• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA. Beberapa ahli mendefinisikan istilah mangrove secara berbeda-beda,

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TINJAUAN PUSTAKA. Beberapa ahli mendefinisikan istilah mangrove secara berbeda-beda,"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN PUSTAKA

Hutan Mangrove

Beberapa ahli mendefinisikan istilah “mangrove” secara berbeda-beda, namun pada dasarnya merujuk pada hal yang sama. Menurut Soerianegara dalam Noor et al. (2006) mendefinisikan hutan mangrove sebagai hutan yang terutama tumbuh pada tanah lumpur aluvial di daerah pantai dan muara sungai yang dipengaruhi pasang surut air laut, dan terdiri atas jenis-jenis pohon Aicennia, Sonneratia, Rhizophora, Bruguiera, Ceriops, Lumnitzera, Excoecaria, Xylocarpus, Aegiceras, Scyphyphora dan Nypa.

Hutan mangrove merupakan suatu tipe hutan yang tumbuh di daerah pasang surut (terutama di daerah relindung, laguna, muara sungai) yang tergenang pada saat surut yang komunitas tumbuhan bertoleransi terhadap garam. Hutan mangrove sering disebut juga hutan pasang surut, hutan payau atau hutan bakau. Istilah bakau sebenarnya hanya merupakan nama dari salah satu jenis tumbuhan yang menyusun hutan mangrove yaitu Rhizophora sp. (Kusmana, 1995).

Hutan mangrove adalah kelompok jenis tumbuhan yang tumbuh di sepanjang garis pantai tropis sampai sub-tropis yang memiliki fungsi istimewa di suatu lingkungan yang mengandung garam dan bentuk lahan berupa pantai dengan reaksi tanah anaerob. Secara ringkas hutan mangrove dapat didefenisikan sebagai suatu tipe hutan yang tumbuh di daerah pasang surut (terutama di pantai yang terlindung, laguna, muara sungai) yang tergenang pasang dan bebas dari genangan pada saat surut yang komunitas tumbuhnya bertoleransi terhadap garam (Santoso et al.dalam Irmayeni, 2010).

(2)

Tumbuhan mangrove memiliki kemampuan khusus untuk beradaptasi dengan kondisi lingkungan yang ekstrim, seperti kondisi tanah yang tergenang, kadar garam yang tinggi serta kondisi tanah yang kurang stabil. Dengan kondisi lingkungan seperti itu, beberapa jenis mangrove mengembangkan mekanisme yang memungkinkan secara aktif mengeluarkan garam dari jaringan, sementara yang lainnya mengembangkan sistem akar napas untuk membantu memperoleh oksigen bagi sistem perakarannya. Beberapa jenis mangrove berkembang dengan buah yang sudah berkecambah sewaktu masih di pohon induknya (vivipar), seperti Kandelia, Bruguiera, Ceriops dan Rhizophora (Noor et al., 2006).

Habitat dan Struktur Vegetasi Mangrove

Habitat mangrove seringkali ditemukan di tempat pertemuan antara muara sungai dan air laut yang kemudian menjadi pelindung daratan dari gelombang laut yang besar. Sungai mengalirkan air tawar untuk mangrove dan pada saat pasang, pohon mangrove dikelilingi oleh air payau. Hutan mangrove ditemukan di sepanjang pantai daerah tropis dan subtropis, antara 32º Lintang utara dan 38º Lintang Selatan. Hidup pada suhu dari 19º sampai 40º C dengan toleransi fluktuasi tidak lebih dari 10º C (Irwanto, 2006).

Vegetasi mangrove secara khas memperlihatkan adanya pola zonasi. Sebagian besar jenis-jenis mangrove tumbuh dengan baik pada tanah berlumpur, terutama di daerah dimana endapan lumpur terakumulasi. Kondisi salinitas sangat mempengaruhi komposisi mangrove. Berbagai jenis mangrove mengatasi kadar salinitas dengan cara yang berbeda-beda. Beberapa diantaranya secara selektif mampu menghindari penyerapan garam dari media tumbuhnya, sementara

(3)

beberapa jenis yang lainnya mampu mengeluarkan garam dari kelenjar khusus pada daunnya (Noor et al., 2006).

