• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
35
0
0

Teks penuh

(1)

14

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Sesuai dengan judul di atas (tinjauan pustaka), maka dalam Bab ini Penulis kemukakan gambaran mengenai tinjauan atau studi kepustakaan atas prinsip-prinsip dan asas serta kaidah yang mengatur mengenai tanggung jawab mutlak (strict liability) dalam dalam sistem hukum di Indonesia. Adapun tujuan dari tinjauan kepustakaan ini adalah untuk menjawab rumusan masalah dari penelitian hukum ini.18

Uraian studi atau tinjauan kepustakaan dimaksud terdiri dari gambaran umum konsep tanggung jawab hukum, strict liability vs liability based on fault, perbedaan strict liability dan absolute liability, strict liability dan absolute liability dari segi subatantif, kategori kegiatan yang dapat dikenakan asas strict liability, kategori kegiatan extrahazardous dalam hukum lingkungan Indonesia, strict liability sebagai pertanggungjawaban khusus dalam hukum lingkungan, kekhasan strict liability, sistem plafond dalam strict liability. Selain itu Bab ini juga berisi sumber hukum mengenai tanggung jawab mutlak (strict liability) dalam hukum lingkungan hidup..

18

Rumusan masalah Penelitian dan Penulisan karya tulis ini dapat dilihat dalam Bab I, Sub Judul: Rumusan Masalah, hal., 9, Supra.

(2)

15

A. Konsep Tangung Jawab Hukum

Ada dua istilah yang menunjuk pada pertanggungjawaban dalam kamus hukum, yaitu liability dan responsibility. Pertanggung jawaban berasal dari kata tanggung jawab, yang berarti keadaan wajib menanggung segala sesuatunya (kalau ada sesuatu hal, boleh dituntut, dipersalahkan, diperkarakan dan sebagainya). Dalam kamus hukum ada dua istilah menunjuk pada pertanggungjawaban, yakni liability (the state of being liable) dan responsibility (the state or fact being responsible). Liability merupakan istilah hukum yang luas (a broad legal term) yang di dalamnya mengandung makna bahwa menunjuk pada makna yang paling komprehensif, meliputi hampir setiap karakter risiko atau tanggung jawab, yang pasti, yang bergantung, atau yang mungkin. Liability didefinisikan untuk menunjuk semua karakter hak dan kewajiban. Secara etimologis, liability merupakan istilah hukum yang luas yang menunjuk hampir semua karakter risiko atau tanggung jawab, yang pasti, yang bergantung atau mungkin meliputi semua karakter hak dan kewajiban secara aktual atau potensial seperti kerugian, ancaman, kejahatan, biaya atau kondisi yang menciptakan tugas untuk melaksanakan undang-undang. Sedangkan, kaitan dengan liability ada responsibility, berarti hal yang dapat di pertanggungjawabkan atas suatu kewajiban, dan termasuk putusan, keterampilan, kemampuan dan kecakapan meliputi juga kewajiban bertanggung jawab atas undang-undang yang dilaksanakan. Dalam pengertian dan penggunaan praktis, istilah liability menunjuk pada pertanggungjawaban hukum, yaitu tanggung gugat akibat kesalahan yang

(3)

16

dilakukan oleh subyek hukum, sedangkan istilah responsibility menunjuk pada pertanggungjawaban politik.

Dari responsibility ini muncul istilah responsible government yang menunjukan bahwa istilah ini pada umumnya menunjukan bahwa jenis- jenis pemerintahan dalam hal pertanggungjawaban terhadap ketentuan atau undang- undang public dibebankan pada departemen atau dewan eksekutif, yang harus mengundurkan diri apabila penolakan terhadap kinerja mereka dinyatakan melalui mosi tidak percaya, di dalam majelis legislatif, atau melalui pembatalan terhadap

suatu undang- undang penting yang dipatuhi.

Dalam pengertian dan penggunaan praktis, istilah liability menunjuk pada pertanggungjawaban hukum yaitu tanggung gugat akibat kesalahan yang dilakukan oleh subjek hukum, sedangkan responsibility menunjuk pada pertanggungjawaban politik. Dalam ensiklopedi administrasi, responsibility adalah keharusan seseorang untuk melaksanakan secara selayaknya apa yang telah diwajibkan kepadanya. Disebutkan juga bahwa pertanggungjawaban mengandung makna; meskipun seseorang mempunyai kebebasan dalam melaksanakan sesuatu tugas yang dibebankan kepadanya, namun ia tidak dapat membebaskan diri dari hasil atau akibat kebebasan perbuatannya, dan ia dapat dituntut untuk melaksanakan secara layak apa yang diwajibkan kepadanya.19

19

Ridwan H.R., Hukum Administrasi Negara, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006, hal 335-337.

(4)

17

Suatu prinsip terkait dengan konsep kewajiban hukum adalah konsep tanggung jawab hukum (liability). Seseorang dikatakan secara hukum bertanggung jawab untuk suatu perbuatan tertentu adalah bahwa dia dapat dikenakan sanksi dalam kasus perbuatan yang berlawanan. Normalnya, dalam kasus sanksi dikenakan terhadap deliquent adalah karena perbuatannya sendiri yang membuat seseorang tersebut harus bertanggung jawab. Dalam kasus ini subyek responsibility dan subyek kewajiban hukum adalah sama dengan teori tradisional pertanggungjawaban berdasarkan kesalahan (based on fault) dan pertanggungjawaban mutlak (absolute

responsibility).20

Hukum melihat bahwa hubungan antara perbuatan dan efeknya memiliki kualifikasi psikologis. Apakah tindakan individu telah diantisipasi atau dilakukan dengan maksud menimbulkan akibat atau tidak adalah tidak relevan. Adalah cukup bahwa perbuatannya telah membawa efek yang dinyatakan oleh legislator sebagai harmful, yang berarti menunjukan hubungan eksternal antara perbuatan dan efeknya. Tidak dibutuhkan adanya sikap mental pelaku dan efek dari perbuatan tersebut. Pertanggungjawaban semacam ini disebut dengan pertanggungjawaban absolute.21

Suatu sikap mental deliquent, atau disebut mens rea, adalah suatu elemen delik. Elemen ini disebut dengan terma kesalahan (fault) (dalam arti lebih luas disebut dollus atau culpa). Ketika sanksi diberikan terhadap delik kualifikasi psikologis ini disebut dengan pertanggungjawaban berdasarkan kesalahan (responsibility based on

20

Jimly Asshiddiqie & M. Ali Safa’at, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, Sekretariat Jenderal & Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta, 2006, hal 61.

