• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 4 PENATAAN RUANG DI DAS CILIWUNG BAGIAN HULU

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 4 PENATAAN RUANG DI DAS CILIWUNG BAGIAN HULU"

Copied!
35
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 4

PENATAAN RUANG DI DAS CILIWUNG BAGIAN HULU

Bab ini akan membahas hasil analisis penyimpangan penataan ruang di DAS Ciliwung Bagian Hulu dengan cara membandingkan penataan ruang menurut RTRW dengan keadaan nyata di lapangan (eksisting). Selain itu juga dijelaskan faktor-faktor penyebab penyimpangan penataan ruang yang terjadi.

4.1 Penataan Ruang DAS Ciliwung Bagian Hulu Menurut Rencana

Dalam RTRW disusun arahan kegiatan yang meliputi aspek perencanaan, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang. Menurut RTRW Kabupaten Bogor tahun 1999-2009, penetapan kawasan lindung dan kawasan budidaya dilakukan dengan memperhatikan pola topografi, jenis tanah, pola aliran air (hidrologi), pemanfaatan lahan yang ada, serta berbagai penetapan kawasan lindung yang berskala luas diperoleh suatu pola bahwa kawasan lindung dimaksud terletak di kawasan hulu sungai (termasuk hulu Sungai Ciliwung). DAS Ciliwung Bagian Hulu termasuk dalam bagian selatan wilayah Kabupaten Bogor yang merupakan hulu mayor/utama. Bentuk kawasan lindung lainnya adalah kawasan perlindungan setempat (sempadan sungai dan sempadan situ/danau), kawasan cagar alam/suaka alam, kawasan cagar budaya, dan kawasan rawan bencana.

Strategi pemanfaatan ruang di bagian wilayah selatan, dengan dominasi fungsi lindung, secara konseptual merupakan kompleks ekologi hulu yang berbatasan dengan Kabupaten Cianjur dan Kabupaten Sukabumi. Dalam DAS Ciliwung Bagian Hulu ini masih dimungkinkan adanya fungsi budidaya, namun dibatasi agar dominasi fungsi lindung dapat dipertahankan dan dimantapkan. Pengembangan prasarana wilayah, yaitu jalan raya relatif lebih terbatas dan diharapkan langsung berfungsi ganda, yaitu internal dan eksternal. Hal ini dimaksudkan agar tidak merangsang perkembangan fungsi budidaya ke bagian wilayah ini.

Strategi pengelolaan kawasan lindung meliputi langkah-langkah pengelolaan kawasan lindung dan pengendalian pemanfaatan ruang di kawasan lindung. Pengelolaan kawasan lindung bertujuan untuk mencegah timbulnya dampak lingkungan hidup dan melestarikan fungsi lindung kawasan yang memberikan perlindungan kawasan bawahannya, kawasan perlindungan setempat, kawasan suaka

(2)

alam, kawasan pelestarian alam, kawasan cagar budaya, dan kawasan lindung lainnya, serta menghindari berbagai usaha dan/atau kegiatan di kawasan rawan bencana alam.

Untuk kawasan lindung ini secara umum strategi pengelolaan yang dilakukan adalah berupa pemantapan dan pengendalian kawasan lindung yang berfungsi baik untuk wilayah Kabupaten Bogor sendiri maupun untuk wilayah yang lebih luas (Jabodetabek). Sehubungan dengan itu maka kebijaksanaan yang terkait dengan kawasan lindung ini mencakup usaha mempertahankan melalui rehabilitasi dan reboisasi. Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 tahun 1999, Rehabilitasi Hutan dan Lahan dimaksudkan untuk memulihkan, mempertahankan, dan meningkatan fungsi hutan dan lahan sehingga daya dukung, produktifitas, dan peranannya dalam mendukung sistem kehidupan tetap terjaga. Kegiatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan diselenggarakan melalui kegiatan Reboisasi, Penghijauan, Pemeliharaan, Pengayaan tanaman, atau Penerapan teknik konservasi tanah secara vegetatif dan sipil teknis pada lahan kritis yang tidak produktif.

Kebijaksanaan kawasan lindung ini mencakup tentang kawasan hutan yang telah ditetapkan perlu dipertahankan keberadaannya pada beberapa bagian kawasan hutan tersebut. Hal yang perlu dilakukan dapat berupa upaya-upaya untuk mengembalikan fungsi hutan dengan vegetasi yang sesuai dalam bentuk penanaman kembali atau reboisasi dan rehabilitasi. Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 1985, Kegiatan Perlindungan Hutan bertujuan untuk menjaga kelestarian hutan agar dapat memenuhi fungsinya. Untuk mencapai tujuan tersebut, dilakukan segala usaha, kegiatan dan tindakan untuk mencegah dan membatasi kerusakan hutan dan hasil hutan yang disebabkan oleh perbuatan manusia, ternak, kebakaran, daya alam, hama dan penyakit, serta untuk mempertahankan dan menjaga hak-hak negara atas hasil hutan. Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 tahun 1999, penyelenggaraan perlindungan hutan dan konservasi alam bertujuan menjaga hutan dan lingkungannya agar fungsi lindung, fungsi konservasi, dan fungsi produksi tercapai secara optimal dan lestari.

Di dalam kawasan lindung tidak diperkenankan adanya kegiatan budidaya apapun kecuali bangunan penunjang fungsi kegiatan utama yang bersangkutan/kepentingan umum/dan aktivitas wisata dan olahraga. Sasaran pengelolaan kawasan lindung bertujuan untuk:

a) meningkatkan fungsi lindung terhadap tanah, air, iklim, tumbuhan, dan satwa, serta nilai budaya dan sejarah bangsa; dan

(3)

53

b) mempertahankan keanekaragaman hayati, satwa, tipe ekosistem, dan keunikan alam.

Kawasan yang memberikan perlindungan kawasan bawahannya meliputi hutan lindung dan kawasan resapan air. Dalam mencegah kerusakan fungsi hutan lindung, maka strategi pengelolaan yang diperlukan yaitu dengan jalan mempertahankan hutan lindung untuk menegakkan fungsi hidrologis yaitu tidak boleh dikonversi untuk kepentingan lain. Hutan yang merupakan fungsi hutan lindung dan atau bangunan yang merupakan bagian dari suatu jaringan atau transmisi bagi kepentingan umum dan kegiatan wisata lain harus dipertahankan. Strategi pengelolaannya yaitu dengan membuat pos pengamat kebakaran, pos penjagaan, papan petunjuk atau penerangan, patok triangulasi, tugu, tiang listrik, dan menara teve serta jalan setapak untuk pariwisata yang sifat bangunannya permanen.

Pada kawasan lindung yang ditetapkan pemanfaatannya untuk kawasan lindung diperkenankan mendirikan bangunan yang diperlukan untuk menunjang fungsi kawasan perkebunan dan atau bangunan yang merupakan bagian dari suatu jaringan/transmisi dari kepentingan umum. Dalam kawasan lindung juga diperkenankan menambah lansekap yang tidak mengganggu fungsi utama kawasan. Kegiatan yang tidak diperkenankan adalah adanya budidaya termasuk mendirikan bangunan yang tidak menunjang fungsi hutan lindung.

Upaya atau langkah pemanfaatan ruang pada kawasan hutan lindung adalah untuk mencegah terjadinya erosi, bencana banjir, sedimentasi, dan menjaga fungsi hidrologis tanah di kawasan hutan lindung sehingga ketersediaan unsur hara tanah, air tanah, dan air permukaan selalu terjamin. Upaya yang dilakukan juga mencakup upaya pengendalian hidrologi wilayah yang berfungsi sebagai penambat air dan pencegah banjir.

Pengelolaan kawasan resapan air di wilayah DAS Ciliwung Bagian Hulu diprioritaskan pada kawasan resapan utama sebagai kontribusi terbesar dalam imbuhan air tanah. Tujuan dari pengelolaan kawasan resapan air ini adalah untuk diarahkan pada kegiatan yang dapat memperbesar koefisien infiltrasi disamping arahan perlindungan daerah erosi. Upaya pemanfaatan ruang untuk kawasan resapan air, upaya yang dilakukan adalah memberikan ruang yang cukup bagi resapan air hujan pada kawasan resapan air untuk keperluan penyediaan kebutuhan air tanah dan penanggulangan banjir, baik untuk kawasan bawahannya maupun kawasan setempat. Strategi pengelolaan kawasan resapan air ini adalah sbb:

(4)

a) pemulihan, penataan, dan pemeliharaan situ-situ terutama pada kawasan resapan utama;

b) Pemulihan dan pemanfaatan daerah-daerah kritis khususnya pada kawasan resapan sungai;

c) Pemulihan dan penataan daerah-daerah terbangun pada kawasan resapan utama;

d) Pemulihan, pemanfaatan, dan pengembangan lahan kritis; e) Penataan, pemeliharaan, dan pengendalian sumber mata air; dan f) Pengendalian, pengawasan, dan pemanfaatan air tanah.

Pengelolaan air bawah tanah yang hanya menekankan asas pemanfaatan akan memberikan dampak buruk terhadap sumber daya alam. Apabila terjadi degradasi jumlah dan mutu air bawah tanah, pemulihannya akan memerlukan keahlian tinggi, mahal dan memerlukan waktu yang sangat lama. Kebijakan pengelolaan dan pemanfaatan air tanah harus menempatkan tuntutan lingkungan paling tidak dengan tuntutan ekonomi dengan harapan tujuan pembangunan yang berkelanjutan dapat berlangsung untuk generasi selanjutnya. Konservasi air tanah harus segera dilaksanakan agar pemanfaatan air dapat dilakukan secara berkesinambungan selain itu ditetapkan pula upaya konservasi air tanah untuk memenuhi kebutuhan baik dari segi peraturan dan kelembagaan.

Pada kawasan lindung yang dimanfaatkan sebagai kawasan perlindungan setempat untuk sempadan sungai, kegiatan yang direkomendasikan adalah bangunan yang diperlukan untuk menunjang fungsi kawasan dan jaringan/transmisi. Sempadan sungai sekurang-kurangnya hanya 100 meter di kiri kanan sungai besar dan 50 meter di kiri kanan anak sungai yang berada di luar permukiman. Pada sempadan sungai tidak diperkenankan adanya budidaya. Upaya pemanfaatan ruang untuk sempadan sungai dimaksudkan untuk menjaga sempadan sungai untuk melindungi sungai dari kegiatan manusia yang dapat mengganggu dan merusak kualitas air sungai, kondisi fisik pinggir dan dasar sungai, serta mengamankan aliran sungai.