Hutan mangrove memiliki formasi yang khas daerah tropika. Hutan mangrove terdapat di pantai rendah dan tenang, berlumpur atau sedikit berpasir yang mendapat pengaruh pasang surut air laut, dimana tidak ada ombak keras. Hutan ini disebut juga hutan bakau karena dominasi tegakannya jenis bakau atau disebut hutan payau karena hidup di lokasi yang payau akibat mendapat buangan air dari sungai atau air tanah. Pohon-pohon yang tumbuh pada hutan mangrove umumnya berdaun tebal dan mengkilat karena adaptasi evavotranspirasi. Tajuk pepohonan hanya satu dengan ketinggian umumnya rata-rata dapat mencapai 50 m. Komposisi hutan bakau terdiri atas asosiasi beberapa jenis tanaman yang khas mulai dari pantai menuju ke darat (Arief, 2001).

Jenis-jenis tumbuhan hutan mangrove dapat digolongkan ke dalam sejumlah jalur tertentu sesuai dengan tingkat toleransinya terhadap kadar garam dan fluktuasi permukaan air laut di pantai, dan jalur seperti itu disebut juga zonasi vegetasi. Jalur-jalur atau zonasi vegetasi hutan mangrove masing-masing disebutkan secara berurutan dari yang paling dekat dengan laut ke arah darat sebagai berikut (Indriyanto dalam Syahputri, 2010):

1. Jalur pedada yang terbentuk oleh jenis tumbuhan Avicenia spp. dan Sonneratia spp.

2. Jalur bakau yang terbentuk oleh jenis tumbuhan Rhizophora spp. Ceriops spp. dan Xylocarpus spp.

(4)

3. Jalur tancang yang terbentuk oleh jenis tumbuhan Bruguera spp. dan kadang-kadang juga dijumpai Xylocarpus spp., kandelia spp. dan Aegiceras spp.

4. Jalur transisi antar hutan mngrove dengan hutan dataran rendah yang umunya adalah hutan nipah dengan jenis Nypa fruticans.

Vegetasi mangrove dapat berupa habitus, pohon, herba atau semak, termasuk paku-pakuan dan palem, yang umum terlihat di rataan lumpur, tepian sungai di pesisir-pesisir tropika Indonesia (Saputro et al., 2009).

Menurut Noor et al (2006) secara sederhana, mangrove umumnya tumbuh dalam 4 zona, yaitu pada daerah terbuka, daerah tengah, daerah yang memiliki sungai berair payau sampai hampir tawar, serta daerah ke arah daratan yang memiliki air tawar.

1. Mangrove terbuka, yaitu mangrove yang berada pada bagian yang berhadapan dengan laut.

2. Mangrove tengah, yaitu mangrove yang terletak di belakang mangrove zona terbuka. Di zona ini biasanya didominasi oleh jenis Rhizophora. 3. Mangrove payau, yaitu mangrove yang berada di sepanjang sungai berair

payau hingga hampir tawar. Di zona ini biasanya didominasi oleh komunitas Nypa atau Sonneratia.

4. Mangrove daratan, yaitu mangrove yang berada di zona perairan payau atau hampir tawar di belakang jalur hijau mangrove yang sebenarnya. Jenis-jenis yang umum ditemukan pada zona ini termasuk Ficus microcarpus (F. retusa), Intsia bijuga, N. fruticans, Lumnitzera racemosa, Pandanus sp. dan Xylocarpus moluccensis (Noor et al., 2006).

(5)

Flora dan Keragamannya

Di Indonesia sendiri, terdapat perbedaan dalam hal keragaman jenis mangrove antara satu pulau dengan pulau lainnya. Dari 202 jenis mangrove yang telah diketahui, 166 jenis terdapat di Jawa, 157 jenis di Sumatera, 150 jenis di Kalimantan, 142 jenis di Irian Jaya, 135 jenis di Sulawesi, 133 jenis di Maluku dan 120 jenis di Kepulauan Sunda Kecil. Satu hal yang harus diperhatikan adalah bahwa pembangunan yang mengakibatkan kerusakan dan peralihan peruntukan lahan mangrove telah terjadi di mana-mana. Hal ini berarti jenis-jenis yang tercatat dalam daftar diatas kemungkinan sebenarnya sudah tidak ditemukan di pulau tertentu (Noor et al., 2006).

