Kumpulan Sajak Emha Ainun Nadjib
Lautan Jilbab
Para malaikat Allah tak bertelinga, tapi mereka mendengar suara nyanyian beribu-ribu jilbab.
Para malaikat Allah tak memiliki mata, tapi mereka menyaksikan derap langkah beribu jilbab.
Para malaikat Allah tak punya jantung, tapi sanggup mereka rasakan degub kebangkitan jilbab yang seolah berasal dari dasar bumi.
Para malaikat Allah tak memiliki bahasa dan budaya, tapi dari galaksi mereka seakan-akan terdengar suara: Ini tidak main-main! Ini lebih dari sekedar kebangkitan sepotong kain!
Para malaikat Allah seolah sedang bercakap-cakap di antara mereka Kebudayaan jilbab itu, bersungguh-sungguhkah mereka?
O, amatilah dengan teliti: ada yang bersungguh-sungguh, ada yang akan bersungguh-sungguh, ada yang tidak bisa tidak bersungguh-sungguh. Sedemikian pentingkah gerakan jilbab di negeri itu?
O, sama pentingnya dengan kekecutan hati semua kaum yang tersingkir, sama pentingnya dengan keputusasaan kaum gelandangan, sama pentingnya dengan kematian jiwa orang-orang malang yang dijadikan alas kaki sejarah. Bagaimana mungkin ada kelahiran di bawah injakan kaki Dajjal? Bagaimana mungkin muncul kebangkitan dari rantai belenggu kejahiliyahan?
O, kelahiran sejati justru dari rahim kebobrokan, kebangkitan yang murni justru dari himpitan-himpitan Alamkah yang melahirkan gerakan itu atau manusia?
O, alam dalam diri manusia. Alam tak boleh benar-benar takluk oleh setajam apapun pedang peradaban manusia, alam tak diperkenankan sungguh-sungguh tunduk di bawah kelicikan tuan-tuannya.
Apakah burung-burung Ababil akan menabur dari langit untuk menyerbu para gajah yang durjana?
O, burung-burung Ababil melesat keluar dari kesadaran pikiran, dari dzikir jiwa dan kepalan tangan.
Para malaikat Allah yang jumlahnya tak terhitung, berseliweran melintas-lintas ke berjuta arah di seputar bumi.
Para malaikat Allah yang amat lembut sehingga seperjuta atom tak sanggup menggambarkannya.
Para malaikat Allah yang besarnya tak terkirakan oleh matematika ilmu manusia sehingga seluruh jagat raya ini disangga di telapak tangannya .Tergetar, tergetar sesaat, oleh raungan sukma dari bumi
Para malaikat Allah seolah bergemeremang bersahut-sahutan di antara mereka
Apa yang istimewa dari kain yang dibungkuskan di kepala?
O, hanya ketololan yang menemukan jilbab sekedar sebagai pakaian badan Lihatlah perlahan-lahan makin banyak manusia yang memakai jilbab, lihatlah kaum lelaki berjilbab, lihatlah rakyat manusia berjilbab, lihatlah ummat-ummat berjilbab, lihatlah siapapun saja yang memerlukan perlindungan, yang
memerlukan genggaman keyakinan, yang memerlukan cahaya pedoman, lihatlah mereka semua berjilbab
Adakah jilbab itu semacam tindakan politik, semacam perwujudan agama, atau pola perubahan kebudayaan?
Para malaikat Allah yang bening bagai cermin segala cermin, seolah memantulkan suara-suara:
JILBAB INI LAGU SIKAP KAMI, TINTA KEPUTUSAN KAMI, LANGKAH-LANGKAH DINI PERJUANGAN KAMI
JILBAB INI SURAT KEYAKINAN KAMI, JALAN PANJANG BELAJAR KAMI, PROSES PENCARIAN KAMI
JILBAB INI PERCOBAAN KEBERANIAN DI TENGAH
PENDIDIKAN KETAKUTAN YANG TERTATA DENGAN RAPI JILBAB INI PERCIKAN CAHAYA DARI TENGAH KEGELAPAN, ALOTNYA KEJUJURAN DI TENGAH HARI-HARI DUSTA JILBAB INI EKSPERIMEN KELEMBUTAN UNTUK MELADENI JAM-JAM BRUTAL DARI KEHIDUPAN
JILBAB INI USAHA PERLINDUNGAN DARI SERGAPAN-SERGAPAN
Dunia entah macam apa, menyergap kami Sejarah entah ditangan siapa, menjaring kami
Kekuasaan entah dari napsu apa, menyerimpung kami
Kerakusan dengan ludah berbusa-busa, mengotori wajah kami
Langkah kami terhadang, kaki kami terperosok di pagar-pagar jalan protokol peradaban ini
Buku-buku pelajaran memakan kami Tontonan dan siaran melahap kami
Iklan dan barang jualan menggiring kami
Panggung dan meja-meja birokrasi mengelabui kami Mesin pembodoh kami sangka bangku sekolah
Ladang-ladang peternakan kami sangka rumah ibadah Mulut kami terbungkam, mata kami nangis darah Hidup adalah mendaki pundak orang-orang lain Hari depan ialah menyuap, disuap, menyuap, disuap Kalau matahari terbit kami sarapan janji
Kalau matahari mengufuk, kami dikeloni janji Kalau pagi bangkit, kami ditidurkan
Ketika hari bertiup, kami dininabobokan
Kaum cerdik pandai suntuk mencari permaafan atas segala kebobrokan Kaum ulama sibuk merakit ayat-ayat keamanan
Para penyair pahlawan berkembang menjadi pengemis
Tidak ada perlindungan bagi kepala kami yang ditaburi virus-virus Tak ada perlindungan bagi akal pikiran kami yang dibonsai
Tak ada perlindungan bagi hati nurani kami yang dipanggang diatas tungku api congkak kekuasaan
Tungku api kekuasaan yang halus, lembut dan kejam
Tak ada perlindungan bagi iman kami yang dicabik-cabik dengan pisau-pisau beracun
Tak ada perlindungan bagi kuda-kuda kami yang digoyahkan oleh keputusan sepihak yang dipaksakan
Tak ada perlindungan bagi akidah kami yang ditempeli topeng-topeng, yang dirajam, dimanipulir oleh rumusan-rumusan palsu yang memabukkan Tak ada perlindungan bagi padamnya matahari hak kehendak kami yang diranjau
Maka inilah jilbab. Inilah Jilbab!
Ini FURQAN, pembeda antara HAQ dan BATHIL Jarak antara keindahan dengan kebusukan Batas antara baik dan buruk, benar dan salah Kami menyarungkan keyakinan dikepala kami
Menyarungkan pilihan, keputusan, keberanian dan ISTIQAMAH, dinurani dan jiwaraga kami
Ini jilbab Ilahi Rabbi, jilbab yang mengajarkan ilmu menapak dalam irama Ilmu untuk tidak tergesa, ilmu tak melompati waktu dan batas realitas
Ilmu bernapas setarikan demi setarikan, selangkah demi selangkah, hikmah demi hikmah rahasia demi rahasia, kemenangan demi kemenangan
Para malaikat Allah yang lembut melebihi kristal, para malaikat Allah yang suaranya tak bisa didengarkan oleh segala macam telinga, berbisik-bisik di antara mereka
Wahai! Anak-anak tiri peradaban! Anak-anak jadah kemajuan dan perkembangan!
