• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II DESA PARULOHAN HINGGA TAHUN 1988

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II DESA PARULOHAN HINGGA TAHUN 1988"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

DESA PARULOHAN HINGGA TAHUN 1988

2.1. Asal-Usul Nama Desa

Nama sebuah desa sangat penting khususnya dalam suku Batak Toba. Pada umumnya hampir di setiap wilayah pemukiman ataupun perkmpungan suku batak Toba, pemberian nama untuk sebuah daerah bisanya dilatarbelakangi dari kondisi awal di daerah itu. Nama sebuah desa biasanya menjadi identitas yang menjadi ciri khas yang melambangkan keadaan di suatu desa atau daerah tertentu. Nama desa bukanlah hanya sebagai simbol namun jika dikaitkan dengan makna atupun arti nama desa tersebut, nama desa pada umumnya sering mempunyai hubungan dengan keadaan manusia (masyarakat) yang bertempat tinggal di dalam suatu desa.

Jika dilihat dari etimologi atau asal-usul kata Parulohan berasal dari kata godang

ulok, dalam bahasa Batak Toba Parulohan artinya sarang ular. Konon pada saat itu

masyarakat sering kali bertemu dengan ular, bahkan ular sering masuk ke rumah penduduk. Tak jarang dulunya di Parulohan sering kali ditemukan ular, baik di areal pertanian maupun pemukiman masyarakat. Bahkan apabila masyarakat ingin membuka lahan pertanian, masyarakat sering kali ditemukan sarang ular.

Parulohan bukan hanya menjadi sebuah nama melainkan juga sebagai filosofi/falsapah hidup terhadap masyarakat yang bertempat tinggal di Desa Parulohan. Masyarakat yang bertempat tinggal di Desa Parulohan menggangap nama Parulohan bukan sebuah kata yang mengandung makna yang negatif. Akhirnya mengingat ada pepatah orang batak Toba mengatakan “Marbisuk songon Ulok, Marroha songon

Darapati” (pintarlah seperti ular dan punya hati seperti merpati) artinya selalu pintar dan

(2)

tersebut diangkatlah nama desa ini menjadi Desa “Parulohan” dengan maksud agar kelak keturunan dari desa ini orang yang pintar dan maju dalam pemikiran.16

Keadaan maupun kondisi sebuah tempat mempunyai sebuah arti yang menjadi simbol dan dari keadaan tercipta sebuah nama. Nama itu bukanlah hanya sebuah ungkapan, namun nama itu tercipta dari sebuah sejarah di masa lampau. Parulohan bukanlah hanya sebuah ungkapan yang menandakan sebuah tempat, Parulohan menjadi bukti bagian dari masa lalu. Kejadian di masa lalu yang berarti sampai sekarang.

2.2 Latar Belakang Historis Desa Parulohan

Awal mulanya perkampungan di Parulohan disebut dengan Huta17. Pemukimam di Huta Parulohan belum jelas diketahui, sejak kapan berdirinya dan siapa orang yang pertama kali bertempat tinggal di daerah ini. Namun jika dilihat dari silsilah dan keturunan, Huta ini telah berdiri dan sudah ada sejak ratusan tahun yang lalu. Huta Parulohan pertama kalinya dihuni dan didirikan oleh Ompu Gulasa, Ompu Sumandar

dan Ompu Parik18, ketiga ompu ini merupakan nenek moyang dari marga Sihombing yang pertama kali bermukim dan menempati Huta Parulohan. Hal tersebut terbukti dari, dimana mayoritas penduduk di Huta Parulohan adalah marga Sihombing yang berasal dari keturunan Ompu Gulasa, Ompu Sumandar dan Ompu Parik19. Kalaupun sekarang

16 Wawancara dengan Tolopan Sihombing di Banjar Ganjang 2 Juli 2013. 17

Dalam buku yang berjudul Toba Na Sae karya Sitor Situmorang,bahwa huta adalah luasan hutan berupa lapangan kecil , di tengahnya sebuah pekarangan dan terbuka. Di satu sisi pekarangan terdapat sejumlah rumah kediaman , biasanya berjejer letaknya. Di belakang rumah ada kebun untuk keperluan sehari-hari , dihadapan rumah-rumah kediaman itu berdiri sebarisan lumbung (sopo), juga terdapat satu atau dua tempat berkubang. Keseluruhanya dikelilingi oleh tembok yang ditanami dengan bambu, kadang-kadang di sekitar temboknya digali parit.

18 Jika dilihat dari silsilah toga Sihombing, Ompu Gulasa, Ompu Sumandar dan Ompu Parik

merupakan keturunan dari Ompu Datu Lobi yang bermigrasi dari daerah Tipang (Kecamatan Baktiraja) ke daerah Lintong Nihuta dan membentuk huta sendiri yaitu Desa Parulohan.

19 Sebutan Ompu Gulasa, Ompu Sumandar dan Ompu Parik bukanlah nama, tetapi gelar yang

(3)

ada beberapa marga yang di Huta Parulohan, itu pasti ada hubunganya dengan marga Sihombing.20

Awalnya Huta Parulohan dibagi dalam tiga wilayah Paradatan (kekuasaan) yaitu wilayah paradatan ompu Gulasa, paradatan ompu Sumandar dan paradatan ompu Parik. Adapun pembentukan wilayah paradatan didasarkan pada tempat ataupun huta masing-masing Ompu.Wilayah paradatan ompu Gulasa berada di beberapa huta yaitu Huta Banjar Dolok, Janji Maria, Sosor Bagot dan Sosor Bagot, wilayah paradatan ompu

Sumandar hanya ada di dua Huta yaitu Huta Lobutua dan Banjar Ganjang sedangkan

wilayah paradatan ompu Parik berada di Sosor Julu, Sidua Huta dan Parsiponan. Setiap

huta awalnya dikepalai oleh seorang Raja Huta yaitu keturunan dari pendiri Huta (sampai

generasi berikutnya). Jabatan sebagai Raja Huta di desa ini sifatnya turun temurun dan menganut prinsip hak waris berada di tangan garis tertua/putra tertua (primogeniture). Adat di desa ini juga dulunya menenukan bahwa hak Raja Huta bersifat kekal (selamanya-lamanya) dan juga sebagai pengayom tanah ulayat (adat) yang hingga sampai sekarang juga terjadi.

Dalam perkembanganya huta Parulohan bukan lagi hanya dihuni oleh Marga Sihombing. Masuknya marga yang lain ke Huta Parulohan diakibatkan oleh karena adanya faktor perkawinan. Adapun faktor perkawinan yaitu adanya marga lain yang menikahi anak dari keturunan marga Sihombing dari Huta Parulohan. Bagi salah satu marga lain yang menikah dengan anak boru (anak perempuan) yang berasal dari salah keturunan marga dari Huta Parulohan, dan bertempat tinggal di Huta Parulohan biasanya berkedudukan sebagai sonduk hela ataupun boruni huta ( marga boru).

