• Tidak ada hasil yang ditemukan

SUMBU PENGLIHATAN (VISUAL AXIS) IKAN HASIL TANGKAPAN BAGAN APUNG DI PALABUHANRATU ADAM SUMA WIJAYA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "SUMBU PENGLIHATAN (VISUAL AXIS) IKAN HASIL TANGKAPAN BAGAN APUNG DI PALABUHANRATU ADAM SUMA WIJAYA"

Copied!
32
0
0

Teks penuh

(1)

SUMBU PENGLIHATAN (

VISUAL AXIS

) IKAN HASIL

TANGKAPAN BAGAN APUNG DI PALABUHANRATU

ADAM SUMA WIJAYA

DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2014

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER

INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Sumbu Penglihatan (Visual Axis) Ikan Hasil Tangkapan Bagan Apung di Palabuhanratu adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Juli 2014 Adam Suma Wijaya NIM C44100040

(4)

ABSTRAK

ADAM SUMA WIJAYA. Sumbu Penglihatan (Visual Axis) Ikan Hasil Tangkapan Bagan Apung di Palabuhanratu. Dibimbing oleh RONNY IRAWAN WAHJU dan M FEDI A SONDITA.

Kebiasaan ikan dalam mencari makanan atau objek lain dapat diidentifikasi dari sumbu penglihatannya (visual axis) karena sumbu tersebut menentukan posisi vertikal-horizontal ikan yang berkaitan dengan posisi sumber cahaya atau objek. Penelitian ini menentukan arah sumbu penglihatan tiga jenis ikan laut yaitu tongkol komo (Euthynnus affinis), tembang (Sardinella fimbriata), dan pepetek (Leiognathus sp.) yang ditangkap oleh bagan apung di Palabuhanratu melalui perhitungan kepadatan sel kerucut pada retinanya menggunakan teknik histologi. Sumber cahaya yang digunakan bagan terdiri dari 7 buah compact fluorescent lamp (CFL) berdaya 100 watt. Daerah sebaran sel kerucut ketiga jenis ikan menunjukan tongkol komo (Euthynnus affinis) dan pepetek (Leiognathus sp.) memiliki arah sumbu penglihatan ke atas-depan dengan hasil analisis histologi membuktikan arah sumbu penglihatan ketiga jenis ikan ini ke atas dengan kepadatan sel kerucut tertinggi pada bagian ventro-temporal, tembang (Sardinella fimbriata) memiliki arah sumbu penglihatan ke atas dengan kepadatan sel kerucut tertinggi pada bagian ventral. Konsekuensi arah sumbu penglihatan dan posisi (contoh: swimming layer) pada setiap jenis ikan dibahas.

Kata kunci: arah, ikan, sel kerucut, sumbu penglihatan

ABSTRACT

ADAM SUMA WIJAYA. The Visual Axis of Fish was Cought by Floating Liftnet at Palabuhanratu. Supervised by RONNY IRAWAN WAHJU and M FEDI A SONDITA.

The behavior of fish in searching food or other objects can be identified from its visual axis orientation because the axis determines the relative vertical-horizontal position of the fish in correlation with position of light source or the objects. This study was carried out to determine of visual axis orientation of three marine fishes, i.e. tongkol komo (Euthynnus affinis), tembang (Sardinella fimbriata), and pepetek (Leiognathus sp.) caught by a floating liftnet in Palabuhanratu. The visual axis orientation was determined by calculating density of cone cell at their retinas using histological technique. The light source of liftnet consisted of 7 compact fluorescent lamp @100 watt. Spatial distribution of cone cell of the three species reveal that tongkol komo (Euthynnus affinis) and pepetek (Leiognathus sp.) have visual axis orientation upper-fore with the highest density of cone cell at ventro-temporal, tembang (Sardinella fimbriata) has visual axis orientation upper-fore with the highest density of cone cell at ventral. Consequences of visual axis orientation and position of light source on fish position (e.g. swimming layer) for each studied species are discussed.

(5)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada

Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan

SUMBU PENGLIHATAN (

VISUAL AXIS

) IKAN HASIL

TANGKAPAN BAGAN APUNG DI PALABUHANRATU

ADAM SUMA WIJAYA

DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2014

(6)
(7)

Judul Skripsi : Sumbu Penglihatan (Visual Axis) Ikan Hasil Tangkapan Bagan Apung di Palabuhanratu

Nama : Adam Suma Wijaya NIM : C44100040

Program Studi : Teknologi dan Manajemen Perikanan Tangkap

Disetujui oleh

Dr Ir Ronny Irawan Wahju, MPhil Pembimbing I Dr Ir M Fedi A Sondita, MSc Pembimbing II Diketahui oleh Dr Ir Budy Wiryawan, MSc Ketua Departemen Tanggal Lulus:

(8)

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan karunia-Nya maka skripsi yang berjudul Sumbu Penglihatan (Visual Axis) Ikan Hasil Tangkapan Bagan Apung di Palabuhanratu ini dapat diselesaikan. Skripsi ini ditulis sebagai syarat memperoleh gelar Sarjana Perikanan.

Penulisan skripsi ini banyak mendapat bantuan yang berharga dari berbagai pihak sampai akhirnya dapat selesai. Ucapan terima kasih dan saya ucapkan kepada:

1. Dr Ir Ronny Irawan Wahju, MPhil dan Dr Ir M Fedi A Sondita, MSc selaku dosen pembimbing yang telah banyak memberikan masukan dan saran dalam penyusunan skripsi ini;

2. Dr Fis Purwangka, SPi MSi dan Dr Ir Wazir Mawardi, MSi dalam teknis pengambilan data dan penyiapan preparat;

3. Badan Riset Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia yang telah mendanai penelitian ini;

4. Ibu dan Bapak beserta keluarga di rumah yang selalu mendoakan dan memberi semangat;

5. Bapak Oyon Sofyan (Wa Oyon) dan Ibu Een Suhenah (Mah Een) yang selalu memotivasi dalam menghadapi segala tantangan;

6. Teman-teman seperjuangan PSP 47 serta rekan-rekan HMI Cabang Bogor Komisariat Perikanan,

atas perhatian, pengertian, dukungan serta bantuan doa sehingga skripsi ini dapat selesai.

Saya menyadari bahwa dalam membuat skripsi ini masih belum sempurna, maka dengan kerendahan hati saya mengharapkan kritik, saran dan masukan demi perbaikan kedepannya. Harapannya skripsi ini bermanfaat dalam membangun perikanan khususnya perikanan tangkap di Indonesia.

