• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 1 PENDAHULUAN. global semakin hari semakin mencuat ke permukaan. Adanya dominasi negara

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 1 PENDAHULUAN. global semakin hari semakin mencuat ke permukaan. Adanya dominasi negara"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

3

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Biennale Jogja adalah sebuah agenda seni berskala internasional yang digelar rutin setiap dua tahun sekali oleh Yayasan Biennale Yogyakarta (YBY). Agenda seni tersebut menjadi upaya perlawanan YBY dalam menanggapi hubungan antara negara barat dan negara lainnya sebab seiring perkembangan jaman dan menguatnya arus globalisasi, isu mengenai terbaginya negara pusat dan negara pinggiran dalam peta seni kontemporer global semakin hari semakin mencuat ke permukaan. Adanya dominasi negara pusat terhadap negara pinggiran dianggap menjadi indikasi bahwa sistem seni kontemporer global saat ini menganut nilai-nilai budaya politik neoliberal. Isu tersebut kemudian ingin diangkat oleh Yayasan Biennale Yogyakarta dalam serangkaian program kerjanya sebagai respon perlawanan terhadap hegemoni kultural oleh negara-negara pusat seni rupa.1 Keinginan tersebut kemudian diimplementasikan ke dalam agenda Yayasan Biennale Yogyakarta bertajuk EQUATOR. Dalam edisi EQUATOR, Yayasan Biennale Yogyakarta adalah inisiator yang telah merancang program kerja jangka panjang dengan melibatkan negara-negara pinggiran dalam peta seni rupa global. Perjumpaan

1 Eko Prawoto, Wawancara Dengan Khatulistiwa, dalam Biennale Jogja XI – EQUATOR #1, 2011,

(2)

4

dengan beberapa negara pinggiran melalui kegiatan seni rupa dalam Biennale Jogja EQUATOR Series ini diselenggarakan dengan semangat membangun jejaring yang berkelanjutan diantara para praktisi melalui serangkaian dialog, kerjasama, dan kemitraan yang diharapkan dapat melahirkan bentuk-bentuk kerjasama baru yang lebih luas.2 Tujuan Yayasan Biennale Yogyakarta melalui program seni EQUATOR Series ini bisa dikatakan sebagai upaya untuk membuat Indonesia serta negara-negara pinggiran lain mencapai posisi penting dalam komunitas seni global melalui serangkaian aksi kolektif dalam menekan hegemoni negara pusat.

Meskipun strategi ini dianggap kurang populer untuk dijalankan di dunia seni kontemporer global, YBY memiliki anggapan bahwa kerjasama yang terjalin diantara negara-negara pinggiran atau kawasan lain akan menjadi sarana yang unik dan signifikan sebab menawarkan sudut pandang baru dalam melihat dunia dengan seni-budaya sebagai mediumnya.3 Melalui Biennale Jogja EQUATOR Series, Yayasan Biennale Yogyakarta memanfaatkan misi kebudayaan untuk mengambil peran secara global sebagai inisiator yang mengakomodasi misi persahabatan dan pertukaran budaya dalam upaya membangun kekuatan baru diantara negara-negara pinggiran dalam peta seni kontemporer global. Hubungan lintas batas yang terus dibangun dengan melibatkan negara-negara pinggiran menjadikan Yayasan Biennale

2 Yayasan Biennale Yogyakarta, Guide Book Biennale Jogja XII Equator #2: Indonesia Encounters

the Arab Region, Yogyakarta, 2013, hlm 10

3 Yayasan Biennale Yogyakarta, Guide Book Biennale Jogja XII Equator #2: Indonesia Encounters

(3)

5

Yogyakarta sebagai aktor hubungan internasional yang merepresentasikan kepentingan Indonesia dan juga negara-negara pinggiran lain ditengah tantangan arus globalisasi seni rupa melalui upaya-upaya diplomasi.