Anak-anak yatim sejarah, sedang menghimpun akal sehat
Menabung hati bening, menerobos ke masa depan yang kasat mata
Lautan Jilbab! Lautan Jilbab! Gelombang perjuangan, luka pengembaraan, tak mungkin bisa dihentikan
Wahai! Sunyi telah memulai bicara! Sajak Luka Menganga
Saudara-saudaraku puisi adalah bau anyir keringat Berjuta rakyat,puisi adalah kehidupan
Mereka yang a lot dan berat, adalah pikiran Dan tenaga mereka yang sekarat, puisi Adalah darah luka mereka yang muncrat
Saudara-saudaraku,puisi bukanlah sejenis pakaian Sore atau pakaian pesta yang terpampang
Di kaca etalase, hasil desainer-desainer Kebudayaan
Saudara-saudaraku setidaknya puisi bisa mengajari Kita untuk berkata : T I D A K !
(Emha Ainun Najib) Kubuang Buang Sudah kubuang-buang tuhan Agar sampai ke yang tak terucapkan Namun tak sekali ia sedia tak hadir
Terus mengada mengada bagai darah mengalir Sajakku beranak pinak
Perih cintaku berteriak-teriak Takut ditolak keabadian Sudah kubuang-buang tuhan Sudah kulupa-lupakan Sampai ingat dan lupa Lenyap jaraknya
Sampai tahu tak atau menjelma Baginya tak beda
Sampai gugur mainan ada tiada Yang menghimpitku di tengahnya Sudah kubuang-buang
Sudah kubuang-buang Ia makin saja tuhan Makin saja tuhan 1986
Penyair Pun Bukan Penyair pun bukan
Aku hanya tukang Mengembarai hutan Menggergaji kayu Bikin ragangan
Mainan pesanan Tuhan Penyair pun bukan Aku hanya pelayan Meladeni cara Meracik kata Mengais rahasia Agar tak mati fana Penyair pun bukan Aku hanya penyelam Menukiki samudera Pulang ke permukaan
Membawa batu purba Untuk melempari cakrawala 1986
Kau Pandang Aku kau pandang aku batu
...kau gempur dengan peluru ...padahal aku angin
kau pandang aku badai
...kau tahankan baja dan mantra ...padahal aku gunung membisu kau pandang aku raja
...kau tinggalkan singgasana ...padahal aku pemabuk kau pandang aku ngemis ...kau taburkan mutiara ...padahal aku bumi kau pandang aku perampok ...kau picis kau picis
...padahal aku tak darah daging kau pandang aku penderma agung ...kau jilati
...padahal aku papa tiada kau pandang aku boneka ...kau sandangkan sutera ...padahal aku jiwa
kau pandang aku ruh perutusan ...kau ikut masuk hutan ...padahal aku gila
kau pandang aku penuh kasih ...kau damba kau damba ...padahal aku cuma pinjam kau pandang aku pisau tajam ...kau meronta kau meronta ...padahal aku cinta
Aku Mabuk Allah aku mabuk allah
semata-mata allah segala-galanya allah tak bisa lain lagi aku mabuk allah
lainnya tak berhak dimabuki lainnya palsu, lainnya tiada nyamuk tak nyamuk
kalau tak mengabarkan allah langit tak langit
kalau tak menandakan allah debu tak debu
badai tak badai
kalau tak membuktikan allah kembang tak mekar
api tak membakar kalau tak allah
mabuklah aku mabuk allah tak bisa lihat tak bisa dengar cuma allah cuma allah kalau matahari memancar siapa sebenarnya yang menyinar kalau malam legam
siapa hadir di kegelapan kalau punggung ditikam siapa merasa kesakitan mabuklah aku mabuk allah kalau jantung berdegup siapa yang hidup kalau menetes puisi siapa yang abadi allah semata allah semata lainnya dusta 1986
Antara Tiga Kota di yogya aku lelap tertidur angin di sisiku mendengkur
seluruh kota pun bagai dalam kubur pohon-pohon semua mengantuk di sini kamu harus belajar berlatih tetap hidup sambil mengantuk kemanakah harus kuhadapkan muka agar seimbang antara tidur dan jaga ? Jakrta menghardik nasibku
melecut menghantam pundakku tiada ruang bagi diamku
matahari memelototiku
bising suaranya mencampakkanku jatuh bergelut debu
kemanakah harus juhadapkan muka agar seimbang antara tidur dan jaga surabaya seperti ditengahnya tak tidur seperti kerbau tua tak juga membelalakkan mata tetapi di sana ada kasihku yang hilang kembangnya jika aku mendekatinya
kemanakah haru kuhadapkan muka agar seimbang antara tidur dan jaga ? 1997
Begitu Engkau Bersujud
Begitu engakau bersujud, terbangunlah ruang yang kau tempati itu menjadi sebuah masjid Setiap kali engkau bersujud, setiap kali pula telah engkau dirikan masjid
telah kau bengun selama hidupmu? Tak terbilang jumlahnya, menara masjidmu
meninggi, menembus langit, memasuki alam makrifat Setiap gedung, rumah, bilik atau tanah, seketika bernama masjid, begitu engkau tempati untuk bersujud Setiap lembar rupiah yang kau sodorkan kepada ridha Tuhan, menjelma jadi sajadah kemuliaan Setiap butir beras yang kau tanak dan kau tuangkan ke piring ke-ilahi-an, menjadi se-rakaat sembahyang Dan setiap tetes air yang kau taburkan untuk
cinta kasih ke-Tuhan-an, lahir menjadi kumandang suara adzan Kalau engkau bawa badanmu bersujud, engkaulah masjid Kalau engkau bawa matamu memandang yang dipandang Allah, engkaulah kiblat
Kalau engkau pandang telingamu mendengar yang didengar Allah, engkaulah tilawah suci
Dan kalau derakkan hatimu mencintai yang dicintai Allah, engkaulah ayatullah Ilmu pengetahuan bersujud, pekerjaanmu bersujud,
karirmu bersujud, rumah tanggamu bersujud, sepi dan ramaimu bersujud, duka deritamu bersujud menjadilah engkau masjid
1987
Dari Bentangan Langit Dari bentangan langit yang semu Ia, kemarau itu, datang kepadamu
Tumbuh perlahan. Berhembus amat panjang Menyapu lautan. Mengekal tanah berbongkahan menyapu hutan !
Mengekal tanah berbongkahan ! datang kepadamu, Ia, kemarau itu dari Tuhan, yang senantia diam
dari tangan-Nya. Dari Tangan yang dingin dan tak menyapa yang senyap. Yang tak menoleh barang sekejap.
