• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Konsumsi Keju Cheddar Olahan Terhadap Kenaikan PH Saliva Pada Anak Usia Sekolah Dasar

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Pengaruh Konsumsi Keju Cheddar Olahan Terhadap Kenaikan PH Saliva Pada Anak Usia Sekolah Dasar"

Copied!
49
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH KONSUMSI KEJU CHEDDAR OLAHAN TERHADAP KENAIKAN PH SALIVA PADA ANAK USIA SEKOLAH DASAR

SKRIPSI

UNTUK MEMENUHI PERSYARATAN

MEMPEROLEH GELAR SARJANA KEDOKTERAN

TRISANDI ADI PAMUNGKAS G0014230

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA 2019

(2)
(3)
(4)

iv ABSTRAK

Trisandi Adi Pamungkas, G0014230, 2019. Pengaruh Konsumsi Keju Cheddar Olahan Terhadap Kenaikan pH Saliva Pada Anak Usia Sekolah Dasar, Skripsi, Fakultas kedokteran, Universitas Sebelas maret, Surakarta.

Latar Belakang: Kesehatan mulut secara umum masih menjadi permasalahan pada anak usia sekolah dasar. Dengan mengkonsumsi keju cheddar olahan yang mengandung kaseinfosfoprotein dan kalsium, dapat membantu meningkatkan kesehatan mulut dengan menjaga tingkat pH saliva. Penelitian ini dilakukan untuk membuktikan apakah keju cheddar olahan dapat meningkatkan kadar pH saliva pada anak usia sekolah dasar.

Metode: Metode penelitian yang digunakan adalah pre-test post-test design. Sampel yang digunakan pada penelitian ini adalah siswa Sekolah Dasar Sidoarum dengan kriteria inklusi. Sampel dibagi menjadi dua grup, 15 orang tanpa perlakuan (kelompok kontrol) dan 15 orang dengan perlakuan (mengkonsumsi keju cheddar olahan). Sampel saliva diambil pada menit ke-0 (sebelum perlakuan), menit ke-2, dan menit ke-10 untuk menganalisis apakah keju cheddar olahan dapat meningkatkan pH saliva. Dengan menggunakan paired t-test dan independent t-test

pada analisis data, kami menetapkan apakah terdapat perbedaan pada hasil sebelum dan sesudah perlakuan, dan perbedaan antara kelompok kontrol dan perlakuan. Hasil: Data hasil dari paired t-test menunjukan bahwa kelompok perlakuan mendapat peningkatan pH saliva dengan nilai p=0,001 (p<0,05), menandakan terdapat perbedaan yang signifikan antar grup setelah diberikan perlakuan. Data hasil dari independent t-test antar kelompok pada menit ke-10 menandakan efek dari buffer saliva sudah masuk dan menetralkan kadar pH saliva setelah 10 menit menunggu.

Kesimpulan: Hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa konsumsi keju cheddar olahan dapat meningkatkan pH saliva pada anak usia sekolah dasar setelah dikonsumsi.

Kata Kunci: PH Saliva, Anak Usia Sekolah Dasar, Keju Cheddar Olahan

(5)

v ABSTRACT

Trisandi Adi Pamungkas, G0014230, 2019. Effect of Consumption of Processed Cheddar Cheese on Increased Saliva pH in Elementary School-aged Children, Mini Thesis, Faculty of Medicine, Sebelas maret University, Surakarta.

Background: Oral health in general is still a problem in elementary school age children. By consuming processed cheddar cheese containing caseinfosopopotein and calcium, it can help improve oral health by maintaining a pH level of saliva. This study was conducted to prove whether processed cheddar cheese can increase salivary pH levels in elementary school-aged children.

Method: The research method used was a pre-test post-test design. The sample used in this study was Sidoarum Elementary School students with inclusion criteria. Samples were divided into two groups, 15 people without treatment (control group) and 15 people treated (consuming processed cheddar cheese). Saliva samples were taken at minute 0 (before treatment), second minute, and tenth minutes to analyze whether processed cheese cheddar can increase salivary pH. By using paired t-test and independent t-test on data analysis, we determined whether there were differences in the results before and after treatment, and differences between the control and treatment groups.

Result: The results of the paired t-test showed that the treatment group received an increase in salivary pH with a value of 0.001 (p <0.05), indicating that there was a significant difference between groups after treatment. Data from the independent t-test between groups at 10 minutes indicated that the effect of saliva buffer had entered and neutralized the pH level of saliva after 10 minutes of waiting.

Conclusion: The results of this study can be concluded that the consumption of processed cheddar cheese can increase salivary pH in children of elementary school age after consumption.

Keyword: Salivary pH, Elementary School Children, Processed Cheddar Cheese

(6)

vi PRAKATA

Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam, yang telah melimpahkan rahmat, nikmat, dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Pengaruh Konsumsi Keju Cheddar Olahan Terhadap Kenaikan pH Saliva Pada Anak Usia Sekolah Dasar”. Penelitian ini merupakan salah satu persyaratan dalam menyelesaikan Progam Sarjana Kedokteran di Fakultas Kedokteran, Universitas Sebelas Maret, Surakarta.

Penyusunan penelitian ini tidak akan berhasil tanpa adanya bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu, dengan penuh rasa hormat penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Dr. Reviono, dr., Sp.P(K) selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta dan Prof. Dr. Hartono, dr., M.Si selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta periode sebelumnya.

2. Dr. Eti Poncorini Pamungkasari, dr., MPD selaku Ketua Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta dan Sinu Andhi Jusup, dr., M.Kes selaku Ketua Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta periode sebelumnya.

3. Kusmadewi Eka D, dr., M.Gizi selaku Ketua Tim Skripsi FK UNS beserta staf Bapak Nardi dan Ibu Enny, SH., MH.

4. Widia Susanti, drg., M.Kes selaku pembimbing utama dan Nanang Wiyono, dr., M.Kes selaku pembimbing pendamping yang telah meluangkan waktu dan banyak memberikan bimbingan dalam penyusunan penelitian ini. 5. Dr. Risya Cilmiaty A.R., drg., M.Si, Sp.KG selaku penguji utama yang telah

berkenan menguji dan memberikan kritik, dan saran dalam penelitian ini. 6. Siswa-Siswi Sekolah Dasar Sidoarum yang telah berbaik hati meluangkan

waktunya untuk menjadi responden dalam penelitian ini.

7. Keluarga tersayang, teruntuk Ibunda Dwihastuti Iriani dan ayahanda Sumaryadi Waskito serta kakak Ekaputra Abdinegara, Debi Megasuryani, dan adik Diana Sekar Piningit.

8. Teman-teman calon sejawat Calvaria dan sahabat-sahabat yang selalu mendukung dan membantu penelitian ini.

9. Semua pihak yang secara langsung maupun tidak langsung membantu proses penyusunan penelitian ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.

Penulis menyadari skripsi ini jauh dari kata sempurna. Namun, penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi banyak pihak.

