SOYBEAN MOSAIC VIRUS (SMV) DAN DISTRIBUSI DI JAWA TIMUR
Wuye Ria Andayani1Praptiningsih Gamawati Adinurani2
1
dan2 adalah Dosen Fakultas Pertanian Universitas Merdeka Madiun
Abstract
Soybean mosaic virus (SMV) is highly prevalent in soybean (Glycine max L.) growing areas and the virus is known to be composed of many pathogenically and serologically related isolates. Infection of plants with SMV severely reduces yield and as the virus can be seed borne, infection can affect subsequent crops. The objectives of this study were: 1) to determine the symptom severity and the incidence the virus and relate these to yield reduction is four regions of East Java; 2) determine if causes of the virus present in this region; 3) to determine the difference in virus incidence and titre of soybean seeds. Severe symptoms were observed in some areas of East Java. Infected plants exhibited predominantly chlorotic mosaics and stunted growth due to shortened petioles and internodes. Infected seed was found to have either mottled or normal seed coats. Incidence of the virus, as judged by symptomatology, based severe infection the percentage of plants being from 13.4–30.1%. Visual symptoms were confirmed by Indirect ELISA and RT-PCR and there was a good correlation between these results. The extent of seedcoat mottling was not related to the accumulation of SMV in the seed coat as SMV was detected in both mottled and non-mottled seed coats. A comparison of certified and non-certified seed showed that more non-certified seeds were mottled and malformed and had a lower percentage germination than certified ones. However, both types of seed contained SMV positive reaction of ELISA; however, a higher percentage (25%) of noncertified contained SMV then certified seed (10%).
Key words: SMV, I.ELISA, RT-PCR.
Pendahuluan
Sistem perbenihan kedelai di Indonesia yang masih kurang sempurna sangat mempengaruhi penyebaran dan penularan penyakit virus. Tanaman kedelai yang terinfeksi virus ini menghasilkan gejala biji burik (mottled). Biji yang terinfeksi virus tidak selalu menunjukkan gejala penyakit (non mottled), sehingga tidak bisa dijadikan jaminan hanya dari gejala visual saja. Benih kedelai dikatakan sehat kalau benih tersebut bebas dari patogen, yang berupa bakteri, cendawan, virus maupun nematoda. Patogen dari kelompok cendawan yang sering terbawa biji kedelai, jumlahnya cukup tinggi misalnya bercak ungu (Cercospora kikuchi). Selain dari kelompok cendawan, patogen dari kelompok virus juga sering terbawa benih. Virus yang terbawa oleh benih dapat
menyebabkan rendahnya mutu benih. Biji yang terinfeksi penyakit mosaik kedelai dapat mempengaruhi viabilitas benih atau kemampuan benih untuk tumbuh. Penyakit virus tular benih tidak hanya terbatas menyerang biji, tetapi juga dapat menyerang tanaman induknya. Penyakit terbawa oleh benih merupakan penyakit yang penting. Kebanyakan patogen terbawa oleh benih menjadi aktif segera setelah benih disebar atau disemaikan (Soegito dan Arifin, 1993; Sinclair dan Backman, 1993; Sumardiyono, l994 dan Hadiastono, l999).
Soybean mosaic virus (SMV) termasuk genus Potyvirus dalam keluarga Potyviridae dan terbawa oleh biji, serta disebarkan oleh serangga aphids yang
bersifat non-persistent . SMV adalah salah satu penyakit yang umum di Indonesia,
khususnya di Jawa Timur. Infeksi virus ini menghasilkan penurunan hasil yang serius , kualitas biji yang jelek, mengurangi kandungan minyak dan nodulasi (Arif and Hassan, 2008). Penurunan hasil di lapang oleh SMV tergantung pada strain virus, genotip inang dan waktu infeksi. Semua bagian vegetatif dari tanaman yang telah terinfeksi suatu virus pada umumnya telah mengandung virus tersebut. Selain bagian vegetatif, beberapa virus dapat menginfeksi bagian generatif seperti bagian bunga dan biji tanaman (Agarwal dan Sinclair, l987). Disekitar Yogyakarta, virus ini menyebabkan penurunan hasil 5-40% (Kaselan, l976) dan Rahamna and Hasanuddin (1989) melaporkan penurunan hasil sebesar 50% di Makasar.