1997
Ditanyakan Kepadanya
Ditanyakan kepadanya siapakah pencuri Jawabnya: ialah pisang yang berbuah mangga Tak demikian Allah menata
Maka berdusta ia
Ditanyakan kepadanya siapakah penumpuk harta Jawabnya: ialah matahari yang tak bercahaya Tak demikian sunnatullah berkata
Maka cerdusta ia
Ditanyakan kepadanya siapakah pemalas
Jawabnya: bumi yang memperlambat waktu edarnya Menjadi kacaulah sistem alam semesta
Maka berdusta ia
Ditanyakan kepadanya sapakah penindas Jawabnya: ialah gunung berapi masuk kota Dilanggarnya tradisi alam dan manusia Maka berdusta ia
Ditanyakan kepadanya siapa pemanja kebebasan Ialah burung terbang tinggi menuju matahari Burung Allah tak sedia bunuh diri
Maka berdusta ia
Ditanyakn kepadanya siapa orang lalai Ialah siang yang tak bergilir ke malam hari Sedangkan Allah sedemikian rupa mengelola Maka berdusta ia
Ditanyakan kepadanya siapa orang ingkar Ialah air yang mengalir ke angkasa
Padahal telah ditetapkan hukum alam benda Maka berdusta ia
Ialah benalu raksasa yang memenuhi ladang Orang wajib menebangnya
Agar tak berdusta ia
Kemudian siapakah orang lemah perjuangan Ialah api yang tak membakar keringnya dedaunan Orang harus menggertak jiwanya
Agar tak berdusta ia
Kemudian siapakah pedagang penyihir Ialah kijang kencana berlari di atas air Orang harus meninggalkannya Agar tak berdusta ia
Adapun siapakah budak kepentingan pribadi Ialah babi yang meminum air kencingnya sendiri Orang harus melemparkan batu ke tengkuknya Agar tak berdusta ia
Dan akhirnya siapakah orang tak paham cinta Ialah burung yang tertidur di kubangan kerbau Nyanyikan puisi di telinganya
Agar tak berdusta ia
1988
Doa Sehelai Daun Kering Janganku suaraku, ya 'Aziz
Sedangkan firmanMupun diabaikan Jangankan ucapanku, ya Qawiy Sedangkan ayatMupun disepelekan Jangankan cintaku, ya Dzul Quwwah Sedangkan kasih sayangMupun dibuang Jangankan sapaanku, ya Matin
Sedangkan solusi tawaranMupun diremehkan
Betapa naifnya harapanku untuk diterima oleh mereka Sedangkan jasa penciptaanMupun dihapus
Betapa lucunya dambaanku untuk didengarkan oleh mereka Sedangkan kitabMu diingkari oleh seribu peradaban
Sedangkan rahman rahimMu diingat hanya sangat sesekali Betapa tak masuk akal keinginanku untuk tak mereka sakiti Sedangkan kekasihMu Muhammad dilempar batu
Sedangkan IbrahimMu dibakar
Sedangkan YunusMu dicampakkan ke laut Sedangkan NuhMu dibiarkan kesepian Akan tetapi wahai Qadir Muqtadir Wahai Jabbar Mutakabbir
Engkau Maha Agung dan aku kerdil Engkau Maha Dahsyat dan aku picisan Engkau Maha Kuat dan aku lemah Engkau Maha Kaya dan aku papa Engkau Maha Suci dan aku kumuh
Engkau Maha Tinggi dan aku rendah serendah-rendahnya Akan tetapi wahai Qahir wahai Qahhar
Rasul kekasihMu maíshum dan aku bergelimang hawaí
Nabi utusanmu terpelihara sedangkan aku terjerembab-jerembab Wahai Mannan wahai Karim
Wahai Fattah wahai Halim
Aku setitik debu namun bersujud kepadaMu
Aku sehelai daun kering namun bertasbih kepadaMu
Aku budak yang kesepian namun yakin pada kasih sayang dan pembelaan-Mu
1999
Ikrar Di dalam sinar-Mu
Segala soal dan wajah dunia Tak menyebabkan apa-apa
Aku sendirilah yang menggerakkan laku Atas nama-Mu
Kuambil siakp, total dan tuntas maka getaranku
Adalah getaran-Mu lenyap segala dimensi
baik dan buruk, kuat dan lemah Keutuhan yang ada
Terpelihara dalam pasrah dan setia Menangis dalam tertawa
Bersedih dalam gembira Atau sebaliknya
tak ada kekaguman, kebanggaan, segala belenggu Mulus dalam nilai satu
Kesadaran yang lebih tinggi Mengatasi pikiran dan emosi menetaplah, berbahagialah Demi para tetangga
tetapi di dalam kamu kosong
Ialah wujud yang tak terucapkan, tak tertuliskan Kugenggam kamu
Kau genggam aku Jangan sentuh apapun Yang menyebabkan noda
Untuk tidak melepaskan, menggenggam lainnya Berangkat ulang jengkal pertama
1997
Ketika Engkau Bersembahyang Ketika engkau bersembahyang
Oleh takbirmu pintu langit terkuakkan Partikel udara dan ruang hampa bergetar Bersama-sama mengucapkan allahu akbar Bacaan Al-Fatihah dan surah
Membuat kegelapan terbuka matanya Setiap doa dan pernyataan pasrah Membentangkan jembatan cahaya
Tegak tubuh alifmu mengakar ke pusat bumi Ruku' lam badanmu memandangi asal-usul diri Kemudian mim sujudmu menangis
Sujud adalah satu-satunya hakekat hidup Karena perjalanan hanya untuk tua dan redup Ilmu dan peradaban takkan sampai
Kepada asal mula setiap jiwa kembali
Maka sembahyang adalah kehidupan ini sendiri Pergi sejauh-jauhnya agar sampai kembali Badan di peras jiwa dipompa tak terkira-kira Kalau diri pecah terbelah, sujud mengutuhkannya Sembahyang di atas sajadah cahaya
Melangkah perlahan-lahan ke rumah rahasia Rumah yang tak ada ruang tak ada waktunya Yang tak bisa dikisahkan kepada siapapun Oleh-olehmu dari sembahyang adalah sinar wajah Pancaran yang tak terumuskan oleh ilmu fisika Hatimu sabar mulia, kaki seteguh batu karang
Dadamu mencakrawala, seluas 'arasy sembilan puluh sembilan
1987
Cahaya Maha Cahaya
Usiaku enam hari
Enam hari yang menakjubkan: Tuhan bermain
ruang
…..waktu di tangannya, bisa kau bayangkan?
