• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Dewasa ini, jenis-jenis film mulai bermunculan mengikuti perkembangan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Dewasa ini, jenis-jenis film mulai bermunculan mengikuti perkembangan"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Dewasa ini, jenis-jenis film mulai bermunculan mengikuti perkembangan zaman. Sebut saja, jenis film pendek berdurasi 8 detik, video blog (VLOG), dan beberapa creative video lainnya. Namun, kembali lagi pada dasarnya bahwa film itu lahir dari jenis fiksi dan non fiksi. Pada film fiksi sendiri, yang dieksplorasi adalah cerita-cerita yang dirancang oleh tim produksi pada tahap pra produksi. Umumnya, pada produksi film fiksi melibatkan banyak pihak yang semuanya memiliki peran masing-masing yang sangat penting dalam membangun sebuah cerita yang digarap.

Berbeda denga film fiksi, produksi film dokumenter hanya membutuhkan tim kecil yakni dua hingga lima orang.1 Meski terdiri dari tim yang kecil, justru punya cerita yang tidak sembarangan. Dari segi cerita yang diangkat, biasanya film dokumenter punya pesan-pesan tersendiri bagi penontonnya. Pun seperti halnya film dokumenter berjudul Jalanan karya Daniel Ziv. Film dokumenter ini bercerita tentang tiga sosok pengamen yang gigih dalam menjalani kehidupannya di kota megapolitan Jakarta. Lengkap dengan sisi humorisnya, film ini menyajikan tayangan yang berisi muatan suka, duka, asmara, hingga konflik rumah tangga.

1 Gerzon R. Ayawaila, Dokumenter: Dari Ide Sampai Produksi. Jakarta : Lembaga Penerbitan

(2)

Sebagai bukti keberhasilannya, film ini banyak menjuarai festival film beberapa diantaranya Best Documentary Busan 2013 dan Asia Pacific Screen Award 2014.

Selain Jalanan, ada pula film dokumenter yang berjudul Mendadak Caleg, karya Saiful Halim. Film dokumenter yang satu ini memiliki cerita tentang seorang ibu rumah tangga yang kemudian “dipaksa” oleh teman-temannya untuk mengikuti Pemilu 2014 lalu. Dalam film ini dipaparkan tentang realitas dunia politik Indonesia, money politic, serangan-serangan fajar yang terjadi, sampai tentang kesungguhan seseorang menjadi wakil rakyat. Atas cerita inilah, film dokumenter Mendadak Caleg berhasil menyabet Piala Citra Festival Film Indonesia tahun 2015 lalu.

Tidak berhenti sampai disitu, apresiasi terhadap film dokumenter pun terus berkembang. Hal ini ditandai dengan lahirnya Watchdoc, sebuah lembaga yang aktif memproduksi karya dokumenter yang memiliki cerita yang tidak biasa. Beberapa film dokumenter garapannya seperti Rayuan Pulau Palsu, Lewa Di Lembata, Di Belakang Hotel adalah beberapa hasil karya dokumenter yang berhasil memaparkan sisi lain dari sebuah permasalahan yang jelas terlihat oleh mata maupun yang tersirat oleh mata.

Keberhasilan untuk mengungkap sesuatu yang tidak diketahui oleh publik, menjadi satu hal yang sangat menarik dan juga memiliki nilai tambah tersendiri, bagi film yang mampu untuk melakukan ini. Para tim produksi yang ada dibaliknya seakan tidak berfokus pada keuntungan yang ia peroleh dari “penjualan” filmnya. Namun, lebih menitik beratkan pada fakta-fakta baru yang ingin diungkap serta

(3)

maksud tertentu yang disampaikan. Lagi, film dokumenter pun dapat dijadikan sebuah media untuk mempengaruhi penontonnya dan dapat dijadikan sarana untuk belajar. Dalam buku Film Sebagai Media Belajar, Teguh Trainton2 pernah mengatakan bahwa,

“Dalam proses belajar di sekolah, film termasuk media audio visual yang efektif menunjang tujuan belajar. Pendidikan melalui media film adalah metode atau cara untuk memperoleh pengertian yang lebih baik dari sesuatu yang dapat dilihat dari pada sesuatu yang hanya didengar atau dibacanya. Media ini termasuk lengkap, sebab mencangkup semua sumber yang diperlukan dalam melakukan

komunikasi denga peserta didik”.

