TESIS
Oleh
YENNY YUSTISI YANTI
127011148/M.Kn
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
TESIS
Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan Pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara
Oleh
YENNY YUSTISI YANTI
127011148/M.Kn
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
Program Studi : Kenotariatan
Menyetujui Komisi Pembimbing
(Prof. Dr. Runtung, SH, MHum)
Pembimbing Pembimbing
(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN) (Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, MHum)
Ketua Program Studi, Dekan,
(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN) (Prof. Dr. Runtung, SH, MHum)
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Prof. Dr. Runtung, SH, MHum
Anggota : 1. Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN
2. Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, MHum
3. Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, MHum
Nim : 127011148
Program Studi : Magister Kenotariatan FH USU
Judul Tesis : TINJAUAN YURIDIS KEDUDUKAN BENDA JAMINAN
HAK TANGGUNGAN KEPADA BANK YANG TERKAIT KASUS KORUPSI
Dengan ini menyatakan bahwa Tesis yang saya buat adalah asli karya saya sendiri
bukan Plagiat, apabila dikemudian hari diketahui Tesis saya tersebut Plagiat karena
kesalahan saya sendiri, maka saya bersedia diberi sanksi apapun oleh Program Studi
Magister Kenotariatan FH USU dan saya tidak akan menuntut pihak manapun atas
perbuatan saya tersebut.
Demikianlah surat pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya dan dalam keadaan
sehat.
Medan,
Yang membuat Pernyataan
dalam perjanjian kredit perbankan adalah Hak Tanggungan yaitu jaminan kebendaan terhadap barang tidak bergerak berupa tanah dan bangunan sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960. Benda tidak bergerak berupa tanah dan bangunan yang telah diikat dengan jaminan Hak Tanggungan memberikan hak istimewa kepada kreditur preferen sebagai penerima Hak Tanggungan tersebut untuk melakukan eksekusi terhadap objek jaminan Hak Tanggungan apabila debitur tidak mampu melunasi hutangnya. Apabila dalam perjanjian pengikatan Jaminan Hak Tanggungan tersebut, objek hak tanggungan yang diberikan oleh debitur terkait dengan tindak pidana korupsi, maka kreditur pemegang hak tanggungan tidak bertanggung jawab dan tidak menanggung kerugian atas perbuatan debitur yang melawan hukum tersebut.
Jenis penelitian tesis ini menggunakan penelitian yuridis normatif, yang bersifat deskriptif analitis, dimana pendekatan terhadap permasalahan dilakukan dengan mengkaji ketentuan Perundang-undangan yang berlaku dalam perlindungan hukum terhadap kreditur pemegang hak tanggungan yang terdapat di dalam Undang-Undang No. 4 Tahun 1996, dan juga ketentuan yang mengatur tentang penyitaan barang bukti yang terkait dengan kasus korupsi sebagaimana termuat di dalam Undang No. 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang No. 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Penelitian ini menguraikan atau memaparkan sekaligus menganalisis permasalahan mengenai kedudukan hukum objek jaminan Hak Tanggungan yang disita oleh pengadilan karena terkait dengan kasus tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh debitur pemberi Hak Tanggungan, sekaligus perlindungan hukum terhadap kreditur sebagai pemegang Hak Tanggungan yang telah dirugikan hak-haknya atas penetapan penyitaan objek jaminan Hak Tanggungan tersebut oleh pengadilan.
Dari hasil penelitian diketahui bahwa objek jaminan Hak Tanggungan yang disita oleh pengadilan karena debitur terkait dengan kasus tindak pidana korupsi tetap menjadi kewenangan dari pemegang Hak Tanggungan, berdasarkan prinsipdroit de suite dandroit de preference yang terkadung dalam Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan. Penetapan sita objek Hak Tanggungan oleh pengadilan dapat dilakukan pelawanan oleh pihak ketiga yang merasa dirugikan dan penetapan sita pengadilan tersebut bertentangan dengan prinsip perlindungan hukum terhadap kreditur preferen karena setiap benda baik bergerak maupun tidak bergerak yang telah dijadikan agunan hutang tidak dapat dilakukan penyitaan karena benda agunan tersebut telah menjadi kewenangan sepenuhnya bagi kreditur penerima jaminan tersebut. Kreditur yang telah melakukan pengikatan jaminan Hak Tanggungan dengan itikad baik wajib dilindungi oleh undang-undang, dan setiap benda tidak bergerak berupa tanah dan bangunan yang telah diikat dengan jaminan hak tanggungan telah menjadi kewenangan sepenuhnya bagi kreditur pemegang Hak Tanggungan sebagai jaminan hutang dari debitur pemberi Hak Tanggungan.
hypothecation, that is, collateral on immovable property such as land and building as it is stipulated in the Agrarian Law No. 5/1960. Immovable property such land and building which has been bound with hypothecation gives the preferred right to preferred creditor as the receiver of hypothecation to execute the collateral of hypothecation when the debtor is not able to pay off his debt. When in the binding agreement of the hypothecation, the collateral given by the debtor is related to corruption criminal act, the creditor will not have the responsibility for suffering a loss on the debtor’s illegal action.
The research used judicial normative and descriptive analytic methods by studying the prevailing provisions, laws, and regulations in legal protection for creditor as the hypothecation holder as it is stipulated in Law No. 4/1996, and the provision which regulates the confiscation of exhibit related to corruption case as it is stipulated in Law No. 31/1999 in conjunction with Law No. 20/2001 on Eradication of Corruption Criminal Act. The research explained and analyzed the problems about the legal position of collateral which was confiscated by the Court because it was related to corruption criminal act done a debtor who submitted hypothecation, and legal protection for a creditor as the hypothecation holder whose right was harmed because of the confiscation of the collateral by the Court.
The result of the research showed that the collateral confiscated by the Court, because the debtor was involved in corruption criminal act, still becomes the right of hypothecation holder, based on the principle of droit de suite and droit de preference as it is stipulated in Law No. 4/1996 on Hypothecation. The provision of the confiscation of collateral by the Court can be resisted by the third party who feels harmed. The provision of confiscating the collateral by the Court is contrary to the principle of legal protection for preferred creditor because every movable and immovable property which has become collateral cannot be confiscated since it has become the ownership of the creditor as the hypothecation holder. A creditor who has bound collateral with good faith has to be protected by law, and every immovable property such as land and building which has be bound with hypothecation becomes the ownership of the creditor as the hypothecation holder as the guarantee for the debt of debtor who submits hypothecation.
menyelesaikan tesis ini dengan Judul “TINJAUAN YURIDIS KEDUDUKAN
BENDA JAMINAN HAK TANGGUNGAN KEPADA BANK YANG TERKAIT
KASUS KORUPSI”.
Penulisan tesis ini merupakan suatu persyaratan yang harus dipenuhi untuk
memperoleh gelar Magister Kenotariatan (M.Kn) Fakultas Hukum Universitas
Sumatera Utara.
Dalam penulisan tesis ini banyak pihak yang telah memberikan bantuan
dorongan moril berupa masukan dan saran, sehingga penulisan tesis ini dapat
diselesaikan tepat pada waktunya. Oleh sebab itu, ucapan terima kasih yang
mendalam penulis sampaikan secara khusus kepada yang terhormatBapak Prof. Dr.
Runtung, SH, M.Hum, Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN, dan
Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, M.Hum,selaku Komisi Pembimbing yang
telah dengan tulus ikhlas memberikan bimbingan dan arahan untuk kesempurnaan
penulisan tesis ini sejak tahap kolokium, seminar hasil sampai pada tahap ujian tesis
sehingga penulisan tesis ini menjadi lebih sempurna dan terarah.
Selanjutnya di dalam penelitian tesis ini penulis banyak memperoleh bantuan
baik berupa pengajaran, bimbingan, arahan dan bahan informasi dari semua pihak.
Untuk itu pada kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih yang
sedalam-dalamnya kepada:
1. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc (CTM), Sp.A (K) selaku
Rektor Universitas Sumatera Utara, atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan
kepada kami untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan Program
Pascasarjana Magister Kenotariatan (M.Kn) Fakultas Hukum Universitas
Pembimbing Utama yang memberikan masukan dan kritikan serta dorongan
kepada penulis.
3. Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN, selaku Ketua Program Studi
Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara dan juga selaku Komisi
Pembimbing dalam penelitian tesis ini, atas segala dedikasi dan pengarahan serta
masukan yang diberikan kepada penulis selama menuntut ilmu pengetahuan di
Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera
Utara.
4. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, M.Hum, selaku Komisi Pembimbing
dalam penelitian tesis ini, atas segala dedikasi dan pengarahan serta masukan
yang diberikan kepada penulis selama menuntut ilmu pengetahuan di Program
Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
5. Ibu Dr. T. Keizerina Devi Azwar, SH, CN, M.Hum, selaku Sekretaris Program
Studi Magister Kenotariatan pada Fakultas Hukum Sumatera Utara dan juga
selaku Dosen Penguji dalam penelitian tesis ini, yang telah membimbing dan
membina penulis dalam penyelesaian studi selama menuntut ilmu pengetahuan di
Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera
Utara.
