• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pendekatan Ulama Hadis dan Ulama Fiqh dalam Menelaah Kontroversial Hadis

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Pendekatan Ulama Hadis dan Ulama Fiqh dalam Menelaah Kontroversial Hadis"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

I. Pendahuluan

Sudah menjadi asumsi dasar bagi masyarakat dunia Islam bahwa eksistensi hadis merupakan sumber ajaran Islam setelah al-quran,1yang berfungsi sebagai tafsir (penjelas) terhadap al-quran.2Dan oleh Allah swt. Nabi saw, dianugrahi hak paten sebagai otoritas untuk menetapkan hukum untuk disampaikan kepada umatnya.3 Hal ini sesuai dengan firman Allah Swt,

Artinya:”Apa-apa yang disampaikan Rasulullah kepadamu, terimalah, dan apa-apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah dan bertakwalah kepada Allah sesungguhnya Azab Allah sangat keras”.4

Merujuk pada firman Allah tersebut, maka tak ada alasan bagi orang Islam untuk menafsirkan dan menolak hadis Nabi karena eksistensi hadis telah memperoleh justifikasi dari al-quran. Karena itu, setiap upaya atau pemikiran untuk melepaskan hadis sebagai sumber ajaran agama Islam sebenarnya hal itu tidaklah dari sebuah pelecahan terhadap al-quran dan pada gilirannya akan memisahkan al-quran dari kehidupan umat Islam.5

Sebagai wujud perhatian tokoh-tokoh Islam terhadap hadis Nabi saw, maka atas instruksi Khalifah Umar bin Abdul Azis (100 H) kepada Gubernur Madinah (Abu Bakar Ibn Muhammad Ibn Amr ibn Hazam)

Pendekatan Ulama Hadis

dan Ulama Fiqh dalam Menelaah

Kontroversial Hadis

Oleh: Johar Arifin

Hadis-hadis yang telah dibukukan oleh para ulama ada yang tampak bertentangan secara zhahir, kemudian dikenal dengan ilmu Mukhtalaf al-hadis.Hadis-hadis yang tampak bertentangan itu adalah hadis-hadis sanad dan matannya sama-sama sahih minimal hasan, dan bukan dha’if dan maudhu’.Ulama Hadis menggunakan dua pendekatan dalam menelaah hadis kontroversial, yaitu pendekatan dari segi sanad dan pendekatan dari segi matan.Sedangkan Ulama Fiqh melakukan Pendekatan dalam menyelesaikan hadis-hadis kontroversial tidak jauh berbeda dengan apa yang dilakukan oleh Ulama hadis. Ulama hadis lebih cenderung memahami hadis Nabi secara tekstual, sedangkan Ulama fiqh cenderung memahaminya secara kontekstual dalam rangka pengambilan dasar suatu hukum. Untuk menyelesaikan hadis yang bertentangan, para Ulama hadis dan Ulama fiqh, menempuh metode yang boleh dikatakan sama, yaitu:al-tarjih-al-jam’u walal-taufiq-al-nasikh wa al-mansukh-al-tawaqquf.

Keyword: Ulama Hadis, Ulama Fiqh, Kontroversial Hadis

agar membukukan hadis Rasul yang ada di Madinah, maka Ibnu Hazam berusaha membukukannya, tetapi tidak mencakup seluruh hadis yang ada di Madinah. Adapun

W%XT Ä1ÅV"XÄ Ä$SÀyˆm ÈPTÅkÄbVÙ W%XT ×1ÅSMW; ÈOØ<Wà SÀIW)5VÙ  SÁ ‰"XT ‹ ‰D¯ ‹ Àic°i[‰ ª!V °ÈÙ

(2)

yang berhasil membukukan seluruh hadis yang ada di Madinah adalah Muhammad Ibnu Syihab al-Zukri yang terkenal sebagai Ulama Besar dari ulama-ulama hadis semasanya.6Masa inilah dikenal dengan masa penulisan dan pembukuan hadis.7 Usaha penulisan dan pembukuan hadis tersebut berkelanjutan dan pada pertengahan abad III H ulama hadis mulai mengadakan seleksi kualitas hadis kepada sahih,8hasan,9dan daif.10 Kualifikasi ketiga kualitas hadis tersebut terdapat pada kitab-kitab hadis dimulai dari kitab Sahih, kitab Sunan, kitab Musnad, kitab Musannaf, kitab Mustadrak, kitab Ma’ajimdan seterusnya, sebagai contoh sembilan kitab yang dikenal dengan Kutub Tis’ahsebagai berikut :

1. Sahih Bukhari, Susunan Imam al-Bukhari (W. 256 H/870 M)

2. Sahih Muslim, Susunan Imam Muslim (W. 261 H/875 M)

3. Sunan Abu Daud, Susunan Imam Abu Daud (W. 275 H/892 M)

4. Sunan Turmizi, Susunan Imam al-Turmizi (W. 279 H/889 M)

5. Sunan Nasa’i, Susunan Imam al-Nasa’i (W. 303 H/915 M)

6. Sunan Ibnu Majah, Susunan Imam Ibnu Majah (W. 273 H/887 M)

7. Sunan Darimi, Susunan Imam al-Darimi (W. 255 H/868 M)

8. Musnad Ahmad bin Hanbal, Susunan Imam Ahmad bin Hanbal (W. 241 H/ 855 M)

9. Muwatta’ Malik, Susunan Imam Malik Bin Anas (W. 179 H/795 M).11

Perkembangan selanjutnya, ternyata diantara hadis-hadis yang telah dibukukan oleh para ulama ada yang tampak bertentangan secara zhahir, kemudian dikenal dengan ilmu mukhtalaf al-hadis, Syekh Shubhi al-sholeh mendefenisikan ilmu ini adalah:

“Suatu ilmu yang membahas tentanghadis-hadis yang bertentangan maknanya secara zahir yang mungkin di kompromikan keduanya, membatasi yang mutlak, mengkhususkan yang umum, membawakannya kepada bentuk lain atau dengan cara lainnya”.

