• Tidak ada hasil yang ditemukan

Oleh : Pradnya Paramita Dewi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Oleh : Pradnya Paramita Dewi"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

DESKRIPSI CARA SISWA SMP MENGGENERALISASIKAN POLA

BERDASARKAN PERSPEKTIF SEMIOTIK

TUGAS AKHIR

Untuk memenuhi sebagian persyaratan guna memperoleh gelar Sarjana Pendidikan pada

Universitas Kristen Satya Wacana

Oleh :

Pradnya Paramita Dewi

202013601

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA

SALATIGA

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)

DESKRIPSI CARA SISWA SMP MENGGENERALISASIKAN POLA

BERDASARKAN PERSPEKTIF SEMIOTIK

Pradnya Paramita Dewi, Helti Lygia Mampouw

Program Studi Pendidikan Matematika Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Kristen Satya Wacana, Jl. Diponegoro 52-60 Salatiga

email: 202013601@student.uksw.edu

Abstrak

Generalisasi merupakan penalaran dalam membuat kesimpulan yang mengandung simbolisasi dan bersifat umum. Semiotik memiliki peranan penting dalam proses generalisasi, dimana menggeneralisasikan pola tidak hanya dilihat dari hasil kerja siswa namun berdasarkan proses siswa dalam memahami dan membuat sesuatu hal. Tulisan ini bertujuan untuk mendeskripsikan cara siswa SMP menggeneralisasikan pola berdasarkan perspektif semiotik. Jenis penelitian ini adalah deskriptif kualitatif dimana data diperoleh berdasarkan tes, wawancara dan pengamatan. Subjek terdiri dari 3 siswa kelas VIII SMP masing-masing 1 siswa berkemampuan matematika tinggi, sedang, dan rendah. Temuan dari penelitian ini adalah pada tahap faktual ketiga subjek memiliki gesture dan word yang sama. Namun pada tahap kontekstual setiap subjek memiliki cara atau langkah pengerjaan yang berbeda-beda sesuai dengan pemahaman yang dimiliki oleh setiap subjek dan tahap terakhir yaitu simbolisasi ketiga subjek dapat membuat rumus yang sama. Tulisan ini diharapkan dapat dijadikan acuan bagi guru untuk memahami kemampuan siswa dalam proses generalisasi.

Kata kunci : generalisasi pola, semiotik

PENDAHULUAN

Pembelajaran matematika merupakan proses pemberian pengalaman belajar kepada peserta didik melalui serangkaian kegiatan yang terencana sehingga peserta didik memperoleh kompetensi tentang bahan matematika yang dipelajari (Gatot,2008). Berdasarkan PERMENDIKNAS No. 22 Tahun 2006, salah satu tujuan dari pembelajaran matematika adalah menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika. Hal ini sejalan dengan Vogel (2003), menyatakan analisis pola, pendiskripsian keteraturan, dan sifat-sifatnya merupakan salah satu tujuan dari matematika.

Berdasarkan kurikulum 2013 materi pola bilangan sudah diajarkan pada siswa SMP. Pada materi pola bilangan siswa diminta untuk membuat generalisasi dari sebuah pola. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Nur Indha (2016) di SMP Negeri 1 Pogalan didapatkan informasi bahwa siswa kelas VII masih mengalami kesulitan dalam materi pola bilangan. Kebanyakan siswa mengalami kesalahan dalam menentukan generalisasi dalam suatu pola bilangan. Selain itu juga ada penelitian yang dilakukan oleh Siti Inganah (2005) pada siswa kelas tujuh dan delapan di SMPN 1 Malang, SMPN 18 Malang, dan SMP Muhammadiyah 6 Dau Malang ditemukan bahwa dari 19 siswa, terdapat 5 siswa hanya bisa melanjutkan pola dalam bentuk gambar yang masih terjangkau dan tidak bisa menentukan aturan umumnya, 8 siswa dapat menentukan aturan umum pola dengan menggunakan kalimat, dan 6 siswa dapat menentukan aturan umum pola dengan menggunakan simbol. Sehingga dari penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa siswa SMP masih merasa kesulitan dalam menggeneralisasikan sebuah pola.

Menurut Ernest (2006) matematika merupakan bidang karya manusia dan pengetahuan yang dikenal atas segala yang unik dari tanda-tanda dan berdasarkan aktifitas tanda. Teori yang mempelajari tentang tanda disebut dengan semiotika. Ferdinand de Saussure dan Pierce merupakan dua orang yang mengembangkan teori tentang tanda. Kata Semiotika berasal dari bahasa Yunani

semeion yang berarti tanda. Semiotika didefinisikan oleh Ferdinand de Saussure sebagai ilmu yang

mengkaji tentang tanda sebagai bagian dari kehidupan sosial (Praptomo, 2007). Suatu tanda adalah segala sesuatu yang dapat dilekati (dimaknai) sebagai pengganti yang signifikan untuk sesuatu lainnya. Menurut Pierce ada tiga faktor yang menentukan adanya sebuah tanda yaitu tanda itu sendiri, hal yang ditandai, dan sebuah tanda baru yang terjadi dalam batin si penerima (Asep, 2009).

(7)

Perspektif semiotik menyediakan cara konseptual dalam pembelajaran matematika. Fokus utama dalam perspektif semiotik adalah pada aktivitas komunikatif dalam matematika memanfaatkan tanda-tanda yang melibatkan kedua penerimaan tanda dan pemahaman melalui mendengar dan membaca, serta menandai produksi melalui berbicara dan menulis atau membuat sketsa (Ernest, 2006). Pentingnya semiotik untuk pendidikan matematika terletak pada penggunaan tanda-tanda: penggunaan ini berada di setiap cabang matematika.