Adanya faktor perkawinan yang menyebabkan bertambahnya marga lain yang berdomisili di Huta Parulohan, sehingga Huta Parulohan bukan lagi hanya ditempati oleh

(4)

Marga Sihombing. Adanya faktor perkawinan juga menyebabkan berdirinya perkampungan baru serta menyebabkan munculnya bius21 (raja adat) yang berasal dari beberapa keturunan marga. Jabatan sebagai bius bukan hanya dipegang oleh raja huta (keturunan pendiri huta), peranan sebagai bius juga dijabat oleh marga boru yang telah mendirikan perkampungan baru (lumban) di Huta Parulohan. Marga boru yang menempati Huta Parulohan terdiri dari beberapa marga seperti: Marga Sinaga, Siregar,

Pakpahan, Samosir, Sitinjak, Nababan, Sibuea, Tampu Bolon, Sianturi dan beberapa

marga lainya. Di Huta Parulohan kedudukan paling tinggi biasanya dipegang oleh marga pemilik huta atau sering disebut dengan Raja Huta22. Raja Huta mempunyai hak yang lebih tinggi dari Marga Boru, dan bagi marga boru yang tinggal menetap di Huta Parulohan harus menjalankan peraturan yang dibuat oleh Raja Huta. Status marga boru sebagai pendatang dalam hukum adat hanyalah “menumpang dan berdomisil di tanah ulayat/adat marga raja huta lewat perkawinan”.

Huta Parulohan yang berganti nama menjadi Desa Parulohan. Menurut informasi

yang penulis dapatkan Desa Parulohan tidak diketahui jelas sejak kapan Desa Parulohan didirikan, dan bagaimana latar belakang awal pergantian Huta Parulohan menjadi Desa Parulohan. Namun, jika dilihat dari jumlah orang yang pernah menjabat sebagai Kepala Desa. Desa Parulohan telah berdiri sejak ratusan tahun yang lalu tanpa diketahui latar belakang dan proses pembentukanya. Karena diketahui desa ini telah ada sejak ratusan tahun yang lalu. Pada tahun 1970 Desa Parulohan pernah disatukan menjadi satu wilayah

21 Bius atau yang sering disebut dengan raja adat (petinggi-petinggi)artinya jabatan tertinggi dalam

sebuah huta setelah raja adat. Bius juga sering diartikan sebagai organisasi sosial tunggal yang berotonomi berdasarkan ekonomi pertanian sawah.

22 Arti dan pengggunaan istilah “Raja” dalam bahasa Toba bermacam-macam dan sering

disalahtafsirkan oleh pengamat asing, Dalam suku Batak Toba Khususnya masyarakat di Desa Parulohan bahwa raja itu identik dengan setiap orang dewasa, kepala keluarga, tanpa memandang asal-usul dan status sosialnya (kalau bukan Budak/hatoban) maka ia berstatus raja. Raja huta biasanya berasal dari keturunan pendiri huta menurut garis bapak, yaitu raja pertama. Jabatan ini, apabila keadaaan mengijinkan, diwariskan secara turun temurun oleh putra dari bapaknya.

(5)

pemerintahan (satu desa) dengan Desa Sibuntuon Partur, dan pada tahun 2003 Desa Sibuntuon Partur diciutkan lagi kembali ke desa semula23.

2. 3 Kondisi Gografis Desa Parulohan 2.3.1 Letak dan Keadaan Alam

Desa Parulohan merupakan salah satu desa dari 22 desa yang berada di Kecamatan Lintong Nihuta Kabupaten Humbang Hasundutan, Provinsi Sumatera Utara. Desa Parulohan memiliki luas wilayah 761 Ha atau 7,61 km. Desa Parulohan berada pada ketinggian 1500 meter dpl (diatas permukaan laut) dengan curah hujan 2309 Mm / tahun dan jumlah bulan hujan hanya 5 bulan setiap tahunnya. Jarak Desa Parulohan dari ibu kota Kecamatan Lintong Nihuta yaitu Desa Sibuntuon Parpea (Pasar Baru) sekitar 3 Km, dan berjarak 32 Km dari Kecamatan Dolok Sanggul (yang sekarang menjadi ibu kota Kabupaten Humbang Hasundutan)24. Secara administratif Desa Parulohan berbatasan dengan:

- Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Bakti Raja. - Sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Sibuntuon Partur.

- Sebelah Timur berbatasan dengan Desa Sigumpar, Desa Pearung (Kecamatan Paranginan).

- Sebelah Barat berbatasan dengan Desa Sitolu Bahal dan Desa Habeahan.

Dengan luas wilayah 766 Ha atau 7,61 Km, Desa Parulohan terbentuk atas 6 kawasan dusun dengan perincian luas setiap dusun sebagai berikut:

23 Wawancara dengan Arpin Sihombing di Banjar Dolok 4 Juli 2013. 24 Format Laporan profil Desa dan Kelurahan, Desa Parulohan tahun 2002.

(6)

- Dusun 1: luasnya 130 Ha (Sosor julu, Lumban Pakpahan, Lumban Natur, Lumban Dolok).

- Dusun 2: luasnya 74 Ha (Sidua Huta, Parsiponan).

- Dusun 3: luasnya 89 Ha (Janji Maria, Lumban Jobit, Lumban Tua, Banjar Ganjang, Lumban parhehean).

- Dusun 4: luasnya 90,32 Ha (Lumban Tumanro, Banjar Dolok, Sosor Bagot, Sosor Bahal, Banjar Sinaga).

- Dusun 5: luasnya 169 Ha (Lobutua, Lumban Rialan, Lumban Rumina, Lumban Judika).

- Dusun 6: luasnya 208,64 Ha (Lumban Tarias, Lumban Spantun, Lumban Siregar, Lumban Jorang, Lumban Lobuan, Lumban Tonga-Tonga, Lumban Batuguri, Lumban Sibuea).

2.3.2 Keadaan Tanah dan Status Kepemilikan/ Penguasaan Tanah

Tradisi adat masyarakat di Desa Parulohan yang menganggap bahwa tanah itu sering disebut dengan “ulos na so buruk” (ulos yang tak bisa rusak). Masyarakat juga mengganggap bahwa tanah merupakan barang yang sangat berharga sebagai warisan dari

ompu sijolo-jolo tubu (nenek moyang) dan titipan dari Debata mulajadi nabolon (Tuhan

Yang Maha Esa). Tanah yang dianggap sangat berharga bagi masyarakat pada saat itu, akibatnya sangat jarang masyarakat yang menjual tanah. Masyarakat yang menjual tanahnya itu hanyalah karena adanya kebutuhan tertentu (keadaaan paksaaan), awalnya sistem penjualan tanah dilakukan masyarakat yaitu masyarakat yang menjual tanah selalu mengusahakan untuk menjual tanahnya ke sesama keluarga (keluarga dekat). Sebagian masyarakat juga ada yang menjual tanahnya dengan menjual tanahnya dengan sistem

(7)

pemamfaatan lahan sebelum adanya pertanian kopi Sigarar utang di Desa Parulohan dapat terlihat pada tabel berikut:

Tabel 1.1

Luas Lahan menurut Peruntukkan di Desa Parulohan Tahun 1980

No Peruntukkan Lahan Luas Presentase

1 Persawahan 82,50 Ha 10,83 %

2 Areal pertanian kopi 17,75 Ha 4,35 % 3 Tegalan (lahan kosong) 614,75 Ha 80,31 % 4 Perumahan / Pemukiman 13,55 Ha 21,77 %