Hari pertama cahaya maha cahaya
Cahaya maha cahaya tak bisa dikisahkan
Bisa, mungkin. Tapi kita ini dungu
Ilmu kita tingkat serdadu
Hari kedua kegelapan tiada tara
Beberapa kata mulai bisa mengucap, karena
…..rahasia mulai berlaku di depanmu sebagai
…..rahasia
Hari ketiga kau adalah aku, aku masih aku
Baru kelak tuhan, semua kita nangis cengeng
Kita melempari galaksi supaya bintang runtuh, kita
…..mengais-ais bumi mencari emas permata untuk
…..kita kunyah-kunyah demi mengisi hari dengan
…..ketololan
Di hari keempat engkau adalah dunia ini
Kalau kau gembira bukanlah kau yang bergembira
…..sebab sesungguhnya tak kau perlukan
…..kegembiraan
Kalau kau bersedih kehidupanlah yang bersedih
…..sebab kesedihan tak sanggup menyentuh jiwamu
Kau tak membutuhkan suka duka, harta atau
…..kepapaan, kau tak terikat oleh penjara atau
…..kemerdekaan, kau lebih perkasa dari ketakutan
…..atau keberanian, kau lebih tinggi dari derajat
…..atau kehinaan, kau lebih besar dari kehidupan
…..atau maut
Di manakah engkau bersemayam kiranya?
Hari keempat telah senja dan fajar hari kelima
…..mulai menyiapkan pemenuhan janjinya
Hari keliga gelap gulita
Hari di mana engkau sirna, di mana engkau tak
…..engkau
Hari yang menjelmakanmu kembali menjadi cahaya
Menyati ke hari keenam cahaya maha cahaya
1988
Kita Masuki Pasar Riba Kita pasar r iba
Medan perang keserakahan Seperti ikan dalam air tenggelam T
Tak tahu langit
Ke kiri dosa ke kanan dusta Bernapas air
Makan minum air Darah riba mengalir Kita masuki pasar riba Menjual diri dan Tuhan
Untuk membeli hidup yang picisan Telanjur jadi uang recehan
Dari putaran riba politik dan ekonomi Sistem yang membunuh sebelum mati Siapakah kita ?
Wajah tak menentu jenisnya Tiap saat berganti nama Tegantung kepentingannya apa Tergantung rugi atu laba Kita pilih kepada siapa tertawa
1987
Kudekap Kusayang-sayang
Kepadamu kekasih kupersembahkan segala api keperihan di dadaku ini demi cintaku kepada semua manusia
Kupersembahkan kepadamu sirnanya seluruh kepentingan diri dalam hidup demi mempertahankan kemesraan rahasia, yang teramat menyakitkan ini, denganmu
Terima kasih engkau telah pilihkan bagiku rumah
persemayaman dalam jiwa remuk redam hamba-hambamu Kudekap mereka, kupanggul, kusayang-sayang, dan ketika mereka tancapkan pisau ke dadaku, mengucur darah dari mereka sendiri, sehingga bersegera aku mengusapnya, kusumpal, kubalut dengan sobekan-sobekan bajuku
Kemudian kudekap ia, kupanggul, kusayang-sayang, kupeluk,
kugendong-gendong, sampai kemudian mereka tancapkan lagi pisau ke punggungku, sehingga mengucur lagi darah batinnya, sehingga aku bersegera mengusapnya,
kusumpal,
kubalut dengan sobekan-sobekan bajuku, kudekap, kusayang-sayang.
1994
Memecah Mengutuhkan Kerja dan fungsi memecah manusia Sujud sembahyang mengutuhkannya Ego dan nafsu menumpas kehidupan Oleh cinta nyawa dikembalikan Lengan tanganmu tanggal sebelah Karena siang hari politik yang gerah
Deru mesin ekonomi membekukan tubuhmu Cambuk impian membuat jiwamu jadi hantu Suami dan istri tak saling mengabdi
Tak mengalahkan atau memenangi
Keduanya adalah sahabat bergandengan tangan Bersama-sama mengarungi jejeak Tuhan Kalau berpcu mempersaingkan hari esok Jangan lupakan cinta di kandungan cakrawala Kalau cemas karena diiming-imingi tetangga Berkacalah pada sunyi di gua garba rahasia
1987
Sepenggal Puisi Cak Nun sayang sayang kita tak tau kemana pergi tak sanggup kita dengarkan suara yang sejati
yang bisa kita pandang hanya kepentingan sendiri loyang disangka emas emasnya di buang buang kita makin buta yang mana utara yang mana selatan yang kecil dibesarkan yang besar di remehkan yang penting disepelekan yang sepele diutamakan Allah Allah betapa busuk hidup kami
dan masih akan membusuk lagi betapa gelap hari di depan kami mohon ayomilah kami yang kecil ini
Seribu Masjid Satu Jumlahnya Satu
Masjid itu dua macamnya Satu ruh, lainnya badan Satu di atas tanah berdiri Lainnya bersemayam di hati Tak boleh hilang salah satunyaa Kalau ruh ditindas, masjid hanya batu
Kalau badan tak didirikan, masjid hanya hantu Masing-masing kepada Tuhan tak bisa bertamu Dua
Masjid selalu dua macamnya Satu terbuat dari bata dan logam Lainnya tak terperi
Karena sejati Tiga
Masjid batu bata Berdiri di mana-mana
Masjid sejati tak menentu tempat tinggalnya Timbul tenggelam antara ada dan tiada Mungkin di hati kita
Di dalam jiwa, di pusat sukma Membisikkannama Allah ta’ala Kita diajari mengenali-Nya Di dalam masjid batu bata
Kita melangkah, kemudian bersujud
Beriktikaf, di jagat tanpa bentuk tanpa warna Empat
Sangat mahal biaya masjid badan
Padahal temboknya berlumut karena hujan Adapun masjid ruh kita beli dengan ketakjuban Tak bisa lapuk karena asma-Nya kita zikirkan Masjid badan gmpang binasa
Matahari mengelupas warnanya
Ketika datang badai, beterbangan gentingnya Oleh gempa ambruk dindingnya
Masjid ruh mengabadi
Pisau tak sanggup menikamnya Senapan tak bisa membidiknya Politik tak mampu memenjarakannya Lima
Masjid ruh kita baw ke mana-mana Ke sekolah, kantor, pasar dan tamasya Kita bawa naik sepeda, berjejal di bis kota Tanpa seorang pun sanggup mencopetnya Sebab tangan pencuri amatlah pendeknya Sedang masjid ruh di dada adalah cakrawala
Cengkeraman tangan para penguasa betapa kerdilnya Sebab majid ruh adalah semesta raya
Jika kita berumah di masjid ruh Tak kuasa para musuh melihat kita
Jika kita terjun memasuki genggaman-Nya Mereka menembak hanya bayangan kita Enam
Masjid itu dua macamnya Masjid badan berdiri kaku Tak bisa digenggam
Tak mungkin kita bawa masuk kuburan
Adapun justru masjid ruh yang mengangkat kita Melampaui ujung waktu nun di sana
Terbang melintasi seribu alam seribu semesta Hinggap di keharibaan cinta-Nya
Tujuh
Masjid itu dua macamnya
Orang yang hanya punya masjid pertama Segera mati sebelum membusuk dagingnya Karena kiblatnya hanya batu berhala
Tetapi mereka yang sombong dengan masjid kedua Berkeliaran sebagai ruh gentayangan
Tidak memiliki tanah pijakan Sehingga kakinya gagal berjalan Maka hanya bagi orang yang waspada Dua masjid menjadi satu jumlahnya Syariat dan hakikat
Menyatu dalam tarikat ke makrifat Delapan
Bahkan seribu masjid, sjuta masjid Niscaya hanya satu belaka jumlahnya Sebab tujuh samudera gerakan sejarah Bergetar dalam satu ukhuwah islamiyah Sesekali kita pertengkarkan soal bid’ah Atau jumlah rakaat sebuah shalat sunnah Itu sekedar pertengkaran suami istri Untuk memperoleh kemesraan kembali Para pemimpin saling bercuriga Kelompok satu mengafirkan lainnya
Itu namanya belajar mendewasakan khilafah Sambil menggali penemuan model imamah Sembilan
Seribu masjid dibangun Seribu lainnya didirikan
Pesan Allah dijunjung di ubun-ubun Tagihan masa depan kita cicilkan
Seribu orang mendirikan satu masjid badan Ketika peradaban menyerah kepada kebuntuan Hadir engkau semua menyodorkan kawruh Seribu masjid tumbuh dalam sejarah Bergetar menyatu sejumlah Allah
Digenggamnya dunia tidak dengan kekuasaan Melainkan dengan hikmah kepemimpinan Allah itu mustahil kalah
Sebab kehidupan senantiasa lapar nubuwwah Kepada berjuta Abu Jahl yang menghadang langkah Muadzin kita selalu mengumandangkan Hayya ‘Alal Falah!