Ada pendekatan di mana tanda-tanda adalah bagian mendasar dari kegiatan matematika yang disebut dengan teori objektifikasi. Teori objektifikasi adalah upaya untuk memahami belajar bukan sebagai hasil kerja siswa tetapi proses siswa dalam memahami dan membuat sesuatu hal. Objek, alat, perangkat linguistik dan tanda sengaja digunakan oleh individu untuk proses pembuatan makna sosial untuk melaksanakan tindakan supaya mencapai tujuan itu yang disebut dengan cara semiotik objektifikasi. Pendekatan semiotik objektifikasi berfokus pada gerak tubuh (gesture), kata-kata (word), dan tanda-tanda (symbolic) ketika siswa menunjuk pada objek matematika.

Salah satu materi pembelajaran yang mengandung tanda-tanda adalah pola bilangan di mana materi pola sudah diajarkan sejak pra-TK hingga tingkat menengah. Menurut Walle (2008) belajar untuk menemukan pola dan bagaimana menjelaskan, menerjemahkan, dan memperluas pola merupakan bagian dari mengerjakan matematika dan berpikir aljabar. Sejak tingkat dasar sampai tingkat menengah, siswa dapat memperdalam pola-pola yang mengandung suatu progesi dari satu langkah kelangkah lainnya. Pada pola berkembang siswa tidak hanya mengembangkan pola tetapi juga mencari generalisasi atau hubungan aljabar yang akan memberikan gambaran tentang bilangan kesekian. Proses dalam menciptakan suatu generalisasi dari bilangan dan aritmatika dimulai sejak TK dan terus berlanjut seiring siswa belajar semua aspek dari bilangan dan perhitungan termasuk pengetahuan dasar dan makna operasi.

Menurut Surajiyo, dkk (2005) generalisasi adalah suatu penalaran yang menyimpulkan suatu kesimpulan bersifat umum dari premis-premis yang berupa proposisi empiris. Berbeda dengan Radford (2003) yang memandang dari sudut pandang psikologis, generalisasi menyiratkan bahwa sesuatu yang baru telah dibuat jelas (misalnya, bahwa hubungan antara objek konkret tertentu berlaku untuk benda-benda konkret lain atau bahkan ke objek baru). Menurut Walle (2008) dalam menciptakan generalisasi perlu menggunakan simbolisme, karena itu baik generalisasi dan pemahaman tentang variabel dan simbolisme harus dikembangkan secara bersamaan. Sehingga alat reprensentasi yang sangat berguna untuk melakukan ekspresi dari generalisasi adalah variabel. Caraher dan Martinez (2008) , menyatakan bahwa anak tidak hanya cukup menggunakan notasi/simbol tetapi juga harus merepresentasikan dan memberikan alasan matematis, membuat kesimpulan dan generalisasi menurut cara mereka. Sehingga dapat disimpulkan bahwa generalisasi adalah suatu penalaran dalam membuat kesimpulan yang mengandung simbolisasi dan bersifat umum. Proses generalisasi dapat diterapkan pada materi pola bilangan. Menurut Siti (2015) bahwa proses generalisasi pola merupakan salah satu bentuk berpikir aljabar. Sejalan dengan itu Walle (2008), menyatakan bahwa salah satu komponen dalam berpikir aljabar adalah generalisasi pola, anak mampu mendiskripsikan aturan dari suatu pola.

Radford (2013) mengidentifikasi generalisasi menjadi tiga tahap yaitu faktual, kontekstual, dan simbolisasi. Tahap faktual merupakan kemampuan siswa dalam menangkap kesamaan yang terlihat pada beberapa elemen suatu urutan, sehingga pada tahap ini siswa mampu menemukan keteraturan antar pola. Hal ini sejalan dengan Siti (2015) yang mengungkapkan bahwa generalisasi pola dalam berpikir aljabar terletak pada kemampuan siswa menangkap kesamaan dan mencermati beberapa elemen dalam suatu urutan pola serta menyadari bahwa kesamaan ini berlaku untuk persyaratan urutan pola dan mampu menggunakannya untuk memberikan ekspresi umum dalam bentuk abstrak. Generalisasi pola dapat dibuat berdasarkan pemahaman tentang persamaan dan perbedaan antar pola. Tahap kedua adalah tahap kontekstual dimana kemampuan siswa dalam menyadari bahwa kesamaan tersebut berlaku untuk semua kesamaan, sehingga siswa diminta memberikan aturan umum pada pola dalam bentuk kalimat. Pada proses generalisasi seringkali dilakukan tryal dan error dimana anak dapat membuat sebuah aturan sederhana. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Raford (2007), menyatakan bahwa heuristik siswa dalam generalisasi pola didasarkan pada tryal dan error. Selain itu juga Raford (2006), menemukan bahwa anak dalam melakukan generalisasi pola melihat fitur-fitur umum dari bilangan yang diberikan kemudian menggeneralisasikan bilangan-bilangan ini dalam urutan berikutnya. Dalam

(8)

menggeneralisasikan pola anak tidak hanya menyatakan dalam bentuk kalimat namun juga dalam bentuk aljabar. Terakhir adalah tahap simbolisasi di mana pada tahap ini kemampuan siswa dalam menggunakan ekspresi langsung dari istilah apapun, sehingga siswa mampu memberikan aturan umum pada pola dalam bentuk simbol.