Dr. Nafiz Husein Hammad merangkumkan dari semua pendapat para ulama seperti Imam Nawawi dan Imam Hakim al-nisaburi dengan defenisi sebagai berikut:

“Suatu ilmu yang berkaitan dengan dua hadis secara zahir berbeda, bertentangan dan berlawanan, apabila ulama membahas maka hilang pertentangan keduanya melalui cara mengkompromikan, menjelaskan umum dan khusus, mutlak dan muqayyad, atau yang serupa dengannya,nasikh dan mansukh atau mentarjih salah satunya”.

Perlu diketahui bahwa hadis yang tampak bertentangan itu adalah hadis-hadis sanad dan matannya sama-sama sahih minimal hasan, dan bukan dha’if dan maudhu’.14

ƢǿǂǿƢǛ

Ŗdzơ ƮȇƽƢƷȋơ Ǻǟ ƮƸƦȇ ǶǴǟ

ƢǷƛ

ƢǸȀǼȈƥ ǞǸŪơ ǹƢǰǷƛ ƮȈƷ ǺǷ ǒǫƢƬǼdzơ

ƾȈȈǬƬƥ

ƢȀǴǸŞ

ȁƗ ƢȀǷƢǟ ǎȈǐƼƬƥ ȁƗ ƢȀǬǴǘǷ

Ǯdzƿ

Śǣ ȁƗ ƨƯƽƢūơ ƽƾǠƫ ȄǴǟ

12

ƢŷǂǿƢǛ

ľ ȁƾƦȇ ǺȇǀǴdzơ śưȇƾūơ DZȁƢǼƬȇ ǶǴǟ

ƽƢǔƬdzơȁ ǑǁƢǠƬdzơȁ ǥȐƬƻȏơ

,

ƮŞ ơƿƜǧ

ǹƢǰǷƛ

ƮȈƷ ǺǷ ƢǸȀǓǁƢǠƫ ơȂdzơǃƗ ƔƢǸǴǠdzơ

ƢǸȀǼȈƥ

ǞǸŪơ

,

ȁƗ

ǍƢŬơ ǵƢǠdzơ ǹƢȈƦƥ Ǯdzƿȁ

ǹƢȈƦƥ

ȁƗ Ǯdzƿ ǾƥƢNj ƢǷ ȁƗ ƾȈǬŭơȁ ǪǴǘŭơ

ƢŷƾƷƗ

ƶȈƳǂƫ ȁƗ ƹȂLjǼŭơȁ ƺLJƢǼdzơ

13

(3)

Sebagai contoh hadis yang kontroversial dan tampak bertentangan diantaranya adalah sebagai berikut:

1.

Artinya:”Nabi Saw mendatangi tempat pembuangan sampah suatu kaum, lalu Beliau kencing berdiri, kemudian meminta air untuk bersuci lalu kemudian berwudhu’”.

2.

Artinya :”Aisyah berkata barangsiapa yang menceritakan kepadamu bahwa sesungguhnya Nabi Saw buang air kecil dalam posisi berdiri maka janganlah kamu percayai, tidaklah berliau buang air kecil kecuali dalam posisi duduk”. Kedua hadis tersebut tampak bertentangan secara tekstual,dalam posisi tertentu Rasululaah Saw buang air kecil dalam posisi berdiri dan alam kondisi lain dalam posisi duduk.

Contoh lain seperti hadis buang hajat menghadap kiblat:

1.

Artinya: “Apabila kamu sekalian membuang hajat, maka janganlah menghadap ke kiblat dan jangan membelakanginya, baik buang air kecil maupun buang air besar”.

2.

Atinya: “Pada suatu hari, sungguh saya telah naik (musuh) ke rumah kami (tempat tinggal Hafsah, istri Nabi), maka saya melihat Nabi saw. di atas dua batag kayu (tempat jongkok buang hajat)

Ąǵăƽƕ

ƢăǼƊƯċƾăƷ

ƎNJăǸąǟƊƘƒdzơ

ąǺăǟ ƌƨăƦąǠĄNj ƢăǼƊƯċƾăƷ ƊDZƢƊǫ

ČȆƎƦċǼdzơ ȄăƫƊƗ ƊDZƢƊǫ ƊƨƊǨąȇƊǀĄƷ ąǺăǟ ƉDzĉƟơăȁ ȆƎƥƊƗ ąǺăǟ

ƊDZƢăƦƊǧ

ƉǵąȂƊǫ ƊƨƊǗƢăƦĄLJ ăǶōǴăLJăȁ ĉǾąȈƊǴăǟ ĄǾōǴdzơ ȄōǴăǏ

ƊƘċǓăȂăƬƊǧ

ÇƔƢăǸƎƥ ĄǾĄƬƒƠƎƴƊǧ ÇƔƢăǸƎƥ Ƣăǟăƽ ċǶƌƯ ƢĆǸĉƟƢƊǫ

15

ąǺăǟ ćǮȇƎǂăNj ƢăǻăǂăƦąƻƊƗ ƉǂąƴĄƷ ĄǺąƥ ČȆĉǴăǟ ƢăǼƊƯċƾăƷ

ănjĉƟƢăǟ ąǺăǟ ĉǾȈƎƥƊƗ ąǺăǟ ƉƶąȇăǂĄNj ƎǺąƥ ƎǵơăƾƒǬĉǸƒdzơ

Ɗƨ

ĄǾōǴdzơ

ȄōǴăǏ ċȆƎƦċǼdzơ ōǹƊƗ ąǶƌǰƊƯċƾăƷ ąǺăǷ ąƪƊdzƢƊǫ

ĄǽȂƌǫďƾăǐĄƫ ƢƊǴƊǧ ƢĆǸĉƟƢƊǫ ƌDZȂĄƦăȇ ƊǹƢƊǯ ăǶōǴăLJăȁ ĉǾąȈƊǴăǟ

ơĆƾĉǟƢƊǫ ƢōdzƎƛ ƌDZȂĄƦăȇ ƊǹƢƊǯ ƢăǷ

.