1987
Tahajjud CIntaku
Mahaanggun Tuhan yang menciptakan hanya kebaikan Mahaagung ia yang mustahil menganugerahkan keburukan Apakah yang menyelubungi kehidupan ini selain cahaya Kegelapan hanyalah ketika taburan cahaya takditerima Kecuali kesucian tidaklah Tuhan berikan kepada kita Kotoran adalah kesucian yang hakikatnya tak dipelihara Katakan kepadaku adakah neraka itu kufur dan durhaka Sedang bagi keadilan hukum ia menyediakan dirinya Ke mana pun memandang yang tampak ialah kebenaran Kebatilan hanyalah kebenaran yang tak diberi ruang Mahaanggun Tuhan yang menciptakan hanya kebaikan Suapi ia makanan agar tak lapar dan berwajah keburukan Tuhan kekasihku tak mengajari apa pun kecuali cinta Kebencian tak ada kecuali cinta kau lukai hatinya
1988
Nocturno
Tuhan si anak kenangan berbaring di cakrawala selatan Tuhan si anak kenangan berloncatan di atas bintang-bintang Tuhan si anak kenangan berebut masuk keluar pernapasan Tuhan si anak kenangan tak meleleh di pucuk dendam Tuhan si anak kenangan terjatuh!
: dalam bayang bayang
O, si buah angan Selamat malam!
O, si Anak Hilang!”
1975
Sajak jatuh CInta Karena ini bunga
Maka ciumlah dengan bening jiwa
Karena ini sajak
Maka terimalah dengan mripat kanak-kanak
Gugusan mendung yang ranum Menggugurkan hujan ke bumi
Dari langit jauh Engkau bagai telah turun Pada air, tanah, serta pada sunyi
Kemudian senyap sesaat Tuhan melintaskan syafaat Kemudian daun-daun bersijingkat Dalam pesona memikat
Karena ini bunga, dik
Maka ciumlah dengan bening jiwa
Karena ini sajak, dik
Maka terimalah dengan mripat kanak-kanak
1975
Lagu Sangatlah nyaman Serta penuh kekhusyukan Bersahabat dengan angin Dan matahari pagi
Wajah gadisku yang membayang Mengajakku sejenak berpejam
Tunduk kepala, dan Menggumamkan salam
Dan embun menguap Setelah semalaman - bagai peristiwa cinta - Membungkus dedaunan lelap
O, biru langit! O, bukit-bukit!
Saksikanlah bahwa merdeka Sangatlah mengikat
Bahwa jiwa
Butuh saat-saat alpa Di mana roh diguncang
Tercampak dari tanya dan pikiran
Gadisku! Wahai gadisku! Sangatlah nyaman
Bersetia kasih dengan Alam
Dan di bawah Iman-Nya: kita tenggelam
1975
Sajak
Demi rembulan yang Engkau ciptakan Khusus untuk memulangkan diriku
Kepada kumandang tangis bayi, yang telanjang Yang hening lagunya bergaung
Ke ladang-ladang jiwa Yang meripatnya bening Dan yang semua geraknya Dibimbing
Oleh kegaiban
Demi rembulan di larut malam Yang bagai kereta kencana Ditarik oleh kuda siluman
Yang bangkit dari cakrawala Yang bangkit begitu saja Berderap
Perlahan
Dan menciptakan gemuruh Dalam kediaman
Demi rembulan yang Engkau ciptakan
Untuk mengusap kening jiwa yang berabad menangis Jiwa Adam
Rintih kerinduan
Yang mencegatnya di ujung jalan Dan yang mencegatku kini Dalam derita dan keasingan Yang terus menjelma
Yang mengawali setiap pekik kelahiran Dan yang terus berkembang dalam kenangan
Demi rembulan yang bagai pejalan sunyi Menjelajah seluruh malam
Sehingga terciptalah dunia dan kehidupan Dari angin, embun dan dedaunan
Yang berkilat Karena cahayanya
Yang seakan mengisyaratkan harapan Bagi kerinduanku nantinya
Ah, Tuhan!
Demi rembulan yang Engkau ciptakan Buat menggoda!
Di semak-semak ini
Di hutan gelap yang tercipta Dalam gaung jiwa
Dalam gelegak samudera Dalam gelegak darahku Yang letih
Dan maya
ke dadaku! (terimalah semangatku reguklah cintaku!) 1975
Apakah Puisi-Puisi Ini Apakah puisi-puisi ini
Jelmaan roh-Mu, Tuhanku Sehingga aku merasa bahagia Jika bergaul dengannya
Ia selalu membuka ruang
Hingga aku setia pada kemungkinan Ia adalah sembahyang
Yang penuh kemerdekaan
Tuhan, di antara sekian cara hidup Agama dan peraturan-peraturan Puisi memberi keikhlasan
Kepada apa pun yang Kaulakukan
1977
Prambanan
Kenapa aku tak bisa diam sepertimu Diam pada angin
Pada hujan, pada lindu Dan langit yang semu
Apa benar hidup lebih baik Dari yang disebut mati Seperti lukisan air mukamu Seperti sikap diammu
Sedang kita terus berlari keras dan gila Mengejar-ngejar apa
Tak ketemu jua
Kenapa aku tak bisa diam sepertimu Diam pada angin, langit, Tuhan ...