Uji kesehatan benih adalah alat pokok untuk mengontrol penularan melalui biji dan penyebaran melalui vektor yang penting dalam aktifitas regulasi , serta dalam phytosanitary certification dan program karantina perdagangan domestik dan internasional (Morrison, l999). Di Indonesia, benih bersertifikat diseleksi berdasarkan penampakan fisik, daya tumbuh dan vigor. Penyakit mosaik kedelai akan menghasilkan biji dengan mottle yang berwarna coklat atau hitam. Gejala ini terutama terjadi jika menginfeksi biji sebelum berbunga (Pacumbaba, l994). Walaupun SMV terdeteksi pada biji kedelai terjadi pada biji mottle dan non-mottle, tetapi di Indonesia infeksi banyak terjadi pada biji non-mottle (Tresnaputra et al., l993). Selain itu, Hobbs et al. (2003) melaporakan bahwa tidak ada korelasi infeksi SMV dengan gejala biji mottle, sehingga penularan melalui biji berdasarkan gejala bukan merupakan jaminan. Oleh karena itu pengukuran yang digunakan untuk benih bersertifikat di Indonesia belum menghasilkan benih yang bebas dari infeksi virus melalui biji.
Tujuan penelitian ini, melaporkan kejadian dan distribusi penyakit mosaik kedelai di Jawa Timur, identifikasi SMV, serta kejadian pada benih bersertifikat dan tidak bersertifikat.
Metode Penelitian
Survei lapangan. Survei lapangan dilakukan selama bulan April 2007– September 2008 pada tanaman kedelai di 32 lokasi di Jawa Timur. Tujuan dari survei tersebut adalah untuk menentukan variasi gejala . Jumlah desa disetiap kabupaten ditentukan 4 desa yang paling berpotensi sebagai penghasil kedelai, setiap desa 2 hamparan yang disurvei, sehingga jumlahnya 8 hamparan. Setiap hamparan (± 5000 m2) dilakukan unit-unit pengamatan, masing-masing unit dengan membentuk diagonal, masing-masing garis diagonal (± 100 tanaman). Setiap pengamatan harus disertai dengan ulangan sedikitnya 3 ulangan (pada petak berlainan). Pengamatan dilakukan saat tanaman berumur 14 hari sampai panen.
Koleksi benih berserifikat dan tidak bersertifikat. Benih bersertifikat dan tidak bersertifikat yang diperoleh dari produsen, selanjutnya dilakukan pengujian terhadap kejadian penyakit dengan growing on test dan titer virus dengan uji ELISA.
Isolat virus : koleksi, penyimpanan dan perbanyakan. Gejala pada daun dan biji dari tanaman terinfeksi didiskripsikan dan dicatat. Sampel disimpan di freser pada 4oC. Kultur virus di perbanyak pada tanaman kedelai varietas Wilis melalui inokulasi secara mekanik (Cho dan Goodman, l982). Tanaman yang telah terinfeksi SMV dipelihara dalam screen house dan dilakukan sub-kultur pada tanaman kedelai sehat.
Perkembangan penyakit. Perkembangan penyakit di beberapa lokasi yaitu di Kabupaten Ponorogo, Madiun, Magetan dan Ngawi dilakukan berdasarkan hamparan dengan metode survei yang digunakan. Pengamatan dilakukan setiap minggu pada saat tanaman berumur 2 sampai 5 minggu setelah tanam (mst). Perkembangan penyakit mosaik kedelai di lapang digunakan unuk mengetahui intensitas penyakit, dan laju infeksi serta kerugian yang diakibatkan karena penyakit tersebut.
