• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. terdiri dari tiga faktor utama yaitu menciptakan sistem yang efektif (effectiveness),

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. terdiri dari tiga faktor utama yaitu menciptakan sistem yang efektif (effectiveness),"

Copied!
27
0
0

Teks penuh

(1)

1

Dasar pertimbangan pada pengembangan teknologi untuk terapi farmasetis

terdiri dari tiga faktor utama yaitu menciptakan sistem yang efektif (effectiveness), menekan efek bahaya pada sistem jika diaplikasikan (safety), dan membuat agar sistem dapat diterima dengan baik oleh pasien (acceptability (Hillery, dkk., 2001). Tiga pertimbangan ini mengantarkan usaha pengembangan teknologi penghantaran obat hingga pada kemajuan yang pesat. Pertimbangan fisikokimia

dan molekuler meliputi kesetimbangan ion-molekul, kesetimbangan

hidrofilik-lipofilik, proses biofarmasetika, metabolisme dan biodegradasi, afinitas

obat-reseptor, pertimbangan fisiologis, serta biokompatibilitas dari sistem menjadi

faktor utama yang umum diperhatikan dalam melakukan penelitian pada bidang

ini. Meskipun demikian,semakin majunya pemahaman terhadap mekanisme yang

terjadi di dalam tubuh membuat berbagai masalah yang pada mulanya kurang

diperhatikan menjadi bahan pertimbangan yang harus dicarikan solusinya

(Nevozhay, dkk., 2007).

Salah satu strategi penghantaran tertarget yang dapat dilakukan adalah

formulasi dalam bentuk nanopartikel yang dikonjugasikan dengan suatu antibodi

spesifik, untuk menghantar obat kepada sel target yang dituju (Peer, dkk., 2007).

Penelitian terdahulu telah dilakukan untuk menghasilkan suatu sistem

penghantaran obat tertarget yaitu dengan mengkonjugasikan pektin dengan BSA

(2)

perbandingan pereaksi dan waktu reaksi yang diperlukan untuk menghasilkan

konjugasi low methoxyl pektin dengan BSA menggunakan kat Jumlah BSA dan pektin divariasikan dengan perbandingan 0,7-1,6:1. Perbandingan optimum yang

diperoleh digunakan untuk melihat pengaruh waktu reaksi terhadap efektivitas

konjugasi. Variasi waktu yang digunakan antara 4-24 jam pada suhu 4 °C. Untuk

mengetahui keberhasilan konjugasi dilakukan analisis secara kualitatif

menggunakan metode poliakrilamid gel elektroforesis (PAGE) yang dapat

memisahkan BSA yang telah terkonjugasi dan BSA bebas berdasarkan bobot

molekulnya. Hasil analisis kualitatif menggunakan metode elektroforesis

non-denaturasi-PAGE menunjukkan bahwa perbandingan pektin dengan BSA untuk

dapat memberikan hasil konjugasi optimum adalah 1:1 dengan waktu reaksi 8 jam

pada suhu 4 °C (Juhariah, 2015).

Formulasi nanopartikel dengan antibodi penarget juga telah dilakukan oleh

Psycha (2014). Pada penelitian tersebut dilakukan formulasi ekstrak protein daun

M. jalapa L. (RIP-MJ) menjadi nanopartikel dengan polimer alginat-kitosan. Nanopartikel yang terbentuk kemudian dikonjugasikan dengan antibodi

anti-EpCAM menggunakan katalis EDAC untuk meningkatkan efektivitas terapi.

Konsentrasi optimum yang dapat membentuk suspensi nanopartikel adalah

RIP-MJ 0,05%; alginat 0,4%; dan kitosan 1% (b/v) (Wicaksono, 2014).

Didasarkan pada hasil penelitian- penelitian yang tersebut di atas yang

telah memodelkan penghantaran obat dengan nanopartikel yang dikonjugasikan

dengan antibodi penarget maka dikembangkan sebuah penelitian yang bertujuan

(3)

nanopartikel dengan antibodi sehingga bisa ditentukan suatu kondisi yang baik

untuk menghasilkan konjugasi antara polimer dengan antibodi yang optimum.

Proses konjugasi antibodi dengan polimer pembentuk nanopartikel merupakan

salah satu tahap penting, yang akan menentukan keberhasilan proses penghantaran

obat (Lammers, dkk., 2012; Marcucci & Lefoulon, 2004).

Pada penelitian ini dilakukan optimasi kondisi reaksi biokonjugasi yang

terjadi. Pertama dilakukan pemodelan reaksi biokonjugasi yang terjadi antara

suatu nanopartikel dengan antibodi. Pemodelan tersebut dilakukan dengan

menggunakan alginat bebas sebagai nanopartikel dan BSA (Bovine Serum Albumin) sebagai model suatu antibodi dengan menggunakan EDAC sebagai katalis. Optimasi kondisi konjugasi alginat dengan BSA dilakukan untuk

menghasilkan konjugasi yang optimum. Optimasi konjugasi yang dilakukan

adalah dengan memvariasi konsentrasi pereaksi yang digunakan dalam reaksi

konjugasi (Juhariah, 2015).