Bogor, Agustus 2014 Adam Suma Wijaya

(9)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi DAFTAR GAMBAR vi DAFTAR LAMPIRAN vi PRAKATA vi PENDAHULUAN 1 Latar Belakang 1 Tujuan Penelitian 1 Manfaat Penelitian 2 Hipotesis 2 METODE 2 Bahan 3 Alat 3

Metode Pengambilan Data 3

Prosedur Analisis Data 4

HASIL DAN PEMBAHASAN 6

Hasil 6

Pembahasan 11

SIMPULAN DAN SARAN 14

Simpulan 14

Saran 15

DAFTAR PUSTAKA 15

LAMPIRAN 17

(10)

DAFTAR TABEL

Intensitas lampu compact flourescent lamp (CFL) pada bagan apung 7 1

DAFTAR GAMBAR

Posisi pengambilan data intensitas cahaya di bawah bagan apung 3 1

Diagram alir penyiapan slide preparat sel kerucut 4 2

Ilustrasi pembagian spesimen mata pada pembuatan kontur sel kerucut 5 3

Penentuan arah sumbu penglihatan 6

4

Hasil tangkapan berdasarkan jenis ikan 7

5

Grafik model persamaan hubungan intensitas cahaya terhadap jarak 8 6

Pola intensitas cahaya pada 4 kedalaman: (a) posisi I/Lampu; (b) posisi 7

II (1 m); (c) posisi III (2 m) di bawah bagan apung di Teluk

Palabuhanratu tanggal 28 Mei 2014 9

Iluminasi cahaya (lux) lampu bagan apung di Teluk Palabuhanratu 8

tanggal 28 Mei 2014 9

Kontur sebaran sel kerucut dan sumbu pengihatan tongkol komo 9

(Euthynnus affinis) 10

Kontur sebaran sel kerucut dan sumbu penglihatan tembang (Sardinella 10

fimbriata) 10

Kontur sebaran sel kerucut sumbu penglihatan pepetek (Leiognathus 11

sp.) 11

Ilustrasi tingkah laku ikan terhadap artificial visual stimulant 13 12

Hubungan sumbu penglihatan dengan posisi vertikal-horizontal ikan 13 13

Respons schooling ikan terhadap lampu pada bagan 14 14

DAFTAR LAMPIRAN

Jumlah ikan-ikan yang tertangkap berdasarkan jenis 17 1

Jumlah sel kerucut (cone cells) pada bagian retina tiga jenis ikan. 18 2

Foto sebaran spasial sel kerucut tongkol komo (Euthynnus affinis) 19 3

Foto sebaran spasial sel kerucut tembang (Sardinella fimbriata) 19 4

Foto sebaran spasial sel kerucut pepetek (Leiognathus sp.) 20 5

Foto dokumentasi pengambilan data 20

(11)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Menurut Blaxter (1980), pengidentifikasian sumbu penglihatan (visual axis) digunakan untuk mengetahui kebiasaan ikan dalam melihat makanan atau objek yang lain. Maka dari itu, posisi horizontal akan ditentukan oleh cara ikan memandang objek-objek penglihatan, termasuk lampu pemikat ikan pada perikanan bagan.

Bagan merupakan salah satu jenis alat tangkap pasif yang pengoperasiannya dilakukan dengan menurunkan dan mengangkat jaring secara vertikal (Subani dan Barus 1989). Operasi penangkapan bagang menggunakan alat bantu cahaya untuk mengumpulkan ikan pada malam hari. Cahaya merupakan faktor utama dalam keberhasilan operasi penangkapan ikan. Sehingga cahaya dapat mempengaruhi secara langsung maupun tidak langsung terhadap pergerakan ikan atau tingkah laku ikan (Purbayanto et al. 2010).

Sumber cahaya yang umum digunakan nelayan bagan apung di Palabuhanratu adalah lampu genset karena biaya operasionalnya lebih murah dan hasil tangkapan lebih baik. Jenis lampu yang digunakan yaitu compact fluorescent lamp (CFL) yang banyak dijual sebagai sumber penerangan ruangan (Anggawangsa et al. 2013). Kebutuhan energi untuk cahaya tergantung pada besaran intensitasnya, semakin besar intensitas cahaya yang dihasilkan maka energi yang dibutuhkan akan semakin besar juga. Permasalahan yang muncul adalah pasca kenaikan bahan bakar minyak (BBM) untuk genset sebagai sumber tenaga listrik sehingga perlu dilakukan pengendalian besaran intensitas cahaya lampu agar ikan berkumpul di sekitar lampu bagan. Jadi perlu dipelajari tingkah laku ikan terhadap cahaya pada bagan agar upaya efisiensi dan efektivitas cahaya yang menarik ikan-ikan untuk berkumpul. Sehingga penggunaan terhadap reaksi penglihatan ikan menjadi informasi yang penting pada perikanan bagan.

Penelitian mengenai cahaya lampu pada pengoperasian bagan telah banyak dilakukan diantaranya sebaran iluminasi cahaya petromaks (Puspito 2006), sebaran cahaya lampu tube lamp (TL) (Holil 2000), tingkah laku ikan pada bagan (Haruna 2010) dan hasil tangkapan bagan apung (Anggawangsana et al. 2013). Sementara penelitian yang iluminasi cahaya bagan dengan fisiologi mata ikan masih belum banyak dilakukan. Oleh karena itu, penelitian mengenai sumbu penglihatan (visual axis) ikan hasil tangkapan bagan apung di Palabuhanratu perlu dilakukan.

Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Mengukur iluminasi sebaran cahaya lampu CFL pada bagan apung di Palabuhanratu.

2. Menentukan sumbu penglihatan (visual axis) beberapa mata ikan yang tertangkap oleh bagan yang menggunakan lampu CFL.

(12)

2

Manfaat Penelitian

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai aspek fisiologis terutama sumbu penglihatan mata ikan dalam pengembangan teknologi penangkapan ikan.

Hipotesis

Ketiga jenis ikan yang diteliti mempunyai sumbu penglihatan ke arah atas.

METODE

Kegiatan penelitian ini dilakukan guna mengetahui hubungan sumbu penglihatan ikan dengan iluminasi cahaya lampu bagan apung. Ikan sampel yang digunakan untuk analisis histologi berasal dari hasil tangkapan nelayan bagan apung di Teluk Palabuhanratu. Letak geografis teluk ini adalah 6o50’ – 7o30’ LS dan 106o10’ – 106o30’ BT. Sedangkan proses analisis histologi dilaksanakan di Laboratorium Kesehatan Ikan, Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Adapun tahapan penelitian antara lain pemilihan jenis ikan untuk analisis histologi mata ikan, pengambilan data iluminasi cahaya lampu bagan dan sampel ikan, pembuatan slide mata ikan, dan penulisan skripsi.