Surakarta, 3 Juli 2019

(7)

vii DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PENGESAHAN SKRIPSI ... ii

HALAMAN PERNYATAAN ... iii

ABSTRAK ... iv

PRAKATA ... vi

DAFTAR ISI ... vii

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH ... 1

B. RUMUSAN MASALAH ... 5

C. TUJUAN PENELITIAN ... 5

D. MANFAAT PENELITIAN ... 5

BAB II LANDASAN TEORI A. TINJAUAN PUSTAKA ... 6

1. SALIVA... 6

2. KEJU... 10

3. HUBUNGAN KEJU DENGAN PH SALIVA... 11

4. ANAK USIA SEKOLAH DASAR... 13

5. KRITERIA OHIS... 14

B. KERANGKA PEMIKIRAN ... 16

C. HIPOTESIS ... 17

BAB III METODE PENELITIAN A. JENIS PENELITIAN... 18

B. LOKASI PENELITIAN... 18

C. SUBJEK PENELITIAN... 18

D. VARIABEL PENELITIAN... 19

E. DEFINISI OPERASIONAL VARIABEL PENELITIAN... 20

F. ALUR PENELITIAN... 21

(8)

viii

H. PROSEDUR PENELITIAN... 22

I. TEKNIS ANALISIS... 23

BAB IV HASIL PENELITIAN ... 24

BAB V PEMBAHASAN ... 28 BAB VI PENUTUP A. KESIMPULAN ... 32 B. SARAN ... 32 DAFTAR PUSTAKA ... 33 LAMPIRAN ... 36

(9)

ix

DAFTAR TABEL

Tabel 4.1 Demografi Umur Sampel... 24

Tabel 4.2 Demografi Jenis Kelamin Sampel... 24

Tabel 4.3 Hasil Rata-Rata PH Saliva dan Nilai P Sampel... 25

(10)

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Menjaga kesehatan tubuh adalah suatu hal yang sepatutnya dilakukan dengan seksama. Kesehatan itu sendiri dapat diartikan sebagai keadaan sejahtera baik badan, jiwa, dan sosial sehingga seseorang dapat hidup produktif secara sosial dan ekonomi (Notoatmodjo, 2003). Kesehatan selalu tidak lepas dari cara menjaga kebersihan. Satu contoh mudah yang sering terabaikan adalah menjaga kebersihan gigi dan mulut. Jika terjadi kerusakan pada gigi, akan mempengaruhi kesehatan jaringan sekitarnya, juga dapat mempengaruhi kesehatan anggota tubuh lain yang tentu akan mengganggu aktivitas sehari-hari (Ariningrum, 2000).

Kesehatan gigi dan mulut termasuk dalam bagian integral kesehatan tubuh secara keseluruhan yang dapat mempengaruhi kondisi kesehatan seseorang dan memerlukan adanya penanganan yang segera. Kebiasaan menjaga kesehatan gigi dan mulut perlu membudaya di seluruh lingkungan masyarakat (Ilyas, 2001). Masyarakat Indonesia umumnya masih belum awas terhadap kesehatan gigi dan mulut dan menganggapnya masalah kecil.

Prevalensi penyakit gigi dan mulut di masyarakat Indonesia masih tergolong tinggi. Dalam Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) Depkes tahun 2018 terdapat 57,6 persen penduduk Indonesia mengalami masalah gigi dan mulut, hanya 10,2 persen diantaranya yang mendapatkan penanganan medis. Prevalensi karies gigi pada anak juga sangat tinggi yaitu 93 persen yang

(11)

2

ditunjukan untuk penyakit karies gigi di Indonesia canderung naik. Angka kesakitan gigi cenderung meningkat setiap dasawarsanya. Prevalensi tersebut dapat menjadi pertanda bahwa minimnya kesadaran masalah kesehatan gigi dan mulut di masyarakat dapat menyebabkan permasalahan yang cukup luas dan laten (Sintawati dan Indirawati, 2009).

Faktor yang dapat mempengaruhi tingginya prevalensi penyakit gigi dan mulut di masyarakat Indonesia adalah cara menjaga kesehatan gigi dan mulut yang kurang baik. Sebanyak 22,8 persen penduduk tidak menyikat gigi dan dari 77,2 persen yang menyikat gigi hanya 8,1 persen yang menyikat gigi tepat waktu (Herijulianti, 2001). Pada Riskesdas 2018, juga menyebutkan proporsi perilaku penduduk Indonesia dalam kebiasaan menyikat gigi dengan benar rata-rata nya hanya 2,8 dari maksimal nilai 10, angka ini tergolong rendah. Penyakit gigi dan mulut sering dianggap tidak membahayakan jiwa karena tidak akan menyebabkan kematian, namun penyakit gigi dan mulut dapat menjadi sumber infeksi dan dapat mejadi faktor yang mempengaruhi beberapa penyakit sistemik lainnya (Pratiwi, 2007).

Pada penelitian yang dilakukan Siagian dan Barus (2008), ditemukan 95% anak pada satu sekolah dasar mempunyai kesehatan mulut yang buruk dan atau penyakit karies gigi. Faktor yang paling mempengaruhi kebiasaan anak adalah faktor luar individu, seperti faktor ekonomi, keluarga, pekerjaan, fasilitas kesehatan gigi, pendidikan gigi yang diterima (Budiharto, 2000)

Permatasari dan Andhini (2014) dalam penelitiannya melaporkan bahwa pada satu sekolah dasar, pola makan atau jajan siswa sebanyak 45%

(12)

3

responden mengkonsumsi jajanan berpotensi tinggi penyebab karies, 49% mengkonsumsi jajanan berpotensi sedang penyebab karies, dan hanya 4% mengkonsumsi jajanan yang menghambat karies, sehingga perlu adanya pencegahan agar kebiasaan anak jajan tidak menyebabkan munculnya karies pada gigi mereka.

Dalam mekanisme kesehatan gigi dan mulut, saliva ikut berperan dalam pertahanan terhadap penyakit. Saliva berfungsi dalam mekanisme pertahanan utama terhadap mikroorganisme dalam rongga mulut. Gangguan fungsi saliva sendiri dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu usia, kondisi lingkungan, serta pola makan. Telah banyak penelitian dilakukan untuk menggunakan saliva sebagai penanda diagnosis penyakit (Pandey, 2014).

Laju aliran saliva yang normal menjadi pertahanan utama karies. Saat struktur mulut terjadi inflamasi akan direspon dengan mengeluarkan saliva dengan profil proteksi dan kembali normal saat sudah teratasi. Sistem regulasi akan merespon stimuli dengan pengeluaran fosfat, amilase, dan protein lainnya (Turner dan Hiroshi, 2002). Kehadiran kondisi optimal dalam saliva sangat diperlukan dalam petahanan mulut.

Regulasi saliva dalam mulut memerlukan pH diatas 5,5 untuk menghindari rusaknya enamel gigi yang berakibat pada erosi gigi. Normalnya pH saliva berada dalam 5,75 – 7, dan dapat mencapai 8 jika terdapat stimulasi sekresi. Protein, fosfat, dan bikarbonat dalam saliva berkontribusi dalam perubahan ph saliva (Garnowicz dkk, 2012). Dalam pH normal terjadi mekanisme pembentukan pellicle yang terdapat pada lapisan enamel gigi yang

(13)

4

berisi biomolekul aktif dalam sistem pertahanan. Penghilangan plak bakteri secara reguler dapat mencegah bakteri penyebab penyakit periodontal (Helmerhorst dan Oppenheim, 2007).