ȄăLjȈĉǟ ȂĄƥƊƗ ƊDZƢƊǫ

ơƊǀăǿ Ȇĉǧ ÇƔąȆăNj ĄǺăLjąƷƊƗ ƊƨănjĉƟƢăǟ ƌƮȇĉƾăƷ

ĈƶăǏƊƗăȁ

ƎƣƢăƦƒdzơ

16

ƢăǻăǂăƦąƻƊƗ

ĉǾōǴdzơ ĉƾąƦăǟ ȂĄƥƊƗ

ƢċȇƎǂƊǯăǃ ȂĄƥƊƗăȁ

ơȂƌdzƢƊǫ

:

ƢăǼƊƯċƾăƷ

ƎDžƢċƦăǠƒdzơ ȂĄƥƊƗ

ƊDZƢƊǫ

:

ƢăǻăǂăƦąƻƊƗ

ĄǞȈƎƥċǂdzơ

ƊDZƢƊǫ

:

ăƦąƻƊƗ

Ƣăǻăǂ

ČȆĉǠĉǧƢċnjdzơ

ƊDZƢƊǫ

:

ƢăǻăǂăƦąƻƊƗ

ćǮĉdzƢăǷ

ąǺăǟ

ĊƾȈĉǠăLJ ƎǺąƥ ȄăȈąƸăȇ

ąǺăǟ

ȄăȈąƸăȇ ƎǺąƥ ĉƾċǸăƸĄǷ

ĊǹƢċƦĉƷ ƎǺąƥ

ĉǾďǸăǟ ąǺăǟ

ƊǹƢċƦăƷ ƎǺąƥ ƎǞĉLJơăȁ

ąǺăǟ

Ąǟ ƎǺąƥ ĉǾōǴdzơ ĉƾąƦăǟ

ăǂăǸ

ƌDZȂƌǬăȇ ƊǹƢƊǯ ĄǾċǻƊƗ

:

ōǹƎƛ

ƊǹȂƌdzȂƌǬăȇ ƢĆLJƢăǻ

:

ăǮĉƬăƳƢăƷ

ȄƊǴăǟ ăƩąƾăǠƊǫ ơƊƿƎƛ

ƎDžĉƾƒǬăǸƒdzơ ăƪąȈăƥ ȏăȁ ƊƨƊǴąƦĉǬƒdzơ ƎDzƎƦƒǬăƬąLjăƫ ȐƊǧ

Ɗǫ

ƊDZƢ

18

ăǂăǸĄǟ

ĄǺąƥ ĉǾōǴdzơ ĄƾąƦăǟ

:

"

ȄƊǴăǟ

ĄƪąȈƊǬăƫąǁơ ĉƾƊǬƊdz

ƎǂąȀƊǛ

ƢăǼƊdz ĊƪąȈăƥ

ȄōǴăǏ

ĉǾōǴdzơ ƊDZȂĄLJăǁ ĄƪąȇƊƗăǂƊǧ

ơ

ăƪąȈăƥ ȐƎƦƒǬăƬąLjĄǷ ƎǺąȈăƬăǼƎƦƊdz ȄƊǴăǟ ăǶōǴăLJăȁ ĉǾąȈƊǴăǟ ĄǾōǴdz

ĉǾĉƬăƳƢăƸĉdz

DžĉƾƒǬăǸƒdzơ

ƢăǼƊƯċƾăƷ

Ąǵăƽƕ

ƊDZƢƊǫ

:

ƢăǼƊƯċƾăƷ

ƉƤƒƟĉƿ ȆƎƥƊƗ ĄǺąƥơ

ƊDZƢƊǫ

:

ƢăǼƊƯċƾăƷ

ČȅƎǂąǿČDŽdzơ

ąǺăǟ

ăƾȇƎDŽăȇ ƎǺąƥ ÊƔƢƊǘăǟ

ďȆĉưąȈōǴdzơ

ąǺăǟ

ďȅƎǁƢăǐąǻƊƘƒdzơ ăƣȂČȇƊƗ ȆƎƥƊƗ

ƊDZƢƊǫ

:

ƊDZƢƊǫ

ăǶōǴăLJăȁ ĉǾąȈƊǴăǟ ĄǾōǴdzơ ȄōǴăǏ ĉǾōǴdzơ ƌDZȂĄLJăǁ

ƊƨƊǴąƦĉǬƒdzơ DzƎƦƒǬăƬąLjăȇ ƢƊǴƊǧ ƊǖĉƟƢăǤƒdzơ ĄǶƌǯĄƾăƷƊƗ ȄăƫƊƗ ơƊƿƎƛ

17

Ɗdzăȁ

ơȂĄƥďǂƊǣ

ąȁƊƗ ơȂƌǫďǂăNj  ĄǽăǂąȀƊǛ ƢăȀŏdzăȂĄȇ Ƣ

(4)

untuk buang hajat dengan menghadap ke arah Bait al-Maqdis”.