Penelitian ini menggunakan pendekatan semiotik objektifikasi yang berfokus pada gerak tubuh (gesture), kata-kata (word), dan tanda-tanda (symbolic). Apabila dikaitkan dengan proses generalisasi maka gesture atau gerak tubuh dalam menggeneralisasikan pola dapat berupa ekspresi jari tangan atau mimik muka. Pada tahap faktual proses untuk menentukan persamaan maupun perbedaan pada suatu pola dapat diamati dari ekspresi jari tangan atau mimik yang ditunjukan oleh anak terhadap pola bergambar. Words atau kata-kata dalam menggeneralisasikan sebuah pola dapat berupa kata-kata yang diucapkan atau kalimat yang tidak mengandung simbol. Symbolic atau tanda-tanda yang dipakai dalam menggeneralisasikan pola dapat berupa tanda-tanda, gambar, maupun huruf. Biasanya tanda yang digunakan merupakan tanda yang sering diketahui oleh anak.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan cara siswa SMP menggeneralisasikan pola berdasarkan perspektif semiotik. Subjek dibedakan berdasarkan tingkat kemampuan matematika tinggi, sedang dan rendah.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini berupa transkrip wawancara, hasil tes siswa, dan dokumentasi berupa gambar dan video. Kemudian dari data tersebut dideskripsikan dalam bentuk narasi, sehingga jenis penelitian ini termasuk penelitian kualitatif deskriptif.

Subjek dalam penelitian ini diambil dari siswa kelas VIIIB SMP Kristen 2 Salatiga. Pengambilan subjek dalam penelitian ini menggunakan teknik sampling purposive. Menurut Sugiyono (2012) sampling purposive adalah teknik penentuan sampel dengan pertimbangan tertentu. Berdasarkan tujuan penelitian maka subjek diambil dengan syarat bahwa subjek sudah mempelajari materi pola bilangan. Subjek dikelompokan berdasarkan kemampuan matematika yaitu tinggi, sedang, dan rendah. Pengelompokan ini diambil berdasarkan rata-rata nilai tes 23 siswa kelas VIIIB yang dibagi menjadi 3 bagian, di mana pada interval nilai 86 sampai 97 masuk dalam kategori tinggi, interval nilai 75 sampai 85 masuk dalam kategori sedang, dan 65 sampai 74 masuk dalam kategori rendah. Pada setiap interval masing-masing diambil satu subjek.

Instrumen penelitian yang digunakan dalam proses penelitian ini adalah tes uraian. Tes uraian ini terdiri dari dua butir soal tentang materi pola bilangan. Tes ini dilakukan untuk mengetahui cara siswa dalam menyelesaikan soal yang berkaitan dengan pola bilangan sesuai dengan tahapan generalisasi. Berikut indikator tahapan generalisasi pola yang di tinjau berdasarkan perspektif semiotik.

(9)

Tabel 1. Indikator Tahapan Generalisasi Tahap Generalisasi Pengertian Tahapan generalisasi Komponen

Semiotik Pengertian Komponen Semiotik Indikator

Faktual Kemampuan siswa dalam menangkap kesamaan yang terlihat pada beberapa elemen dari urutan. Gesture

Gesture dalam tahap faktual mengandung: a. komponen tanda : petanda dan penanda.

b. Tingkatan tanda : denotasi Siswa mampu menemukan keteraturan antar pola Words

Words dalam tahap faktual mengandung: a. Komponen tanda : penanda dan petanda b. Tingkatan tanda : konotasi

c. Aksis tanda : paradigma dan sintagma

Kontekstual Kemampuan siswa dalam menyadari bahwa kesamaan tersebut berlaku untuk semua persyaratan Words

Words dalam tahap kontekstual mengandung: a. Komponen tanda: penanda dan petanda b. Tingkatan tanda: konotasi

c. Aksis tanda : sintagma

Siswa mampu memberikan aturan umum pada pola Simbolisasi Kemampuan siswa dalam menggunakan ekspresi langsung dari istilah apapun Words

Words dalam tahap simbolisasi mengandung: a. Komponen tanda: penanda dan petanda b. Aksis tanda: paradigma dan sintagma c. Tingkatan tanda : konotasi

Siswa mampu memberikan aturan umum pada pola dalam bentuk simbol Symbol

Symbol dalam tahap simbolisasi mengandung: a. Tingkatan tanda : konotasi

b. Aksis tanda: sintagma c. Relasi antar tanda : metonimi

HASIL DAN ANALISIS HASIL PENELITIAN a. Tahap Faktual

Pada soal yang terkait dengan ubin terlihat bahwa subjek berkemampuan matematika tinggi, sedang, dan rendah memiliki gesture yang sama. Dalam menghitung jumlah ubin mereka lakukan dengan cara menunjuk satu persatu gambar ubin yang tertera pada soal. Mereka mulai menghitung dimulai dari diagram pertama, kedua, dan ketiga secara berurutan.

Gambar 1. Subjek berkemampuan matematika tinggi (a), sedang (b), dan rendah (c) menghitung banyaknya ubin biru

Berbeda dengan soal yang terkait dengan ubin, dalam mengerjakan soal tentang batu bata

gesture yang tampak tidak hanya ekspresi jari tangan saja melainkan mimik muka juga ikut berperan.