5 Kolam / Perikanan 22,00 Ha 2,88 %

6 Perkantoran / Sarana Sosial a.Kantor/Balai Desa

b.1Poskesdes c.1Unit Gereja

d.1Unit SD

e.Jalan Umum/ Jalan Dusun f.Saluran Irigasi Tersier g.Saluran Irigasi Pembuang

h.Kuburan i.Irigasi 0,02 Ha 0,08 Ha 0,35 Ha 0,20 Ha 5,31 Ha 0,26 Ha 0,11 Ha 5,00 Ha 0,05 Ha 0,002 % 0,010 % 0,045 % 0,026 % 0,69 % 0,034 % 0,014 % 0,65 % 0,007 % TOTAL 761,32 Ha 100 %

( Sumber : Koordinar Penyuluh Pertanian Lapangan Kecamatan Lintong Nihuta tahun 1980)

Sebagian besar tanah di Desa Parulohan merupakan tanah podzal (podzolid)25, dan sebagian kecil lainnya adalah tanah merah. Sebagian besar tanah di Parulohan sangat cocok digunakan untuk lahan pertanian pangan, palawija dan holtikultura. Kondisi

25 Yang dimaksud dengan tanah podzal adalah tanah subur yang pada umumnya berada di daerah

(8)

wilayah Desa Parulohan dengan keadaan tanahnya datar, berada pada daerah pegunungan yang beriklim dingin26. Sebagian besar tanah di Desa Parulohan merupakan tanah tegal (perladangan) yang pada waktu itu digunakan untuk pertanian padi dan ubi.

Sebelum adanya pengaruh modern ataupun pengaruh dari budaya lain, hukum pengusaan tanah di Desa Parulohan disesuikan dengan hukum adat dan bius yang berlaku, adapun hukum adat penguasaan tanah yaitu: hukum pertanahan tanah adat (ulayat) merupakan milik Raja Huta (pendiri Huta), kawasan sumber daya komunal (hutan, padang rumput penggembalaan, Harangan, tambok (kali/waduk) dan pemukiman dikuasai secara bersama-sama (kolektif) berdasarkan hukum yang ditetapakan oleh Raja

Huta, hukum parsahutaon adalah hak pendiri Huta/ pemilik Huta sesuai dengan aturan

yang dibuat oleh Raja Huta.

Adanya pengaruh dari hukum adat yang menyatakan bahwa sebagian besar kawasan huta (desa), merupakan hak pendiri Huta dan didasarkan garis keturunan dari anak laki-laki). Sistem kepemilikan tanah di desa ini lebih ditekankan kepada anak laki yang merupakan penyambung garis keturunan, dan sebagian tanah di berikan kepada boru (anak perempuan). Dalam hukum adat di Desa Parulohan, pola kepemilikan (pembagian) tanah untuk anak dan boru sangatlah berbeda. Hal ini disebut dengan istilah Panjaean dan

Pangusean, panjaean yaitu sebidang tanah warisan yang diberikan kepada anak laki-laki,

tanah penjaean biasanya diberi orang tuanya setelah anaknya sudah marhasohotan (berumah tangga/ membentuk keluarga baru). Adapun pangusean yaitu sebidang tanah yang menjadi bagian dari boru (anak perempuan), pemberian tanah untuk boru sama halnya seperti untuk boru yaitu diberi setelah borunya marhamulian (menikah dengan lelaki bermarga lain). Antara panjaean dan pengusean memang berbeda, luas tanah

(9)

panjean yang diberikan kepada anak biasnya jauh berbeda dengan pangusean yang

diberukan kepada boru.

2. 4 Kondisi Sosial Budaya dan Sistem Kemasyarakatan

Kehidupan sosial masyarakat di Desa Parulohan sangat kental dengan tradisi-tradisi peninggalan leluhur. Upacara-upacara adat yang berhubungan dengan siklus hidup manusia (lahir –dewasa/berumah tangga-meninggal dunia), seperti upacara kelahiran (maresek-esek)27, pemberian nama (tardidi/Parupa-upaan)28, pernikahan dan upacara-upacara yang berhubungan dengan kematian,hampir selalu dilakukan oleh warga masyarakat. Selain itu, tradisi keagamaan (hari-hari besar agama Kristen), dan syukuran atas hasil panen (pesta gotilon)29 atau semacamnya juga masih dilakukan setiap tahunya.

Gotong-royong biasanya bertujuan untuk kepentingan masyarakat umum atau kepentingan sesama warga masyarakat. kegiatan gotong-royong pada umumnya diwujudkan dalam kegiatan atau aktivitas kerja bersama dengan tujuan yang sama. Seperti kerja bakti menata lingkungan ataupun kerja bersama menyelenggarakan suatu kegiatan upacara (ritual).

Ikatan kekeluargaan bagi petani kopi di Desa Parulohan yang masih terjaga erat, baik yang tinggal di dalam satu dusun maupun yang tinggal di dusun lain. Eratnya bentuk persaudaraan di desa ini terlihat dari kegiatan gotong-royong dan adanya rasa tolong menolong diantara warga masyarakat dalam kehidupan bersama khususnya dalam kehidupan agama dan adat. Para petani di desa ini menunjukkan adanya rasa senasib dan sepenanggungan di antara mereka. Hal ini antara lain bila diantara mereka sedang

27 Maresek-esek dilaksanakan oleh para ibu rumah tangga sebagai bentuk ucapan syukur kepada

bayi yang baru lahir.

28 Tardidi atau parupa-upaan dilaksanakan oleh masyarakat yang bergama Kristen, hal ini

dilakukan dalam rangka pemberian nama kepada setiap bayi yang baru lahir dan bayi itu sudah terdaptar sebagai angggota jemaat gereja sesuai gereja yang diikuti oleh kedua orangtua bayi tersebut.

29 Pesta gotilan atau pesta syukuran, acara ini dilaksanakan di gereja setiap tahunya dalam rangka

pemberian sebagian hasil pertanian (biasanya padi atau pun dalam bentuk uang) sebagai bentuk ucapan syukur terhadap berkat yang diterima oleh jemaat gereja.

(10)

mengadakan suatu pesta (acara adat), ataupun bila diantara mereka sedang mengalami musibah (dukacita). Dalam kehidupanya sebagai petani mereka mempunyai tujuan yang sama, yaitu bagaimana hasil produksi pertanian kopi mereka semakin meningkat. Tujuan utama sebagai petani ini pulalah yang mendorong adanya semangat gotong-royong dan rasa tolong menolong di antara petani di desa ini.

Salah satu bentuk gotong-royong dan tolong-menolong dalam kehidupan bermasyarakat petani kopi di Desa Parulohan terlihat dalam sebuah acara pesta (adat). Bagi masyarakat di Desa Parulohan yang melakukan sebuah acara pesta baik pernikahan

(pamasu-masuon), mamestahon huta (pesta tugu/peresmian suatu huta) , monding / saur satua (kematian), ulang tahun, dll. Untuk meringankan beban dari keluarga yang

mengadakan pesta, para tetanga (dongan sahuta dan dongan saparadatan) biasanya memberikan sumbangan (papungu tuppak) dalam bentuk uang ataupun beras. Sumbangan ini dilakukan dalam bentuk kewajiban bagi anggota masyarakat yang mengadakan acara adat, hal ini juga dilakukan secara bergantian dalam setiap acara adat. Selain memberikan sumbangan, para petani di desa ini juga berpatisipasi untuk membantu pihak yang mengadakan pesta dalam bentuk materi dan tenaga.