Hadis tersebut di atas bila ditelaah, maka tampak kontroversi, dalam kondisi tertentu Rasulullah Saw melarang buang hajat mengahadap kiblat dan dalam kondisi lain Beliau buang hajat menghadap Baitul Maqdis.

Dari dua contoh diatas perlu mengkaji pendekatan yang digunakan oleh ulama hadis dan ulama fiqh dalam menyelesaikan hadis-hadis kontroversial. Pada kesempatan ini penulis akan memaparkan secara deskriptif pendekatan Ulama hadis dan Ulama fiqh dalam menelaah hadis-hadis yang kontroversial.

II. Pendekatan Ulama Hadis

Ulama Hadis meng gunakan dua pendekatan dalam menelaah hadis kontroversial, yaitu pendekatan dari segi sanad dan pendekatan dari segi matan hadis.

A. Pendekatan dari Segi Sanad Makna sanad menurut istilah adalah “jalan yang menyampaikan kita kepada matan hadis”.19 Dengan pengertian tersebut, maka sanad dalam riwayat hadis sangat penting, karena suatu berita yang dinyatakan sebagai hadis Nabi oleh seseorang, namun berita itu tidak memiliki sanad, maka berita tersebut oleh ulama hadis tidak dapat disebut sebagai hadis. Sekiranya berita itu tetap juga dinyatakan sebagai hadis oleh orang tertentu, maka berita tersebut oleh ulama hadis dinyatakan sebagai hadis palsu atau hadis maudhu’.20

Dengan demikian para ulama hadis sepakat bahwa ada dua hal yang harus diteliti pada diri pribadi periwayat hadis untuk dapat diketahui apakah riwayat

hadis yang dikemukakannya dapat diterima sebagai hujjah ataukah harus ditolak.Kedua hal itu adalah keadilan dan kedhabitannya, atau kualitas pribadi dan kapasitas intelektual yang bila kedua hal itu dimiliki oleh periwayat hadis, maka dinyatakan sebagai bersifat siqah.21

Untuk mengetahui keshahihan sanad dalam meneliti hadis, diperlukan acuan.Acuan yang digunakan adalah kaedah kesahihan hadis bila ternyata hadis yang diteliti bukanlah hadis mutawatir.Unsur-unsur kaedah kesahihan hadis adalah sebagai berikut: 1. Sanad hadis yang bersangkutan harus bersambung mulai dari mukharrijnya sampai kepada Nabi. 2. Seluruh periwayat dalam hadis itu

harus bersifat adil dan dhabit. 3. Hadis itu, jadi sanad dan matannya,

harus terhindar dari kejanggalan (syuzuz) dan cacat (‘illat).22

Di sini dapat disimpulkan bahwa kaedah kesahihan yang berhubungan dengan sanad ada lima, yaitu (1) sanad bersambung, (2) periwayat bersifat adil, (3) periwayat bersifat dhabit, (4) terhindar dari kejanggalan (syuzuz), (5) terhindar dari cacat (‘illat).23

Melihat unsur-unsur kaedah kesahihan hadis tersebut, maka para ulama hadis menilai bahwa hadis yang tidak memenuhi sebagian unsur-unsur di atas, maka dapat dinyatakan bahwa hadis itu tidak sahih.

B. Pendekatan dari Segi Matan Secara kaidah asal bahwasatu hadis Nabi tidak bertentangan dengan hadis Nabi lainnya ataupun dengan ayat al-quran, sebab apa yang dikemukakan oleh Nabi, baik berupa hadis maupun

(5)

ayat al-quran sama-sama berasal dari Allah swt.

Namun kenyataannya ada beberapa matan hadis yang tampak bertentangan, meskipun sanadnya sama-sama shahih.Dengan adanya hadis yang tampak kontroversi itu, maka ulama hadis telah membahas dan mengajukan berbagai solusi metode penyelesaiannya. Dalam menyebut kandungan matan hadis yang tampak bertentangan itu, ulama tidak sependapat.Sebagian ulama menyebutnya dengan istilah mukhtalifu al-hadis, sebagiannya lagi menyebutnya dengan mukhalafatu al-hadis dan pada umumnya ulama menyebutnya dengan al-ta’arud.24

Dalam membahas hadis-hadis yang secara tekstual bertentangan, ulama hadis menempuh cara yang berbeda, ada yang menempuh lebih dari satu cara dengan urutan yang berbeda-beda. Walaupun cara-cara penyelesaian ulama berbeda-beda, namun tidaklah berarti bahwa hasil penyelesaiannya harus berbeda juga dan terbukti hasilnya banyak yang menunjukkan kesamaan.25

Imam Syafi’i (W. 204 H) adalah ulama yang mempelopori kegiatan penghimpunan hadis yang mukhtalif dan ber usaha menyelesaikan pertentangan itu dengan karyanya yang berjudul Kitab Ikhtilaf al-hadis.Beliau memberi gambaran bahwa mungkin saja matan-matan hadis yang tampak bertentangan itu mengandung petunjuk bahwa matan yang satu bersifat global (mujmal) dan yang satunya bersifat rinci (mufassal). Mungkin yang satu bersifat umum dan yang satu bersifat khusus, mungkin yang satu sebagai penghapus dan yang lain sebagai yang dihapus atau mungkin kedua-duanya menunjukkan kebolehan untuk diamalkan.26 Al-Imam al-Turmizi (W. 279 H) dalam

menghadapi hadis yang mukhtalif telah menggunakan dua pendekatan, yaitu: 1. Melakukan penelitian permasalahan

yang menjadi dasar ikhtilaf pada kedua hadis itu.