Kawasan cagar alam/suaka alam adalah kawasan yang ditunjuk mempunyai keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa serta tipe ekosistemnya. Cagar alam mewakili formasi biota tertentu dan atau unit-unit penyusunnya yang mempunyai kondisi alam masih asli atau belum diganggu manusia. Cagar alam berfungsi sebagai daerah penyangga dan keberadaanya memerlukan konservasi. Untuk kawasan lindung yang dimanfaatkan sebagai suaka alam ini, kegiatan yang direkomendasikan adalah

(5)

55

penyelenggaraan kegiatan dan bangunan yang menunjang fungsi, penanganan dan pengelolaan terhadap obyek maupun penunjang hutan suaka alam dan hutan wisata sesuai petunjuk teknis dari Departemen Kehutanan. Untuk kawasan lindung yang berfungsi sebagai jalur pengaman aliran sungai, kegiatan perlindungan pada jalur kanan dan kiri aliran yang parsial pencemaran erosi dan longsor. Selain itu juga direkomendasikan kegiatan penggunaan lahan pada luas-luas tertentu dipertahankan. Kawasan suaka alam ini terdapat di Gunung Gede Pangrango dan Megamendung.

Kawasan rawan bencana adalah kawasan yang diidentifikasi dan berpotensi tinggi sering mengalami bencana alam seperti letusan gunung merapi, gempa bumi, dan longsor. Kawasan ini tidak dapat diubah oleh eksploitasi manusia baik secara materi dan fisik. Kawasan rawan bencana memiliki keadaan alam yang asli dan alami untuk dikembangkan sebagai pariwisata alam. Kawasan ini terbagi dalam zona inti, zona pemanfaatan, dan zona lain yang dapat mendukung upaya pelastarian sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. Kawasan ini terdapat di sekitar Gunung Gede (Kecamatan Cisarua, KecamatanMegamendung, dan Kecamatan Ciawi).

Pemanfaatan ruang untuk kawasan budidaya terbagi menjadi kawasan hutan produksi, kawasan pertanian, kawasan pariwisata, dan kawasan permukiman. Kawasan hutan produksi adalah kawasan yang digunakan untuk budidaya hutan alam (hutan produksi terbatas), serta untuk budidaya hutan alam dan hutan tanaman (hutan produksi tetap). Kawasan ini dicadangkan untuk pengembangan transportasi, transmigrasi, permukiman, pertanian, perkebunan, industri, dan lain-lain (untuk kawasan hutan yang dapat dikonversi).

Kawasan hutan produksi diharapkan dapat meningkatkan perkembangan pembangunan lintas sektor dan sub sektor serta kegiatan ekonomi sekitarnya. meningkatkan upaya pelestarian kemampuan sumber daya hutan, meningkatkan pendapatan masyarakat, meningkatkan kesempatan kerja, mendorong perkembangan usaha dan peran serta masyarakat, meningkatkan pendapatan daerah dan nasional, meningkatkan ekspor, dan meningkatkan fungsi lindung. Kawasan hutan produksi selain mempunyai fungsi tersebut juga berperan sebagai pendukung untuk konservasi. Oleh karena itu sebarannya adalah sekitar kawasan lindung/suaka alam/taman nasional (yang dahulu dikenal sebagai kawasan penyangga) dan pada hulu-hulu tata air. Kawasan hutan produksi terdapat di Kecamatan Cisarua, Kecamatan Megamendung, dan Kecamatan Ciawi. Hutan produksi yang direncanakan adalah seluas 5777 hektar (38,85% dari total luas DAS Ciliwung Bagian Hulu).

(6)

Untuk kawasan pertanian yang diperbolehkan adalah kawasan pertanian lahan basah, kawasan pertanian lahan kering, dan kawasan tanaman tahunan/perkebunan. Kawasan pertanian lahan basah adalah sawah yang beririgasi teknis dengan kriteria tanah/lahannya mempunyai drainase buruk, tekstur halus, lereng landai antara 0-15%, tersedianya potensi air baku untuk pengairan, dan terdapat jaringan irigasi. Kawasan pertanian lahan basah terdapat di seluruh kecamatan, yaitu Kecamatan Cisarua, Kecamatan Megamendung, Kecamatan Ciawi, Kecamatan Sukaraja, dan Kecamatan Kota Bogor Timur. Luas pertanian lahan basah yang direncanakan adalah sebesar 1115 hektar (7,49%).

Kawasan pertanian lahan kering dipertahankan sejauh tidak terintervensi oleh perkembangan kawasan permukiman. Kawasan pertanian lahan kering memiliki kriteria kawasan yang secara teknis dapat dimanfaatkan sebagai kawasan pertanian lahan kering, kawasan yang apabila dimanfaatkan untuk kegiatan pertanian lahan kering secara ruang dapat memberikan manfaat bagi masyarakat dan pemerintah, dan berdasarkan kelas kemampuan lahan adalah tanah/lahannya mempunyai drainase baik, teksturnya sedang sampai kasar, serta pada kelerengan yang landai antara 8-25%. Kawasan pertanian lahan kering terdapat di Kecamatan Cisarua, Kecamatan Sukaraja, dan Kecamatan Megamendung dengan luas 846 hektar (5,69%).

Kawasan tanaman tahunan/perkebunan mencakup pola tanaman (perkebunan) rakyat maupun perkebunan besar seperti perkebunan teh. Selain berfungsi produksi juga diharapkan kawasan tanaman tahunan/perkebunan berperan sebagai pendukung untuk konservasi. Kawasan perkebunan teh ini direncanakan seluas 3326 (22,37%) dan kawasan tanaman tahunan yang didominasi oleh tanaman karet, kelapa, dan coklat direncanakan seluas 654 hektar (4,39%). Kawasan tanaman tahunan/ perkebunan terdapat di Kecamatan Cisarua, Kecamatan Megamendung, dan Kecamatan Ciawi. Kawasan ini memiliki kriteria sbb:

a) Kawasan yang mempunyai fungsi hidrologis/pelestarian ekosistem luas penutupan tajuk minimal 50% dan merupakan tanaman cepat tumbuh;

b) Kawasan yang apabila dimanfaatkan untuk kegiatan pertanian tanaman tahunan secara ruang dapat memberikan manfaat bagi masyarakat dan pemerintah; dan

c) Berdasarkan kelas kemampuan lahan adalah tanah/lahannya mempunyai drainase baik, tekstur sedang sampai kasar, lereng landai antara 15-40%

(7)

57

Untuk kawasan pariwisata, arahan pengembangan kawasan pariwisata terkait dengan pengembangan kegiatan pengembangan pariwisata yang ada dewasa ini dan pengembangan kawasan yang baru. Kawasan ini diharapkan pada wilayah kecamatan Cisarua, Megamendung, dan Sukaraja. Selain itu, untuk objek-objek wisata lainnya relatif tersebar mengikuti potensi yang ada berupa taman, danau, pegunungan, dan gua. Objek wisata tersebut antara lain Taman Safari Indonesia (Kecamatan Cisarua), Talaga Warna (Kecamatan Cisarua), Gunung Mas (Kecamatan Cisarua), Riung Gunung (Kecamatan Cisarua), serta Taman Nasional Gunung Gede Pangrango dan Gunung Halimun (Kecamatan Cisarua, Kecamatan Megamendung, Kecamatan Ciawi).

Kawasan permukiman terdiri atas permukiman perkotaan dan permukiman perdesaaan. Secara prinsip permukiman perkotaan dominan akan kegiatan non pertanian, sementara kawasan permukiman perdesaan dominan kegiatan pertanian. Untuk kawasan permukiman perkotaan pengembangannya didasarkan pada perkotaan yang ada sekarang, perubahan yang pertama Peraturan Daerah (Perda) No.14/1989 tentang penetapan batas wilayah kota di Kabupaten Bogor, izin-izin perkembangan permukiman atau perumahan, dan kecenderungan perkembangann permukiman perkotaan seperti yang dijelaskan berikut ini.

Mengingat salah satu fungsi utama wilayah ini adalah sebagai penyangga bagi DKI Jakarta dalam bentuk pengembangan permukiman perkotaan dan kecenderungan perkembangan internal, maka secara khusus ditelaah mengenai perkembangan tersebut. Pola sebaran desa-urban, yang mengindikasikan sebaran kawasan permukimam perkotaan menunjukkan tiga bentuk, yaitu fringe area/pinggiran kota utama, koridor/sumbu wilayah, dan local centre/pusat lokal. Kawasan permukiman perkotaan didominasi oleh kegiatan perumahan dan perdagangan/jasa. Kawasan permukiman perkotaan yang direncanakan adalah seluas 1006 hektar (6,76 %) dan pusat kota seluas 402 (2,70%). Penyebaran permukiman perkotaan ini ada pada Kecamatan Cisarua, Kecamatan Megamendung, Kecamatan Ciawi, Kecamatan Sukaraja dan Kecamatan Kota Bogor Timur.

Dihubungkan dengan pemanfaatan ruang di sekitar permukiman serta kemungkinan-kemungkinan pergeseran yang terjadi (antisipasi), maka terhadap permukiman perkotaan ada dua pola kawasan permukiman yang berkaitan dengan pemanfaatan ruang sekitar (Pola KU-1) dan permukiman tidak berkaitan dengan pemanfaatan ruang yang cenderung bersifat penduduk commuter (Pola KU-2).

(8)

Pola KU-1 adalah perukiman penduduk berada di sekitar atau berdekatan dengan kegiatan perkotaan seperti industri, jasa-jasa pelayanan, dan kegiatan lainnya yang bercirikan perkotaan. Dalam hal ini penduduk perkotaan tersebut mempunyai hubungan kegiatan langsung dengan pemanfaatan ruang di sekitarnya tersebut (misalnya sebagai pekerja). Pola KU-2 adalah permukiman penduduk yang berada di sekitar atau berdekatan dengan kegiatan non-perkotaan (terutama pertanian). Dalam hal ini dominan penduduk perkotaan tersebut tidak mempunyai hubungan kegiatan langsung dengan pemanfaatan ruang di sekitarnya. Penduduknya memiliki kegiatan/pekerjaan di wilayah/kawasan lain (commuter). Kegiatan di KU-2 ini hanya sebagai tempat tinggal saja dan bahkan kemungkinan sebagai resort area.

Sementara untuk permukiman perdesaan ada empat pola:

a) Pola KR-1 : permukiman sekitar sawah beririgasi teknis yang dihuni oleh pemilik/penggarapnya.

b) Pola KR-2 : permukiman sekitar hutan (lindung/produksi)

c) Pola KR-3 : permukiman sekitar perkebunan besar yang penduduknya merupakan pekerja di perkebunan tersebut.

d) Pola KR-4 : permukiman sekitar kebun campuran, tegalan, sawah tidak beririgasi teknis. Penduduk mempunyai hubungan langsung dengan dengan pemanfaatan ruang sekitarnya.

Adanya kemungkinan perkembangan perdesaaan menjadi perkotaan, maka pola KR-1 dan pola KR-2 dibatasi perkembangannya menjadi kawasan perkotaan. Permukiman ini akan masih dominan menjadi kawasan perdesaan. Pola KR-3 akan berpeluang bergeser menjadi kawasan perkotaan atau kawasan perdesaan dengan pola lainnya, bila bergeser pula kegiatan perkebunan yang ada. Hal ini diantisipasi karena adanya kemungkinan perkebunan bergeser akibat pola usahanya atau hak guna usahanya (HGU). Pola KR-4 sangat berpeluang bergeser menjadi kawasan perkotaan, terutama lokasi-lokasi yang berdekatan atau terletak pada bagian-bagian wilayah yang diidentifikasi sebagai fringe area, corridor, dan local center.