Pemilihan jenis ikan dalam analisis histologi untuk ditentukan arah sumbu penglihatannya yaitu berdasarkan data hasil penelitian pendahuluan sebelumnya di Teluk Palabuhanratu. Jenis ikan yang dipilih adalah tongkol komo (Euthynnus affinis), tembang (Sardinella fimbriata), dan pepetek (Leiognathus sp.). Menurut Genisa (1999) tongkol komo (Euthynnus affinis), tembang (Sardinella fimbriata), dan pepetek (Leiognathus sp.) termasuk ikan ekonomi penting di Indonesia. Tongkol komo (Euthynnus affinis) dan tembang (Sardinella fimbriata) termasuk ikan pelagis yang banyak dikonsumsi masyarakat serta memiliki nilai ekonomi. Sehingga peluang tertangkapnya kedua jenis ikan ini perlu diperbesar supaya hasil tangkapan nelayan dapat meningkat. Berbeda dengan pepetek (Leiognathus sp.) yang volume tangkapannya banyak namun jarang dikonsumsi masyarakat dan nilai ekonominya rendah sehingga peluang untuk tertangkapnya pepetek (Leiognathus sp.) dapat dikurangi.

Pengambilan data iluminasi lampu bagan diambil pada beberapa posisi. Sedangkan mata ikan yang dianalisis histologi jumlahnya hanya 1 (satu) buah pada mata kiri ikan untuk setiap jenisnya. Ikan sampel berasal hasil tangkapan nelayan bagan apung di Teluk Palabuhanratu pada bulan Desember 2013. Ukuran total length (TL) ikan yang dipilih yaitu tongkol komo (Euthynnus affinis) memiliki TL 20 cm, TL tembang (Sardinella fimbriata) 16 cm, dan TL pepetek (Leiognathus sp.) 7 cm. Kemudian dilanjutkan dengan proses histologi penyiapan slide preparat mata ikan. Selanjutnya penulisan skripsi dimulai dengan proses pengolahan data hasil penelitian hingga selesai dengan rentang waktu dari bulan Maret – Juli 2014.

(13)

3 Bahan

Bahan yang diperlukan dalam kegiatan penelitian adalah:

a. Sampel mata ikan hasil tangkapan nelayan, yaitu tongkol komo (Euthynnus affinis) ukuran TL 20 cm, tembang (Sardinella fimbriata) ukuran TL 16 cm, dan pepetek (Leiognathus sp.) ukuran TL 7 cm; b. Larutan buffered neutral formalin (BNF) 10%.

Alat a. Bagan apung;

b. Lampu CLF (compact fluorescent lampi) sebanyak 7 buah @100 watt; c. Genset Yakuza 1500 output 1kw (1000 watt)

d. Marine underwater luxmeter OSK 4478 Ogawa Seiki co. Ltd; e. Alat tulis;

f. Kamera digital untuk dokumentasi; g. Alat bedah.

Metode Pengambilan Data Data Sebaran Cahaya Vertikal

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah experimental fishing atau uji coba langsung penangkapan ikan. Peneliti melakukan kegiatan dan pengamatan secara langsung terhadap objek-objek penelitian pada pengoperasian alat tangkap bagan apung. Objek yang diteliti adalah sebaran cahaya pada lampu CFL bagan apung. Bagan yang digunakan mengambil data iluminasi cahaya adalah milik salah satu nelayan di Teluk Palabuhanratu. Spesifikasi teknis bagan antara lain memiliki panjang x lebar = 9 meter x 9 meter dengan ukuran mata jaring (mesh size) = 0,5 inci menggunakan genset Yakuza 1500 output 1kw (1000 watt) sebagai sumber listrik untuk 7 (tujuh) buah lampu CLF sebagai atraktor dengan daya total 700 watt.

Pengambilan data intensitas cahaya menggunakan Marine Underwater luxmeter OSK 4478 Ogawa Seiki co. Ltd. untuk mengetahui iluminasi cahaya di bawah bagan. Pengukuran iluminansi cahaya secara horizontal dilakukan pada jarak 0 meter, 2 meter, dan 4 meter dari pusat cahaya. Sedangkam pengukuran iluminansi cahaya secara vertikal dimulai dari permukaan (0 meter) dengan interval setiap 1 meter sampai kedalaman 4 meter (Gambar 1).

(14)

4

Data sebaran sel kerucut

Metode yang akan digunakan untuk pengambilan data sebaran sel kerucut (cone cells) yaitu dengan metode histologi. Menurut Purbayanto (2010), metode histologi merupakan metode yang umum digunakan dan paling sering digunakan dalam menganalisis mata ikan. Hal ini dikarena metode ini memiliki kemudahan, kepastian waktu analisis yang lebih singkat dan pasti hasilnya, biaya yang lebih rendah serta akurasi yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan metode tingkah laku ikan dan metode elektro fisiologi (electro retinogram/ERG). Urutan pembuatan preparat mata ikan disajikan pada Gambar 2.

Gambar 2 Diagram alir penyiapan slide preparat sel kerucut (Angka et al. 1990)

Prosedur Analisis Data Pola sebaran cahaya

Pengukuran cahaya dapat digambarkan sebagai berikut:

E =

dimana : E = Kuat penerangan (Lux) I= Intensitas cahaya (kandela) R = Radius penerangan (meter)

(15)

5 Sehingga kuat penerangan E (lux) sebanding dengan intensitas cahaya I (kandela) dan berbanding terbalik dengan radius penerangan (meter). Kuat penerangan berkurang dengan bertambahnya kuadrat jarak sumber cahaya dan intensitas cahaya berkurang dengan cepat dari jarak sumber cahaya pada medium yang berbeda. Kuat penerangan ini erat hubungan dengan tingkat sensitifitas penglihatan ikan, dengan kata lain bahwa berkurangnya derajat penerangan akan menyebabkan berkurangnya jarak penglihatan ikan. Jadi dengan berkurangnya kekuatan penerangan maka jarak penglihatan ikan terhadap objek akan menurun pula. Jarak penglihatan ikan juga tergantung pada ukuran objek itu sendiri (Friedman 1986).