2. Mengadakan kompromi terhadap dua hadis yang pada lahirnya terdapat pertentangan.

Dalam hal ini, Imam al-Tirmizi lebih menitik beratkan pada kebenaran material hadis yang dibahas.27

Ali bin Ahmad bin Sa’id bin Hazm (W. 456 H) secara tegas menyatakan bahwa matan-matan hadis yang bertentangan, masing-masing harus diamalkan. Ibnu Hazm menekankan perlunya penggunaan metode istisna’ (pengecualian) dalam penyelesaian itu.28

Syihabud Din Abu al-‘Abbas Ahmad bin Idris al-qarafi (W. 684 H) menempuh caraal-tarjih (penelitian untuk mencari petunjuk yang memiliki argumen yang terkuat). Dengan caraal-tarjih itu, mungkin penyelesaian yang dihasilkan berupa penerapan nasikh wa al-mansukh (yakni hadis yang satu menghapuskan petunjuk hadis yang lainnya) ataupun al-jam’u (pengkompromian, maksudnya, hadis-hadis yang tampak bertentangan itu sama-sama diamalkan dengan melihat seginya masing-masing).29

Ahmad bin Ali bin Muhammad bin Mahmud bin Ahmad bin Hajar al-Asqalani (W. 852 H) menempuh empat tahap, yaitu: 1) jam’u, 2) nasikh wa mansukh, 3) al-tarjih, 4) al-tawaqquf(menunggu sampai ada petunjuk atau dalil lain yang dapat menyelesaikan atau menjernihkannya.30

Dari uraian tersebut di atas, tampak jelas bahwa terdapat perbedaan cara penyelesaian yang ditempuh para ulama hadis, termasuk urutannya. Walaupun begitu tidaklah berarti bahwa hasil penyelesaiannya selalu berbeda. Perbedaan tahap cara penyelesaiannya

(6)

ternyata banyak juga membuahkan hasil yang sama.31

Adanya penyelesaian tersebut, memberi petunjuk bahwa secara substantif sesungguhnya pertentangan hadis tidak ada.Kalau demikian, pasti ada implikasi pemikiran tertentu dibalik petunjuk hadis yang tampak bertentangan.

Bila terdapat hadis yang tampak kontroversi, maka mereka meneliti kedekatan sanad dari Nabi Saw. Bila hadis itu berasal dari Aisyah dan hadis yang lain dari sahabat, maka hadis dari Aisyah yang diutamakan, mengingat Aisyah adalah isteri Nabi, tentu dia lebih dekat dari Nabi dibanding sahabat.

Ulama hadis sangat memperhatikan ke-shahih-an sanad hadis sehingga dipahami para Ilmuan hadis sebagai produsen hadis (input) III. Pendekatan Ulama Fiqh

Pendekatan Ulama fiqh dalam menyelesaikan hadis-hadis kontroversial tidak berbeda dengan apa yang dilakukan oleh Ulama hadis. Akan tetapi Ulama hadis secara umum lebih menekankan pada aspek hadis Nabi (perkataan, perbuatan dan takrir) sebagai panutan.Sementara Ulama fiqh lebih menekankan pada kepentingan istimbath hukum.Di samping itu, Ulama hadis lebih cenderung memahami hadis Nabi secara tekstual, sedang Ulama fiqh cenderung memahami secara kontekstual dalam rangka pengambilan dasar suatu hukum.

Imam Syafi’i (W. 204 H) misalnya, dikenal sebagai peletak dasar metodologi dalam mengkompromikan hadis kontroversial, juga meletakkan prinsip adanya pertimbangan historis bagi penetapan hukum. Hal itu terlihat dalam konsep tentang al-nasikh wa al-mansukh, yaitu suatu konsep yang memungkinkan adanya suatu hukum dihapuskan oleh hukum yang

lainnya disebabkan adanya pertimbangan baru berkenaan dengan lingkungan (dharf), baik lingkungan ruang (dharf al-makan) maupun lingkungan waktu (dharf al-zaman).32 Metodologi tersebut diabstraksikan dalam lima cara pendekatan pada setiap ketentuan hukum, yaitu :

1. Semua perkara harus diperhatikan maksud dan tujuannya.

2. Adat kebiasaan adalah sumber penetapan hukum

3. Bahaya harus dihilangkan dan dihindari. 4. Hal yang diyakini tidak boleh dihapus

oleh hal yang meragukan.

5. Kesulitan pelaksanaan harus menghilangkan kemudahan hukum.33 Imam Syafi’i telah merumuskan sikapnya terhadap hadis mukhtalif34 sebagai berikut :

1. Apabila dua hadis itu salah satunya mempunyai makna yang menyerupai makna hadis yang diriwayatkan oleh sahabat besar dan para mufti pada suatu negeri, maka hadis itu yang diutamakan menjadi hujjah.

2. Dua hadis yang menurut lahirnya tidak terdapat cacat, adalah lebih baik diutamakan dijadikan hujjah, daripada sebuah hadis yang memiliki cacat. 3. Hadis yang mempunyai makna dengan

kitab Allah, lebih diutamakan dijadikan hujjah daripada hadis yang tidak demikian.

4. Hadis yang diriwayatkan oleh orang terkenal dari segi isnad, ilmu dan hafalan, lebih diutamakan daripada yang lain. 5. Apabila hadis itu sesuai maknanya

dengan pendapat mazhab yang menyerupai makna Alquran atau menyerupai makna Sunnah Rasul yang lain, dapat pula sesuai dengan pengetahuan ulama terkenal atau qiyas yang lebih sahih, maka hadis itu lebih

(7)

utama dijadikan hujjah.