Melalui pemodelan reaksi konjugasi antara alginat dengan BSA

diharapkan dapat diketahui kondisi reaksi konjugasi yang menghasilkan konjugasi

yang optimum. Keberhasilan terjadinya reaksi biokonjugasi antara alginat dan

dengan BSA dideteksi dengan elektroforesis gel poliakrilamid native dimana sebelumnya hasil reaksi biokonjugasi telah dilakukan pemisahan dengan

menggunakan membran dialisis (50 kDa) untuk menghentikan reaksi dengan

mengeluarkan EDAC serta produk samping yang terbentuk dalam sistem reaksi

(4)

Kondisi reaksi konjugasi yang menghasilkan konjugasi antara alginat

dengan BSA yang paling optimum akan digunakan untuk tahap selanjutnya yaitu

mengkonjugasikan alginat bebas dengan antibodi anti-EpCAM. Keberhasilan

dalam optimasi ini diharapkan dapat digunakan sebagai acuan yang

mempermudah dalam pengembangan nanopartikel sebagai sistem penghantaran

obat tertarget.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana kondisi optimum reaksi konjugasi antara alginat dengan BSA

menggunakan EDAC sebagai katalis reaksi?

2. Apakah antibodi anti-EpCAM dapat dikonjugasikan dengan alginat

menggunakan EDAC sebagai katalis reaksi?

C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum

Penelitian ini bertujuan untuk melakukan reaksi biokonjugasi antara

alginat dengan BSA menggunakan EDAC sebagai katalis serta untuk

melakukan reaksi biokonjugasi antara alginat dengan anti-EpCAM.

2. Tujuan Khusus

a. Untuk mengetahui kondisi optimum reaksi konjugasi yang dapat

menghasilkan konjugasi antara alginat dengan BSA menggunakan EDAC

sebagai katalis reaksi.

b. Untuk melakukan konjugasi antara alginat dengan antibodi anti-EpCAM

(5)

D. Manfaat Penelitian

1. Penelitian ini diharapkan dapat memodelkan reaksi konjugasi

nanopartikel dengan antibodi penarget yang dapat memberikan

gambaran mengenai kondisi optimum untuk memformulasikan suatu

sistem penghantaran tertarget yang dapat digunakan untuk terapi

kanker.

2. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai

metode analisis kualitatif yang tepat untuk mengevaluasi hasil

konjugasi yang dapat menjadi dasar pengembangan nanopartikel

sebagai sistem penghantaran obat untuk terapi kanker.

E. Tinjauan Pustaka

1. BSA (Bovine Serum Albumin)

Bovine serum albumin (BSA) sering digunakan sebagai model untuk

studi fisika-kimia protein karena merupakan polipeptida yang mudah tersedia

(Carter & Ho, 1994). BSA merupakan suatu protein globular yang tersusun

dari dua puluh asam amino esensial dalam struktur yang terdiri dari 583 unit

dengan asam amino terbanyak pertama yaitu leusin ( 60 unit) dan yang kedua

yaitu lisin (59 unit) (Peters, 1995). Asam amino lisin yang memiliki rantai

samping gugus amina dan N-terminal asam amino secara umum merupakan

gugus fungsional penyusun protein yang menjadi sasaran untuk modifikasi

molekul (Wong, 2000). Berat molekul BSA adalah 66500 Da (Peters, 1995;

(6)

BSA sangat mudah larut dalam air dan hanya dapat diendapkan

menggunakan garam netral yang memiliki konsentrasi tinggi seperti

ammonium sulfat. Kestabilan larutan BSA sangat baik, terlebih jika disimpan

dalam keadaan beku (Rani, 2012). Albumin akan mengalami koagulasi oleh pemanasan (Lewis, 1993). Ketika dipanaskan pada suhu 50⁰ C atau lebih, albumin akan segera membentuk agregat hidrofobik yang tidak dapat kembali

ke bentuk monomernya walaupun telah didinginkan (Carter & Ho, 1994).

Albumin memiliki rongga hidrofobik yang dapat mengikat asam

lemak, bilirubin, hormon dan obat (Putnam, 1975). BSA sering digunakan

sebagai penstabil untuk protein terlarut lainnya atau enzim yang labil. Dalam

aplikasi di bidang biokimia, BSA digunakan sebagai Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA), Immunoblots, dan Immuno histo chemistry

(IHC) (Rani, 2012). BSA juga dapat digunakan sebagai standard pada

kalibrasi protein untuk menentukan kuantitas protein lain dengan

menggunakan metode Lowry dan Bradford protein assay, dan sebagai

blocking agent pada Western blots (Putnam, 1975 ; Rani, 2012).

2. EpCAM (Epithelial Cell Adhesion Molecule)

Epithelial cell adhesion molecule (EpCAM) adalah glikoprotein transmembran yang memediasi adesi ion Ca2+-independent homotypic di sel-sel epitelia. EpCAM juga terlibat dalam sinyaling sel-sel, migrasi, proliferasi dan

diferensiasi. EpCAM diekspresikan secara khusus pada sel epitel dan sel

(7)

sebagai penanda diagnosis untuk beberapa jenis kanker (Yemul, Leon Ja,

dkk., 1993).

EpCAM berukuran 30-40 kDa. Sekuen EpCAM diperkirakan terdiri

dari tiga potential N-linked glycosylation sites. EpCAM tersusun dari 314 asam amino yang terdiri dari sebuah domain ekstraselular ( 242 asam amino)

dengan epidermal growth factor (EGF) dan tiroglobulin yang terdiri dari sebuah domain transmembran tunggal (23 asam amino), dan sebuah domain

intraselular pendek ( 26 asam amino) (Lewis, 1993).