Hal ini terlihat bahwa subjek berkemampuan matematika tinggi, sedang, dan rendah dalam menghitung jumlah batu bata pada diagram 1 dan 2 menggunakan mimik muka atau gerakan mata, sedangkan dalam menghitung jumlah batu bata pada diagram 3 dan 4 menggunakan gerakan tangan dengan cara menunjuk satu persatu gambar batu bata yang tertera pada soal.

(10)

Gambar 2. Subjek bekemampuan matematika tinggi (a), sedang (b), dan rendah (c) menghitung banyaknya batu bata dengan gerakan mata dan menunjuk gambar

Selain gestures ada juga word yang diteliti pada tahap ini. Word disini dapat berupa kata-kata yang diucapkan selama wawancara berlangsung dan kalimat atau tulisan yang ditulis pada lembar yang sudah disediakan.

Subjek berkemampuan matematika tinggi, sedang, dan rendah pada soal yang terkait dengan ubin mempunyai langkah yang sama yaitu menuliskan jumlah ubin biru yang sudah dihitung pada lembar kerja yang sudah disediakan. Penulisan hasil tersebut dilakukan secara berselang-seling, di mana subjek menghitung jumlah ubin biru terlebih dahulu kemudian baru menuliskan hasilnya. Hal ini dilakukan mulai dari diagram pertama hingga terakhir secara berurutan. Pada tahap wawancara subjek menyatakan bahwa jumlah ubin biru setiap diagram berbeda. Selain itu jumlah ubin biru dan jumlah batu bata antar diagram selalu bertambah dua, di mana dua merupakan selisih dari jumlah ubin biru dan batu bata setiap diagram.

Gambar 3. Penulisan jumlah dan selisih ubin biru setiap diagram serta transkrip wawancara subjek berkemampuan matematika tinggi (a), sedang (b), dan rendah (c)

Peneliti : Bisa jelaskan setiap langkah kamu dalam mengerjakan soal ini? Subjek :

Tinggi

Kalau menurutku ini pola pertama ubin birunya ada delapan,yang polakedua ubinnya ada sepuluh, pola ketiga ubinnya ada duabelas, dari delapan kesepuluh itu di tambah dua, dari sepuluh keduabelas ditambah dua...

Peneliti : Tolong jelaskan perlangkah bagaimana kamu mendapatkan jawaban tersebut?

Subjek : Sedang

Pertama mencari rumusnya terlebih dahulu, trus mencari selisih delapan ke sepuluh, sepuluh ke duabelas, itukan U1nya delapan

Peneliti : Tolong jelaskan perlangkah bagaimana kamu bisa mengerjakan soal ini?

Subjek : rendah

Jadi pertama mencari rumus yang keberapa, habis itu dari u1 berarti bilangan pertamanekan delapan ... Peneliti : setelah menghitung, untuk mencari

bedanya kamu caranya gimana? Subjek :

rendah

Dari 8 ke 10 selisihnya 2, berartikan 8 ke 10 di tambah, berarti di tambah dua

(a) (b) (c)

(a)

(c) (b)

(11)

Langkah pengerjaan pada soal tentang batu bata yang dilakukan oleh subjek berkemampuan matematika tinggi, sedang, dan rendah tidak jauh berbeda dengan langkah pengerjaan pada soal tentang ubin. Setiap subjek menuliskan jumlah batu bata pada lembar kerja setelah melakukan penghitungan, di mana hal tersebut dilakukan secara berselang seling pada setiap diagram secara berurutan. Ada yang berbeda pada subjek berkemampuan matematika sedang dimana subjek menulis dengan menambahkan tanda plus (+) diantara jumlah setiap diagram atau dalam bentuk deret aritmatika. Namun ketika tahap wawancara dan subjek diminta menuliskannya kembali terlihat bahwa struktur tulisannya berbeda dimana subjek menuliskan dalam bentuk barisan aritmatika. Setelah setiap subjek menuliskan jumlah batu bata, maka subjek dapat menentukan selisih antar diagram yaitu dua. Hal ini terlihat dari langkah pengerjaan setiap subjek dan penjelasan subjek ketika wawancara.

Gambar 4. Penulisan jumlah dan selisih batu bata setiap diagram serta transkrip wawancara subjek berkemampuan matematika tinggi (a), sedang (b), dan rendah (c)

Peneliti : Pertanyaannya seperti tadi tolong jelaskan perlangkah kamu mengerjakannya?

Subjek tinggi : Kalau yang ini pola pertama batu bata ada 1 yang kedua ada 3, yang ketiga ada 5, keempat ada 7, nah satu ke tiga kan di tambah dua, tiga ke lima di tambah dua juga, lima ke tujuh di tambah dua ...

Peneliti : Tolong jelaskan perlangkah bagaimana kamu bisa mengerjakan ini?

Subjek sedang: Ini awalnya mencari rumusnya dulu, mencari selisih dulu,1 ke 3, 3ke 5, 5 ke 7, selisihnya 2, 2,2, trus kayak tadi 2x 1

Peneliti : Tolong tulis lagi

Subjek sedang: 1 ke 3 ke 5 ke 7 selisihnya 2, 2, 2...

Peneliti : Tolong jelaskan langkah-langkah kamu mengerjakan

Subjek rendah: Jadi ditulis diketahuinya dulu, yang ditanyake kan diagram ke 20, jadi coba inikan selisihe dua dua...