21

(5)

18 fault atau cupability). Dalam hukum juga dikenal bentuk lain dari kesalahan yang dilakukan tanpa maksud atau perencanaan, yaitu kealpaan (negligance). Kealpaan adalah suatu delik omisi, dan pertanggungjawaban terhadap kealpaan lebih merupakan pertanggungjawaban absolute daripada culpability.22

Secara umum prinsip-prinsip tanggung jawab dalam hukum dapat dibedakan sebagai berikut:

1. Prinsip Tanggung Jawab Berdasarkan Unsur Kesalahan

Prinsip tanggung jawab berdasarkan unsur kesalahan (fault liability atau liability based on fault) adalah prinsip yang cukup umum berlaku dalam hukum pidana dan perdata. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata khususnya Pasal 1365, 1366, dan 1367, prinsip ini menyatakan, seseorang baru dapat dimintakan pertanggungjawabannya secara hukum jika ada unsur kesalahan yang dilakukannya. Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang lazim dikenal sebagai pasal tentang perbuatan melawan hukum (onrechtsmatigdaad), mengharuskan terpenuhinya empat unsur pokok, yaitu:

a) Adanya perbuatan; b) Adanya unsur kesalahan; c) Adanya kerugian yang diderita;

d) Adanya hubungan kausalitas antara kesalahan dan kerugian

(6)

19

Kesalahan adalah unsur yang bertentangan dengan hukum. Pengertian hukum tidak hanya bertentangan dengan Undang-Undang tetapi juga kepatutan dan kesusilaan dalam masyarakat.

Menurut Pasal 1367 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata , tanggung jawab hukum terhadap orang yang menderita kerugian tidak hanya terbatas pada perbuatannya sendiri, melainkan juga perbuatan karyawan, pegawai, agen, perwakilannya apabila menimbulkan kerugian kepada orang lain, sepanjang orang tersebut bertindak sesuai dengan tugas dan kewajiban yang dibebankan kepada orang tersebut.23

2. Prinsip Praduga Untuk Tidak Selalu Bertanggung Jawab

Prinsip ini menyatakan bahwa tergugat selalu dianggap bertanggung jawab (presumption of liability principle), sampai ia dapat membuktikan bahwa ia tidak bersalah. Kata “dianggap” pada prinsip “presumption of liability” adalah penting, karena ada kemungkinan tergugat membebaskan diri dari tanggung jawab, yaitu dalam hal ia dapat membuktikan bahwa ia telah “mengambil” semua tindakan yang diperlukan untuk menghindarkan terjadinya kerugian.24

Dalam prinsip ini, beban pembuktiannya ada pada si tergugat. Dalam hal ini tampak beban pembuktian terbalik (omkering van bewijslast). Hal ini tentu

23

Amad Sudiro, Hukum Angkutan Udara, Raja Grafindo Persada, Jakata, 2009, hal 220.

24

E. Suherman, Masalah Tanggung jawab Pada Charter Pesawat Udara dan Beberapa

Masalah Lain Dalam Bidang Penerbangan (kumpulan karangan), Cet. II, Alumni, Bandung, 1979, hal

(7)

20

bertentangan dengan asas hukum praduga tidak bersalah (presumption of innocence). Namun jika diterapkan dalam kasus konsumen akan tampak asas demikian cukup relevan. Jika digunakan teori ini,maka yang berkewajiban untuk membuktikan kesalahan itu ada pada pihak pelaku usaha yang digugat. Tergugat harus menghadirkan bukti-bukti bahwa dirinya tidak bersalah. Tentu saja konsumen tidak dapat sekehendak hati mengajukan gugatan. Posisi konsumen sebagai penggugat selalu terbuka untuk digugat balik oleh pelaku usaha, jika ia gagal menunjukan kesalahan tergugat.

3. Prinsip Tanggung Jawab Mutlak

Prinsip strict liability sering diidentikan dengan prinsip tanggung jawab absolute (absolute liability). Kendati demikian ada pula para ahli yang memebdekan kedua terminologi di atas. Ada pendapat yang menyatakan, strict liability adalah pinsip tanggung jawab yang menetapkan kesalahan tidak sebagai faktor yang menentukan. Namun ada pengecualian-pengecualian yang memungkinkan untuk dibebaskan dari tanggung jawab. Sebaliknya absolute liability adalah prinsip tanggung jawab tanpa kesalahan dan tidak ada pengecualiannya.

Menurut E. Suherman, strict liability disamakan dengan absolute liability, dalam prinsip ini tidak ada kemungkinan untuk membebaskan diri dari tanggung jawab, kecuali apabila kerugian yang timbul karena kesalahan pihak yang dirugikan sendiri. Adalah tanggung jawab mutlak.25

(8)

21

B. Strict Liability VS Liability Based On Fault

Pertanggungjawaban perdata dalam konteks penegakan hukum lingkungan merupakan instrumen hukum perdata untuk mendapatkan ganti kerugian dan biaya pemulihan lingkungan akibat pencemaran dan atau perusakan lingkungan. Secara umum, terdapat dua jenis pertanggungjawaban perdata yang diberlakukan atau dapat digunakan untuk menyelesaikan sengketa lingkungan hidup, yaitu:26

1. Liability Based On Fault

Liability based on fault adalah suatu pertanggungjawaban yang

mensyaratkan adanya unsur kesalahan atau fault. Konsep tersebut dikenal sebagaimana yang dimuat dalam ketentuan Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yaitu perbuatan melawan hukum. Perbuatan melawan hukum dalam bahasa Belanda disebut dengan onrechmatige daad dan dalam bahasa Inggris disebut tort. Kata tort itu sendiri sebenarnya hanya berarti salah (wrong). Akan tetapi, khususnya dalam bidang hukum, kata tort itu sendiri berkembang sedemikian rupa sehingga berarti kesalahan perdata yang bukan berasal dari wanprestasi dalam suatu perjanjian kontrak. Jadi serupa dengan pengertian perbuatan melawan hukum disebut onrechmatige daad dalam sistem hukum Belanda atau di negara-negara Eropa Kontinental lainnya. Kata ”tort” berasal dari kata latin ”torquere” atau ”tortus” dalam bahasa Perancis,

26

Blogspot, Strict Liability Vs Liability Based On Fault, http://destylestari.blogspot.com/2011/07/strict-liability-vs-fault-base.html.