6. Bapak Notaris Dr. Syahril Sofyan, SH, M.Kn, Dosen Penguji dalam penelitian
tesis ini, yang telah membimbing dan membina penulis dalam penyelesaian studi
selama menuntut ilmu pengetahuan di Program Studi Magister Kenotariatan
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
7. Bapak-Bapak dan Ibu-Ibu Dosen serta segenap civitas akademis Program Studi
tanpa batas serta menjadi semangat bagi penulis untuk segera menyelesaikan
studi secepat mungkin. Terima kasih atas doa dan pengorbanannya.
10. Bapak Notaris/PPAT Jansen Ricardo Sitanggang, SH, terimakasih banyak atas
ilmu, arahan, masukan dan informasi yang diberikan kepada penulis.
11. Teman-teman mahasiswa Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara angkatan 2012. Terimakasih untuk kekompakannya
selama ini dan juga untuk setiap motivasi yang diberikan kepada penulis dalam
penyelesaian tesis ini
12. Seluruh staf pegawai di Program Studi Magister Kenotariatan Universitas
Sumatera Utara.
13. Dan semua pihak yang telah membantu penulisan yang tidak dapat disebut satu
persatu.
Penulis berharap semoga semua bantuan dan kebaikan yang telah diberikan
kepada penulis mendapat balasan dari Tuhan Yang Maha Esa agar selalu dilimpahkan
kebaikan, kesehatan, kesejahteraan, dan rezeki yang berlimpah kepada kita semua.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna, namun
tidak ada salahnya jika penulis berharap kiranya tesis ini dapat memberikan manfaat
kepada semua pihak.
Medan, Januari 2015 Penulis,
Nama : Yenny Yustisi Yanti
Tempat / Tanggal Lahir : Pematang Siantar / 19 Agustus 1983
Alamat : Jalan Tennis Nomor 1 Pematang Siantar
Status : Menikah
No. Telp : 08126373263
II. PENDIDIKAN FORMAL
1. Sekolah Dasar : SD Swasta Taman Asuhan Pematang
Siantar Tahun 1989-1995
2. Sekolah Menengah Pertama : SMP Swasta Taman Asuhan Pematang Siantar Tahun 1995-1998
3. Sekolah Menengah Atas : SMUN 3 Pematang Siantar Tahun 1998-2001
4. Perguruan Tinggi (S1) : Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Tahun 2001-2005
5. Perguruan Tinggi (S2) : Program Studi Magister Kenotariatan
KATA PENGANTAR... iii
DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... vi
DAFTAR ISI ... vii
DAFTAR SINGKATAN... ix
DAFTAR ISTILAH ASING... x
BAB I PENDAHULUAN... 1
A. Latar Belakang... 1
B. Perumusan Masalah ... 16
C. Tujuan Penelitian ... 16
D. Manfaat Penelitian ... 17
E. Keaslian Penelitian ... 17
F. Kerangka Teori dan Konsepsi... 19
1. Kerangka Teori ... 19
2. Kerangka Konsepsi ... 26
G. Metode Penelitian... 28
1. Spesifikasi Penelitian ... 28
2. Sumber Data Penelitian... 29
3. Teknik Pengumpulan Data... 30
4. Analisis Data ... 30
BAB II STATUS HUKUM OBJEK JAMINAN HAK TANGGUNGAN YANG DISITA OLEH PENGADILAN KARENA BERKAITAN DENGAN KASUS TINDAK PIDANA KORUPSI ... 32
A. Prinsip-Prinsip Umum Hak Tanggungan ... 32
JAMINAN YANG DISITA PENGADILAN TERKAIT KASUS
KORUPSI... 82
A. Perlindungan Hukum Terhadap Kreditur Pemegang Hak Tanggungan Berdasarkan UUHT Nomor 4 Tahun 1996 ... 82
B. Perlindungan Hukum Terhadap Kreditur Pemegang Hak Tanggungan Terhadap Objek Jaminan Yang Disita Pengadilan Terkait Kasus Korupsi... 96
C. Upaya Hukum Sebagai Perlindungan Hukum Bagi Kreditur Pemegang Hak Tanggungan Dalam Mempertahankan Hak Atas Objek Jaminan yang Terkait Kasus Korupsi ... 111
D. Analisis Yuridis Normatif Tentang Kepastian Hukum Jaminan Hak Tanggungan ... 114
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN ... 118
A. Kesimpulan ... 118
B. Saran ... 119
APHT : Akta Pemberian Hak Tanggungan
BW : Burgelijk Wetboek
HAM : Hak Asasi Manusia
HIR : Herziene Inlandsch Reglement
Jo : Juncto
KUHAP : Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
KUHPidana : Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
KUHPerdata : Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
PPAT : Pejabat Pembuat Akta Tanah
RBg : Rechtsreglement Butengewesten
RUPBASAN : Rumah Penyimpanan Barang Sitaan
SHGB : Sertipikat Hak Guna Bangunan
Tipikor : Tindak Pidana Korupsi
Adequate veroorzaking : Teori pertanggungjawaban kerugian terbatas
Annvulend recht : Hukum yang bersifat mengatur
Beschikkingsdaden : Tindakan pengurusan
Borgtoch : Jaminan
Budel pailit : Harta pailit
Capacity : Kemampuan
Capital : Modal
Causation in fact : Sebab akibat
Character : Watak
Competence to borrow : Wewenang untuk meminjam
Commanditer venootschap : Perseroan Komanditer
Condition sine qua non : Alasan pertanggungjawaban karena perbuatan
melawan hukum
Conservatoir Beslag : Sita Jaminan
Collateral : Agunan
Corporate guarantee : Jaminan kebendaan
Culpa in commitendo : Positif
Culpa on ommitendo : Tidak berbuat / lalai
Deelneming : Turut serta sebagai pelaku tindak pidana
Droit de preference : Hak istimewa / kreditur yang diutamakan
Droit de suit : Asas kepemilikan suatu benda mengikuti
kemanapun benda itu berada
Dwingend recht : Hukum yang bersifat memaksa
Ex-officio : Jabatan seseorang pada lembaga tertentu karena
dan pemberian kuasa
Judex facti : Fakta hukum
Juncto : Berhubungan dengan
Nagelvase : Disatukan secara permanen
Onrechmatigedaads : Perbuatan melawan hukum
Onrechtmatigenalaten : Kelalaian
Openbaar : Dapat ditagih
Ordinary crime : Kejahatan luar biasa
Party contract : Kontrak partai
Personal guarantee : Jaminan perorangan
Privilege : Istimewa
Quasi contractal : Kewajiban kontraktual
Realistic legal certainly : Kepastian hukum yang sebenarnya
Refinancing : Pembiayaan kembali
Term Loan : Pinjaman berjangka
Titel : Alas hak
Ultimum remedium : Sarana terakhir
Van openbare orde : Kepentingan umum
Verhaalsrecht : Pelunasan utang debitur
Vergelijkende beslag : Sita penyesuaian
Vertegenwwoordigingsrecht : Hak mewakili
Wederrechtelijk : Melawan hukum
Wortelvast : Mengakar ke bawah
Zakelijke : Kepastian
dalam perjanjian kredit perbankan adalah Hak Tanggungan yaitu jaminan kebendaan terhadap barang tidak bergerak berupa tanah dan bangunan sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960. Benda tidak bergerak berupa tanah dan bangunan yang telah diikat dengan jaminan Hak Tanggungan memberikan hak istimewa kepada kreditur preferen sebagai penerima Hak Tanggungan tersebut untuk melakukan eksekusi terhadap objek jaminan Hak Tanggungan apabila debitur tidak mampu melunasi hutangnya. Apabila dalam perjanjian pengikatan Jaminan Hak Tanggungan tersebut, objek hak tanggungan yang diberikan oleh debitur terkait dengan tindak pidana korupsi, maka kreditur pemegang hak tanggungan tidak bertanggung jawab dan tidak menanggung kerugian atas perbuatan debitur yang melawan hukum tersebut.
Jenis penelitian tesis ini menggunakan penelitian yuridis normatif, yang bersifat deskriptif analitis, dimana pendekatan terhadap permasalahan dilakukan dengan mengkaji ketentuan Perundang-undangan yang berlaku dalam perlindungan hukum terhadap kreditur pemegang hak tanggungan yang terdapat di dalam Undang-Undang No. 4 Tahun 1996, dan juga ketentuan yang mengatur tentang penyitaan barang bukti yang terkait dengan kasus korupsi sebagaimana termuat di dalam Undang No. 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang No. 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Penelitian ini menguraikan atau memaparkan sekaligus menganalisis permasalahan mengenai kedudukan hukum objek jaminan Hak Tanggungan yang disita oleh pengadilan karena terkait dengan kasus tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh debitur pemberi Hak Tanggungan, sekaligus perlindungan hukum terhadap kreditur sebagai pemegang Hak Tanggungan yang telah dirugikan hak-haknya atas penetapan penyitaan objek jaminan Hak Tanggungan tersebut oleh pengadilan.