Memproduksi film dokumenter adalah perkara yang unik. Alasannya, kita sebagai tim produksi hanya bisa mengira-ngira hal apa saja yang kita kehendaki. Pada faktanya, apa yang diharapkan kadang tidak sesuai dengan realita. Untuk itu, kita perlu mencari momen yang tepat untuk menghasilkan sebuah cerita dan gambar yang baik. Kemudian untuk tahapan pra produksi yakni riset, perlu dilakukan dengan matang. Tidak bisa hanya mengumpulkan informasi dan data seadanya. Kita perlu melakukan riset atau penelitian yang mendalam agar segala perencanaan

(4)

yang kita rancang dapat berjalan dengan baik, dan tidak terjadi perbedaan yang mencolok antara yang dibayangkan dengan apa yang di lapangan.

Bicara film maka bicara soal gambar. Untuk produksi film fiksi, maka tim produksinya dituntut untuk menghasilkan sebuah gambar yang baik. Yang perlu diperhatikan mulai dari komposisi yang tepat, pencahaan yang sesuai, angle yang pas, dan kondisi gambar yang stabil. Film dokumenter lebih bebas menggunakan semua tipe shot, sedangkan umumnya dokumenter televisi berdurasi pendek dan terbatas menggunakan tipe shot seperti close up dan medium shot.3 Akan dimaafkan jika hasil gambar dari film dokumenter mengalami shacking, tata cahaya yang kurang baik, kemudian komposisi yang kurang pas. Hal ini bukan karena alasan, tetapi lebih berdasarkan kondisi lapangan yang tidak pernah bisa ditebak oleh tim produksi.

Meski menitikberatkan pada sebuah realita yang ada, namun film dokumenter memiliki sebuah pilihan pendekatan bagi pembuatnya. Pendekatannya sendiri meliputi, Cinema Verite, Direct Cinema, dan Free Cinema.4 Pada tahun 1950, para dokumentaris Prancis menamai pendekatannya dengan nama Cinema Verite. Teori dan pendekatan ini dianggap mampu mengetengahkan realita visual secara sederhana dan apa adanya, yang diyakini dapat mempertahankan atau menjaga spontanitas aksi dan karakter lokasi otentik sesuai relita. Umumnya dokumenter jenis ini digarap pada proses editing. Untuk itu peran editor sangatlah

3 Ibid. hal 21

4 Gerzon R. Ayawaila. Dokumenter: Dari Ide Sampai Produksi. Jakarta : Lembaga Penerbitan

(5)

penting untuk menentukan baik buruknya hasil dari film dokumenter tersebut. Tak heran, dokumenteris ini menjadi penganut gaya Dziga Vertov.

Lain di Prancis, lain pula di Amerika. Pada tahun 1960, dokumenter jenis ini barulah berkembang. Tokoh yang terlibat diantaranya adalah Robert Drew, Richard Leacock, Albert & David Maysles, Frederick Wiseman dan Don A. Pennebaker. Nama dari gaya dokumenter ini pun berbeda, yakni Direct Cinema. Baik Cinema Verite ataupun Direct Cinema, sama-sama menuntut persiapan yang sangat matang. Persiapan mulai dari schedule hingga budgeting perlu diperhitungkan dan diusahakan untuk tidak meleset. Namun, dari sisi skenario sendiri tidak begitu dianggap penting. Pasalnya yang lebih diutamakan adalah peristiwa yang terjadi, bukan tentang bagaimana jalannya cerita dari suatu peristiwa.

Meski hampir memiliki kemiripan, kedua gaya dokumenter ini tetap berbeda satu sama lain, yakni Cinema Verite terlihat lebih agresif sedangkan Direct Cinema lebih terlihat pasif. Cinema Verite bisa menjadi pemicu atau provokator terhadap subjek agar terjadi suatu konflik, sementara Direct Cinema hanya menanti apa yang akan terjadi di hadapan kamera.