EpCAM yang ada pada permukaan dari sebuah sel akan mengikat

EpCAM pada sel lain dengan demikian dua sel tersebut akan saling

berikatan. Adesi yang dimediasi oleh EpCAM bersifat lemah dibandingkan

dengan beberapa adesi molekul lain (Yemul, dkk., 1993). EpCAM dipercaya

terlibat pada karsinogenesis karena kemampuannya menginduksi gen yang

terlibat dalam metabolisme dan proliferasi. EpCAM dapat memotong

molekul yang memiliki potensi onkogenik. Pada saat pemotongan, domain

ekstraselular (EPX) akan lepas ke dalam area di sekitar sel dan domain

intraseluler (EpICD) akan lepas ke dalam sitoplasma sel. Domain intraseluler

(EpICD) adalah sebuat kompleks yang terbentuk dari protein FHL2, β -catenin, dan Lef di dalam nukleus. Kompleks ini kemudian berikatan dengan

DNA dan mempromosikan transkripsi dari berbagai gen. Hal ini berefek

pada promosi pertumbuhan tumor. Apalagi EpEX yang terlepas dapat

(8)

feedback balik yang positif. Jumlah dari β-catenin di nukleus dapat memodulasi tingkat ekspresi EpCAM ( Dunns, 1989).

EpCAM terekspresi tinggi pada permukaan sel kanker sehingga

EpCAM dijadikan sebagai target yang atraktif dari imunoterapi. Peran dari

EpCAM pada sinyaling sel kanker memungkinkan EpCAM dijadikan

sebagai target dari intervensi terapetik. (Chen, dkk, 2004)

Untuk memahami EpCAM sebagai target dari terapi kanker payudara,

dilakukan analisis menggunakan PCR. Pada analisis ini dihasilkan real-time reverse transcription-PCR untuk mengkuantifikasi level ekspresi EpCAM pada sel normal payudara serta primary dan metastatic kanker payudara. Hasil yang didapatkan dari analisis ini yaitu EpCAM teroverekspresi

100-1000 lipatan pada primary dan metastatic kanker payudara. Silencing ekspresi gen EpCAM dengan EpCAM short interfering RNA (siRNA) menghasilkan penurunan kecepatan proliferasi sel sebesar 35-80% pada empat cell line

kanker payudara yang berbeda. Treatmen EpCAM siRNA menurunkan

migrasi sel sebesar 91,8% dan invasi sel sebesar 96% pada cell line kanker payudara MDA-MB secara in-vitro. Data ini membuktikan bahwa EpCAM

berpotensi sebagai target terapi gen dari kanker payudara dan memberikan

pengetahuan dalam mekanisme yang berhubungan dengan gene silencing

(Yian Chen, dkk, 2004).

Antibodi anti-EpCAM dapat ditargetkan pada molekul adhesi epitel

manusia (EpCAM) yang telah diidentifikasi sebagai protein. Antigen ini juga

(9)

Antibodi anti-EpCAM memiliki berat kira-kira molekul 150 kDa (Stahel,

dkk.,1994).

Sel-sel epitel yang normal reaktif terhadap anti-EpCAM.

Anti-EpCAM terdapat pada saluran pernapasan (ekspresinya lebih rendah); sistem

pencernaan bawah; tubulus di ginjal; epitel permukaan ovarium; eksokrin dan

pankreas endokrin; kuman sel sekunder folikel rambut telogen; dan sekresi

tubulus kelenjar keringat di kulit. Selain itu, semua sel epitel di tiroid dan

sel epitel di timus mengekspresikan EpCAM, sedangkan korteks luar dan

sel-sel Hassall memiliki ekspresi yang rendah. Dalam hati, hanya saluran-saluran

empedu tampak positif dengan antibodi anti-EpCAM. Sel non-squamous-carcinoma memiliki ekspresi EpCAM tinggi. Tumor yang timbul dari sel-sel non-epitel, seperti limfoma, mesothelioma, neuroblastoma, dan melanoma,

tidak mengekspresikan EpCAM (Stahel, dkk.,1994).

Antibodi Anti-EpCAM, clone EBA-1, berasal dari hibridisasi SP2 dari

sel myeloma tikus yang diperoleh dengan mengisolasi sel limpa dari tikus

BALB/c yang telah diimunisasi dengan agregat makromolekul yang

mengandung karsinoma payudara terkait musin BCA-225. Anti-EpCAM

yang berasal dari tikus terdiri dari IgG1 rantai berat dan rantai ringan ( Leij,

dkk., 1994). Anti-EpCAM disimpan dalam vial pada suhu 20C- 80C. Dalam

bentuk terkonjugasi tidak boleh dibekukan dan harus terlindungi dari cahaya

(Gonzalez, dkk., 2003).

Gambar 1 adalah hasil uji kualitatif anti-EpCAM (human) menggunakan elektroforesis, yang memperlihatkan migrasi anti-EpCAM dan

(10)

berat molekulnya. Berat anti-EpCAM berdasarkan hasil uji berkisar antara

100 kDa sampai > 250kDa.