(9)

22

seperti kata ”wrong” berasal dari kata Perancis ”wrung” yang berarti kesalahan atau kerugian (injury). Sehingga pada prinsipnya, tujuan dibentuknya suatu sistem hukum yang kemudian dikenal dengan perbuatan melawan hukum ini adalah untuk dapat mencapai seperti apa yang dikatakan dalam pribahasa bahasa Latin, yaitu juris praecepta sunt luxec, honestevivere, alterum non laedere, suum cuique tribuere (semboyan hukum adalah hidup secara jujur, tidak merugikan orang lain, dan memberikan orang lain haknya). Perbuatan Melawan Hukum diatur dalam Pasal 1365 sampai dengan Pasal 1380 KUHPerdata. Pasal 1365 menyatakan, bahwa setiap perbuatan yang melawan hukum yang membawa kerugian kepada orang lain menyebabkan orang karena salahnya menerbitkan kerugian mengganti kerugian tersebut. Perbuatan melawan hukum dalam KUH Perdata berasal dari Code Napoleon. Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyebutkan bahwa: “Tiap perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, menggantikerugian tersebut.” Dengan kata lain perbuatan melawan hukum berdasarkan Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata mensyaratkan penggugat membuktikan adanya unsur kesalahan (fault). Ketentuan Pasal ini menunjukan mengenai konsep liability based on fault berdasarkan kesalahan (kesengajaan).

Ketentuan dalam Pasal 1365 KUHPerdata ini kemudian kembali dipertegas dalam Pasal 1366 KUHPerdata yaitu: “Setiap orang bertanggung jawab tidak hanya untuk kerugian yang ditimbulkan oleh perbuatannya tetapi

(10)

23

juga disebabkan oleh kelalaiannya.” Ketentuan Pasal ini menunjukan mengenai konsep liability based on fault berdasarkan kesalahan (kelalaian). Kedua pasal tersebut di atas menegaskan bahwa perbuatan melawan hukum tidak saja mencakup suatu perbuatan, tetapi juga mencakup tidak berbuat. Lebih lanjut, Pasal 1367 KUHPerdata yang menyatakan, ” Seseorang tidak hanya bertanggung jawab, atas kerugian yang disebabkan perbuatannya sendiri, melainkan juga atas kerugian yang disebabkan perbuatan-perbuatan orang-orang yang menjadi tanggungannya atau disebabkan barang-barang yang berada di bawah pengawasannya. Orangtua dan wali bertanggung jawab atas kerugian yang disebabkan oleh anak-anak yang belum dewasa, yang tinggal pada mereka dan terhadap siapa mereka melakukan kekuasaan orangtua atau wali. Majikan dan orang yang mengangkat orang lain untuk mewakili urusan urusan mereka, bertanggung jawab atas kerugian yang disebabkan oleh pelayan atau bawahan mereka dalam melakukan pekerjaan yang ditugaskan kepada orang-orang itu. Guru sekolah atau kepala tukang bertanggung jawab atas kerugian yang disebabkan oleh murid-muridnya atau tukang-tukangnya selama waktu orang-orang itu berada di bawah pengawasannya. Tanggung jawab yang disebutkan di atas berakhir, jika orangtua, guru sekolah atau kepala tukang itu membuktikan bahwa mereka masing-masing tidak dapat mencegah perbuatan itu atas mana mereka seharusnya bertanggung jawab.“ ketentuan Pasal ini sebenarnya lebih mengarah kepada semangat prinsip strict liability tetang sesuatu yang berada dibawah pengawasannya.

(11)

24

Mengandalkan unsur kesalahan dalam konteks pesatnya perkembangan keilmuan dan teknologi sering kali menimbulkan kesulitan dalam memprediksi risiko yang timbul dari suatu kegiatan industri. Melihat keterbatasan dari liability based on fault ini maka mungkin terjadi timbulnya pencemar atau perusak lingkungan tanpa dapat dikenakan pertanggungjawaban. Liability based on fault juga memungkinkan pencemar atau perusak lingkungan terbebas dari pertanggungjawaban perdata apabila ia dapat membuktikan bahwa ia telah melakukan upaya maksimal pencegahan melalu pendekatan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL).

Jenis pertanggungjawaban liability based on fault atau yang lebih dikenal perbuatan melawan hukum, memiliki beberapa kekurangan dan kelebihan, yaitu diantaranya:27

1. Kelebihan

Bahwa hukum baru dapat diberlakukan kepada orang yang benar-benar terbukti kesalahannya. Artinya hal tersebut mengandung asas praduga tak bersalah, dimana selama seseorang belum dapat dibuktikan kesalahnnya maka orang tersebut tidak dianggap bersalah. 2. Kekurangan

Pemberlakuan asas praduga tak bersalah adalah kurang tepat dalam lingkup perdata. Asas praduga tak bersalah ini lebih tepat digunakan dalam lingkup pidana.

Salah satu syarat pemberlakuan pertanggungjawaban jenis ini adalah dengan membuktikan adanya unsur kesalahan yang dilakukan

(12)

25

sehingga menimbulkan kerugian di pihak lain. Sedangkan unsur kesalahan itu sendiri sulit dibuktikan. Terkait dengan hukum lingkungan, seorang pencemar yang terbukti telah melakukan upaya maksimal pencegahan pencemaran melalui pendekatan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) secara konsisten dapat terbebas dari pertanggungjawaban atas dampak kerugian yang ditimbulkan.

2. Strict Liability

Prinsip strict liability merupakan prinsip pertanggungjawaban hukum (liability) yang telah berkembang sejak lama yang berawal dari sebuah kasus di Inggris yaitu Rylands v. Fletcher tahun 1868. Dalam kasus ini pengadilan tingkat kasasi di Inggris melahirkan suatu kristeria yang menentukan, bahwa suatu kegiatan atau penggunaan sumber daya dapat dikenai strict liability jika penggunaan tersebut bersifat non natural atau diluar kelaziman, atau tidak seperti biasanya. Jenis pertanggungjawaban ini muncul sebagai reaksi atas segala kekurangan dari sistem atau jenis pertanggungjawaban liability based on fault.

Pertanggungjawaban hukum konvensional selama ini menganut asas pertanggungjawaban berdasarkan kesalahan (liability based on fault), artinya bahwa tidak seorang pun dapat dikenai tanggung jawab jika pada dirinya tidak terdapat unsur-unsur kesalahan. Dalam kasus lingkungan doktrin tersebut akan melahirkan kendala bagi penegak hukum di peradilan karena doktrin ini

(13)

26

tidak mampu mengantisipasi secara efektif dampak dari kegiatan industri modern yang mengadung risiko-risiko potensial.

Di Indonesia asas ini dimuat dalam Pasal 35 Undang-Undang No. 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup dan telah disempurnakan di dalam Pasal 88 Undang-Undang No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Dalam pasal ini pengertian tanggung jawab mutlak adalah unsur kesalahan tidak perlu dibuktikan oleh pihak penggugat sebagai dasar pembayaran ganti kerugian. Dimana besarnya ganti kerugian yang dapat dibebankan terhadap pencemar atau perusak lingkungan hidup menurut Pasal ini dapat ditetapkan sampai batas tertentu. Di dalam strict liability, seseorang bertanggung jawab kapan pun kerugian timbul. Hal ini berarti bahwa pertama, para korban dilepaskan dari beban berat untuk membuktikan adanya hubungan kausal antara kerugiannya dengan tindakan individual tergugat. Kedua, para pihak pencemar akan memperhatikan baik tingkat kehati-hatiannya, maupun tingkat kegiatannya. Dua hal ini merupakan kelebihan strict liability dari asas kesalahan.

