• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III METODOLOGI PENELITIAN Obyek Penelitian Dan Pengkajian Akademis

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB III METODOLOGI PENELITIAN Obyek Penelitian Dan Pengkajian Akademis"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Obyek Penelitian Dan Pengkajian Akademis

Penelitian ini mencoba untuk memahami posisi media massa – majalah Men’s Obsession dalam dinamika politik Indonesia. Penelitian ini mencoba untuk menjelaskan bagaiamana representasi wajah politik Inonesia melalui gambaran tokoh politik Indonesia yang menjadi sampul depan majalah Men’s Obsession , serta menjelaskan bagaiamana ideologi majalah Men’s Obsession.

Adapun beberapa sampul yang dipilih oleh penulis sebagai obyek penelitian ini yakni, sampul depan majalah Men’s Obsession pada edisi tokoh Awang Faroek Ishak, edisi tokoh Surya Paloh dan edisi tokoh Jokowi-JK. Dipilihnya tiga sampul dengan profil tiga tokoh politik di atas tidak serta merta dilakukan begitu saja. Beberapa pertimbangan dan argumentasi penulis adalah kematangan pengalaman dalam perpolitikan Indonesia. Awang Faroek Ishak adalah seorang kepala daerah dari partai Golkar yang memulai karirnya dari sejak mahasiswa. Penulis menganggap bahwa Awang Faroek Ishak sebagai tokoh representasi daerah Indonesia sebagai tokoh politik yang penuh pengalaman politik. Berikutnya adalah Surya Paloh seorang pengusaha media dan perkebunan yang menjadi representasi tokoh politik secara nasional yang juga merupakan ketua umum partai Nasional Demokrat. Terakhir adalah

(2)

sosok Jokowi-JK yang merepresentasikan pemimpin nasional yang lahir dari proses demokrasi terbesar di negara ini, pilihan rakyat dalam pemilu 2014 dan menjadi centrum dinamika politik Indonesia hari ini. Selain itu, pemilihan ketiga sampul depan dengan figur profil tokoh politik di atas juga memiliki latar belakang yang sama, yakni seorang pengusha. Apabila dirunut dengan seksama, penulis membangun latar belakang penelitian ini dengan menggunakan paradigma kritis dimana media tidak saja berjalan pada koridor institusi sosial tetapi juga secara bersamaan berjalan pada roda institusi ekonomi.

Sesuai dengan rumusan masalah yang telah diajukan sebelumnya, pengkajian akademis penelitian ini berada dalam wacana kritis mengenai representasi teks media dan ideologi media. Penelitian ini akan dilaksanakan pada bulan April 2015 hingga bulan Juli 2015.

3.2. Paradigma Penelitian

Dalam penelitian ini, walaupun John Fiske berangkat dari paradigma kontruktivis semiotika Saussere, namun pada akhirnya unsur makna represntasi dan pandangan ideologis membawa studi ini ke ranah kritis. Selain itu, hal ini juga disebabkan dari aspek pengkajian ontologi, epistimologi dan aksiologinya. Untuk melihat gamabran jelas dari masing-masing paradigma penelitian, berikut adalah bagannya.

(3)

Gambar 3 : Peta Perbedaan Paradigma Penelitian

Gambar di atas menunjukkan bagaimana posisi paradigma peneltian ini ditentukan. Melalui pertanyaan mengenai ontologi, epistimologi, aksiologi dan metodologi, penelitian ini diyakini berparadigma kritis. Ontologi penelitian ini bersifat ‘rekayas’ atau dapat dikatakan bahwa bentuk realitas yang diteliti adalah ‘semu’. Bentuk epistimologi penelitian ini adalah bahwa posisi peneliti dengan obyek penelitian tidak dapat dipishkan, bahkan peneliti akan cenderung ‘meragukan’ obyek. Sifat skeptis ini membawa peneliti sebagai seorang aktivis yang mempertanyakan segala sesuatunya secara radikal. Aspek aksiologi penelitian ini bahwa nilai-nilai dan pengetahuan dari seorang peneliti akan menentukan posisi peneliti. Bahwa apakah penelitian akan akab berpihak pada satu opsi menjadi hal yang wajar saja, karena keterhubungan peneliti dengan obyek penelitian akan menjadi sistem integrasi yang akan membawa manfaat pada masyarakat. Sedangkan untuk pertanyaan meotodologi, hal ini membawa penelitia bahwa