Terakhir ada pula gaya Free Cinema yang berkembang di Inggris pada tahun 1950-an. Menurut beberapa pengamat, gaya dokumenter ini lebih banyak berisi ungkapan sikap arogansi para sineas muda Inggris pada waktu itu yang ingin memperlihatkan pada dunia tentang kehebatan Inggris dalam berkreasi. Free

(6)

Cinema tidak memberikan perhatian pada masalah estetika, yang zaman Flaherty masih menjadi perdebatan.

Untuk pembuatan film dokumenter ini, ide awal berasal dari fenomena yang ada disekitar penulis. Tepat dikampung halaman penulis, terlihat pemandangan sekelompok masyarakat yang dikenal dengan Masyarakat Takmad. Mereka sangatlah berbeda dengan masyarakat pada umumnya. Hal ini tercermin dari pakaian yang mereka kenakan, bagunan tempat tinggal mereka, serta adanya aktivitas tertentu ditiap malam Jumat Kliwon. Tidak sampai disitu, banyak pula orang-orang dari luar daerah yang datang untuk melihat mereka, bahkan media pun banyak pula yang meliput. Fenomena ini menjadi menarik karena mereka dianggap menjadi sebuah ikon baru dari kota Indramayu.

Film ini akan dikemas menjadi drama tiga babak dimana pada tahap pertama merupakan tahap perkenalan dari kelompok Masyarakat Takmad. Tahap perkenalan ini penting guna membuka pengetahuan penonton tentang objek dari film. Segala bentuk keunikan dari pakaian, makanan, ritual, konsep pemikiran, pilihannya untuk tidak mau bergabung dengan pemerintah (tidak membuat KTP) hingga keinginan mereka untuk diakui oleh pemerintah setempat, akan dibedah satu per satu dalam tahapan ini.

Berikutnya adalah babak kedua yang di dalamnya akan ditampilkan tentang tanggapan pemerintah atas keberadaan dari kelompok masyarakat ini. Sikap pemerintah dalam menyikapi kelompok masyarakat Takmad pun akan dipaparkan,

(7)

dan akan di jelaskan pula tentang solusi apa yang bisa ditawarkan oleh pemerintah untuk kelompok masyarakat ini.

Sebagai penengah dalam permasalah ini, penulis mencoba untuk menghadirkan seorang pengamat kebudayaan setempat yang tidak hanya kenal tapi juga paham tentang konsep kebudayaan secara umum. Dari penuturannya akan dijelaskan tentang bagaimana proses suatu masyarakat dapat membentuk suatu kebudayaan. Kemudian ia pun akan mencoba untuk mengkritisi kelompok masyarakat Takmad dilihat dari sudut pandang sebagai seorang pengamat budaya. Sosok ini akan lebih banyak bersifat netral, namun punya penilaian-penilaian tersendiri atas kelompok masyarakat Takmad.

Sebagai klimaks dari ceritanya, penulis mencoba untuk merangkul kedua belah pihak dengan cara, membujuk pemerintah untuk mau mengajak kelompok masyarakat Takmad bergabung dengan pemerintah setempat dengan cara membuat KTP. Responnya nanti yang berupa penolakan atau penerimaan dari kedua belah pihak, itu akan tetap menjadi bagian dalam film ini. Selanjutnya kan ditanggapi oleh sosok pengamat kebudaan dan akhirnya akan diberikan kesimpulan langsung oleh sutradara.

Dalam pembuatannya pun dipilih jenis dokumenter kontradiksi dengan pendekatan Cinema Virety. Untuk gaya bertuturnya sendiri dipilih jenis

observational yakni tidak menggunakan narator. Konsentrasinya pada dialog antar

(8)

1.2 Permasalahan

Berdasarkan pemaparan mengenai film dokumenter diatas, penulis melihat sebuah permasalahan yang cukup kompleks yang ada disekitar lingkungan penulis. Pasalnya, penulis mengetahui ada sebuah masyarakat di daerah Indramayu, Jawa Barat yang punya ciri khasnya sendiri. Kelompok masyarakat ini bernama Masyarakat Hindu Budha Bumi Segandu Indramayu, atau biasa disebut masyarakat Takmad. Masyarakat Takmad tidak memiliki agama, punya ciri khas pada pakaian yang dikenakan, punya ritual khusus di malam Jumat Kliwon serta punya pandangan unik terhadap wanita. Karena keunikan-keunikan tadi, keberadaan masyarakat Takmad menjadi satu hal menarik baik bagi warga Indramayu, mau pun pendatang dari luar Indramayu.