Proyek Biennale Jogja EQUATOR Series ini juga telah membuat Yogyakarta secara resmi ditasbihkan sebagai tuan rumah pagelaran seni dua tahunan dan berskala internasional yang dimulai pada tahun 2011 dengan melibatkan India sebagai rekan kolaborasi pertamanya dalam Biennale Jogja XI, lalu dilanjutkan pada tahun 2013 dengan menggandeng negara-negara di kawasan Arab dalam proses kreatif Biennale Jogja XII. Pada tahun 2015 hingga 2022, YBY juga telah mempersiapkan rencana kerjasama dengan negara serta aktor-aktor lintas batas lainnya mulai dari negara-negara di benua Amerika Latin, negara-negara Asia Tenggara, dan negara-negara di kepulauan Pasifik dan Australia.4

Visi dan misi Yayasan Biennale Yogyakarta melalui agenda Biennale Jogja EQUATOR Series ini menjadi relevan ketika mereka berusaha membuka sudut pandang mengenai situasi dunia saat ini ketika batasan antara pusat dan pinggiran dalam artian kekuasaan politik, ekonomi, dan budaya menjadi semakin kabur termasuk yang sering terjadi dalam dunia seni kontemporer global.5 Sementara itu di sisi lain juga masih banyak stigma dan stereotip kultural yang tersisa dari politik identitas di negara-negara pusat

4 Yogyakarta Biennale Foundation, BIENNALE JOGJA 10 TAHUN KE DEPAN : WAWANCARA

DENGAN KATULISTIWA (online), July 2013, <

http://www.biennalejogja.org/event-biennale/biennale-jogja-10-tahun-ke-depan-wawancara-dengan-katulistiwa/>, diakses 14 Mei 2015

(4)

6

maupun pinggiran yang menyebabkan kesenjangan antara negara yang dikatakan sudah mapan dan tidak dalam menjalankan aktifitas seni rupanya. Keinginan Yayasan Biennale Yogyakarta untuk membentuk kekuatan baru dalam peta seni rupa adalah jawaban atas gejala globalisasi seni rupa yang tercermin langsung pada peningkatan frekuensi serta perluasan jaringan pasar lintas negara yang dikuasai negara-negara di kawasan Eropa dan Amerika Serikat.6 Hegemoni negara-negara pusat seni rupa dunia yang mengontrol berbagai bentuk dinamika aktifitas seni internasional semakin memperlihatkan bagaimana pengaruh kekuatan negara pusat kepada negara pinggiran dan dominasi mereka pada peta seni kontemporer global.

Kondisi dari perkembangan seni rupa global yang terus menunjukkan ketimpangan hubungan antara negara-negara pusat dan pinggiran ini membuat Yayasan Biennale Yogyakarta terus bergerak merancang strategi guna menyetarakan posisi negara-negara pinggiran.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan, terdapat rumusan masalah sebagai berikut:

 Bagaimana Yayasan Biennale Yogyakarta menjalankan diplomasi seni untuk memajukan seni negara pinggiran?

6 Agus Mulyadi Utomo, Paradigma Seni Rupa Kontemporer (online), 8 Desember 2002,

(5)

7

1.3 Landasan Konseptual

Penelitian ini akan menggunakan konsep soft power, multitrack

diplomacy dan counter-hegemony. Soft power dipandang sebagai konsep yang

efektif untuk membangun suatu hubungan lintas batas, salah satunya melalui suntikan pemahaman terhadap ragam bentuk kebudayaan di dunia. Munculnya pemahaman lintas budaya membuat peluang membangun kerjasama di berbagai bidang akan lebih mudah dicapai. Studi kasus Biennale Jogja EQUATOR Series menunjukan bahwa Yayasan Biennale Yogyakarta melalui diplomasi jalur kedua berupaya merangkul negara-negara pinggiran dalam peta seni rupa global. Melalui program kerja jangka panjang bersama negara-negara rekan kerja, YBY mencoba mengangkat derajat negara-negara pinggiran ke ranah internasional melalui medium seni budaya. Hal ini juga menjadi bentuk perlawanan atas hegemoni negara-negara pusat yang menghambat perkembangan seni rupa negara pinggiran melalui dominasi mereka di dunia seni kontemporer global.