Kawasan permukiman perdesaan bersasaran untuk mewujudkan pemanfaatan ruang dan sumber daya alam untuk kesejahteraan masyarakat dengan tetap memperhatikan kelestarian fungsi lingkungan hidup. Kawasan permukiman perdesaan di DAS Ciliwung Bagian Hulu sebagian besar sudah mulai bercirikan perkotaan (desa-urban), yaitu di Kecamatan Cisarua dan Kecamatan Megamendung (30-55% desa-urban). Sedangkan Kecamatan Ciawi dan Kecamatan Sukaraja sudah semakin

(9)

59

mendekati urban (55-85% desa urban). Kawasan permukiman perdesaan direncanakan seluas 1745 (11,73%).

Untuk lebih jelasnya penggunaan lahan di DAS Ciliwung Bagian Hulu menurut rencana (RTRW) dapat dilihat pada tabel berikut:

TABEL IV.1 PENGGUNAAN LAHAN

DI DAS CILIWUNG BAGIAN HULU MENURUT RTRW No Guna Lahan Luas (Ha) (%)

1 Hutan 5777 38,85

2 Perkebunan 3326 22,37 5 Permukiman Desa 1745 11,73 3 Pertanian Lahan Basah 1115 7,49 6 Permukiman Kota 1006 6,76 4 Pertanian Lahan Kering 846 5,69 7 Tanaman Tahunan 654 4,39 8 Pusat Kota 402 2,70

JUMLAH 14.871 100

Sumber: RTRW Kabupaten Bogor 1999-2009 & RTRK Bogor 2000-2010

Selain dilakukan kegiatan perencanaan dan pemanfaatan ruang juga disusun kegiatan pengendalian pemanfaatan ruang. Pengendalian pemanfaatan ruang merupakan suatu piranti manajemen pengelolaan ruang yang sangat diperlukan oleh manajer wilayah untuk memastikan bahwa perencanaan tata ruang telah berlangsung sesuai dengan rencana yang ditetapkan. Pengendalian pemanfaatan ruang diselenggarakan melalui kegiatan pengawasan, penertiban terhadap pemanfaatan ruang, dan mekanisme perizinan.

Pengendalian pemanfaatan kawasan lindung dilaksanakan melalui kegiatan pengawasan dan penertiban dalam pemanfaatan ruang termasuk terhadap penguasaan, penggunaan, dan pemanfaatan air, tanah, udara, dan sumber daya alam lainnya. Kegiatan pengawasan dalam pemanfaatan ruang di kawasan lindung dilakukan melalui larangan melakukan berbagai usaha dan/atau kegiatan, kecuali berbagai usaha dan/atau kegiatan yang tidak mengganggu fungsi alam, tidak mengubah bentang alam dan ekosistem alam. Pengaturan berbagai usaha dan/atau kegiatan yang tetap dapat mempertahankan fungsi lindung untuk pengendalian pemanfaatan ruang di kawasan lindung. Pengendalian juga dilakukan melalui pengawasan kegiatan penelitian eksplorasi mineral dan air tanah, serta kegiatan lain yang berkaitan dengan pencegahan bencana alam agar pelaksanaan kegiatannya tetap mempertahankan

(10)

fungsi lindung. Kegiatan pengawasan dilakukan dalam upaya menjaga agar tetap terjaminnya kesesuaian penataan ruang dengan fungsi ruang yang telah ditetapkan dalam rencana yang dilakukan dalam bentuk pelaporan kegiatan, pemantauan, dan evaluasi.

Sedangkan kegiatan penertiban adalah usaha untuk mengambil tindakan agar pemanfaatan ruang yang direncanakan dapat terwujud. Kegiatan penertiban dilakukan melalui penegakkan prosedur perizinan dan pemberian perizinan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Penertiban di kawasan lindung dilakukan melalui penerapan ketentuan yang berlaku tentang analisis mengenai dampak lingkungan hidup bagi berbagai usaha dan/atau kegiatan yang sudah ada di kawasan lindung yang mempunyai dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup. Penerapan juga dilakukan pada ketentuan-ketentuan untuk mengembalikan fungsi lindung kawasan yang telah terganggu kepada fungsi kawasan lindung yang diharapkan secara bertahap. Penertiban juga dilakukan melalui penegakkan peraturan yang mewajibkan dilaksanakannya kegiatan perlindungan terhadap lingkungan hidup dan rehabilitasi daerah bekas penambangan.

Setiap tindakan pelanggaran terhadap pemanfaatan ruang akan diberi sanksi berupa:

• sanksi adminitrasi

Sanksi administrasi berupa tindakan pembatalan izin dan pencabutan. Sanksi ini dikeluarkan atas pelanggaran pemanfaatan ruang yang berakibat pada terhambatnya pelaksanaan program pemanfaatan ruang.

• sanksi perdata

Sanksi perdata yang diberikan berupa tindakan pengggunaan denda atau penggunaan ganti rugi. Sanksi ini dikenakan atas pelanggaran penataan ruang yang berakibat terganggunya kepentingan seseorang, kelompok, orang atau badan usaha.

• sanksi pidana

Sanksi pidana yang diberikan adalah penahanan atau kurungan. Sanksi ini dikenakan atas pelanggaran penataan ruang yang berakibat terganggunya kepentingan umum.

(11)
(12)

4.2 Penataan Ruang DAS Ciliwung Bagian Hulu Saat Ini

DAS Ciliwung mendapat banyak sorotan dibanding DAS yang lain karena wilayah hilir DAS Ciliwung mencakup daerah ibukota DKI Jakarta. Kerusakan wilayah DAS Ciliwung Bagian Hulu akan berdampak langsung terhadap kondisi lingkungan di bagian tengah (kota Bogor) dan hilir (kota Jakarta). DAS Ciliwung mempunyai potensi menimbulkan banjir yang diakibatkan oleh beberapa faktor yaitu topografi, kemunduran daerah resapan air, intensitas hujan yang cukup tinggi, dan bentuk DAS yang seperti corong dimana bagian hulu luas dan lebar mengalir ke hilir yang menyerupai pipa. Bentuk penutupan lahan di wilayah DAS Ciliwung Bagian Hulu dapat dilihat pada tabel dibawah ini.

TABEL IV.2

PENGGUNAAN LAHAN

DI DAS CILIWUNG BAGIAN HULU SAAT INI No Guna Lahan Luas (Ha) (%) 1 Hutan 5.066,49 34,06 2 Kebun Teh 2.783,63 18,71 3 Sawah 2.524,58 16,97 4 Permukiman 1.837,99 12,35 5 Kebun Campuran 1.529,78 10,28 6 Tegalan 700,57 4,71 7 Semak Belukar 426,53 2,87 8 Hutan Campuran 111,43 0,75 JUMLAH 14.876 100

Sumber: RTL-RLKT Sub DAS Ciliwung Hulu Tahun 2000

Penutupan lahan terbesar pada areal DAS Ciliwung Bagian Hulu adalah berupa hutan seluas 5.066,49 Ha atau 34,06 % dari keseluruhan luas wilayah DAS. Pada wilayah hutan lindung, penyebaran vegetasinya tidak merata, sehingga terdapat daerah gundul yang perlu segera direhabilitasi. Sekitar 30% kawasan Hutan di DAS Ciliwung Bagian Hulu merupakan Hutan Produksi yang didominasi oleh jenis Pinus yang banyak dimanfaatkan oleh masyarakat setempat. Selain hal tersebut dapat dijelaskan bahwa perubahan fungsi lahan yang terjadi terutama pada lahan budidaya pertanian dan budidaya non pertanian (berupa permukiman perdesaan) dengan hak kepemilikan perseorangan yang kemudian beralih fungsi menjadi lahan budidaya non pertanian berupa permukiman perkotaan atau lahan untuk pariwisata.

Kebun teh juga banyak terdapat di DAS Ciliwung Bagian Hulu. Pada daerah yang sangat tinggi dan sejuk, tanaman teh dapat tumbuh dengan subur. Hamparan

(13)

64

kebun teh ini memakan lahan yang luas, yaitu sekitar 2.783,63 hektar atau 18,71% dari luas keseluruhan DAS Ciliwung Bagian Hulu. Sebaran kebun teh ini banyak terdapat di DAS Ciliwung Bagian Hulu yang arahnya menuju puncak, yaitu di Kecamatan Ciawi, Megamendung, dan Cisarua.

Penggunaan lahan untuk sektor pertanian seperti sawah dan kebun campuran juga cukup banyak dengan letak sangat menyebar. Mengingat sebagian besar penduduk di DAS Ciliwung Bagian Hulu memiliki mata pencaharian di sektor ini. Sawah dan kebun campuran ada di setiap kecamatan dari Kecamatan Kota Bogor Timur, Sukaraja, Ciawi, Megamendung, sampai Kecamatan Cisarua. Luas lahan persawahan yang termasuk dalam pertanian lahan basah di DAS Ciliwung Bagian Hulu adalah sebesar 2.524,58 hektar atau 16,97% dari total keseluruhan DAS Ciliwung Bagian Hulu. Sedangkan kebun campuran yang termasuk pertanian lahan kering luasnya 1.529,78 hektar (10,28%).

Pemanfaatan lahan di DAS Ciliwung yang menempati urutan keempat adalah permukiman. Permukiman menghabiskan wilayah DAS Ciliwung Bagian Hulu sebesar 12,35% atau 1.837,99 hektar. Permukiman ini berupa permukiman penduduk desa, tempat peristirahatan, hotel, villa, dan real estate. Sebelumnya, DAS Bagian

Hulu ditetapkan sebagai daerah tangkapan air hujan, namun penggunaan lahan untuk permukiman dari tahun ke tahun terus meningkat. Selain karena pertumbuhan dari penduduknya sendiri, permukiman tumbuh karena adanya permintaan dari pihak pendatang.

Pemanfaatan lahan untuk permukiman ini juga menyebar di setiap kecamatan di DAS Ciliwung Bagian Hulu. Permukiman yang ada paling luas berada di Kecamatan Cisarua sebesar 920,88 hektar atau lebih dari setengah luas permukiman yang ada di DAS Ciliwung Bagian Hulu. Luas permukiman di Kecamatan Megamendung adalah 589,84 hektar, di Kecamatan Ciawi sebesar 145,48 hektar, di Kecamatan Sukaraja terdapat lahan permukiman sebesar 14,41 hektar, dan di Kecamatan Kota Bogor Timur seluas 167,29 hektar. Kawasan permukiman ini tumbuh di dekat jalan-jalan utama (ada jalan propinsi yang menghubungkan Kota Jakarta dan Kota Bandung) dan jalan lokal. Permukiman juga terdapat di sekitar tepi sungai dan di pegunungan yang iklimnya sejuk.

Daerah yang sejuk dan adanya objek wisata seperti Taman Safari dan Taman Wisata Gn. Gd. Pangrango menjadikan daya darik orang-orang untuk datang.