Kegiatan tolong-menolong juga terlihat pada sebuah keluarga yang tertimpa kedukaan (kemalangan), seperti ada salah satu dari anggota keluarga yang kecelakaan. Apabila ada terdengar salah satu dari warga masyarakat yang kemalangan, para petani di desa ini pada umunya berdatangan untuk menjenguk. Biasnya bagi anggota masyarakat yang tertimpa bencana, di desa ini diadakan sebuah acara Mangapuli (menjenguk orang yang sakit). Acara ini dilakukan dalam bentuk doa bersama antar sesama warga, bagi keluarga terdekat yang mengalami musibah biasanya mamboan Sipanganon (membawa makanan) sebagai bentuk adanya rasa saling senasip dan sepenanggungan).

(11)

Budaya dan hukum adat yang selalu dijunjung tinggi oleh masyarakat, sehingga pola kehidupan masyarakat di desa ini diikat oleh sistem adat yang berlaku. Masyarakat menggangap bahwa selain hukum agama, hukum tertinggi adalah hukum adat. Segala bentuk permasalahan/perselisihan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat, selalu diselesaikan dengan hukum adat disamping hukum agama. Hukum adat yang mengacu pada sistem dalihan natolu (somba marhula, elek marboru, manat mardongan tubu), artinya bahwa kita harus selalu hormat kepada Tulang (keluarga dari pihak ibu), sabar terhadap boru (keluarga dari pihak perempuan) dan harus hati-hati-hati kepada dongan

tubu (satu marga). Sistem inilah yang selalu dijunjung tinggi oleh masyarakat dalam

menjalankan hidupnya sehari-hari.

Adanya umpasa dan umpama (pribahasa dan pepatah) yang merupakan bagian dari budaya adat yang berlaku di Desa Parulohan. Masyarakat di desa ini menerapkan hukum adat dalam bentuk pengucapan umpasa dan umpama yang banyak mengandung makna, nilai-nilai ataupun norma-norma (falsapah hidup). Sistem politik, hukum dan adat diwujudkan/didasari dari umpasa dan umpama yang sumber petunjuk hidup bermasyarakat. Dalam sistem adat, kehidupan masyarakat di desa ini mempunyai status ataupun golongan yang berbeda yaitu status parhuta (pemilik huta) dan boruni

huta/sonduk hela/maisolat (marga boru). Namun, dalam hukum agama status dan

golongan masyarakat sama tanpa ada perbedaan. Dalam hukum agama setiap masyarakat yang melanggar hukum, dihukum sesuai hukum yang berlaku tanpa memandang status maupun golongan. Bebeda dengan hukum adat, hukum adat biasanya lebih memihak kepada pemilik huta.

Dalam pelaksanaan tatanan kehidupan sehari-hari di Desa Parulohan terdapat dua unsur kepemimpinan yang satu sama yang lain bekerja sama untuk mengatur tatanan hidup kemasyarakatan. Adapun kedua kepemimpinan itu adalah kepemimpinan formal

(12)

dan non formal. Kepemimpinan formal yaitu kepemimpinan yang berhubungan dengan pemerintahan desa seperti kepala desa, kepala dusun, dan sekretaris desa. Kepemimpinan non formal atau kepemimpinan adat dan agama, yang berfungsi sebagai pemimpin kehidupan yang berhubungan dengan adat dan agama. Setiap acara adat biasanya dipimpin oleh dua unsur yang berbeda yaitu raja huta dan raja adat. Pemimpin agama yang sering disebut dengan sintua (penatua gereja) dan parhangir (pimpinan gereja), kedua pimpinan ini biasanya berpungsi untuk memimpin acara kerohanian yang ada dalam masyarakat.

Kegotongroyongan masyarakat di desa ini terlihat masih kuat. Dinilai dengan masih adanya gotong royong dalam hal mengerjakan pengolahan lahan (Marsiadap ari)30. Kebiasaan menjenguk orang kemalangan (tetangga atau sanak famili) masih dilakukan oleh masyarakat. Biasanya ketika terjadi kemalangan (rumah kebakaran,kecelakaan

misalnya) dibuat sebuah acara untuk pengumpulan tumpak (dana), mereka

mengumpulkan uang bersama-sama warga untuk kemudian disumbangkan kepada keluarga yang kemalangan untuk meringankan beban/biaya keluarga yang kemalangan. Kebiasaan saling memperbaiki rumah, semua itu menggambarkan bahwa hubungan kekeluargaan di desa ini masih erat/kuat yang tersirat dalam bunyi umpasa yaitu:

Jonok pe partubu

Jonokan dope parhundul Terjemahan

Hubungan darah memang penting

Tetapi lebih penting lagi rukun ketetanggaan/ sewilayah

Artinya solidaritas yang timbul dari tempat tinggal/domisili lebih utama daripada hubungan darah (marga).

(13)

2.5 Keluarga dan Kekerabatan

Sebagai unit masyarakat terkecil, keluarga adalah suatu kelompok yang terikat oleh hubungan perkawinan atau hubungan darah31. Seperti juga di keluarga-keluarga lain fungsi utama keluarga adalah memberikan perlindungan, memberi perasaan aman,melakukan pengasuhan dan pendidikan kepada setiap anggota keluarga. demikian juga halnya keluarga-keluarga yang terdapat pada petani di Desa Parulohan.

Sebagaimana dalam tradisi ataupun adat Batak Toba pada Umunya, bahwa bentuk keluarga yang dianggap ideal pada masyarakat di Desa Parulohan adalah keluarga batih. Setiap keluarga baru yang telah mampu berdiri sendiri diharapkan dapat membangun rumah tangga sendiri terlepas dari rumah tangga orang tuanya. Oleh sebab itu melalui berbagai cara para orang tua akan berusaha untuk dapat memberikan bekal anak-anaknya agar mereka mampu memenuhi keluarganya. Proses pembentukan keluarga dan rumah tangga yang baru di desa ini biasanya disebut dengan manjae, manjae artinya pembentukan keluarga baru dan tidak satu rumah lagi dengan orang tua (biaya hidup ditanggung sendiri). Pada umumnya setiap orang di desa ini yang ingin membuat anaknya manjae, para tua memberi modal awal seperti panjaean (lahan pertanian) modal untuk membangun rumah yang bentuknya sederhana.

Tingginya harga jual tanah di Desa Parulohan yang disebabkan oleh semakin meluasnya lahan pertanian, diikuti juga dengan bertambahnya jumlah penduduk yang bertempat tinggal di desa ini. Hal ini juga menyebabkan semakin mahalnya harga jual tanah untuk lokasi pembangunan rumah ataupun untuk lahan pertanian, akibatnya banyak keluarga baru yang belum mampu untuk membeli tanah untuk areal pembangunan rumah yang baru. Bagi keluarga baru yang tidak manjae (masih satu rumah dengan orang tua) sehingga mereka harus “menumpang” di rumah orang tuanya.