a) Soft Power Strategy, diplomasi jalur kedua oleh Yayasan Biennale Yogyakarta

Kemunculan soft power dalam aktifitas hubungan internasional membawa pengaruh tersendiri pada pelaksanaan diplomasi sebab saat ini

(6)

8

kegiatan diplomasi cenderung lebih memanfaatkan efektifitas soft power dalam upaya menjalin hubungan lintas batas. Konsep soft power itu sendiri dijelaskan oleh Joseph Nye sebagai:

“The ability to get what you want through attraction rather than through coercion or payments”7

Dengan kata lain melalui penggunaan soft power oleh pihak tertentu dapat menimbulkan pengaruh pada pihak lain untuk melakukan hal yang mereka inginkan tanpa harus melakukan pemaksaan-pemaksaan yang berlebih. Pendekatan yang dipilih pun cenderung tercipta dari nilai-nilai masyarakat. Diantaranya berbentuk ideologi, teknologi, pendidikan dan kebudayaan, seperti melalui pameran seni budaya serta pertukaran pengetahuan budaya-budaya sebagai daya tarik kepada pihak lain (attraction). Lebih jauh lagi Joseph Nye menjabarkan bahwa soft power bersumber dari tiga hal yakni bagaimana nilai-nilai yang dianut oleh organisasi atau negara dalam menjalankan praktek kebijakannya dalam berhubungan dengan negara lain. Kedua, bagaimana kebijakan pemerintah pada berbagai masalah di lingkup dalam maupun luar negeri untuk menghasilkan citra di dunia internasional; dan yang ketiga terkait kemampuan organisasi atau pemerintah dalam mempengaruhi preferensi pihak lain sebab soft power itu sendiri memiliki batasan seperti adanya peluang menjadi imitasi cara pihak lain. Selain itu, soft

7 Joseph S Nye, ‘Public Diplomacy and Soft Power’, Annals of the American Academy of Political and

(7)

9

power menjadi kurang efektif jika hanya dikonsentrasikan pada satu negara

dan pemerintah tidak memiliki kontrol penuh atas daya tarik tersebut.

Sedangkan diplomasi merupakan proses politik untuk memelihara atau mempengaruhi sikap dan kebijakan pemerintah negara lain. Namun saat ini, diplomasi tidak hanya menyangkut kegiatan politik semata tetapi juga bersifat multi-dimensional menyangkut aspek ekonomi, sosial-budaya, hak asasi manusia dan lingkungan hidup. Diplomasi dapat digunakan dalam situasi apapun menyangkut hubungan antar bangsa untuk menciptakan perdamaian dalam percaturan politik global ataupun untuk tujuan mencapai kepentingan suatu kelompok. Perkembangan tersebut turut memunculkan jalur-jalur diplomasi lain yang dapat digunakan selain mengandalkan pada hubungan antar pemerintah.8

Studi kasus ini menunjukkan bahwa Yayasan Biennale Yogyakarta sebagai aktor transnasional telah menjalankan praktek diplomasi jalur kedua. Hubungan transnasional dan diplomasi jalur kedua yang dijalankan YBY merupakan bentuk hubungan lain berupa koneksi, koalisi, dan interaksi-interaksi lintas batas negara diluar hubungan serta kebijakan aktor pemerintah (G to G).9 Lebih spesifik lagi, YBY sebagai aktor transnasional telah

menjalankan aktifitas diplomasi jalur kedua (non pemerintah) untuk memenuhi kebutuhan yang diwujudkan dalam interaksi seni-budaya dengan

8 Louise Diamond, Multi-track Diplomacy: a Systems Approach to Peace, USA: Kumarian Press,

1996, hlm: 4-11

9 R.Keohane dan J.S.Nye, Transnational Relations and World Politics, Cambridge: Mass Univ. Press,

(8)

10

melibatkan aktor-aktor lintas batas seperti seniman dan praktisi seni negara-negara lain. Sehingga hubungan yang dibangun oleh YBY melalui agenda Biennale Jogja EQUATOR Series adalah aplikasi dari penggabungan unsur

soft power serta diplomasi jalur kedua.