(4)

mengetahui sebuah fokus penelitian tidak hanya dipandang secara gamblang, tetapi mesti didalami dan dihubungkan secara kolektif. Ini akan membawa penelitian semakin dalam, runcing dan tajam sehingga realitas dapat dipahami, dijelaskan dan dikuak, tidak sekedar diketahui saja.

Paradigma kritis berangkat dari cara melihat realitas dengan mengasumsikan bahwa selalu saja ada struktur sosial yang tidak adil. Adapun asumsi realitas yang dikemukakan oleh paradigma adalah asumsi realitas yang tidak netral namun dipengaruhi dan terikat oleh nilai serta kekuatan ekonomi, politik dan sosial. (Williamson, Teknik Decoding: Membedah Ideologi dan Makna)

Oleh sebab itu, proyek utama dari paradigma kritis adalah akan mempengaruhi bagaimana paradigma kritis mencoba membedah realitas dalam penelitian ilmiah, termasuk di dalamnya penelitian tentang teks politik. Ada beberapa karakteristik utama dalam paradigma kritis, yakni sebagai berikut:

1) Ciri pemahaman paradigma kritis tentang realitas. Realitas dalam pandangan kritis sering disebut dengan realitas semu. Realitas ini tidak alami tapi lebih karena bangun konstruk kekuatan sosial, politik dan ekonomi. Dalam pandangan paradigma kritis, realitas tidak berada dalam harmoni tapi lebih dalam situasi konflik dan pergulatan sosial.

(5)

2) Ciri tujuan penelitian paradigma kritis. Karakteristik menyolok dari tujuan paradigma kritis ada dan eksis adalah paradigma yang mengambil sikap untuk memberikan kritik, transformasi sosial, proses emansipasi dan penguatan sosial. Dengan demikian tujuan penelitian paradigma kritis adalah mengubah dunia yang tidak seimbang. Sehingga, seorang peneliti dalam paradigma kritis akan mungkin sangat terlibat dalam proses negasi relasi sosial yang nyata, membongkar mitos, menunjukkan bagaimana seharusnya dunia berada.

3) Ciri titik perhatian penelitian paradigma kritis. Titik perhatian penelitian paradigma kritis mengandaikan realitas yang dijembatani oleh nilai-nilai tertentu. Ini berarti bahwa ada hubungan yang erat antara peneliti dengan objek yang diteliti. Setidaknya peneliti ditempatkan dalam situasi bahwa ini menjadi aktivis, pembela atau aktor intelektual di balik proses transformasi sosial. Dari proses tersebut, dapat dikatakan bahwa etika dan pilihan moral bahkan suatu keberpihakan menjadi bagian yang tak terpisahkan dari analisis penelitian yang dibuat.

4) Pendasaran diri paradigma kritis mengenai cara dan metodologi penelitiannya. Paradigma kritis dalam hal ini menekankan penafsiran peneliti pada objek penelitiannya. Hal ini berarti ada proses dialogal dalam seluruh penelitian kritis. Dialog kritis ini digunakan untuk melihat secara lebih dalam kenyataan sosial yang

(6)

telah, sedang dan akan terjadi. (Thomas Linda dan Shan Wareing. 2007. Bahasa, Masyarakat dan Kekuasaan )