(14)

Di samping itu, apabila dilihat dari sisi ekonomi ada semacam pengurangan bagi para orang tua apabila anaknya telah berkeluarga. Anak laki-laki atau perempuan yang telah menikah, diharapkan supaya anak-anaknya dapat memenuhi kebutuhan hidup untuk keluarga barunya. Hal ini berarti beban orang tua menjadi berkurang, walaupun dalam kenyataanya kejadian sebaliknya bisa terjadi. Bagi sebagian orang tua yang anaknya belum mampu semaksimal mungkin (bertanggung jawab penuh) untuk memenuhi kebutuhan rumah tangganya, sehingga seolah-olah mereka menjadi beban tangggungan orang tuanya. Kadang-kadang beban tanggungan yang diperoleh para orang tua bukan saja dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, tetapi juga mendapat beban tambahan sepeti harus Marorot (mengasuh cucu) pada saat anaknya bekerja

Para orang tua di desa ini pada umumnya menginginkan semua anak-anaknya untuk sekolah ke jenjang lebih tinggi. Para orang tua tidak ingin nasib anak-anaknya sama seperti mereka, setiap harinya bekerja tanpa merasakan panasnya matahari dan dinginya hujan. Pada umunya juga orang tua di desa ini tidak mengginginkan anak-anaknya untuk cepat menikah. Tradisi masyarakat petani di desa ini, masyarakat di desa ini menggangap bahwa urusan perkawian bukanlah hal yang utama. Para orang tua selalu berharap anak-anaknya mempunyai modal dan pengalaman hidup yang matang sebelum anak-anak menikah.

Bagi orang tua yang tidak bisa menyekolahkan anaknya, para orang tua di desa ini selalu berusaha untuk memberangkatkan anaknya untuk mangaranto (merantau) ke daerah lain. Banyak dari anak-anak di desa ini yang telah menyelesaikan sekolah dari bangku SMA pergi merantau. Setelah beberapa tahun hidup di perantauan, sebagian dari mereka yang telah mempunyai uang simpanan ada yang melanjutkan pendidikanya ke jenjang perguruan tinggi.

(15)

Tradisi ataupun adat keluarga petani kopi di Desa Parulohan. Pada umumnya setiap anggota keluarga mempunyai peranan dan tugas masing-masing dalam rangka menjalankan hidup keluarganya. Kepala rumah tangga yang biasnya dipegang oleh orang tua laki-laki (ayah), mempunyai tugas untuk mencari nafkah. Sementara itu urusan sehari-hari di rumah seperti menyiapkan kebutuhan hidup sesehari-hari-sehari-hari dan mengasuh anak merupakan tugas seorang ibu. Anak-anak petani di Desa Parulohan dalam hal kehidupan sehari-hari tidaklah hanya sekolah saja, tetapi juga ikut membantu pekerjaan orang tuanya. Bagi anak-anak yang berusia enam tahun ke atas baik laki-laki ataupun perempuan diharapkan dapat membantu pekerjaan yang dilakukan oleh orang tuanya. Bagi anak-anak di Desa Parulohan, sepulang sekolah diwajibkan datang ke lokasi pertanian untuk membantunya para orang tuanya. Bagi anak-anak yang berusia SD (Sekolah Dasar) dan SMP (Sekolah Menengah Pertama) biasanya diberi pekerjaan yang tidak terlalu memberatkan seperti memetik kopi, membersihkan rumput-rumput yang ada di areal pertanian kopi, dll. Dan untuk anak yang berusia SMA (Sekolah Menengah Atas), pada ummnya telah bisa bekerja dengan inisiatif sendiri tanpa arahan dari orang tua.

Sistem kekerabatan masyarakat petani di Desa Parulohan yang menganut sistem kekerabatan Patrinineal, artinya kedudukan ataupun peranan orang tua laki-laki (ayah) lebih tinggi dari orang tua perempuan (ibu). Segala sesuatu yang berkaitan dengan kebijakan yang akan menentukan kehidupan keluarga adalah orang tua laki-laki. Namun, di Desa Parulohan untuk urusan permasalahan perekonomian keluarga menjadi tanggung jawab oleh ayah dan ibu.

Bagi masyarakat di Desa Parulohan, laki-laki juga merupakan tokoh utama dalam tatanan kemasyarakatan. Hal ini antara lain terlihat dalam kehidupan sosial kemasyarakatan. Di samping kesibukanya sebagai kepala keluarga, berbagai kegiatan pada masyarakat Desa Parulohan selalu dipimpin dan ditokohi oleh laki-laki. Orang tua

(16)

perempuan lebih bersifat sebagai pendukung atau penunjang. Dalam berbagai acara adat, pesta dan upacara-upacara keagamaan pada umunya lebih di dominasi oleh laum laki-laki. Pimpinan-pimpinan lingkungan seperti Kepala Desa, Sekretaris Desa, Kepala Dusun yang ada di Desa Parulohan semuanya dijabat oleh laki-laki.

Sistem kekerabatan di Desa Parulohan yang masih terlihat satu dan utuh. Pada umumnya semua tatanan masyarakat mempunyai ikatan kekeluragaan antara satu dengan yang lainya. Adanya hubungan marga yang merupakan bentukan dari masa sebelumnya tidak bisa terlepas dari kehidupan sosial masyarakat di desa ini, karena itu tidaklah mengherankan bila tetangga mereka adalah juga saudaranya. Hampir setiap warga saling mengenal antara satu dengan yang lainya.

2.6 Kepercayaan dan Upacara

Masyarakat di Desa Parulohan yang ditandai dengan pola persamaan yang kuat dan utuh. Sebagian besar penduduk di Desa ini adalah suku batak Toba yang beragama Kristen Protestan. Seperti bagi pemeluk agama Kristen lainya, masyarakat di Desa Parulohan percaya bahwa segala sesuatu diciptakan oleh Yang Maha Kuasa. Dalam penyebutanya untuk menyebut Yang Maha Kuasa yaitu Debata Sitolu Sada (Debata Anak

dohot Tondi Porbadia). Hal ini yang menjadi pegangan dan dasar dalam kehidupan dalam

kehidupan beragama di Desa Parulohan.

Penghayatan dan kepercayaan tersebut diungkapkan dalam berbagai bentuk, misalnya dalam bentuk adat, nilai, dan upacara-upacara serta perayaan hari-hari besar tertentu. Masyarakat di desa ini yakin dan percaya bahwa manusia mempunyai keterbatasan dan berada yang pada posisi yang lemah di hadapan Tuhan Yang Maha Esa. Di samping percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa yang mempunyai dan berwenang dalam mengatur segala persoalan hidup dan kehidupan manusia di muka bumi, sebagian

(17)

masyarakat di desa ini juga percaya akan adanya ilmu-ilmu Hadatuon (dukun) dan adanya roh jahat seperti Begu Ganjang dan Sigumoang. Adanya roh-roh jahat yang pada waktu tertentu akan menggangu ketentaraman hidup masyarakat di Desa ini. Adanya roh-roh jahat yang kadang-kadang akan membawa kebinasaan, maka masyarakat berusaha untuk tidak mengganggu dan menghindar dari apa yang menjadi penyebab munculnya roh-roh jahat tersebut.

Sebagai bentuk dari sejumlah kepercayaan yang dimiliki oleh petani di Desa Parulohan dalam berbagai bentuk upacara. Salah satunya adalah upacara Mangongkal

Holi (pengambilan tulang-belulang manusia dari liang kubur). Upacara mangongkal holi

biasanya dilakukan bersamaan dengan acara pesta huta (peresmian huta). Upacara

mangongkal holi dilkukan dengan tujuan sebagai bentuk pengharagaan/ persembahan

dari pomparan (keturunan) kepada orang yang telah meninggal dunia. Kegiatan upacara

mangongkal holi merupakan upacara yang paling ramai dan terbesar dari berbagai

upacara yang biasa dilakukan oleh masyarakat di desa ini.