Dari hasil penelitian diketahui bahwa objek jaminan Hak Tanggungan yang disita oleh pengadilan karena debitur terkait dengan kasus tindak pidana korupsi tetap menjadi kewenangan dari pemegang Hak Tanggungan, berdasarkan prinsipdroit de suite dandroit de preference yang terkadung dalam Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan. Penetapan sita objek Hak Tanggungan oleh pengadilan dapat dilakukan pelawanan oleh pihak ketiga yang merasa dirugikan dan penetapan sita pengadilan tersebut bertentangan dengan prinsip perlindungan hukum terhadap kreditur preferen karena setiap benda baik bergerak maupun tidak bergerak yang telah dijadikan agunan hutang tidak dapat dilakukan penyitaan karena benda agunan tersebut telah menjadi kewenangan sepenuhnya bagi kreditur penerima jaminan tersebut. Kreditur yang telah melakukan pengikatan jaminan Hak Tanggungan dengan itikad baik wajib dilindungi oleh undang-undang, dan setiap benda tidak bergerak berupa tanah dan bangunan yang telah diikat dengan jaminan hak tanggungan telah menjadi kewenangan sepenuhnya bagi kreditur pemegang Hak Tanggungan sebagai jaminan hutang dari debitur pemberi Hak Tanggungan.
hypothecation, that is, collateral on immovable property such as land and building as it is stipulated in the Agrarian Law No. 5/1960. Immovable property such land and building which has been bound with hypothecation gives the preferred right to preferred creditor as the receiver of hypothecation to execute the collateral of hypothecation when the debtor is not able to pay off his debt. When in the binding agreement of the hypothecation, the collateral given by the debtor is related to corruption criminal act, the creditor will not have the responsibility for suffering a loss on the debtor’s illegal action.
The research used judicial normative and descriptive analytic methods by studying the prevailing provisions, laws, and regulations in legal protection for creditor as the hypothecation holder as it is stipulated in Law No. 4/1996, and the provision which regulates the confiscation of exhibit related to corruption case as it is stipulated in Law No. 31/1999 in conjunction with Law No. 20/2001 on Eradication of Corruption Criminal Act. The research explained and analyzed the problems about the legal position of collateral which was confiscated by the Court because it was related to corruption criminal act done a debtor who submitted hypothecation, and legal protection for a creditor as the hypothecation holder whose right was harmed because of the confiscation of the collateral by the Court.
The result of the research showed that the collateral confiscated by the Court, because the debtor was involved in corruption criminal act, still becomes the right of hypothecation holder, based on the principle of droit de suite and droit de preference as it is stipulated in Law No. 4/1996 on Hypothecation. The provision of the confiscation of collateral by the Court can be resisted by the third party who feels harmed. The provision of confiscating the collateral by the Court is contrary to the principle of legal protection for preferred creditor because every movable and immovable property which has become collateral cannot be confiscated since it has become the ownership of the creditor as the hypothecation holder. A creditor who has bound collateral with good faith has to be protected by law, and every immovable property such as land and building which has be bound with hypothecation becomes the ownership of the creditor as the hypothecation holder as the guarantee for the debt of debtor who submits hypothecation.
A. Latar Belakang
Peranan Perbankan dalam lalu lintas bisnis, dapatlah dianggap sebagai
kebutuhan yang mutlak diperlukan oleh hampir semua pelaku bisnis, baik pengusaha
besar maupun pengusaha kecil. Salah satu produk yang diberikan oleh bank dalam
membantu kelancaran usaha debiturnya, adalah dengan pemberian kredit, dimana hal
ini merupakan salah satu fungsi bank yang sangat mendukung pertumbuhan ekonomi.
Kredit menurut Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998
tentang Perbankan, adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan
dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank
dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya
setelah jangka waktu tertentu dengan jumlah bunga.
Pemberian kredit yang dilakukan oleh bank sebagai suatu lembaga keuangan,
sudah semestinya harus dapat memberikan perlindungan hukum bagi pemberi dan
penerima kredit serta pihak yang terkait mendapat perlindungan melalui suatu
lembaga hak jaminan yang kuat dan dapat memberikan kepastian hukum bagi semua
pihak yang berkepentingan.
Dalam pemberian kredit ada beberapa hal yang harus diperhatikan oleh bank
dalam rangka melindungi dan mengamankan dana masyarakat yang dikelola bank
a. Harus dilakukan dengan menggunakan prinsip kehati-hatian;
b. Harus mempunyai keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan debitur untuk
melunasi hutangnya sesuai dengan yang diperjanjikan;
c. Wajib menempuh cara-cara yang tidak merugikan bank dan masyarakat yang
mempercayakan dananya pada bank;
d. Harus memperhatikan asas-asas perkreditan yang sehat.1
Untuk memperoleh keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan debitur,
maka sebelum memberikan kredit bank harus melakukan penilaian yang seksama
terhadap watak (character), kemampuan (capacity to create sources of funding),
modal (capital), agunan (collateral), wewenang untuk meminjam (competence to
borrow) dan prospek usaha debitur tersebut (condition of economy and sector of
business).2
Fungsi dari pemberian jaminan oleh debitur kepada kreditur adalah untuk
mengamankan pemberian kredit yang dilakukan oleh bank selaku kreditur terhadap
debiturnya, sehingga apabila dikemudian hari debitur tidak mampu membayar /
melunasi hutang-hutangnya kepada bank maka bank selaku kreditur berhak untuk
mengeksekusi barang jaminan tersebut dan menjualnya dalam pelelangan umum
untuk mengambil piutangnya dari debitur.3
1 Rudi Tri Santoso, Prinsip Kehati-hatian Dalam Kredit Perbankan, Liberty, Yogyakarta,
2007, hal. 33
2Siswanto Sutojo, Analisis Kredit Bank Umum, Pustaka Binaman Pressindo, Jakarta, 2005,
hal. 21.
3Thomas Suyatno, dkk,Kelembagaan Perbankan Edisi Kedua,PT. Gramedia Pustaka Utama,
Secara umum mengenai masalah jaminan sebenarnya telah diatur dalam
KUHPerdata sebagaimana tercantum di dalam Pasal 1131 dan Pasal 1132
KUHPerdata. Pasal 1131 KUHPerdata menegaskan bahwa, “Segala kebendaan si
berhutang, baik yang bergerak maupun tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun
yang baru akan ada dikemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatannya
perseorangan”.
Pasal 1132 KUHPerdata menegaskan bahwa, “Kebendaan tersebut menjadi
jaminan bersama-sama bagi semua orang yang mengutamakan padanya pendapatan
penjualan benda-benda itu dibagi menurut keseimbangan, yaitu menurut besar kecil
piutang masing-masing, kecuali apabila diantara para berpiutang ada alasan-alasan
yang sah dan didahulukan”.
Rachmadi Usman memberikan pengertian jaminan sebagai suatu sarana
perlindungan keamanan kreditur, yaitu kepastian akan pelunasan utang debitur atas
pelaksanaan suatu prestasi oleh debitur atau oleh penjamin debitur.4 Sedangkan
Hasanudin Rahman mengemukakan pengertian jaminan sebagai tanggungan yang
diberikan oleh debitur dan atau pihak ketiga kepada kreditur karena pihak kreditur
mempunyai suatu kepentingan bahwa debitur harus memenuhi kewajibannya dalam
suatu perikatan.5
Berdasarkan pengertian jaminan di atas, dapat mengetahui fungsi jaminan
yaitu sebagai berikut :
4 Rachmadi Usman, Aspek-Aspek Hukum Perbankan di Indonesia, PT Gramedia Pustama
Utama, Jakarta, 2001, hal. 61.
5Hasanudin Rahman, Jaminan Kebendaan Dalam Perjanjian Kredit Perbankan, Bumi
1. Memberikan hak dan kekuasaan kepada bank untuk mendapatkan pelunasan
dari hasil-hasil penjualan barang-barang jaminan tersebut apabila debitur
melakukan cidera janji.
2. Menjamin agar debitur berperan serta di dalam transaksi untuk membiayai
usahanya.
3. Memberi dorongan kepada debitur untuk memenuhi prestasinya kepada
kreditur.6
Menurut jenisnya, jaminan dapat dibedakan menjadi jaminan perorangan dan
jaminan kebendaan. Jaminan perorangan (borgtoch/personal guarantee) adalah
jaminan berupa pernyataan kesanggupan yang diberikan oleh seorang Pihak Ketiga
guna menjamin pemenuhan kewajiban-kewajiban debitur kepada kreditur, apabila
debitur yang bersangkutan cidera janji (wanprestasi).7 Jaminan semacam ini pada
dasarnya adalah penanggungan utang yang diatur dalam Pasal 1820-1850
KUHPerdata. Pada perkembangannya, jaminan perorangan juga dipraktekkan oleh
perusahaan yang menjamin utang perusahaan lainnya. Bank dalam hal ini sering
menerima jaminan serupa, yang sering disebutcorporate guarantee.