Analisis regresi digunakan untuk mengetahui sebaran intensitas cahaya dalam air berdasarkan hukum Burger yang berpola eksponensial dengan model persamaan (Ben Yami 1987):

Ix = Ioe-kx

dimana : Ix = Intensitas cahaya pada kedalaman x meter (kandela) Io = Intensitas cahaya awal yang masuk dalam air (kandela)

e = logaritma dasar natural (konstanta) k = koefisien pemudaran/atenuasi x = panjang path dari sinar cahaya (m).

Persamaan eksponensial tersebut dapat diubah menjadi persamaan linear sehingga dapat diregresikan berdasarkan perhitungan berikut:

Ix = Ioe-kx

ln(Ix) = ln(Ioe-kx)

ln(Ix) = ln(Io) + ln(e-kx)

ln(Ix) = ln(Io) + (-kx lne)

ln(Ix) = ln(Io) – kx

Pola sebaran sel kerucut

Spesimen mata ikan dibedah, dibersihkan serta diambil retina mata kirinya. Spesimen retina selanjutnya dipotong kedalam 15 bagian (Gambar 3) untuk mengetahui daerah retina yang memiliki kepadatan sel kerucut tertinggi. Kepadatan sel kerucut pada retina mata ikan dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut:

Kepadatan sel kerucut =

Kemudian kontur kepadatan sel kerucut mata ikan dibuat menggunakan Golden Software Surfer 10 dengan nilai x, y, dan z pada Gambar 3.

(16)

6

Selanjutnya penentuan arah sumbu penglihatan diperoleh setelah nilai kepadatan sel kerucut tiap bagian dari retina mata ikan diketahui, yaitu dengan cara menarik garis lurus dari bagian retina yang memiliki kepadatan sel kerucut tertinggi menuju titik pusat lensa mata (Tamura 1957). Daerah retina yang memiliki kepadatan sel kerucut tertinggi pada bagian dorso-temporal dengan perubahan arah pada diopter ke arah depan menurun (lower-fore) maka sumbu penglihatan juga akan ke arah depan menurun dengan sudut sekitar 20o. Bila kepadatan tertinggi sel kerucut di bagian temporal, maka ada dua kemungkinan untuk perubahan arah pada diopter. Jika perubahan arah pada diopter ke arah depan maka sumbu penglihatan juga akan ke arah depan pada sudut 0o, sedangkan perubahan arah pada diopter ke arah depan-naik (upper-fore) maka sumbu penglihatan juga akan ke arah depan dan depan-naik (fore-upper-fore) pada sudut 30o. Sedangkan jika sudut kepadatan tertinggi sel kerucut di bagian ventro-temporal, maka perubahan arah pada diopter ke arah depan-naik (upper-fore) dan sumbu penglihatan juga akan ke arah depan-naik (upper-fore) pada sudut 30o (Purbayanto et al. 2010). Skema penentuan sumbu penglihatan dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4 Penentuan arah sumbu penglihatan (Tamura 1957)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

Hasil Tangkapan

Berdasarkan hasil penelitian pendahuluan selama 5 trip pada bulan Oktober 2013 diperoleh 9 jenis ikan dengan total jumlah ikan tertangkap sebanyak 871 ekor seperti pada Gambar 5. Masing-masing jenis ikan hasil tangkapan terdiri dari tongkol (Euthynnus sp.) sebanyak 125 ekor dengan ukuran TL rata-rata 20 cm, cumi (Loligo sp.) 436 ekor ukuran TL rata-rata 16 cm, tembang (Sardinella fimbriata) 8 ekor ukuran TL rata-rata 17cm, kembung (Rastrelliger sp.) 19 ekor ukuran TL rata-rata 16 cm, layur (Trichiurus sp.) 2 ekor ukuran TL rata-rata 50 cm, deles (Decapterus macrosoma) 45 ekor ukuran TL rata-rata 14 cm, layang (Decapterus ruselli) 8 ekor ukuran TL rata-rata 11 cm, pepetek (Leiognathus sp.)

(17)

7 288 ekor ukuran TL rata-rata 7 cm serta kantong semar (Mene maculata) 30 ekor ukuran TL rata-rata 25 cm.

Gambar 5 Hasil tangkapan berdasarkan jenis ikan

Gambar 5 menunjukan cumi (Loligo sp.) sebagai hasil tangkapan terbanyak selama penelitian. Namun cumi (Loligo sp) ini bukan termasuk ikan melainkan cephalopod atau hewan tak bertulang belakang yang kakinya terletak di bagian kepala. Sehingga ikan hasil tangkapan terbanyak yaitu pepetek (Leiognathus sp.) dan ikan paling sedikit tertangkap adalah layur (Trichiurus sp.).

Iluminasi Cahaya

Pengukuran iluminasi cahaya lampu bagan apung diperoleh dari data kuat cahaya (lux) yang dikonversi menjadi intensitas cahaya (kandela) pada setiap posisi dan kedalaman tertentu seperti disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1 Intensitas lampu compact flourescent lamp (CFL) pada bagan apung

Kedalaman (m) Posisi I Posisi II Posisi III

Lux Kandela Lux Kandela Lux Kandela

0 360 5760 18 576 1 80

-1 90 3240 16 832 0,9 90

-2 23 1472 11 907 0,7 89,6

-3 4 400 6 696 0,7 114,8

-4 3 374 2 283 0,3 62,4

Posisi I yang berada tepat di bawah lampu bagan memiliki nilai kuat cahaya (lux) tertinggi, sedangkan posisi III memiliki kuat cahaya (lux) terendah karena berada paling jauh dari sumber cahaya. Kuat cahaya tertinggi berada di posisi I dengan kedalaman 0 m (permukaan air) memiliki iluminasi sebesar 360 lux atau intensitas cahaya 5760 kandela. Sementara itu kuat cahaya terendah sebesar 0,3 lux setara dengan intensitas cahaya 62,4 kandela berada pada posisi III di kedalaman 4 m. sehingga intensitas cahaya dipengaruhi oleh jarak sumber cahayanya seperti pada Gambar 6.

(18)

8

Gambars 6 Grafik model persamaan hubungan intensitas cahaya terhadap jarak Persamaan regresi posisi I pada gambar 6 adalah I=6017,1 e-0.75x dengan koefisien determinasi (R2) sebesar 0.95 dapat diartikan bahwa sebesar 95% variasi dari intensitas cahaya di bawah air dapat diakibatkan oleh hubungan linier jarak sumber cahaya, sedangkan 5 % sisanya diterangkan oleh galat (error) atau pengaruh variabel yang lain. Sehingga sebaran vertikal iluminasi cahaya menunjukkan semakin dalam cahaya menembus medium air laut semakin kecil iluminasi cahayanya. Pada gambar 7 terlihat nilai iluminasi cahaya semakin menurun dari permukaan untuk setiap posisi pengambilan data.