Makanan yang dapat membantu meningkatkan kesehatan mulut, diantaranya adalah olahan produk susu, yaitu keju. Keju selain kandungan kalsiumnya yang tinggi untuk gigi, juga dapat meningkatkan pH saliva dan membantu remineralisasi gigi. Keju memiliki sifat kariogenik yang rendah dan pada beberapa kesempatan bersifat kariostatik yang dapat mencegah terjadinya karies pada gigi. Menurut Roeslan (2002), bahwa mengkonsumsi keju sebanyak 5 gram per hari cukup efektif dalam menjalankan perannya untuk mencegah demineralisasi, mempercepat aliran saliva, dan meningkatkan pH saliva rongga mulut. Kebutuhan keju di Indonesia juga cenderung meningkat, data tahun 2002 menyatakan terjadi peningkatan 20% dari tahun sebelumnya dengan total konsumsi keju nasional sekitar 8000 ton per tahun (Rakhman, 2014).

Untuk mengetahui apakah konsumsi keju cheddar olahan dapat berpengaruh terhadap kenaikan pH saliva pada anak SD, maka dilakukan penelitian untuk membuktikan pengaruh konsumsi keju.

(14)

5 B. Rumusan Masalah

Apakah ada pengaruh konsumsi keju cheddar olahan terhadap kenaikan pH saliva pada anak usia sekolah dasar?

C. Tujuan Penelitian

Mengetahui pengaruh konsumsi keju cheddar olahan terhadap kenaikan pH saliva pada anak usia sekolah dasar.

D. Manfaat Penelitian

1. Aspek Teoritik

Penelitian ini diaharapkan dapat memberikan informasi mengenai pengaruh konsumsi keju cheddar olahan terhadap kenaikan pH saliva pada anak usia sekolah dasar.

2. Aspek Aplikatif

Penelitian ini diharapkan agar keju sebagai makanan yang baik untuk kesehatan bila dikonsumsi setelah makan dan agar dapat semakin dikenal masyarakat, serta hasil penelitian ini dapat menjadi dasar pengembangan untuk penelitian keju selanjutnya.

(15)

6 BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 1. Saliva a. Kelenjar saliva

Saliva adalah cairan mukoserous bening yang disekresi oleh kelenjar saliva pada mukosa oral yang berperan menjaga kesehatan mulut dengan berbagai komponen di dalamnya. Kelenjar saliva yang membentuk saliva terbagi menjadi kelenjar mayor, parotis, submandibular, dan sublingualis, dan beberapa kelenjar minor (Humphrey dan Williamson, 2001).

Kelenjar parotis adalah sepasang kelenjar liur yang terletak di antara rahang dan telinga, melalui duktus stensen mensekresikan 20-25% saliva, kelenjar parotis memproduksi saliva yang bersifat serous, lebih tipis dan berair, mengandung enzim amilase yang berguna untuk mencerna pati. Kelenjar submandibular adalah kenjar liur yang terletak di rahang bawah, melalui duktus wharton mensekresikan hingga 70% saliva. Kelenjar submandibular memproduksi saliva campuran serous mukus. Kelenjar sublingua adalah kelenjar liur yang terletak di bawah lidah, dapat mensekresikan sekitar 5% saliva, kelenjar sublingua memproduksi saliva yang bersifat mukous yang berguna untuk pelumasan. Selain kelenjar mayor, terdapat beberapa kelenjar minor

(16)

7

yang juga membentuk saliva, saliva yang diproduksi kelenjar minor bersifat mukous (Thompson, 2015).

Rata- rata pengeluaran saliva kita perharinya bervariasi antara 1-1,5 L, sementara persentase tiap kelenjarnya dalam keadaan normal adalah 20% dari parotis, 65% submandibularis, 7-8% diproduksi sublingual dan beberapa kelenjar minor memproduksi sekitar 10%, jika terdapat stimulasi maka presentase pengeluaran dapat berubah drastis dengan kelenjar parotis dapat memproduksi lebih dari 50% total saliva (Edgar, 1990).

b. Komposisi

Saliva terdiri dari berbagai macam elektrolit, termasuk sodium, potassium, magnesium, kalsium, pospat, dan bikarbonat. Dalam saliva juga ditemukan imunnoglobulin, protein, enzim, musin, urea dan ammonia. Saliva adalah cairan sangat encer yang 99% terdiri dari air dan tidak dianggap sebagai ultrafiltrat dari plasma (Dowd, 1999). c. Aliran

Terdapat variasi per individual, rata-rata aliran normal pada saliva tanpa stimulasi adalah diatas 0.1 mL/menit, dan untuk saliva dengan stimulasi minimal 0.2 mL/menit. Jika terdapat laju saliva dibawah 0,1 mL/menit dapat dikategorikan hipofungsi. Sistem hidrasi dapat berpengaruh besar dalam volume sekresi saliva, olahraga atau eksresi jangka panjang yang meningkatkan aktivitas saraf simpatik juga akan menurunkan saliva untuk proteksi mulut (Amerongen dan

(17)

8

Veerman, 2002). Produksi basal saliva ikut menurun dengan pertambahan usia dan penyakit kronis seperti diabetes dan hipertensi. Penggunaan obat-obatan seperti anti depresan dan anti hipertensi juga dapat menyebabkan hiposaliva. Untuk rata-rata aliran saliva tanpa stimulasi adalah 0,3 mL/menit dengan total 16 jam menjadi 300mL dan aliran saliva dengan stimulasi dapat mencapai 7 mL/menit yang berkontribusi pada 80-90% total produksi saliva per hari (Atkinson dan Baum, 2001). Aliran kecepatan saliva relatif sama antara beberapa kelompok umur dan jenis kelamin, dengan pengecualian kelompok umur elderly yang alirannya menurun karena menurunnya kemampuan otot mulut dan kemampuan mengunyahnya.

Sekeresi saliva dikontrol oleh neukleus di medulla tetapi terdapat pemicu spesifik untuk terjadinya sekresi. Terdapat tiga tipe pemicu atau stimuli, yaitu secara mekanik atau mengunyah, gustatory atau rasa, dan olfaktori atau pembau. Faktor lain juga terdapat seperti stimulus sakit, pengaruh obat, atau pengaruh penyakit yang juga mempengaruhi kelenjar saliva. Status kecemasan, stres atau depresi yang mempengaruhi mekanisme neurohumoral juga dapat dikaitkan dengan menurunkannya kuantitas dan komposisi sekresi saliva (Bardo dkk, 2005).

d. Fungsi

Fungsi saliva dalam menjaga kesehatan mulut secara garis besar ada lima, untuk lubrikasi dan proteksi, untuk cairan buffer dan

(18)

9

pembersih, untuk mempertahankan kepadatan gigi, untuk aktivitas antibakteri, dan untuk perasa dan zat pencernaan (Moss, 1995).

Saliva yang berfungsi sebagai cairan buffer yang akan mempengaruhi perubahan pH saliva. Cairan buffer mempertahankan pH secara konstan jika mendapatkan tambahan kandungan asam atau basa dalam jumlah kecil. Terdapat tiga sistem cairan buffer dalam saliva, yaitu buffer protein, buffer fosfat, dan buffer carbonic acid/bicarbonate (University of Newcastle Dental School, 2009).