(14)

Keberadaan tempat rekreasi membutuhkan prasarana penunjang seperti tempat peristirahatan/hotel, restoran, tempat oleh-oleh, dan lain-lain. Perkembangan sektor pariwisata akhirnya menjalar kepada perkembangan sektor jasa dan perdagangan. Sektor ini menyerap cukup banyak tenaga kerja sehingga banyak penduduk desa yang kemudian beralih pekerjaan ke sektor ini. Pertumbuhan sektor jasa dan perdagangan ini akhirnya meluas menjadi pertumbuhan permukiman penduduk, baik itu permukiman penduduk miskin sampai permukiman penduduk elit (villa dan real estate). Dari tahun ke tahun pertumbuhan permukiman ini semakin bertambah dan mengindikasikan pada keadaan yang tidak memiliki keteraturan terutama pertumbuhan tempat peristirahatan dan villa.

Pemanfaatan lahan selanjutnya adalah berupa tegalan yang menghabiskan lahan seluas 700,57 hektar atau 4,71% dari total keseluruhan luas DAS Ciliwung Bagian Hulu. Tegalan ini hanya terdapat di Kecamatan Cisarua, Megamendung, dan Sukaraja. Tegalan ini paling banyak terdapat di Kecamatan Megamendung (378,76 hektar), selanjutnya di Kecamatan Cisarua (216,72 hektar), dan paling sedikit di Kecamatan Sukaraja (105,09 hektar). Tegalan ini biasanya berupa tanaman kayu-kayuan, tanaman semusim, buah-buahan, dan tanaman obat-obatan milik masyarakat yang juga termasuk pertanian lahan kering.

Sisa dari lahan di DAS Ciliwung Bagian Hulu adalah berupa semak belukar sebesar 426,53 hektar (2,87%) dan hutan campuran sebesar 111,43 hektar (0,75%). Pemanfaatan lahan berupa semak belukar hanya terdapat di dua kecamatan, yaitu Kecamatan Cisarua dan Megamendung yang luasnya tersebar cukup merata di dua kecamatan tersebut. Di Kecamatan Cisarua penggunaan lahan untuk semak belukar sebesar 229,97 hektar dan di Kecamatan Megamendung terdapat 196,56 hektar semak belukar.

Hutan campuran adalah pemanfaatan lahan campuran yang terdiri dari hutan dan perkebunan teh. Hutan campuran sendiri terdapat di Kecamatan Cisarua dan Megamendung. Di Kecamatan Megamendung terdapat 94,43 hektar hutan campuran dan 17 hektar hutan campuran terdapat di Kecamatan Cisarua.

(15)

TABEL IV.3

PENGGUNAAN LAHAN

DI SUB-SUB DAS CILIWUNG BAGIAN HULU Penggunaan Lahan

No. Sub-sub DAS

Kecamatan

Luas

(Ha) Permukiman Sawah Kebun Campur Tegalan Semak Belukar Teh Hutan/teh Hutan

I Sub-sub DAS Ciesek

Kec. Cisarua 233,8 60,21 59,55 0 0 114,04 114,04 0 0

Kec. Megamendung 2218,98 227,4 132,86 186,35 104,7 163,91 356,64 0 147,04

Jumlah 2452,78 287,61 192,41 186,35 104,7 277,95 470,68 0 147,04

II Sub-sub DAS Hulu Ciliwung

Kec. Cisarua 3739,35 558,79 782,35 57,21 79,77 115,93 1117,89 0 1028,01

Kec. Megamendung 853,08 9,64 8,85 0 0 32,65 103,29 0 689,65

Jumlah 4592,43 568,43 791,20 57,21 79,77 148,58 1221,18 0 1717,66 III Sub-sub DAS

Cibogo-Cisarua Kec. Ciawi 83,76 0 0 0 0 0 0 0 83,76 Kec. Cisarua 2962,48 301,97 398,95 260,16 136,91 0 595,18 17 1252,31 Kec. Megamendung 1064,10 123,48 234,81 213,93 66,07 0 353,38 39 33,43 Jumlah 4110,34 425,45 633,76 474,09 202,98 0 948,56 56 1369,5 IV Sub-sub DAS Ciseupan/ Cisukabirus Kec. Ciawi 1261,02 145,48 107,10 147,20 0 0 21,13 0 840,11 Kec. Megamendung 1868,52 229,32 623,30 538,22 207,99 0 122,08 55,43 92,18 Kec. Sukaraja 221,47 14,41 33,94 68,03 105,09 0 0 0 0

Kec. Kota Bogor Timur (Kodya Bogor)

368,84 167,29 142,87 58,68 0 0 0 0 0

Jumlah 3719,85 556,50 907,21 812,13 313,08 0 143,21 55,43 932,29

TOTAL 14875,40 1837,99 2524,58 1529,78 700,57 426,53 2783,63 111,43 5066,49

(16)
(17)

69

Terjadinya penyimpangan penggunaan lahan sampai 36,99% di DAS Ciliwung Bagian Hulu. Aktivitasnya sendiri masih didominasi oleh kinerja ekonomi dibanding kinerja lingkungan. Masih banyak terdapat pembangunan fisik dan nonfisik tanpa mengindahkan serta menghormati peraturan hukum, tata tertib, dan standar yang sudah ditentukan. Hal ini sangat terlihat menonjol pada banyaknya perumahan, villa, dan bangunan-bangunan lainnya yang tidak memiliki IMB (izin mendirikan bangunan), izin lokasi, PBB (pajak bumi dan bangunan).

Kawasan hulu DAS Ciliwung memang patut menjadi perhatian sebab daerah tersebut pada hakikatnya diperuntukkan sebagai kawasan konservasi. Namun, dari apa yang dilihat kawasan tersebut sudah berubah dengan banyaknya berdiri bangunan villa, serta lahan yang ditanami dengan pepohonan yang tidak berfungsi untuk menyerap air. Pada akhirnya terjadilah lahan kritis di DAS Ciliwung Bagian Hulu karena banyak berdiri bangunan villa dan alih fungsi lahan. Pemilik villa-villa tersebut 80% adalah penduduk Jakarta.

TABEL IV.4

VILLA DI DAS CILIWUNG BAGIAN HULU No. Kecamatan Jumlah villa (unit) Luas (Ha)

1 Cisarua 1046 20,92

2 Megamendung 669 13,38

3 Ciawi 321 0,12

TOTAL 2036 34,42

Sumber: Nining, 2003

Villa-villa yang dibangun seringkali menyalahi aturan, yaitu dibangun pada lahan dengan kemiringan >40%. Meskipun demikian villa tersebut tetap diizinkan untuk dibangun. Lahan dengan kemiringan >40% rawan akan longsor sehingga ditetapkan sebagai kawasan lindung. Secara luasan lahan, penggunaan lahan untuk permukiman di DAS Ciliwung Hulu saat ini masih kurang 6,14% dari luas lahan yang ditetapkan dalam RTRW. Namun letak penggunaan lahan untuk permukiman saat ini juga sudah menunjukkan penyimpangan. Sebagian besar permukiman saat ini berada di Kecamatan Cisarua yang seharusnya menjadi kawasan lindung dan resapan air karena memiliki kemiringan lereng yang lebih tinggi daripada kecamatan-kecamatan lain. Akan tetapi kenyataannya sendiri penggunaan lahan di Kecamatan Cisarua lebih besar daripada kecamatan-kecamatan lain. Permukiman seharusnya berada di kawasan perkotaan atau mendekati kota (daerah commuter), seperti di Kecamatan Kota Bogor Timur, Sukaraja, Ciawi, dan Megamendung.

(18)

Pembangunan permukiman seperti real estate juga banyak dilakukan oleh para developer dengan membuka lahan baru dari hutan yang ada. Penggundulan hutan untuk membangun kawasan real estate ini mengambil luasan hutan yang cukup besar dan cukup mengganggu keseimbangan lingkungan. Pembangunan ini seharusnya dilarang karena tidak mendukung fungsi kawasan lindung dan resapan air. Penyimpangan terhadap hutan adalah sebesar 4,79%, penggunaan lahan untuk hutan saat ini masih kurang dibandingkan hutan yang direncanakan dalam RTRW.

Penggunaan lahan untuk hutan saat ini sebenarnya sudah menyimpang, yaitu sebesar 34,13%. Menurut UU No.41/1999 tentang kehutanan, luas kawasan hutan yang harus dipertahankan minimal 30% dari luas DAS dengan sebaran yang proporsional. Penggunaan lahan untuk hutan di daerah tengah dan hilir sangat sedikit. Di daerah tengah (Kota Bogor) misalnya hanya ada hutan di daerah Kebun Raya Bogor. Apalagi penggunaan lahan untuk hutan di daerah hilir (DKI Jakarta) yaitu berupa hutan kota yang sangat sedikit. RTH total di DKI Jakarta sendiri hanya mencapai belasan persen saja dari total seluruh wilayah DKI Jakarta. Oleh karena itu penggunaan hutan di daerah hulu seharusnya lebih dari 30%. Penggunaan lahan untuk hutan saat ini yang hanya sebesar 34,06% sudah menunjukkan angka yang sangat kritis.

Selain penggunaan lahan untuk permukiman dan hutan, penggunaan lahan yang masih kurang dari rencana adalah penggunaan lahan untuk perkebunan. Penggunaan lahan untuk perkebunan masih kurang dari 3,66% yang telah direncanakan. Lahan yang seharusnya menjadi perkebunan saat ini masih berupa padang rumput, semak belukar, dan hutan campuran (campuran hutan dan kebun teh). Atau bahkan lahan yang seharusnya menjadi perkebunan malah dimanfaatkan oleh masyarakat menjadi sawah atau tegalan milik mereka. Penyimpangan ini terjadi di Kecamatan Cisarua, Megamendung, dan Ciawi.

Penyimpangan penggunaan lahan terbesar dilakukan oleh masyarakat setempat adalah dengan melakukan penggundulan hutan untuk membuka lahan pertanian baru. Kegiatan penggundulan hutan yang mengubah kawasan lindung menjadi kawasan budidaya ini banyak terjadi di Kecamatan Cisarua, Megamendung, dan Ciawi. Penjarahan terselubung dapat dilihat dari data perubahan luas lahan yang cukup tajam. Hal ini ditandai dengan hilangnya hutan negara sebesar 719,00 Ha, sedangkan hutan rakyat naik 1.913,00 Ha, belum lagi industri, tegalan, padang rumput, dan lain-lain. Dalam jangka waktu lima tahun (1995-1999) luas lahan

(19)

71

perkebunan hilang 5.107,51 Ha (Hilman, 2005). Luas penggunaan lahan untuk pertanian lahan basah dan pertanian lahan kering melebihi dari yang direncanakan dengan penyimpangan sebesar 9,48% untuk pertanian lahan basah dan 9,30% untuk pertanian lahan kering.

Adapun penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan RTRW, yaitu hutan campuran (0,75%) dan semak belukar (2,87%). Penggunaan lahan untuk hutan campuran dan semak belukar ini terjadi karena daerah tersebut belum dimanfaatkan secara optimal untuk kepentingan masyarakat. Untuk lebih jelasnya besaran penyimpangan penggunaan lahan di DAS Ciliwung Bagian Hulu dapat dilihat pada Tabel IV.5. Angka yang tertera di bawah ini bukanlah angka yang sebenarnya dan “saklek” untuk digunakan namun hanya sebagai pendekatan saja.