Setiap ritual malam Jumat Kliwon, tak jarang banyak orang yang mengunjungi tempat ritual mereka. Alasannya sederhana yakni hanya ingin melihat prosesi ritual dari mayarakat Takmad. Selain ritual di malam Jumat Kliwon, ada pula ritual Mepe, yakni dalam bahasa Indonesia berarti berjemur. Ritual berjemur dilakukan disiang hari selama beberapa jam. Dimalam harinya, ada pula ritual yang dijalani yakni berendam di sungai yang ada di belakang pemukiman mereka. Aktivitas itu terus dijalani ditiap harinya.

Namun, keberadaan masyarakat Takmad ini menjadi satu “permasalahan” baru di wilayah Indramayu, Jawa Barat. Hal ini didasari oleh tidak adanya

(9)

pengakuan dari pemerintah setempat atas keberadaan masyarakat ini. Permasalahan yang ada ini, dinilai cukup menarik oleh penulis untuk disajikan dalam bentuk film dokumenter. Pro kontra yang terjadi ditengah masyarakat setempat, menjadi satu poin penting yang perlu diketahui oleh publik. Cerita yang dibentuk pun perlu dikemas dengan menarik dan tidak terlalu kaku dan monoton agar pesan yang disampaikan dapat diterima dengan jelas oleh penonton.

Dari banyaknya pro kontra yang berkembang ditengah masyarakat, penulis akan mengkaitkannya dengan dasar negara Indonesia yang tertuang dalam Pancasila yakni sila ke-3 yang berbunyi, “Persatuan Indonesia”. Jadi meski tiap pihak memiliki pandangannya masing-masing, penulis mencoba membawa keduanya pada sebuah konsep yang ada di negara kita Indonesia.

1.3 Tujuan Perancangan

Pembuatan film dokumenter yang mengangkat cerita dari masyarakat Takmad Indramayu ini tentu memiliki tujuan. Penulis akan menjabarkan beberapa hal yang perlu menjadi fokus utama bagi peonton, dalam perancangan film dokumenter ini.

1. Memperkenalkan masyarakat Takmad kepada publik.

2. Mengetahui respon pemerintah atas keberadaan masyarakatnya yang tidak biasa ini.

3. Memaparkan dan meluruskan makna sebenarnya tentang kebudayaan dan kemasyarakatan.

(10)

4. Melihat pandangan masyarakat terhadap keberadaan masyarakat Takmad.

5. Mengungkapkan pro dan kontra yang berkembang di masyarakat dari keberadaan masyarakat Takmad.

6. Membantu pemerintah dengan cara membujuk kelompok masyarakat agar mau bergabung dengan pemerintah.

1.4 Alasan Pemilihan Judul

Film fokumenter yang mengangkat cerita dari kota Indramayu ini berjudul “SENJANG”. Pemilihan kata diambil dari Kamus Besar Bahasa Indonesia yang memiliki arti tidak simetris atau tidak sama bagian yang kiri dan yang kanan. Pemaknaan “kiri” dan “kanan” ini dapat dijadikan sebagai perwakilan dari tiap-tiap pihak yang ada pada film dokumenter ini. Penulis membagi subjek menjadi tiga bagian besar, dimana ada bagian dari kelompok muasyarakat Takmad, pemerintah dan budayawan. Yang menjadi perselisihan pada film ini adalah pihak kelompok masyarakat Takmad dengan pemerintah. Maka dari itu, makna bagian “kanan” bisa untuk mewakili pemerintah, sedangkan bagian “kiri” bisa untuk mewakili kelompok masyarakat Takmad. Kemudian budayawan disini memiliki peran sebagai penyeimbang antara kedua bagian tersebut yang memiliki perbedaan-perbedaan.