(a)

(19)

9

(c)

Gambar 7 Pola intensitas cahaya pada 4 kedalaman: (a) posisi I/Lampu; (b) posisi II (1 m); (c) posisi III (2 m) di bawah bagan apung di Teluk Palabuhanratu tanggal 28 Mei 2014

Pada posisi II dan posisi III iluminasi cahaya pada permukaan air relatif bernilai kecil dan semakin menguat sampai kedalaman 2-3 m, kemudian nilainya semakin berkurang sampai tidak terdeteksi lagi di kedalaman lebih dari 4-5 m. Iluminasi cahaya CFL bagan apung diilustrasikan dengan gari kontur seperti pada Gambar 8.

Gambar 8 Iluminasi cahaya (lux) lampu bagan apung di Teluk Palabuhanratu tanggal 28 Mei 2014

Garis-garis kontur ini menghubungkan daerah-daerah dengan iluminasi cahaya sama. Adanya garis kontur ini menggambarkan iluminasi cahaya CFL yang terjadi di bawah bagan apung, sehingga daerah di bawah bagan apung dapat dipetakan berdasarkan iluminasinya. Hasil beberapa posisi pengukuran menunjukkan bahwa iluminasi sumber cahaya CFL terdistribusi mulai dari 360 lux pada pusat sumber cahaya sampai 0,3 lux di kedalaman lebih dari 4 m dengan penurunan iluminasi cahaya CFL secara signifikan dari 360-25 lux pada radius 2 m di permukaan hingga kedalaman 2 m.

(20)

10

Sebaran Sel kerucut(cone cells)

Garis kontur pada gambar mata kiri ikan mengilustrasikan pola sebaran kepadatan sel kerucut pada retina mata ikan. Penentuan arah sumbu penglihatan dilakukan dengan cara menarik garis lurus dari bagian dalam garis kontur yang memiliki nilai tertinggi menuju titik pusat lensa mata. Nilai pada garis kontur menjelaskan kepadatan sel kerucut daerah tersebut dan titik pusat lensa mata berada di pusat lingkaran mata. Garis lurus dari hasil inilah yang disebut sumbu penglihatan mata ikan, sehingga arah sumbu penglihatan dapat diidentifikasi berdasarkan pada gambar 9-11.

Gambar 9 Kontur sebaran sel kerucut dan sumbu pengihatan tongkol komo (Euthynnus affinis)

Hasil analisis histologi mata tongkol komo (Euthynnus affinis) dengan ukuran TL 20 cm dan diameter retina 18 mm pada gambar 9 menunjukkan konsentrasi sel kerucut berada di bagian ventro-temporal mata dengan 450 sel/mm2, sehingga sumbu penglihatan tongkol komo (Euthynnus affinis) mengarah ke atas.

Gambar 10 Kontur sebaran sel kerucut dan sumbu penglihatan tembang (Sardinella fimbriata)

(21)

11 Sementara pada gambar 10 terlihat konsentrasi sel kerucut sebanyak 900 sel/mm2 berada pada bagian ventral mata, sehingga arah sumbu penglihatan tembang (Sardinella fimbriata) berukuran TL 17 cm dengan diameter retina 9 mm mengarah ke atas.

Gambar 11 Kontur sebaran sel kerucut sumbu penglihatan pepetek (Leiognathus sp.)

Kontur sebaran sel kerucut mata pepetek (Leiognathus sp.) yang memiliki ukuran TL 7 cm dan diameter mata 4.5 mm pada gambar 11 menunjukan kepadatan tertingginya berada di bagian ventro-temporal mata. Jadi sumbu penglihatan pepetek (Leiognathus sp.) mengarah ke atas dengan konsentrasi sel kerucut sebanyak 800 sel/mm2.

Pembahasan

Berdasarkan hasil observasi selama penelitian pada jenis ikan hasil tangkapan nelayan bagan apung diperoleh jumlah tangkapan yang berbeda. Salah satu penyebab perbedaan jumlah hasil tangkapan pada masing-masing jenis ikan adalah sifat fototaksis positif. Fototaksis positif pada ikan adalah pergerakan ikan mendekati cahaya karena tertarik oleh rangsangan yang diberikan cahaya.

Mekanisme pengaruh cahaya dengan organ mata pada ikan yaitu saat ikan menerima cahaya sel kerucut bergerak ke permukaan, mejadikan ikan tertarik untuk mendekati cahaya dan kemudian bila indeks sel kerucut telah mencapai maksimal maka ikan akan segera menjauhi cahaya yang sebelumnya telah menariknya untuk mendekat. Indeks sel kerucut adalah jarak antara pusat elipsoid sel kerucut dengan pigmen dasar (Purbayanto et al. 2010). Menurut Razak et al. (2005), indeks sel kerucut berbeda-beda pada setiap jenis ikan karena kemampuan mata ikan dalam menerima intensitas cahaya yang masuk. Hal ini sesuai dengan pendapat Nicol (1989) yang menyatakan bahwa secara umum gerakan sel kerucut tergantung jenis ikan. Misalnya untuk pin salmon dan mackerel tertarik pada intensitas cahaya 1.0-0.001 lux. Sehingga Mitsugi (1974) menyatakan bahwa secara umum ikan tertarik cahaya dengan intensitas 0.001-10 lux.

Jenis ikan yang paling banyak tertangkap selama observasi yaitu cumi (Loligo sp.). Banyaknya cumi (Loligo sp.) yang tertangkap dikarenakan sifat fototaksis terhadapa cahaya lampu bagan. Menurut Makino et al. (2010), beberapa

(22)

12

jenis cephalopode yang biasa kita kenali sebagai cumi (Loliho sp.) seperti Euprymna morsei, Sepioteuthis lessoniana, Todarodes pacificus, Eucleoteuthis luminosa dan Thysanoteuthis rhombus memiliki sel kerucut pada bagian retina matanya, serta hasil penelitian sensitivitas warna yang dapat diterima oleh cumi (Loligo sp.) mengindikasikan cumi (Loligo sp.) termasuk ikan bersifat fototaksis positif (Septanti 2009). Jadi cumi (Loligo sp.) tertangkap oleh bagan dikarenakan sifat fototaksi positif terhadap cahaya CFL pada bagan apung.

Adapun tongkol (Euthynnus sp.) dan pepetek (Leiognathus sp.) juga termasuk jenis ikan yang cukup banyak tertangkap. Berdasarkan hasil analisis histologi mata pada kedua jenis ikan ini terdapat sel kerucut sehingga kedua jenis ikan ini memiliki sifat fototaksis positif. Semantara layur (Trichiurus sp.) paling sedikit tertangkap, kemudian tembang (Sardinella fimbriata.) dan layang (Decapterus russelli).