Gambar 1. Uji Kualitatif Anti-EpCAM menggunakan SDS-PAGE. (M) marker protein dan (H) Anti-EpCAM (human) (Scott, 2012)

Telah dilakukan penelitian untuk mengkarakterisasi dan validasi

konjugasi antibodi anti-EpCAM terhadap nanopartikel emas menggunakan

SDS-PAGE. Hasil yang ditunjukkan oleh Gambar 2 memperlihatkan migrasi

antibodi EpCAM terkonjugasi Aunp-PEI nanopartikel. Migrasi

anti-EpCAM antibodi diamati bersama dengan peningkatan rasio anti-EpCAMPEI (0,5

nmol / 100 nmol PEI dan seterusnya). Hasil uji menunjukkan perbedaan

migrasi anti-EpCAM terkonjugasi nanopartikel emas dengan anti-EpCAm

bebas. Migrasi anti-EpCAM tidak terkonjugasi nanopartikel emas berada

pada kisaran 150-170 kDa, sedangkan anti-EpCAM bebas menunjukkan

migrasi pada kisaran 150-170 kDa dan di bawah 43 kDa. Pada anti-EpCAM

Anti-EpCAM

(11)

tekonjugasi nanopartikel emas tidak muncul pita di bawah 43 kDa ( Johann,

2004).

Gambar 2. Karakterisasi dan validasi konjugasi Anti-EpCAM terhadap nanopartikel emas menggunakan SDS-PAGE. (1, 2, 3, 4) Konjugasi

anti-EpCAM-nanopartikel emas; (5) anti-EpCAM bebas (Johann, 2004).

3. Alginat

Alginat merupakan senyawa polisakarida hasil ekstraksi dari

kelompok alga coklat yang disebut Alginophyt, yaitu kelompok

Phaeophyceaae yang menghasilkan alginat. Alginat adalah garam dari asam alginat yang mengandung ion natrium, kalsium atau kalium. Alginat yang

banyak dikenal adalah bentuk garam dari asam alginat yang tersusun oleh

asam D- mannuronat dan asam L-guluronat ( Gambar 3) (Subaryono, 2014).

Alginat adalah istilah umum untuk senyawa dalam bentuk garam dan

turunan asam alginat (Glickman, 1983). Natrium alginat digambarkan

sebagai produk karbohidrat yang telah dipurifikasi, diekstraksi dari alga laut

coklat dengan garam alkali. Rumus molekul alginat adalah (C6H7O6Na)n.

Berat molekul alginat adalah 32–200 kDa, berhubungan erat dengan derajat

kD

(12)

polimerisasi 180–930. Nilai pK gugus karboksil adalah 3,4–4,4. Gambar 3

adalah struktur kimia dari polimerisasi alginat. Alginat merupakan poliuronat yang mengandung asam β-D-mannuronat dan asam -L-guluronat, dan kedua asam tersebut dihubungkan oleh ikatan pada C1 dan C4 (Walter, 1991).

(a) (b)

Gambar 3. Struktur Kimia Alginat. (a) Manuronat, ( b) -(,4) L-Asam Guluronat, (c) Asam Manuronat, (d) Asam Poliguluronat (Walter, 1991).

Natrium alginat larut dalam air dan mengental (larutan koloid), tidak

larut dalam alkohol dan larutan hidrokoloid dengan kandungan alkohol lebih

dari 30%, dan tidak larut dalam kloroform, eter dan asam dengan pH kurang

dari 3. Alginat yang larut dalam air membentuk gel pada larutan asam karena (c)

(13)

adanya ion kalsium dan kation logam polivalen lainnya. Penggantian kation

Na+ lebih dari 35% kation Ca2+ akan menghentikan pergeseran molekul dan

terbentuk struktur gel yang stabil (Akiyama, 1992).

Viskositas dari larutan alginat dipengaruhi oleh konsentrasi, pH, bobot

molekul, suhu, dan adanya kation logam polivalen. Semakin tinggi

konsentrasi atau bobot molekul maka semakin tinggi viskositasnya.

Viskositas larutan alginat akan menurun dengan pemanasan, meningkat lagi

bila didinginkan kembali, kecuali dengan pemanasan pada suhu tinggi dan

waktu relatif lama akan mengakibatkan degradasi molekul dan menyebabkan

penurunan viskositas (Klose,dkk., 1972). Larutan garam alginat menunjukkan

sedikit perubahan viskositas pada kisaran pH 4-10, oleh karena itu alginat

dengan kisaran pH tersebut biasa digunakan untuk industri makanan

(Glicksman, 1983).

Alginat memiliki sifat dan karakteristik yang unik dan telah digunakan

untuk carrier berbagai zat atau agen biologis seperti gen, antigen dan obat yang melindunginya selama transit ke tubuh manusia. Mikrokapsul natrium

alginat dan poly-L-lysine secara efektif melindungi jaringan endokrin dari

penolakan imun setelah transplantasi. Alginat meningkatkan stabilitas

metabolic dari ikatan anti-sense oligonukleotida dan melindunginya dari

degradasi pada bovine serum. Selain itu, alginat memiliki sifat biokompatibel,

biodegradabel, dan polimer mukoadhesif yang tidak memproduksi toksik

(14)

Dewasa ini alginat sering digunakan untuk formulasi nanopartikel.