Muhammad Awwamah menyimpulkan langkah-langkah yang ditempuh oleh ulama fiqh dalam menghadapi hadis yang tampak bertentangan, sebagai berikut:

1. Menggabungkan kedua hadis yang bertentangan dengan itu, mentakwilkannya, dan mengkompromikan makna-maknanya.

2. Jika penggabungan tidak memungkinkan, mereka menempuh metode naskh (pembatalan) yang satu me-naskh yang lain. 3. Jika hal itu tidak dimungkinkan karena tidak ditemukan indikatornya, maka mereka menempuh metode tar jih (analisis) untuk menentukan mana hadis yang lebih kuat.35

Mayoritas Ulama Fiqh minus Imam Abu Hanifah dalam menyelesaikan dalil-dalil yang bertentang secara zahir melakukan pendekatan dengan menempuh langkah-langkah sebagai berikut:

1. (al-jam’u)Mengkompromikan dua teks yang bertentangan, langkah pertama ini lebih diutamakan dengan melihat sebab-sebab munculnya hadis dan kontekstual matan.

2. (al-tarjih)Mengambil dalil yang lebih kuat pada salah satu teks tersebut, langkah ini dilalui jika langkah pertama tidak dapat dikompromikan.

3. (al-nasikh wa al-mansukh)Menghapus hukum yang tidak berlaku berdasarkan analisa realita sejarah pada dua teks yangbertentangan, jika langkah pertama dan kedua tidak dapat dilakukan. 4. (al- tawaqquf)menunggu sampai ada

petunjuk atau dalil lain yang dapat menjernihkan dan menyelesaikan pertentangan, jika ketiga langkah sebelumnya tidak dapat ditempuh.36 Secara umum Ulama fiqh dalam

menyelesaikan dan menghadapi hadis Nabi yang tampak bertentangan menempuh langkah-langkah sebagai berikut :

1. Meneliti dengan seksama kapan dan apa sebab hadis itu terjadi, serta kepada siapa ditujukan.

2. Mengkaji dalil-dalil lainnya, baik naqli maupun non naqli yang memiliki kaitan erat dengan hadis yang tampak bertentangan itu.

3. Diperlukan kegiatan ijtihad.37

Dengan demikian Ulama fiqh dalam memahami hadis senantiasa melihat makna kontekstualnya, karena pemahaman mereka terhadap hadis berdasarkan latar belakang, kondisi dan tujuannya.Maksudnya memperhatikan eksistensi hadis-hadis yang dipelajari sesuai dengan latar belakang secara khusus atau kaitannya dengan penyebab tertentu yang tertuang dalam teks hadis atau tersirat dari maknanya. Dengan kata lain pesan yang terkandung dalam hadis itu ada kalanya secara lahiriyah bermakna umum dan bersifat tetap. Akan tetapi bila dilakukan pengkajian yang mendalam terhadapnya, akan tampak bahwa hadis tersebut berorientasi kepada sesuatu kausalitas.38

Oleh karena itu, untuk memahami hadis kontroversial dengan pemahaman yang benar, utuh, dan teliti, diperlukan pengetahuan tentang latar belakang yang dapat memberikan keterangan terhadapnya, agar makna hadis itu dapat terbaca dengan teliti dan pemahaman terhadapnya tidak rancu dan keluar dari pemahaman para Ulama Hadis dan Ulama Fiqh.

Dengan demikian para Ulama fiqh sifatnya lebih mengutamakan matan dan fleksibel dalam menafsirkan matan hadis.Dan tidak mempersoalkan apakah sanad hadis itu berasal dari isteri atau keluarga Nabi atau sahabat.Dan juga tidak terlalu mempersoalkan ke-shahih-an hadis.Para

(8)

Ulama fiqh lebih mengutamakan matan hadis sebagai pedoman untuk kepentingan istinbath hukum.Sehingga dapat dipahami bahwa Ulama fiqh sebagai konsumen hadis (uotput).

IV. Penutup

Dari uraian terdahulu dapat dilihat cara kerja Imam Syafi’i dan cara kerja Imam Turmizi. Imam Turmizi lebih menitik beratkan pada kebenaran material dari hadis yang dibahas, sedang Imam Syafi’i lebih menitik beratkan pada suatu tolok ukur, baik Alquran, hadis maupun pendapat ulama.

Dilihat dari kemungkinan masalah yang harus diselesaikan, tampaknya tahap-tahap penyelesaian yang dikemukakan oleh Ibnu Hajar al-Asqalani lebih akomodatif, karena dalam praktek penelitian matan, keempat tahap atau cara tersebut memang lebih dapat memberikan alternatif yang lebih hati-hati dan relevan.Sebagai bagian akhir dari tulisan ini, dapat dikemukakan beberapa kesimpulan sebagai berikut :

1. Kontroversi hadis ada dua yaitu kontroversi lafaz hadis dan kontroversi pemahaman hadis.

2. Dilihat dari substansinya, hadis-hadis Nabi tidak ada yang bertentangan, namun dalam kenyataannya ada berbagai matan hadis yang tampaknya bertentangan secara zhahir. Untuk menyelesaikan hadis yang bertentangan, para Ulama hadis dan Ulama fiqh, menempuh metode yang boleh dikatakan sama, yaitu:

a. al-tarjih(menganalisa, meneliti dan menentukan petunjuk hadis yang memiliki argumen yang lebih kuat). b. al-jam’u wa al-taufiq (kedua hadis yang kontroversi dikompromikan atau sama-sama diamalkan sesuai konteksnya).

c. al-nasikh wa al-mansukh (petunjuk dalam hadis yang satu menyatakan sebagai penghapus sedang hadis yang lainnya sebagai yang dihapus). d. al-tawaqquf(menunggu sampai ada petunjuk atau dalil lain yang dapat menjernihkan dan menyelesaikan pertentangan).