Untuk kepentingan konservasi serta pengelolaan sumberdaya alam, jenis-jenis yang bersifat langka dan endemik haruslah diberi perhatian lebih. Hanya sedikit jenis mangrove yang bersifat endemik di Indonesia. Hal tersebut kemungkinan disebabkan karena buah mangrove mudah terbawa oleh gelombang dan tumbuh di tempat lain. Selain Amyema anisomeres (mangrove sejati), masih terdapat 2 jenis endemik lainnya (mangrove ikutan), yaitu Ixora timorensis (Rubiaceae) yang merupakan jenis tumbuhan kecil yang diketahui berada di Pulau Jawa dan Kepulauan Sunda Kecil, serta Rhododendron brookeanum (Ericaceae) yang merupakan epifit berkayu yang diketahui berada di Sumatera dan Kalimantan.

Dalam hal kelangkaan, di Indonesia terdapat 14 jenis mangrove yang langka, yaitu (Noor et al., 2009):

1. Lima jenis umum setempat tetapi langka secara global, sehingga berstatus rentan dan memerlukan perhatian khusus untuk pengelolaannya.

(6)

Jenis-jenisnya adalah Ceriops decandra, Scyphiphora hydrophyllacea, Quassia indica, Sonneratia ovata, Rhododendron brookeanum (dari 2 sub-jenis, hanya satu terkoleksi).

2. Lima jenis yang langka di Indonesia tetapi umum di tempat lainnya, sehingga secara global tidak memerlukan pengelolaan khusus. Jenis-jenis tersebut adalah Eleocharis parvula, Fimbristylis sieberiana, Sporobolus virginicus, Eleocharis spiralis dan Scirpus litoralis.

3. Empat jenis sisanya berstatus langka secara global, sehingga memerlukan pengelolaan khusus untuk menjamin kelangsungan hidupnya. Jenis-jenis tersebut adalah Amyema anisomeres, Oberonia rhizophoreti, Kandelia candel dan Nephrolepis acutifolia. Dua diantaranya, A. anisomeres dan N.acutifolia hanya terkoleksi satu kali, sehingga hanya diketahui tipe setempat saja.

Fungsi dan Manfaat Hutan Mangrove

Ekosistem hutan mangrove memiliki fungsi ekologis, ekonomis dan sosial yang penting dalam pembangunan, khususnya di wilayah pesisir. Pemanfaatan hutan mangrove dimanfaatkan terutama sebagai penghasil kayu untuk bahan kontruksi, kayu bakar dan bahan baku untuk membuat arang dan juga utnuk dibuat pulp. Di samping itu ekosistem mangrove dimanfaatkan sebagai pemasok larva ikan dan udang alam (LPP Mangrove, 2008).

Fungsi ekologis hutan mangrove antara lain : pelindung garis pantai, mencegah intrusi air laut, habitat (tempat tinggal), tempat mencari makan (feeding ground), tempat asuhan dan pembesaran (nursery ground), tempat pemijahan (spawning ground) bagi aneka biota perairan, serta sebagai pengatur iklim mikro.

(7)

Sedangkan fungsi ekonominya antara lain: penghasil keperluan rumah tangga, penghasil keperluan industri, dan penghasil bibit (Rochana, 2009).

Hutan mangrove mempunyai fungsi-fungsi penting dan fungsi ganda, antara lain sebgai berikut;

1. Fungsi fisik, yakni sebagai pencegahan proses intrusi (pembebasan air laut) dan proses abrasi (erosi air laut).

2. Fungsi biologis, yakni sebagai tempat pembenihan ikan, udang, kerang dan tempat bersarang burung-burung serta berbagai jenis biota. Penghasil bahan pelapukan sebagai sumber makanan penting bagi kehidupan sekitar lingkungannya.

3. Fungsi kimia, yakni sebagai tempat proses dekomposisi bahan organik dan proses-proses kimia lainya yang berkaitan dengan tanah mangrove.