Nanopartikel alginat telah digunakan untuk memformulasi berbagai obat dan

disiapkan dalam lingkungan berair di bawah kondisi sejuk, nanopartikel

alginat terutama cocok untuk formulasi protein, peptida dan oligonukleotida

(Jork, dkk., 2000). Selanjutnya, selain bersifat biodegradabel, alginat juga

nonimunnogenik. Untuk mengurangi tingkat pertukaran dari kation seperti

Ca2+ dengan ion monovalen dalam medium disolusi, alginat anionik sering

digabung dengan molekul kationik seperti kitosan, poly-L-lysine, atau

tripolyphosphate. Beberapa contoh dari berbagai aplikasi dari nanopartikel berbasis alginat telah dijelaskan. Nanopartikel alginat disiapkan dengan

tripolyphosphate digunakan untuk penghantaran oral. Studi dari sifat fisik

menunjukkan bahwa nanopartikel alginat-kitosan cocok untuk penghantaran

DNA. Nanopartikel alginat yang dilapisi dengan kitosan meningkatkan

stabilitas dan menurunkan pelepasan cepat dari ovalbumin. Studi melaporkan

bahwa nanopartikel alginat yang distabilkan dengan kitosan dapat

meningkatkan bioavailabilitas dan pelepasan diperpanjang dari obat antijamur

dibandingkan dengan nanopartikel PLGA (Poly-Lactic Glycolic Acid). Walaupun sebagian besar digunakan untuk pemberian oral, nanopartikel

alginat inhalasi meningkatkan bioavailabilitas dari obat antituberkulosis. In

vivo, nanopartikel alginat terakumulasi dalam sel Kupffer, sel parenkim

dalam hati dan fagosit dalam limpa dan hati (Hoefler, 2004). Nanopartikel alginat juga dilaporkan untuk diabsorbsi pada Peyer’s patches, memberi

(15)

kesan bahwa ini akan meningkatkan kemampuan target pada mukosa usus

(Kim ,dkk., 2000).

4. EDAC (1-etil-(3-dimetilpropilamin) karbodiimida hidroklorida)

Karbodimida digunakan untuk mengkatalis pembentukan ikatan amida

antara suatu karboksilat dengan amina atau ikatan fosforamidat antara fosfat

dan amina (Hermanson, 1996).

Gambar 4. Struktur Kimia EDAC ( Hermanson, 1996)

EDAC atau (1-etil-(dimetilpropilamin) karbodiimida hidroklorida)

merupakan salah satu jenis katalis. Menurut McGuire (1965), pada awalnya

EDAC mengalami protonasi sehingga terbentuk suatu karbokation reaktif

yang dapat diserang oleh suatu nukleofil. Jika tidak terdapat asam karboksilat

yang tidak terdisosiasi maka karbokation tersebut dapat terhidrolisis dengan

(16)

Gambar 5. Pembentukan Karbokation dan Hidrolisis pada Karbodiimida/EDAC (McGiure, 1965)

Selanjutnya atom N tersubtitusi pada karbodiimida (EDAC) dapat

bereaksi dengan asam karboksilat untuk membentuk intermediet

O-asilurea yang sangat reaktif. Sisi aktif ini dapat bereaksi dengan suatu

nukleofil seperti amina primer untuk membentuk ikatan amida (Nakajima,

dkk., 1995), Reaksi pembentukan amida menggunakan katalis EDAC

tersebut dapat dilihat pada Gambar 6.

Gambar 6. Reaksi Biokonjugasi Pembentukan Amida dengan Katalis EDAC (Hermanson, 1996) .

(17)

Reaksi pembentukan ikatan amida yang oleh carbodiimide terjadi

secara efektif antara pH 4,5 hingga 7,5 dan buffer yang umum digunakan

adalah buffer MES (4-morpholinoethanesulfonic acid) jika kondisi reaksi yang dibutuhkan dalam suasana asam, dan digunakan buffer fosfat jika reaksi

dilakukan pada pH netral (Hermanson, 1996).

Asil urea merupakan produk samping utama jika reaksi dilakukan

pada temperatur tinggi oleh karena itu dibutuhkan temperatur yang cukup rendah (misal, sekitar 0⁰C) pada saat reaksi berlangsung. Selain itu penambahan kelompok amina juga dapat mengurangi pembentukan asil urea

(Bauminger, dkk., 1980).

Suatu reaksi biokonjugasi dengan menggunakan EDAC menghasilkan

suatu produk samping isourea dimana produk samping ini dapat dipisahkan

dengan metode dialisis atau gel filtrasi (Hermanson, 1996). Sistem dialisis

yaitu suatu teknik klasik laboratorium yang berhubungan dengan difusi

selektif suatu molekul melewati membran semipermiabel untuk memisahkan

molekul berdasarkan ukurannya (Witus, 2012).

Karbodiimida dapat diaplikasikan untuk sintesis protein dan

modifikasi polisakarida. Naoki Nakajima dan Yoshito Ikada (1994)

melakukan biokonjugasi menggunakan EDAC antara suatu senyawa dengan

gugus karboksilat didalamnya (asam malat, asam poliakrilat, asam fumarat

dan polietilen glikol) dengan suatu gugus amin (etilen diamin dan

(18)

Hermanson (1996) menyebutkan bahwa reaksi biokonjugasi peptida

dengan protein dengan menggunakan EDAC dapat dilakukan dengan mengambil 200μL (10mg/mL) dalam MES pH 4,7 dicampurkan dengan 500

μL (2 mg/500 μL) dengan penambahan EDAC 10 mg. Selain itu protokol

Uptima (2005) menyebutkan bahwa 2 mg peptida direaksikan dengan 2 mg

protein dalam larutan dapar MES, 0,5-1 mg EDAC ditambahkan dalam

campuran peptida-protein (biasanya 0,5 mg BSA cocok untuk 1 mg BSA dan

1 mg protein), diinkubasi 2-4 jam pada suhu kamar yang selanjutkan

dilakukan dialisis. Suatu protokol menyebutkan bahwa peptida dan protein

yang digunakan menggunakan perbandingan 1:1 dimana 1-2

mg/mLprotein/peptida dilarutkan dalam 1 mL larutan dapar MES dengan 0,8

mg EDAC. Selanjutnya dilakukan pencampuran dengan menggunakan vortex

dan diinkubasi elama 1,5-3 jam pada suhu ruang (Carter, 1996).