Intensitas penyakit diamati setiap minggu sejak munculnya gejala sampai umur 49 hst. Berdasarkan sifat penyakit yang sistemik, maka IP ditentukan sebagai proporsi jumlah tanaman yang bergejala dibandingkan jumlah seluruh tanaman yang diamati dengan rumus sebagai berikut: x100%
N n
I
I = Intensitas penyakit (persen) n = Jumlah tanaman yang terinfeksi
N = Jumlah tanaman setiap petak yang diamati
Produksi kedelai dihitung untuk mengetahui pengaruh serangan penyakit mosaik kedelai terhadap produksi di lapang. 2) Laju infeksi
Kecepatan perkembangan penyakit ini dari minggu ke minggu diamati dengan menghitung laju infeksi atau r (infection rate) berdasarkan data intensitas penyakit minggu ke -2, ke -3, ke -4 dan ke -5. Laju infeksi di beberapa lokasi digunakan untuk mengetahui perkembangan penyakit, sehingga epidemi penyakit tersebut dapat diketahui. Laju infeksi ditentukan berdasarkan inokulum awal dan inokulum akhir dari proporsi penyakit mosaik kedelai pada setiap waktu. Laju infeksi (r) dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut:
1 2 0 0 i i t t x 1 x ln x 1 x ln r r : laju infeksi penyakit
Xt : proporsi penyakit (intensitas penyakit)
pada waktu t
X0 : inokulum penyakit (intensitas penyakit)
pada awal pengamatan (t = 0) t : waktu
3) Kerugian
Potensi hasil diperlukan untuk mengetahui besarnya kerugian yang terjadi akibat serangan penyakit mosaik kedelai. Potensi hasil dihitung berdasarkan diskripsi varietas Wilis di Jawa Timur (Anonim, 1999). Kerugian yang disebabkan karena serangan penyakit mosaik kedelai dilakukan dengan cara sebagai berikut:
% 100 x b b a K K= Kerugian
a = Potensi hasil (ton/5000m2)
b = Produksi karena serangan penyakit (ton/5000m2)
Penyebab penyakit. Kajian tentang SMV dilakukan dengan uji ELISA dan molekuler. Uji ELISA dengan menggunakan antigen yang berasal dari ekstrak daun sampel tanaman bergejala mosaik dimasing-masing lokasi. Antigen ini dibuat dengan seri pengenceran 100, 10-1 dan 10-2. Selain itu antibodi yang digunakan untuk optimasi adalah antibodi murni hasil purifikasi dan antiserum yang dibuat dengan seri pengenceran 10-1, 10-2 dan 10-3.. Uji ELISA digunakan untuk mengetahui asosiasi tanaman bergejala dengan SMV dan asosiasi biji dari tanaman bergejala dengan SMV, serta agihan atau distribusi SMV dalam biji. Prosedur kerja untuk uji ELISA mengikuti aturan yang dikemukakan oleh Koening, l981, sebagai berikut: antigen dimasukkan dalam lubang sumuran ELISA plate sebanyak 150 µl, inkubasikan selama semalam pada temperatur 4 – 6 oC, plate ditutup dengan almunium foil. Setelah dicuci 3 kali dengan PBST, ke dalam masing-masing sumuran dimasukkan atau bloking dengan BSA 0,05% dalam PBS 0,01 M pH 7,4 sebanyak 100 µl dan diinkubasikan selama1 jam pada suhu 37oC. Selanjutnya setelah dicuci ke dalam masing-masing sumuran dimasukkan Antibodi SMV (diencerkan 100 kali) ditambahkan sebanyak 150 µl perlubang plate, inkubasikan selama semalam pada suhu 4–6 oC. Setelah waktu terpenuhi kemudian dilakukan pencucian dan selanjutnya ke dalam masing-masing sumuran ditambahkan konjugat sebanyak 150 µl, selanjutnya inkubasikan selama 4 jam pada suhu 4-6oC. Setelah dicuci 3 kali dengan larutan pencuci yang sama pada masing-masing sumuran dimasukkan substrat sebanyak 150 µl perlubang plate (p-nitrophenil phosphatase 1mg/ml) dalam diethanolamine 10%, pH 9,8 dan diinkubasikan pada suhu 27oC dalam keadaan gelap selama 30 menit. Nilai
absorbansi diukur dengan ELISA reader pada panjang gelombang 405 nm. Reaksi dihentikan dengan cara menambah larutan NAOH ke dalam masing-masing sumuran.
Uji molekuler dengan menggunakan ekstraksi dari daun tanaman bergejala untuk memperoleh RNA total. Hasil ekstraksi digunakan untuk memperoleh cDNA melalui reaksi RT-PCR, dan DNA melalui reaksi PCR. Uji molekuler digunakan untuk mengkaji keragaman genetik dari isolat yang berbeda. Prosedur kerja mengikuti aturan standart yang dikemukakan oleh Suehiro et al., 2005, sebagai berikut:
1) Ekstraksi RNA virus dari daun tanaman bergejala
Daun-daun dari tanaman bergejala dari 4 kabupaten yang disurvei digunakan untuk ekstraksi RNA. Bahan digerus sampai lumat, kemudian ditambahkan phosphate bufer salin (PBS) yang mengandung larutan 0,05% Tween-20 (PBST) dengan perbandingan 1:1. Sap kasar tersebut diambil dengan hati-hati untuk menjerat supaya tidak ada gelembung udara dengan mikrotip dan dimasukkan dalam tabung PCR (0,5 ml, polypropylene) sebanyak 50 µl. Sesudah di inkubasikan pada suhu ruangan selama 15 menit, sap tersebut dipindahkan kembali dengan mikrotip dan cuci tabung dua kali dengan 50 µl PBST untuk membersihkan residu dari jaringan yang masih tersisa. DEPC-water 30 µl yang mengandung 15 units (U) dari inhibitor Rnase (Takara) ditambahkan dalam tabung kemudian segera inkubasikan untuk denaturasi selama 1 menit pada suhu 95oC dan dinginkan di atas es selama 1 menit. Larutan yang dihasilkan digunakan untuk RT-PCR.