Dalam pelaksanaannya, strategi diplomasi yang melibatkan aktor-aktor non-pemerintahan memang lebih mengedepankan unsur seni-budaya daripada menggandalkan tekanan di bidang politik, militer, ekonomi dalam membangun hubungan lintas batas.10 Maka secara ringkas soft power oleh

YBY dapat diartikan sebagai pertukaran gagasan, informasi, seni dan aspek-aspek kebudayaan lain antara negara dan bangsa, dengan harapan bisa menciptakan pengertian bersama dan membentuk jaringan kerjasama.11 Sedangkan keputusan YBY menjadi aktor diplomasi jalur kedua menjadi tepat dan efektif ketika melihat kenyataan bahwa hubungan transnasional saat ini begitu ditopang oleh kemajuan dan kemudahan arus teknologi informasi komunikasi.12

Agenda Biennale Jogja EQUATOR Series yang dijalankan YBY menjelaskan bahwa saat ini YBY memiliki peran penting sebagai aktor baru dalam hubungan internasional. Keterlibatan YBY dalam mengangkat skena seni rupa negara-negara pinggiran merupakan bentuk komitmennya untuk

10 Tulisan Dr. Vivek kumar Srivastava berjudul ‘Soft Power and Soft Diplomacy: Nature, Comaprison

and Impact’ untuk &th Annual NNC Confernce and PhD Course, University of Southern Denmark,tgl 4-8 November 2013

11 Thanon Aria Dewangga, Diplomasi melalui Soft Power (online), 6 Nov 2012

<http://old.setkab.go.id/artikel-6305-diplomasi-melalui-soft-power.html> diakses 20 Jan 2014

(9)

11

mengedepankan kepentingan negara pinggiran melalui media seni-budaya. Salah satu peranan YBY tersebut adalah dengan menjalin hubungan dengan aktor-aktor lintas batas melalui bentuk kooperasi/kerjasama, konkretnya berupa diplomasi. Dalam hal ini, diplomasi menurut Tulus Warsito diartikan tidak sekedar sebagai perundingan belaka melainkan semua upaya untuk melakukan hubungan luar negeri.13 Diplomasi kemudian terbagi atas beberapa jenis, diantaranya merupakan diplomasi kebudayaan yang menjadi bagian dari soft diplomacy. Konsep diplomasi kebudayaan adalah diplomasi yang dirancang dan dilaksanakan dengan merekayasa dimensi kebudayaan sebagai sarana utamanya. Sasaran diplomasi kebudayaan berupa kepentingan kultural dan meningkatkan sumber daya manusia dimana pelaku diplomasi kebudayaan merupakan aktor dalam hubungan internasional.

Dalam studi kasus ini, Yayasan Biennale Yogyakarta berupaya membangun hubungan diantara negara-negara pinggiran untuk memperkenalkan dunia seni rupa mereka kepada masyarakat internasional. Melalui agenda seni dan budaya Biennale Jogja EQUATOR Series, Yayasan Biennale Yogyakarta ingin memperkuat posisi negara pinggiran ditengah hegemoni negara pusat dan sekaligus mengukuhkan perannya sebagai aktor diplomasi seni dengan menjalin hubungan lintas batas dengan berbagai negara.