3. Dalam mengaplikasikan metode tersebut, khususnya mengkompromikan hadis kontroversial, cara yang ditempuh para pakar beragam, ada yang menempuh satu cara, ada yang menempuh lebih dari satu cara dengan urutan yang berbeda. Walaupun cara-cara penyelesaian para pakar beragam, tidaklah berarti bahwa hasil penyelesaian berbeda.

4. Secara teori para Ulama hadis dan Ulama fiqh dalam mengkompromikan hadis kontroversial tidak berbeda, namun dalam melihat hadis secara umum, terdapat perbedaan. Ulama hadis lebih menekankan pada aspek ideal moral sebagai panutan terhadap hadis Nabi. Ulama fiqh lebih menekankan pada kepentingan istinbat hukum. Selain itu Ulama hadis cenderung memahami hadis Nabi secara tekstual, sedang Ulama fiqh cenderung memahami secara kontekstual.

5. Bila ada hadis kontroversi, Ulama hadis berusaha menyelesaikannya dengan mencari dalil-dalil yang lebih kuat. 6. Bila ada hadis kontroversi,Ulama fiqh

berusaha menyelesaikannya, bila tidak bisa diselesaikan, maka ia tinggalkan dan mencari hadis lain.

7. Ulama fiqh cenderung tidak mempertahankan hadis shahih atau hadis daif.

8. Ulama hadis disebut sebagi produsen hadis (input), sedangkan Ulama fiqh disebut sebagi konsumen hadis (output).

(9)

Catatan Akhir

1 Baca, M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi (Selanjutnya Disebut Metodologi) (Cet.I; Jakarta: Bulan Bintang, 1992), h. 7

2 Fungsi Hadits sebagai penjelas (bayan) terhadap al-qur’an diantaranya adalah Bayan Al-Tafsir adalah fungsi hadits memberikan rincian dan tafsiran terhadap ayat-ayat al-qur’an yang masih bersifat global (mujmal), memberikan persyaratan atau batasan (taqyid) ayat-ayat al-qur’an yang bersifat mutlak, dan mengkhususkan (takhshish) ayat al-qur’an yang masih bersifat umum. Diantara contohnya adalah ayat-ayat al-qur’an yang masih mujmal dalam perintah mengerjakan sholat. Salah satunya sebagaimana yang termaktub dalam QS. Al-Baqarah ayat : 43. Ayat tersebut menjelaskan tentang kewajiban sholat tetapi tidak dirinci atau dijelaskan bagaimana operasionalnya.Kemudian Rasulullah menjelaskan bagaimana mendirikan sholat yang baik dan benar.

ȆǴǏơ ňȂǸƬȇơǁ ƢǸǯ ơȂǴǏ )

ȅǁƢƼƦdzơ ǽơȁǁ (

Shalatlah sebagaimana engkau melihat aku shalat. (HR.Bukhori.).Selengkapnya lihat Ranuwijaya, Utang, Ilmu Hadis (cet. 3, Jakarta: Gaya Media Pratama, 1998), h. 29,Wahid, Ramli Abdul, Studi Ilmu Hadis, (Bandung: Citapustaka Media Perintis, 2005), h. 45 dan Yuslem, Nawir, Ulumul Hadis, (Jakarta: PT.Mutiara Sumber Widya, 2001), h. 55. 3 Fatchurrahman, Ikhtisar Musthalahul Hadis (Cet.

VII; Bandung: Al-Ma’arif, 1981), h. 43 4 Q.S. Al-Hasyr: 7.

5 Ali Mustafa Ya’kub, Kritik Hadis (Cet.I; Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995), h. 37.

6 Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis(Cet. I; Semarang: Pustaka Riski Putra, 1997), h. 59-60. Lihat juga M. Syuhudi Ismail, Pengantar Ilmu Hadis(Cet. II; Bandung: Angkasa, 1994), h. 102.

7 Ibid., h. 103

8 Hadis Sahih adalah hadis yang bersambung sanadnya dari awal higga akhir dinukil dari perawi adil, dhabit dan tidak terdapat syaz dan cacat. Lihat Mahmud Thahhan, Taysir Mushthalah Hadis(Iskandaria, Markaz Huda li al-Dirasat, 1415 H), h. 31.

9 Hadis Hasan adalah hadis yang bersambung sanadnya dari awal hingga akhir dinukil dari perawi adil, kuran dhabitnya dan tidak terdapat syaz dan cacat.Lihat Mahmud Thahhan, Taysir Mushthalah Hadis, ibid h. 40.

10 Hadis dhaif adalah hadis yang tidak terdapat syarat hadis sahih dan hadis hasan.Lihat Mahmud

Thahhan, Taysir Mushthalah Hadis, ibid h. 52. 11 M.Syuhudi Ismail, Metodologi,op.cit.,h. 19. 12 Dr. Nafiz Husein Hammad, Muhktalaf al-hadis baina

al-Fuqaha’ wal al-muhaddisin, (cet. I; Mansurah, Mesir, dar wafa’, 1994 M), h. 13

13 Ibid h. 13

14 Syekh Yusuf Al-Qaradawi menyebutkan bahwa hadis dhaif dan Maudhu’ yang tidak jelas asal usulnya baik pada sanad maupun matan, tidak masuk dalam ruang lingkup pembahasan pada kajian Mukhtalaf hadis, karna hadis dhaif dan maudhu’ bertentangan dengn nash yang sahih. (Lihat Yusuf Al-Qaradawi, Kaifa Nata’amal ma’a al-sunnah al-nabawiyah, cet II; Cairo, Dar Syuruq, 2002 MM, h. 133)

15 Bukhari dalam kitab Sahih, kitab whudu’,babkencing berdiri dan duduk, no 224, vol 4, h. 60.

16 Tirmizhi dalam kitab Sunan, kitab Thaharah, bab larangn kencing berdiri no 8 vol 1, h.8.

17 Bukhari dalam kitab sahih, kitab wudhu’, babLa Tustaqbalu al-Qiblah bi al-Ghaid wa al-Baul, no. 142, vol 1, h. 144.

18 Bukhari dalam kitab sahih, kitab wudhu’, babLa Tustaqbalu al-Qiblah bi al-Ghaid wa al-Baul, no. 143 dan 147, vol 1, h. 144.