2) Reverse transcription-polymerase chain
reaction (RT-PCR)
Reaksi reverse transcriptation menggunakan first-strand cDNA Kit (Amersham Biosciences). Campuran reaksi mengandung total 7,5 µl (4 µl larutan akhir yang mengandung RNA virus, 0,5µl dari 200 mM DTT, 0,5 µl dari 50 µM primer, dan 2,5 µl dari bulk first-strand cDNA yang
mengandung M-MuLV reverse
transcriptase) di inkubasikan pada suhu 37oC selama 1 jam. Primer akan menempel (annealing) ke ujung 3’ dari genom virus yang digunakan untuk reaksi. RT-PCR. 1 µl dari cDNA yang disentesa ditambahkan ke 24 µl dari campuran reaksi yang mengandung 2,5 µl dari 10 x buffer PCR, 1 µl dari campuran yang mengandung 25 mM setiap dNTP, 0,5 µl dari 50 µl forward dan 0,5 µl reverse primer, 0,5 µl dari Tth DNA polymerase (1 U/µl, TOYOBO) dan 19 µl aquabides. Tabung dipanaskan pada suhu 94oC selama 2 menit dan reaksi pelipatgandaan atau amplifikasi sebanyak 35 siklus selama 1 menit pada suhu 94oC untuk denaturasi, untuk penempelan pada suhu 60oC selama 1 menit, dan 1 menit pada suhu 72oC untuk pemanjangan primer.
3) Polyacrylamide gel electrophoresis
(PAGE)
Polyacrylamide gel electrophoresis (PAGE) dilakukan dengan menggunakan 4 mikro liter dari hasil pelipatgandaan (25µl) dicampur dengan 3 µl loading buffer (0,25% bromophenol blue, 0,25% xylne cyanol, dan 30% glycerol) dielektrophoresis dalam 5% polyacrylamide gel dalam buffer TBE pada 20 mA selama 40 menit. A 1 kb DNA ladder (Invitrogen) digunakan sebagai berat molekul dari marker.
Hasil Dan Pembahasan
Field survey: Variasi gejala karena infeksi penyakit mosaik pada tanaman kedelai umur 14 -28 hari, daun pertamanya berkeriput dan daun-daun muda mengecil disertai dengan tepi daun agak menggulung, selanjutnya dengan bertambahnya umur tanaman (28- 49 hari) permukaan daun tidak rata atau mengkerut, daun melengkung ke dalam (cupping) atau melengkung keluar, melepuh dan berukuran kecil, tepi daun sering mengalami klorosis dan mempunyai gambaran mosaik dengan warna hijau gelap disepanjang tulang daun, kadang dijumpai pemucatan pada tulang daun (Gambar 1). Hal ini sesuai dengan pendapat Shikata (l998) melaporkan bahwa pada daun-daun yang tua gejala yang terjadi tidak jelas (mild symptom). Perkembangan dari variasi gejala
penyakit mosaik kedelai berhubungan dengan waktu infeksi dan tingkat perkembangan tanaman ketika infeksi tersebut terjadi. Alasan lain variasi gejala terjadi karena pengaruh lingkungan dan
campuran infeksi dengan virus lain. Cho dan Chung (l976) melaporkan bahwa perbedaan gejala tergantung dari kultivar dan strain virus. cm5,5 cm 4mm 5 mm 5 cm
Gambar 1:Gejala mosaik dari daun kedelai yang terinfeksi dengan isolate SMV dan gejala cupping (A) dan biji non-mottled dan mottled dari tanaman yang terinfeksi (B)
Perkembangan penyakit: SMV terjadi secara luas di Jawa Timur. Kejadian penyakit akibat infeksi virus berkisar 13.4-30.1% (Tabel 1). Kejadian penyakit tertinggi (30.1%) terjadi di kabupaten Ngawi dan terendah (13,42%) terjadi di Kabupaten Magetan. Produksi kedelai rata-rata 990 kg/5000 m 2 tetapi pada kenyataan hanya 630-730 kg/5000 m 2. Sehingga ada korelasi antara produksi kedelai dan infeksi virus. Tabel 1 menunjukkan bahwa lokasi dengan intensitas tertinggi mempunyai produksi terendah. Selain itu berdasarkan analisa regresi dari data menunjukkan hubungan significan yang negative antara gejala dan produksi kedelai (Gambar 2). SMV adalah salah satu virus yang paling menimbulkan kerusakan pada tanaman kedelai dan penyebaran melalui biji sangat vital secara epidemiologi. Oleh karenanya secara
ekonomi infeksi virus ini sangat berpengaruh. Pada umumnya multiplikasi dari virus terjadi pada awal pertumbuhan. Hal ini ditunjukkan infeksi virus tersebut pada saat masih bibit (seedling infection). Pemupukan N yang berlebihan akan menghasilkan pertumbuhan tanaman kedelai dengan intensitas mosaik yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang dipupuk normal. Selain itu populasi vektor dan praktekpengolahan tanaman juga memegang peranan penting dalam penyebaran penyakit mosaik pada tanaman yang terinfeksi sejak bibit. Transmisi virus terjadi di phloem dan penyebaran melalui biji adalah yang paling penting
Analisa regresi dari data menunjukkan bahwa kejadian penyakit meningkat dari infeksi benih, sehingga menurunkan produksi kedelai (Gambar 2).