Sedangkan jaminan kebendaan (zakelijke zekerhed/security right in rem)
adalah jaminan berupa harta kekayaan dengan cara pemisahan bagian dari harta
kekayaan baik si debitur maupun pihak ketiga, guna menjamin pemenuhan
6Eddy Aman Putra,Fungsi Jaminan dalam Kredit Perbankan Suatu Tinjauan Yuridis, Raja
Grafindo Persada, 2006, hal. 2
7Adrian Sutedi, Hukum Jaminan Dalam Pelaksanaan Kredit Perbankan, Citra Aditya Bakti,
kewajiban-kewajiban debitur yang bersangkutan cidera janji (wanprestasi). Menurut
sifatnya, jaminan kebendaan ini dapat dibagi menjadi dua, yaitu : jaminan kebendaan
dengan benda berwujud dan jaminan kebendaan tak berwujud. Jaminan kebendaan
dengan benda berwujud dapat berupa benda bergerak dan atau benda tidak bergerak.
Sedangkan jaminan dengan benda tidak berwujud dapat berupa piutang atau hak
tagih.
Penyediaan atas benda objek jaminan dalam perjanjian jaminan kebendaan
adalah untuk kepentingan dan keuntungan kreditur tertentu yang telah memintanya,
sehingga memberikan hak atau kedudukan istimewa bagi kreditur tersebut. Pada
hakekatnya, jaminan kebendaan adalah membebani suatu benda tertentu dengan
lembaga jaminan tertentu, sehingga apabila seorang debitur tidak melunasi utangnya
kepada kreditur, maka sang kreditur dapat menuntut pelunasan piutangnya, dari hasil
perolehan penjualan barang jaminan tersebut di depan umum (lelang/eksekusi) atas
benda tersebut.8 Mengenai kebendaan yang menjadi obyek jaminan, Subekti
menyatakan bahwa kekayaan (kebendaan) tersebut dapat berupa kekayaan si debitur
sendiri atau kekayaan orang ketiga, dan dengan pemberian jaminan kebendaan
kepada kreditur tersebut memberikan kedudukan dan istimewa (privilege) terhadap
para kreditur lainnya.9
Terhadap jaminan yang diserahkan oleh pihak debitur, pihak bank selaku
8
Djubaedah Hasan,Lembaga Jaminan Kebendaan Bagi Tanah dan Benda Lain yang Melekat Pada Tanah dalam Konsepsi Penerapan Asas Pemisahan Horizontal (Suatu Konsep Dalam Menyongsong Lahirnya Lembaga Hak Tanggungan), Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996, hal. 310 dan 311
9 Subekti, Suatu Tinjauan Tentang Sistem Hukum Jaminan Nasional, Binacipta, Bandung,
kreditur mempunyai kewajiban untuk melindungi debiturnya, karena hal ini berkaitan
dengan kepentingan bank juga selaku penerima jaminan.
Dalam rangka pencapaian tujuan ekonomi, maka kredit harus diberikan
dengan jaminan kepastian hukum bagi pihak-pihak yang berkepentingan, yang salah
satunya adalah membuat perjanjian kredit yang berfungsi memberi batasan hak dan
kewajiban bagi pihak-pihak tersebut. Perjanjian kredit merupakan perjanjian pokok
yang diikuti dengan perjanjian penjaminan sebagai perjanjian tambahan. Keduanya
dibuat secara terpisah, namun kedudukan perjanjian penjaminan sangat tergantung
dari perjanjian pokoknya. Hal ini perlu dilakukan untuk memberikan perlindungan
kepada pihak kreditur, sehingga apabila debitur wanprestasi maka kreditur tetap
mendapatkan hak atas piutangnya.
Pasal 1754 sampai dengan Pasal 1769 KUHPerdata menjadi dasar dari
perjanjian kredit, yang di dalamnya diatur ketentuan-ketentuan mengenai perjanjian
pinjam meminjam uang ataupun barang-barang yang habis karena pemakaian dan
dipersyaratkan bahwa pihak yang berhutang atau debitur akan mengembalikan
pinjamannya pada kreditur dalam jumlah yang sama dari macam dan keadaan yang
sama pula. Selanjutnya disebutkan juga bahwa perjanjian tersebut dapat disertai
dengan bunga yang telah diperjanjikan sebelumnya antara pihak-pihak, sehingga
perjanjian kredit dapat dimasukkan dalam perjanjian pinjam-meminjam dengan
memperjanjikan bunga.
Selain perjanjian kredit sebagai perjanjian pokok, maka diperlukan juga
bergerak. Untuk itu diperlukan lembaga hak jaminan yang kuat dan mampu memberi
kepastian hukum bagi pemberi dan penerima kredit serta pihak lain yang terlibat
melalui lembaga ini. Lembaga hak jaminan dibutuhkan karena sudah semakin banyak
kegiatan pembangunan khususnya di bidang ekonomi yang membutuhkan dana yang
cukup besar, dimana sebagian besar dana itu diperoleh melalui kegiatan perkreditan
serta untuk mendorong peningkatan partisipasi masyarakat dalam pembangunan
untuk mewujudkan masyarakat yang sejahtera, adil, dan makmur berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Dalam suatu perjanjian kredit perbankan dengan menggunakan lembaga Hak
Tanggungan sebagai jaminan atas kredit tersebut, bank sebagai kreditur hanya
memegang sertipikat Hak Tanggungan yang telah terdaftar dan dikeluarkan oleh
kantor pertanahan tempat dimana objek Hak Tanggungan tersebut berada. Sedangkan
penerima kredit selaku debitur tetap memegang atau menduduki objek Hak
Tanggungan tersebut. Di dalam sertipikat kepemilikan dari objek Hak Tanggungan
tersebut oleh kantor pertanahan telah ditulis kata-kata bahwa hak kepemilikan
tersebut telah dipasang Hak Tanggungan sebagai jaminan hutang dari pemilik objek
Hak Tanggungan tersebut kepada bank yang memberikan kredit.10
Adapun yang merupakan ciri-ciri lembaga hak jaminan atas tanah menurut
Undang-undang Hak Tanggungan Nomor 4 Tahun 1996 seperti yang disebutkan
dalam penjelasannya, yaitu sebagai berikut:
10Rusdy Murhainis,Kredit Perbankan dan Lembaga Jaminan Hak Tanggungan,Bina Cipta,
a. Memberikan kedudukan mendahulukan (hakpreferencei) kepada pemegangnya;
b. Selalu mengikuti obyek yang dijaminkan, di tangan siapapun obyek tersebut
berada;
c. Memenuhi asas spesialitas dan publisitas, sehingga dapat mengikat pihak ketiga
dan memberikan jaminan kepastian hukum kepada pihak-pihak yang
berkepentingan;
d. Mudah dan pasti pelaksanaan eksekusinya.11
Dengan demikian perlu sekali adanya hukum jaminan yang mampu mengatur
konstruksi yuridis yang memungkinkan pemberian fasilitas kredit yang menjaminkan
barang-barang yang akan dimilikinya sebagai jaminan. Dalam perjanjian kredit
biasanya pihak-pihak telah memperjanjikan dengan tegas bahwa apabila debitur
wanprestasi, maka kreditur berhak mengambil sebagian atau seluruh hasil penjualan
harta jaminan tersebut sebagai pelunasan utang debitur (verhaalsrecht).12 Jika ada
beberapa kreditur, maka pembagian diantara para kreditur tersebut didahulukan
kepada para kreditur yang telah melakukan pengikatan jaminan secara khusus seperti
jaminan Hak Tanggungan untuk menerima pelunasan hak tagihnya secara penuh.
Dalam hubungan perutangan di mana ada kewajiban untuk pemenuhan
prestasi dari debitur dan merupakan hak atas prestasi dari kreditur, hubungan hukum
akan lancar terlaksana jika masing-masing pihak memenuhi kewajibannya. Namun
dalam hubungan perutangan yang sudah dapat ditagih (openbaar) jika debitur tidak
11
Fuady Munir,Hukum Perkreditan Kontemporer, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996, hal. 66.
12Soewarso Indrawati,Aspek Hukum Jaminan Kredit,Institut Bankir Indonesia, Jakarta, 2002,
memenuhi prestasi secara sukarela, kreditur mempunyai hak untuk menuntut
pemenuhan piutangnya (hak verhaal; hak eksekusi) terhadap harta kekayaan debitur
yang dipakai sebagai jaminan. Hak pemenuhan dari kreditur itu dilakukan dengan
cara penjualan/mencairkan benda-benda jaminan dari kreditur di mana hasilnya
adalah untuk pemenuhan hutang debitur.13Hak Tanggungan merupakan hak jaminan
atas tanah untuk pelunasan utang tertentu yang memberikan kedudukan diutamakan
kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lain, dalam arti bahwa apabila
debitur wanprestasi, kreditur pemegang Hak Tanggungan berhak menjual melalui
pelelangan umum hak atas tanah yang dijadikan jaminan tersebut. Di Indonesia
pengaturan tentang Hak Tanggungan dituangkan dalam Undang-undang Nomor 4
Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang
Berkaitan Dengan Tanah (UUHT).