Menurut Setiawan (2006), layur (Trichiurus sp.) cenderung bersifat fototaksis negatif dan hanya tertarik oleh kilatan-kilatan cahaya. Analisis histologi yang dilakukan pada retina matanya memperlihatkan susunan sel kerucut terdiri dari sel kerucut tunggal (single cone cells) dan sel kerucut ganda (twin cone cells) dengan posisi sel kerucut tunggal dikelilingi empat buah sel kerucut ganda membentuk susunan mozaik. Sel kerucut tunggal memiliki kemampuan dalam hal kepekaan (sensitivitas) terhadap cahaya dan ketajaman penglihatan, akan tetapi sel kerucut ganda mempunyai kemampuan lebih sensitif terhadap cahaya dibandingkan sel kerucut tunggal. Susunan sel kerucut ini menunjukkan bahwa ikan tersebut sangat intensif dalam menggunakan indera penglihatannya, biasanya ikan yang aktif memburu mangsa (Razak et al. 2005). Gerak renang ikan dalam memburu mangsa sering disebut brust speed (renang kilat) sehingga diduga cahaya yang ada malah mengakibatkan ketakutan atau flickering agent.

Cahaya dalam perikanan bagan digunakan untuk mengkonsentrasikan schooling ikan pada area pencahayaan (catchable area). Catchable area adalah area pada suatu perairan tempat ikan dapat ditangkap. Sehingga intensitas cahaya sangat menentukan terhadap illuminasi cahaya yang masuk ke dalam air agar ikan dapat tertangkap (Haruna 2010). Oleh karena itu, cahaya merupakan faktor utama dalam keberhasilan operasi penangkapan ikan pada malam hari, khususnya pada perikanan bagan apung.

Pada Gambar 8 memperlihatkan iluminasi cahaya bawah air terdistribusi mulai dari 360 lux di permukaan perairan mengalami penurunan intensitas cahaya secara eksponensial sampai dengan intensitas cahaya 1 lux pada kedalaman 4-5 m. Distribusi intensitas cahaya bawah air terhadap jarak mengikuti persamaan I=6017,1 e-0.75x dengan koefisien determinasi (R2) sebesar 0.95 dapat diartikan bahwa sebesar 95% variasi dari intensitas cahaya di bawah air dapat diakibatkan oleh hubungan linier jarak sumber cahaya, sedangkan 5 % sisanya diterangkan oleh galat (error) atau pengaruh variabel yang lain. Galat atau pengaruh vairabel lainnya yaitu faktor yang mempengaruhi penetrasi cahaya masuk ke dalam perairan, antaralain absorbsi cahaya oleh partikel-partikel air, kecerahan, pemantulan cahaya oleh permukaan laut, musim dan lintang geografis (Nybakken 1988). Sehingga nilai iluminasi suatu sumber cahaya akan menurun dengan semakin meningkatnya jarak dari sumber cahaya tersebut dan nilainya akan berkurang apabila cahaya tersebut masuk ke dalam air karena mengalami pemudar (Ben-Yami 1987).

(23)

13 Penetrasi intensitas cahaya dalam air ini yang merangsang ikan dan menarik (attract) ikan untuk berkumpul pada sumber cahaya atau karena rangsangan cahaya (visual stimulant), kemudian ikan merespons hal tersebut. Hubungan respons schooling ikan dengan arah sumbu penglihatan seperti pada Gambar 12, yaitu ikan yang arah sumbu penglihatannya ke bawah berada di atas objek penglihatanya. Sedangkan ikan dengan sumbu penglihatan ke arah atas berada di bawah objek penglihatannya.

Gambar 12 Ilustrasi tingkah laku ikan terhadap artificial visual stimulant

Sumbu penglihatan diperoleh setelah nilai kepadatan sel kerucut tiap bagian dari retina mata ikan diketahui yaitu dengan cara menarik garis lurus dari bagian retina yang memiliki nilai kepadatan sel kerucut tertinggi menuju titik pusat lensa mata (Tamura 1957). Meskipun hasil analisis histologi mata tongkol komo (Euthynnus affinis), tembang (Sardinella fimbriata), dan pepetek (Leiognathus sp.) membuktiakn arah sumbu penglihatannya ke atas, namun kepadatan sel kerucut tertinggi letaknya tidak sama. Kepadatan sel kerucut tertinggi tongkol komo (Euthynnus affinis) dan pepetek (Leiognathus sp.) berada di bagian ventro-temporal mata dengan konsentrasi masing-masing yaitu 450 sel/mm2 dan 800 sel/mm2. Sedangkan tembang (Sardinella fimbriata) memiliki kepadatan sel kerucut tertinggi sebanyak 900 sel/mm2 berada pada bagian ventral mata.

Oleh karena itu, ada kemungkinan perbedaan letak kepadatan sel kerucut pada retina mata ikan mempengaruhi sudut orientasi sumbu penglihatannya yang menyebabkan posisi verikal-horizontal (swimming layer) ikan terhadap sumbu sumber cahaya/ objek penglihatan berbeda setiap jenis ikan pada Gambar 13.

(24)

14

Ikan yang memiliki kepadatan sel kerucut pada bagian ventral, posisinya akan berada lebih dekat dengan sumber cahaya di bandingkan dengan ikan yang kepadatan sel kerucutnya di bagian ventro-temporal atau pun temporal. Namun kenyataanya banyak faktor lain yang mempengaruhinya sehingga perlu dikaji lebih lanjut mengenai posisi vertikal-horizontal ikan terhadap orientasi sumbu penglihatan. Ilustrasi orientasi sumbu penglihatan ikan dapat berkorelasi terhadap posisi vertikal-horizontal ikan seperti pada Gambar 14.

Gambar 14 Respons schooling ikan terhadap lampu pada bagan

Dengan demikian posisi swimming layer ikan dipengaruh oleh arah visual axis mata ikan itu sendiri. Penurunan posisi sumber cahaya ke dalam perairan akan mengakibatkan swimming layer ikan-ikan dengan arah visual axis ke atas akan semakin turun berada di bawah posisi lampu tersebut. Penurunan swimming layer ini akan menyebabkan catchable area pada perikanan bagan akan semakin turun ke bawah karena ikan-ikan yang menjadi target tangkapannya merupakan ikan-ikan dengan arah visual axis ke atas. Oleh karena itu perlu adanya penurunan posisi waring agar schooling ikan tetap berada di catchable area-nya. Sedangkan ikan-ikan dengan arah visual axis ke bawah akan berkumpul terkonsentrasi di sekitar sumber cahaya karena tertarik oleh rangsangan cahaya tersebut.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Iluminasi sebaran cahaya lampu CFL pada bagan apung di Palabuhanratu memperlihatkan intensitas cahaya 360 lux pada bagian tengah sumber cahaya di permukaan air sampai 1 lux pada kedalaman 4-5 m.