5. Biokonjugasi

Konjugasi (Crosslinking) merupakan suatu proses kimia untuk menggabungkan dua atau lebih molekul dengan suatu ikatan kovalen. Teknik

ini dapat disebut sebagai biokonjugasi jika molekul yang digabungkan berupa

biomolekul (Hayworth, 2014).

Sistem biokonjugasi dapat diaplikasikan untuk membuat suatu sistem

termodifikasi berbasis protein yang berfungsi untuk deteksi, assay tracking

atau mentarget suatu molekul biologi. Biokonjugasi antara suatu molekul

sintetik dengan suatu protein memiliki peranan yang besar dalam dunia

(19)

dengan menggabungkan suatu polimer atau suatu molekul obat pada protein.

Dari banyak jenis sekuens asam amino protein, hanya beberapa gugus

fungsional saja yang menjadi target dalam biokonjugasi, misalkan amina

primer (-NH2), karboksilat (-COOH), sulfhydryl (-SH) dan karbonil (-CHO)

( Tabel 1 ).

Tabel 1. Jenis-jenis Katalis dan Crosslinker berdasarkan gugus reaktif target (Hayworth, 2014)

Gugus Fungsional Reaktif Jenis Crosslinker dan Katalis

Karboksil – Amina Karbodiimida (misal, EDC)

Amina-Amina

NHS ester, Imidoester, Pentafluorofenil ester, Hidroksimetil ester

Sulfihidril- Sulfihidril

Maleimide, Haloasetil (Bromo- atau Iodo-), Piridildisulfida, Tiosulfonat

Teknik biokonjugasi tergantung pada gugus fungsional reaktif dari

reagen crosslinking maupun dari molekul target. Jika salah satu tidak memiliki gugus fungsional reaktif, atau jika keduanya tidak kompatibel maka

reaksi konjugasi tidak akan berhasil (Hermanson, 1996). Sehingga jika ingin

mendapatkan hasil reaksi yang optimal, perlu dilakukan pemilihan antara

reagen crosslinking dan molekul target yang tepat.

Reagen biokonjugat memiliki gugus fungsi yang reaktif secara

spontan dan selektif untuk terikat pada gugus fungsional spesifik molekul

target. Sebagian reagen tidak secara langsung dapat menjadi crosslinker, tetapi ada yang akan membentuk intermediet aktif yang akan berikatan

(20)

dengan molekul kedua yang memiliki komposisi kimia yang tepat untuk

melakukan reaksi (Witus, 2012).

Gugus reaktif dari crosslinker telah dikarakterisasi dan digunakan untuk melabel suatu ligand, protein, peptida, karbohidrat, polimer sintesis,

dan lain-lain (Hermanson, 1996). Crosslinker dengan dua gugus reaktif yang berbeda dapat disintesis menjadi satu bagian dengan mengkombinasikan

gugus reaktif yang berbeda tersebut dengan suatu molekul. Ketika dikombinasikan maka akan terbentuk ‘back bone’ (disebut sebagai spacer arms karena menentukan jarak antar gugus reaktif) (Hayworth, 2014). Tujuan dari konjugasi ini adalah untuk menaikkan sifat farmakokinetik dari

komponen terapinya (Witus, 2012).

6. Elektroforesis Gel Poliakrilamid

Metode elektroforesis menggunakan gel poliakrilamid dapat

digunakan untuk memisahkan protein berdasarkan perbedaan berat atau

ukuran molekulnya. Penggunaan poliakrilamid mempunyai keunggulan

dibandingkan dengan gel lainnya, karena tidak bereaksi dengan sampel dan

tidak membentuk matriks dengan sampel, sehingga tidak menghambat

pergerakan sampel yang memungkinkan pemisahan protein secara sempurna

(Leber, dkk., 1997). Selain itu, gel poliakrilamid ini mempunyai daya

pemisahan yang cukup tinggi. Gel poliakrilamid merupakan hasil polimerasi

dari monomer akrilamid dengan adanya N, N’-methylene-bis-akrilamid (bis-akrilamid) yang berfungsi sebagai pembentuk silang, dimana keduanya akan

(21)

yang biasanya digunakan adalah amonium persulfat (APS). Untuk

mendekomposisi APS agar menjadi senyawa radikal dan menyetabilkannya,

maka ditambahkan TEMED (N,N,N’,N’-tetrametil etilendiamin). Ukuran pori gel sangat ditentukan oleh perbandingan jumlah akrilamid dan bis-akrilamid

(Walker, 2002)

Gambar 7. Polimerasi akrilamid ( Walker, 2002)

Ukuran pori-pori suatu gel poliakrilamid dapat diatur dengan mudah

dengan mengubah konsentrasi dari gel poliakrilamid itu sendiri (Klein,

2001). Apabila protein yang ingin dipisahkan memiliki ukuran ~5-50 kDa

maka pori-pori gel poliakrilamid yang dibutuhkan adalah 18%, pemisahan

protein dengan ukuran molekul ~5-60 kDa membutuhkan 16% gel

poliakrilamid. Jika ukuran protein yang ingin dipisahkan antara ~10-80 kDa,

~20-150 kDa, ~30-200 kDa, ~40-250 kDa, ~60-300 kDa dan ~100-400 kDa

maka pori gel yang dibutuhkan berturut-turut adalah 14%, 12%, 10%, 8%,

6% dan 12% (Smet, dkk., 2006).