Tabel 1. Rata-rata kejadian penyakit pada 14-21 hst dan produksi di 4 daerah di Jawa Timur
Lokasi Jumlah
lokasi
Persentase kejadian penyakit berdasarkan gejala Produksi (kg/5000m2) Ponorogo 8 22.4 a 734.7 b Madiun 8 16.0 b 988.6 a Magetan 8 13.4 b 993.6 a Ngawi 8 30.1 a 629.9 b Keterangan (information):
Angka yang diikuti huruf yang sama
menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf 5% uji jarak ganda Duncan
(Means followed by the same letter are not significantly different according to Duncan Multiple Range test at P = 0.05)
y = 1644.22 -18528.275 x R² =0.661 0 200 400 600 800 1000 1200 0 5 10 15 20 25 30 35 40 Seedling infection (%) S o y b ea n p ro d u ct io n ( k g /5 0 0 0 m 2 )
Gambar 2 : Hubungan antara persentase infeksi dan produksi dari tanaman kedelai yang terinfeksi dengan Soybean mosaic virus di Jawa Timur
Kejadian penyakit akibat infeksi SMV menuingkat dengan meningkatnya
pemupukan Nitrogen (Hadiastono, l999). Laju infeksi tertinggi berkisar 0.0330
unit/minggu diketemukan di kabupaten
Ngawi. Laju infeksi terendah 0.0055 unit/minggu diketemukan di kabupaten Ponorogo (Tabel 2 dan Gambar 3).
Tabel 2. Laju infeksi dari penyakit mosaik di Propinsi Jawa Timur Kejadian penyakit (%) No . Lokasi 1-2 mingg u 2-3 mingg u 3-4 mingg u 4-5 mingg u 5-6 mingg u Rata-rata laju infeksim (R)* 1. Ponorogo 22.372 3 22.465 3 23.388 9 25.499 4 28.0916 0.0055 Laju infeksi (R) 0.0004 0.0042 0.0086 0.0091 2. Madiun 16.045 9 16.321 6 17.786 5 19.173 3 19.3964 0.0059 Laju infeksi (R) 0.0024 0.0108 0.0090 0.0014 3. Magetan 13.421 9 13.648 1 14.525 9 15.225 8 16.1433 0.0064 Laju infeksi (R) 0.0025 0.0088 0.0064 0.0077 4. Ngawi 30.097 8 32.089 4 33.488 0 35.195 9 35.3444 0.0330 Laju infeksi (R) 0.0054 0.0036 0.0039 0.0003
y = 0,0015x + 0,0455 R2 = 0.8929 y = 0,0011x + 0,0393 R2 = 0.9361 y = 0,0009x + 0,0361 R2 = 0.9752 y = 0,0012x + 0,0545 R2 = 0.9436 0 0,01 0,02 0,03 0,04 0,05 0,06 0,07 1 2 3 4 5
W eek of obs erva tion
In c id e n c e o f m o s a ic d is e a s e Ponorogo Madiun Magetan Ngawi
Gambar 3: Perkembangan penyakit mosaik kedelai di Propinsi Jawa Timur Penyebab penyakit: Penggunaan uji
ELISA, antigen SMV terdeteksi secara
konsisten pada sampel daun dari tanaman kedelai yang terinfeksi (Tabel 3).