TABEL IV.5

PENYIMPANGAN PENGGUNAAN LAHAN DI DAS CILIWUNG BAGIAN HULU No. Penggunaan Lahan RTRW

(%) Saat Ini (%) Penyimpangan (%) 1. Hutan 38,85 34,06 - 4,79 2. Perkebunan 22,37 18,71 - 3,66 3. Permukiman 18,49 12,35 - 6,14 4. Pertanian Lahan Basah 7,49 16,97 + 9,48 5. Pertanian Lahan Kering 5,69 14,99 + 9,30 6. Semak Belukar - 2,87 2,87 7. Hutan Campuran - 0,75 0,75

TOTAL 36,99

(20)
(21)

75

4.3 Dampak-dampak Penyimpangan Peraturan Pemanfaatan Kawasan Lindung dan Resapan Air

DAS Ciliwung Bagian Hulu sebagai daerah konservasi air dan tanah seharusnya tetap memiliki kawasan hijau yang cukup guna mempertahankan fungsi tersebut. Fakta bahwa kemudian terjadi pembangunan villa-villa di DAS Ciliwung Bagian Hulu ini secara berlebihan adalah juga faktor yang menjadi penyebab banjir di kawasan Jakarta yang berakhir pada timbulnya kerugian akibat banjir yang terjadi. Bencana banjir yang melanda Ibukota Jakarta disinyalir dipicu oleh tidak terkendalinya pembangunan di Kawasan DAS Ciliwung Bagian Hulu. Ini ditandai banyaknya pengembang di kawasan wisata itu melanggar perizinan akibat lemahnya fungsi pengawasan dan longgarnya kebijakan perizinan yang diterbitkan pemerintah setempat.

Banjir merupakan indikator dari rusaknya daerah aliran sungai (DAS). Bencana banjir yang terjadi pada tanggal 1-6 Februari 2007 merendam hampir 70% wilayah DKI Jakarta, dan juga sebagian wilayah Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi. Banjir tersebut memakan korban setidak-tidaknya puluhan orang meninggal dan 320.000 warga mengungsi. Kerugian yang dihasilkan pun mencapai 8,8 trilyun rupiah yang terdiri dari 5,2 trilyun rupiah kerusakan dan kerugian langsung dan 3,6 trilyun rupiah yang merupakan kerugian tidak langsung.

Faktor yang berpengaruh terhadap fenomena alam banjir dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok, yaitu faktor alam dan faktor manusia. Faktor alam meliputi iklim, morfologi, dan pasang surut muka air laut. Sedangkan yang termasuk dalam faktor manusia adalah penggunaan lahan, saluran drainase, dan pembuangan sampah. Bencana banjir tersebut membuktikan telah terjadinya kerusakan lingkungan di DAS bagian hulu. Aktivitas manusia yang telah mengubah penutupan lahan dalam suatu DAS akan mengganggu tata air DAS.

Banjir di wilayah Jadebotabek terjadi pula karena suplai air dari hulu DAS. DKI Jakarta merupakan wilayah yang paling parah terkena banjir karena dilewati oleh tiga belas sungai, yaitu Sungai Ciliwung, Sungai Angke, Sungai Pesanggrahan, Sungai Sunter, Sungai Grogol, Sungai Bekasi, Sungai Cipinang, Sungai Baru Barat, Sungai Baru Timur, Sungai Mookevart, Sungai Cakung, Sungai Krukut, dan Sungai Mampang. Tingginya intensitas hujan di daerah Bogor dan sekitarnya (DAS Ciliwung Bagian Hulu) pada tanggal 1-2 Februari 2007 menjadi salah satu penyebabnya. Intensitas yang pada awalnya 16 mm/hari meningkat menjadi 245 mm/hari dan masih

(22)

meningkat pada beberapa hari berikutnya secara berturut-turut. Pendangkalan dan penyempitan badan S. Ciliwung pun terjadi di hulu sungai yang bermuara ke wilayah DKI Jakarta ini.

Perencanaan pengelolaan DAS hingga saat ini belum menunjukkan hasil yang optimal, meskipun kegiatan konservasi tanah dan air sudah dilaksanakan secara nasional sejak Pelita I hingga sekarang. Meningkatnya luas lahan kritis dan degradasi lahan menunjukkan bahwa masalah-masalah yang berkaitan dengan kerusakan lingkungan belum dapat diatasi dengan tuntas. Dampak negatif yang ditimbulkan oleh kerusakan DAS tersebut sangat merugikan kehidupan penduduk, seperti banjir, kekeringan, erosi, sedimentasi, menurunnya kesuburan tanah, produksi pertanian menurun, dan sebagainya. Kerusakan DAS tersebut perlu segera ditangani secara komprehensif melalui perencanaan pengelolaan DAS yang baik sehingga kerusakan lingkungan dapat segera diminimumkan dan pada gilirannya dapat memberikan peningkatan kualitas lingkungan dan kesejahteraan penduduk

Kerusakan lingkungan yang terjadi di DAS Ciliwung Bagian Hulu saat ini telah masuk dalam kondisi yang mengkhawatirkan. Jika kondisi tersebut dibiarkan dan tidak segera ditangani, ancaman bencana alam seperti banjir, tanah longsor, serta berkurangnya kandungan air tanah akan semakin sering terjadi. Adanya permukiman di DAS Ciliwung Bagian Hulu mengakibatkan semakin sedikitnya area hutan sebagai penyerapan air hujan, sehingga air terus mengalir ke arah muara dengan membawa kikisan sedimentasi tanah yang mengakibatkan banjir. Pada akhirnya air tersebut mengarah ke kawasan laut sehingga laut di kawasan hilir (Jakarta) tercemar. Oleh karena itu kelestarian hutan memberikan manfaat jauh lebih bernilai ekonomi bila dibandingkan dengan melakukan konversi area hutan (Bahtiar, 2006).

Pembangunan villa yang tidak teratur dan tidak terkontrol mengakibatkan terjadinya degradasi lingkungan. Hal ini juga berdampak pada ketidakteraturan dalam tata letak bangunan, sehingga pembangunan yang ada dapat mengurangi keindahan alam di DAS Ciliwung Bagian Hulu dan menimbulkan ketidakmerataan pembangunan. Pembangunan fisik yang tidak merata juga mengakibatkan persebaran pembangunan ekonomi terutama pada sektor ekonomi formal dan persebaran penduduk. Dengan sumber daya manusia yang berkualitas rendah, mengakibatkan sebagian besar penduduk lokal DAS Ciliwung Bagian Hulu bekerja pada sektor informal. Sedangkan pekerja pada sektor formal kebanyakan bukan

(23)

77

berasal dari penduduk lokal. Pembangunan villa dan real estate yang tidak terencana dalam skala besar menyebabkan kerusakan lingkungan dan penurunan daya dukung lingkungan. Selain itu, pembangunan villa yang mengkonversi guna lahan dari pertanian ke perumahan mengakibatkan berkurangnya lapangan pekerjaan bagi penduduk setempat di bidang pertanian.

Rusaknya DAS adalah salah satu akibat dari masih lemahnya penegakan hukum. Serta harus disadari bahwa air semakin lama akan semakin langka, karena itu harus diupayakan agar air tetap tersedia. Sesuai dengan sistem hidrologi, air akan mengalir ke tempat yang lebih rendah, dan Jakarta letaknya memang lebih rendah dari Kabupaten Bogor sehingga air dipastikan akan mengalir ke Jakarta. Untuk itu, DAS Ciliwung Bagian Hulu sebagai daerah penyangga perlu dijaga sehingga bisa menjadi tempat konservasi air. Namun sayangnya kawasan DAS Ciliwung Bagian Hulu sudah banyak yang dijadikan daerah permukiman, sehingga tidak lagi mengindahkan tata ruang dan lingkungan, dan kondisi tersebut berakibat terjadinya erosi dan banjir.

Padatnya perumahan mewah di sejumlah lahan yang dianggap kritis selama ini telah menyebabkan air hujan yang terus mengguyur DAS Ciliwung Bagian Hulu tidak tertampung dan terus mengalir hingga daerah sekitarnya. Puluhan hektar hutan yang dalam sepuluh tahun belakangan ini menjadi paru-paru Ibukota, kini tinggal kenangan karena banyak yang telah berubah menjadi lahan beton. Meskipun ada Keppres dan ketentuan lain dari pemerintah tentang pembangunan di kawasan tersebut, para investor tetap melirik DAS Ciliwung Bagian Hulu sebagai lahan bisnis untuk membangun villa mewah bagi kalangan berduit.

Selama ini pelaksanaan peraturan yang mengatur pembangunan di DAS Ciliwung Bagian Hulu dinilai sangat longgar. Hutan sudah gundul karena pembangunan kawasan real estate, atau untuk perkebunan sayur-sayuran dan buah-buahan. Keadaan hidrologis sudah rusak. Air hujan tak lagi bisa diserap tanah dan langsung saja mengalir ke sungai (http://www.kompas.com diakses pada 14 januari 2007 pukul 09.45).

Pada akhirnya kesemua itu berdampak pada kemacetan lalu lintas yang semakin hari semakin parah terutama pada jalur-jalur jalan protokol menuju kawasan Puncak, pencemaran air dan udara akibat industri dan transportasi, dan meningkatnya kriminalitas dan pola kehidupan yang menyimpang. Semua itu mewarnai kehidupan sosial ekonomi yang mengakibatkan makin tidak terjangkaunya perwujudan rasa tertib, aman, dan nyaman dalam kehidupan kota pegunungan, begitu pula yang terjadi

(24)

terhadap pengguna jalan yang melewati DAS Ciliwung Bagian Hulu baik dari arah Jakarta-Bandung maupun sebaliknya. Jika keadaan tersebut di atas dibiarkan berlarut-larut tanpa ada upaya, antisipasi dini, pemikiran, perencanaan, solusi, dan pelaksanaan yang terpadu terutama dari pihak-pihak terkait, sudah bisa dipastikan bahwa perkembangan pembangunan fisik, sosial ekonomi, keamanan, ketertiban akan lebih semrawut. Kalau kesemrawutan, keamburadulan tidak teratasi, daya tarik kawasan DAS Ciliwung Bagian Hulu akan menurun baik bagi investor, masyarakat, maupun pengguna jalan yang menuju Puncak. Akibatnya, kegiatan ekonomi akan terhambat, kekumuhan akan berkembang, dan kualitas kehidupan akan menurun.