(10)

12 b) Strategi Counter-Hegemony oleh YBY

Pada era globalisasi saat ini, akses masyarakat dunia dalam membangun jaringan lintas batas antara satu sama lain semakin dengan mudah terwujud melalui berbagai kecanggihan teknologi informasi dan komunikasi. Seiring dengan hal tersebut, bentuk-bentuk budaya pun turut berkembang dan menyebar ke segala penjuru dunia. Hal-hal terkait penyebaran suatu kebudayaan ditunjang dengan cara-cara seperti promosi, penggunaan bahasa, gaya komunikasi, yang pada akhirnya terserap kedalam isu-isu ekonomi, politik, budaya lokal, sebagai upaya memperoleh kesepahaman bersama.14 Proses-proses tersebut kemudian memunculkan istilah yang disebut sebagai hegemoni kebudayaan.

Konsep hegemoni menurut Antonio Gramsci dapat dijelaskan melalui adanya supremasi kelompok masyarakat yang menunjukkan eksistensinya melalui dua cara, yakni lewat dominasi (dominance) dan kepemimpinan intelektual (direction). Kelompok-kelompok ini memiliki sifat untuk saling menundukkan dan mendominasi kelompok-kelompok lain melalui berbagai cara. Di satu sisi, kelompok-kelompok yang dipimpin oleh para intelek akan berusaha melawan upaya dominasi kelompok lain melalui jalan mobilisasi kelompok kerabat, mahasiswa, publik, dan stake holder basis masyarakat

14 Peter G. Mandaville, ‘Territory and Translocality: Discrepant Idiom of Political Identity’, Millenium Jurnal of International Studies, Vol.28, 1999, hlm: 654

(11)

13

lainnya.15 Dari konsep tersebut pula Gramsci mengisyaratkan bahwa hegemoni tidak bersifat kekal artinya ada kemungkinan bahwa kelompok hegemon dapat digantikan oleh kelompok sosial lainnya jika mereka memiliki posisi yang lebih dominan daripada rezim sebelumnya. Namun terkadang upaya untuk melawan atau setidaknya menghadang laju kelompok hegemon terkendala oleh sikap pasif dan apatis dari kelompok yang terdominasi karena kepentingan politik (political interest) hegemon telah masuk kedalam bidang-bidang kehidupan masyarakat hingga berujung pada anggapan bahwa proses dominasi sebagai suatu kewajaran. Dalam kondisi seperti inilah kalangan cendekiawan-transformatif yang dinamakan intelektual organik sangat diperlukan untuk melakukan upaya perubahan.16

Berdasarkan konsep Gramsci, Yayasan Biennale Yogyakarta lantas melakukan kegiatan tukar menukar ide, gagasan, pengetahuan, dan promosi pelaku seni diantara negara-negara pinggiran dalam Biennale Jogja EQUATOR Series. Aktifitas tersebut merupakan contoh bagaimana Yayasan Biennale Yogyakarta berperan sebagai intelektual organik yang menginisiasi gerakan perlawanan (counter hegemony) atas dominasi negara-negara pusat seni rupa. Serangkaian kegiatan kolektif diyakini akan membawa pengaruh tersendiri di berbagai bidang melalui isu-isu lokal yang diangkat oleh negara-negara pinggiran melalui sebuah agenda seni rupa. Selain itu konsep yang

15 Martin Carnoy, ‘The State and Political Theory’, Gramsci and The State, Princeton University

Press, 1984, hlm: 65-77

16 Roger Simon, Gagasan-Gagasan Politik Gramsci, Yogyakarta: Pustaka Pelajar dan Insist, 1999,

(12)

14

dirancang Yayasan Biennale Yogyakarta melalui medium seni visual itu sendiri digunakan untuk membuka pandangan masyarakat dunia terhadap adanya hubungan kekuasaan yang penuh konflik terutama terkait isu negara pusat dan pinggiran dalam peta seni kontemporer global.17