2.7 Pola Pemukiman, Keadaan Fisik dan Status Kepemilikan Rumah Warisan.

Tata letak bangunan rumah masyarakat Desa Parulohan pada umumnya mengelompok. Adapun pengelompokan ini ditandai oleh pengaruh jenis marga yang berbeda-beda, dalam setiap setiap perkampungan biasanya dihuni oleh marga yang yang sama atau masih satu keturunan. Bentuk bangunan rumah saling berhadapan, pola pemukiman masyarakat juga berkelompok dikarenakan pola perkampungan yang terpisah-pisah antara huta (kampung) yang satu dengan yang lain. Untuk pembangunan rumah tempat tinggal selalu disesuaikan dengan keadaaan tanah, keadaan tanah di desa ini yang terlihat datar membuat pola pembangunan rumah di desa ini teratur.

Pengaruh jumlah marga dan pertambahan jumlah penduduk di Desa Parulohan yang semakin tahun semakin semakin bertambah. Hal ini mengakibatkan munculnya pola

(18)

perkampungan-perkampungan baru, pola pembentukan kampung baru yang di didasarkan dari marga pemilik kampung tersebut. Munculnya perkampungan-perkampungan baru yang merupakan kawasan atau bagian terkecil dari huta, adapun kawasan pemukiman di desa ini dibagi dalam beberapa tingkatan:

a. Banjar yaitu suatu kawasan pemukiman yang bentuknya mengelompok, biasanya terdiri dari 10 sampai 15 kepala keluarga dihuni oleh keturunan dari raja huta

(pendiri/pemilik huta).

b. Sosor yaitu kawasan pemukiman yang hampir sama dengan banjar, namun sudah

dihuni oleh dari beberapa marga (keturunan dari pemilik huta dan marga boru (

hela/boru ni huta).

c. Lumban yaitu kawasan pemukiman yang masih baru diresmikan, dihuni oleh masyarakat yang masih satu keturunan (satu marga) yang membentuk perkampungan baru. Lumban biasanya dihuni oleh marga boru yang mendirikan perkampungan yang baru, biasanya dihuni oleh 4-5 kepala rumah tangga saja. Bentuk perkampungan di Desa Parulohan terlihat memang sangat unik, pola perkampungan di desa ini selalu di kelilingi oleh tembok/pagar yang ditumbuhi bambu. Setiap perkampungan (Banjar, Sosor maupun Lumban) selalu dikelilingi Parik ni Huta (tembok), diatas tembok ditanami bambu yang berpungsi sebagai pagar dan juga sebagai pembatas di setiap perkampungan. Setiap juga ditandai dengan adanya bahal (gerbang) sebagai pintu masuk menuju perkampungan penduduk. Pola perkampungan yang bentuknya mengelompok menjadikan Desa Parulohan terlihat rapi dan beraturan.

Sebelum tahun 1988 kondisi dan bentuk fisik bangunan rumah di Desa Parulohan pada umunya masih terlihat sederhana. Sebagian besar masyarakat tinggal dan menempati rumah panggung yang terbuat dari bahan kayu, bangunan rumah panggung dengan kolong yang memiliki ketinggian kira-kira 100-150 Cm dari permukaan tanah. Kolong

(19)

rumah yang biasa disebut dengan bara jabu juga dimafaatkan sebagai tempat/ kandang kerbau. Ruangan yang terdapat di dalam rumah terdiri atas ruang tamu yang berdampingan dengan dapur, di setiap rumah juga ditemukan tradisi yang sama yaitu setiap kamar tidur selalu berada di sebelah kanan pintu masuk rumah. Hampir di seluruh rumah tempat tinggal penduduk di desa ini mempunyai langit-langit, yang digunakan sebagai tempat penjemuran padi.

Di era sebelum tahun 1988 di desa ini juga masih ada ditemukan rumah tempat tinggal penduduk yang masih beratapkan ijuk dan rumbia. Di era ini juga masih ada sebagian masyarakat yang menempati rumah Bolon (rumah batak), rumah bolon biasanya ditempati oleh para petinggi-petinggi adat dan raja huta (pemilik huta).

Tata letak pembangunan rumah di desa ini yang selalu disesuaikan dengan keadaan sebelumnya membuat perkampungan Desa Parulohan terlihat sangat rapi dan teratur. Pola pembangunan rumah yang harus sama dan harus disesuaikan dengan tradisi dan adat pembangunan rumah. Adapun tradisi itu menjadi satu satu keunikan yang terlihat dengan pola perkampungan di Desa Parulohan yaitu: pada umumnya rumah tempat tinggal masyarakat tidak ada yang menghadap ke arah matahari terbit ( sebelah timur).

Sebagai desa yang masih sangat menjunjung adat yang berlaku maupun hukum warisan adat. Masyarakat di Desa Parulohan juga menggangap bahwa rumah yang sering disebut dengan bale-bale merupakan warisan yang sangat berharga dari orang tuanya. Bale-bale sebagai jabu (tempat perkumpulan anggota keluarga) yang tidak bisa lepas dari adat masyarakat di desa ini. Dalam hal kepemilikan rumah warisan (rumah orang tua) disesuaikan adat yang berlaku dari yang sebelumnya yaitu hak kepemilikan rumah diserahkan kepada anak siappudan (anak bungsu). Anak bungsulah yang berhak untuk menempati rumah peninggalan orang tuanya. pentingnya rumah milik orang tua yang

(20)

diwariskan kepada anak sulungnya, sehingga keberadaan bentuk rumah-rumah lama di desa ini masih banyak ditemukan sampai sekarang. Rumah-rumah tua ini sering disebut dengan jabu parsaktian.

2.8 Sarana dan PrasaranaTransportasi

Letak Desa Parulohan tergolong sangat strategis. Pintu masuk ke Desa Parulohan dapat dilalui dengn 4 jalur yaitu: jalur dari Desa Sibuntuon, jalur dari Desa Habeahan, jalur dari Desa Sigumpar dan jalur dari Desa Pearung. Kondisi jalan di Desa Parulohan sebelum tahun 1988 sebagian besar masih dalam keadaan rusak, karena belum ada pengaspalan ataupun pengerasan. Sepanjang lintasan jalan utama menuju pemukiman dan areal pertanian penduduk pada waktu itu belum tersentuh oleh kemajuan zaman, sehingga pada waktu musim hujan sepanjang lintasan jalan sering becek. Ditambah juga dengan kondisi jalan yang sempit, sehingga sangat sarang ditemukan angkutan yang melintas di desa ini.

Kendaraan yang melintas ke Desa Parulohan tidak begitu banyak, hanya sesekali kendaraan beroda dua dan empat melintas di jalan raya. Sebelum tahun 1988 alat transportasi seperti sepeda motor dan kendaraaan beroda empat masih sangat jarang ditemukan di Desa Parulohan, pada saat itu hanya ada 5 orang yang telah memiliki sepeda motor. Alat transportasi sepeda motor hanya digunakan untuk keluar masuk desa, bagi masyarakat yang memiliki sepeda ontel dan sepeda motor. Sepeda ontel dan sepeda motor pada saat itu menjadi barang yang sangat berhrga bagi masyrakat, bagi masyarakat yang telah mempunyai sepeda ontel dan sepeda motor pada saat itu diketegorikan sebagai orang sudah kaya atau sudah mempunyai penghasilan lebih.