Tantangan terbesar bagi pengelolaan sumber daya alam adalah menciptakan untuk selanjutnya mempertahankan keseimbangan antara pemenuhan kebutuhan hidup manusia dan keterlanjutan pemanfaatan dan keberadaan sumber daya alam. Dengan demikian, adalah juga merupakan keterlajutan keberadaan dan layanan lingkungan (ecological services) bagi kehidupan manusia. Keterlanjutan pemanfaatan dan pencagaran sumber daya alam didefinisikan sebagai suatu proses perubahan dimana kesinambungan pemanfaatan dan pencagaran sumber daya alam, arah investasi pemanfaatan sumber daya alam, dan perubahan kelembagaan yang berkaitan dengan sasaran pemanfaatan dan perlindungan sumber daya alam tersebut konsisten dengan sasaran pemanfaatan saat ini dan di masa yang akan datang (World Commission on Environment And Development, 1987). Dalam bahasa yang lain pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development) seperti yang telah dikenal secara luas melalui buku “our common future”, pembangunan yang dikatakan berkelanjutan adalah bila “developments that meets the needs of da present without compromising the ability of future generation to meet their own needs” (Dieren, 1995). Pengelolaan DAS diharapkan dapat mencapai pembangunan yang berkelanjutan.

Pengelolaan DAS sangat penting untuk mendukung konsep pengembangan pembangunan yang berkelanjutan (sustainable developmant). Masalah Pembangunan Berkelanjutan merupakan isu yang menarik dan terus berkembang sampai saat ini. Pembangunan berkelanjutan harus dihadapi dan disikapi secara arif dan bijaksana, konsisten, menjunjung tinggi aspek hukum, sosial, dan kemanusiaan, serta melibatkan semua elemen pembangunan secara holistik/integratif. Pengelolaan ini meliputi proses formulasi dan implementasi kegiatan atau program yang bersifat manipulasi sumber daya alam dan sumber daya manusia yang terdapat di daerah aliran sungai untuk

(25)

79

memperoleh manfaat produksi dan jasa tanpa mengakibatkan kerusakan sumber daya air dan tanah. Pengelolaan dan alokasi sumber daya alam di daerah aliran sungai meliputi pencegahan banjir dan erosi, serta pelindungan nilai keindahan yang berkaitan dengan daerah hulu dan hilir suatu DAS. Hal ini sangat diprioritaskan mengingat segala kegiatan yang terjadi di daerah hulu akan mempengaruhi aktivitas yang dilakukan di daerah hilir. Pengelolaan DAS perlu mempertimbangkan aspek-aspek sosial, ekonomi, budaya, dan kelembagaan yang beroperasi di dalam dan luar daerah aliran sungai yang bersangkutan.

Konsep pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development) saat ini sedang hangat dibicarakan. Dalam konteks DAS, pembangunan yang berkelanjutan dapat dicapai apabila perangkat kebijaksanaan yang akan diterapkan pada pengelolaan DAS telah mempertimbangkan banyak hal. Pengelolaan DAS dan konservasi tanah dan air merupakan “alat” untuk tercapainya pembangunan sumber daya air dan tanah yang berkelanjutan. Pengelolaan sumber daya alam yang tidak memadai (pada skala DAS) telah menyebabkan degradasi tanah dan air, dan pada nantinya menurunkan kemakmuran rakyat pedesaan

Penyebab utama tidak memadainya cara pengelolaan sumber daya air tersebut di atas seringkali berkaitan dengan kurangnya pemahaman keterkaitan biogeofisik antara daerah hulu-hilir DAS sehingga produk kebijaksanaan yang dihasilkan tidak atau kurang memadai untuk dijadikan landasan pengelolaan DAS. Adanya ketidaksesuaian antara batas alamiah (ekologi) dan batas administrasi (politik) suatu DAS seringkali menjadi kendala bagi tercapainya usaha pengelolaan DAS yang komprehensif dan efektif. Tantangan kebijakan dalam pengelolaan DAS yang cukup mendesak adalah mengusahakan tercapainya keselarasan persepsi antara dua sisi pandang tersebut di atas.

Oleh karenanya, kebijakan pengelolaan DAS yang perlu dibuat dan dilaksanakan adalah yang mendorong semua aktor yang terlibat dalam aktivitas pengelolaan sumber daya alam pada skala DAS saling menyadari dampak apa yang akan ditimbulkan oleh aktivitas yang dilakukannya. Dengan demikian, dapat dilakukan evaluasi dini terhadap gejala-gejala terjadinya degradasi lingkungan dan tindakan perbaikan yang diperlukan dapat segera dilaksanakan.

Tuntutan kebutuhan lahan bagi kegiatan pembangunan perumahan, perdagangan, pertanian dan lain-lain mengarah pada penggunaan lahan non-budidaya, kawasan hutan lindung, dan banyak lagi pembangunan di tempat-tempat yang

(26)

dilarang untuk dibangun. Namun karena berbagai alasan dan tekanan ekonomi serta tekanan berbagai pihak, maka pembangunan yang ilegal tersebut menjadi marak dan tidak terelakkan lagi. Ketidaksesuaian pemanfaatan lahan, penggunaan lahan, ditambah dengan ketidaktertiban pembangunan, terjadi pelanggaran peraturan, terjadi penyerobotan hak kepemilikan lahan, dan lain sebagainya. Itu semua mengakibatkan banyak masalah dan ujung-ujungnya bermuara pada degradasi lahan, ekologi terganggu yang berdampak pada bencana dan malapetaka bagi kehidupan manusia itu sendiri.

Dari aspek-aspek tersebut di atas kalau kita perhatikan bahwa gejala dan perkembangan penyimpangan pembangunan perumahan, villa dan bangunan-bangunan lainnya yang terjadi telah menunjukkan merosotnya nilai lingkungan hidup (sosial dan lingkungan) dan degradasi lahan (fisik). Secara fisik dapat dilihat dalam bentuk,

a) makin pesatnya perkembangan pembangunan perumahan, villa, pedagang sayuran, buah-buahan dan bangunan liar lainnya yang tidak terkendali;

b) maraknya pembangunan serta peningkatan sarana dan prasarana kota pegunungan yang tidak terstruktur;

c) meningkatnya pergeseran fungsi kawasan hijau menjadi perumahan, villa, dan lain-lain; dan

d) belum tertibnya tata cara pembangunan fisik, sosial, dan lingkungan yang sesuai dengan aturan yang berlaku.

Untuk mengatasi masalah pendirian villa-villa ini, tidak ada program terpadu yang menghentikan masalah ini sekaligus menanggulangi masalah banjir, dimana hal tersebut menjadi kewenangan Pemerintah Daerah untuk melaksanakannya. Kebijakan pendirian villa atau bangunan adalah tanggung jawab Pemerintah Daerah. Jika kemudian ada hal-hal yang menyimpang seharusnya menjadi tanggung jawab Pemerintah Daerah pula. Jika Pemerintah Daerah memang telah memuat kebijakan yang turut memperhatikan adanya program pengendalian banjir, namun kemudian melihat adanya penyimpangan dalam hal tersebut seperti pembuatan villa-villa di DAS Ciliwung Bagian Hulu, pendirian bangunan tanpa IMB, dan pembuangan sampah oleh masyarakat yang sembarangan, seharusnya mereka sebagai pihak yang berwenang dapat menindak dan memberi sanksi pada para pelakunya.

Jadi bagaimana nasib kawasan DAS Ciliwung Bagian Hulu yang asalnya asri, indah menawan, sejuk, dengan panorama yang menawan, kini menjadi kota

(27)

81

pegunungan yang tidak aman, tidak nyaman, jauh dari tertib. Apakah akan kita biarkan masa depan DAS Ciliwung Bagian Hulu tersayang menjadi suram. Itu semua terpulang pada kita semua, baik aparat pemerintah, swasta, masyarakat, pengusaha, dan semua lapisan untuk bisa menyadari bahwa lingkungan DAS Ciliwung Hulu harus betul-betul dapat mempertahankan ekologinya sesuai karakter aslinya. Hasil usaha "kita" semua mudah-mudahan dapat memberikan andil dalam rangka melestarikan kawasan DAS Ciliwung Bagian Hulu untuk dapat diwariskan kepada anak-anak bangsa Indonesia di masa depan.

4.4 Faktor-faktor Penyebab Penyimpangan Penataan Ruang di DAS Ciliwung Bagian Hulu

Kenyataan di lapangan mengatakan bahwa peraturan tidak berjalan seperti sebagaimana mestinya. Terjadi banyak pelanggaran dalam pengendalian DAS Ciliwung Bagian Hulu. Penyimpangan ini tentu saja dipengaruhi banyak hal dan faktor-faktor penyebab penyimpangan penataan ruang di DAS Ciliwung Bagian Hulu perlu diidentifikasi untuk dicari solusi pemecahannya.

A. EKONOMI

Peningkatan kemampuan ekonomi masyarakat menyebabkan pertumbuhan permukiman yang tidak teratur. Perkembangan sektor pariwisata berdampak pada perkembangan sektor perdagangan dan jasa, terutama di bidang sektor informal bagi penduduk setempat dan sekitarnya. Banyak penduduk yang terserap pada bidang perdagangan dan jasa seperti hotel/restoran, atau membuka usaha tempat oleh-oleh dan warung untuk berjualan sendiri. Keadaan yang menguntungkan ini menyebabkan penduduk perdesaan bermigrasi untuk mengadu nasib. Hal ini menyebabkan permintaan pembangunan permukiman yang baru meningkat. Akhirnya penduduk membangun permukiman baru bahkan sampai merambah pada pinggir sungai. Permukiman kumuh pun muncul di pinggir sungai dan menyebabkan pencemaran pada sungai karena penduduknya langsung membuang limbahnya ke sungai.

Penyimpangan penggunaan lahan lebih banyak dilakukan oleh pembangunan permukiman yang bersifat mewah seperti villa, resort, dan real estate. Permukiman mewah yang banyak dibangun oleh warga Jakarta ini mengganggu fungsi kawasan lindung karena dibangun tanpa mengikuti kaidah-kaidah keseimbangan alam. Villa yang dibangun biasanya berada di kemiringan >40%. Real estate dibangun dengan

(28)

melakukan penggundulan hutan dan dengan kerapatan yang tinggi sehingga tidak dapat menyerapkan air ke dalam tanah. Warga Jakarta yang memang mempunyai kemampuan ekonomi yang jauh lebih baik daripada penduduk setempat senang menghabiskan weekend-nya di daerah ini. Mulanya banyak penduduk yang membeli tanah untuk membangun villa/resort tetapi akhirnya developer mulai melirik daerah ini dan mengembangkan real estate. Keadaan ini tentunya juga memberikan keuntungan bagi penduduk setempat, biasanya mereka berprofesi sebagai penjaga villa atau tukang kebun.

B. HUKUM DAN PERATURAN

Aturan pembangunan di DAS Ciliwung Bagian Hulu sebenarnya sudah diatur dalam RTRW Kabupaten Bogor. DAS Ciliwung Bagian Hulu sudah ditetapkan sebagai kawasan lindung dan resapan air. Kawasan hutan lindung di bagian hulu ini minimal sebesar 30% dari total luas kawasan. Di sampng penggunaan lahan untuk hutan saat ini sudah sangat kritis (34,06%), pembangunan di DAS Ciliwung Bagian Hulu juga sudah tidak mengacu pada RTRW lagi. Pertumbuhan permukiman berkembang dengan pesat karena pertambahan jumlah penduduk. Hutan semakin berkurang karena pohon-pohon ditebang dan terjadi penggundulan hutan secara liar. Alih fungsi lahan juga terjadi, yaitu dari kawasan budidaya pertanian menjadi kawasan budidaya non pertanian.