Simbol bagian “kanan” ini cocok diberikan kepada pihak pemerintah karena posisi pemerintah yang cenderung statis, idealis dan demokratis. Jadi sangat

(11)

mencerminkan situasi yang aman dan teratur. Sedangkan bagian “kiri” cocok diberikan untuk kelompok masyarakat Takmad yang cenderung memiliki konsep-konsep berbeda dari masyarakat pada umumnya. Mereka juga mencerminkan masyarakat yang lebih realistis dalam kehidupan bermasyarakat dan berkeyakinan.

Pemaknaan pada judul film dokumenter ini pun akan diselaraskan dengan teknik pengambilan gambar. Direct of Photography akan mengambil gambar dengan memosisikan subjek pada tempat yang sudah disamakan sesuai dengan konsep judul yang sudah dirancang.

1.5 Kegunaan Tayangan

Hasil karya pada produksi ini berupa tayangan film dokumenter yang dapat dinikmati oleh masyarakat umunya dan juga mahasiswa Universitas Mercu Buana khususnya. Namun selain dapat disaksikan, tayang film dokumenter ini pun dapat dirasakan manfaatnya, baik dari sisi akademis maupun praktis. Sehingga, penonton tidak hanya menyaksikan, tapi juga dapat memperoleh manfaat bagi kehidupannya mendatang. Berikut pemaparan manfaat ditinjau dari sisi akademis dan praktisnya.

1.5.1 Manfaat Akademis

Dalam sebuah penelitian yang dilakukan, tentu penulis memiliki suatu harapan kepada pembaca maupun penonton yang menyaksikan tayangan dari film dokumenter ini. Dari segi akademis, penulis berharap agar tayangan ini bisa menjadi sebuah informasi baru bagi yang belum mengetahuinya.

(12)

Kemudian, penulis berharap bahwa setelah membaca skripsi ini dan menonton tayangannya, ada yang kemudian membuat sebuah buku yang fokus membahas secara detail mengenai fenomena ini. Terakhir, ditinjau dari segi akademis, maka penulis berharap agar fenomena ini bisa menghasilkan sebuah konsep baru mengenai kebudayaan maupun kehidupan sosial yang berkembang di tengah masyarakat kita.

1.5.2. Manfaat Praktis

Pada kehidupan sehari-hari, tentu manfaat yang dapat kita berikan yakni tentang cara pembuatan film dokumenter. Terkait dengan cerita yang diangkat, maka bagaimana sebuah kebijakan yang sesuai dari pihak pemerintah atas keberadaan masyarakat tersebut.

Referensi

Dokumen terkait

Untuk menentukan adanya perbedaan antar perlakuan digunakan uji F, selanjutnya beda nyata antar sampel ditentukan dengan Duncan’s Multiples Range Test (DMRT).

Medical Surgical and Critical Care Nursing Community Health and Primary Care Nursing Geriatric Nursing. Room 2

Ada pengaruh faktor Host (umur anak, jenis kelamin, umur ibu, pendidikan ibu, pekerjaan ibu, pengetahuan ibu, sikap ibu, penghasilan keluarga, imunisasi campak dan riwayat

L : Ya Tuhan Yesus yang telah mati di kayu salib, hanya oleh karena kasihMu kepada orang berdosa ini. P : Ajarilah kami selalu mengingat Tuhan yang mati di kayu

4. Adakalanya masalah cukup menarik, tetapi data yang diperlukan untuk memecahlan masalah tersebut sukar diperoleh; serta.. Peneliti tidak tahu kegunaan spesifik yang

Dukungan sosial adalah hal yang penting bagi seseorang yang sedang menghadapi masalah, karena dengan adanya dukungan sosial dari lingkungna, baik secara emosi maupun fisik maka

Pendapatan Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (2) bersumber dari pendapatan asli Desa terdiri atas hasil usaha, hasil aset, swadaya dan partisipasi, gotong

Dalam pelaksanaan Program Induksi, pembimbing ditunjuk oleh kepala sekolah/madrasah dengan kriteria memiliki kompetensi sebagai guru profesional; pengalaman mengajar