BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
Sevoflurane semakin luas digunakan sebagai agen anestesi inhalasi karena memiliki koefisien partisi blood-gas yang rendah dan tidak iritatif. Nitrous oksida (N2O) adalah satu-satunya gas anestesi anorganik yang dapat
dipakai dalam klinis. N2O memiliki efek anxiolitik, analgesi dan euforia
sehingga sangat umum digunakan pada setiap prosedur operasi. Namun N2O
adalah gas rumah kaca dengan potensi pemanasan global yang luar biasa. Bila dibandingkan dengan karbon dioksida (CO2), N2O memiliki 310 kali
kemampuan per molekul gas untuk menjebak panas di atmosfer. Meskipun selama pemakaian, hampir semua N2O dieliminasi oleh ekspirasi, sejumlah
kecil partikel masih berdifusi dalam kulit. Biotransformasi terbatas sekitar kurang dari 0.01% selama terjadi metabolisme reduksi pada traktus gastrointestinal oleh bakteri anaerob (Carretera et al, 2006).
Takeda et.al., menyatakan dalam penelitiannya tahun 1995 bahwa paparan Sevoflurane dan N2O konsentrasi tinggi (25 ppm [NIOSH Standard])
dalam jangka waktu lama dapat meningkatkan kadar metabolit partikel gas dalam darah dan urin staff medis yang bekerja di ruang operasi bedah anak. Meskipun belum diketahui secara jelas mekanisme farmakologi N2O dalam
darah namun kadar terukur dalam urine menunjukkan bahwa partikel zat ini dapat mengganggu sintesis enzym metionin sintetase pada proses sintesis DNA. Keadaan ini berbahaya bagi dokter anestesiologis maupun dokter bedah selama berada di ruangan operasi. Pada penelitian ini, konsentrasi
sevoflurane di tiga ruang operasi adalah 1.22 ppm, 2.13 ppm and 6.05 ppm. Sedangkan konsentrasi di ruang pemulihan sebesar 0.544 ppm. Konsentrasi fluoride inorganik dalam serum adalah 1.1 +/- 0.1 mumol dan urin 36.2 +/- 17.1 mumol (mean +/- SD).
Sanabria et.al (2006) menjelaskan dalam penelitianya berjudul Occupational exposure to nitrous oxide and sevoflurane during pediatric anesthesia: evaluation of an anesthetic gas extractor
sebagai gas extractor mampu mengurangi 94 % paparan gas akan tetapi hal ini terbatas di area di sekitar mesin anestesi, hasil berbeda jika diukur di area pembedahan.
Kadar gas anestesi dalam ruang operasi dipengaruhi juga oleh sistem ventilasi ruang operasi. Hal ini diatur dalam Pedoman Teknis Pengoperasian Rumah Sakit oleh Direktorat Jenderal Bina Upaya Kesehatan (Dirjen BUK) Kementerian Kesehatan Republik Indonesia disampaikan bahwa (Kemenkes RI, 2012) :
a. Ventilasi di ruang operasi harus pasti merupakan ventilasi tersaring dan terkontrol. Pertukaran udara dan sirkulasi memberikan udara segar dan mencegah pengumpulan gas-gas anestesi dalam ruangan.
b. Dua puluh lima kali pertukaran udara per jam di ruang bedah yang disarankan.
c. Filter microbial dalam saluran udara pada ruang bedah tidak menghilangkan limbah gas-gas anestesi. Filter penyaring udara, praktis hanya menghilangkan partikel-partikel debu.
d. Jika udara pada ruang bedah disirkulasikan, kebutuhan sistem scavenging untuk gas (penghisapan gas) adalah mutlak, terutama untuk menghindari pengumpulan gas anestesi yang merupakan risiko berbahaya untuk kesehatan anggota tim bedah. e. Ruang bedah menggunakan aliran udara laminair.
f. Tekanan dalam setiap ruang operasi harus lebih besar dari yang berada di koridor-koridor, ruang sub steril dan ruang pencucian tangan (scrub-up) (tekanan positif).