Buffer protein tidak terlalu efektif untuk menjaga pH dikarenakan kurangnya grup ionisasi asam/basa untuk menurunkan OH-/H+ pada saliva. Buffer fosfat akan aktif dan efektif pada kondisi saliva tanpa stimulasi, dimana mekanismenya melibatkan ion fosfat sekunder untuk mengikat hidrogen dalam membentuk ion fosfat primer,

buffer fosfat memiliki range pH yang dekat dengan pH normal, tetapi dengan kurangnya konsentrasi fosfat di mulut maka menjadi kurang efektif saat kondisi terstimulasi. Buffer carbonic acid/bicarbonate

adalah buffer paling efektif pada saat ada stimulasi saliva, dengan ion bicarbonat bekerja menetralkan asam ang dihasilkan bakteri saat memecah gula pada makanan, ini dilakukan dengan mengikat ion hidrogen dan membentuk carbonic acid. Semakin banyak saliva terstimulasi semakin banyak ion bicarbonat yang disekresikan dan semakin banyak hidrogen yang dinetralisasikan (Fejerskov dan Kidd, 2008).

(19)

10

Buffer saliva mempunyai peran penting untuk membantu menetralkan pH saliva menuju angka normal sekitar 6-7. Buffer saliva diperankan paling banyak oleh bikarbonat 85%, lalu fosfat 14%, dan terakhir protein 1% (Humphrey dan Williamson, 2001). Peran lain dari

buffer saliva adalah menormalkan nilai pH saliva. Dengan adanya sistem buffer, maka pH akan berangsur dinetralkan dan akan kembali normal setelah 20 menit pada paparan karbohidrat cair, dan 40-60 menit pada paparan karbohidrat padat (Pradanta dkk, 2016).

2. Keju

Susu sapi dan produk olahan susu memiliki potensi kariogenik rendah, dan bahkan bersifat kariostatik, sehingga dapat menurunkan prevalensi karies gigi. Substansi kariostatik dapat mencegah terjadinya karies gigi. Potensi kariogenik yang rendah pada keju dapat mencegah demineralisasi gigi melalui dua mekanisme, yakni menstimulasi peningkatan aliran saliva atau dengan meningkatkan kadar kalsium dan fosfat pada saliva. Sedangkan jenis soft cheese akan berperan kariostatik dengan kandungan calcium phospatase di dalam keju untuk memicu remineralisasi (Johansson, 2002).

Keju yang cukup dikenal dan sering digunakan masyarakat di Indonesia ada empat jenis, yaitu keju cheddar, keju parmesan, keju mozzarella, dan keju edam. Keju cheddar dalam daftar US Food and Drug Administration mempunyai kadar pH 5,9, perbandingan dengan keju parmesan yang hanya memiliki kadar pH 5,2 atau lebih asam, sifat

(20)

11

keju cheddar termasuk dalam kategori low-acid food, sehingga konsumsi keju cheddar dapat membantu kesehatan mulut dan tidak akan menyebabkan demineralisasi gigi yang dimulai ketika pH turun di bawah angka 5,5.

Pada penelitian keju sebelumnya oleh Hayden (2015), keju cheddar dapat meningkatkan pH saliva menuju angka 9-10 pada 30 detik konsumsi dan mencapai angka 10-11 pada 2 menit konsumsi pada subjek mahasiswa Western Kentucky Dental Hygiene, terbilang efektif untuk meningkatkan pH saliva. Penelitian pada anak sekolah dasar juga diperkirakan akan efektif.

Keju yang akan dipakai adalah keju cheddar olahan yang mudah didapat di supermarket dan cukup dikenal masyarakat. Adapun komposisi keju cheddar olahan adalah: Keju cheddar, air, padatan kasein susu (8%), minyak nabati (mengandung antioksidan BHA), pengemulsi (garam fosfat), pati jagung, pengatur keasaman (asam laktat), pengawet (kalium sorbat, nisin), pewarna alami (anato CI 75120), vitamin D (mengandung antioksidan tokoferol).

3. Hubungan Keju dengan pH Saliva

Penelitian dari academy dentist di Newcastle (2009) telah membuktikan bahwa produksi alkalin dalam saliva akan meningkat dengan mengkonsumsi keju, produksi alkalin dalam saliva akan membantu pembentukan enamel gigi, dalam penelitian serupa dari Suresh dkk (2010), ditemukan bahwa mengkonsumsi keju akan

(21)

12

berpengaruh terhadap keseluruhan pH, kalsium, dan fosfat dalam rongga mulut dan menghasilkan efek kariostatik. pH saliva yang dipengaruhi oleh stimulus kimiawi menjadikan mengkonsumsi keju yang juga merangsang peningkatan laju produksi saliva dan akan berbanding lurus dengan kenaikan pH saliva.

Kandungan keju yang dapat berpengaruh pada kesehatan mulut adalah ion kalsium dan fosfat. Ion kalsium berperan pada fisiologi intraseluler dan ekstraseluler dan ion fosfat berperan menghasilkan 15% total buffer saliva. Fosfat alami yang terdapat di mulut hanya efektif ketika dalam keadaan tidak terstimulasi, tetapi ketika aliran saliva tinggi kadar fosfat akan menurun. Karena ion kalsium dan fosfat cukup berperan dalam remineralisasi gigi dan pencegahan karies, maka intake makanan yang mengandung kalsium dan fosfat akan menjaga pH saliva saat fosfat alami sedang turun. Kadar kalsium dan fosfat normal di dalam saliva yaitu 1-2,5 mmol/L dan 2-22 mmol/L. Remineralisasi merupakan sebuah proses dimana ion mineral kalsium dan fosfat kembali membentuk kristal hidroksi apatit pada enamel. Proses remineralisasi adalah proses penting yang memiliki pengaruh secara signifikan pada kekerasan dan kekuatan gigi (Alauddin, 2004).

Diketahui produk olahan susu memiliki efek anti karies. Efek dari kandungan casein, phosphopeptides, kalsium dan fosfat yang terdapat di dalamnya. Casein phosphopeptide-amorphous calcium phosphate (CPP-ACP) akan mengikat ion kalsium dan fosfat. Dan

(22)

13

diantara produk olahan susu, keju adalah produk yang memiliki kalsium dan fosfat yang tinggi, sehingga efektif untuk menjaga kesehatan gigi dengan efek anti kariogeniknya.

4. Anak usia sekolah dasar

Berdasarkan penelitian Permatasari dan Andhini (2014), siswa sekolah dasar mempunyai pola jajan yang kurang sehat dan cenderung menjadi salah satu penyebab timbulnya masalah karies gigi. Dari penelitian tersebut 45% siswa sekolah dasar menyukai jajanan berpotensi tinggi karies seperti permen, coklat, kue, biskuit. Lalu sekitar 49% menyukai jajanan berpotensi sedang karies seperti minuman manis, bakso, gorengan. Selain itu terdapat 4% siswa yang menyukai jajanan berpotensi rendah karies seperti susu, pecel, gado-gado. Dan hanya beberapa siswa yang menyukai jajanan yang dapat menghambat karies seperti susu murni, kacang-kacangan, atau keju.

Anak usia sekolah dasar cenderung menginginkan jajanan yang kurang sehat dikarenakan rasanya yang enak dan digemari anak. Kebiasaan anak sekolah dasar tentu besar pengaruhnya dari pengetahuan dan kesadaran terhadap kesehatan mulut yang kurang memadai. Pengetahuan akan membentuk behaviour atau kebiasaan, sehingga ketika perilaku yang dilakukan didasari dengan pengetahuan, maka perilaku tersebut dapat ditanamkan sebagai behaviour diri sendiri (Panjaitan, 1997).