4. Ekonomi, yakni sebagai sumber bahan bakar dan bangunan, lahan pertanian dan perikanan, obat-obatan , dan usaha-usaha pembibitan.

Secara garis besar manfaat hutan mangrove dapat dibagi dalam dua bagian, yaitu;

1. Manfaat ekonomis yang terdiri atas:

a. Hasil berupa kayu (kayu kontruksi, kayu bakar, arang, serpihan kayu untuk bubur kayu, tiang/pancang).

b. Hasil bukan kayu. Hasil hutan ikutan (non kayu) dan lahan (Ecotourisme dan lahan budidaya)

2. Manfaat ekologi, yang terdiri atas berbagai fungsi perlindungan lingkungan ekosistem daratan dan lautan maupun habitat berbagai jenis fauna.

(8)

Hasil hutan mangrove non kayu sampai dengan sekarang belum banyak dikembangkan di Indonesia. Padahal apabila dikaji dengan baik, potensi sumberdaya hutan mangrove non kayu di Indonesia sangat besar dan dapat mendukung pengelolaan hutan mangrove (Junaidi dalam Irmayeni 2010).

Hutan Mangrove di Indonesia

Tekanan terhadap mangrove meningkat sejak tahun 1982. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal yang memiliki efek “domino” seperti pertambahan populasi manusia, peningkatan produksi pangan, peningkatan kebutuhan bahan industri dan peningkatan alih fungsi lahan mangrove menjadi lahan pemukiman, pertanian atau budidaya. Oleh karena itu, proporsi luas hutan mangrove menurun tajam. Dewasa ini diera teknologi modern diperkenalkan banyak bahan penghasil chip atau pulp dieksploitasi dari hutan mangrove. Namun, kebanyakan dari kegiatan eksploitasi tersebut tidak diikuti oleh pertanggungjawaban atas kerusakannya. Akhirnya banyak di antara lahan-lahan konversi tersebut ditinggalkan begitu saja setelah tidak produktif lagi dan berubah menjadi lahan terlantar dan kritis (Saputro et al., 2009).

Di Indonesia perkiraan luas mangrove juga sangat beragam. Luas mangrove Indonesia 2,5 juta hektar, Direktorat Bina Program INTAG dalam Noor et al (2006) menyebutkan 3.5 juta hektar dan Spalding, et al dalam Noor et al (2006) menyebutkan seluas 4,5 juta hektar. Dengan areal seluas 3,5 juta hektar, Indonesia merupakan tempat mangrove terluas di dunia (18 - 23%) melebihi Brazil (1,3 juta ha), Nigeria (1,1 juta ha) dan Australia (0,97 juta ha).

Umumnya mangrove dapat ditemukan di seluruh kepulauan Indonesia. Mangrove terluas terdapat di Irian Jaya sekitar 1.350.600 ha (38%), Kalimantan

(9)

978.200 ha (28 %) dan Sumatera 673.300 ha (19%). Di daerah-daerah ini dan juga daerah lainnya, mangrove tumbuh dan berkembang dengan baik pada pantai yang memiliki sungai yang besar dan terlindung. Walaupun mangrove dapat tumbuh di sistem lingkungan lain di daerah pesisir, perkembangan yang paling pesat tercatat di daerah tersebut (Noor et al., 2006).

Tekanan yang berlebihan terhadap kawasan hutan mangrove untuk berbagai kepentingan tanpa mengindahkan kaidah-kaidah pelestarian alam telah mengakibatkan terjadinya penurunan luas hutan mangrove yang cukup drastis. Berdasarkan data tahun 1984, Indonesia memiliki mangrove dalam kawasan hutan seluas 4,25 juta ha, kemudian berdasar hasil interpretasi citra landsat (1992) luasnya tersisa 3,812 juta ha. Namun demikian, lebih dari setengah hutan mangrove yang ada (57,6 %), ternyata dalam kondisi rusak parah, di antaranya 1,6 juta ha dalam kawasan hutan dan 3,7 juta ha di luar kawasan hutan. Kecepatan kerusakan mangrove mencapai 530.000 ha/th (Anwar dan Gunawan, 2006).