(a)

(b)

(12)

b. Tahap Kontekstual

Komponen semiotik yang berlaku pada tahap ini adalah word, dimana word di sini dapat berupa kata-kata dan tulisan. Subjek berkemampuan matematika tinggi, sedang, dan rendah memiliki cara yang sama yaitu mereka mulai mencoba-coba untuk mencari kesamaan dan membuat persamaan sesuai pemahaman yang mereka miliki.

Pada soal yang terkait dengan ubin subjek dengan kemampuan matematika tinggi, sedang, dan rendah sama-sama memanfaatkan selisih yang sudah diketahui sebelumnya untuk membuat sebuah aturan umum. Namun bedanya adalah langkah mereka dalam membuat aturan umum tersebut. Subjek berkemampuan matematika tinggi mulai mencoba-coba dengan cara menggunakan selisih yang sudah diketahui, kemudian memasukan beberapa angka dan operasi matematika untuk mendapatkan hasil yang sesuai dengan jumlah ubin biru pada setiap diagram.

Langkah pengerjaan soal tentang ubin subjek dengan kemampuan matematika sedang menggunakan istilah U atau suku, dimana U1menunjukan suku pertama. Langkah pertama subjek berkemampuan matematika sedang adalah dengan menggunakan rumus barisan aritmatika, namun rumus tersebut tidak jadi dipakai. Kemudian subjek berkemampuan matematika sedang mulai memanfaatkan selisih yang sudah diketahui dan mengkalikannya dengan diagram ke-n. Setelah itu mencoba memasukan operasi matematika dan beberapa angka sehingga hasilnya sesuai dengan jumlah ubin biru pada masing-masing diagram.

Berbeda dengan subjek lainnya, subjek berkemampuan matematika rendah langsung menggunakan rumus barisan aritmatika (Un=a+(n-1)b), dimana b adalah selisih dan a adalah jumlah suku pertama. Dengan menggunakan rumus tersebut maka terlihat bahwa selisih dan suku pertama berlaku untuk semua diagram.

Gambar 5. Transkrip wawancara dan persamaan setiap diagram yang dibuat oleh subjek berkemampuan matematika tinggi (a), sedang (b), dan rendah (c)

Dalam mengerjakan soal yang terkait dengan batu bata subjek berkemampuan matematika tinggi dan sedang memiliki cara yang sama yaitu dengan menggunakan selisih serta mencoba

Peneliti: Bisa jelaskan setiap langkah kamu dalam mengerjakan soal ini? Subjek :

tinggi

... karena selalu di tambah dua maka duanya dimasukin kerumusnya lalu dikalikan pola keberapanya di tambah inikan misalnya dua di kali satu, dua, terus ditambah berapa yang hasilnya delapan itu di tambah enam, berarti semuanya ditambah enam, kalau yang pola kedua ini dua kali dua, empat, empat tambah enam sepuluh...

Peneliti : U1 itu apa? Subjek :

sedang

Suku, trus dua kali satu ditambah enam biar jadi delapan, trus U2

samadengan dua dikali dua ditambah enam sama dengan sepuluh

Peneliti : Tolong jelaskan perlangkah bagaimana kamu bisa mengerjakan soal ini?

Subjek: rendah

Jadi pertama mencari rumus yang keberapa, habis itu dari u1 berarti bilangan pertamanekan delapan,(menggunakan rumus yang sudah ada) nah kalau pertamane delapan habis itu (n-1), (sambil menunjuk) n itu suku nanti suku keberapa, kali b, b itu selisihnya habis itu un=8+(n-1)2, 8+2n, duanya dikaliin n kali 1, habis itu 2n-2 isni dikali Un sama dengan berarti dikurangi duanya dipindah sinikan berarti delapan dikurangi dua plus 2.n, Un rumuse ketemune 6+2n...

(b) (a)

(13)

memasukan operasi matematika dan beberapa angka sehingga hasilnya sesuai dengan jumlah batu bata setiap diagram. Namun pada subjek berkemampuan matematika sedang ketika wawancara berlangsung menyadari bahwa subjek salah dalam memasukan operasi matematika yang seharusnya dikurangi (-) namun subjek menambahkan (+), karena subjek menganggap jumlah batu bata pada diagram kedua merupakan jumlah diagram pertama. Sehingga ketika wawancara subjek mulai memperbaiki hasil pekerjaannya. Berbeda dengan kedua subjek lainnya, subjek berkemampuan matematika rendah memiliki cara sendiri yaitu subjek mulai menghitung secara manual tanpa menggunakan persamaan yang diketahui. Kemudian setelah subjek mencari jumlah batu bata sampai diagram ke-10, subjek mulai mencoba-coba untuk menemukan aturan umumnya.

Gambar 6. Transkrip wawancara dan persamaan setiap diagram yang dibuat oleh subjek berkemampuan matematika tinggi (a), sedang (b1), dan rendah (c), serta persamaan baru yang dibuat

oleh subjek berkemampuan matematika sedang (b2)

Peneliti : Pertanyaannya seperti tadi tolong jelaskan perlangkah kamu mengerjakannya?

Subjek tinggi : ... nah satu ke tiga kan di tambah dua, tiga ke lima di tambah dua juga, lima ke tujuh di tambah dua, duanya ini dimasukan ke rumus, dikali pola keberapa, kalau misalnya pola ke satu, dua dikali satu sama dengan dua, untuk dapat satunya inikan berarti dikurangi satu, kalau yang pola kedua ini berarti dua dikali duakan empat untuk menjadi tigakan juga di kurangi satu, selanjutnya juga begitu.