Tabel 3. Sampel daun dari tanaman terinfeksi yang dideteksi dengan ELISA Lokasi Macam gejala
pada tanaman
Rerata nilai absorbansi (A 405 nm)* Keteranga n nampak sehat 0,246 - Ponorogo bergejala 0,850 + nampak sehat 0,337 - Madiun bergejala 0,932 + nampak sehat 0,281 - Magetan bergejala 0,963 + nampak sehat 0,453 - Ngawi bergejala 0,989 + Kontrol -** 0,231 Bufer 0,219 Keterangan:
* : rerata dari 10 pengamatan (mean of three replicated wells)
** : tanaman sehat yang ditanam di pot dan dikerodong serta berasal dari benih sehat (Non-inoculated, virus free)
Diagnosis dengan ELISA menunjukkan SMV ditemukan pada sampel biji bergejala mottle dan non mottled dari
tanaman kedelai yang bergejala mosaik (Tabel 4). Oleh karenanya antigen SMV terakumulasi dan terdeteksi 100% Tabel 4. Distribusi pada biji non-mottle dan mottled dari tanaman terinfeksi SMV yang
dideteksi dengan ELISA A 405 nm Gejala pada kulit biji Bagian tanaman 1 2 3 Rta-rata Reaksi ELISA Non mottle1 seed coat 0.905 1.085 0.972 0.987 + cotyledon 0.948 1.058 1.150 1.052 + embryo 0.964 1.076 1.101 1.047 + seed 0.943 0.753 0.801 0.832 + Mottle 2 seed coat 0.992 0.988 1.000 0.993 +
cotyledon 0.961 0.919 1.036 0.972 + embryo 0.562 0.537 0.543 0.547 + seed 1.093 0.968 1.012 1.024 + Daun 0.860 0.992 0.974 0.942 + Kontrol - 3 0.092 0.083 0.107 0.094 - Buffer 0.089 0.095 0.097 0.092 - Keterangan:
1) : Biji tidak nampak gejala [no visual seedcoat mottling ( non-mottle)] 2) : Biji nampak gejala [Visual seedcoat mottling (mottle)]
3) : Biji yang dihasilkan dari tanaman sehat ( Seeds were producted by soybean plants healthy)
Distribusi dan tingkat akumulasi antigen SMV pada biji kedelai berhubungan dengan perbedaan waktu infeksi, strain virus, dan campuran infeksi virus lain. Waktu infeksi sangat kondusive untuk multiplikasi dan perkembangan infeksi virus di biji. Tidak nampaknya gejala secara visual pada biji bukan merupakan implikasi bahwa biji tersebut bebas virus. Diagnosis dengan ELISA tidak menunjukkan konsistensi hubungan antara tingkat pigmentasi dari kulit biji dan akumulasi SMV. Data menunjukkan hubungan antara akumulasi SMV dalam kulit biji dan tingkat gejala mottle adalah tidak sederhana untuk disimpulkan.
Kulit biji dengan gejala mottle adalah akibat akumulasi dari Anthocyanins or
Leucoanthocianins yang menghasilkan gejala berwarna coklat atau hitam pada pigmen di permukaan (epidermal) dari kulit biji (Koning et al., 2003). Di atas 30% atau lebih biji dari tanaman sakit menghasilkan biji terinfeksi virus terutama terjadi jika infeksi sebelum berbunga (Bos, l972).
Teknik RT-PCR menggunakan primer SMV 5560R dan SMV 4176F membuktikan bahwa gejala mosaik pada tanaman kedelai umur 21 HST berasosiasi dengan infeksi Soybean mosaic virus (SMV). Fragmen DNA yang berhasil diamplifikasi dari sampel tanaman bergejala mosaik kedelai menghasilkan dengan target gen CI berukuran sekitar 1385 bp (Gambar 4).
1 2 3 M
Gambar 4. Hasil amplifikasi Genome sequences dari strain SMV
yang menyebabkan gejala mosaic atau vein clearing pada kedelai varietas Wilis.
Strategi pengelolaan pada benih sehat: Benih tidak bersertifikat mempunyai morfologi benih normal yang lebih rendah dibandingkan dengan benih bersertifikat.