Penerapan asas tanggung jawab mutlak di Pengadilan Negeri masih didasarkan pada ketentuan normatif Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Artinya hakim dalam memeriksa gugatan ganti rugi dalam kasus-kasus lingkungan masih berpijak pada, ketentuan pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata perihal perbuatan melawan hukum tersebut. Dengan demikian penggugat sering kali ada dalam posisi lemah karena disini unsur kesalahan memainkan peranan penting dalam menentukan bertanggung jawab atau tidaknya seseorang.

(14)

27

Untuk mengetahui faktor-faktor yang menentukan digunakannya asas tanggung jawab mutlak dalam kasus lingkungan di Pengadilan Negeri maka hakim harus dapat menemukan kriteria untuk menentukan apakah sebuah kegiatan dapat ditundukan pada asas tanggung jawab mutlak. Maka disini hakim pengadilan harus dapat melakukan penemuan hukum atau penggalian kriteria baru dalam rangka penerapan asas tanggung jawab mutlak. Sebagai salah satu bagian dari konteks penegakan hukum lingkungan, penerapan asas tanggung jawab mutlak tersebut menhadapai beberapa hambatan yang lebih disebabkan karena dari sarana hukumnya, terlihat belum adanya peraturan pelaksanaan lebih lanjut, dari sumber daya manusianya adalah hakim kurang melihat hukum lingkungan secara luas, tetapi sebatas yang tertulis di dalam undang-undang saja.28

Berdasarkan uraian di atas mengenai sistem pertanggungjawaban perdata yaitu liability based on fault dan strict liability, makan dapat dilihat beberapa perbedaan yang memcolok antara keduanya, yaitu sebagai berikut:

28

(15)

28

FAULT BASED LIABILITY STRICT LIABILITY

Pertanggungjawaban ditentukan berdasarkan ada atau tidaknya kesalahan.

Pertanggungjawaban berorientasi pada akibat yang ditimbulkan, bukan berdasarkan ada atau tidaknya kesalahan.

Hanya pencemar yang terbukti bersalah yang dapat dimintakan pertanggungjawaban.

Semua pencemar dapat dimintakan pertanggungjawaban.

Lebih memberi perlindungan hukum bagi para pelaku usaha.

Lebih memberi perlindungan hukum pada masyarakat dan lingkungan hidup.

C. Perbedaan Strict Liability dan Absolute Liability

Kasus Rylands v. Fletcher yang diputuskan oleh hakim J. Blackburn telah melahirkan asas strict liability. Keputusan hakim tersebut mendapat kritikan dari Prof. Winfield yang melahirkan pengertian hukum tentang strict liability yang berbeda dari absolute liability. Kritik Prof. Winfield terhadap putusan hakim Blackburn sebagai berikut:29

29

Sebagaimana dikutip oleh Danusaputro dalam bukunya Hukum Lingkungan-Sektor V, hlm 58.

(16)

29

“One phrase of Blackburns, J’s was rather unfortunate, and that was his discription of this liability as resting upon an absolute duty to keep it (sc. The water) in at his peril. This liability may be strict but is not absolute; indeed, the exceptions to the rule indicated by Blackburn, J., himslef show that it is not.”

(Oleh Danusaputro diterjemahkan bahwa tanggung jawab ini boleh jadi “tegas-tepat-teliti-keras” tetapi bukan “mutlak”). Prof. Winfield menyatakan bahwa tanggung jawab B (Rylands) pada mulanya dimulai oleh hakim Blackburn sebagai absolute liability karena lahir dari “an aboslute duty to keep it (the water) in at his peril.”

Kritik Prof. Winfield melahirkan absolute liability30 yang berbeda dengan strict liability. Strict liability memang dapat digolongkan ke dalam jenis absolute liability karena telah melampui liability based on risk tetapi lingkup dan isi absolute liability jauh lebih luas dan lebih berat daripada strict liability, sehingga perlu dibedakan dan dipisahkan secara tegas seperti yang telah ditunjukkan oleh Prof. Winfield. Strict Liability memang sejenis dengan Absolute Liability, tetapi lingkup dan isinya sungguh berbeda dan berlainan. Oleh sebab itu tidaklah tepat untuk menyamakannya. Adanya pihak yang menerjemahkan Strict Liability menjadi tanggung jawab secara mutlak (yang secara harafiah merupakan terjemahan-tepat dari istilah Inggris: Absolute Liability). Dengan menampilkan terjemahan “Strict Liability sebagai tanggung jawab secara mutlak” maka orang lantas segera menyamakan arti

30

Absolute Liability, secara harafiah ke dalam Bahasa Indonesia diterjemahkan menjadi “tanggung jawab secara mutlak”, karena dalam Bahasa Inggris, absolute diterjemahkan menjadi mutlak.

(17)

30 strict liability dengan arti dan pengertian “Absolute Liability.” Salah satu upaya yang sangat berpengaruh ialah menemukan terjemahanya secara jelas agar tidak menimbulkan kerancuan antara strict liability dan absolute liability.

Pengertian asas Absolute Liability apabila diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia adalah tanggung jawab secara mutlak. Menerjemahkan absolute liability sebagai tanggung jawab secara mutlak mengandung arti sebagai berikut:31

1. Tidak boleh – tidak harus ada 2. Bersifat tidak-bersyarat

3. Berhakekat penuh dan lengkap

4. Harus terlaksana dan terwujud secara tepat waktu 5. Tidak mungkin dipersoalkan atau ditawar sedikitpun

Berdasarkan lima hal tersebut di dapatkan gambaran mengenai hakikat dan arti dari absolute liability. Hal ini karena dari istilah absolute itu sendiri sudah menunjukan sifat liability yang dimaksud atau segi subtantif dari absolute liability.

Istilah Inggris “strict liability” , secara harafiah dapat diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi:32

1. Tanggung jawab secara tegas

31

Danusaputro, op. Cit, hlm 61.

32

(18)

31

2. Tanggung jawab secara tepat 3. Tanggung jawab secara teliti 4. Tanggung jawab secara keras

“Mutlak” merupakan terjemahan tepat dari kata “absolute” maka sebaiknya istilah strict diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia secara harafiah menjadi “Tegas. Teliti, Tepat, Keras”. Akan tetapi, apabila arti terjemahan dalam bahasa Indonesia secara tegas, tepat, teliti, keras maka terjemahannya menjadi kurang “sreg” walaupun lebih mengena secara harafiah.