Pada Maret tahun 1977, US Department of Health, Education and Welfare, Public Health Service, Center for Disease Control (CDC) mempublikasikan rekomendasi berjudul Criteria for recommended standard occupational exposure to waste anesthethic gases and vapors melalui NIOSH (National Institute for Occupational Safety and Health) pada dokumen nomor 77-140. Standard ini kemudian dijadikan pedoman bagi rumah sakit di seluruh dunia dalam membuat acuan keselamatan dan kesehatan terkait pencegahan paparan gas buang anestesi dan gas inhalasi hingga saat ini.
Nitrous oxide memiliki efek inhibisi enzime yang tergantung dengan vitamin B12 melalui mekanisme oksidasi atom cobalt (Co) yang ada pada
vitamin B12. Enzim-enzim ini meliputi methionine synthetase, yang
diperlukan untuk pembentukan formasi myelin dan timidilat sintetase yang diperlukan dalam proses sintesis DNA. Paparan N2O dalam jangka waktu
lama dapat menimbulkan depresi sumsum tulang (megaloblastic anemia) dan defisiensi neurologis (peripheral neuropathy) (Morgan, 2006).
Seperti halnya desflurane, sevoflurane mengalami halogenisasi dengan fluor. Kelarutan dalam darah
0.65 versus 0.42). Penambahan nitrouse oxide mampu mengurangi penggunaan agen inhalasi lain sampai dengan 50 % pada penggunaan N2O
sebesar 65 % (Barash, Cullen, 2013).
Agen anestesi inhalasi sevoflurane dan N2O tidak secara rutin diukur
sebelum operasi, selama operasi, maupun sesudah operasi yang pada kadar tertentu dan waktu tertentu bisa mengalami akumulasi melampaui standard yang berpotensi menimbulkan pencemaran di ruang operasi. Sampai saat ini penelitian sejenis belum pernah dilakukan di Indonesia oleh karena itu perlu diteliti kadar Sevoflurane dan N2O berdasarkan durasi operasi kemudian
dibandingkan dengan standard yang dipakai secara internasional yaitu NIOSH 1977 (National Institute for Occupational Safety and Health).
Beberapa faktor resiko terjadinya paparan N2O dan Sevoflurane
adalah sebagai berikut :
1. Faktor alat dan waktu
a. Kebocoran gas melalui mesin anestesi dan sirkuit pernafasan
b. Kerusakan instalasi ruang operasi bertekanan positif
c. Durasi anestesi 2. Faktor manusia
b. Menggunakan teknik anestesi umum face mask (sungkup muka) dan atau intubasi trakea dengan ventilasi mekanik menggunakan sirkuit pernapasan semi terbuka
Mengacu pada petunjuk teknis ruang operasi Kemenkes RI, setiap ruang operasi harus memiliki instalasi gas medik dan gas buang yang salah satunya harus memiliki filter HEPA. Namun tidak semua ruang operasi memenuhi standard ini.
B. Perumusan Masalah
Kadar sevoflurane dan N2O di ruang operasi penting untuk diketahui secara periodik karena berbagai faktor yang menyebabkan kedua gas tersebut mengalami peningkatan dan dapat terakumulasi selama anestesi. Teknik anestesi, durasi anestesi dan sistem tata udara serta gas buang di ruang-ruang operasi berperan dalam meningkatnya kadar kedua gas tersebut. Apabila melebihi standard yang ditetapkan, maka dapat menyebabkan gangguan kesehatan bagi staff medis yang terlibat didalam ruang-ruang operasi.
C. Pertanyaan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah diatas, maka yang menjadi pertanyaan penelitian adalah :
1. Apakah kadar Sevoflurane dan Nitrous Oxide di ruang-ruang operasi yang memiliki filter HEPA memenuhi standard NIOSH ?
2. Apakah ada perbedaan kadar Sevoflurane dan Nitrous Oxide antara yang memiliki dengan yang tidak memiliki filter HEPA ?