(23)

14

Anak usia sekolah dasar juga masih dalam proses tumbuh dan berkembang, sehingga akan mudah untuk terkena penyakit karena pertahanan tubuh yang belum sepenuhnya sempurna. Contohnya adalah pertumbuhan gigi bercampur pada anak usia sekolah dasar yang akan berlangsung hingga tumbuh gigi permanen dan tentu juga akan mempengaruhi pola perilaku jajan.

5. Kriteria Oral Hygiene Index Simplified (OHIS) (Sumber: Marya, 2011)

 Kriteria klasifikasi debris (DI-S) Skor 0 = Tidak ada debris atau stain

Skor 1 = Debris lunak menutupi tidak lebih dari sepertiga permukaan gigi atau adanya stain eksktrinsik tanpa debris pada area permukaan yang terselubung

Skor 2 = Debris lunak yang menutupi lebih dari sepertiga tetapi tidak lebih dari dua pertiga permukaan gigi.

Skor 3 = Debris lunak yang menutupi lebih dari dua pertiga permukaan gigi yang terlihat

Debris index = (nilai bukal) + (nilai lingual) / (jumlah nilai dari permukaan bukal dan lingual yang diperiksa)

 Kriteria klasifikasi kalkulus (CI-S) Skor 0 = Tidak ada kalkulus

Skor 1 = Kalkulus supragingiva menutupi tidak lebih dari sepertiga dari permukaan gigi.

(24)

15

Skor 2 = Kalkulus supragingiva menutupi lebih dari sepertiga permukaan gigi tetapi tidak lebih dari dua pertiga permukaan gigi atau adanya bintik-bintik dari kalkulus subgingiva disekeliling bagian servikal dari gigi atau keduanya.

Skor 3 = Kalkulus supragingiva yang menutupi lebih dari dua pertiga permukaan gigi atau sebuah kumpulan kalkulus disekeliling bagoan servikal dari gigi atau keduanya.

Calculus index = (nilai bukal) + (nilai lingual) / (jumlah nilai dari permukaan bukal dan lingual yang diperiksa)

Rata-rata nilai debris dan kalkulus individual atau kelompok dikombinasi untuk mendapatkan simplified oral hygiene index.

Oral hygiene index = debris index + calculus index.

Tingkat klinis dari oral hygiene dapat dihubungkan berdasarkan skor OHIS sebagai berikut.

Baik : 0,0 – 1,2 Sedang : 1,3 – 3,0 Kurang : 3,1 – 6,0

(25)

16 B. Kerangka Penelitian Keju Olahan Konsumsi Keju Mengandung Casein phospopeptide-amourphous calcium phospate (CPP-ACP) Meningkatkan Kadar Ca2+ dan PO42- dalam

saliva Menstimulasi laju aliran saliva Meningkatkan pH saliva Meningkatkan kapasitas buffer Efek kariostatik Meningkatkan remineralisasi Proses pengunyahan

(26)

17 C. Hipotesis

Ada pengaruh konsumsi keju cheddar olahan terhadap kenaikan pH saliva pada anak usia sekolah dasar.

(27)

18 BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan desain penelitian pretest-postest design

B. Lokasi Penelitian

Penelitian dilakukan di area sekolah dasar Sidoarum yang akan dilakukan pengambilan sampel.

C. Subjek Penelitian

Populasi yang digunakan adalah siswa sekolah dasar. Sampel pada penelitian ini diambil dengan cara simple random sampling, dengan besar sampel yang digunakan dalam penelitian dihitung dengan menggunakan aturan umum rule of thumb dari Roscoe (1975).

Sampel penelitian yang digunakan adalah satu kelas siswa sekolah dasar yang berkriteria inklusi, dibagi dalam 2 kelompok siswa sebagai kelompok perlakuan (mengkonsumsi keju cheddar 8 gram) dan siswa sebagai kelompok kontrol (tidak mengkonsumsi keju).

(28)

19

Siswa yang dijadikan sample adalah siswa sekolah dasar yang berusia 8-11 tahun, berjenis kelamin laki-laki ataupun perempuan yang paham pentingnya kesehatan mulut dan memiliki oral hygiene yang baik. Kriteria Inklusi:

1. Sampel tidak memiliki penyakit sistemik diabetes, hipertensi 2. Sampel memiliki oral hygiene baik, OHIS baik

Kriteria Ekslusi:

1. Sampel menderita penyakit sistemik diabetes, hipertensi 2. Sampel memiliki alergi keju

D. Variabel Penelitian

1. Konsumsi keju : Variabel Bebas 2. Kadar pH Saliva : Variabel diteliti 3. Proses pengunyahan : Variabel antara

(29)

20

E. Definisi Operational Variabel Penelitian 1. Konsumsi keju

Variabel bebas, yaitu perlakuan yang diberikan dengan cara mengunyah keju yang merupakan produk olahan dari susu sapi yang difermentasi. Jenis keju yang dipakai adalah keju cheddar kraft. Pemberian keju adalah sebanyak 8 gram per sampel, dalam bentuk keju lembaran yang mudah dikunyah. Berskala ratio

2. Kadar pH saliva

Variabel terikat dan diteliti, yaitu besar kadar keasaman saliva yang diukur menggunakan pH meter digital dan menggunakan satuan konsentrasi ion hidrogen dengan skala 1-14 dan merupakan variabel skala interval

3. Proses pengunyahan

Variabel antara yaitu, waktu pengukuran pH dilakukan dalam setelah dua menit pengunyahan , dikarenakan waktu rata aliran saliva adalah 0,3 ml/menit, sehingga akan didapatkan minimal 0,5 ml saliva yang siap diukur. Pengambilan menit ke-10 juga ditentukan karena merupakan separuh dari waktu yang dibutuhkan pH untuk kembali normal secara alami, yaitu 20 menit. Berskala Interval

4. Peningkatan aliran dan buffer saliva

Variabel terikat yaitu hasil dari pengaruh konsumsi keju yang ditimbulkan dari kandungan keju tersebut dan proses pengunyahan yang dilakukan saat penelitian. Berskala Ratio

(30)

21 F. Alur Penelitian Siswa SD Kelompok Kontrol (<15 orang) Kelompok Perlakuan (<15 orang)

Pengukuran pH 1 pada menit 0

Pengukuran pH 2 pada menit 2 Konsumsi Keju Cheddar 8 gram Tidak diberi Keju

Analisis Data

(31)

22 G. Alat dan Bahan Penelitian

1. Masker dan sarung tangan 2. Wadah saliva

3. Label 4. Alat tulis 5. Stopwatch 6. pH meter digital

7. Keju Cheddar olahan bentuk lembaran

H. Prosedur Penelitian

1. Survei dilakukan untuk mencari sampel yang sesuai kriteria inklusi dan ekslusi.

2. Sampel dimintai persetujuan dengan menandatangani informed consent. 3. Sampel diberikan dua macam perlakuan. Kelompok pertama merupakan kelompok perlakuan dan kelompok kedua merupakan kelompok kontrol. 4. Pengambilan sampel saliva pada kelompok perlakuan dan kelompok kontrol pada menit ke-0, proses pengambilan dilakukan dengan metode

spitting yakni mengumpulkan saliva didasar mulut lalu dicucurkan ke wadah sampel yeng telah diberi label.