D. Strict Liability dan Absolute Liability Dilihat Dari Segi

Subtantif

33

Secara subtantif, strict liability merupakan bentuk peningkatan dari liability based on risk yang melahirkan kewajiban hukum untuk membayar ganti rugi yang dikaitkan dengan penentuan batas tertinggi (unsur pembatasan) berdasarkan penetapan terlebih dahulu. Dengan demikian, dalam mengahadapi kewajiban hukum untuk melaksanakan strict liability, orang sudah tahu seberapa beban yang harus dipikulnya. Contohnya: CLC-1969, Pasal V, ayat (1):

“The owner of a ship shlm.l be entited to limit his liability under this Cnvention in respect of any one incident to an aggregate amount of 2,000 francs for each ton of the ship’s tonnage. However, this aggregate amount shlm.l not in any event exceed 210 million francs.”

(19)

32

Penentuan ganti rugi sebelumnya adalah sejalan dan seirama dengan ketentuan hukum yang mengharuskan pihak pelakunya untuk sudah mengetahui dan memperhitungkan sebelumnya tentang “tanggung jawab” yang harus dipikulnya, seperti bahaya ia harus memperhitungkan risiko dari usahanya. Oleh karena ia telah mengetahui sebelumnya “batas tertinggi” beban yang mungkin dipikulnya, maka ia dapat meringankan beban itu dengan menanggung beban tersebut pada asuransi. Dengan demikian, ketentuan tentang “pembatasan” beban tersebut merupakan peringanan (keuntungan) baginya.

Ketentuan “pembatasan” akan gugur, manakala kerusakan yang diakibatkan oleh “tindak-perbuatannya” terjadi dengan kesengajaan secara nyata atau sepengetahuannya. Dalam hal ini, keringan pembatasan akan hilang dan ia akan dibebankan tanngung jawab secara mutlak dengan membayar ganti rugi secara penuh dan lengkap. Contohnya: CLC-1969, Pasal V ayat (2):

“If the accident occured as a result of the actual fault or privity of the owner, he shlm.l entited to avail himself of the limitation provided in paragraph 1 of this article.”

Dengan memperbandingkan semangat dan isi pasal V ayat (1) dengan makna ketentuan termuat dalam Pasal V ayant (2) tersebut di atas, tampak jelas perbedaan antara isi ketentuan tentang “strict liability” dan ketentuan ancaman akan berlakunya “absolute liability”, manakala kecelakaan tersebut timbul sebagai akibat dari kesalahan nyata atau dengan setahu si pemilik kapal yang menggugurkan hak-hak untuk menerapkan ketentuan tentang “pembatasan”.

(20)

33

“Strict Liability” adalah tanngung jawab yang timbul tanpa adanya kesalahan atau kelalaian. Sebaliknya, jika kesalahan dapat dibuktikan “adanya” maka tanggung jawab tersebut berubah menjadi “absolute”. Justru disinilah letak perbedaannya.

Berdasarkan ketentuan tersebut, maka dapat diketahui secara jelas juga bahwa beban kewajiban terkandung dalam absolute liability dengan sendirinya tentu lebih berat daripada beban kewajiban yang lahir dari strict liability. Nyatanya, absolute liability diterapkan untuk menggantikan strict liability yang memiliki ciri khas dalam wujud ketentuan pembatasan jumlah ganti rugi yang dibayarnya. Oleh sebab itu dikatakan, bahwa absolute liability tidak mengenal pembatasan, melainkan menharuskan dibayarnya ganti rugi secara penuh dan lengkap, hingga disebutnya: “tanggung jawab tak bersyarat”.

E. Kategori Kegiatan yang Dapat Dikenakan Asas Strict Liability

Inti dari konsep strict liability ialah bahwa dalam hal seseorang menjalankan jenis kegiatan yang dapat digolongkan sebagai extrahazardous atau ultrahazardous atau abnormally dangerous, ia diwajibkan, memikul segala kerugian yang ditimbulkan, walaupun ia telah bertindak sangat hari-hati untuk mencegah segala bahaya atau kerugian tersebut, dan walaupun kerugian itu timbul tanpa adanya kesengajaan. Dengan demikian dalam strict liability terdapat suatu kewajiban tergugat untuk memikul tanggung jawab atas kerugian yang tidak dihubungkan dengan apa kesalahnnya. Asas strict liability muncul dari adanya kesadaran pada masyarakat bahwa untuk setiap perbuatan yang dilakukan baik itu oleh perseorangan

(21)

34

atau kelompok, maka orang atau kelompok tersebut tidak akan dapat melepaskan diri dari tanggung jawab untuk setiap kerugian yang diakibatkan oleh perbuatannya itu. Biasanya asas ini selalu dikaitkan dengan ganti rugi.34

Menurut Richard A. Posner, melalui konsep ultrahazardous, tort law membebankan strict liability pada aktivitas yang melibatkan bahaya dalam derajat yang tinggi yang tidak dapat dicegah oleh pihak yang telah bertindak hati-hati atau pihak yang mungkin menjadi korban.35 Menurutnya contoh yang baik untuk strict liability ialah kerugian yang diakibatkan oleh tetangga yang memelihara macan di rumahnya. Area strict liability telah mendorong pihak yang menjalankan kegiatan yang digolongkan extrahazardous untuk membuat beberapa alternatif yang dapat mengurangi derajat bahaya.36 Injurer akan melakukan tindakan pencegahan pada level yang optimal karena bila ia melakukan tindakan pencegahan di bawah level yang optimal maka akan ada total accident cost yang harus ditanggungnya.

John D. Blackburn, Elliot I. Klayman, dan Martin H. Malim dengan merujuk Pasal 520 Restatement of The Law of Torts di Amerika menyatakan bahwa untuk menentukan apakah suatu kegiatan termasuk kegiatan yang berbahaya, sehingga dapat dikenakan asas strict liability terdapat beberapa faktor yang dapat dijadikan faktor penentu, yaitu:

34

N.H.T. Siahaan, Hukum Lingkungan dan Ekologi Pmebangunan, Jakarta: Erlangga, 2004, hlm 3.

35

Richard A. Posner, Economic Analysis of Law, Canada: Little Brown & Company, 1986, p. 163.