1977
Di Depan Patung Budha Kau ada
Aku pun ada Tapi kau bahagia Aku tidak
Apa kerna ada nyawa Maka tak bahagia Sedang dengan nyawa Orang ingin bahagia
Kukira salah mulanya Adam dilempar dari surga Mengapa harus kembali ke sana Mengapa tak ke Tiada
19 77
Aku Ini Termasuk Orang Yang Sukar Berbahagia Aku ini termasuk orang yang sukar berbahagia
Sebab makin banyak memandang adegan kehidupan Makin bertumpuk pula pertanyaan kepada Tuhan
Hidup ini ruwet seperti lingkaran setan
Seperti perang brubuh yang tak bisa diuraikan
Serta penuh benturan yang seperti sengaja diciptakan
Ah, tetapi mudah saja jika Tuhan mau mengubah semuanya Atau menghapusnya lantas menciptakan lagi dunia
Tetapi kukira itu tak mungkin terlaksana
Sebab siapa tahu Tuhan merasa asyik dengan kekonyolan kita Dan agar tak kehilangan permainan: kita terus saja dipelihara
1977
Kosong
Kenapakah kadang-kadang
Demikian kosong hidup ini, Tuhanku Segala keramaian di sekelilingku Lalu lalang pikiran dan hasrat kehidupan Yang menggoreskan seribu warna peradaban Segala apa pun yang dikurung langit-Mu Segala apa pun yang di bilikku
Telapak tanganku yang tiba-tiba kuamati
Bahkan wajahku yang dipantulkan oleh cermin ini Kurasakan amat kosong dan sunyi
Tetapi di dalam dadaku Tetapi di dalam jiwaku Ada bergaung suara-suara
Ada tekanan-tekanan yang asing rasanya Seperti jeritan
Seperti teriakan dalam diam Seperti diam dalam teriakan Seperti dendam
Seperti kerinduan Atau pusaran permainan Yang tak bisa aku hindarkan
Tuhanku, apakah perasaan yang semacam ini juga Yang mendorong-Mu untuk menciptakan manusia Dan semesta yang fana?
1977
Takut Pada Matamu Kekagumanku kepada Tuhan Membuat aku takut pada matamu
Apakah engkau sendiri mengerti, kekasihku Apa gerangan yang memancar dari matamu itu?
Bertahun-tahun kita hanya berpandangan saja Engkau bisu
Dan aku tuli
Karena sangat tidak mengerti
Bola matamu yang bening Adalah ruang yang tiada terbatas
Tetapi jika pun engkau kelak menjadi wanitaku Akan bisakah kumasuki ruang itu?
1977
Dari Bukit Kotamu
sekali waktu ingin kuajak engkau kemari, kasihku untuk melihat lampu-lampu kotamu yang berdebu berdiri di sini bagai berada di luar kehidupan jika kita bergoyang-goyang ditimang tangan Tuhan
apa salahnya beberapa saat kita istirah pasrah diri kepada kelam yang jauh
apa salahnya sejenak alpa pada luka yang dalam dan hati yang robek di dalam pergulatan
sekali waktu ingin kuajak kau bersandar di pohon ini, kasihku untuk menghela napas panjang, melepas keletihan
meredakan segenap dendam, meniti masa silam dan bersiap, melayani hari-hari esok yang panjang
1977
Sajak Orang Tua Seribu Bapakku satu
Ibuku satu
Orang tuaku seribu
Lainnya nyuruh edan
Yang satu ngasih kitab Qur’an Lainnya menyodorkan minuman Yang satu berkhotbah kebaikan Lainnya mendorong ganggu istri orang Lainnya lagi penuh kebajikan
Sekaligus bajingan
Langit muntah Hujan tumpah
Mancur ke tenggorokan bumi Membanjirkan sampah kotoran Dari selokan dan kali-kali
Bapakku satu Ibuku satu
Orang tuaku misteri Hiruk pikuk yang sunyi Satu wajah
Ganti beribu kali
Ibu hamil karena Tuhan
Lahir aku tercampak di air pasang Yang bergerak menyeret tanpa ampunan Yeaahh!
Kini ambil putusan
Si Diam bergerak ke sebaliknya Balikkan badan
Curi ruang di antara ruang
Sang Maha Gunung terletak sumbernya Sampai darah kering kutatap ia!
1982
Kabut
Selalu kaupanggil-panggil namaku
Aku mengangguk dan tersenyum kepadamu Tapi sebenarnya kabutlah
Yang kaupanggil itu
Kauseret tubuhku, kaubawa ke perjalanan Kau perkenalkan kepada setiap orang Kabut pun menebal, diriku tersembunyikan
Tak kauingatkan sudah berapa topeng Yang kautempelkan di wajahku? Jadi engkau sendirilah ini, bukan aku
Tetangga, politik, dan persangkaan Nafsu, idolatri, dan kepentingan Mengepulkan debu, mengabuti sejatiku
Kita semua adalah Tuhan yang menyamar Menyiksa diri dengan sejarah yang samar-samar Kalau tak juga kautanggalkan topeng-topeng ini Kepalsuan kita panggul sampai mati
Di Atas Crete
Jauh di atas kepulauan Crete, pesawat saya
menggerunjal, seperti sedang melewati jalanan di kampungku yang penuh lobang dan batu-batu
Pilot pemandu hidup memberi peringatan tentang
cuaca amat buruk, hingga kami harus menegakkan tempat duduk dan pasang sabuk, kemudian dianjurkan untuk berdoa
Para penumpang langsung bermuka mendung, para suami istri dan pasangan kekasih pada berpegangan tangan, semua tiba-tiba ingat Tuhan dan tampil di hadapan-Nya sebagai pengemis-pengemis yang malang
Supaya tidak mengganggu lingkungan saya pun menunduk khusyu, sambil kupandangi jiwa saya yang tertawa lega bagaikan menerima lotere
tidak ingin menitipkan onggokan daging busuk ini kepada siapa pun. Kalau Engkau berkenan, biarlah sampah hina yang duduk cemas di kursi ini segera saja sirna, agar saya pun merdeka!