UUHT telah memberikan dasar pengaturan hukum terhadap perlindungan
kepada kreditur pemegang Hak Tanggungan, tetapi yang menjadi permasalahan
apabila barang jaminan yang menjadi objek Hak Tanggungan tersebut dirampas oleh
negara dalam kasus tindak pidana korupsi. Pemberantasan tindak pidana korupsi
bukan semata-mata untuk memberikan efek jera terhadap para pelaku namun
bertujuan dapat mengembalikan kerugian negara, sehingga diharapkan dapat
dipergunakan untuk membangun perekonomian negara yang lebih baik. Di samping
itu dengan mengoptimalkan hukuman terhadap pelaku korupsi dapat memberikan
13Sri Soedewi Mascjchoen Sofwan, Hukum Jaminan di Indonesia Pokok-Pokok Hukum
rasa takut pada yang lain untuk melakukan korupsi. Untuk mengembalikan kerugian
keuangan dan perekonomian negara tersebut kemudian undang-undang memberikan
sarana berupa pidana tambahan.14
Dalam Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi, yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi (untuk selanjutnya disebut Undang-Undang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi), sanksi pidana yang dijatuhkan dalam tindak pidana korupsi
yaitu pidana mati, pidana penjara dan denda, sedangkan pidana tambahan
sebagaimana yang telah diatur dalam Pasal 18 a). perampasan barang bergerak yang
berwujud atau yang tidak berwujud atau barang tidak bergerak yang digunakan untuk
atau yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana
dimana tindak pidana korupsi dilakukan, begitu pula dari barang yang menggantikan
barang-barang tersebut; b). pembayaran uang pengganti yang jumlahnya
sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi; c).
penutupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk waktu paling lama 1 (satu) tahun;
d). pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan seluruh atau
sebagian keuntungan tertentu, yang telah atau dapat diberikan oleh Pemerintah
kepada terpidana.
Pada prinsipnya pemberian Hak Tanggungan dalam pemberian kredit pada
14Andi Hartono,Tindak Pidana Korupsi sebagai Kejahatan Luar Biasa, Intermedia, Jakarta,
lembaga keuangan baik bank maupun non bank bertujuan untuk melindungi kreditur
dalam rangka pelunasan piutangnya, apabila debitur wanprestasi tetapi dalam
kenyataannya kreditur sangat sulit mendapatkan pelunasan terhadap piutangnya
apabila debitur yang bersangkutan tersangkut dalam suatu tindak pidana korupsi dan
telah dijatuhi sanksi seperti yang disebutkan dalam Pasal 18 Undang-Undang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Problematika hukum muncul ketika debitur
dalam perkara pidana korupsi tersebut telah dijatuhkan putusan pengadilan yang telah
berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) dan debitur tersebut berada dalam
ketidakmampuan membayar atau debitur tersebut wanprestasi otomatis terjadi kredit
macet.15
Apabila dalam putusan pengadilan tersebut dijatuhkan sanksi pidana dengan
melakukan perampasan terhadap barang barang yang terkait dengan tindak pidana
korupsi yang dilakukan oleh debitur tidak terkecuali atas benda yang menjadi objek
jaminan pada pihak ketiga, untuk selanjutnya barang rampasan tersebut dilakukan
eksekusi.
Di tengah upaya pembangunan nasional di berbagai bidang, aspirasi
masyarakat untuk memberantas korupsi dan bentuk penyimpangan lainnya semakin
meningkat. Karena, kenyataannya perbuatan korupsi menimbulkan kerugian negara
yang sangat besar yang pada gilirannya berdampak pada timbulnya krisis di berbagai
bidang kehidupan. Untuk itu, upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi perlu
15 Ratna Sumarjanti, Eksekusi Jaminan Hak Tanggungan Suatu Tinjauan Yuridis, Aksara
semakin ditingkatkan dan diintensifkan dengan tetap menjunjung tinggi Hak Asasi
Manusia (HAM) dan kepentingan masyarakat.
Pada tanggal 16 Agustus 1999, disahkan Undang-Undang No 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) sebagai pengganti
Undang-Undang No. 1 Tahun 1971. Selanjutnya, Undang-Undang-Undang-Undang No 31 Tahun 1999 diubah
dengan Undang-Undang No 20 Tahun 2001, walaupun perubahannya tidak
siknifikan.
Jika dilihat dari peraturan yang dikeluarkan, seharusnya apa yang
dicita-citakan negara saat ini benar-benar dapat direalisasi. Namun faktanya, negara ini
masih dicap sebagai negara terkorup. Belum maksimalnya penanganan tipikor juga
suatu kendala, walaupun secara peraturan yang dimiliki sudah sangat jelas. Suatu hal
yang terjadi seiring dengan pelaksanaan penegakan tindak pidana korupsi dan
pelaksanaan pemberian jaminan kredit adalah adanya jenis harta tertentu milik pelaku
yang diduga atau menjadi terdakwa atau telah terbukti pelaku tindak pidana korupsi
yang disita negara dan sekaligus menjadi objek jaminan kredit pada lembaga
perbankan.16
Hak tagih negara dalam kasus korupsi, saat ini menjadi perdebatan di
kalangan pemerhati hukum. Khususnya perihal siapa harus didahulukan untuk
mendapatkan hak tagih atas harta milik terpidana yang tersangkut tipikor saat putusan
berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde).17
Pasal 18 ayat (1) UU No 31 Tahun 1999 menyebutkan, selain adanya pidana
16Muchdarsyah Sinungan, Kredit Perbankan Tata Cara Permasalahan dan Pemecahannya,
Secara Hukum Perbankan, Tograf, Yogyakarta, 2006, hal. 69.
17Bambang Syamsuzar Oyong, "Hak Tagih Negara Vs Hak Kreditur",
pokok adanya pidana tambahan. Pidana tambahan dapat berupa perampasan barang
bergerak berwujud atau tidak berwujud yang diperoleh dari hasil tipikor. Di samping,
pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak harta benda yang diperoleh
dari tipikor. Pertanyaannya, bagaimana posisi barang bergerak yang berwujud dan
tidak berwujud yang telah dijadikan objek jaminan utang oleh debitur dan diikat
dengan Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) atau Akta Fidusia. Berarti,
kedudukan kreditur berubah menjadi krediturpreferenceyang memiliki hak istimewa
daripada kreditur lainnya. Jika hal ini terjadi, siapa yang harus didahulukan untuk
mendapatkan hak tagih, apakah negara melalui jaksa dapat melakukan penyitaan
harta milik terpidana, atau kreditur yang secara aturannya telah mendapatkan hak
istimewa oleh undang-undang.
Sampai saat ini, masih ada silang pendapat mengenai siapa yang harus
didahulukan untuk mendapatkan hak tagih tersebut. Sebagian pengamat mengatakan,
kepentingan negara untuk penyitaan barang yang berasal dari kejahatan (tipikor)
harus didahulukan daripada kepentingan privat atau perdata. Sebagian lagi
berpendapat, apabila jaksa selaku pihak yang diberi hak menyita oleh undang-undang
sepanjang dapat dibuktikan harta yang disita itu berasal dari kejahatan (korupsi), hal
itu sah-sah saja. Namun di sisi lain, kreditur sebagai pemegang hak jaminan dalam
hukum privat (perdata) memiliki hakpreference(istimewa) yang juga diatur
pemegang tanggungan lebih diutamakan untuk mendapatkan pelunasannya.18
Chaerul Huda mengatakan, kepentingan negara untuk menyita barang yang
diduga berasal dari hasil kejahatan harus didahulukan ketimbang kepentingan privat
atau perdata. Harus pidana dulu, karena prinsip umumnya kepentingan publik mesti
didahulukan dari pada kepentingan perdata.19
Tindakan penyitaan oleh jaksa dalam perkara korupsi lazim dilakukan
sebelum aset milik terpidana dilelang untuk menutupi pembayaran uang pengganti.
Dengan demikian, atas aset milik terpidana harus didahulukan kepentingan negara
untuk menutupi kerugian negara.
J. Satrio mengatakan, pemegang jaminan memiliki preference atau dengan
kata lain kedudukannya diutamakan. Satrio berpendapat, jika barang yang disita
tersebut sudah dieksekusi, maka kreditur pemegang tanggunganlah yang memiliki
hak lebih dulu menerima pelunasan. Jika ada sisanya baru dikasihkan ke negara,
tuturnya.20
Menurut aturannya, penyitaan itu adalah adalah tindakan hukum yang
dilakukan pada taraf penyidikan, sesudah lewat tahap penyidikan tak dapat lagi
dilakukan penyitaan untuk dan atas nama penyidik.21 Pertanyaannya, apakah
penyitaan itu dapat dilakukan terhadap semua benda tanpa mempersoalkan status
18Ibid.