5. Kelompok perlakuan kemudian diinstuksikan untuk mengkonsumsi keju olahan dengan cara mengunyah dan menelan, dan dilakukan pengambilan sampel pada menit ke-2.

(32)

23

6. Kelompok kontrol yang tidak diberi perlakuan juga dilakukan pengambilan sampel saliva pada menit ke-2.

7. Pengambilan sampel kedua kelompok dilakukan lagi pada menit ke-10. 8. Seluruh sampel yang telah terkumpul dalam wadah saliva akan diukur

keasamannya menggunakan pH meter digital yang memiliki akurasi hingga 2 angka dibelakang koma.

9. Data yang didapat akan dianalisis pada tahap uji analisis.

I. Teknik analisis

Data yang diperoleh dianalisis menggunakan SPSS, dengan uji normalitas, uji korelasi, dan perubahan pH saliva diketahui menggunakan uji paired t-test, dan uji independent t-test apabila data tidak terdistribusi normal maka dilakukan uji non parametrik (Wilcoxon).

(33)

24 BAB IV

HASIL PENELITIAN

Penelitian dilakukan dengan metode yang sudah ditentukan mendapatkan hasil

Tabel 4.1 Demografi Umur Sampel

Umur Sampel Jumlah Anak 8 tahun 1 anak 9 tahun 23 anak 10 tahun 5 anak 11 Tahun 1 anak

Tabel 4.2 Demografi Jenis Kelamin Sampel

Jenis Kelamin Jumlah anak Laki-laki 15 anak Perempuan 15 anak

Dibagi secara acak dalam 2 kelompok siswa sebagai kelompok perlakuan (mengkonsumsi keju cheddar 8 gram) dan siswa sebagai kelompok kontrol (tidak mengkonsumsi keju).

(34)

25

Tabel 4.3 Hasil Rata-Rata PH Saliva dan nilai P Sampel

Kelompok Kontrol Kelompok Perlakuan Nilai P Independent T-test Nilai P Paired T-test

Waktu Mean ( +SD) Mean ( +SD)

0’ 7,61 ( +0,38) 7,60 ( +0,33) a) P = 0,852 d) P = 0,001 2’ 7,60 ( +0,44) 7,90 ( +0,29) b) P = 0,030 e) P = 0,002 10’ 7,70 ( +0,28) 7,69 ( +0,23) c) P = 0,950 f) P = 0,202

Keterangan:

a) Independent t-test antara kelompok kontrol dan perlakuan pada menit ke-0 b) Independent t-test antara kelompok kontrol dan perlakuan pada menit ke-2 c) Independent t-test antara kelompok kontrol dan perlakuan pada menit ke-10 d) Paired t-test pada kelompok perlakuan antara menit ke-0 dan menit ke-2 e) Paired t-test pada kelompok perlakuan antara menit ke-2 dan menit ke-10 f) Paired t-test pada kelompok perlakuan antara menit ke-0 dan menit ke-10

Dari tabel diatas dapat ditarik garis besar yaitu kelompok yang kontrol tidak ada perubahan pH saliva yang signifikan pada kolom sesudah dan 10 menit, sedangkan kelompok perlakuan keju terdapat kenaikan pH saliva pada kolom sesudah, tetapi juga mengalami penurunan mendekati nilai awal pada kolom 10 menit.

Dalam analisis hasil penelitian tersebut maka akan dilakukan juga uji normalitas dan uji homogenitas sebelum dilakukan uji paired t-test dan uji

(35)

26 Uji Normalitas

Tabel 4.4 Hasil Uji Normalitas

Kelompok Waktu Nilai P Kontrol Menit 0’ 0,200 Menit 2’ 0,200 Menit 10’ 0,200 Perlakuan Menit 0’ 0,200 Menit 2’ 0,200 Menit 10’ 0,200

Hasil uji normalitas didapatkan sebaran data pada semua kelompok dikatakan normal karena semua nilai p>0,05.

Uji Homogenitas

Hasil uji homogenitas didapatkan data pada kelompok kontrol dengan kelompok perlakuan nilai p adalah 0,473 dinyatakan homogen karena nilai p>0,05.

Uji Paired T-Test

Hasil uji paired t-test pada kelompok perlakuan keju didapatkan perubahan signifikan antara nilai sebelum dan sesudah perlakuan nilai p adalah 0,001 yang dinyatakan dengan nilai p<0,05, maka H0 ditolak. Hasil uji paired t-test antar kelompok sebelum dan kelompok setelah 10 menit tidak menunjukan angka signifikan dengan nilai p 0,202.

(36)

27 Uji Independent T-Test

Hasil uji independent t-test antara kelompok kontrol dan kelompok perlakuan didapatkan tidak ada perubahan signifikan dari nilai sebelum perlakuan yang dinyatakan dengan nilai p>0,05 dengan hasil p 0,862 pada menit ke 0’, p 0,950 pada menit ke 10’. Juga didapatkan perubahan signifikan dari nilai p pada menit ke 2’ yaitu p 0,030 yang menyatakan hasil tersebut bukan positif palsu.

(37)

28 BAB V PEMBAHASAN

Ditemukan pH rata-rata pada anak usia sekolah dasar yaitu 7,60 pada kedua kelompok. Pada kelompok perlakuan ditemukan kenaikan signifikan pH saliva setelah konsumsi keju yang tidak ditemukan pada kelompok kontrol atau yang tidak diberi keju. Kelompok perlakuan keju menaikan pH dari 7,60 menjadi 7,91. Kandungan keju yang dapat berpengaruh pada kesehatan mulut adalah ion kalsium dan fosfat. Ion kalsium berperan pada fisiologi intraseluler dan ekstraseluler dan ion fosfat berperan menghasilkan 15% total buffer saliva. Fosfat alami yang terdapat di mulut hanya efektif ketika dalam keadaan tidak terstimulasi, tetapi ketika aliran saliva tinggi kadar fosfat akan menurun. Karena ion kalsium dan fosfat cukup berperan dalam remineralisasi gigi dan pencegahan karies, maka mengkonsumsi makanan yang mengandung kalsium dan fosfat akan menjaga pH saliva saat fosfat alami sedang turun. Ditemukan bahwa mengkonsumsi keju akan berpengaruh terhadap keseluruhan pH, kalcium, dan fosfat dalam rongga mulut dan menghasilkan efek kariostatik. (Suresh dkk, 2010).

Garam kalsium fosfat (CaP) merupakan mineral utama yang menyusun tulang dan gigi. Di antara jenis garam CaP, hidroksiapatit merupakan yang paling mirip dengan bagian mineral pada tulang. Memiliki rumus kimia Ca10(PO4)6(OH)2, hidroksiapatit merupakan fase kristal dari CaP yang paling stabil secara termodinamik (Sadat-Shojai dkk, 2013).

(38)

29

Proses demineralisasi secara kimia dapat digambarkan sebagai rumus kimia berikut Ca10(PO4)6(OH)2(s) + 8H+(aq) → 10Ca2+(aq) + 6HPO42-(aq) + 2H2O(l). Proses remineralisasi dapat terjadi jika pH di netralkan dan terdapat ion Ca2+ dan PO43- dalam jumlah yang cukup. Pelarutan apatit dapat menjadi netral dengan buffering, dengan kata lain Ca2+ dan PO43- pada saliva dapat mencegah proses pelarutan tersebut. Jika ion asam dinetralkan dan Ca2+ dan HPO42- dapat ditahan, maka remineralisasi dapat terjadi (Cury dan Tenuta, 2009).