D. Tujuan
1. Untuk mengetahui kadar Sevoflurane dan Nitrous Oxide di ruang-ruang operasi yang memiliki filter HEPA berdasarkan standard NIOSH
2. Untuk membandingkan kadar Sevoflurane dan Nitrous Oxide antara yang menggunakan filter HEPA dan tidak.
E. Manfaat Penelitian
Dengan mengetahui kadar Sevoflurane dan N2O di ruang operasi
maka dapat diketahui besarnya paparan kedua zat tersebut berdasarkan variasi durasi anestesi dan teknik anestesi. Dengan demikian resiko pengaruh kedua zat tersebut terhadap kesehatan tim operasi khususnya dokter anestesi dapat dicegah. Jika dinilai menggunakan standard NIOSH 1977 dapat diketahui rentang paparan kedua gas tersebut selama operasi berlangsung.
F. Keaslian Penelitian
Sampai saat ini peneliti belum menemukan penelitian sejenis di di Indonesia. Tabel 1 dibawah ini memuat beberapa penelitian tentang kadar Sevoflurane dan N2O di ruang operasi.
Table 1 Penelitian-penelitian tentang N2O dan Sevoflurane N o Peneliti (tahun) Sampel Populasi Penelitian Desain Penelitian Hasil Penelitian 1. Sanabria et.al (2006) 24 Pasien anak menjalani tonsilektomi dan adenoidec-tomy di Madrid, Spanyol
Kohort Mean (SD) paparan N2O dan sevoflurane pada kelompok tanpa ekstraktor adalah 423 (290) dan 12 (10,9) bagian per juta (ppm). Dalam kelompok dengan ekstraktor, paparan sebesar 94% dan 91% lebih rendah: 24,7 (26) dan 1.1 (1) ppm (P <.001). Sebuah insiden lebih tinggi menunjukkan "bau gas" pada kelompok tanpa
ekstraktor (87% vs 11% pada kelompok extractor, P = .003). Tingkat yang lebih tinggi juga ditemukan pada kelompok tanpa ekstraktor yaitu tidak nyaman (P = 0.05), mual (P = 0,009), dan sakit kepala (P = 0,009) . 2. et al (2009) 35 Operasi craniotomy di Debrecen, Hungaria Kohort retrospektif
Absorben sevoflurane pada zona bedah terukur (0.24 +/- 0.04 ppm) dibandingkan pada zona anesthesiologist's yaitu (1.40 +/- 0.37 ppm) dan pada zona sekitarnya (0.25 +/- 0.07 ppm). Paparan tertinggi sevoflurane ada di sekitar pasien yaitu sebesar (1.54 +/- 0.55 ppm). 3. Takeda J et al (2012) 31 29 dokter anestesi dan 2 perawat di RS Univ Keio, Tokyo Kohort prospektif
Kadar sevoflurane pada 3 ruang operasi terukur masing-masing 1,22 ppm, 2,13 ppm dan 6,05 ppm. Di ruang recovery terukur 0,544 ppm. Sedangkan pada kadar tersebut konsentrasi fluoride inorganik pada serum dan urin obyek terukur 1,1 +/ - 0,1 mumol. Meskipun masih dalam range normal tetapi akumulasi dalam waktu lama fluoride akan dapat menumpuk di tulang. 4. Sherman J, Cathy Le, Lamers V, (2012) 4 gas anestesi New Haven Hospital, Boston
Eksperimental Desfluran memiliki efek lebih besar sebanyak 15 kali dari isoflurane dan 20 kali dari sevofluran pada per MAC jam dasar bila diberikan dalam campuran O2/air. Emisi gas rumah kaca meningkat secara signifikan untuk semua obat bila diberikan dalam campuran N2O/O2. Untuk semua anestesi inhalasi, dampak gas rumah kaca didominasi oleh limbah emisi gas anestesi yang tidak terkendali. Bila dibandingkan dengan propofol efek GRK 4 kali lebih kecil dibanding N2O dan desflurane hanya akibat dari penggunaan listrik. 5. Hoerauf K, Funk W., Harth M. (1997) 20 Pasien pediatri menjalani operasi mata Randomize trial, prospektif
Polusi utama paparan N2O, halothane dan sevoflurane adalah pada saat induks i anestesi. Kadarnya akan turun setelah intubasi endotrakeal (50 %).