Akibat minimnya sarana dan prasarana transportasi, tak jarang sebagian besar petani di Desa Parulohan pada saat itu memanfaatkan tenaga kerbau sebagai angkutan

(21)

menuju areal pertanian. Tenaga kerbau digunakan untuk menggiring pedati. Pedati yang merupakan angkutan tradisional dan sangat diperlukan oleh petani di desa ini, para petani menggunakanya sebagai angkutan yang dapat membantu para petani menjalankan aktivitas pertanian setiap harinya seperti untuk mengangkut hasil pertanian dari ladang ataupun dari sawah ke rumah masyarakat. Bagi masyarakat yang areal pertanian jauh dari pemukiman, mereka juga memanfaatkan tenaga kerbau tanpa pedati atau disebut dengan istilah marbatak (menunggang kerbau).

Mengingat minimnya sarana dan prasarana di Desa Parulohan pada masa itu, akibatnya aktivitas perekonomian masyarakat juga terganggu dan terkendala. Pada saat itu di desa ini belum ada transportasi umum seperti bus, mikrolet dan sejenisnya. Setiap hari pekanya masyarakat selalu terkendala untuk membawa barang daganganya ke pasar, ditambah juga jarak dari Desa Parulohan yang agak jauh dari lokasi pasar setempat. Akibatnya masyarakat Desa Parulohan yang hendak bepergian ke pasar (pekan) hanya dapat menggunakan pedati itu pun bagi masyarakat yang memiliki kerbau, dan masyarakat yang tidak memiliki harus rela dan pasrah jalan kaki dengan memikul beban di kepala menuju lokasi pasar.

2.9 Fasilitas Umum /Ekonomi

Sumber air bersih bagi masyarakat di Desa Parulohan untuk keperluan rumah tangga dulunya diambil dari sumber mata air (sumur galian). Selain hanya dari sumur galian, sebagian masyarakat juga memanfaatkan air hujan. Oleh karena itu, setiap rumah tempat tinggal masyarakat di desa ini biasanya terdapat bak-bak penampung air hujan. Bak penampungan air dibuat dari bahan semen, selain menggunakan bak penampung sebagian masyarakat ada juga memamfaatkan drum-drum bekas untuk penampungan air hujan.

(22)

Namun, keberadaan sumur galian dan bak-bak penampungan air sekarang ini tidak lagi dimanfaatkan seiring meningkatnya pendapatan masyarakat di desa ini. Pada saat penelitian ini dilakukan hampir di setiap rumah tangga sudah memiliki sumur bor

(artesis) milik pribadi yang digunakan untuk keperluan rumah tangga sehari-hari,

terutama untuk minum. Hal ini menyebabkan masyarakat berkurangnya minat masyarakat untuk memanfaatkan maupun melestarikan mual32 (sumur galian) yang sebelumnya

dimanfaatkan masyarakat sebelum adanya sumur bor. Mual yang dulunya sumber air bersih yang banyak membantu masyarakat. Namun, sekarang bukan lagi sarana penting, padahal hampir di setiap dusun di Desa Parulohan keberadaan mual masih ada ditemukan. Mual bukan hanya sebagai tempat pengambilan air minum bagi masyarakat, mual adalah salah satu bentuk adanya rasa gotong-royong dari masyarakat, mual bukanlah milik pribadi.

Listrik sebagai fasilitas umum yang sangat penting bagi masyarakat di Desa Parulohan. Namun, pada saat itu rumah-rumah tempat tinggal masyarakat belum seluruhnya menggunakan listrik dari Perusahaan Listrik Negara (PLN). Adapun rumah penduduk yang telah menggunakan listrik sebagai sumber penerangan, itu hanyalah rumah-rumah yang sudah tergolong kaya ataupun orang-orang tertentu. Rumah penduduk yang belum menggunakan listrik, mereka hanya menggunakan palito/ lampu telong (lampu teplok). Lampu teplok biasanya dibuat dari botol ataupun keleng-kaleng bekas yang dibubuhi dengan sumbu dengan menggunakan minyak tanah.

Untuk sarana dan prasarana kesehatan dan pendidikan di Desa Parulohan pada saat itu masih sangat minim. Sebelum tahun 1988, sarana dan prasarana kesehatan seperti

32 Mual yaitu sumur galian, sumber air bersih yang digunakan masyarakat. Mual termasuk salah satu sumber penting yang menunjukkan adanya soliidaritas/ kebersamaan yang tercipta pada masyarakat. Mual bukanlah benda yang baru ditemukan, keberadaan mual bahkan sudah ada ratusan tahun yang lalu di Desa Parulohan .

(23)

puskesmas belum ada. Masyarakat yang sakit hanya berobat secara tradisional, kalaupun mau berobat secara medis akan menempuh jarak yang jauh untuk menemukan puskesmas ke ibukota kecamatan yaitu Pasar Baru. Sedangkan untuk bidang pendidikan, sebelum tahun 1988 desa ini hanya memiliki satu unit Sekolah Dasar yang didirikan pada tahun 1952. Untuk Sekolah Lajutan Tingkat Pertama (SLTP) dan Sekolah Menengah Atas (SMA), masyarakat harus menyekolahkan anak-anaknya ke desa sebelah yaitu Desa Sibuntuon Parpea ( Pasar Baru) yaitu ibukota Kecamatan Lintong Nihuta.

Fasilitas lainya yang berkaitan dengan kegiatan para petani di Desa Parulohan yaitu adanya beberapa pea atau tambok 33 yaitu : Pea Linta, Tambok Dolok, Pea Natas,

Tambok Simallo, Tambok Siduldul. Keberadaan ke lima kali ini sangat membantu para

petani dalam mendapatkan air yang diperlukan untuk tanaman- tanaman pertanian. Selain hanya sebagai sumber air untuk pertanian masyarakat, ke lima kali ini juga digunakan sebagai tempat pemancingan ikan bagi masyarakat Desa Parulohan.

Sebagian besar masyarakat di Desa Parulohan menganut ajaran agama Kristen Protestan (100 %). Untuk tempat ibadah di Desa Parulohan hanya terdapat 1 unit gereja yaitu HKBP (Huria Kristen Batak Protestan) yang berdiri sejak tahun 1903, sebagian masyarakat yang tidak terdaftar sebagai jemaat anggota HKBP Parulohan setiap hari minggunya beribadah ke gereja lain yang berada di luar Desa Parulohan.

2.10 Kependudukan

Pertambahan jumlah penduduk di Desa Parulohan yang setiap tahunya mengalami peningkatan yang sangat drastis. Peningkatan jumlah penduduk di desa ini bukan hanya dari faktor kelahiran saja, juga diikuti dengan bertambahnya jumlah marga lain yang karena faktor tertentu berdomisili dan tinggal menetap di Desa Parulohan. Pada tahun

33 Pea atau Tambok dalam bahasa batak artinya sungai ataupun waduk( sungai kecil), dimana

sumber air untuk sungai ini berasal dari air hujan, pea atau tambok digunakan masyarakat sebagai irigasi dan tempat penampungan air hujan di musim kemarau.