19 M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Pokok-pokok Ilmu Dirayah, Jilid I, op.cit., h. 42.

20 M. Syuhudi Ismail, Metodologi, op.cit.,h. 23-24. 21 Ibid.,h. 66.

22 Ibid.,h. 64. Pembahasan lebih lengkap baca, Subhi al-Shahih, Ulum al-Hadits wa Mustalakuhu (Beirut: Dar al-‘Ilm lil-Malayin, 1977), diterjemahkan oleh Tim Pustakan Firdaus dengan judul Membahas Ilmu-ilmu Hadis (Cet. III; Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997), h. 132-141.

23 M. Syuhudi Ismail, Metodologi, op.cit., h. 65. Lihat juga Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadis(Cet. I; Jakarta: Gaya Media Pratama, 1996), h. 159-164. 24 M. Syuhudi Ismail, Metodologi,op.cit.,h.142. 25 M. Syuhudi Ismail, Hadis Nabi yang Tekstual dan

Kontekstual, op.cit.,h. 73.

26 Ibid.,h. 143. Lihat juga Syuhudi Ismail, Hadis Nabi, op.cit.,h. 71.

27 Ahmad Sutarmadi, Al-Imam al-Tirmidzi; Peranannya dalam Pengembangan Hadis dan Fiqh (Cet. I; Jakarta: Logos, 1998), h. 125.

28 Ibid.,h. 142.

29 M. Syuhudi Ismail, Metodologi, op.cit.,h. 143. 30 Ibid.,h. 144.

31 Bandingkan Ahmad Sutarmadi, Al-Imam al-Turmizi, op.cit.,h. 125. Lihat juga, M. Syuhudi Ismail, Metodologi, h. 144.

32 Imam al-Syafi’i, Al-Risalah, terjemahan Ahmad Toha (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1986), h. 67-68.

(10)

33 Lihat, Marshall G.S. Hodgson, The Venture of Islam (Jilid III; Chicago: The University of Chicago Press, 1974), h. 437.

34 Imam al-Syafi’i, Al-Risalah, terjemahan Ahmad Toha, h. 70.

35 Muhammad Awwamah, Melacak Akar Perbedaan Mazhab, Pengaruh Penggunaan Hadis terhadap Perbedaan Pendapat di Kalangan Ulama Fiqh, Terjemahan Zarkasyi Chumaidy (Cet.I; Bandung: Pustaka Hidayah, 1997), h. 71-77.

36 Nafis Husein Hammad, Mukhtalaf Hadis Baina Al-Fuqaha’ wa al-Muhaddisin, (cet.I, Mansurah-Mesir: Dar Wafa’, 1993 M) h. 133-134 37 M. Syuhudi Ismail, Hadis Nabi, op.cit.,h. 86-87. 38 Yusuf Qardawi, Kaifa Nata’amalu Ma’a al-Sunnati

al-Nabawiyah, op.cit, h. 145.

Tentang Penulis

Johar Arifin, dosen pada Fakultas Ushuluddin UIN Suska Riau, menyelesaikan S1pada Fakultas Ushuluddin Jurusan Hadis dan Ilmu Hadis Univ. Al Azhar Cairo Mesir th. 2000 dan S2 pada Fakultas Fiqh dan Perundangan Jurusan Ushuluddin Konsentrasi Hadis Ilmu Hadis Universitas al Al-Bayt Jordania th. 2006. Jabatan terakhir Lektor pada jurusan tafsir Hadis UIN Suska Riau.e-mail: johar.arifin@uin-suska.ac.id dan djohar_hmr@yahoo.com

Referensi

Dokumen terkait

Variabel stres dalam penelitian ini diukur menggunakan Perceived Stress Scale (PSS) yang dikembangan oleh Cohen dan Williamson (1988) untuk mengukur sejauh mana situasi

DJ.II/491 Tahun 2009 Bab I pasal 1 ayat 2 yang menyebutkan bahwa “kursus calon pengantin yang selanjutnya disebut dengan suscatin adalah pemberian bekal pengetahuan, pemahaman

Puji Syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT atas kelancaran dan kemudahan yang diberikan selama proses pengerjaan hingga penyelesaian skripsi yang berjudul : Respon Masyarakat

Kesenjangan pengobatan (treatment gap) pada permasalahan Keswa disebabkan oleh 4 faktor, antara lain (1) faktor pasien yang kurang mengenali simptom gangguan

Adapun sumber-sumber yang dapat dijadikan sebagai inspirasi untuk memunculkan masalah penelitian adalah, tindakan sehari-hari yang tidak disengaja atau coba-coba;

sama dengan Gunung T’ien-t’ai.” Dalam surat kepada Tuan Ueno, Ia menuliskan, “Ini adalah tempat kediaman yang sangat bagus bagi seorang pelaksana Saddharma Pundarika

“Para peserta dihimbau untuk me- nyebarkan pengetahuan yang sudah mereka pelajari keke- luarga dan komunitas masing- masing sehingga makin banyak masyarakat Indonesia yang

Harapan konsumen yang menggunakan paket data internet tidak hanya fokus terhadap fitur dan harga, akan tetapi pelanggan melihat dari kualitasnya juga, seperti apa