(22)

35

1. Kegiatan tersebut mengandung tingkat bahaya yang tinggi bagi manusia, tanah, atau benda bergerak orang lain (the activity involves of some harm to the person, land or chattels of others);

2. Kerusakan yang diakibatkan oleh kegiatan tersebut mempunyai leh kegiatan tersebut mempunyai kemungkinan untuk menjadi besar (the harm which may result from it its likely to be great); 3. Risiko tudak dapat dihilangkan, meskipun kehati-hatian yang

layak sudah diterapkan (the risk cannot be eliminated by the exercise of reasonable care);

4. Kegiatan tersebut tidak termasuk ke dalam kegiatan yang lazim (the activity is not a mater of common usage);

5. Kegiatan itu tidak sesuai dengan tempat di mana kegiatan itu dilakukan (the activity is inappropriate to the place where it is carried on);

6. Nilai atau manfaat kegiatan tersebut bagi masyarakat (the value of activity to the community)

(23)

36

F.

Kategori Kegiatan Extrahazardous Dalam Hukum Lingkungan

Indonesia

Indonesia sudah lama memasukan asas strict liability ke dalam undang-undang lingkungan hidupnya, sejak Undang-Undang Pengelolaan Lingkungan Hidup Tahun 1982. Sudah terjadi tiga kali perubahan dalam Undang-Undang Pengelolaan Lingkungan Hidup, sehingga kita dapat mecermati perkembangan kategori kegiatan extrahazardous yang dapat dikenakan asas strict liability dalam setiap undang-undang tersebut.

1. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982 Tentang Ketentuan Pokok-Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup37

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982 memuat asas strict liability pada Pasal 21 yang berbunyi: “Dalam beberapa kegiatan yang menyangkut jenis sumber daya tertentu tanggung jawab timbul secara mutlak pada perusak dan atau pencemar pada saat terjadinya perusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup yang pengaturannya diatur dalam peraturan perundang-undangan yang bersangkautan .” menurut penjelasan pasal sebagai berikut “tanggung jawab mutlak dikenakan secara selektif atas kasus yang akan ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang dapat menentukan jenis dan kategori kegiatan yang akan terkena oleh ketentuan termaksud.” Penyusun undang-undang menyadari sepenuhnya bahwa asas strict liability dengan pembalikan beban pembuktian tidak begitu saja dapat diterapkan. Oleh karena itu, maka kata-kata yang dipergunakan adalah “dalam beberapa

37

Indonesia C. Undang-Undang Tentang Ketentuan Pokok-Pokok Pengelolaan Lingkungan

(24)

37

kegiatan” dan “menyangkut jenis sumber daya tertentu” yang penentuanya akan diatur dalam peraturan perundang-undangan. Dengan demikian, maka penerapan asas strcit liability dilaksanakan secara bertahap sesuai dengan perkembangan kebutuhan kategori kegiatan yang termasuk extrahazardous yang dapat dikenakan asas strict liability tidak ditentukan secara tegas dalam Pasal 21 karena akan dibuat peraturan perundang-undangan yang mengatur jenis kegiatan dan kategori kegiatan apa saja yang boleh dikaitkan dengan pertanggungjawaban strict liability. Menurut N.H.T. Siahaan38, Hakim Mahkamah Agung Republik Indonesia, hingga Undang-Undang Nomor 4 tahun 1982 diganti dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 peraturan perundang-undangan yang dimaksud belum teralisasikan. Dengan demikian penerapan Pasal 21 ini pun tidak pernah dilakukan oleh para pihak penegak hukum.

2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup39

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup pada Pasal 35 ayat (1) memuat asas strict liability. Pasal tersebut berbunyi: “Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang usaha dan kegiatannya menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup, yang menggunakan bahan berbahaya dan beracun, dan/atau menghasilkan limbah bahan berbahaya dan beracun, bertanggung jawab secara mutlak atas kerugian yang

38

Siahaan, op. Cit, hal 326.

39

Indonesia B, Undang-Undang Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU No. 23, LN No. 68 Tahun 1997, TLN No. 3699.

(25)

38

ditumbulkan, dengan kewajiban membayar ganti rugi secara langsung dan seketika pada saat terjadinya pencemarang dan/atau perusakan lingkungan hidup.”

Berdasarkan bunyi pasal tersebut, maka kegiatan yang termasuk ultrahazardous:

1) Usaha dan/kegiatan yang usaha dan kegiatannya menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup;

2) Usaha dan/kegiatan yang usaha dan kegiatannya menggunakan bahan berbahaya dam beracun;

3) Usaha dan/kegiatan yang usaha dan kegiatannya menghasilkan limbah bahan berbahaya dan beracun.

Pasal 35 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 mencantumkan prinsip yang kurang lebih sama dengan pasal 21 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982 tidak lagi membuat embel-embel supaya pelaksanaan diatur atau ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan, baik dalam rumusan pasalnya maupun dalam penjelasan pasal. Pengalaman menunjukkan bahwa sering kali suatu undang-undang begitu rajin merumuskan tentang akan dibuatkanya peraturan pelaksanaan, namum tidak pernah terjadi.

Melihat kategori extrahazardous yang ditentukan oleh undang-undang diatas dapat diambil benang merah bahwa pembuat undang-undang menekankan suatu kegiatan/usaha/tindakan yang ada kaitanya dengan bahan bahaya beracun (B3) baik dalam proses kegiatan/usaha maupun hasil dari proses kegiatan/usaha tersebut. Jika dicermati,maka kategori kegiatan yang dapat dikenakan strict liability masih bersifat

(26)

39

abstrak sehingga masih memerlukan berbagai penjelasan yang sifatnya konkrit, seperti apakah setiap aktifitas yang berhubungan dengan B3 dapat dikaitkan dengan tanggung jawab strict liability? Hal ini karena begitu banyaknya kegiatan seperti itu yang dilakukan bukan saja oleh perusahaan-perusahaan yang berbadan hukum, tetapi juga oleh usaha-usaha rumah tangga dan usaha sambilan oleh orang perorangan. Oleh karenanya untuk menerapkan prinsip Pasal 35 ayat (1) UUPLH perlu dibuat produk perundang-undangan sebagai pedoman dari pelaksanaanya, namun tidak berarti bahwa dengan tidak adanya peraturan pelaksana tidak berarti bahwa pasal tersebut tidak dapat diterapkan jika timbul kasus-kasus yang relevan.

3. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup40

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup memuat asas strict liability pada Pasal 88. Pasal tersebut berbunyi “setiap orang yang tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya menggunakan B3, menghasilkan dan/atau mengelola lombah B3, dan/atau yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan.” Menurut penjelasan pasal tersebut yang dimaksud dengan bertanggung jawab mutlak adalah unsur kesalahan tidak perlu dibuktikan oleh pihak penggugat sebagai dasar pembayaran ganti rugi. Besarnya nilai ganti rugi yang dapat dibebankan terhadap

40

Undang-Undang D, Undang-Undang Tentang Perlindungan dan Pengelolaan

(27)

40

pencemar atau perusak lingkungan hidup menurut Pasal 88 dapat ditentukan keharusan asuransi bagi usaha dan/atau kegiatan yang bersangkutan atau telah tersedia dana lingkungan hidup. Hal ini merupakan limtis of liability.