Sementara itu, hasil analisis histologi terhadap ketiga jenis mata ikan hasil tangkapan nelayan bagan yaitu tongkol komo (Euthynnus affinis), tembang (Sardinella fimbriata.), dan pepetek (Leiognathus sp.) memiliki arah sumbu penglihatan (visual axis)ke atas.

(25)

15 Saran

Diperlukan upaya penelitian sumbu penglihatan (visual axis) terhadap jenis ikan lainnya, sehingga diperoleh informasi mengenai arah sumbu penglihatan (visual axis) mata ikan untuk mengembangkan strategi penangkapan yang lebih efektif dan ramah lingkungan. Serta penambahan jumlah sampel mata ikan yang digunakan untuk analisis histologi agar data hasil yang diperoleh lebih akurat.

DAFTAR PUSTAKA

Anggawangsa RF, Hargiyatno IT, Wibowo B. 2013. Pengaruh iluminasi atraktor cahaya terhadap hasil tangkapan ikan pada bagan apung. J Lit Perikan Ind. Vol.19 (2 Juni 2013):105-111.

Angka EL, Mokoginta I, Hamid H, penghimpun. 1990. Anatomi dan Histologi Banding Beberapa Ikan Air Tawar yang Dibudidayakan di Indonesia [bibliografi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Ayodhyoa AU. 1981. Metode Penangkapan Ikan. Bogor (ID): Yayasan Dewi Sri. Ben-Yami M. 1976. Fishing with Light. Surrey (GB): Arrangement with FAO of

The United Nations by Fishing News Books Ltd,.

Blaxter JHS. 1980. Vision and the feeding of fishes. Di dalam: Bardach JE, Magnuson JJ, May RC, Reinhart JM, editor. Fish behavior and its use in the capture and culture of fishes; Manila, Philippines (PH): ICLARM. hlm 32-56. Friedman AL. 1986. Model Perhitungan untuk Alat Penangkap Ikan. Balai

Pengembangan Penangkapan Ikan, penerjemah. Semarang (ID): Balai Pengembangan Penangkapan Ikan. Terjemahan dari: Calculation for Fishing Gear Design.

Gunarso W, penghimpun. 1985. Tingkah Laku Ikan dalam Hubungannya dengan Metode dan Taktik Penangkapan [bibliografi]. Bogor (ID): Jurusan Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan Institut Pertanian Bogor.

Haruna. 2010. Distribusi cahaya lampu dan tingkah laku ikan pada proses penangkapan bagan perahu di perairan maluku tengah. Jurnal Amanisal PSP FPIK Unpatti-Ambon. Vol. 1(1 Mei 2010):22-29.

Holil U. 2000. Studi tentang sebaran cahaya lampu TL dalam air dengan sumber solar cell system pada pengoperasian bagan apung [Skripsi]. Bogor (ID): Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, FPIK, Institut Pertanian Bogor.

Makino A, Miazaki T. 2010. Topographical distribution of visual cell nuclei in the retina in relation to the habitat of five species of decapodiformes (cephalopoda). J Molluscan Studies. Vol. 76 (2010):180-185. doi:10.1093/eyp055.

Mitsugi S. 1974. Fish Lamps in Fishing Gear and Methods. Japan (JP): JICA. hlm 209-240.

Nicol JAC. 1989. The Eye of Fishes. Oxford (GB): Clerendon Press. hlm 308. Nybakken JW. 1988. Biologi laut suatu pendekatan ekologi. Eidman HM,

penterjemah. Jakarta (ID): Gramedia. Terjemahan dari Marine biological: An approach ecology.

(26)

16

Purbayanto A, Riyanto M, Fitri ADP. 2010. Fisiologi dan Tingkah Laku Ikan pada Perikanan Tangkap. Bogor (ID): IPB Pr.

Puspito G. 2006. Sebaran iluminasi cahaya petromaks dan penerapannya pada perikanan bagan. Di dalam: Sondita MFA, Sobari MP, Simbolon D, Puspito G, Pane AB, editor. Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap”Menuju Paradigma Teknologi Perikanan Tangkap yang Bertanggungjawab dalam Mendukung Revitalisasi Perikanan”; Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan.

Razak A, Anwar K, Baskoro MS. 2005. Fisiologi Mata Ikan. Bogor (ID): Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, FPIK, Institut Pertanian Bogor.

Septianti R. 2009. Uji coba lampu LED berwarna terhadap hasil tangkapan cumi-cumi (Loligo sp.) pada alat bagan tancap di perairan semarang [Skripsi]. Bogor (ID): Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, FPIK, Institut Pertanian Bogor.

Setiawan AD. 2006. Ketajaman penglihatan ikan layur (Trichiurus sp.) hasil tangkapan pancing rawai di teluk Palabuhanratu, sukabumi, jawa barat [Skripsi]. Bogor (ID): Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, FPIK, Institut Pertanian Bogor.

Subani W, Barus HR. 1989. Alat dan Cara Penangkapan Ikan di Indonesia. Jilid 1. Jakarta (ID): Balai Penelitian Perikanan Laut. hlm 113-151.

Tamura T. 1957. A study of visual perception in fish. Especially on resolving power and accommodation. Bulletin of The Japanese Society of Scientific Fisheries. Vol. XXII (9):536-557.

von Brandt A. 1984. Fish Cathing Method of The World. London (GB): Fishing News Books Ltd,.