Sedangkan abnormalitas benih yang meliputi benih mottle dan malformasi pada benih
bersertifikat lebih rendah dibandingkan pada benih tidak bersertifikat (Tabel 5 A dan B). Tabel 4 A. Abnormalitas dari biji secara morfologi
Benih bersertifikat Benih tidak bersertifikat
X ± Δ X ± Δ
Lokasi Normal mottle malformasi Normal mottle malformasi Ponorogo 1795.8±21.19 64.8±4.02 18.8±2.17 1735.6±33.52 90.6±4.76 33.4±2.89 Madiun 1826.2±21.37 67.4±4.10 19.8±2.22 1747.0±20.90 89.4±4.73 32.2±2.84 Magetan 1819.8±21.33 66.0±4.06 21.2±2.30 1734.4±20.82 81.0±4.50 28.2±2.66 Ngawi 1804.8±21.24 61.8±3.93 15.2±1.95 1721.6±28.90 92.0±4.86 39.6±3.15 Keterangan:
*) : Rata-rata dari 5 ulangan ( mean of five replicated)
Tabel 4 B. Uji tumbuh (Growing on test ) dan diagnosis dengan uji ELISA Kategori Biji Growing on test (%)1 ELISA
Biji bersertifikat 25.002 2/203 Biji tidak bersertifikat 40.00 5/20
Keterangan:
1 : Persentase dari jumlah tanaman yang sakit dibandingkan dengan tanaman yang sehat ( the percentage of infected compared total plants)
2 : Rata-rata dari 5 ulangan di setiap lokasi ( mean of five replicated each location)
3 : Reaksi dengan nilai positif dibandingkan dengan jumlah tanaman uji (reaction with positive
value compared total plants test) Hal ini menunjukkan bahwa benih bersertifikat masih terinfeksi oleh SMV. Morfologi benih tidak bisa dijadikan jaminan bahwa benih tersebut bebas dari infeksi virus terbawa benih. Pengaruh yang nyata pada morfologi benih normal disebabkan keaslian dan kemurnian varietas merupakan variabel mutu yang merupakan ciri utama untuk membedakan benih bersertifikat dan tidak bersertifikat atau skala industri rumah. Selain itu keragaman waktu tanam dan waktu panen pada benih non-sertifikat tanpa memperhatikan kesesuaian iklim akan menyulitkan pengendalian mutu. Penyortiran benih berdasarkan pengamatan kering (dry inspection) akan berpengaruh pada morfologi benih dan virus terbawa benih. Infeksi SMV pada biji menyebabkan biji burik atau mottle, ciri yang lebih spesifik ditunjukkan oleh warna coklat atau hitam yang berpusat di hilum serta berbentuk radial dan biji menjadi kecil. Walaupun bukan jaminan biji dengan gejala mottle merupakan indikasi terinfeksi oleh virus.
Baran dan Sri (2002) melaporkan bahwa benih bersertifikat mempunyai rerata daya tumbuh di atas 80% dan proses penyortiran atau pemisahan benih lebih tinggi dibandingkan dengan benih non-sertifikat, sehingga diharapkan pada benih bersertifikat akan menghasilkan mutu benih lebih baik, tetapi diperlukan tenaga lebih banyak. Hal ini menyebabkan produksi benih kedelai bersertifikat di Indonesia masih sangat rendah, yaitu 4% dari kebutuhan total . Dilain pihak, ciri yang lebih spesifik pada biji terinfeksi SMV menyebabkan biji mottle, walaupun tidak berkorelasi dengan konsentrasi virus dalam biji. Polong yang dihasilkan oleh biji terinfeksi menjadi kecil, melengkung dan berkurang jumlahnya, beberapa polong menjadi salah bentuk sehingga biji mengalami malformasi serta polong tidak berbiji (Arif dan Hasan, 2000; CAB International, 2002).
Kesimpulan Dan Saran A. Kesimpulan
1. Penyakit mosaik pada tanaman kedelai [(Glycine max L. (Merr.)] merupakan penyakit penting dan telah tersebar di Jawa Timur bagian barat. Intensitas serangan penyakit awal pada tanaman berumur 14-21 hari yang disebabkan keterbawaan virus pada benih memberikan pengaruh pada penurunan produksi kedelai. Urutan intensitas serangan awal dari yang rendah sampai tertinggi adalah kabupaten Magetan, Madiun, Ponorogo dan Ngawi.
2. Variasi gejala yang muncul karena infeksi SMV pada tanaman kedelai meliputi pengkerutan daun, mosaik, pelepuhan daun, penebalan tulang daun, penebalan dan pemucatan warna tulangdaun, proriferasi dan perubahan bentuk daun. Pada biji kedelai meliputi gejala mottle (burik) seperti bleeding dan berbentuk radial serta mengalami malformasi, tetapi gejala biji non mottle lebih banyak dijumpai dibandingkan dengan gejala biji mottle dan terdistribusi dalam biji pada tanaman bergejala mosaik
3. Deteksi dengan metode Indirect ELISA dan RT-PCR pada daun dari sampel tanaman dan biji bergejala penyakit mosaik kedelai di lokasi pengamatan menunjukkan SMV.