Dengan demikian, menempatkan penafsiran sosial peneliti untuk melihat bentuk representasi dalam setiap gejala, dalam hal ini jargon poitik. Maka, dalam paradigma kritis, penelitian yang bersangkutan tidak bisa menghindari unsur subjektivitas peneliti, dan hal ini bisa membuat perbedaan penafsiran gejala sosial dari peneliti lainnya. (Williamson, Teknik Decoding: Membedah Ideologi dan Makna)

3. 3. Metode Penelitian

Beranjak dari paradigma penelitian yang telah dijelaskan sebelumnya, perlu dipahami bahwa untuk menentukan metodologi penelitian, penulis merasa perlu menjelaskan bagaimana peta penelitian sosial sehingga ditemukan posisi semiotika sebagai sebuah studi penelitian komunikasi.

(7)

Gambar di atas memperlihatkan bahwa studi semiotika berada pada rana kualitatif dimana aliran teori-teori kritis dari mahzab fraknfurt berada. Gagasan mahzab frankfurt berdasarkan pada tokoh Karl Marx yang berpandangan bahwa realitas sosial tidak dapat dipahami secara terputus dengan realitas lainnya. Realitas sebagai kepentingan ekonomi, kekuasaan dan materialisme yang menjadikan keterasingan dianggap oleh Marx dan tokoh-tokoh kritis lainnya menggerakkan roda kehidupan masyarakat. Pemaknaan terhadap realitas dianggap penting untuk dipahami secara holistik. Berkenaan dengan hal ini, studi semiotika menjadi kajian yang penting dimana bahasa merupakan salah satu realitas yang diasumsikan memiliki kekuatan dan memiliki kepentingan. Dalam perkembangannya, bahasa tidak lagi dipandang hanya sebagai bentuk ujaran dan tulisan, tetapi bertransformasi menjadi segala bentuk teks yang memiliki pesan dan makna.

John Fiske adalah salah satu tokoh yang memfokuskan kajiannya kepada teks media. Menurut John Fiske, televisi sebagai anak kandung modernitas telah melakukan praktek-praktek represntasi dan idologi. Hal ini dipahami sebagai bentuk ‘pembodohan’ secara massal, dikarenakan televisi sebagai sarana persuasif cenderung tidak ‘jujur’ dalam menyampaikan informasi – selalu ada kepentingan ekonomi dan politik - .

(8)

Untuk melihat lebih lanjut bagaimana studi semiotika dipahami sebagai studi komunikasi yang berfokus pada pemaknaan sebuah tanda. Pemaknaan ini dapat dipahami dari struktur-struktur tanda dalam setiap realitas. Berikut adalah beberapa perbedaan fokus kajian diantara tokoh-tokoh semiotika:

Tokoh Semiotika

Fokus Kajian Teknik Analisis Contoh

Penggunaan Ferdinan De Saussure Penggunaan bahasa sebagai sebuah sistem yang terstruktur (strukturaisme) yang terbagi atas, signified - signfier, langue – parole, form – content, sinkronik – diakronik dan sintagmatik – paradigmatik.

Setiap tanda terdiri dari dua unsur yang mebangunnya, yakni penanda dan petanda. Untuk lebih jelasnya, dapat dilihat pada gambar berikut:

Untuk menganalis dan memahami teks media massa dalam bentuk redaksi dan ujaran. Biasanya digunakan untuk membedah keberpihakan media dalam memberitakan sebuah peristiwa. Charles Sanders Pierce Penandaan yang bersifat menyeluruh dari entitas-entitas (representament) terhadap obyek. Setiap tanda merupakan representament yang mewakili sesuatu yang lain. Hasil dari representament tersebut disebut interpretant yang akan mengacu pada obyek tertentu.