19 Hukum Online.com, "Hak Negara vs Hak Kreditur : Memilih Mana yang Harus
Didahulukan ",http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol16591/hak-negara-vs-hak-kreditur--memilih-mana-yang-harus-didahulukan, Diakses tanggal 1 April 2014.
20Ibid.
21Rusli Muhammad,Hukum Acara Pidana Kontemporer, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2007,
benda itu, atau, benda yang bagaimana sifat dan keadaannya yang dapat dilakukan
atau diletakan sita di atasnya.
Oleh karena itu, penyitaan terhadap benda yang tidak ada sangkut pautnya
dengan peristiwa pidana yang sedang diproses hukum bertentangan dengan ketentuan
hukum yang berlaku, dan dinyatakan tidak sah. Hal ini akan merugikan pemilik
benda, dan ia dapat mengajukan tuntutan praperadilan ke pengadilan maupun
mengajukan tuntutan ganti rugi.
J. Satrio berpendapat, jaksa selaku eksekutor berhak melakukan penyitaan
sepanjang dapat dibuktikan itu adalah hasil dari kejahatan. Sepanjang hanya tindakan
penyitaan saja, tidak menjadi masalah jika jaksa menyita barang (yang sudah disita
sebagai jaminan keperdataan).22
Pasal 39 KUHAP cukup jelas menyebutkan kriteria benda yang dapat disita,
yaitu: 1. Benda atau tagihan tersangka atau terdakwa yang seluruh atau sebagian
diduga diperoleh dari tindak pidana atau sebagian hasil dari tindak pidana, 2. Benda
yang telah dipergunakan secara langsung melakukan tindak pidana atau untuk
mempersiapkan tindak pidana. 3. Benda yang dipergunakan menghalang-halangi
penyidikan atas tindak pidana, 4. Benda yang khusus dibuat atau diperuntukan
melakukan tindak pidana. 5. Benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan
tindak pidana.23
Memang tidak mudah untuk menentukan siapa yang berhak mendapatkan hak
22Hukum Online.com,Op.Cit.
23 M. Karjadi dan R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Dengan
tagih lebih dahulu, jika dihubungkan dengan perkara korupsi yang berkembang saat
ini. Wajar kalau seandainya ada yang menyebutkan, penyitaan yang dilakukan jaksa
dalam perkara korupsi atas harta terpidana sebagai bagian untuk mendapatkan uang
pengganti dan hal ini sangat lazim dilakukan. Padahal, hukum privatpun mengatur
kedudukan pemegang hak jaminan selaku kreditur yang mendapatkan hak istimewa
sebagaimana diatur Pasal 1134 KUHPerdata.
Berdasarkan uraian di atas maka penelitian tesis ini mengambil judul tentang
“Tinjauan Yuridis Kedudukan Benda Jaminan Hak Tanggungan Kepada Bank Yang
Terkait Kasus Korupsi”.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian dalam latar belakang dirumuskan dua permasalahan
sebagai berikut:
1. Bagaimana status hukum objek jaminan Hak Tanggungan yang disita oleh
pengadilan karena berkaitan dengan kasus tindak pidana korupsi?
2. Bagaimana perlindungan hukum terhadap kreditur pemegang Hak Tanggungan
terhadap objek jaminan yang disita pengadilan terkait kasus korupsi?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan yang telah dikemukakan di atas, maka tujuan yang
hendak dicapai dalam penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui status hukum objek jaminan Hak Tanggungan yang disita oleh
2. Untuk mengetahui perlindungan hukum terhadap kreditur pemegang Hak
Tanggungan terhadap objek jaminan yang disita pengadilan terkait kasus korupsi
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat secara teoritis dan
praktis, yaitu :
1. Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai
sumbangsih pemikiran di bidang ilmu pengetahuan hukum pada umumnya,
khususnya yang menyangkut tentang perlindungan hukum terhadap kreditur
pemegang Hak Tanggungan terhadap objek jaminan yang dirampas oleh negara
dalam tindak pidana korupsi.
2. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat dijadikan bahan acuan kepada
masyarakat pada umumnya, pejabat yang berwenang dalam kaitannya dengan
perlindungan hukum terhadap kreditur pemegang Hak Tanggungan terhadap
objek jaminan yang dirampas oleh negara dalam tindak pidana korupsi.
E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan informasi dan penelusuran yang dilakukan oleh peneliti terhadap
hasil-hasil penelitian yang pernah dilakukan di lingkungan Universitas Sumatera
Utara, maka diketahui bahwa belum pernah ada penelitian yang berjudul tentang
"Tinjauan Yuridis Kedudukan Benda Jaminan Hak Tanggungan Kepada Bank Yang
Adapun judul penelitian yang ada kaitannya dengan kedudukan objek jaminan
Hak Tanggungan adalah sebagai berikut :
1. Kiki Puspita Mayasari (NIM. 107011119/M.Kn) : Analisis Yuridis Terhadap
Pemberian Kredit dengan Jaminan HakTanggungan secara Cross Collateral
(Studi di PT. Bank Mandiri (Persero), Tbk Cabang Medan Imam Bonjol.
Substansi Permasalahan yang dibahas adalah :
a. Bagaimana pelaksanaan pemberian kredit secaracross collateralpada PT.
Bank Mandiri (Persero), Tbk?
b. Bagaimana pelaksanaan sistem pemberian kredit secara cross collateral
dengan pemberian jaminann Hak Tanggungan pada PT. Bank Mandiri
(Persero), Tbk?
c. Bagaimana penyelesaian kredit bermasalah bagi debitur yang wanprestasi
dalam pengikatan kredit secara cross collateral pada PT. Bank Mandiri
(Persero), Tbk?
2. Rinto (067011068/M.Kn) : Analisis Hukum Terhadap Sita Jaminan yang
Diletakkan di atas Objek Hak Tanggungan oleh Pengadilan. Substansi
Permasalahan yang dibahas adalah :
a. Bagaimana permohonan sita jaminan atas sebidang tanah yang telah
dibebani Hak Tanggungan oleh pihak ketiga?
b. Bagaimana sikap hakim dalam memberikan putusan terhadap permohonan
sita jaminan atas tanah yang sudah dibebani Hak Tanggungan?
atas tanah yang sudah dibebani Hak Tanggungan?
3. Belinda (NIM. 077011009/M.Kn) : Akibat Hukum Putusan Pernyataan Pailit
Debitur terhadap Kreditur Pemegang Hak Tanggungan. Substansi
Permasalahan yang dibahas adalah :
a. Bagaimana ketentuan pelaksanaan kepailitan kreditur terhadap debitur?
b. Bagaimana kedudukan kreditur pemegang Hak Tanggungan dalam
putusan kepailitan?
c. Bagaimana akibat hukum kepailitan debitur terhadap kreditur pemegang
Hak Tanggungan dalam eksekusi Hak Tanggungan?
Berdasarkan karya-karya ilmiah yang telah disebutkan di atas tidak satupun
penelitian tersebut yang sama dengan penelitian ini baik dari segi judul maupun dari
segi subtansi permasalahan yang di bahas. Oleh karena itu penelitian ini secara
akademis dapat dipertanggungjawabkan keasliannya.
F. Kerangka Teori dan Konsepsi
1. Kerangka Teori
Kontinuitas perkembangan ilmu hukum, selain bergantung pada metodologi,
aktivitas penelitian, dan imajinasi sosial, juga sangat ditentukan oleh teori. Fungsi
teori dalam penelitian tesis ini adalah untuk memberikan arahan/petunjuk dan
meramalkan serta menjelaskan hal yang diamati, karena penelitian ini merupakan
penelitian hukum normatif, kerangka teori diarahkan secara khas ilmu hukum.24
24Ibnu Husni, 2005,“Penelitian dalam Ilmu Hukum”,http://www.Kamushukum
Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori,
tesis mengenai suatu kasus atau permasalahan yang menjadi bahan perbandingan,
pegangan teoritis. Menurut Soerjono Soekanto bahwa kontinuitas perkembangan ilmu
hukum, selain bergantung pada metodologi, aktifitas penelitian dan imajinasi sosial
sangat ditentukan oleh teori.25
Menurut Burhan Ashshofa suatu teori merupakan serangkaian asumsi, konsep,
defenisi dan proposisi untuk menerangkan suatu fenomena sosial secara sistematis
dengan cara merumuskan antar konsep.26 Menurut Snelbecker yang mendefenisikan
teori sebagai seperangkat proposisi yang terintegrasi secara sintaksis yaitu yang
mengikuti aturan tertentu yang dapat diamati dan fungsi sebagai wahana untuk
meramalkan dan menjelaskan fenomena yang diamati.27
Menurut Kaelan M.S, landasan teori pada suatu penelitian adalah merupakan
dasar-dasar operasional penelitian. Landasan teori dalam suatu penelitian adalah
bersifat strategis artinya memberikan realisasi pelaksanaan penelitian.28
Oleh sebab itu kerangka teoritis bagi suatu penelitian mempunyai kegunaan
sebagai berikut :
1. Teori tersebut berguna untuk lebih mempertajam atau lebih mengkhususkan fakta
yang hendak diselidiki atau diuji kebenarannya ;
25
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Penerbit Rineka Cipta, Jakarta, 1996, hal. 19.