(27)

17 Lampiran 1 Jumlah ikan-ikan yang tertangkap berdasarkan jenis

Tabel 1 Ikan hasil tangkapan pada trip ke-1

Jenis Ikan Jumlah Ikan (ekor) Panjang Ikan (cm)

tongkol (komo) 90 20.95 cumi 19 16.15 tembang 3 14 kembung 14 16.1 cumi 18 15.5 layur 1 62 deles 11 14.1 tembang 1 15 cumi 122 19.8

Tabel 2 Ikan hasil tangkapan pada trip ke-2 Jenis Ikan Jumlah Ikan

(ekor) Panjang Ikan (cm) cumi 52 19.75 tembang 1 17 kembung 5 14 deles 34 14.4

Tabel 3 Ikan hasil tangkapan pada trip ke-3 Jenis Ikan Jumlah Ikan

(ekor) Panjang Ikan (cm) cumi 42 17.3 layang 8 10.5 cumi 12 17.2 cumi 1 26 tongkol (banjar) 35 24.3 layur 1 40 pepetek 288 6.9

Tabel 4 Ikan hasil tangkapan pada trip ke-4

Jenis Ikan Jumlah Ikan (ekor) Panjang Ikan (cm) cumi 80 15 kantong semar 30 35 tembang 3 20

(28)

18

Tabel 5 Ikan hasil tangkapan seluruh trip

Jenis Ikan Jumlah Individu

tongkol 125 cumi 346 tembang 8 kembung 19 layur 2 deles 45 layang 8 pepetek 288 kantong semar 30

Lampiran 2 Jumlah sel kerucut (cone cells) pada bagian retina tiga jenis ikan.

Tabel 6 Jumlah sel kerucut dari setiap potongan retina mata ikan Potongan retina ke- tongkol komo (Euthynnus affinis) tembang (Sardinella fimbriata) pepetek (Leiognathus sp.) 1 0 91 127 2 46 17 156 3 35 57 119 4 46 128 115 5 16 93 0 6 57 87 133 7 57 77 80 8 34 65 103 9 59 0 90 10 48 0 96 11 67 44 139 12 75 182 104 13 79 0 0 14 62 0 136 15 78 0 160

(29)

19 Lampiran 3 Foto sebaran spasial sel kerucut tongkol komo (Euthynnus affinis)

(30)

20

Lampiran 5 Foto sebaran spasial sel kerucut pepetek (Leiognathus sp.)

Lampiran 6 Foto dokumentasi pengambilan data

A

B

C

D

E

F

G

H

I

J

Keterangan:

A Marine underwater luxmeter

OSK Ogawa Seiki co. Ltd alat ukur

intensitas cahaya.

B Bagan apung lokasi pengambilan data intensitas cahaya dan sampel

ikan di Teluk Palabuhanratu.

C Pengambilan data intensitas cahaya pada bagan apung di Teluk

Palabuhanratu.

D Potongan retina mata ikan untuk pembuatan preparat retina.

E Proses dehidrasi jaringan retina selama 20 jam.

(31)

21

F Proses clearing jaringan retina selama 2 jam.

G Proses embedding jaringan retina selama 3 jam.

H Proses blocking jaringan retina selama 12 jam.

I Proses pemotongan jaringan retina dengan mikrotom.

J Pengamatan sel kerucut di bawah mikroskop.

(32)

22

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat pada tanggal 24 April 1992 dari pasangan Andang Maryana dan Cucu Suarningsih. Penulis merupakan anak sulung dari lima bersaudara. Penulis lulus dari SMA Negeri 1 Garawangi pada tahun 2010 dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk Institut Pertanian Bogor (USMI) pada Mayor Teknologi dan Manajemen Perikanan Tangkap.

Selama kuliah penulis aktif di Organisasi Mahasiswa Daerah (OMDA) Himpunan Mahasiswa Aria Kamuning (Himarika) sebagai anggota divisi Peningkatan Sumberdaya Manusia (PSDM) pada tahun 2010-2011 dan ketua divisi Eksternal pada tahun 2011-2012. Kemudian aktif juga di himpunan keprofesian (Himpro) departemen sebagai Ketua Badan Pengwas Himpunan Mahasiswa Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan (BP Himpro) pada tahun 2012-2013, serta mengikuti LK I Himpunan Mahasiswa Islam Komisariat Perikanan (HMI Kom-C) pada tahun 2011. Setelah itu, pada tahun 2012-2013 penulis diangkat sebagai bendahara umum HMI Kom-C. Selain itu penulis juga berkesempatan menjadi asisten praktikum mata kuliah Oseanografi Umum dan mata kuliah Alat Penangkap Ikan pada tahun 2013. Penghargaan yang pernah diraih oleh penulis yaitu Juara III Kontes Kapal Cepat Tak Berawak Nasional kategori II Fuel Engine yang diselenggarakan oleh Direktorat Pendidikan Tinggi (DIKTI) pada tahun 2013 dan memperoleh penghargaan Mahasiswa Berprestasi IPB di Bidang Ekstrakurikuler periode bulan Agustus – Desember 2013.

Dalam rangka menyelesaikan tugas akhir, penulis melakukan penelitian dan menyusun skripsi dengan judul “Sumbu Penglihatan (Visual Axis) Ikan Hasil Tangkapan Bagan Apung di Palabuhanratu”.

Gambar

Gambar 1  Posisi pengambilan data intensitas cahaya di bawah bagan apung
Gambar 2  Diagram alir penyiapan slide preparat sel kerucut (Angka et al. 1990)
Gambar 3  Ilustrasi pembagian spesimen mata pada pembuatan kontur sel kerucut
Gambar 4  Penentuan arah sumbu penglihatan (Tamura 1957)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Didalam penerimaan wakaf uang, Bank syariah pun harus mengacu pada Peraturan BWI No 1 Tahun 2009 tentang pedoman pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf bergerak berupa

Berdasarkan konsep diatas, untuk meningkatkan kapasitas produksi akuakultur pada pemeliharaan ikan selais dapat dilakukan dengan sistem aquaponik yaitu dengan

Sebagai lembaga pendidikan, sekolah memerlukan sarana dan prasarana yang digunakan untuk menunjang proses pembelajaran. Kesulitan pengadaan sarana dan prasarana

Observasi dibagi menjadi dua yaitu observasi aktivitas siswa dalam pembelajaran dilakukan oleh guru (peneliti) dan observasi penerapan pelaksanaan pembelajaran kooperatif tipe STAD

Sesungguhnya pada yang demikian itu benar- benar merupakan suatu tanda yang besar (atau mukjizat), akan tetapi kebanyakan mereka tidak beriman.. Dan sesungguhnya

Berdasarkan hasil Penelitian Tin- dakan Kelas yang dilaksanakan pada pembelajaran bercerita dengan meng- gunakan media boneka tangan, pada siswa kelas II SDN


 Hal
 ini
 akan
 nampak
 bagi
 Sutjipto
 dan
 Ridwan
 ketika
 menghadapi
 sebuah
 perbedaan
 pendapat.
 Sutjipto
 mengangankan
 sebuah


Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas maka dapat diidentifikasi masalah yang dihadapi adalah : Metode pengalokasian biaya produksi manakah yang tepat digunakan