Dengan demikian berdasarkan bunyi Pasal 88 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 maka menurut pembuat undang-undang, suatu kegiatan yang termasuk ke dalam kategori ultrahazardous sehingga dapat dikenakan asas strict l;iability:

1) Tindakan, usaha, dan/atau kegiatan yang menggunakan B3;

2) Tindakan, usaha, dan/atau kegiatan yang menghasilkan dan/atau mengelola lombah B3;

3) Menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup.

Terhadap kategori yang “menimbulkan ancaman serius terhdap lingkungan hidup” bersifat abstark karena tidak diberikan penjelasan lebih lanjut apa yang dimaksudkan dengan menimbulkan ancaman serius terhadapa lingkungan. Idealnya ketiga kategori ini henadaknya dirincikan lagi dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 walaupun hanya dalam garis besarnya saja supaya lebih mudah dimengerti. Selain itu, perlu dibuatkan kategori/skala/klasifikasi dari tingkat usaha atau aktivitas yang berhubungan dengan B3.

Ternyata Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009, masih juga belum mengatur lebih lanjut asas strict liability dengan peraturan pelaksana yang dapat dijadikan pedoman dalam menerapkan asas strict liability. Dalam rangka memberikan

(28)

41

kepastian hukum asas strict liability, sebaiknya pemerintah secepatnya mengeluarkan peraturan yang tegas dan jelas tentang sumber daya yang bagaimana serta bidang kegiatan apa saja yang dapat dikaitkan dengan pertanggungjawaban strict liability.

Mengenai asas strict liability pada tiga undang-undang yang tersebut di atas, dapat diintepretasikan bahwa asas strict liability merupakan suatu pengertian yang belum umum dalam hukum di Indonesia. Hal ini dapat dilihat sejak semasa Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982 hingga Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009, pengaturan untuk penerapan asas strict liability masih sangan umum. Apalagi hakim di Indonesia yang dipengaruhi paham legistis, tidak mudah mengaplikasikan asas strict liability jika konsep hukum tersebut tidak diuraikan melalui peraturan perundang-undangan yang formalistik. Namun, selama belum adanya penjelasan yuridis dari peraturan perundang-undangan, para hakim dapat bekerja keras dan kreatif dengan mencari interpretasi sehingga putusannya terdukung kuat secara environmentalistik.

(29)

42

G. Strict Liability Sebagai Pertanggungjawaban Khusus Dalam

Hukum Lingkungan

UUPLH memperkenalkan asas tanggung jawab yang bersifat khusus yang disebut strict liability. Asas ini termuat dalam Pasal 35 ayat (1) UUPLH yang bunyi Lengkapnya sebagai berikut:

“Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang usaha dan kegiatannya menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup yang menggunakan bahan berbahaya dan beracun, dan/atau menghasilkan limbah bahan berbahaya dan beracun, bertanggung jawab secara mutlak atas kerugian yang ditimbulkan, dengan kewajiban membayar ganti rugi secara langsung dan seketika pada saat terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup.”

Rumusan pasal ini secara jelas bersifat khusus karena unsur-unsurnya telah secara khusus menunjuk kepada hal atau syarat tertentu sehingga dapat diidentifikasikan atau digolongkan ke dalam bentuk pertanggungjawaban tertentu. Unsur-unsur yang bersifat khusus yang mencirikan pertanggungjawaban khusus itu ialah strict liability yang ciri utamanya antara lain timbulnya tanggung jawab langsung dan seketika pada saat terjadinya perbuatan, sehingga tidak perlu dikaitkan dengan unsur kesalahan. Dengan demikian pihak penggugat yang mengalami kerugian yang dialami diakibatkan oleh perbuatan atau kegiatan tergugat (atau para penggugat). Hal ini disitilahkan dengan pembuktian kausalitas atau hubungan sebab akibat. Hal ini sebagaimana yang ditegaskan dalam green paper on remedying environmental dagame sebagai berikut: “Strict liability or liability without fault, eases the burden of establishing liability because fault need not to be established.

(30)

43 However, the injured partu must still prove that the damage was caused by some one’s act...”

Pasal 35 UUPLH mengandung beberapa unsur penting, yaitu:

1) Suatu perbuatan atau kegiatan;

2) Menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup;

3) Menggunakan atau menghasilkan bahan/limbah berbahaya dan beracun;

4) Tanggung jawab timbul secara mutlak;

5) Tanggung jawab secara langsung dan seketika pada saat pencemaran/perusakan lingkungan.

Berdasarkan unsur-unsur di atas, unsur nomor 4) dan 5) dapat diinterpretasikan sebagai suatu pengertian yang tampaknya belum umum dalam perangkat-perangkat hukum di Indonesia. Dalam pengertian (logika) hukum yang umum bahwa tidaklah mungkin untuk menentukan seseorang bertanggung jawab pada suatu hal yang merugikan seseorang, sebelum ia dinyatakan bersalah. Artinya, seseorang tidak dapat dibebankan kewajiban bertanggung jawab kecuali kalau bukan atas dasar kesalahan sebagaimana prinsip dari “tortious liability.”

Asas strict liability ditetapkan secara limitatif, dalam arti bahwa untuk dapat dikenakan strict liability, kegiatan usahanya memenuhi unsur-unsur yang telah ditetapkan oleh undang-undang. Menurut Pasal 31 ayat (1) UUPLH,

(31)

kegiatan-44

kegiatan tersebut adalah (1) kegiatan yang berdampak besar dan penting terhadap lingkungan; (2) yang menggunakan bahan berbahaya dan beracun; (3) penerapan strict liability terhadap kegiatan-kegiatan tertentu maka diberlakukan pengecualian terhadap pertanggungjawaban perdata yang dikenal sebagai Perbuatan Melawan Hukum. Pelaku usaha dapat dibebaskan dari strict liability apabila ia dapat membuktikan bahwa pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup disebabkan oleh salah satu alasan yang disebutkan oleh undang-undang yaitu:41

1. Adanya bencana alam atau peperangan; atau

2. Adanya keadaan terpaksa di luar kemampuan manusia; atau

3. Adanya tindakan pihak ketiga yang menyebakan terjadinya pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup.

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 sebagai pengganti UUPLH juga menerapkan strict liability dengan kriteria sebagai berikut:

1. Setiap orang

2. Tindakannya, usahanya dan/atau kegiatannya

3. Menggunakan B3

4. Menghasilkan dan/atau mengelola limbah b3

5. Menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup

41

(32)

45

6. Bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi

7. Tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan

Akan tetapi di dalam undang-undang yang baru ini tidak disebutkan alasan-alasan yang dapat membebaskan seseorang tergugat dari kewajiban membayar ganti rugi.