Pembangunan di DAS Ciliwung Bagian Hulu juga diatur dalam RTRW Bopunjur Keppres tahun 1969 dan Keppres No 114 tahun 1999 tentang kawasan Bopunjur. Ketentuan penguasaan dan penggunaan lahan sudah ditentukan dalam keppres ini. Namun penggunaan lahan ini lagi-lagi dilanggar oleh masyarakat. Banyak bangunan tanpa IMB dibangun di bantaran kali. Villa-villa dan tempat peristirahatan lainnya juga dibangun sembarangan dan ada yang tidak memiliki IMB. Hal ini menyebabkan lahan kritis di DAS Ciliwung Bagian Hulu meningkat.

Villa-villa ini biasanya dimiliki oleh orang-orang besar atau para pejabat di Ibukota. Mereka yang “melek” Undang-undang seharusnya menaati peraturan yang ada dengan tidak membangun villa di kawasan lindung dan resapan air. Usaha pembokaran villa-villa yang menyalahi aturan memang pernah dilakukan namun sayangnya hanya menindak sebagian kecil villa saja padahal jumlah villa yang menyalahi aturan mencapai ratusan dari ribuan villa yang ada. Pemerintah seharusnya

(29)

83

lebih tegas dalam menindak villa-villa yang sudah dibangun dan tidak menerbitkan izin pembangunan villa lagi di kawasan lindung dan resapan air.

Apa yang dilakukan oleh para pengembang di DAS Ciliwung Bagian Hulu, terutama yang termasuk kawasan puncak, itu hanyalah salah satu contoh di antara banyak praktik para pengembang di berbagai daerah lainnya di Indonesia, termasuk yang di daerah Jabotabek. Dalam banyak praktik para pengembang, “uang semir” (suapan) bagi para pejabat merupakan faktor yang memainkan peran penting. Artinya, izin diperjualbelikan, dan pelanggaran dibiarkan saja oleh para pejabat, asal KUHP (kasih uang habis perkara).

Meskipun sudah banyak peraturan yang mengatur dan menata DAS Ciliwung Bagian Hulu, namun pelanggaran pembangunan dan penggunaan lahan masih tetap berjalan terus. Ada beberapa penyebab terjadinya pelanggaran tersebut antara lain:

a) lemahnya kesadaran dan pengetahuan masyarakat tentang akibat degradasi lahan dan terganggunya ekologi;

b) lemahnya penegakan hukum;

c) lemahnya pengawasan dan pengendalian pembangunan di kawasan tersebut; dan

d) masih terjadi praktik-praktik KKN dalam berbagai skala.

Dengan banyaknya kawasan real estate yang diselenggarakan oleh para pengembang (developer), maka terjadi banyak juga pelanggaran-pelanggaran. Berbagai proyek real estate yang dibangun di masa lalu merupakan proyek “kongkalikong” antara para pengembang (atau para konglomerat) dengan para pejabat di banyak instansi yang berhak mengeluarkan berbagai izin. Jika tata ruang kawasan DAS Ciliwung Bagian Hulu yang merupakan kawasan resapan air sudah tersusun secara benar, Pemda setempat juga seharusnya konsekuen menegakkan aturan dengan melarang bangunan real estate berada di kawasan resapan air dan kawasan hutan lindung yang ada.

Perencanaan pembangunan juga sudah dilaksanakan oleh pihak Bappeda bagian tata ruang. Namun sayangnya masih terdapat penyimpangan dalam pelaksanaannya. Dalam hal ini Bappeda juga tidak mau disalahkan karena Bappeda berperan sebagai perencana, bukan pelaksana. Harus diakui sistem pengendalian tata ruang kita, baik daerah maupun skala nasional sangat lemah. (Danny, 2004)

Salah satu faktor penting dalam sistem pengendalian adalah dijadikannya pajak sebagai "senjata" pengendalian tata ruang. Sampai saat ini Pemda memandang

(30)

pajak hanya sebagai instrumen pendapatan bukan instrumen pengendalian. Padahal negara-negara maju sudah sejak lama menerapkan pajak sebagai instrumen pengendalian tata ruang mereka. Dalam kasus pengendalian DAS Ciliwung Bagian Hulu pada daerah yang termasuk Kawasan Puncak misalnya, bisa saja pemerintah menaikkan nilai pajak di Puncak. Sekarang ini, orang-orang yang membangun di kawasan Puncak dengan pajak yang terlalu murah. Pajak tanah sendiri hanya 1,5 persen,seandainya untuk pembangunan di Puncak dapat dibesarkan (Ernan, 2004).

Tidak hanya pajak tanah, tetapi hal ini juga dapat dilakukan pada PBB (Pajak Bumi dan Bangunan) yang ikut dinaikkan. Misalnya 10 kali lipat dari yang biasanya tercantum di awal pengurusan surat-surat ketika di Pemda. Dengan begitu, orang atau pengembang akan berpikir berkali-kali lipat sebelum membangun di Puncak. Selain itu, dalam pengurusan IMB (izin membangun bangunan) bukan sekadar dipersulit, tetapi biayanya juga dinaikkan sehingga untuk memperoleh IMB itu tidak semudah seperti sekarang. Sistem pengendalian sudah di-input oleh instrumen perpajakan, instrumen infrastruktur, dan instrumen-instrumen lainnya ini akan percuma bila budaya korupsi masih mengakar. Korupsi adalah masalah mendasar di tata ruang kita. Korupsi berada di setiap lapisan elemen pemerintah dan menjangkiti setiap lapisan masyarakat.

Sebagai kawasan penyangga dan merupakan daerah konservasi, seharusnya Pemerintah Pusat juga turut menunjukkan komitmen yang jelas dalam menjaga kawasan DAS Ciliwung Bagian Hulu, tidak hanya Pemkab Bogor saja. Namun, selama ini komitmen seperti itu tidak pernah terwujud. Bahkan, selama ini tidak jelas apa saja yang telah dilakukan untuk kawasan tersebut. Wajar saja muncul pandangan dan opini bahwa pemerintah kurang peduli dan tidak jelas komitmennya terhadap kawasan DAS Ciliwung Bagian Hulu. Kemudian, yang berkembang adalah penilaian miring yakni lebih mengedepankan perolehan pendapatan di kawasan tersebut dibandingkan menjaga lingkungannya.

Pemerintah tidak memiliki keberanian untuk menertibkan pembangunan villa di DAS Ciliwung Bagian Hulu. Padahal, pembangunan villa jelas dapat mengancam kawasan korservasi. Apalagi jumlah villa di kawasan tersebut begitu banyak dan menjadi beban bagi DAS Ciliwung Bagian Hulu. Seharusnya pemerintah mempunyai komitmen terhadap menjaga lingkungan DAS Ciliwung Bagian Hulu, harusnya berani bersikap dalam soal pembangunan villa. Misalnya, menyatakan bahwa DAS Ciliwung Bagian Hulu adalah daerah tertutup untuk pembangunan villa. Sikap seperti itu tidak

(31)

85

pernah ada. Sebaliknya, pembangunan villa semakin hari semakin bertambah sehingga muncul pandangan kurang baik bahwa pemerintah tidak peduli dalam menjaga kawasan DAS Ciliwung Bagian Hulu sebagai daerah konservasi. Jika dinyatakan DAS Ciliwung Bagian Hulu tertutup untuk pembangunan villa-villa dan sejenisnya, jelas akan berdampak positif dalam menjaga kelestarian kawasan DAS Ciliwung Bagian Hulu.

Villa yang berdiri tanpa IMB atau izin lainnya harus ditindak. Izin untuk membangun villa, hotel dan restoran juga harus dihentikan. Jika hal itu tidak dilakukan maka yang akan muncul adalah ancaman terhadap kawasan konservasi dan penyangga itu. Dampaknya sudah mulai dirasakan, yaitu jika terjadi banjir di daerah Jakarta maka yang dituding adalah kawasan hulunya (Puncak-Bogor). Kawasan DAS Ciliwung Bagian Hulu memang kian gundul dan melemah daya resap airnya. Hutan tropis yang lebat beralih menjadi hutan beton, sebagian besar milik orang-orang kaya Jakarta. Belum lagi ruang terbuka hijau digantikan villa, perumahan baik elit maupun sederhana, dan mal-mal yang terus menjamur.

Saat ini, tingkat kemampuan meresap air di DAS Ciliwung Bagian Hulu hanya sekitar 20%, sangat jauh dari angka ideal yakni 80%. Kemampuan meresap hanya 20% ini berarti 80% air langsung "dikirim" ke Jakarta, dan inilah yang membuat Jakarta tetap kebanjiran meskipun curah hujan di Jakarta normal atau sedang. Oleh karena itu penguatan hukum dan peraturan harus dilakukan agar fungsi utama DAS Ciliwung Bagian Hulu sebagai kawasan lindung dan resapan air kembali.

Sistem insentif dan disinsetif belum dijalankan dengan baik dalam Pengelolaan DAS Ciliwung Bagian Hulu. Hukum dan peraturan tentang kawasan lindung dan resapan air jelas-jelas sudah ada. Peraturan pembangunan di DAS Ciliwung Bagian Hulu juga sudah ditetapkan dalam Keppres. Denda akan pelanggaran peraturan juga sudah ditentukan. Namun sistem punishment tidak dilaksanakan oleh aparat pemerintah. Sebenarnya jika sistem punishment ini dihidupkan kembali maka pengendalian tata ruang di DAS Ciliwung Hulu dapat berjalan dengan baik. DAS Ciliwung Hulu dapat menjalankan fungsinya untuk mendukung kawasan bawahannya.

Kegagalan sistem insentif dan disinsentif ini menimbulkan pertanyaan, apakah pemerintah membutuhkan dorongan untuk menjalankan tugasnya dalam melayani masyarakat dan melestarikan lingkungan? Seperti yang kita ketahui bangsa kita masih mengidap penyakit lama, yaitu korupsi. Banyak kasus yang meloloskan terdakwanya

(32)

hanya dengan diberi imbalan yang besar. Pemerintah Daerah juga mudah disuap untuk meloloskan izin pembangunan yang sebenarnya menyalahi aturan. Sebenarnya bagaimanakah cara yang efektif untuk menegakkan hukum dan menjalankan

punishment dengan jujur dan adil.

C. WADAH KOORDINASI

Keberadaan wadah organisasi dalam pengelolaan DAS Ciliwung Bagian Hulu ini memegang peran yang sangat penting untuk mewujudkan pengendalian tata ruang. Wadah organisasi dapat berupa organisasi yang bersifat sektoral dalam kabupaten. Kabupaten yang berwenang dalam pengelolaan DAS Ciliwung Bagian Hulu adalah Pemerintah Kabupaten Bogor. Pemkab juga harus mengkoordinasikan kegiatannya dengan pemerintah yang berada di kawasan hilir (DKI Jakarta). Karena setiap kegiatan yang akan dilakukan di daerah hulu akan berdampak pada daerah hilirnya. Kegiatan harus dijalankan secara koordinatif melalui lintas sektor dan lintas kabupaten-kota.