Tapi tak lama kemudian jiwa saya itu pun ngambeg
karena segera ada pengumuman tentang yang disebut keselamatan, dan daging-daging bau itu pun menarik nafas lega, sambil bersiap turun, berjejal-jejal
memenuhi tong-tong sampah yang bertebaran di atas dunia
1984
Pesawat Terbang
Pertama kali naik pesawat terbang, saya ingin
memasang iklan di koran nasional bahwa saya benar-benar sudah pernah naik burung ajaib yang dikagumi oleh seluruh kanak-kanak dan orang dewasa
Kali kedua pengin dishoot kamera betapa saya
memasang seat-belt segampang menelan ludah kemudian dengan lincah menggoda stewardesses
Yang ketiga saya berpikir menelusuri dari modal siapa gerangan pesawat mewah ini dibikin, bagaimana modal itu diputar di meja perjudian
ekonomi politik internasional, serta membayangkan siapa saja, yang bisa menikmatinya
Namun toh pada kali keempat saya masih saja sedikit mengagumi otak manusia penemu daya sihir burung-burung, meskipun kemudian bosan dan tidur kepala berat
Sehingga tatkala terbang kelima, keenam, ketujuh kali, di samping selalu disergap oleh ratusan pikiran murung: saya merasa pesawat terbang tak pernah membawa saya naik ke mana-mana
Ada kemungkinan para teknolog, teknokrat serta para pemakai mereka, gagal melihat mana bawah yang sebenarnya dan mana atas yang sesungguhnya
1984
Makan dan Minun 1
Selalu jiwa saya bertanya kenapa tiap hari orang mesti makan dan minum
Saya bilang itu merupakan syarat agar mereka bisa berak dan kencing
Kalau yang orang maui, kata jiwa saya, hanya buang air baik besar maupun kecil
Kenapa makanan dan minuman dibikin bermacam-macam, bertingkat-tingkat serta berhias-hias
Saya bilang karena mereka tak bisa tentukan
kualitas berak, hiasan tinja atau bau harum kencing Kalau begitu, kata jiwa saya lagi, segera
mendekatlah padaku, agar tak terlalu lama engkau dikungkung oleh tujuan hidup berak dan kencing
1984
Makan dan Minun 6
Pada mulanya, kata jiwa saya, orang pergi berburu binatang, menombak rusa atau memanah burung-burung
Akhirnya hewan menipis jumlahnya dan hutan
hanya dipenuhi manusia, maka orang menembak orang orang menggusur orang,
orang menembak orang
Sesampainya di dapur, mereka bikin sate beramai-ramai
Yang kutangisi, kata jiwa saya lagi, bahwa sesudah makan dan minum seratus kali lipat dari kapasitas perutnya, para pemenggal, penggusur dan penembak itu tidak menjadi kenyang,
melainkan justru semakin lapar
1984
Syair Maling
Perjuangan utama sebuah syair, hanyalah Untuk tak menjadi slogan
Atau kembang plastik
Dari Tuhan lahir seorang bayi
Dituding sebagai subversi, atau dipupuk Menjadi hostes para priyayi
Syair-syair diagung-agungkan Hingga menjadi barang kerajinan Yang menggelikan
Cukuplah ia – kata seorang teman Lahir dari angin
Tapi sahabat lagi mengklaim
-- syair ialah berak
Berak nasib
Orang-orang terpilin
Maka kita bertengkar Buntu dan gagap Dari hari ke hari
Sambil membiarkan maling-maling
1983
Sesobek Buku Harian Indonesia Melihat pentas-pentas drama di negeriku berjudul Pesta Darah di Jember
Menyerbu Negeri Hantu Putih di Solo Klaten, Semarang, Surabaya dan Medan Teror atas Gardu Pengaman Rakyat di Bandung Woyla.
Ah, ingat ke hari kemarin pentas sandiwara rakyat yang berjudul Komando Jihad Ingat Malari.
Ingat beratus pentas drama yang naskahnya tak ketahuan dan mata kita yang telanjang
dengan gampang dikelabui dan dijerumuskan Ah, drama-drama total
yang tanpa panggung
melainkan berlangsung di atas hamparan kepala-kepala penonton
Darah mengucur, kembang kematian. Bau busuk air liur para sutradara licik yang bersembunyi di hati mulia para rakyat. Drama peradaban yang bermain nyawa mencumbu kemanusiaan
berkelakar secara rendahan kepada Tuhan Kita orang-orang yang amat lugu dan tak tahu Pikiran disetir
Hidung dicocok dan disemprot parfum Pantat disodok dan kita meringkik-ringkik tanpa ada maknanya
Kita yang terlalu polos dan pemaaf beriuh rendah di antara kita sendiri
bagai anak-anak kecil yang sibuk dikasih petasan kemudian tertidur lelap
sesudah disuapi sepotong kue bolu dan permen karet Ah, milik siapa tanah ini
Milik siapa hutan-hutan yang ditebang
Pasir timah dan kayu yang secara resmi diseludupkan Milik siapa tambang-tambang
keputusan buat masa depan Milik siapa tabungan alam
yang kini diboroskan habis-habisan Milik siapa perubahan-perubahan kepentingan dari surat-surat keputusan Kita ini sendiri
Pernahkan kita sedikit saja memiliki lebih dari sekedar dimiliki, dan dimiliki. Pernahkan kita sedikit saja menentukan lebih dari sekedar ditentukan, dan ditentukan.
Yogya, 13 Maret 1982
Yogyaku
Candradimuka hanya kawah panas seribu panas
tapi Yogyaku apimu membekukan dinginmu memanggang Di kawah aku mengolah baja namun engkau menantang keabadianku di antara pijar matahari dan malaikat salju
Di pelukanmu ngantuk aku tapi jika kudengar detak jantung rahasiamu kuperoleh Tidur yang sebenarnya Tidur abadi, sunyi segala sunyi, terkatup mulutmu karena tahu sang Sutradara hanya menorehkan sepi Yogyaku senyumanmu linuhung di belakang
punggung beribu orang yang mengigau pernah ketemu dan bercakap-cakap denganmu
Anak-anak kecil yang menghiasimu dengan beratus gelar, menabur janji, menancapkan papan-papan ikrar dan menyuratkan buih-buih mimpi yang terbengkalai Kata-kata macet di tengah pidato silang tindih, nilai-nilai undur diri kepadamu di tengah program bingung dan gerak yang serba rancu, ruh anak-anakmu terguncang oleh kendaraan-kendaraan yang kesurupan di atas
danau-danau jalan rayamu
Kemudian sekian ratus di antara mereka,
mati rahasia, dan engkau tahu persis jumlahnya tanpa meraka pernah kepadamu membukakannya
Yogyaku senyuman linuhungmu mengurung bagai hamparan langit yang mahasabar, Yogyaku engkau
memaafkan para pelacur dan maling di jalan dan di singgasana Di jalan, di gang-gang sempit, engkau menanam janji sunyi, di singgasana engkau menaruh rasa iba hati, karena jika engkau dijual untuk sepiring nasi, sesungguhnya engkau tak kan pernah bisa digadaikan atau dicuri
dengan truk hari depan, Yogyaku engkau direbut dari masa datang dan tergesa dilempar ke museum ke alam abad silam, waktu tak di dalam ruang, juga tak di luarnya,
tak di sela garis batasnya ...