Peneliti : Tolong tulis lagi

Subjek sedang : 1 ke 3 ke 5 ke 7 selisihnya 2, 2, 2, misal suku pertamakan 1, berarti 2 dikali 1 biar jadi 3 jadi di tambah 1, 2 dikali 2 sama dengan 4 tambah 1 jadi 5, 3x2 = 6+1 = 7

Peneliti : Berarti suku pertama mulai dari ini (menunjuk diagram ke-2), yg ini (menunjuk diagram ke-1) gak di anggap

Subjek sedang : Berarti aku salah Peneliti : Harusnya gmana? Subjek sedang : Harusnya 2n-1 Peneliti : 2n di dapat dari

Subjek sedang : Dari selisih ini sama itu, jumlah suku u1 u2 u3 u4 Peneliti : -1 karena

Subjek sedang : Karena inikan mulainya 1 misalnya plus 1 hasilnya kayak tadi 3

Peneliti : Tolong tulis ulang Subjek :

rendah

Selisih tulis disini, kalau di plus 1 di coba gak cocok, Peneliti : Kamu bisa mendapat selisih dua dari mana

Subjek : rendah 1 1 ke 3 selishnya 2 (b1) (c) (a) (b2)

(14)

c. Tahap Simbolisasi

Pada tahap simbolisasi ini terdapat dua komponen semiotik yaitu symbol dan word. Komponen symbol yang digunakan oleh ketiga subjek pada soal tentang ubin memiliki rumus yang sama yaitu 2.n+6. Dalam tahap wawancara ketiga subjek memiliki pendapat yang sama yaitu mereka menjelaskan bahwa dua merupakan selisih antar diagram, variabel “n” menunjukan diagram atau suku ke-n, dan ditambahkan enam supaya hasilnya sesuai dengan jumlah ubin biru setiap diagram.

Gambar 7. Transkrip wawancara dan rumus yang dibuat oleh subjek berkemampuan matematika tinggi (a), sedang (b), dan rendah (c)

Rumus yang didapat oleh ketiga subjek pada soal yang terkait dengan batu bata sama yaitu 2.n-1. Meskipun pada awalnya subjek dengan kemampuan matematika sedang menuliskan dengan rumus 2.n+1, tetapi pada tahap wawancara berlangsung subjek menyadari bahwa rumus yang dibuat salah dan mulai menggantinya. Selama tahap wawancara berlangsung ketiga subjek memiliki pendapat yang sama yaitu dua merupakan selisih, variabel “n” menyatakan diagram ke-n, dan dikurangi satu supaya hasilnya sesuai dengan jumlah batu bata setiap diagram.

Peneliti : Mungkin dari angka duanya dulu kok bisa muncul angka dua-n?

Subjek tinggi: Kalau duanya kan karena ini (menunjuk banyaknya ubin biru) selalu di tambah dua kalau n pola keberapa gitu

Peneliti : Berarti rumusnya? Subjek sedang: Berarti rumusnya 2n+6 Peneliti : 2n dapet dari mana?

Subjek sedang: 2n dari selisih dari tadi to miss itukan Un, berarti selisihnya 2, “n”nya dari suku ini tadi, misal ini ubin di misalke Peneliti : Berarti “n” itu ubinnya

Subjek sedang: Iya

Peneliti : Berarti 2 di dapat dari selisih dan “n” dari ubin 1,2,3, trus enam dari mana?

Subjek sedang: Inikan di jumlahin biar dapet 8, 2x1 trus di tambah brapa biar dapet 8

Peneliti : Bisa dibilang ini rumus yg sudah ada, berarti kamu mencari rumus menggunakan rumus yang sudah ada, berarti n disini apa?

Subjek rendah: Buat nyari, inikan ada 2n ini sebetule gak usah ditulis, duanya dikaliin n ini

Peneliti : 2 itu apa sih? Subjek rendah: Dua itu selisihe ini

(b) (a)

(15)

Peneliti : trus km dapet dua n dari mana?

Subjek rendah: Duakan dari sini habis itu, trus n yang di tanyakan Peneliti : Trus kurang satu dari?

Subjek rendah: Tadi pas di coba kurang satu trus coba kesini-sini jawabnnya pas semua

Gambar 7. Transkrip wawancara dan rumus yang dibuat oleh subjek berkemampuan matematika tinggi (a), sedang (b2), dan rendah (c), serta rumus baru yang dibuat oleh subjek berkemampuan matematika

sedang (b1)

PEMBAHASAN a. Tahap Faktual

Pada tahap faktual siswa mampu menangkap kesamaan yang terlihat pada beberapa elemen atau urutan. Hal ini sejalan dengan Siti (2015), menyatakan bahwa generalisasi pola secara aljabar dapat dibangun dari pemahaman tentang persamaan dan perbedaan antar pola.