Setiap obyek mewakili sesuatu dan tanda. Dan setiap proses penandaan, memiliki 3

elemen, yakni indeks, icon dan simbol. Berikut gambar proses penandaan triadik Pierce:

Untuk menganalisis teks atau realitas melalui struktur penandaan yang mewakili obyek lainnya. Biasanya digunakan untuk membedah obyek atau peristiwa dari unsur2 sebuah redaksi. Tanda (sign) Penanda (signifier) Petanda (signified) Interpretant Represen-tament Obyek)

(9)

Roland Barthez

Pada pemaknaan tingkat dua atau lebih dalam. Setiap teks memiliki pesan tersembunyi yang disebut mitos. Hal ini lahir dari pemakaan tingkat dua yang disebut sebagai makna konotasi. Menurut Barthez, setiap teks yang melahirkon mitis terdapat pandangan ideologis di dalamnya.

Setiap teks memiliki makna denotasi, makna konotasi dan mitos. Berikut gambar teknik pemakaan dua tahap Roland Barthez : Budaya Untuk menganalisis teks atau fenomena di masyarakat dalam makna yang lebih dalam. Biasanya digunakan untuk mencurigai adanya upaya penyebaran ideologi dalam bentuk tersembunyi. Dalam hal ini, digunakan untuk melihat bagaiamana kekuasaan dipraktekkan. John Fiske Pada pemaknaan teks di media massa. Baik itu televisi maupun media cetak. John Fiske menyebut unsur representasi yang dihadirkan oleh media menyembunyikan pesan ideologi. Bentuk representasi ini dapat dilihat atau dianalisis melalui pemaknaan unsur-unsur visual, seperti mimik, ekspresi, warna dan sudut pandang.

Setiap teks yang dihadirkan oleh media hanya

merepresentasikan realitas, tidak dapat menggambarkan seutuhnya. Maka dari itu, setiap unsur dalam mendukung representasi dicurigai mengadung muatan-muatan kepentingan, terutama penyebaran ideologi. Berikut adalah gambara teknik analisis semiotika Fiske:

Untuk menganalis dan memahami teks media massa dalam bentuk visual. Hal-hal teknis dalam menyusun pesan visual tersebut menjadi penting, karena dapat dijadikan alat untuk memahami ideologi. Biasanya digunakan untuk melihat bagaimana ideologi sebuah media. Makna Konotasi Mitos Makna Denotas Represe ntasi Ideologi Realitas

(10)

Umberto Eco

Menurut Eco, semua produk budaya merupakan proses semiosis karena di dalamnya terdapat kode tunggal dimana satu sistem unsur dapat diterjemhkan ke unsur sistem lainnya dan setiap kode memiliki konteks (sosial dan kultural). Untuk itu, theory of lie

(kedustaan) digagas oleh Eco dimana hal ini hampir sama dengan sistem triadik (interpretant) Pierce.

Tidak banyak literatur yang dapat digunakan untuk memahami teknik analisis penandaan oleh Eco. Tetapi, berdasarkan gagasan teori kedustaan, bahwa setiap teks yang ditampilkan memiliki realitas sesungguhnya dan secara bersamaan memiliki realitas yang bukan

sesungguhnya. Hal ini hampir sama dengan konsep

hyperealitas Baudrillard. Berikut adalah gambarnya:

Untuk menganalis dan memahami teks media massa dalam bentuk redaksi dan ujaran. Biasanya digunakan untuk membedah keberpihakan media dalam memberitakan sebuah peristiwa

Berkenaan dengan studi semiotik, pada dasarnya pusat perhatian pendekatan semiotik adalah pada tanda (sign). Menurut John Fiske, terdapat tiga area penting dalam studi semiotik, yakni:

1) Tanda, dalam hal ini berkaitan dengan beragam tanda yang berbeda, seperti cara mengantarkan makna serta cara menghubungkan dengan orang yang menggunakannya. Tanda adalah perbuatan manusia dan hanya bisa dimengerti oleh orang-orang yang menggunakannya.

2) Kode atau sistem di mana lambang-lambang disusun. Studi in meliputi bagaimana beragam kode yang berbeda dibangun untuk

Teks media Kebenaran realitas Kedustaan realitas media

(11)

mempertemukan dengan kebutuhan masyarakat dalam sebuah kebudayaan.