Pada kolom 10 menit kemudian ditemukan bahwa pH saliva sudah berangsur kembali ke nilai normal setelah mulai dinetralisir oleh buffer saliva, dari ketiga sampel waktu yang diambil yaitu 7,60 menjadi 7,91 menjadi 7,69.

Buffer saliva diperankan paling banyak oleh bikarbonat 85%, lalu fosfat 14%, dan terakhir protein 1% (Humphrey dan Williamson, 2001). PH yang kembali turun juga sudah menjadi perkiraan peneliti dikarenakan buffer mulut tetap bekerja untuk menetralkan pH saliva secara berangsur setelah paparan yang juga akan mengembalikan fungsi dan pertahanan optimal dari rongga mulut. Peran lain dari buffer saliva adalah menormalkan nilai pH saliva. Dengan adanya sistem buffer, maka pH akan berangsur dinetralkan dan akan kembali normal setelah 20 menit pada paparan karbohidrat cair, dan 40-60 menit pada paparan karbohidrat padat (Pradanta dkk, 2016).

Pada kelompok kontrol yang tidak diberikan keju angka pH saliva tidak mengalami perubahan yang signifikan dari 7,61 menjadi 7,60 menjadi 7,70. Sehingga dapat membuktikan bahwa kenaikan yang terdapat pada kelompok

(39)

30

perlakuan keju bukan positif palsu. Kelompok kontrol juga membuktikan bahwa buffer pH saliva berperan aktif agar nilai pH tetap stabil dan tidak terlalu mengalami perubahan signifikan jika tidak terdapat paparan dari luar. Buffer

saliva mempunyai peran penting untuk membantu menetralkan pH saliva menuju angka normal sekitar 6-7 (Humphrey dan Williamson, 2001).

Hasil analisis yang didapatkan pada analisis tersebut adalah signifikannya pengaruh pemberian konsumsi 8 gram keju cheddar setelah 2 menit bila dibandingkan dengan sebelum mengkonsumsi keju cheddar dan juga dibandingkan kelompok kontrol yang tidak mengkonsumsi keju cheddar. Sedangkan nilai pH setelah 10 menit menunjukan hasil yang tidak berbeda signifikan.

Didapatkan juga angka nilai pH awal yang cukup tinggi atau basa pada sampel anak usia sekolah dasar yaitu sekitar 7,60 jika dibandingkan dengan nilai normal rataan orang dewasa yaitu sekitar 6,70 – 7,00. Regulasi saliva dalam mulut memerlukan pH diatas 5,5 untuk menghindari rusaknya enamel gigi yang berakibat pada erosi gigi. Normalnya pH saliva berada dalam 5,75 – 7, dan dapat mencapai 8 jika terdapat stimulasi sekresi. Protein, fosfat, dan bikarbonat dalam saliva berkontribusi dalam perubahan ph saliva (Garnowicz dkk, 2012).

(40)

31

Potensi kariogenik yang rendah pada keju dapat mencegah demineralisasi gigi melalui dua mekanisme, yakni menstimulasi peningkatan aliran saliva atau dengan meningkatkan kadar kalsium dan fosfat pada saliva. Sedangkan jenis soft cheese akan berperan kariostatik dengan kandungan

calcium phospatase di dalam keju untuk memicu remineralisasi (Johansson, 2002).

(41)

32 BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan

Mengkonsumsi keju cheddar olahan dapat meningkatkan pH saliva pada anak usia sekolah dasar.

B. Saran

Saran untuk penelitian selanjutnya adalah untuk mencoba mentarget subjek penelitian geriatri karena mungkin akan membantu meningkatkan kesehatan geriatri secara keseluruhan dengan manfaat keju yang berasal dari produk olahan susu.

(42)

33

DAFTAR PUSTAKA

Alauddin, S.S. (2004). In Vitro Remineralization of Human Enamel with Bioactive Glass Containing Dentrifice Using Confocal Microscopy and Nanoindentation Analysis for Early Caries Defense. Tesis. Florida: Universitas Florida; 2004.

Ariningrum, R. (2000). Beberapa Cara Menjaga Kesehatan Gigi dan Mulut.

Jakarta:Hipocrates

Amerongen, A.V, Veerman, E.C. (2002). Saliva: The defender of the oral cavity. Oral Dis. 2002;8:12-22.

Atkinson, J.C, Baum, B.J. (2001). Salivary enhancement: Current status and future therapies. J Dental Educ.2001; 65:1096-1101.

Bardo W.A, Hofer E., Nyvad B. (2005). Effect of whole saliva composition on experimental root caries. Caries Res. 2005; 39:71-7.

Budiharto. (2000). Pengaruh Perilaku Ibu Mengenai Kesehatan Gigi terhadap Perubahan Status Radang Gusi, Jurnal Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, Jakarta.

Cury, J.A, Tenuta, L.M.A. (2009). Enamel remineralization: controlling the caries disease or treating early caries lesions?. Braz. oral res. June 2009; 23 (1). Dowd, F.J. (1999). Saliva and dental caries. Dent Clin North Am 1999; 43:

579-97.

Edgar, W.M. (1990). Saliva and dental health. Clinical implications of saliva: report of a consensus meeting. Br Dent J 1990;169:96-8.

Fejerskov, O, Kidd, E. (2008). The role of saliva. In A.Bardow, F. Lagerlof, B. Nauntofte & J.Tenovuo(Eds.), Dental Caries. The Disease and its Clinical Management 2nd edition (pp. 189-207). Oxford: Blackwell Munksgaard Ltd. Garnowicz, A, Bielawaska, A, Bielawski, K. (2012). Proinflammatory cytokines in

saliva of adolescents with dental caries disease. Ann Agric Environ Med. 2012;19:711-16.

(43)

34

Hayden, M.R. (2015). The effect of Cheese on the pH Levels in the Oral Cavity. Honor College Capstone Experience/Thesis Projects, Paper 563. http://digitalcommons.wku.edu/stu_hon_theses/563

Helmerhorst, E.J, Oppenheim, F.G. (2007). Saliva: a dynamic proteome. J Dent Res. 2007;86:680-93

Herijulianti, E. (2001). Pendidikan Kesehatan Gigi. Jakarta:Penerbit Buku Kedokteran EGC

Humphrey, S.P, Williamson, R.T. (2001). A Review of Saliva: Normal Composition, Flow, and Function. J Prosthet Dent. 85:162-9.

Ilyas, Y. (2001). Studi Kasus Karies Gigi di Indonesia. Jakarta:Penebar Swadaya Johansson, I. (2002). Milk and milk products: Possible effects on dental health.

Scandivian Journal of Nutrition 2002; 46:119-122

Marya, C.M. (2011). A textbook of public health dentistry. New Delhi: Jaypee Brothers Medical Publishers (P) Ltd; 2011. 191

Moss, S. (1995). Clinical implications of recent advances in salivary research. J Esthet Dent 1995;7:197-203.

Notoatmojo, S. (2003). Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta: PT Rineka Cipta

Pandey, A.K. (2014). Physiology of Saaliva: An Overview. India: Department of Physiology, All India Institute of Medical Sciences

Panjaitan, M. (1997). Etiologi Karies Gigi Dan Penyakit Periodontal. Ed.1. Medan : USU Press.