Berdasarkan hasil penelitian pada tahap ini subjek berkemampuan matematika tinggi, sedang, dan rendah mampu mengubah barisan pola bergambar ke barisan pola bilangan. Dalam mengubah pola tersebut subjek menggunakan gestures berupa gerakan tangan dan mimik muka, serta word yang berupa tulisan tangan dan kata-kata yang diucapkan. Gesture dan word yang digunakan oleh ketiga subjek baik dalam soal yang terkait dengan ubin dan batu bata adalah sama. Dari barisan pola bilangan yang sudah dibuat, subjek dapat menentukan kesamaan dan perbedaan antar pola. Kesamaan yang didapat adalah selisih antar diagram selalu sama dan perbedaannya adalah setiap diagram memiliki jumlah ubin atau batu bata yang berbeda-beda. Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang sudah dibuat oleh Siti (2015), di mana proses untuk menemukan kesamaan dan perbedaan pada suatu pola dapat diamati dari ekspresi jari tangan atau mimik yang ditunjukkan oleh anak terhadap pola bergambar. Serta anak dapat mengungkapkan dengan kata-kata atau kalimat yang bukan simbol. Radford (2007), menemukan bahwa anak dalam menggeneralisasikan pola dilakukan melalui mengkoordinir gerak-gerik (gesture), pengamatan, dan suara.

b. Tahap Kontekstual

Tahap kontekstual merupakan tahap di mana siswa mampu menyadari bahwa kesamaan tersebut berlaku untuk semua persyaratan. Pada tahap ini subjek berkemampuan tinggi, sedang, dan rendah melakukan uji coba baik itu menggunakan rumus yang ada atau mencoba- coba memanfaatkan operasi matematika serta memasukan beberapa angka untuk menentukan persamaan yang sesuai dengan pola yang diinginkan. Hal ini sesuai dengan hasil temuan Raford (2007), yang menyatakan bahwa heuristik siswa dalam menggeneralisasikan pola didasarkan pada tryal dan error . Meskipun pada tahap ini siswa melakukan cara yang sama yaitu mencoba-coba, namun langkah mereka dalam mencoba berbeda-beda terlihat ketika proses pengerjaan. Coretan yang dilakukan oleh subjek ketika pengerjaan dan wawancara merupakan cara subjek dalam memahami. Hal ini sesuai

Peneliti : Berarti dua disini menyatakan apa?

Subjek tinggi: Menyatakan, selisihnya dari masing-masing pola Peneliti : Jadi satunya itu di dapat dari

Subjek tinggi: Dari kan ini dua n, berartikan dua kali satu, berartikan untuk hasilnya satu di kurangi satu.

Peneliti : berarti? Subjek sedang: Harusnya 2n-1 Peneliti : 2n di dapat dari

Subjek sedang: Dari selisih ini sama itu, jumlah suku U1 U2 U3 U4

(b1) (b2)

(a)

(16)

dengan pendapat Oers (2010) yang menyatakan bahwa melalui simbol ( misal kata atau bilangan) yang diberikan anak pada gambar mereka merupakan upaya anak memahami. Selain itu juga Raford (2006), menemukan bahwa anak dalam melakukan generalisasi pola melihat fitur-fitur umum dari bilangan yang diberikan kemudian menggeneralisasikan bilangan-bilangan ini dalam urutan berikutnya.

Proses generalisasi pola merupakan salah satu bentuk berpikir aljabar. Generalisasi pola dalam berpikir aljabar terletak pada kemampuan siswa menangkap kesamaan dalam mencermati beberapa elemen dalam suatu urutan pola serta menyadari bahwa kesamaan ini berlaku untuk persyaratan urutan pola dan mampu menggunakannya untuk memberikan ekspresi umum dalam bentuk abstrak (Siti, 2015). Sejalan dengan Siti (2015), Walle (2008), menyatakan bahwa salah satu komponen dalam berpikir aljabar adalah generalisasi pola, anak mampu mendeskripsikan aturan dari suatu pola.

c. Tahap Simbolisasi

Tahap terakhir dari proses generalisasi pola adalah tahap simbolisasi, di mana pada tahap ini siswa mampu memberikan aturan umum pada pola dalam bentuk simbol. Menurut Walle (2008) bahwa dalam menciptakan generalisasi perlu menggunakan simbolisme, karena itu baik generalisasi dan pemahaman tentang variabel dan simbolisme harus dikembangkan secara bersamaan.

Subjek pada tahap akhir ini mulai menggunakan variabel dalam aturan umum yang dibuatnya. Menurut Walle (2008), variabel merupakan alat representasi yang sangat berguna untuk melakukan ekspresi dan generalisasi. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan komponen symbol dan word yang dilakukan oleh ketiga subjek adalah sama. Namun subjek tidak hanya menuliskan rumus, tetapi juga menjelaskan tentang bagaimana rumus yang sudah dibuat. Hal ini sejalan dengan Caraher dan Martinez (2008), menyatakan bahwa anak tidak hanya cukup menggunakan notasi/simbol tetapi juga harus merepresentasikan dan memberikan alasan matematis, membuat kesimpulan dan generalisasi menurut mereka.

PENUTUP

Semiotik mempunyai peranan penting dalam proses generalisasi pola. Dimana dalam menggeneralisasikan pola tidak hanya dilihat dari hasil kerja siswa namun berdasarkan proses siswa dalam memahami dan membuat sesuatu hal atau yang disebut semiotik objektifikasi. Komponen semiotik yang muncul dalam proses generalisasi adalah gesture, word, dan symbol. Tahap generalisasi juga terdiri dari tiga tahap yaitu faktual, kontekstual, dan simbolisasi. Berdasarkan penelitian yang dilakukan pada tahap faktual, gesture dan word dari ketiga subjek adalah sama. Pada tahap kontekstual setiap subjek memiliki langkah pengerjaan atau cara yang berbeda-beda sesuai dengan pemahaman setiap subjek. Serta pada tahap akhir yaitu simbolisasi, ketiga subjek dapat membuat rumus yang sama.