3) Kebudayaan dimana kode dan lambang itu beroperasi (Fiske, 1990:40 dalam Alex Sobur 2001:94).

Tanda, kode atau sistem dan kebudayaan tidak akan bisa dan mudah dipahami tanpa merujuk pada objek-objek yang dijadikan tanda, kode atau sistem dan dalam kebudayaan yang sama. Walaupun ada kebudayaan universal dengan nilai-nilai, tanda-tanda, dan kode-kode atau sistem universal, maka objek-objek yang yag menjadikan rujukannya haruslah bersifat universal pula. Sebagai contoh adalah bendera. Setiap negara di dunia pasti mempunyai bendera yang terbuat dari selembar kain. Orang tidak akan bisa dan mudah mengerti in bendera Indonesia, bendera Amerika, tanpa menunjuk pada rujukan yang disebutkan. Orang menyebut bendera Indonesia sambil mengangkat atau menunjukkan bendera Indonesia dengan warna merah di atas dan warna putih di bawah. Bila orang menyebutkan bendera Indonesia sambil mengangkat atau menunjukkan bukan bendera Indonesia, melainkan bendera Amerika (rujukan salah) dan persepsi bendera dengan banyak bintangnya itu bendera Indonesia. Maka suatu saat orang itu menyebut bendera Indonesia dengan mengangkat atau menunjuk bendera Amerika akan dinyatakan salah, karena yang dimaksud bendera adalah warna merah di atas dan putih di bawah, bukan bendera yang ada bintannya. Maka rujukan menjadi sangat penting dalam studi semiotika.

(12)

Dari ketiga bidang studi utama semiotika diatas, bidang ketigalah yang akan digunakan dalam penelitian ini.hal ini mengingat bahwa semiotika berusaha untuk menggali hakikat system tanda yang beranjak keluar kaidah tata bahasa dan sitaksis dan yang mengatur arti teks yang rumit, tersembunyi, dan tergantung pada kebudayaan.

3.4 Unit Analisis Data

Dalam penelitian kualitatif, data diperoleh dari berbagai sumber dengan menggunakan teknik pengumpulan data yang bermacam-macam, dan dilakukan secara terus-menerus hingga data dianggap jenuh atau telah berulang-ulang.

Unit analisis dalam penelitian ini adalah tiga edisi yang telah terbit pada awal tahun ini, yang menampilkan dua sosok tokoh politik yakni Surya Paloh (Ketua Umum Partai Nasional Demokrat) dan Awang Faroek Ishak ( Gubernur Provinsi Kalimantan Timur) serta satu edisi sebagai penutup tahun 2014 yang menggmbarkan dua tokoh negarawan yang sekaligus menjadi Presiden dan wakil presiden RI yang ke-7, Joko Widodo – HM. Jusuf kalla.

Karena penelitian ini menggunakan pisau analaisis semiotika john Fiske, maka unit analisis data berupa 3 edisi sampul depan yang menggambarkan tokoh politik Indonesia akan disubsitusi kedalam kategorisasi visual dan redaksi. Berikut adalah tabel unit analisis data penelitian:

(13)

Tabel 4 : Unit Analisis Data Penelitian

Realitas Representasi Ideologi

Terdiri dari peristiwa yang ditandakan (encoded) seperti, tampilan pakaian, ekpresi wajah, perawakan, gestur,dan setting peristiwa.

Terdiri dari realitas yang terencode, seperti tanda-tanda visual – sudut gambar,

pencahayaan, proposisi, kalimat, warna, dan redaksi.