Dalam hal struktur, mangrove di Indonesia lebih bervariasi bila dibandingkan dengan daerah lainnya. Dapat ditemukan mulai dari tegakan Avicennia marina dengan ketinggian 1 - 2 meter pada pantai yang tergenang air laut, hingga tegakan campuran Bruguiera-Rhizophora-Ceriops dengan ketinggian lebih dari 30 meter (misalnya, di Sulawesi Selatan). Di daerah pantai yang terbuka, dapat ditemukan Sonneratia alba dan Avicennia alba, sementara itu di sepanjang sungai yang memiliki kadar salinitas yang lebih rendah umumnya ditemukan N. fruticans dan S. caseolaris. Umumnya tegakan mangrove jarang ditemukan yang rendah kecuali mangrove anakan dan beberapa jenis semak seperti Acanthus ilicifolius dan Acrostichum (Noor et al., 2006).

(10)

Sejauh ini di Indonesia tercatat setidaknya 202 jenis tumbuhan mangrove, meliputi 89 jenis pohon, 5 jenis palma, 19 jenis pemanjat, 44 jenis herba tanah, 44 jenis epifit dan 1 jenis paku. Dari 202 jenis tersebut, 43 jenis (diantaranya 33 jenis pohon dan beberapa jenis perdu) ditemukan sebagai mangrove sejati (true mangrove), sementara jenis lain ditemukan disekitar mangrove dan dikenal sebagai jenis mangrove ikutan (mangrove asociate). Di seluruh dunia, sebanyak 60 jenis tumbuhan mangrove sejati. Dengan demikian terlihat bahwa Indonesia memiliki keragaman jenis yang tinggi.

Pengelolaan Hutan Mangrove di Indonesia

Menurut Rochana (2009) pengelolaan mangrove di Indonesia didasarkan atas tiga tahapan utama (isu-isu). Isu-isu tersebut adalah : isu ekologi dan sosial ekonomi, kelembagaan dan perangkat hukum, serta strategi dan pelaksanaan rencana.

1. Isu ekologi dan isu sosial ekonomi

Isu ekologi meliputi dampak ekologis intervensi manusia terhadap ekosistem mangrove. Berbagai dampak kegiatan manusia terhadap ekosistem mangrove harus diidentifikasi, baik yang telah terjadi maupun yang akan terjadi di kemudian hari. Adapun isu sosial ekonomi mencakup aspek kebiasaan manusia (terutama masyarakat sekitar hutan mangrove) dalam memanfaatkan sumberdaya mangrove. Begitu pula kegiatan industri, tambak, perikanan tangkap, pembuangan limbah, dan sebagainya di sekitar hutan mangrove harus diidentifikasi dengan baik.

(11)

2. Isu kelembagaan dan perangkat hukum

Di samping lembaga-lembaga lain, Departemen Pertanian dan Kehutanan, serta Departemen Kelautan dan Perikanan, merupakan lembaga yang sangat berkompeten dalam pengelolaan mangrove. Koordinasi antar instansi yang terkait dengan pengelolaan mangrove adalah mendesak untuk dilakukan saat ini. Aspek perangkat hukum adalah peraturan dan undang-undang yang terkait dengan pengelolaan mangrove. Sudah cukup banyak undang-undang dan peraturan yang dibuat oleh pemerintah dan instansi-instansi yang terkait dalam pengelolaan mangrove. Yang diperlukan sekarang ini adalah penegakan hukum atas pelanggaran terhadap perangkat hukum tersebut.

3. Strategi dan pelaksanaan rencana

Dalam kerangka pengelolaan dan pelestarian mangrove, terdapat dua konsep utama yang dapat diterapkan. Kedua konsep tersebut pada dasarnya memberikan legitimasi dan pengertian bahwa mangrove sangat memerlukan pengelolaan dan perlindungan agar dapat tetap lestari. Kedua konsep tersebut adalah perlindungan hutan mangrove dan rehabilitasi hutan mangrove (Bengen dalam Rochana, 2009). Salah satu cara yang dapat dilakukan dalam rangka perlindungan terhadap keberadaan hutan mangrove adalah dengan menunjuk suatu kawasan hutan mangrove untuk dijadikan kawasan konservasi, dan sebagai bentuk sabuk hijau di sepanjang pantai dan tepi sungai.