H.

Kekhasan Strict Liability

Di dalam strict liability, seseorang bertanggung jawab kapan kerugian timbul. Hal ini berarti bahwa: Pertama, para korban dilepaskan dari beban berat untuk membuktikan adanya hubungan kausal antara kerugianya dengan tindakan individual tergugat; Kedua para “potential polluter” akan memperhatikanbaik tingkat kehati-hatiannya, maupun tingkat kegiatannya. Dua hal ini merupakan kelebihan strict liability dari konsep kesalahan. Oleh karena sifat khasnya yang tegas dan keras, maka strict liability tidaklah dapat dikenakan kepada semua kegiatan. Hanya kegiatan-kegiatan tertentu saja yang dapat dikenakan strict liability. Pertimbangan untuk menentukan ruang lingkup strict liability:

1. Tingkat risiko; dalam hal ini risiko dianggap tinggi apabila tidak dapat dijangkau oleh upaya yang lazim, menurut kemampuan teknologi yang telah ada;

2. Tingkat bahaya; dalam hal ini bahaya dianggap sangat sulit untuk dicegah pada saat mulai terjadinya;

(33)

46

3. Tingkat kelayakan upaya pencegahan; dalam hal ini si penanggung jawab harus menunjukan upaya maksimal untuk mencegah terjadinya akibat yang menimbulkan kerugian pada pihak lain;

4. Pertimbangan terhadap keseluruhan nilai kegiatannya; dalam hal ini pertimbangan risiko dan manfaat kegiatan telah dilakukan secara memadai sehingga dapat diperkirakan bahwa keuntungan yang diperoleh akan lebih besar jika dibandingkan dengan ongkos-ongkos yang harus dikeluarkan untuk mencegah timbulnya bahaya.

Sementara itu, John D. Blackburn, Elliot I. Klayman dan Martin H. Malin, dengan merujuk pada Pasal 520 Restatment of The Law of Torts di Amerika, menyatakan bahwa untuk menentukan apakah suatu kegiatan termasuk kegiatan yang berbahaya, sehingga dapat dikenakan strict liability, terdapat beberapa faktor yang dapat dijadikan penentu, yaitu:42

1. Kegiatan tersebut mengandung tingkat bahaya yang tinggi bagi manusia, tanah, atau benda bergerak orang lain.

2. Kerusakan yang diakibatkan oleh kegiatan tersebut mempunyai kemungkinan untuk menjadi besar.

3. Risiko dapat dihilangkan, meskipun kehati-hatian yang layak sudah ditetapkan.

42

(34)

47

4. Kegiatan tersebut tidak termasuk ke dalam kegiatan yang lazim.

5. Kegiatan itu tidak sesuai dengan tempat di mana kegiatan itu dilakukan.

6. Nilai atau manfaat kegiatan tersebut bagi masyarakat.

Berdasarkan teori yang didapat dari Rylands v. Fletcher ini maka strict liability bukan pandanan dari konsep pembuktian. Dalam konsep strict liability, yang terjadi justru pembebasan beban pembuktian unsur kesalahan. Apabila yang dibuktikan oleh tergugat adalah faktor-faktor pemaaf, maka hal sebagaimana layaknya suatu defences, beban secara orisinal memang terdapat pada diri tergugat, sehingga tidak ada perpindahan/pembalikan beban pembuktian.

I.

Sistem Plafond Dalam Strict Liability

Ganti rugi dalam strict liability biasanya dikaitkan dengan sistem plafond atau ceiling (batas maksimalisasi tanggung jawab). Ini berarti bahwa pihak yang bertanggung jawab hanya dibebankan sampai dengan batas tertentu. Indonesia tampaknya menganut paham plafond atau ceiling dalam strict liability karena dalam penjelasan Pasal 35 ayat (1) UUPLH maupun dalam penjelasan Pasal 88 UUPPLH dijelaskan bahwa besarnya nilai ganti rugi yang dapat dibebankan terhadap pencemar atau perusak lingkungan hidup dapat ditetapkan sampai batas tertentu. Pengertian batas tertentu ialah jika menurut peraturang perundang-undangan yang berlaku,

(35)

48

ditentukan keharusan asuransi bagi usaha dan/atau kegiatan yang bersangkutan atau telah tersedia dana lingkungan hidup.

Ketentuan sistem plafond dalam strict liability biasanya karena didasarkan pada ketentuan hukum internasional. Akan tetapi dapat saja dalam strict liability tidak dikenal batas ganti rugi maksimum. Negara Jepang dan Jerman tidak mengenal batas ganti rugi maksimum. Menurut M. Ramdan Andri G. W., pelaksanaan strict liability tidak boleh disertai dengan adanya plafond, karena hal ini akan membatasi hal korban intuk memperoleh ganti kerugian atas seluruh kegiatan yang dideritanya serta akan menurunkan tingkat kehati-hatian para pengusaha.43

43

Referensi

Dokumen terkait

Dari penelitian yang telah dilakukan peneliti tentang pelaksanaan Program Keluarga Harapan (PKH) dalam meningkatkan kualitas hidup RTSM maka dapat disimpulkan bahwa

1) Sebelum diberikan layanan bimbingan kelompok terhadap tingkat disiplin belajar siswa berada dalam kategori kurang. 2) Pada proses pelaksanaan layanan bimbingan

Sesuai dengan kriteria diterima atau ditolaknya hipotesis maka dalam hal ini dapat disimpulkan bahwa menerima hipotesis yang diajukan terbukti atau dengan kata lain variabel

Dari hasil penelitian ini akan terlihat bagaimana mahasiswa menerapkan peraturan tata guna lahan pada hasil tugas SPA 3 sesuai ketentuan yang telah diatur dalam RTRW

Hasil analisis variansi menunjukkan bahwa konsumsi pakan berbeda nyata (P<0,05), sedangkan untuk pertambahan bobot badan, pertambahan bobot badan harian dan

Dengan standar kualifikasi akademik dan standar kompetensi guru seperti tersebut di atas, kiranya pendidik akan dapat melaksanakan pembelajaran Pendidikan Agama Islam

Pengobatan merupakan suatu proses ilmiah yang dilakukan oleh dokter berdasarkan temuan-temuan yang diperoleh selama anamnesis dan pemeriksaan. Dalam proses

Kepuasan responden di Instalasi Rawat Inap RSUD Tugurejo Semarang kategori tinggi adalah 38 responden ( 38 % ) dan kategori sedang 62 responden ( 62 % ), dengan