4. Benih bersertifikat masih terinfeksi oleh virus terbawa benih (SMV)
B. Saran
Perlu dilakukan penelitian lanjutan mengenai strain SMV yang ditemukan di Jawa Timur, apakah mempunyai kesamaan dengan strain yang telah ditemukan atau merupakan strain baru. Pengujian pada benih bersertifikat perlu dilakukan untuk virus terbawa benih.
Daftar Pustaka
Anonim, 1999. Produksi benih kedelai dan konstribusi JICA SSP di Jawa Timur. Makalah pada Pertemuan Diseminasi proyek benih Kedelai Lawang. Malang.
Arif, M. and S. Hassan, 2000. Occurrence and distribution of soybean mosaic potyvirus in soybean crop of north west frontier province, Pakistan and characterization of prevalent isolates. Pakistan journal of biological science 3 (12): 2126-2130. Baran, W. dan Sri, W., 2002. Memproduksi
benih bersertifikat; padi, jagung, kedelai, kacang tanah, kacang hijau. PT. Penebar Swadaya Jakarta.
Hadiastono, T., 1999. Uji ketahanan berbagai varietas kedelai terhadap serangan virus mosaik kedelai (BLCMV) Pada tingkat pemupukan N (urea). Agrivita Vol. 20 No. 1. Hal 1-6.
Hobbs, H.A. Hartman, G.L., G.L. Wang, Y. Hill, C.B. Bernard, R.L. Pedersen, W.L Domier, 2003. Occurrence of seed coat motling in soybean plants Inoculated with Bean pod mottle virus and Soybean mosaic virus. The American Phytopathological Society. Plant Disease.87:1333-1335 p.
Iwai, H. and S. Wakimoto., l985. An improved method for purification of Soybean Mosaic Virus. Reprinted from Ann. Phytopath Society of Japan. Vol. 51, No.4, October, l985. 475-481 p.
Koning, G. and D.M. Te Krony, 2003.
Soybean seed coat
mottling:Association with Soybean mosaic virus and Phomopsis spp. Seed infection. The American Phytopathological Society. Publication no D-2003-0210-01R. Plant Dis. 87: 413-417.
Matthews, 1991. Plant virology. Third edition Academic Press, Inc, San Diego, California.
Morrison R.H., 1999. Sampling in seed health testing. Publication no. P-1999-0914-
Pacumbaba, R.P., 1994. Seed transmission of Soybean mosaic virus in mottled and non-mottled soybean seeds. Plant disease.79:193-195 p.
Rahamna, S. dan A. Hasanuddin, 1989. Inokulasi virus mosaik kedelai pada berbagai umur tanaman kedelai. Kongr. Nas. X PFI, Denpasar, Nov. 1989.115-117.
Saleh, N., 2007. Sistim produksi kacang-kacangan untuk menghasilkan benih bebas virus. Iptek Tanaman Pangan. Vol 2 No I-2007. Hal 56-78.
Semangun, H., 2004. Penyakit-penyakit tanaman pangan di Indonesia. Gadjahmada Univerity Press. Hal 168-199.
Sinclair, J.B and P.A. Backman. 1993. Compendium of soybean disease. Third edition. APS Press. The American Phytopathological Society. 82 p.
Sumardiyono, Y.B.,1994. Uji reaktivitas antibodi SMV. Laboratorium Virologi Tumbuhan. Fakultas Pertanian UGM. Penelitian DPP UGM. 8 Hal.
Soegito dan Arifin, 1993. Penyaringan genotipe kedelai terhadap penyakit virus. Konggres nasional XII dan Seminar ilmiah Perhimpunan Fitopatologi Indonesia. Yogyakarta, 6-8 September 1993.
Tresnaputra, U.S, A. Gassa and A. Mariani, l993. The evaluation of some soybean varieties from the infection of soybean mosaic virus (SMV) through the characteristic of infected seeds. Pest and Plant Disease Department, Faculty of Agriculture, Hasanuddin University. 50-61p.
Ungkapan Terimakasih
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Universitas Merdeka Madiun (339/Unmer.Mdn/LPPM/V/2009) atas bantuan dana “Hibah Bersaing DIKTI”.