Dalam konteks di atas, berdasarkan karakteristik lingkungan, manfaat dan fungsinya, status pengelolaan ekosistem mangrove dengan didasarkan data tataguna hutan, terdiri atas: kawasan lindung (hutan, cagar alam, suaka margasatwa, taman nasional, taman laut, taman hutan raya, cagar biosfir) dan

(12)

kawasan Budidaya (hutan produksi, areal penggunaan lain). Saat ini dikembangkan suatu pola pengawasan pengelolaan ekosistem mangrove partisipatif yang melibatkan masyarakat. Ide ini dikembangkan atas dasar pemikiran bahwa masyarakat pesisir yang relatif miskin harus dilibatkan dalam pengelolaan mangrove dengan cara diberdayakan, baik kemampuannya (ilmu) maupun ekonominya. Pola pengawasan pengelolaan ekosistem mangrove yang dikembangkan adalah pola partisipatif meliputi : komponen yang diawasi, sosialisasi dan pengawasan, mekanisme pengawasan, serta insentif dan sanksi (Santoso dalam Rochana, 2009).

Mengingat fungsi dan manfaat hutan mangrove yang sangat penting, maka perlu suatu strategi pengamanan dan pengembangannya, antara lain (Arief, 2001):

1. Mengamankan, yaitu melindungi genetik, spesies habitat, dan ekosistemnya terutama menjaga penurunan kualitas komponen-komponen utama dan mengembalikan spesies-spesies yang hilang ataupun punah ke habitat aslinya.

2. Mempelajari, yaitu berusaha mendokumentasikan karakteristik sifat biologis, ekologis dan sosial ekonomi yang berupa pengertian peran dan manfaat genetik, spesies dan ekosistem.

3. Memanfaatkan, yaitu pengembangan secara lestari dan seimbang dengan teknik-teknik yang mampu mempertahankan keberadaan ekosistemnya sebagai penunjang kehidupan secara adil.

Pembibitan Mangrove

Dalam penanaman mangrove, kegiatan pembibitan dapat dilakukan dan dapat tidak dilakukan. Apabila keberadaan pohon/buah mangrove disekitar lokasi

(13)

penanaman banyak, kegiatan pembibitan dapat tidak dilakukan. Apabila keberadaan pohon/buah disekitar lokasi penanaman sedikit atau tidak ada, kegiatan pembibitan sebaiknya dilaksanakan. Adanya kebun pembibitan akan menguntungkan terutama bila penanaman dilaksanakan pada saat tidak musim puncak berbuah atau pada saat dilakukan penyulaman tanaman. Selain itu, penanaman melalui buah yang dibibitkan akan menghasilkan persentase tumbuh yang tinggi.

Kegiatan pembibitan meliputi pemilihan lokasi persemaian, pembangunan bedeng persemaian, pembuatan bibit. pohon bakau yang baik sebagai sumber buah berasal dari tegakan berumur 10 tahun keatas, sedangkan pohon soneratia dan avicenia dari tegakan berumur sekitar 8 - 10 tahun (Khazali, 1999).

Analisis Kelayakan Usaha

Studi kelayakan adalah studi atau penelitian dalam rangka untuk menilai layak tidaknya investasi yang akan dilakukan dengan berhasil dan menguntungkan secara ekonomis. Investasi atau penanaman modal dalam suatu perusahaan tidak lain adalah menyangkut penggunaan sumber-sumber yang diharapkan akan memberikan imbalan (pengembalian) yang menguntungkan dimasa yang akan mendatang. Apapun bentuk investasi yang akan dilakukan diperlukan studi kelayakan meskipun intensitasnya berbeda. Adapun manfaat yang diharapkan dilakukannya studi kelayakan proyek adalah memberikan masukan informasi kepada decision maker dalam rangka untuk memutuskan dan menilai alternatif proyek investasi yang akan dilakukan (Suratman, 2001).