26Burhan Ashshofa,Metode Penelitian Hukum, Penerbit Rineka Cipta, Jakarta, 1996, hal. 19. 27
Lexy J. Moleong, Metodologi, Penelitian Kualitatif, Penerbit PT. Remaja Rosdakarya, 1990, Bandung, hal. 42.
28Kaelan M.S,Metode Penelitian Kualitatif Bidang Filsafat (Paradigma bagi Pengembangan
2. Teori sangat berguna dalam mengembangkan sistem klasifikasi fakta, membina,
struktur konsep-konsep serta memperkembangkan definisi- definisi;
3. Teori biasanya merupakan suatu ikhtisar daripada hal-hal yang diteliti ;
4. Teori memberikan kemungkinan pada prediksi fakta mendatang, oleh karena
telah diketahui sebab-sebab terjadinya fakta tersebut dan mungkin faktor-faktor
tersebut akan timbul lagi pada masa-masa mendatang.29
Sejalan dengan hal tersebut, maka terdapat beberapa teori yang dipergunakan
sebagai pisau analisis dalam tesis ini. Secara konseptual, teori yang dapat dijadikan
acuan tentang tinjauan yuridis kedudukan benda jaminan hak tanggungan kepada
bank yang terkait kasus korupsi.
Teori Kepastian hukum mengandung 2 (dua) pengertian yaitu pertama adanya aturan yang bersifat umum membuat individu mengetahui perbuatan apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan, dan kedua berupa keamanan hukum bagi individu dari kesewenangan pemerintah karena dengan adanya aturan hukum yang bersifat umum itu individu dapat mengetahui apa saja yang boleh dibebankan atau dilakukan oleh Negara terhadap individu. Kepastian hukum bukan hanya berupa pasal-pasal dalam undang-undang melainkan juga adanya konsistensi dalam putusan hakim antara putusan hakim yang satu dengan putusan hakim lainnya untuk kasus yang serupa yang telah di putuskan.30
Kepastian merupakan ciri yang tidak dapat dipisahkan dari hukum, terutama
untuk norma hukum tertulis. Hukum tanpa nilai kepastian akan kehilangan makna
karena tidak dapat lagi digunakan sebagai pedoman perilaku bagi setiap orang.
Kepastian sendiri disebut sebagai salah satu tujuan dari hukum. Apabila dilihat secara
historis, perbincangan mengenai kepastian hukum merupakan perbincangan yang
29Soerjono Soekanto,Op.Cit, hal. 121.
30Peter Mahmud Marzuki,Pengantar Ilmu Hukum, Kencana Pranada Media Group, Jakarta,
telah muncul semenjak adanya gagasan pemisahan kekuasaan dari Montesquieu.31
Keteraturan masyarakat berkaitan erat dengan kepastian dalam hukum, karena
keteraturan merupakan inti dari kepastian itu sendiri. Keteraturan menyebabkan orang
dapat hidup secara berkepastian sehingga dapat melakukan kegiatan-kegiatan yang
diperlukan dalam kehidupan bermasyarakat.
Gustav Radbruch mengemukakan 4 (empat) hal mendasar yang berhubungan
dengan makna kepastian hukum, yaitu :
Pertama, bahwa hukum itu positif, artinya bahwa hukum positif itu adalah perundang-undangan. Kedua, bahwa hukum itu didasarkan pada fakta, artinya didasarkan pada kenyataan. Ketiga, bahwa fakta harus dirumuskan dengan cara yang jelas sehingga menghindari kekeliruan dalam pemaknaan, di samping mudah dilaksanakan. Keempat, hukum positif tidak boleh mudah diubah.32
Pendapat Gustav Radbruch tersebut didasarkan pada pandangannya bahwa
kepastian hukum adalah kepastian tentang hukum itu sendiri. Kepastian hukum
merupakan produk dari hukum atau lebih khusus dari perundang-undangan.
Berdasarkan pendapatnya tersebut, maka menurut Gustav Radbruch, hukum positif
yang mengatur kepentingan-kepentingan manusia dalam masyarakat harus selalu
ditaati meskipun hukum positif itu kurang adil.33
Pendapat mengenai kepastian hukum dikemukakan pula oleh Jan M. Otto
sebagaimana dikutip oleh Sidharta, yaitu bahwa kepastian hukum dalam situasi
tertentu mensyaratkan sebagai berikut :
31Wordpress.Com, "Memahami Kepastian Dalam Hukum", http://ngobrolinhukum.
wordpress.com/2013/02/05/memahami-kepastian-dalam-hukum/, Diakses tanggal 1 April 2014.
1. Tersedia aturan-aturan hukum yang jelas atau jernih, konsisten dan mudah diperoleh (accesible), yang diterbitkan oleh kekuasaan negara.
2. Bahwa instansi-instansi penguasa (pemerintahan) menerapkan aturan-aturan hukum tersebut secara konsisten dan juga tunduk dan taat kepadanya.
3. Bahwa mayoritas warga pada prinsipnya menyetujui muatan isi dan karena itu menyesuaikan perilaku mereka terhadap aturan-aturan tersebut.
4. Bahwa hakim-hakim (peradilan) yang mandiri dan tidak berpihak menerapkan aturan-aturan hukum tersebut secara konsisten sewaktu mereka menyelesaikan sengketa hukum, dan
5. Bahwa keputusan peradilan secara konkrit dilaksanakan.34
Kelima syarat yang dikemukakan Jan M. Otto tersebut menunjukkan bahwa
kepastian hukum dapat dicapai jika substansi hukumnya sesuai dengan kebutuhan
masyarakat. Aturan hukum yang mampu menciptakan kepastian hukum adalah
hukum yang lahir dari dan mencerminkan budaya masyarakat. Kepastian hukum yang
seperti inilah yang disebut dengan kepastian hukum yang sebenarnya (realistic legal
certainly), yaitu mensyaratkan adanya keharmonisan antara negara dengan rakyat
dalam berorientasi dan memahami sistem hukum.
Menurut Sudikno Mertokusumo, kepastian hukum adalah jaminan bahwa
hukum dijalankan, bahwa yang berhak menurut hukum dapat memperoleh haknya
dan bahwa putusan dapat dilaksanakan. Walaupun kepastian hukum erat kaitannya
dengan keadilan, namun hukum tidak identik dengan keadilan. Hukum bersifat
umum, mengikat setiap orang, bersifat menyamaratakan, sedangkan keadilan bersifat
subyektif, individualistis, dan tidak menyamaratakan.35
Kepastian hukum merupakan pelaksanaan hukum sesuai dengan bunyinya
34Bernand Arief Sidharta, Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum, Mandar Maju, Bandung,
2006, hal. 85.
35 Sudikno Mertokusumo, 2007, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta,
sehingga masyarakat dapat memastikan bahwa hukum dilaksanakan. Dalam
memahami nilai kepastian hukum yang harus diperhatikan adalah bahwa nilai itu
mempunyai relasi yang erat dengan instrumen hukum yang positif dan peranan
negara dalam mengaktualisasikannya pada hukum positif.36
Nurhasan Ismail berpendapat bahwa penciptaan kepastian hukum dalam
peraturan perundang-undangan memerlukan persyaratan yang berkenaan dengan
struktur internal dari norma hukum itu sendiri.37
Persyaratan internal tersebut adalah sebagai berikut: Pertama, kejelasan
konsep yang digunakan. Norma hukum berisi deskripsi mengenai perilaku tertentu
yang kemudian disatukan ke dalam konsep tertentu pula. Kedua, kejelasan hirarki
kewenangan dari lembaga pembentuk peraturan perundang-undangan. Kejelasan
hirarki ini penting karena menyangkut sah atau tidak dan mengikat atau tidaknya
peraturan perundang-undangan yang dibuatnya. Kejelasan hirarki akan memberi
arahan pembentuk hukum yang mempunyai kewenangan untuk membentuk suatu
peraturan perundang-undangan tertentu. Ketiga, adanya konsistensi norma hukum
perundang-undangan. Artinya ketentuan-ketentuan dari sejumlah peraturan
perundang-undangan yang terkait dengan satu subyek tertentu tidak saling
bertentangan antara satu dengan yang lain.