1.4 Argumen Utama

Pergelaran agenda seni dua tahunan oleh Yayasan Biennale Yogyakarta menjadi salah satu contoh kasus diplomasi seni kontemporer. Hubungan lintas batas yang coba dibangun YBY melalui aktifitas diplomasi jalur kedua adalah jawaban atas lambatnya respon pemerintah negara dalam menanggapi isu-isu terkait dinamika negara pusat dan pinggiran dalam seni rupa global. Kemapanan serta dominasi negara-negara pusat dalam aktifitas seni rupa secara langsung maupun tidak telah membentuk hegemoni seni-budaya diantara negara-negara lain di seluruh belahan dunia. Fenomena ini lantas mendorong YBY untuk merancang strategi kerjasama dalam bentuk kerjasama kebudayaan melalui aktifitas seni rupa bersama negara-negara pinggiran. Bentuk kerjasama yang dilakukan YBY bersama aktor-aktor lintas batas lainnya merupakan upaya untuk melawan arus hegemoni negara pusat seni rupa itu sendiri. Sebagai inisiator, YBY menggandeng beberapa negara pinggiran untuk berkolaborasi menggelar agenda seni kolektif agar tercipta poros kekuatan baru dengan tujuan meningkatkan posisi mereka di kancah

17 J. Coeteau, Beberapa Catatan tentang Homogenisasi Budaya di Dalam Dunia yang Mengglobal (online), 2014, <http://indonesiaartnews.or.id/artikeldetil.php?id=235>, diakses 4 April 2015

(13)

15

seni kontemporer global. Dalam pelaksanaannya, Yayasan Biennale Yogyakarta sebagai aktor diplomasi jalur kedua menggunakan pendekatan seni-budaya dengan tujuan sebagai counter-hegemony negara pusat. Pengembangan konsep counter-hegemony dalam proses diplomasi dinilai efektif karena penyatuan kekuatan antara negara-negara pinggiran rekan kerja Biennale Jogja EQUATOR Series itu akan membatasi dominasi negara pusat itu sendiri.

YBY sebagai aktor hubungan internasional dalam konteks ini memiliki peran untuk membangun pola kerjasama serta mengembangkan potensi seni rupa di kawasan khatulistiwa. Kawasan khatulistiwa dipilih sebagai wilayah kerja mereka karena disanalah terdapat banyak negara yang mereka anggap terpinggirkan dalam aktifitas seni rupa global. Maka hal utama yang mereka lakukan adalah melakukan kontak serta membangun hubungan dengan aktor-aktor lintas batas negara lain. Proses kerjasama seni-budaya melalui Biennale Jogja EQUATOR Series juga membutuhkan kesepakatan dan kesepahaman antar pihak sebab konsep ideologis penyelenggaraan agenda ini dinilai penting sebagai landasan dalam menghadang dominasi negara pusat atas kehidupan seni-rupa negara pinggiran. Pada fase inilah peran YBY sebagai pelopor kerjasama diantara negara-negara pinggiran bisa dirasakan melalui perancangan konsep yang akhirnya menjadi landasan pikiran bersama atas dinamika seni kontemporer global dan tertuang dalam agenda seni Biennale Jogja EQUATOR Series.

(14)

16

YBY memanfaatkan momentum dan romantisme sejarah untuk membangkitkan kembali semangat perlawanan terhadap dominasi negara-negara pusat seperti yang ditunjukkan oleh para negara-negara anggota Konferensi Asia Afrika di tahun 1955. Dengan begitu YBY memiliki beberapa alasan kuat untuk mendorong terjadinya kerjasama kebudayaan di antara negara-negara rekan kerjanya dalam Biennale Jogja EQUATOR Series. Praktek soft

power dan multitrack diplomacy oleh YBY juga seturut pada konsep counter-hegemony terkait isu seni-budaya, ekonomi, politik, sosial negara-negara

pinggiran yang ingin diangkat ke ranah internasional. Melalui agenda Biennale Jogja EQUATOR Series, YBY kemudian menjalankan empat peran kunci dengan membangun hubungan lintas batas diantara negara-negara pinggiran, mengangkat isu mengenai hubungan negara pusat-pinggiran dalam konteks seni kontemporer, membangun pola kerjasama, dan mengimplementasikan kerjasama tersebut dalam bentuk Biennale Jogja EQUATOR Series. Berbagai agenda bersama yang diinisiasi YBY membuat setiap negara pinggiran dapat menyampaikan gagasan-gagasan mengenai dinamika lokalitas yang terjadi di negaranya masing-masing. Hingga pada akhirnya, proses perpindahan arus gagasan tersebut dapat meningkatkan posisi tawar mereka di kancah pergaulan internasional.

