Toko Roti Ganda 1 km

Kuliner Siantar City Square 1,64 km

Miramar Restaurant 1 km

Rumah Makan Asmara Murni 1 km

Rumah Makan Garuda 2,83 km

Bakso Kota Cak Man 2 km

Rumah Makan Beringin Indah 4 km

Crystal Palace 2 km

Siantar Restaurant 0,8 km

Kedai Kopi Sedap 1 km

Mega Land City 3 km

Kedai Kopi Kok Tong 1,14 km Bangunan Bersejarah Kawasan Simpang Empat 0,60 km

Wisata Belanja

Pasar Horas 1 km Bangunan Bersejarah

(23)

Jenis Wisata Objek

2.5 Revitalisasi Untuk Pengembangan Wisata Sejarah

Secara ringkas, revitalisasi bangunan cagar budaya seyogianya mengandung tiga unsur perlakuan, yaitu :

a. Konservasi, yaitu pemeliharaan serta perbaikan bagian-bagian yang rusak (pemugaran)

b. Pemberian nilai ekonomi, yaitu penambahan fungsi atau perubahan fungsi sesuai dengan kebutuhan manusia masa kini, sehingga alih-alih menjadi cost

center bangunan cagar budaya hendaknya menjadi profit center.

c. Pemilihan jenis penggunaan yang dapat memberikan manfaat bagi masyarakat luas, dengan demikian bangunan cagar budaya tidak menjadi sarana atau wadah kegiatan yang eksklusif (Priatmojo, 2009).

Pendekatan ekonomi sebagai hasil kebijakan memang sangat penting, tetapi aspek lain juga perlu mendapat perhatian, sebab keberhasilan dari pengembangan sektor kepariwisataan pasca revitalisasi tidak hanya dipengaruhi oleh objek wisata, tetapi juga dipengaruhi oleh banyak faktor (Adi et al, 2012).

(24)

lokal, di samping perencanaan yang matang dan bersinergi dengan berbagai kepentingan (Susanto, 2014).

Hubungan antara revitalisasi untuk pengembangan wisata sejarah yang berdampak pada meningkatnya perekonomian secara singkat dapat dilihat pada gambar 2.9 berikut ini:

Gambar 2.9 Skema hubungan Revitalisasi untuk Pengembangan Wisata Sejarah dengan peningkatan perekonomian pada suatu kawasan/ kota

2.6 Studi Kasus Proyek Sejenis

2.6.1 Revitalisasi Goedang Ransoem, Sawahlunto, Sumatera Barat

Museum Gedung Ransum didirikan pada tahun 1918. Dulunya museum ini dibangun untuk dijadikan dapur umum, tempat memasak untuk memenuhi kebutuhan makanan bagi para buruh tambang. Pada saat dapur umum ini dibangun, Pemerintah Kolonial sudah memanfaatkan kemajuan teknologi untuk memasak, yaitu dengan menggunakan teknologi uap panas. Sejak tahun 1945, Dapur Umum tidak lagi efektif sebagai penyedia kebutuhan makanan bagi

(25)

Indonesia (TKRI). Pada tahun 1948, dapur umum kembali beralih fungsi menjadi tempat memasak makanan bagi tentara Belanda. Aktifitas memasak di dapur umum berhenti sejak tahun 1950. Pada tahun 1950-1960, Dapur Umum dimanfaatkan sebagai tempat penyelenggaraan Administrasi PT. BO, kemudian beralih bangunan ini berubah fungsi menjadi tempat pendidikan formal setingkat SMP pada tahun 1970-2005. Hingga sekarang, bangunan ini difungsikan menjadi tempat hunian bagi karyawan tambang (www.wisatakandi.com).

Gambar 2.10 Kondisi Goedang Ransoem sebelum revitalisasi Sumber : Pedoman Revitalisasi Kawasan, 2011

(26)

Gambar 2.11 Kondisi Goedang Ransoem setelah revitalisasi Sumber : Pedoman Revitalisasi Kawasan, 2011

2.6.2 Revitalisasi Gedung Arsip Nasional, Jakarta

Bangunan ini yang awalnya adalah rumah tinggal seorang petinggi VOC bernama Reinier de Klerk yang merupakan Gubernur-Jendral Hindia-Belanda XXXI. Rancangan dasar kompleks bangunan ini dibuat sendiri oleh de Klerk. Bangunan utamanya mengikuti model closed Dutch style atau Indische

Woonhuizen dengan ciri tanpa beranda, baik di bagian depan maupun di

(27)

Gambar 2.12 Gedung Arsip Nasional sebelum Konservasi Sumber : www.google.co.id

Sepeninggal de Klerk bangunan ini telah berganti-ganti kepemilikannya. Sampai akhirnya pada tahun 1925, setelah dipakai untuk kantor dinas pertambangan, pemerintah memutuskan untuk menjadikannya Landsarchief atau Arsip Negara. Berbagai perbaikan dilakukan, taman-taman di bagian depan dan belakang rumah induk dikembalikan seperti semula. Paviliun diperbaiki untuk menyesuaikan dengan fungsi barunya. Setelah pengakuan kedaulatan RI oleh pemerintah Belanda pada 1949, Arsip Negara diubah menjadi Kantor Arsip Negara yang berada di bawah Departemen PP&K. Pada 1961 diubah lagi menjadi Gedung Arsip Nasional hingga sekarang.