Kepastian hukum menghendaki adanya upaya pengaturan hukum dalam
perundang-undangan yang dibuat oleh pihak yang berwenang dan berwibawa,
36Fernando M. Manullang, Pengantar Ke Filsafat Hukum, Prenada Media Group, Jakarta,
2007, hal. 95.
sehingga aturan-aturan itu memiliki aspek yuridis yang dapat menjamin adanya
kepastian bahwa hukum berfungsi sebagai suatu peraturan yang harus ditaati.
Lon Fuller mengajukan 8 (delapan) asas yang harus dipenuhi oleh hukum,
yang apabila tidak terpenuhi, maka hukum akan gagal untuk disebut sebagai hukum,
atau dengan kata lain harus terdapat kepastian hukum. Kedelapan asas tersebut adalah
sebagai berikut :
1. Suatu sistem hukum yang terdiri dari peraturan-peraturan, tidak berdasarkan putusan-putusan sesat untuk hal-hal tertentu;
2. Peraturan tersebut diumumkan kepada publik;
3. Tidak berlaku surut, karena akan merusak integritas sistem; 4. Dibuat dalam rumusan yang dimengerti oleh umum;
5. Tidak boleh ada peraturan yang saling bertentangan;
6. Tidak boleh menuntut suatu tindakan yang melebihi apa yang bisa dilakukan; 7. Tidak boleh sering diubah-ubah;
8. Harus ada kesesuaian antara peraturan dan pelaksanaan sehari-hari.38
Pendapat Lon Fuller di atas dapat dikatakan bahwa harus ada kepastian antara
peraturan dan pelaksanaannya, dengan demikian sudah memasuki ranah aksi,
perilaku, dan faktor-faktor yang mempengaruhi bagaimana hukum positif
dijalankan.39
Dari uraian-uraian mengenai teori kepastian hukum di atas dijadikan sebagai
pisau analisis dalam kaitannya dengan tinjauan yuridis kedudukan benda jaminan hak
tanggungan kepada bank yang terkait kasus korupsi, dimana di satu sisi ada
kepentingan negara atas objek yang disita dan disisi lain ada hak-hak masyarakat
yang harus dilindungi. Dua sisi yang harus dilindungi kepentingannya harus
dijalankan secara seimbang dengan menerapkan suatu konsep kepastian hukum.
2. Kerangka Konsepsi
Konsepsi adalah salah satu bagian terpenting dari teori. Peranan konsepsi
dalam penelitian ini untuk menghubungkan teori dan observasi, antara abstrak dan
kenyataan. Konsep diartikan sebagai kata yang menyatukan abstraksi yang
digeneralisasikan dari hal-hal yang khusus yang disebut defenisi operasional.40
Dalam kerangka konsepsional diungkapkan beberapa konsepsi atau pengertian
yang akan dipergunakan sebagai dasar penelitian hukum,41 guna menghindari
perbedaan penafsiran dari istilah yang dipakai, selain itu juga dipergunakan sebagai
pegangan dalam proses penelitian ini.
Oleh karena itu untuk menjawab permasalahan dalam penelitian ini harus
didefenisikan beberapa konsep dasar, agar secara operasional diperoleh hasil dalam
penelitian ini yang sesuai dengan tujuan yang telah ditentukan yaitu:
a. Sita atau Penyitaan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil alih
dan atau menyimpan di bawah penguasannya benda bergerak atau tidak bergerak,
berwujud atau tidak berwujud untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan,
penuntutan, dan peradilan.42
b. Sita Jaminan adalah sita terhadap barang-barang milik tergugat yang
disengketakan status kepemilikannya melalui gugatan, baik dalam sengketa
40Samadi Suryabrata,Metodologi Penelitian, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1998, hal. 3. 41Burhan Ashshofa, Op.Cit.,hal 28.
42M. Yahya Harahap,Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Penyidikan dan
wanprestasi maupun perbuatan melanggar hukum.43
c. Jaminan Bank adalah suatu keyakinan kreditur bank atas kesanggupan debitur
untuk melunasi kredit sesuai dengan yang diperjanjikan.
d. Korupsi adalah merupakan tindakan melawan hukum untuk memperkaya diri
sendiri/orang lain (perseorangan atau sebuah korporasi), yang secara langsung
maupun tidak langsung merugikan keuangan atau prekonomian negara, yang dari
segi materiil perbuatan itu dipandang sebagai perbuatan yang bertentangan
dengan nilai-nilai keadilan masyarakat.
e. Bank adalah sebuah lembaga intermediasi keuangan umumnya didirikan dengan
kewenangan untuk menerima simpanan uang, meminjamkan uang, dan
menerbitkan promes atau yang dikenal sebagaibanknote.
f. Debitur adalah pihak yang berhutang ke pihak lain, biasanya dengan menerima
sesuatu dari kreditur yang dijanjikan debitur untuk dibayar kembali pada masa
yang akan datang.44
g. Kreditur adalah pihak (perorangan, organisasi, perusahaan atau pemerintah) yang
memiliki tagihan kepada pihak lain (pihak kedua) atas properti atau layanan jasa
yang diberikannya (biasanya dalam bentuk kontrak atau perjanjian) dimana
diperjanjikan bahwa pihak kedua tersebut akan mengembalikan properti yang
43 Uncategorized, "Prosedur Sita Jaminan", http://sitajaminan.klinikhukum. umkmcentre.
narotama.ac.id/2011/10/22/prosedur-sita-jaminan/, Diakses tanggal 1 Mei 2014.
44 Wikipedia Indonesia, "Debitur", http://id.wikipedia.org/wiki/Debitur, Diakses tanggal 1
nilainya sama atau jasa.45
h. Hak Tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang
peraturan dasar pokok-pokok agraria, berikut / tidak berikut benda-benda lain
yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan hutang tertentu
terhadap kreditur-krediturnya yang memiliki hak preference atau hak yang
didahulukan pelunasan piutangnya dari kreditur-kreditur lainnya.
G. Metode Penelitian
Untuk keberhasilan suatu penelitian yang baik dalam memberikan gambaran
dan jawaban terhadap permasalahan yang diangkat, tujuan serta manfaat penelitian
sangat ditentukan oleh metode yang digunakan dalam penelitian. Dapat dikutip
pendapat Soeryono Soekanto mengenai penelitian hukum, sebagai berikut:
Penelitian hukum pada dasarnya merupakan suatu kegiatan ilmiah yang
didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk
mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan menganalisisnya,
kecuali itu maka juga diadakan pemeriksaan yang mendalam terhadap fakta hukum
tersebut untuk kemudian yang ditimbulkan di dalam gejala yang bersangkutan.46
1. Spesifikasi Penelitian
Spesifikasi penelitian yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah yuridis
normatif. Mengambil istilah Ronald Dworkin, penelitian semacam ini juga disebut
45 Wikipedia Indonesia,"Kreditur", http://id.wikipedia.org/wiki/Kreditur, Diakses tanggal 1
April 2014.
dengan istilah penelitian doktrinal47 (doctrinal research), yaitu penelitian yang
menganalisis hukum, baik yang tertulis di dalam buku (law as it is written in the
book), maupun hukum yang diputuskan oleh hakim melalui proses pengadilan (law as
it decided by the judge through judicial process).48 Dalam penelitian ini bahan
kepustakaan dan studi dokumen dijadikan sebagai bahan utama.
2. Sumber Data Penelitian
Data pokok dalam penelitian ini adalah data sekunder,49yang meliputi:
a. Bahan hukum primer, yaitu Peraturan Perundang-undangan di bidang perbankan,
Hukum Jaminan dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara serta Undang-Undang
Tindak Pidana Korupsi.
b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai
hukum primer, seperti hasil-hasil penelitian, hasil karya dari kalangan pakar
hukum serta bahan dokumen-dokumen lainnya.
c. Bahan hukum tertier, yaitu bahan hukum penunjang yang memberi petunjuk dan
penjelesan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti
kamus umum, kamus hukum, majalah/jurnal atau surat kabar sepanjang memuat
informasi yang relevan dengan materi penelitian ini.50
47
Penelitian sejenis ini disebut juga penelitian hukum doktrinal yaitu penelitian hukum yang mempergunakan data sekunder. Ronny Hanitijo, Metode Penelitian Hukum dan Jurimetri,Ghalia Indonesia, Jakarta, 1988, hal. 10.
48Bismar Nasution,Metode Penelitian Hukum Normatif dan Perbandingan Hukum,Makalah,
disampaikan pada Dialog Interaktif tentang Penelitian Hukum dan Hasil Penulisan Hukum pada Majalah Akreditasi, Fakultas Hukum USU, tanggal 18 Februari 2003, hal. 1.
49Penelitian Normatif data sekunder sebagai sumber/bahan informasi dapat merupakan bahan
hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tertier. Bambang Waluyo,Penelitian Hukum Dalam Praktek,Sinar Grafika, Jakarta, 2002, hal. 14.
50Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif,Raja Grafindo Persada,