Teknik pewarnaan pada metode elektroforesis gel poliakrilamid

(22)

(gugus asam sulfonat) secara elektrostatistika akan berinteraksi dengan

amina dari protein (Wilson,1994). Struktur Commasie blue dapat dilihat pada Gambar 8.

Gambar 8. Struktur Commasie Blue (Wilson, 1994)

Terdapat dua macam gel yang digunakan dalam pemisahan protein

menggunakan gel poliakrilamid, yaitu gel penumpuk (stacking gel) dan gel pemisah (separating gel). Gel pemisah digunakan untuk memisahkan protein berdasarkan bobot molekulnya. Ukuran pori gel pemisah dapat

berfariasi sesuai dengan range ukuran protein yang ingin dipisahkan.

Stacking gel berfungsi untuk tempat loading sampel atau ruang pembatas

antar sampel. Ukuran pori gel pada bagian ini sangat besar yaitu sekitar 4%

(23)

a. SDS-PAGE Protein

SDS-PAGE merupakan metode yang secara luas digunakan untuk

menganalisis protein secara kualitatif berdasarkan ukurannya dan dapat

digunakan pula untuk menentukan berat molekul relatif suatu protein

(Walker, 2002).

Dalam metode ini, sampel buffer yang digunakan mengandung

β-mercaptoethanol dan SDS. SDS (Sodium Dodecyl Sulphate) dengan struktur

kimia CH3-[CH2]10-CH2OSO3-Na+ merupakan suatu deterjen anionik yang

memiliki ujung hidrofobik pada bagian dodecyl, dan bagian yang sangat bermuatan pada gugus sulfatnya. SDS akan mendenaturasi protein. Protein

memiliki empat macam struktur, yaitu struktur primer, sekunder, tersier, dan

kuartener. Struktur primer tergantung dari jumlah dan jenis asam amino

yang menyusun suatu protein. Struktur sekunder tergantung pada alpha helix dan beta pleated sheet yang menentukan struktur reguler maupun pola lipatan protein. Struktur tersier protein berbicara tentang bentuk tiga

dimensi dari protein, sedangkan stuktur kuartener tergantung pada rantai

polipeptida atau subunit yang menyusun protein (Putnam, 1975). SDS akan

terikat kuat pada bagian hidrofobik asam amino yang menentukan

konformasi 3D protein. Akibat terikat oleh SDS maka struktur globular

protein akan terdenaturasi total menjadi protein yang linear (Hames, 2000).

Struktur linear ini menjadikan protein kehilangan muatan

non-denaturasi-nya dan menjadi bermuatan negatif. Akibat perlakuan tersebut tidak ada

(24)

digunakan untuk memutus ikatan disulfida yang membentuk struktur tersier

suatu protein (Walker, 2002).

Karena memiliki muatan negatif yang sama pada rantai peptidanya,

saat diberi medan listrik, ptrotein-SDS akan bermigrasi ke arah anoda pada

gel pemisah dengan kecepatan yang sama pula. Walaupun memiliki

kecepatan migrasi yang sama, namun ukuran protein juga menentukan

seberapa jauh protein tresebut dapat bermigrasi dalam gel pemisah

(Subramananiyan, 2002).

b. Non-denaturasi-PAGE Protein

Non-denaturasi-PAGE digunakan jika ingin mempertahankan bentuk

non-denaturasi protein yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi

aktivitas biologi misal, aktivitas enzym, ikatan reseptor, ikatan antibodi dan

lain sebagainya Pada tipe non-denaturasi, tidak digunakan SDS maupun

agen pereduksi lainnya seperti merkaptoetanol pada saat preparasi gel

elektroforesis, loading buffer dan running buffer, selain itu pemanasan

sampel juga tidak diperlukan (Paech, 2002).

Migrasi protein melewati gel elektoforesis menuju anoda dipengaruhi

oleh berbagai macam faktor seperti, ukuran molekul, bentuk dan muatan

non-denaturasi dari protein itu sendiri. Oleh karena itu resolusi dari

Non-denaturasi-PAGE tidak sebaik pada SDS-PAGE, namun teknik ini sangat

bermanfaat jika ingin mempertahankan struktur non-denaturasi protein

(25)

Muatan non-denaturasi protein dapat dipengaruhi oleh pH gel. Jika

pH gel lebih kecil dari titik isoelektrik (pI) protein sampel, maka akan

menghasilkan muatan positif pada protein, dan jika di atas pI protein maka

akan memberikan muatan akhir negatif. Protein sampel harus memiliki pI <

7.0 agar memiliki muatan negatif agar dapat menuju anoda. Secara umum,

pada pH 2,0 hingga 4,0 maka protein akan bermuatan positif, dan akan

bermuatan negatif pada pH diatas 8.0. Oleh karena itu pemilihan pH yang

cocok sangat penting untuk memastikan bahwa protein yang kita inginkan

dapat bermigrasi dalam gel. pH Gel dapat kita kontrol dengan menentukan

pH larutan dapar sampel yang digunakan (Gallagher, 1999).

F. Landasan Teori

Penelitian terdahulu menyebutkan bahwa untuk menghasilkan suatu

sistem penghantaran obat tertarget maka dilakukan formulasi nanopartikel

yang dikonjugasikan dengan suatu antibodi penarget. Dalam penelitian

tersebut nanopartikel diformulasi menggunakan metode kompleks

polielektrolit dengan alginat dan kitosan viskositas rendah. Selanjutnya

nanopartikel dikonjugasikan dengan antibodi anti-EpCAM menggunakan

EDAC sebagai katalis.

Pemodelan nanopartikel menggunakan polimer pektin yang

dikonjugasikan dengan BSA menggunakan katalis EDAC juga telah diteliti.

Pektin yang memiliki gugus karboksilat dapat bereaksi dengan EDAC

menghasilkan suatu intermediet aktif yang dapat bereaksi dengan gugus

(26)

menghasilkan suatu biokonjugasi antara pektin dengan BSA. pH suatu

reaksi konjugasi dengan menggunakan EDAC berkisar antara pH 4,7 – 6.

Dapat dikatakan bahwa pH optimal suatu reaksi konjugasi berada diantara

rentang tersebut.

Penelitian terdahulu telah berhasil memodelkan konjugasi polimer

pektin dengan BSA menggunakan katalis EDAC dan menjelaskan spesifik

kondisi reaksi biokonjugasi. Keberhasilan pemodelan reaksi konjugasi

nanopartikel dengan antibodi melalui konjugasi pektin dan BSA yang

pernah dilakukan mendasari dilakukannya penelitian ini untuk memeriksa

lagi kondisi reaksi konjugasi yang optimum untuk mengkonjugasikan suatu

polimer pembentuk nanopartikel selain pektin yaitu alginat dengan antibodi

menggunakan katalis EDAC.

Mekanisme pembentukan ikatan amida antara alginat dengan BSA

yang diperantarai oleh EDAC terjadi dalam dua tahap. Pertama, karbonil

alginat (2) diaktivasi oleh EDAC yang telah terprotonasi (1) dan

menghasilkan senyawa intermediet aktif O-asil-isourea (3). Kedua, senyawa

intermediet aktif tersebut akan berikatan secara kovalen dengan gugus amin

primer pada protein BSA (4) dan menghasilkan alginat yang terkonjugasi

dengan BSA melalui ikatan amida (5) serta hasil samping berupa

1-etil-3-(dimetilaminopropil) urea (derivat urea) (6). Tahap pertama reaksi konjugasi

merupakan reaksi dengan laju cepat karena EDAC merupakan senyawa

(27)

Gambar 9. Mekanisme konjugasi alginat dengan Anti-EpCAM menggunakan katalis EDAC (Sheehan, Hess, 1955) .

G. Hipotesis

1. Alginat dapat dikonjugasikan dengan BSA menggunakan katalis EDAC

apabila dilakukan optimasi pada kondisi reaksi konjugasinya.

2. EDAC dapat mengkatalis reaksi konjugasi antara alginat dengan anti-EpCAM pada kondisi optimum.

Gambar

Gambar 1. Uji Kualitatif Anti-EpCAM menggunakan SDS-PAGE.
Gambar 2. Karakterisasi dan validasi konjugasi  Anti-EpCAM  terhadap nanopartikel  emas menggunakan SDS-PAGE
Gambar 3. Struktur Kimia  Alginat. (a) Manuronat, ( b)  -(,4) L-Asam Guluronat, (c)  Asam Manuronat, (d) Asam Poliguluronat (Walter, 1991)
Gambar 4. Struktur Kimia EDAC ( Hermanson, 1996)
+6

Referensi

Dokumen terkait

Faktor kecerdasan emosional dan kepercayaan diri diambil sebagai variabel independen karena menurut pengamatan, masih banyak mahasiswa yang kecerdasan emosionalnya kurang,

Saat ini transportasi sangat dibutuhkan oleh suatu perusahaan sebagai pendukung kemajuan suau perusahaan, sehingga untuk memenuhi kualitas bis yang baik maka

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penerapan aplikasi geogebra pada materi garis singgung lingkaran terhadap minat belajar siswa. Penelitian ini

Di sisi lain, defisit pada Transaksi Berjalan (TB) tercatat meningkat relatif tinggi, terutama didorong oleh terus menurunnya ekspor karena perlambatan ekonomi global dan

Perolehan TiO 2 dapat ditingkatkan dengan mengeliminasi Fe menjadi FeCl 2 pada proses pelarutan HCl baik yang berasal dari proses reduksi karbon maupun

kelompok blanko, krim ekstrak kulit manggis 2, 3, 4 dan 5% pada saat sebelum penyinaran, setelah penyinaran, serta pemulihannya pada minggu pertama, kedua, ketiga dan keempat ...

Setelah bagian purchasing memesan material dan melakukan pembayaran kepada supplier maka barang akan dikirim kepada perusahaan. Setelah melakukan pengiriman barang, supplier