Pengorganisasian elemen-elemen dalam nilai-nilai masyarakat yg berlaku, seperti gender, ras, patriarki, materialisme kelas, individualisme dll

3.5. Teknik Analisis Data (Analisis Semiotika John Fiske)

Penelitian ini menggunakan anaisisi semiotika dari John Fiske yang mengemukakan mengenai kode-kode visual pada media massa. Menueurt Fiske, kode-kode yang digunakan dalam media massa merupakan satu ketrhubungan dan memiliki makna. Selain itu menurut John Fiske, sebuah realitas tidak begitu saja muncul dari kode-kode yang digunkan oleh media, melainkan dikelola melalui penginderaan dan refernsi yang dimiliki oleh masyarakat. ( Nawiroh Vera 2002:35).

Beberapa hal yang mesti dijadikan pedoman dan sistematisasi bagi penulis dalam menganalisis data menggunakan teknik semiotika John Fiske adalah sebagai berikut :

(14)

1) Level Realitas

Kode kode sosial yang termasuk dalam level pertama ini yakni meliputi appearance (penampilan), dress (kostum), make up (riasan), environment (lingkungan), behaviour (perilaku), speech (gaya bicara), gesture (gerakan), expression (ekspresi).

2) Level Representasi

Kode kode yang termasuk dalam level kedua ini berkaitan dengan kode kode teknik,seperti camera (kamera), lighting (pencahayaan), editing (pertelevisian), music (Musik) dan sound (suara).mencakup kode kode representasi seperti narrative (narasi), conflict (konflik), character (karakter), action (aksi), dialogue (dialog), setting (latar),dan casting (pemeran).

3) Level Ideologi

Terorganisir dalam penerimaan hubungan sosial oleh kode kode ideology seperti :individualis, patriaki, ras, kelas, materialisme, kapitalisme, dan lain lain.

3.6 Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini dilakukan penulis berdasarkan kebutuhan analisa dan pengkajian. Pengumpulan data tersebut sudah dilakukan sejak penulis menentukan permasalahan yang sedang dikaji. Dalam penelitian ini, teknik yang digunakan adalah sebagai berikut:

(15)

a. Pengumpulan data berupa kata, susanan redaksi, kalimat dan gambar yang diperoleh dari sampul depan majalah Men’s Obsession

b. Identifikasi data menurut kebutuhan pengkajian analisis yang membantu menemukan beberapa kesimpulan yang menarik untuk diperdalam

c. Pengumpulan dan pengkajian literatur riview yang sesuai dengan hasil identifikasi data pada tahap sebelumnya.

Gambar

Gambar 3 : Peta Perbedaan Paradigma Penelitian
Gambar 4 : Posisi Studi Semiotika Pada Penelitian Sosial
Tabel 3 : Perbedaan Fokus Kajian dan Teknik Analisis Tokoh Semiotika
Tabel 4 : Unit Analisis Data Penelitian

Referensi

Dokumen terkait

IPembangunan IKBIM seperti pompa, gravitasi dan embung di lokasi yang diteliti layak secara finansial dengan nilai IRR yang cukup tinggi, terutama pada jenis

Hasil perhitungan uji beda rata-rata pendapatan usahatani padi organik antara peserta SL-PTT dan non peserta SL-PTT diperoleh nilai signifikan lebih dari 0,05

Kedudukan Polisi sebagai alat negara semakin diperkuat dengan diun- dangkannya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia

Terima kasih yang sebesar-besarnya juga penulis ucapkan kepada Astika Yuna Sitorus,SP telah banyak membantu penulis mulai dari awal masuk kuliah sampai saat ini dan khususnya

Dalam penelitian ini, kuesioner yang disusun tersebut meliputi pertanyaan terkait dengan variabel keberagaman produk, kualitas pelayanan, dan keputusan pembelian

Formulir Bimbingan Proposal merupakan formulir kontrol proses pelaksanaan bimbingan dari mahasiswa kepada calon pembimbing proposal. Formulir ini diisi oleh mahasiwa untuk

Compound Tool atau perkakas tekan gabungan adalah perkakas yang dirancang utuk melakukan dua atau lebih jenis pekerjaan dalam satu stasiun kerja, atau mengerjakan satu jenis