Permatasari, I, Andhini, D. (2014). Hubungan Perilaku Menggosok Gigi dan Pola Jajan Anak Dengan Kejadian Karies Gigi Pada Murid SD Negeri 157 Palembang. Jurnal Keperawatan Sriwijaya, Vol.1 No.1

Pradanta, Yazid, Eriansyah, Adhani, R, Khatimah, I.H. (2016). Hubunan Kadar pH dan Volume Saliva Terhadap Indeks Karies Masyarakat Menginang Kecamatan Lokpaikat Kabupaten Tapin. Jurnal Kedokteran Gigi,Vol.1,No. 2

(44)

35

Pratiwi, D. (2007). Gigi Sehat Merawat Gigi Sehari-hari. Jakarta:Kompas

Rakhman, S. (2014). Studi pengembangan dangke sebagai pangan lokal unggulan dari susu di kabupaten Enrekang. Jurnal Aplikasi Pangan 2014; 3(2): 41-5 Roeslan, B.O. (2002). Respon imun di dalam rongga mulut. Majalah Ilmiah

Kedokteran Gigi, Scientific Journal in Dentistry No. 49 Tahun 17, September 2002

Roscoe, J.T. (1975). Fundamental Research Statistics for the Behavioural Sciences, 2nd edition. New York: Holt Rinehart & Winston

Sadat-Shojai, M, Khorasani, M.T, Dinpanah-Khoshdargi, E, Jamsidi, A. (2013).

Synthesis methods for nanosized hydroxyapatite with diverse structures. Acta Biometer2013;9(8):7591-621

Siagian, A, Barus, D. (2008). Hubungan Kebiasaan Makan dan Pemeliharaan Kesehatan Gigi dengan Karies Gigi pada Anak SD 060935 di Jalan Pintu Air II Simpang Gudang Kota Medan, Journal Info Kesehatan Masyarakat; XII(2) Sintawati. F.X. Indirawati T.N. (2009). Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi

Kebersihan Gigi Dan mulut Masyarakat DKI Jakarta Tahun 2007. Jurnal Ekologi Kesehatan. Volume 8. No-1. Maret 2009.hlm 860-873

Suresh, B.S, Ravishankar, T.L, Chaitra, T.R, Mohapatra, A.K. Gupta, V. (2010). Mother Knowledge about pre – scool Child’s oral Health, India: Journal of Indian Society of Pedodontics and Preventive Dentistry.

Thompson, G. (2015). http://www.webmd.com/oral-health/salivary-glands Diakses pada November 2018

Turner, J, Hiroshi, S. (2002). Understanding salivary fluid and protein secretion. Oral Dis. 2002;8:3-11.

University of Newcastle Dental School. (2009). Bite-Sized Tutorials: Salivary Buffering, Bicarbonate & pH Diakses pada November 2018.

(45)

36 Lampiran 1. Tabel Penghitungan Analisis

Descriptive Statistics N Mean Std. Deviation KSebelum 15 7,6047 ,33861 KSesudah 15 7,9127 ,29227 KMenit 15 7,6947 ,23179 VAR00001 15 7,6280 ,38627 VAR00002 15 7,6007 ,44174 VAR00003 15 7,7007 ,28113 Valid N (listwise) 15 Tests of Normality Sampel Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk

Statistic Df Sig. Statistic Df Sig.

Hasil Keju Sebelum ,156 15 ,200* ,934 15 ,317

Keju Sesudah ,147 15 ,200* ,960 15 ,686

Keju Menit Setelah ,107 15 ,200* ,984 15 ,989

Kontrol Sebelum ,099 15 ,200* ,943 15 ,424

Kontrol Sesudah ,182 14 ,200* ,900 14 ,115

Kontrol Menit sesudah ,151 15 ,200* ,900 15 ,097

*. This is a lower bound of the true significance. a. Lilliefors Significance Correction

Test of Homogeneity of Variance

Levene Statistic df1 df2 Sig.

Kontrol Based on Mean ,528 1 28 ,473

Based on Median ,465 1 28 ,501

Based on Median and with adjusted df

,465 1 27,966 ,501

(46)

37

Independent Samples Test

Levene's Test for Equality of

Variances t-test for Equality of Means

F Sig. t df Sig. (2-tailed) Mean Difference Std. Error Difference

95% Confidence Interval of the Difference

Lower Upper

Sebelum Equal variances assumed

,528 ,473 -,176 28 ,862 -,02333 ,13263 -,29501 ,24835

Equal variances not assumed

-,176 27,528 ,862 -,02333 ,13263 -,29522 ,24856

Sesudah Equal variances assumed

2,242 ,145 2,281 28 ,030 ,31200 ,13676 ,03186 ,59214

Equal variances not assumed

2,281 24,286 ,032 ,31200 ,13676 ,02991 ,59409

Menit Equal variances assumed

2,356 ,136 -,064 28 ,950 -,00600 ,09408 -,19871 ,18671

Equal variances not assumed

-,064 27,018 ,950 -,00600 ,09408 -,19903 ,18703

Paired Samples Test

Paired Differences t df Sig. (2-tailed) Mean Std. Deviation Std. Error Mean 95% Confidence Interval of the Difference Lower Upper Pair 1 KSebelum - KSesudah -,30800 ,27548 ,07113 -,46056 -,15544 -4,330 14 ,001 Pair 2 KSesudah – Kmenit ,21800 ,21753 ,05616 ,09754 ,33846 3,881 14 ,002 Pair 3 KSebelum – Kmenit -,09000 ,26047 ,06725 -,23424 ,05424 -1,338 14 ,202

(47)

38 Lampiran 2. Surat-Surat Penelitian

(48)
(49)

40 Lampiran 3. Dokumentasi

Gambar

Tabel 4.1 Demografi Umur Sampel
Tabel 4.3 Hasil Rata-Rata PH Saliva dan nilai P Sampel
Tabel 4.4 Hasil Uji Normalitas

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

Selisih lebih antara biaya perolehan dan bagian Perusahaan atas nilai wajar aset dan kewajiban Anak Perusahaan yang diperoleh dari pihak tidak sepengendali diakui sebagai goodwill

Skripsi dengan judul Motif Jemaat Gereja Huria Kristen Batak Protestan Ressort Surabaya dalam membaca Newsletter (Warta Jemaat) ini secara khusus peneliti

Simpulan dari penelitian yang dilakukan adalah teknologi QR Code telah berhasil diimplementasikan pada sistem input SKKM dalam bentuk website serta menggunakan algoritma Advanced

Ulin mempunyai banyak keunggulan diantaranya (1) kayunya sangat kuat dan sangat awet, digolongkan Kelas Kuat 1 dan Kelas Awet 1, (2) memiliki kemampuan bertunas

Siswa sebagai subjek pendidikan dihadapkan pada banyak tantangan zaman yang menyangkut degenerasi moral (perilaku kenakalan remaja termasuk di dalamnya penyalahgunaan

Situasi yang dihadapi SMK-7 pada saat ini adalah: (1) produktivitas lulusan yang minim; (2) sarana dan fasilitas yang minim; (3) kemampuan sumber daya ma- nusia yang belum

Slavin (2010) menyatakan model cooperative learning tipe JIGSAW adalah salah satu tipe model pembelajaran kooperatif yang terdiri dari tim–tim belajar yang