(24)

1988 penduduk di Desa Parulohan terdiri berbagai marga, keberagaman marga mengakibatkan munculnya perkampungan-perkampungan yang baru yang telah mendapat izin untuk mendirikan perkampungan yang baru dari Raja huta.

Adanya prinsip masyarakat yang menyatakan bahwa “maranak sappulu pitu

marboru sappulu onom” artinya punya anak tujuh belas orang dan punya boru (anak

perempuan enam belas orang. Kebahagiaan dalam berumah tangga bukan dilihat dari harta ataupun kekayaan yang dimiliki, kebagian itu ada pada banyaknya pinompar (keturunan) dari seseorang. Prinsip inilah yang membuat sehingga setiap kepala keluarga di desa ini memiliki keturunan yang cukup banyak, dalam setiap kepala rumah tangga sangat jarang ditemukan yang memliki hanya 2 orang anak.

Pada tahun 1987 tercatat sebanyak 1105 jiwa, dan tergabung dalam 120 KK (Kepala Keluarga).34 Berarti dalam setiap kepala keluarga beranggotakan ±8-9 jiwa anggota keluarga. Dilihat dari tingginya jumlah penduduk, kemungkinan progaram KB (Keluarga Berencana) di desa ini belum berhasil. Setiap tahun penduduk Desa Parulohan terus mengalami peningkatan. Dengan luas wilayah 761 Ha atau 7, 61 Km tingkat kepadatan penduduk Desa Parulohan yaitu sekitar 144/Km. Sebagian besar penduduk di Desa Parulohan terkonsentrasi di beberapa dusun yaitu dusun 4 dan dusun 5. Berdasarkan data yang penulis peroleh dari sekretaris Desa Parulohan, setiap tahunya jumlah umur yang paling banyak di desa ini yaitu umur 1- 15 tahun (±40%). Hal ini dipengaruhi oleh meningkatkatnya jumlah kelahiran setiap tahunya. Usia produktif di desa ini sudah terlihat sejak mereka berusia 10 tahun, karena pada usia tersebut mereka sudah mulai bekerja membantu orang tuanya baik dalam pekerjaan dalam rumah ataupun pekerjaan bertani.

34 Sumber: Badan Pusat Statistik Kecamatan Lintong Nihuta tahun 1987 dan data dari sekretaris

(25)

Tingkat pendidikan masyarakat Desa Parulohan sebelum tahun 1988 tergolong rendah. Proporsi penduduk terbesar (31%) hanyalah tamatan SMP ( sekolah menengah Pertama). Besarnya tingkat masyarakat yang tidak tamat SMA (Sekolah Menengah Atas) disebabkan oleh beberapa faktor yaitu: sulitnya sumber penghasilan, jumlah anggota keluarga yang tidak sesuai dengan jumlah penghasilan keluarga, kurangnya minat masyarakat untuk mengakses pendidikan dan jarak sekolah dari desa terlalu jauh.

Sesuai dengan keadaan geografisnya Desa Parulohan sangat cocok untuk daerah Pertanian. Mata pencaharian penduduk yang utama pada umumnya adalah bertani. Sebagai masyarakat agraris, di dalam melangsungkan hidupnya sebagian besar masyarakat hidup dari hasil pertanian. Pertanian yang dimaksud adalah pertanian ladang terutama kopi. Sebagian besar lahan pertanian di desa ini pada saat digunakan untuk pertanian padi. Hasil pertanian lainya seperti tanaman-tanaman muda, padi dan umbi-umbian dan sebagainya yang merupakan kegiatan sampingan atau merupakan tanaman selang biasanya dipergunakan untuk memenuhi keperluan sendiri.

Sebagian besar penduduk Desa Parulohan adalah suku Batak Toba dan beragama Kristen Protestan. Sebagian kecil lainya adalah suku lain yang karena faktor tertentu tinggal dan menetap di desa ini, adapun suku lain adalah seperti Nias, Karo, Jawa. Kehidupan sosial di desa ini ditandai dengan keberagam marga yang menjadi simbol ataupun identitas diri bagi setiap masyarakat. Adapun bahasa yang dipergunakan oleh masyarakat dalam pergaulan sehari-hari adalah bahasa batak Toba.

2.11 Bentuk Kesenian Hidup

Sebagaimana dalam kesenian adat batak Toba pada umunya, bentuk kesenian hidup masyarakat di Desa Parulohan masih merupakan wujud kesenian yang berasal dari warisan ompu sijolo-jolo tubu (nenek moyangnya). Adanya umpasa (pepatah) batak Toba yang menyatakan “mangalakka tu jolo manaili tu pudi, na pinungka ni naparjolo”,

(26)

adat kebiasaan yang sebelumnya harus diikuti oleh generasi berikutnya. Hal tersebut masih dijalankan oleh masyarakat di Desa Parulohan, masyarakat mengangap tabu setiap kesenian yang bukan dari nenek moyangnya.

Jenis kesenian hidup yang sering dilakukan oleh masyarakat di Desa Parulohan adalah martumba ataupun manortor. Bentuk kesenian terus dilakukan masyarakat, bahkan sampai sekarang masih tetap dipertahankan oleh masyarakat. Manortor ataupun

martumba memiliki fungsi disamping sebagai hiburan atupun perlombaan. Fungsi sosial martumba ataupun manortor terlihat pada saat acara-acara adat atau pun keagamaan. Manortor sebagai bentuk kesenian masyarakat, sebagai bentuk adanya kepatuhan

masyarakat terhadap tradisi dari nenek moyang yang sebelumnya. Selain sebagai fungsi sosial, manortor juga sering dilakukan dalam acara hiburan dan perlombaan. Perlombaan dilakukan untuk mengisi acara-acara tertentu seperti, pesta gereja, perayaan hari ulang tahun kemerdekaan dan acara lainya. Hal ini yang dilakukan oleh masyarakat dalam mempertahankan dan melestarikan tradisi yang sebelumnya.

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Islam yang mukhtalaf  menjelaskan fungsi dan kedudukan al urf sebagai salah satu sumber hokum Islam.  menjelaskan fungsi dan kedudukan ari’ah saddud dzsebagai salah satu dasar

[r]

 Menganalisis kedudukan dan kandungan hadis tentang nikmat Allah dan cara mensyukurinya yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Nukman bin Basyir ( ركشي مل ليلقلا ركشي مل نم

Tidak berbeda jauh dengan yang diatur dalam Undang-Undang Pokok Perkawinan yaitu Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tujuan perkawinanadalah membentuk keluarga(rumah

Dalam penelitian ini peneliti melakukan teknik pengolahan dan analisis data secara kuantitatif dimana data mentah diperoleh dari jawaban responden terhadap

SA ) perusahaan milik Belgia yang dibentuk pada tahun 1930 di Medan.. Hallet sebagai pendiri Socfin telah memulai perkebunan komersil karet di Indonesia sejak

Secara terperinci pemanfaatan lahan berdasarkan Peraturan Daerah Kota Jayapura Nomor 16 Tahun 1995 tentang Rencana Umum Wilayah ( RUTRW ) Kota Jayapura telah