(15)

17

1.5 Metodologi Penelitian

Dalam penelitian ini, pendekatan kualitatif dipilih sebagai suatu proses pemahaman dengan memberikan gambaran kompleks melalui penelitian laporan-laporan dari kurator Biennale Jogja EQUATOR Series dan melakukan studi pada situasi yang dialami ketika proses tersebut berjalan. Teknik pengumpulan data yang digunakan agar analisis dan konstruksi obyek menjadi lebih jelas adalah wawancara terstruktur dengan pihak-pihak terkait terutama Yayasan Biennale Yogyakarta. Setelah data terkumpul, peneliti menjelaskan dan memberikan kesimpulan terkait peran dan implementasi diplomasi seni yang dijalankan oleh Yayasan Biennale Yogyakarta dalam Biennale Jogja EQUATOR Series dengan menggunakan landasan teori soft

power, second-track diplomacy, dan counter-hegemony.

1.6 Periode Penelitian

Skripsi ini akan meneliti agenda seni Biennale Jogja EQUATOR Series mulai dari tahun pertama pelaksanaannya di tahun 2011 dan pelaksanaan keduanya di tahun 2013.

1.7 Sistematika Penulisan

Penelitian ini terdiri dari empat bab. Bab pertama berisi pendahuluan, dimulai dari latar belakang masalah, rumusan masalah, landasan konseptual, argumen utama, metodologi penelitian dan sistematika penulisan. Bab kedua

(16)

18

berisi pemaparan awal mengenai Yayasan Biennale Yogyakarta sebagai aktor diplomasi jalur kedua yang berupaya membangun hubungan diantara negara-negara pinggiran dalam peta seni kontemporer global serta latar belakang Biennale Jogja EQUATOR Series sebagai sarana diplomasi seni kontemporer, tujuan penyelenggaraan acara, program kerja, dan bagaimana pelaku-pelaku seni lintas negara ikut terlibat dalam agenda ini. Bab ketiga berisi mengenai upaya Yayasan Biennale Yogyakarta dalam membangun pola hubungan kerjasama seni-budaya diantara negara-negara pinggiran dalam Biennale Jogja EQUATOR Series. Bab keempat merupakan kesimpulan serta manfaat yang muncul dari penelitian ini sesuai dengan bidang studi ilmu studi hubungan internasional.

Referensi

Dokumen terkait

Salah satu data statistik indikator ekonomi yang sangat diperlukan untuk evaluasi dan perencanaan ekonomi makro pada level kecamatan adalah Produk Domestik

Berdasarkan batasan masalah, maka penulis merumuskan masalah dalam penelitian ini sebagai berikut: “Apakah ada pengaruh yang signifikan antara aktivitas mengikuti

Pada saat peraturan daerah ini mulai berlaku, maka Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2004 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Dinas-Dinas Daerah

Padatan tersuspensi adalah padatan yang menyebabkan kekeruhan air, tidak terlarut dan tidak dapat langsung mengendap, terdiri dari partikel-partikel yang ukuran maupun beratnya

Function tersebut berguna untuk mengambil data, menampilkan data yang telah diambil dan membandingkan produk yang telah dipilih oleh user.. Function Product

Publikasi Profil Kecamatan Palu Selatan 2014 merupakan terbitan yang memuat berbagai informasi tentang kondisi geografis, pemerintah kependudukan, social budaya,

Pelaksanaan jaminan kesehatan haruslah mengacu kepada kendali mutu dan kendali biaya dengan menerapkan ptinsip managed care, agar terjadi pembiayaan yang efisien