Koordinasi juga tidak hanya dilakukan antar Pemerintah Kabupaten-Kota, tetapi juga dengan Pemerintah Pusat. Pemerintah Pusat telah membentuk badan pengelolaan sendiri untuk menangani masalah DAS. Badan tersebut antara lain adalah Balai Pengelolaan DAS Citarum-Ciliwung dan Induk Pelaksana Kegiatan Pengembangan Wilayah Sungai Ciliwung Cisadane (IPK-PWSCC). Kedua badan tersebut memiliki program kerjanya masing-masing. Misalnya saja Balai Pengelolaan DAS Ciliwung Cisadane yang memiliki fokus pada usaha rehabilitasi hutan dan lahan. Balai Pengelolaan DAS Citarum-Ciliwung merupakan badan pengelolaan asuhan Dinas Kehutanan sedangkan Induk Pelaksana Kegiatan Pengembangan Wilayah Ciliwung Cisadane dikelola dibawah naungan Departemen Pekerjaan Umum (PU). IPK-PWSCC selama ini lebih concern terhadap penanggulangan masalah banjir di DKI Jakarta dan sekitarnya. Salah satu proyek yang dikerjakannya bersama pihak swasta adalah proyek Banjir Kanal Timur (BKT).

Badan pengelolaan membuat program berdasarkan kebutuhan untuk pengelolaan DAS yang dapat mendukung usaha konservasi tanah dan air. Misalnya program tata ruang bagi permukiman, industri, pertanian, pengelolaan limbah domestik cair dan padat, penanggulangan lahan kritis, dan konservasi daerah resapan. Pengelolaan ini melibatkan aspek lingkungan, hidrologi dan hidrogeologi, pertanian, pekerjaan sipil, lingkungan, dan planologi.

(33)

87

D. Hubungan Pemerintah-Masyarakat

Masyarakat sebagai pengguna sumber daya merupakan salah satu penyebab terjadinya ketidakteraturan dalam pengelolaan DAS Ciliwung Bagian Hulu. Masyarakat perdesaan misalnya, membuka hutan untuk menciptakan lahan baru yang akan digunakan untuk bertani dan bercocok tanam. Masyarakat perdesaan juga membangun permukiman tanpa memperhatikan daya dukung lingkungan dan tidak mengetahui dampaknya bagi kawasan hilir sungai. Masyarakat pendatang juga sama saja, mereka membangun villa, real estate, usaha perhotelan, restoran seenaknya. Banyak bangunan yang dibangun dengan menyalahi aturan dan tanpa IMB.

Kegiatan pengrusakan hutan dilakukan masyarakat karena mereka kurang mengetahui program pemerintah. Rencana pengelolaan dan peraturan hanya diketahui oleh Bupati, Camat, dan Lurah tanpa disebarluaskan kepada masyarakat. Masyarakat yang memang gaya hidupnya demikian tidak mengetahui bahwa tindakan pembukaan lahan pertanian baru dapat mengganggu keseimbangan alam. Tindakan penggundulan hutan juga menyebabkan kualitas air menurun dan warna air sungai menjadi keruh dan tidak jernih lagi.

Program pemerintah hanya sebatas pelaksanaan saja, hanya bersifat proyek. Hal ini menyebabkan program yang dilakukan pemerintah tidak berkesinambungan. Pemerintah membangun tanpa diketahui maksudnya apa dan kurang disadari hasilnya oleh masyarakat. Hubungan pemerintah dan masyarakat tidak mendalam padahal menjaga kelestarian lingkungan bukan hanya tugas pemerintah saja. Untuk mengoptimalkan pewujudan otonomi daerah seharusnya masyarakat harus diikutsertakan dalam perumusan masalah sampai pengambilan keputusan.

E. Masyarakat

Upaya untuk memperbaiki kondisi lingkungan di sepanjang DAS Ciliwung ini sebenarnya tak terlalu sulit, yaitu hanya berupa perangkat peraturan. Bangunan-bangunan villa dan rumah peristirahatan yang sudah terlanjur dibangun tidak perlu dibongkar. Peraturan itu adalah keharusan bagi setiap bangunan di DAS tersebut untuk membuat sumur-sumur resapan, seperti yang sudah dilakukan di Jepang. Kalau keharusan itu bisa dikaitkan dengan IMB (Izin Mendirikan Bangunan), barangkali "sakitnya" Sungai Ciliwung yang membawa bencana buat orang Jakarta itu akan bisa sedikit berkurang.

(34)

Namun sayangnya walaupun sudah ada perangkat peraturan, usaha konservasi masih sulit dilaksanakan. Masalah yang dirasakan pada masyarakat yang tinggal di daerah hulu mencakup:

a) Kurangnya sosialisasi program kepada masyarakat; b) Peran serta masyarakat masih relatif rendah; dan

c) Budaya masyarakat yang tidak kondusif dengan konservasi (perilaku masyarakat kurang baik, budidaya pertanian tidak mengikuti kaidah konservasi tanah dan air).

Partisipasi masyarakat dalam pengelolaan DAS Ciliwung Bagian Hulu masih kurang. Pengelolaan DAS seharusnya menggunakan prinsip partisipatif dan mendukung kemitraan antara pemerintah dan masyarakat. Dalam usaha kemitraan, masyarakat perlu dilibatkan dalam merencanakan dan mengambil keputusan bersama dengan pemerintah. Masyarakat selama ini hanya sebagai pemanfaat program pemerintah saja. Partisipasi masyarakat dapat saja dilakukan melalui pengiriman wakil-wakil masyarakat dalam tubuh badan pengelolaan DAS yang dibangun oleh pemerintah. Pengelolaan DAS perlu mendapat perhatian yang serius berupa terobosan pemikiran bagi upaya percepatan pembangunan dan pengembangan ekonomi lokal yang melibatkan partisipasi masyarakat dalam proses dan pelaksanaan pengelolaannya. Terobosan pemikiran itu juga diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat itu sendiri.

Perilaku masyarakat saat ini juga kurang mendukung usaha konservasi. Selain membuka lahan pertanian baru, masyarakat juga membangun rumah di bantaran sungai. Pembangunan villa dan resort juga sering mengambil daerah pinggir sungai untuk menambah keindahan dan menumbuhkan sifat alaminya. Penghuni permukiman di bantaran sungai membuang limbah rumah tangganya langsung ke sungai. Sungai juga berfungsi sebagai tempat pembuangan sampah bagi mereka. Padahal hal ini akan mencemari sungai dan air membuat sampah yang dibuang sulit membusuk.

Masyarakat perlu mengetahui rencana pengelolaan dan peraturan yang diterapkan dalam pengendalian DAS Ciliwung Bagian Hulu. Badan pengelolaan yang dibentuk oleh pemerintah seharusnya dapat berfungsi sebagai sarana untuk mempublikasikan kegiatan penanganan DAS Ciliwung Bagian Hulu kepada masyarakat. Badan pengelolaan tidak hanya mengambil informasi dari masyarakat, tetapi juga mengembalikan lagi informasi kepada masyarakat. Masyarakat yang

(35)

89

memang tidak memiliki pengetahuan dan penguasaan teknologi konservasi harus diberitahu. Pelatihan dan penyuluhan mengenai pentingnya pelestarian kawasan DAS bagian hulu (terutama hutan) perlu diberikan kepada petani. Transform teknologi konservasi juga harus diberikan kepada masyarakat agar kegiatan mereka tidak mengganggu fungsi kawasan lindung dan resapan air.

F. Pendanaan

Aspek pendanaan dalam pengelolaan DAS Ciliwung Bagian Hulu juga masih menjadi persoalan. Pemerintah membutuhkan investasi dalam bentuk uang yang tidak sedikit. Pembiayaan pengelolaan DAS secara terpadu dapat menggunakan alokasi dana yang ada di setiap departemen yang terkait, baik yang berasal dari APBN, APBD, atau bantuan luar negeri dengan cara merubah diversifikasi dan distribusi sehingga lebih efektif dan efisien. Untuk dana yang berasal dari PAD, dana dapat diambil dari Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Alokasi Umum (DAU), atau Dana Alokasi Khusus (DAK).

Di samping itu pemerintah perlu mengikutsertakan masyarakat dan swasta untuk membiayai sektor pengelolaan DAS. Masyarakat dan swasta tentu mau diajak bekerjasama untuk membiayai pengelolaan DAS jika mereka memperoleh keuntungan, misalnya pembuatan bendungan yang bertujuan untuk tempat rekreasi dan sumber air bersih. Begitu pula dipikirkan mekanisme pembiayaan pengelolaan DAS melalui kebijaksanaan satu pintu termasuk juga untuk tindakan atau kegiatan yang akan dilakukan harus melalui penyaringan agar tidak terjadi tumpang tindih penelitian dan konflik kepentingan (conflict of interest).

Mekanisme pendanaan pengelolaan DAS Ciliwung Bagian Hulu juga harus dikoordinasikan antara wilayah yang satu dengan wilayah yang lain. DAS Ciliwung melewati dua propinsi, yaitu DKI Jakarta dan Jawa Barat. Hulu DAS Ciliwung terdapat di Kabupaten Bogor, daerah tengah melewati Kota Bogor, dan daerah hilir berada di Kota Jakarta. Oleh karena itu mekanisme pendanaannya dilakukan dengan cara lintas kabupaten. Pengelolaan DAS Ciliwung harus dilakukan secara terpadu atau terintegrasi agar tumpang tindih program tidak terjadi.

Gambar

TABEL IV.1  PENGGUNAAN LAHAN
TABEL IV.2
TABEL IV.3
TABEL IV.4
+2

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor eksternal yang mempengaruhi prestasi belajar matematika yang dialami siswa kelas VIII SMP Negeri 17

Jika informasi mengenai peraturan lainnya yang berlaku belum tersedia di bagian lain dalam lembaran data keselamatan bahan ini, maka hal ini akan dijelaskan dalam bagian ini.

a) Menunjang pelaksanaan Fungsi Teritorial dalam upaya membangun kesadaran pertahanan aspek darat. b) Mengurangi timbulnya sikap mental aparat kewilayahan

Royal Olive Body Scrub Body scrub yang mengangkat sel-sel kulit mati dengan ekstrak minyak zaitun murni yang membersihkan, menyegarkan, dan menjadikan kulit lembut.. | 200 ml

Penelietian mencakup empat perguruan tinggi Islam yaitu di UIN Sunan Kalijaga, Universitas Islam Indonesia Yogyakarta, Universitas Muhammadiyah Surakarta, dan Universitas Wahid

Hasil penelitian menyimpulkan bahwa: pertama, penyerahan mahar yang dilakukan sebelum akad nikah di KUA Kecamatan Prambon adalah penyerahan mahar oleh calon mempelai laki-laki

Perlakuan kompos azolla, pukan sapi, kambing, dan ayam diperkaya BP menghasilkan berat buah segar lebih tinggi dibanding kompos dan pukan tanpa diperkaya BP.. Perlakuan kompos dan

Besarnya nilai koefiensi menunjukkan bahwa apabila variabel kualitas layanan meningkat sebesar 1 satuan, maka pengunaan e-banking akan meningkat sebesar 0.231 satuan