(28)

1993 dibentuklah Stichting Commite Cadeau Indonesie (SCCI) atau Yayasan Komite Hadiah Indonesia di Belanda, yang bertugas menghimpun dana.

Gambar 2.13 Suasana Gedung Arsip Nasional setelah Revitalisasi, dapat dijadikan tempat resepsi pernikahan

Sumber : www.google.co.id

(29)

wisata sejarah di Jakarta, bahkan ada yang pernah juga menggunakan sebagai tempat resepsi pernikahan.

2.6.3 Revitalisasi Gedung Merdeka, Bandung

Museum Konferensi Asia Afrika (KAA) merupakan museum khusus untuk mengabadikan Konferensi Asia Afrika (KAA) yang berlangsung pada tahun 1955 di Gedung Merdeka. KAA berperan besar bagi perjuangan kemerdekaan negara-negara Asia dan Afrika yang pada waktu itu berada dalam kolonialisasi bangsa Eropa. Museum KAA telah terdaftar dalam Peraturan Daerah No. 19 Tahun 2009 sebagai salah satu Bangunan Cagar Budaya di Kota Bandung. Museum KAA terletak di Jalan Asia Afrika No. 65 Bandung. Bangunan yang sekarang berfungsi sebagai Museum KAA dibangun pada tahun 1895. Pada tahun tersebut tempat ini hanya berupa bangunan sederhana, yang sebagian dindingnya terbuat dari papan dan penerangan halamannya memakai lentera minyak tanah. Bangunan ini berada di sudut jalan Groote Postweg (sekarang Jalan Asia Afrika) dan Bragweg (sekarang Jalan Braga). Sisi sebelah kanannya berdekatan dengan kali

Tjikapoendoeng (Cikapundung) yang sejuk karena banyak ditumbuhi pohon

(30)

Gambar 2.14 Gedung Concordia tahun 1895 Sumber : http://asianafrican-museum.org/

Pada tahun 1921, dilakukan pembenahan pada gedung tersebut agar lebih menarik, yaitu dengan cara merenovasi bagian sayap kiri bangunan oleh perancang C. P. Wolf Schoemaker dengan gaya arsitektur Art Deco. Gedung ini berubah wajah menjadi gedung pertemuan super club yang paling mewah, lengkap, eksklusif dan modern di Nusantara (http://asianafrican-museum.org/).

Gambar 2.15 Gedung Concordia tahun 1921 Sumber : http://asianafrican-museum.org/

(31)

tampak depan bangunan terdiri dari garis dan elemen horizontal, sedangkan bagian gedung bercorak kubisme (http://asianafrican-museum.org/).

Gambar 2.16 Gedung Concordia tahun 1949 Sumber : http://asianafrican-museum.org/

Pada masa pendudukan Jepang, bangunan utama gedung ini berganti nama menjadi Dai Toa Kaikan yang digunakan sebagai pusat kebudayaan. Sedangkan bangunan sayap kiri gedung diberi nama Yamato yang berfungsi sebagai tempat minum-minum, yang kemudian terbakar (1944).

Setelah Proklamasi Kemerdekan Indonesia (17 Agustus 1945), gedung ini dijadikan markas pemuda Indonesia menghadapi tentara Jepang dan selanjutnya menjadi tempat kegiatan Pemerintah Kota Bandung. Pada masa pemerintahan presiden pertama (1946 – 1950), fungsi gedung dikembalikan menjadi tempat rekreasi.

(32)

gedung ini dijadikan tempat kegiatan Badan Perancang Nasional (Bapenas), kemudian diubah menjadi Gedung Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) dari tahun 1960-1971. Pada 1965, di gedung tersebut berlangsung Konferensi Islam Afrika Asia (http://asianafrican-museum.org/).

Gambar 2.17 Gedung Concordia menjadi Gedung Medeka tahun 1955 Sumber : http://asianafrican-museum.org/

(33)

Tahun 1968, MPRS mengubah surat keputusannya dengan ketentuan bahwa yang diserahkan adalah bangunan induk gedung, sedangkan bangunan-bangunan lainnya yang terletak di bagian belakang masih tetap menjadi tanggung jawab MPRS. Tahun 1969, pengelolaan gedung diambil alih kembali oleh Pemerintah Daerah Tingkat I Jawa Barat dari Pemerintah Daerah Tingkat II Kotamadya Bandung (http://asianafrican-museum.org/).

Gambar 2.18 Lokasi Museum Asia Afrika setelah Revitalisasi Gedung Merdeka Sumber : Fitriyani, 2014

(34)

Gambar 2.19 Layout dan Storyline Museum Konferensi Asia-Afrika Sumber : Fitriyani, 2014

Gambar

Gambar 2.1 Skema Hubungan Peremajaan, Rehabilitasi, Redevelopment dengan Revitalisasi
Gambar 2.2 Gedung Bioskop pertama di dunia Sumber : www.konstelasi.com
Gambar 2.3 Salah satu gedung bioskop pertama di Indonesia, terdapat di Batavia Sumber : KITLV Collection
Gambar 2.4 Gedung Bioskop Rio (Sekarang „Ria‟) pada tahun 1955-1965 Sumber : KITLV Collection
+7

Referensi

Dokumen terkait