Tulisan ini diharapkan dapat menjadi acuan bagi guru untuk tidak hanya menilai hasil akhir tetapi dapat melihat kemampuan siswa dalam proses menggeneralisasikan sebuah pola, sehingga guru dapat mengetahui pemahaman setiap siswa. Bagi peneliti lain tulisan ini dapat dijadikan sebagai acuan untuk meneliti tentang generalisasi pola terutama berdasarkan perspektif semiotik.

DAFTAR PUSTAKA

Baryadi, I. Praptomo. (2007). Teori Ikon Bahasa: Salah Satu Pintu Masuk ke Dunia Semiotika. Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma

Caraher, D.W., Martinez, M.V., & Schielmann, A.D. (2008). Early Algebra and Mathematical Generalization. ZDM Mathematics Education. 40:3-22

Depdiknas .2006. Permendiknas No 22 Tahun 2006 Tentang Standar Isi. Jakarta : Depdiknas.

Ernest, Paul.(2006). “A Semiotic Perspective of Mathematical Activity: The Case of Number”. Educational Studies in Mathematics.61:67-101

Gatot Muhsetya, dkk.(2008).”Pembelajaran Matematika SD”. Jakarta:Universitas Terbuka.

Hidayat, Asep Ahmad.(2009).Filsafat Bahasa: Mengungkap Hakikat Bahasa,Makna, dan Tanda. Bandung: PT Remaja Rosdakarya Offset.

Inganah, Siti. (2005).” Semiotik Dalam Proses Generalisasi Pola“. KNPM V. 431-438.

(17)

Permendiknas Nomor 22, 2006. Standar Isi Untuk Pendidikan Dasar dan Menengah

Radford,Luis.(2007).”Iconicity and Contraction: A Semiotic Investigation of Form of Algebraic Generalizations of Patterns in Different Contexs”. ZDM Mathematics Education. DOI 10.1007/s 11858-007-0061-0.

Radford, Luis.(2003).”Gestures, Speech, and the Sprouting of Signs: A Semiotic-Cultural Approach to Students’ Types of Generalization”. Mathematical Thinking and Learning. 5(1),37-70. Radford, Luis.(2006). Algebraic Thinking and The Generalization of Pattern: A Semioyic Perspective.

Proceedings of the 28 annual meeting of the North American Chapter of the International

Group for the Psycology of Mathematics Education. Vol 1.1-21

Sari, Nur Indha P. (2016). “Diagnosis Kesulitan Penalaran Matematis Siswa Dalam Menyelesaikan Masalah Pola Bilangan Dan Pemberian Scaffolding”. ISSN:2502-6526

Sugiyono. (2012). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta. Surajiyo, Sugeng A, Sri Andiani.( 2005). Dasar-Dasar Logika. Jakarta : Bumi Aksara

Van de Walle, John A.(2008).Matematika Sekolah Dasar dan Menengah jilid 2. Jakarta: Erlangga Vogel, R. (2005). Patters: A Fundamental Idea of Mathematical Thinking and Learning. ZDM vol. 37.

Gambar

Gambar 1. Subjek berkemampuan matematika tinggi (a), sedang (b), dan rendah (c) menghitung  banyaknya ubin biru
Gambar 2. Subjek bekemampuan matematika tinggi (a), sedang (b), dan rendah (c) menghitung  banyaknya batu bata dengan gerakan mata dan menunjuk gambar
Gambar 4. Penulisan jumlah  dan selisih batu bata setiap diagram serta transkrip wawancara subjek  berkemampuan matematika tinggi (a), sedang (b), dan rendah (c)
Gambar 5. Transkrip wawancara dan persamaan setiap diagram yang dibuat oleh subjek  berkemampuan matematika tinggi (a), sedang (b), dan rendah (c)
+4

Referensi

Dokumen terkait

Dalam upaya pemberantasan buta aksara, pemerintah mencanangkan program pemberantasan buta huruf yang memberikan dampak positif bagi masyarakat yang belum

grade baik. Setelah itu, dirumuskan program-program pembinaan yang perlu dilakukan oleh kepala madrasah, pengawas bahkan pimpinan pesantren untuk melakukan pembinaan

Tujuan penelitian mengenai penerapan berulir pada tanah lunak, antara lain, adalah pertama, mengetahui seberapa besar efisiensi hasil modifikasi tersebut dipandang dari segi

%HUGDVDUNDQ.HSXWXVDQ0HQWHUL.HKXWDQDQKXWDQOLQGXQJSDGDNHORPSRNKXWDQ*XQXQJ &HUHPDL VHOXDV KD \DQJ WHUOHWDN GL .DEXSDWHQ .XQLQJDQ GDQ .DEXSDWHQ

Prayoga (2012) menganalisis faktor- faktor yang mempengaruhi Tingkat Pengangguran Terbuka Perempuan di Pulau Jawa menggunakan pendekatan Regresi Nonparametrik Spline

Karena itu masjid Al-Furqan Kebun Dahri membuat program kegiatan yang berhubungan lansung dengan ilmu pengetahuan yang dapat menuntun umat pada jalan kehidupan yang benar baik

dengan dana BOS pihak sekolah hanya mampu mencukupi kebutuhan operasional sehar-hari saja, yaitu terkait dengan proses pembelajaran, itu pun baru sebatas implementasi rutinitas

Untuk mempermudah penulis dalam pengumpulan data, fakta, dan informasi dalam penelitian “Efektifitas Budaya Kerja Lembaga Kemahsiswaan terhadap Kepuasan