(14)

suatu aktivitas yang mengeluarkan uang dengan harapan untuk mendapatkan hasil (returns) di waktu yang akan datang dan yang dapat direncanakan, dibiayai dan dilaksanakan sebagai suatu unit. Aktivitas suatu proyek selalu ditujukan untuk mencapai suatu tujuan (objective), mempunyai suatu titik tolak (starting point) dan suatu titik akhir (ending point) baik biaya-biayanya maupun hasilnya yang dapat diukur (Kadariah et al., 1999).

Suatu usaha dikatakan baik dan layak bila dalam perhitungan kelayakan usaha memenuhi keriteria. Adapun beberapa perhitungan yang digunakan untuk menilai kelayakan usaha antara lain B/C ratio dan Break Evebt Point (BEP).

Analisis SWOT

Analisis SWOT adalah identifikasi berbagai faktor secara sistematis untuk merumuskan strategi usaha. Analisis ini didasarkan pada logika yang dapat memaksimalkan kekuatan (strengths) dan peluang (opportunities), namun secara bersamaan dapat meminimalkan kelemahan (weaknesses) dan ancaman (threats). Proses pengambilan keputusan strategis selalu berkaitan dengan pengembangan misi, tujuan, strategi dan kebijakan. Dengan demikian perencanaan strategis (strategic planner) harus menganalisis faktor-faktor strategis usaha pembibitan (kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman) dalam kondisi yang ada saat ini. Hal ini disebut dengan analisis situasi. Model yang paling populer untuk analisis situasi adalah analisis SWOT (Rangkuti, 1997).

Menurut Rangkuti (1997) penelitian menunjukkan bahwa kinerja pemilik usaha dapat ditentukan oleh kombinasi faktor internal dan eksternal. Kedua faktor tersebut harus dipertimbangkan dalam analisis SWOT. Analisis SWOT

(15)

membandingkan antara faktor eksternal peluang (opportunities) dan ancaman (threats) dengan faktor internal kekuatan (strengths) dan kelemahan (weaknesses).

Untuk dapat memenangkan sebuah persaingan, suatu unit usaha harus memliki keunggulan kompetitif (competitive advantage). Keunggulan kompetitif akan membedakan unit usaha dengan kompetitornya dalam hal bagaimana meraih sukses yang menyebabkan pemilik usaha tersebut mempunyai prestasi yang jauh lebih daripada kompetisinya. Keunggulan bersaing merupakan hasil dari kemampuan usaha tersebut menanggulangi faktor persaingan secara lebih ketimbang para kompetitornya. Bentuk kuadran analisis SWOT dapat dilihat pada Gambar 2 (Suratman, 2001).

2. Mendukung strategi 1. Mendukung strategi turn-arround agresif

3. Mendukung strategi 4. Mendukung strategi

difensif diversifikasi

Gambar 2. Analisis SWOT BERBAGAI PELUANG BERBAGAI ANCAMAN KELEMAHAN INTERNAL KEKUATAN INTERNAL

Referensi

Dokumen terkait

Akan tetapi apabila ada yang memakai kain sampai melebihi kaki atau menyentuh tanah, lantai dan sebagainya, itu jelas dilarang menurut hadis tersebut karena sombong namun

Naskah Tengul karya Arifin C. Noer tidak memberikan penjelasan tentang usia dari tokoh Korep. Akan tetapi, dari jalinan cerita.. menunjukkan usianya adalah separuh

[r]

Strategi 1 : Mengintegrasikan pengaturan dan pengawasan lembaga keuangan. Tujuannya adalah untuk mengurangi dan menghilangkan duplikasi serta pengaturan yang

Berdasarkan uraian di tinggi penulis tertarik untuk menuangkan penelitian tindakan kelas yang dituangkan dalam laporan dengan judul Penggunaan Model Circle

Terkait dengan hal tersebut, maka salah satu upaya dari P3M adalah dengan melaksanakan sebuah Program Penguatan Budaya Penelitian dalam bentuk penugasan semi-kompetisi

fenomena di atas yang memerlukan pengkajian lebih lanjut maka penulis tertarik untuk melakukan pengkajian dan penelitian lebih dalam dengan judul: “ Pengaruh

Menurut Slameto (2010: 2) belajar ialah suatu proses usaha yang dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil