• Tidak ada hasil yang ditemukan

PREVALENSI DAN KARAKTERISTIK NYERI KEPALA TERKAIT EPILEPSI DI RS. HASAN SADIKIN BANDUNG

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PREVALENSI DAN KARAKTERISTIK NYERI KEPALA TERKAIT EPILEPSI DI RS. HASAN SADIKIN BANDUNG"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

Artikel Penelitian  

PREVALENSI DAN KARAKTERISTIK NYERI KEPALA

TERKAIT EPILEPSI DI RS. HASAN SADIKIN BANDUNG

PREVALENCE AND CHARACTERISTICS OF SEIZURE RELATED HEADACHE

AT HASAN SADIKIN HOSPITAL BANDUNG

Mariana*, Henny Anggraini Sadeli**, Suryani Gunadharma**

ABSTRACT

Introduction: Epilepsy and headache are the most disabling disorders in community.

Seizure-related headache can be divided into preictal, ictal, and postictal. headache. Headache can be used as a good prediction and/or indicator of the seizure.

Aims: To know the prevalence and characteristics of seizure related headache

Methods: This descriptive study was done to 124 epileptic patients with headache (from

total 326 epileptic patients during the period, April- August 2013) at our outpatient clinic Hasan Sadikin Hospital Bandung, using a standardized questionnaire.

Results: Of the 326 epileptic patients, 64 patients (19.6%) experienced seizure-related

headache and most of them experienced postictal headache (15%) and non-migraine headache occurred in 77.5 % of postictal headache. To date neither the IHS 2004 nor ILAE has mentioned preictal headache, which occurred in 28 (8.6%) of 326 patients, and aura cephalgia occurred in 53.6 % of all preictal headache. In 13 (4%) of 326 patients experienced preictally and postictally. Most of seizure-related headache experienced localized headache at both sides, with duration less than an hour. More than three quarters of them did not take any medication for headache treatment, although 89.3%-89.8% patients with moderate to severe pain intensity, 57.1% -69.4% patients with seizure frequency of once or more every month and 64.3% -71.4% patients always and often experience seizure related headache.

Conclusions: Prevalence of seizure related headache was 19.6% and most of them

experienced postictal headache.

Key words: Epilepsy, preictal headache, postictal headache. ABSTRAK

Pendahuluan: Epilepsi dan nyeri kepala merupakan kelainan neurologis yang sering ditemukan di masyarakat. Nyeri kepala terkait epilepsi dibagi atas nyeri kepala praiktal, iktal, dan pascaiktal. Nyeri kepala tersebut dapat sebagai prediktor dan indikator terjadinya bangkitan.

Tujuan: Untuk mengetahui prevalensi dan karakteristik nyeri kepala terkait epilepsi. Metode: Penelitian deskriptif terhadap pasien epilepsi yang mengalami nyeri kepala selama periode April-Agustus 2013 di Instalasi Rawat Jalan Neurologi RS Hasan Sadikin Bandung dengan menggunakan kuesioner berisi pertanyaan yang sudah distandardisasi.

Hasil: Dari 326 pasien, 64 subjek (19,6%) mengalami nyeri kepala terkait epilepsi dengan nyeri kepala pasca iktal paling banyak ditemukan (15%) dari seluruh pasien epilepsi dan 77,5% dari nyeri kepala pasca iktal sebagai nyeri kepala bukan migren. Nyeri kepala praiktal yang belum ada pada klasifikasi IHS 2004 maupun ILAE, dialami 28 (8,6%) dari 326 pasien dan aura sefalgia ditemukan pada 53,6% dari keseluruhan nyeri kepala praiktal. Sebanyak 13 pasien (4%) mengalami kombinasi nyeri kepala praiktal dan pascaiktal. Pada pasien nyeri kepala terkait epilepsi lokasi paling sering di kedua sisi kepala dengan lama nyeri berlangsung kurang dari satu jam. Lebih dari tiga perempat pasien tidak memakan obat analgetik, walaupun 89,3%-89,8% pasien dengan intensitas nyeri sedang berat, 57,1%-69,4% pasien dengan frekuensi bangkitan ≥1x/bulan dan 64,3%-71,4% pasien selalu dan sering mengalami nyeri kepala terkait epilepsi.

Kesimpulan: Prevalensi nyeri kepala terkait epilepsi di IRJ RSHS Bandung yaitu 19,6% dengan nyeri kepala paska-iktal paling banyak ditemukan.

(2)

Artikel Penelitian  

Kata Kunci: Epilepsi, nyeri kepala pascaiktal, nyeri kepala praiktal.

*Peserta Program Dokter Spesialis Ilmu Penyakit Saraf FK Universitas Padjadjaran/RSUP Dr. Hasan Sadikin, Bandung, **Staf pengajar Departemen Neurologi FK Universitas Padjadjaran/RSUP Dr. Hasan Sadikin, Bandung. Korespondensi: mariana09pku@gmail.com.

PENDAHULUAN

Epilepsi merupakan salah satu kelainan neurologis yang paling sering ditemukan. Penelitian di delapan negara Asia termasuk Indonesia didapatkan angka median prevalensi rata-rata 4,7/1000.1 Di samping epilepsi, nyeri kepala juga merupakan satu gangguan medis yang sering dikeluhkan.2 Salah satu gejala yang berhubungan dengan bangkitan epilepsi adalah nyeri kepala. Nyeri kepala yang berhubungan dengan bangkitan epilepsi dibedakan atas nyeri kepala praiktal, iktal dan pascaiktal.

Kejadian nyeri kepala praiktal bervariasi antara 3–11% dari semua pasien epilepsi yang mengeluh nyeri kepala.3,4 Nyeri kepala praiktal adalah nyeri kepala yang berhubungan dengan epilepsi dan terjadi dalam waktu 30 menit sampai 24 jam sebelum bangkitan.3 Pada penelitian ini aura sefalgia dimasukkan ke dalam nyeri kepala praiktal. Aura biasanya terjadi dalam hitungan detik dan menit dan terjadi sesaat sebelum bangkitan.5

Parisi dkk6 menganalisis laporan penelitian kasus potensial nyeri kepala iktal dari tahun 1971-2012, hanya didapatkan sebanyak 12 laporan kasus nyeri kepala iktal. Nyeri kepala iktal memberikan gambaran klinis nyeri kepala merupakan satu-satunya manifestasi bangkitan epilepsi dan harus dibuktikan dengan perekaman elektroensefalografi.

Nyeri kepala pascaiktal ditemukan paling tinggi, bervariasi antara 13-52% pasien epilepsi.7 Nyeri kepala pascaiktal adalah nyeri kepala dengan gambaran nyeri kepala tipe tegang atau migren dimana nyeri kepala berkembang dalam 3 jam setelah bangkitan dan menghilang 72 jam setelah bangkitan.8

Berdasarkan uraian diatas diketahui bahwa angka kejadian nyeri kepala terkait epilepsi cukup tinggi, dapat mencapai 52%, di lain pihak keluhan nyeri kepala jarang dilaporkan pada pasien epilepsi yang berobat di IRJ RSHS. Diketahuinya karakteristik nyeri kepala terkait epilepsi dapat memberikan banyak keuntungan, seperti pada nyeri kepala praiktal, pasien dapat lebih mengantisipasi akan terjadinya bangkitan epilepsi. Pada nyeri kepala pascaiktal (misalnya pada bangkitan lobus frontal), pasien dapat mengevaluasi diri terjadinya bangkitan saat tidur.

METODE

Penelitian ini merupakan suatu penelitian deskriptif analitik pada pasien epilepsi yang menjalani rawat jalan di Instalasi Rawat Jalan Neurologi RS Hasan Sadikin, Bandung. Subjek diambil secara konsekutif jika memenuhi kriteria inklusi: a) pasien dengan diagnosis klinis epilepsi yang telah dilakukan EEG, b) terdapat klinis nyeri kepala terkait epilepsi, c) usia diatas 14 tahun, dan d) bersedia ikut penelitian, serta tidak terdapat kriteria eksklusi, yaitu tidak mampu berkomunikasi dengan baik atau terdapat gangguan kognisi (MMSE<24).

Data yang terkumpul kemudian dinilai prevalensi dan karakteristik nyeri kepala terkait epilepsi berdasarkan kuesioner yang dibuat khusus untuk penelitian. Nyeri kepala terkait epilepsi dibagi atas nyeri kepala praiktal, iktal, dan pascaiktal. Karakteristik nyeri kepala terkait epilepsi meliputi tipe nyeri kepala, lokasi nyeri kepala, intensitas nyeri kepala, frekuensi dan lama nyeri kepala, frekuensi bangkitan, dan terapi.7,9,10 Intensitas

(3)

Artikel Penelitian  

nyeri kepala dinilai dengan Visual Analog Scale (VAS) dan digolongkan menjadi nyeri ringan (VAS 1-3), sedang (4-7), dan nyeri berat (8-10).

HASIL

Didapatkan 124 pasien dengan nyeri kepala dari 326 pasien epilepsi selama periode April-Agustus 2013, yang terdiri dari 64 (19,6%) subjek mengalami nyeri kepala terkait epilepsi dan sisanya nyeri kepala lainnya. Median usia subjek adalah 31 (14-63) tahun dan median usia serangan pada 18 (4-63) tahun (Tabel 1).

Tabel 1. Karakteristik Subjek Penelitian (n=64)

Variabel N % Jenis Kelamin • Laki-laki 32 50,0 • Perempuan 32 50,0 Pekerjaan • Bekerja 31 48,4 • Tidak bekerja 30 46,9 • Pelajar/ siswa 3 4,7 Pendidikan • Sekolah Dasar 18 28,1

• Sekolah Menengah Pertama 15 23,4

• Sekolah Menengah Atas 22 34,4

• Diploma/S1 9 14,1

Jenis nyeri kepala (NK)

• NK praiktal 15 23,4

• NK iktal 0 0

• NK pascaiktal 36 56,3

• NK pra dan pascaiktal 13 20,3

Diagnosis

• Epilepsi lobus temporal 48 75,0

• Epilepsi lobus frontal 12 18,7

• Epilepsi lobus oksipital 2 3,1

• Epilepsi lobus parietal 1 1,6

• Epilepsi umum primer 1 1,6

Terapi • Karbamazepin 29 45,3 • Luminal 15 23,4 • Fenitoin 13 20,3 • Belum pernah 3 4,7 • Valproat 2 3,1 • Okskarbazepin 1 1,6 • Levetiracetam 1 1,6

Tipe nyeri kepala praiktal terbanyak dalam penelitian ini adalah aura sefalgia (53,6%), disusul migren dan nyeri kepala bukan migren (Tabel 2), sedangkan pada pascaiktal adalah nyeri kepala bukan migren (77,55%). Mayoritas nyeri terasa di kedua sisi kepala (67,9% dan 73,5%) dengan intensitas sedang (64,3% dan 71,4%) pada jenis epilepsi lobus temporal (85,7% dan 71,4%).

Tabel 2. Karakteristik Nyeri Kepala Pre dan Pascaiktal (n=64)

(4)

Artikel Penelitian  

Tipe nyeri kepala Aura sefalgia 15 (53,6)

Migren 8 (28,6) 11(22,4)

Lokasi

Nyeri kepala bukan migren 5 (17,9) 38 (77,5)

Satu sisi 9 (32,1) 13 (26,5) Intensitas Dua sisi 19 (67,9) 36 (73,5) Ringan 3 (10,7) 5 (10,2) Sedang 18 (64,3) 35 (71,4) Frekuensi Berat 7 (25,0) 9 (18,4) Selalu 13 (46,4) 29 (59,2) Sering 5 (17,9) 6 (12,2) Kadang-kadang 9 (32,1) 12 (24,5) Durasi Jarang 1 (3,6) 2 (4,1) <1 jam 18 (64,3) 25 (51,0) 1-12 jam 8 (28,6) 18 (36,7) Analgetik >12 jam 2 (7,1) 6 (12,2) Tanpa analgetik 23 (82,1) 38 (77,5) Parasetamol 5 (17,9) 10 (20,4) OAINS - 1 (2,0)

Jenis epilepsi Epilepsi lobus temporal 24 (85,7) 35 (71,4) Epilepsi lobus frontal 3 (10,7) 10 (20,4) Epilepsi umum primer 1 (3,6) 1 (2,0)

Epilepsi lobus parietal - 1 (2,0)

Epilepsi lobus oksipital - 2 (4,1)

Frekuensi bangkitan <1x/bulan ≥1x/bulan

12 (42,9) 16 (57,1)

15 (30,6) 34 (69,4) Obat anti epilepsi Karbamazepin 11 (39,3) 23 (46,9)

Luminal 8 (28,6) 12 (24,5) Fenitoin 7 (25,0) 9 (18,4) Valproat 2 (7,1) - Okskarbazepin - 1 (2,0) Levetiracetam - 1 (2,0) Belum pernah - 3 (6,1)

*OAINS: Obat anti inflamasi nonsteroid

PEMBAHASAN

Didapatkan 64 subjek (19,6%) yang mengalami nyeri kepala terkait epilepsi. Nyeri kepala yang paling sering ditemukan adalah nyeri kepala pascaiktal 49 pasien (76,6%) atau 15% dari total 326 pasien epilepsi yang berobat ke Instalasi Rawat Jalan Neurologi RS Hasan Sadikin, Bandung. Angka ini lebih tinggi dari penelitian oleh Kwan dkk11 di Hongkong, yaitu 4,8%, tetapi lebih kecil dari penelitian multi senter di Korea Selatan yang melaporkan prevalensi nyeri kepala pascaiktal sebanyak 24% dari total pasien epilepsi12, Duchaczek dkk13 di Jerman 30,3% dan Botha dkk14 di Afrika Selatan juga melaporkan sebanyak 52%. Prevalensi nyeri kepala pascaiktal yang rendah pada penelitian ini (15,0%) dibanding negara lain, dapat disebabkan oleh prevalensi nyeri kepala dan migren yang secara umum ditemukan lebih rendah pada penduduk di negara Asia dibandingkan dengan penduduk di negara Eropa dan Amerika Utara.15 Disinyalir adanya variasi genetik dan latar belakang sosial budaya yang berbeda.13

Pada penelitian ini didapatkan nyeri kepala praiktal pada 28 pasien (43,7%) atau 8,6% dari total 326 pasien epilepsi yang berobat ke Instalasi Rawat Jalan Neurologi. Hasil penelitian ini tidak jauh berbeda dengan penelitian sebelumnya oleh Leginer dkk serta Yankovsky dkk, bervariasi antara 3%–11%.3,4 Nyeri kepala praiktal lebih jarang ditemukan dibandingkan dengan nyeri pascaiktal. Hal ini disebabkan karena bangkitan

(5)

Artikel Penelitian  

epilepsi itu sendiri dapat memfasilitasi awitan dari cortical spreading depression (pencetus nyeri kepala), sehingga nyeri kepala pascaiktal lebih banyak ditemukan.16

Nyeri kepala iktal tidak ditemukan pada penelitian ini, karena nyeri kepala merupakan satu-satunya gejala, terjadi bersamaan dengan bangkitan epilepsi serta dibuktikan dengan perekaman EEG.16 Sebaliknya pada saat perekaman EEG tidak ada yang mengeluh dan melaporkan nyeri kepala disertai gambaran EEG yang menyokong nyeri kepala iktal. Pada penelitian ini ditemukan nyeri kepala diantara dua bangkitan yang bisa jadi termasuk nyeri kepala iktal, terutama pasien epilepsi dengan gambaran nyeri kepala migren dan mengeluh adanya gangguan dari stimulasi visual, oleh karena itu disarankan perekaman EEG dengan karakteristik nyeri kepala seperti diatas untuk menapis kemungkinan diagnosis nyeri kepala iktal.6

Aura sefalgia ditemukan pada 15 pasien dari 64 pasien nyeri kepala terkait epilepsi (23,4%). Aura biasanya terjadi dalam hitungan detik dan menit serta terjadi sesaat sebelum bangkitan.5 Pada penelitian ini juga didapatkan pada nyeri kepala praiktal lebih banyak nyeri kepala migren, dibandingkan dengan nyeri kepala bukan migren. Hal ini berhubungan dengan patofisiologi migren. Adanya peningkatan aliran darah ke otak disinyalir berhubungan dengan aktivitas neuronal jauh sebelum awitan bangkitan yang terekam di EEG maupun bangkitan klinis yang mencetuskan nyeri kepala melalui sistem trigeminovaskular yang mengakibatkan pelepasan vasoaktif neuropeptida sehingga meningkatkan respons nyeri. Aktivasi dari dural aferen trigeminovaskular dan pelepasan calsitonin gene-related peptide (CGRP) bertanggung jawab untuk terjadinya migren.10

Sebagian besar pasien nyeri kepala terkait epilepsi mengeluh nyeri kepala praiktal pada kedua sisi, yaitu sebanyak 67,9%. Untuk nyeri kepala praiktal pada satu sisi ditemukan sebanyak 32,1%. Penelitian Bernasconi dkk17 sebagian pasien menggunakan

intracerebral depth electroda recording (dikarenakan perekaman EEG ekstrakranial tidak dapat menentukan fokus dari bangkitan). Dalam penelitian tersebut, pada epilepsi lobus temporal nyeri kepala terkait epilepsi 90% ipsilateral dengan fokus bangkitan (27 dari 30 pasien), dibandingkan hanya 12% epilepsi nontemporal (2 dari 17 pasien dengan p<0,001). Pada penelitian ini tidak dapat menjelaskan apakah nyeri kepala ipsilateral ataupun kontralateral dengan fokus bangkitan, karena tidak semua pasien epilepsi dalam penelitian ini dapat menunjukkan fokus bangkitan melalui perekaman EEG. Dari 9 pasien epilepsi lobus temporal yang mengalami nyeri kepala praiktal pada satu sisi kepala, hanya ditemukan 2 pasien nyeri kepala ipsilateral dengan fokus epilepsi, satu pasien kontralateral dengan fokus epilepsi dan sisanya tidak dapat ditemukan fokus epilepsi secara jelas (gambaran EEG menunjukkan perlambatan atau ditemukan fokus epilepsi pada kedua hemisfer).

Intensitas nyeri kepala dinilai dengan visual analog scale (VAS). Penelitian ini menemukan sebagian besar 89,3% pasien nyeri kepala praiktal menderita intensitas nyeri sedang-berat (VAS 4-10), dan sebanyak 53,6% dari tipe nyeri kepala praiktal adalah aura sefalgia, dengan gambaran nyeri kepala ringan dan tekanan di atas kepala. Sangat sulit dijelaskan kenapa aura sefalgia dapat menyebabkan intensitas nyeri sedang berat, karena aura sefalgia tidak mempunyai lokasi tertentu pada area otak, aura sefalgia disinyalir timbul karena adanya keterlibatan korteks asosiasi sensorik.18

Frekuensi nyeri kepala terkait epilepsi dibagi atas empat, yaitu selalu, sering, kadang-kadang dan jarang.7 Penelitian ini sebagian besar pasien (46,%) selalu serangan bangkitan didahului atau diikuti dengan nyeri kepala. Haut SR dkk19 menunjukkan sebagian pasien epilepsi dapat memperkirakan kejadian bangkitan epilepsi dalam 24 jam ke depan dengan adanya nyeri kepala praiktal, dengan spesifisitas dari prediksi positif 83,2% dan sensitivitas 31,9%.

(6)

Artikel Penelitian  

Lama nyeri kepala praiktal sebagian besar pasien (64,3%) berlangsung kurang dari satu jam. Yang tidak minum obat analgetik 82,1%, walaupun sebagian besar intensitas nyeri kepala sedang sampai berat. Hal ini disebabkan karena tenaga kesehatan tidak pernah menanyakan mengenai keluhan nyeri kepala terkait epilepsi dan pasien juga tidak menceritakan tentang keluhan nyeri kepalanya. Bangkitan merupakan alasan utama pasien berobat ke IRJ RSHS. Penelitian oleh Forderruther dkk juga didapatkan jumlah pasien yang meminum obat sangat kecil, walaupun sekitar 80% pasiennya mengeluh nyeri kepala sedang-berat. Alasan mengapa pada nyeri kepala praiktal penderita epilepsi tidak minum analgetik, disinyalir karena terdapat keraguan pada pasien untuk meminum obat, ketakutan polifarmasi atau dokter tidak pernah menanyakan tentang keluhan nyeri kepala terkait epilepsi, sehingga analgetik tidak disertakan dalam pemberian obat anti epilepsi terakhir.9

Penelitian ini hanya menemukan dua orang pasien (7,1% dari keseluruhan pasien nyeri kepala terkait epilepsi) yang memakai valproat sebagai obat anti epilepsi, karena hampir semua pasien (98,4%) merupakan epilepsi fokal, sehingga pemakaian obat seperti carbamazepin lebih diutamakan. Kedua pasien tersebut mempunyai gambaran nyeri kepala bukan migren. Pasien dengan keluhan nyeri kepala terkait epilepsi dengan intensitas sedang-berat dan terutama nyeri kepala migren, perlu dipertimbangkan pemakaian obat anti epilepsi seperti asam valproat dan topiramat. Walaupun sampai saat ini belum ada penelitian yang secara khusus membahas pemakaian valproat dan topiramat pada nyeri kepala terkait epilepsi, namun beberapa peneliti tetap menyarankan penggunaan obat tersebut sebagai pilihan pertama pada pasien epilepsi yang disertai dengan nyeri kepala migren.9

Gambaran karakteristik tipe nyeri kepala pascaiktal sebanyak tiga perempat pasien mengalami nyeri kepala bukan migren. Gambaran ini ternyata sangat berbeda dengan penelitian sebelumnya. Penelitan di Afrika Selatan oleh Botha dkk14 pada pasien epilepsi dengan nyeri kepala pascaiktal didapatkan nyeri kepala migren lebih banyak daripada nyeri kepala tipe tegang, walaupun secara statistik tidak bermakna.

Sebanyak 36 pasien nyeri kepala pascaiktal (73,5%) mengeluh nyeri kepala pada kedua sisi (sesuai dengan nyeri kepala tipe tegang). Nyeri kepala pascaiktal pada satu sisi ditemukan sebanyak 13 pasien (26,5%). Penelitian oleh Yankovsky dkk3 menemukan hanya 18 dari 44 pasien nyeri kepala pascaiktal yang bilateral. Dalam penelitian ini lama nyeri kepala pascaiktal separuh pasien berlangsung kurang dari satu jam (51,0%). Walaupun intensitas nyeri sedang berat didapatkan sebanyak 89,8% dari total keseluruhan nyeri kepala pascaiktal, sebanyak 77,5% pasien nyeri kepala pascaiktal tidak memakan obat analgetik untuk nyeri kepalanya, disinyalir mempunyai alasan yang sama dengan nyeri kepala praiktal. Duchaczek dkk13 mendapatkan hanya 8 dari 71 pasien yang menerima pengobatan sesuai dengan resep dan saran dari tenaga medis, walaupun intensitas nyeri kepala berat. Hal ini mungkin menunjukkan kurangnya perhatian dari dokter spesialis saraf atau dokter umum terhadap nyeri kepala terkait epilepsi. Penggunaan obat analgetik non steroid disinyalir bekerja baik untuk nyeri kepala tipe tegang, sedangkan nyeri kepala migren membutuhkan obat anti migren.13

Nyeri kepala pascaiktal bisa ditemukan pada semua jenis tipe epilepsi. Pada penelitian ini, nyeri kepala pascaiktal ditemukan pada 2 pasien epilepsi lobus oksipital, satu pasien epilepsi lobus parietal, 36 pasien (75%) dari 48 pasien epilepsi lobus temporal dan 9 pasien (75%) dari 12 pasien epilepsi frontal. Epilepsi lobus oksipital dilaporkan paling sering berhubungan dengan nyeri kepala terutama migren dan menjadi karakteristik dari epilepsi lobus oksipital pada anak-anak.20 Cortical spreading depression disinyalir sebagai mekanisme terjadinya migrain aura dan ditandai dengan peningkatan aktivitas listrik dan metabolik, serta aliran darah otak, menyebar dari daerah posterior ke

(7)

Artikel Penelitian  

anterior serebral. Oleh karena itu lobus oksipital merupakan lobus yang paling bertanggung jawab untuk migren.12

Pada penelitian ini nyeri kepala bukan migren lebih banyak ditemukan. Hal ini bisa disebabkan oleh: 1) hampir semua pasien pada penelitian ini dengan gambaran bangkitan umum tonik klonik sekunder. Bangkitan umum tonik klonik sekunder sering diikuti dengan gambaran nyeri kepala pascaiktal bukan migren, karena cetusan dari bangkitan umum sekunder menyebabkan perubahan patofisiologi di dalam semua struktur otak, 2) sedikitnya presentasi epilepsi lobus oksipital, hanya ditemukan 2 subjek dengan gambaran nyeri kepala bukan migren, dan 3) prevalensi nyeri kepala primer migren yang lebih rendah pada orang Asia. Kenyataan ini juga ditemukan pada populasi etnis Asia, prevalensi nyeri kepala dan migren lebih rendah dibandingkan etnis Kaukasian, walaupun kedua etnis ini tinggal di Amerika. Hal ini disinyalir adanya variasi genetik dan latar belakang sosial budaya yang berbeda.13,15

Keterbatasan penelitian ini adalah subjek penelitian merupakan semua pasien epilepsi yang berobat ke Instalasi Rawat Jalan Neurologi dan tidak dibatasi waktu kapan bangkitan terakhir terjadi. Sementara nyeri kepala merupakan keluhan subjektif yang dialami oleh pasien, sehingga informasi bisa menjadi kurang adekuat, terutama pada bangkitan yang telah lama terjadi. Selain itu keadaan dan suasana hati pasien saat mengisi kuesioner dapat mempengaruhi hasil isian kuesioner.

KESIMPULAN

Didapatkan prevalensi 38% nyeri kepala terkait epilepsi dengan nyeri kepala pascaiktal paling banyak ditemukan dan sebagian besar memberikan gambaran tipe nyeri kepala bukan migren. Nyeri kepala praiktal yang belum ada pada klasifikasi IHS 2004 maupun ILAE, ternyata dialami oleh 23,4% pasien epilepsi, dengan aura sefalgia paling banyak ditemukan.

SARAN

Diperlukan edukasi lebih lanjut pada pasien maupun tenaga kesehatan mengenai keberadaan nyeri kepala terkait epilepsi. Pemeriksaan EEG pada pasien dengan nyeri kepala migren yang disertai keluhan stimulasi visual untuk menapis kemungkinan diagnosis nyeri kepala iktal.

DAFTAR PUSTAKA

1. Diagana M, Bhalla D, Ngoungou E, Preux PM. Epidemiology in epilepsies in resources-poor countries. In Panayiotopoulos. Atlas of epilepsies. Springer-verlag London. 2010; 57-63. 2. Stovner L, Hagen K, Jensen R, Katsarava Z, Lipton R, Scher A, dkk. The global burden of

headache: A documentation of headache prevalence and disability worldwide. Cephalalgia. 2007;27:193-210.

3. Yankovsky AE, Andermann F, Bernasconi A. Characteristic of headache associated with intractable partial epilepsy. Epilepsia. 2005;46(8):1241-1245.

4. Leginer T, Isbruch K, Driesch S, Diener HC, Hufnagel A. Seizure-associated headache in epilepsy. Epilepsia. 2001;42(9):1176-1179.

5. K Norman. Epileptic aura. Dalam Wyllie E. The treatment of epilepsy: Principles and practice. Lea & Febiger. Philadelpia/London. 1993;369-376.

6. Parisi P, Striano P, Verrotti A, Villa MP, Belcastro V. What have we learned about ictal epileptic headache? A review of well-documented cases. Seizure. 2013;22:253-258.

7. Ito M, Nakamura F , Honma H, Takeda Y, Kabayashi R, Miyamoto T, dkk. A comparison of postictal headache between patiens with occipital lobe epilepsy and temporal lobe epilepsy. Seizure. 1999;8:343-346.

8. International classification of headache disorder. Tersedia di www.ihs-classification.org (diunduh pada Januari 2013).

(8)

Artikel Penelitian  

9. Fớrderreuther S, Henkel A, Noachtar S, Straube A. Headache associated with epileptic. Seizure: Epidemiology and clinical characteristics. Headache. 2002;42:649-655.

10. Yankovsky AE, Andermann F, Mercho S ,Dubeau F, bernasconi A. Preictal headache in partial epilepsy. Neurology. 2005;65:1979-1981.

11. Kwan P, Man CB, Leung H, Yu E, Wong KS. Headache in patient with epilepsy: A prospective insidency study. Epilepsia. 2008;49(6):1099-1102.

12. HELP Study Group. Multi-center study on migraine and seizure-related headache in patients with epilepsy. Yonsei Med J. 2010;51(2):219-224.

13. Duchaczek B, Ghaeni L, Matzen J, Holtkamp M . Interictal and preiictal headache in patients with epilepsy. European Journal of Neurology. 2013;20:1360-66.

14. Botha SS, Schutte CM, Olorunju S, Kakaza M. Postictal headache in south africans adult patients with generalized epilepsy in a tertiary care setting: A cross-sectional study. Cephalalgia. 30(12):1495-1501.

15. Jensen R, Stovner LJ. Epidemiology and comorbidity of headache. Lancet Neurol. 2008;7:354-361.

16. Parisi P, Striano P, Negro A, Martelletti P, Belcastro V. Ictal epileptic headache: An old story with course and appeals. J Headache Pain. 2012;13: 607-613.

17. Bernasconi A, Andermann F, Bernasconi N, Reutens DC, Dubeau F. Lateralizing value of peri-ictal headache: A study of 100 patiens with partial epilepsy. Neurology. 2001;56:130-132.

18. Lứders HO, Nair DR. Cephalgic and whole body aura. In Lứders HO, Noachtar S. Epileptic seizures pathophysiology and clinical semiology. Churchill Livingstone. Philadelphia. 2000;355-360.

19. Haut SR, Hall CB, LeValley AJ, Lipton RB. Can patients with epilepsy predict their seizure? Neurology. 2007;68:262-266.

20. Ito M, Adachi M, Nakamura F, Koyama T, Okamura T, Kato M, dkk. Multi-center study on post-ictal headache in patiens with localization-related epilepsy. Psych Clin Neurosc. 2002;53:385-389.

Gambar

Tabel 1. Karakteristik Subjek Penelitian (n=64)

Referensi

Dokumen terkait

Emisi tersebut dihasilkan dari aktivitas alami dan aktivitas penduduk (antropogenik) seperti emisi hasil konsumsi bahan bakar kendaraan dan aktivitas

2) Nilai tahanan isolasi pada pemutus tenaga bay Palur 1 dan 2 memiliki nilai yang bervariasi dalam setiap periode pemeliharaan, nilai tahanan isolasi antar fasa juga

selain membuka layanan 7 hari dalam seminggu, perpustakaan Daerah Kabupaten Purwakarta menyediakan fasilitas berupa Wireless hotspot dan beberapa komputer yang

Adalah salah satu jenis sensor suhu yang mempunyai koefisien temperatur yang tinggi, dimana komponen ini dapat mengubah nilai resistansi karena adanya perubahan

Penelitian ini bertujuan untuk; 1) mendeskripsikan penerapan pembelajaran alphabet dan number pada pembelajaran dasar bahasa Inggris, 2) mendeskripsikan hasil

Bab III berisi hasil penelitian dan pembahasan yang akan menguraikan dan membahas hasil penelitian yang dilakukan oleh Penulis tentang penjelasan status hukum anak yang lahir

Kuman penyebab diare menyebar melalui mulut (orofekal), diantaranya melalui makanan atau minuman yang tercemar oleh feses dan/atau kontak langsung dengan feses