1984
Belajar Tidak Ajari kami
membedakan ya dan tidak tanpa embel-embel
Tuntunlah kami
bilang ya dan bilang tidak tanpa hitung untung
Tenaga apa bisa kami pakai untuk bilang ya
bagi setiap ya untuk bilang tidak bagi setiap tidak
Apa mesti pakai sukma Tuhan untuk bisa tahan
tuding tidak pada tidak karena tidak
ialah tidak
Udara sarat tidak tiap hari sibuk tidak tetapi sebab dicekik ya terpaksa bilang ya
******
Mata siapa bisa kami pinjam untuk melihat benar kehidupan
untuk menangkap setiap murni getaran Tangan siapa bisa kami ulurkan
Mau nimba ke mana Belajar kepada apa Berguru ke siapa Ilmukah atau batu Anginkah atau guru Langitkah atau suhu Mataharikah atau waktu Rohkah atau langit biru Pohonkah atau buku Gunungkah atau para biksu Pedang-pedangkah
atau primbon masa lalu Lautan katakah
atau Allah yang bisu
******* Sejuta ilmu
lupa pada yang sederhana
Hidup teramat lama
untuk tak bisa ngomong tidak Hidup terlalu sumpeg
untuk selalu tak bilang tidak Waktu terentang panjang bisa tampung berjuta tidak Irama begini sesak
untuk bilang satu saja tidak
Dinding amat tebal Ruang terbagi-bagi
Bagian-bagian terbagi-bagi tanpa pintu
Angin membusuk Pikiran meracuni jiwa Sukma tertidur
takut ngerti sampai di mana
Kata tidak menumpuk di sel-sel penjara di butir-butir darah nyangkut di mata merah
******
Ya sering nampak sebagai tidak Tidak sering seperti ya
Ya seakan-akan tidak Tidak seolah-olah ya
Ada ya yang ketidak-tidakkan Ada tidak yang keya-yaan Ya biasa disulap jadi tidak Tidak dianggap sebagai ya Orang ya terpaksa bilang tidak Orang tidak terpaksa bilang ya Segala ya jadi kuasa
Bikin setiap tidak jadi ya Asal kami bilang ya Soal jadi tak ada Tapi jika bilang tidak Hari esok bisa binasa Hukum jadi samar Benar jadi omong besar Merdeka jadi patung-patung
******
Kami inginkan ya yang lugas Tidak yang tegas
Tapi siapakah guru kami?
Para guru sangat pandai mengajarkan upaya
Pemimpin kami amat pintar membendung segala tidak dari mulut kami
yang dibilang pengkhianat
Beribu nilai tersedia
Namun kami hanya dipilihkan
Oleh suatu rangka dan susunan keadaan Kami dikepung dan dikendalikan
Kiranya guru kami ialah kata tidak itu sendiri Tidak Beratus-ratus tidak Beribu-ribu tidak Berjuta-juta tidak Kami ucapkan tiap pagi siang, sore
dan malam harinya sampai bersiap merdeka atau gila.
Yogya, 10 Juni 1982
Syair Candu 1
kalau kamu bilang agama itu candu dengarkan allah-lah candu hidupku tuak cinta maha membeningkan pikiran melempangkan yang sebenar-benarnya jalan
jika sukmaku meminumnya badan tegak dan jiwa perkasa menyingkir rasa takut dan kesedihan sehingga takkan kubatalkan pemberontakan
para peminum kesejatian
sanggup keluar dari setiap barisan yang menghardik utuhnya kemanusiaan meski ditemani oleh hanya sunyi dan kelaparan
kamu takkan tahu bau napasnya begitu merangsang menyisihkan segala yang tampak menggiurkan menjelaskan betapa remehnya godaan
serta apa pun saja yang seolah dan seakan-akan
kalau kamu bilang agama itu candu
kuperdengarkan allah dan tak ada yang selain itu firmannya merasuki darah bagai arak suci kusandang untuk menyibak zaman ini 1985
Syair Candu 5 paduka kenyataan hamba paduka juga impian hamba luka parah hamba memburunya
semesta rahasia
tak terhingga jumlah pintunya sehingga realitas terus bekerja
kenyataan tak bisa distop langkahnya sebab terangkai oleh kemungkinan yang tak tertangkap oleh kata benda
paduka aduk mitos kenyataan padaka tertawakan kenyataan mitos ketika orang membeku di salah satunya
maka terimalah hamba
ikut berdenyut di jantung paduka
mengembarai hakikat yang betapa anehnya 1985
Hijrah
mimpiku pawai burung tanpa sayap terbang ke surga mimpiku mata rabun
nyangkut di langit hampa
disetujui oleh para nabi tapi jarang kuteliti
teori mereka mengolah bumi
kemudian tiba ke khomeiny marx, fraire, dan ali syari’ati
madrasah frankfurt, ngo pinggir kali berperang brubuh di rumah sini
di wajah beberapa kawan
nama-nama itu menjelma siluman ketika tangan mereka acungkan terciptalah mesin percetakan
aku jatuh terjengkang tolol di pojok jalan
hanya sanggup berpamitan hijrah ke semesta pengembaraan 1985
Ambil SI Penari Untuk Tariannya Dzu Walayah membawaku mengembara.
Telah berulangkali kukunjungi tempat-tempat itu, namun bersamanya menjadi berubah cara berjalanku serta menjelma baru mata-pandangku. Kuajukan kepadanya beribu-ribu pertanyaan seperti Ibrahim menggalah beribu-ribu bintang, kureguk jawaban-jawabannya yang mesra bagai anak kambing menyusu puting induknya.
Namun, tentang satu hal, Dzu Walayah selalu menghindar, ialah tentang wihdatul wujud, Allah dengan hambaNya manunggal.
Tatkala kami duduk-duduk istirah di tepian pantai, ia meminta – “Ambil seciduk dua ciduk air samudera untukmu, sisakan ombaknya berikan
kepadaku.”
Ketika di malam hari aku merasa kedinginan oleh hembusan angin yang amat kencang, ia lepaskan kain sarungnya dan berkata – “Pakailah ini untuk selimutmu, tapi helai-helai benangnya biarlah untukku.”
Dan ketika di lapangan pojok dusun itu bersama-sama kami
Dzu Walayah menggamit pundakku – “Pergilah ambil penari itu untukmu, tapi terlebih dahulu berikan kepadaku tariannya.”
1987
Tuhan Sudah Sangat Populer Satu
Tuhan sudah sangat populer Nama-Nya dihapal luar kepala Sehingga amat jarang ada
Orang yang sungguh-sungguh mengingat-Nya
Tuhan sudah sangat populer
Seperti matahari tak pernah tak bercahaya Sehingga hanya kadang-kadang saja Orang menyadari ada dan peran-Nya
Tuhan sudah sangat populer Baik di kota maupun di desa
Kalau terasa tak ada, orang menanyakan-Nya Ketika jelas, ada orang melupakan-Nya 1987
Ajari Aku TIdur tuhan sayang ajari aku tidur
seperti dulu menemuimu di rahim ibu sesudah lahir menjadi anak kehidupan sesudah didera tatakrama, pendidikan, politik dan kebodohan
bisaku cuma tertidur tertidur
tuhan sayang tak kurang-kurang engkau menghibur tapi setiap kali badan terbujur ruhku bangkit
memekik-mekik!
hidupku jadi ngantuk, luar biasa ngantuk tanpa pernah bisa sungguh-sungguh tidur
di siang dunia berseliweran kecemasan orang-orang berburu prasangka
menumpuk salah paham terhadap kehidupan memburu dugaan, bersandar pada bayangan mengulum batu-batu akik, aku ngantuk sungguh-sungguh ngantuk
di malam segala nina bobo yang menenggelamkan tak mampu kubaringkan mati kecilku
ajari mati, ya tuhan sayang, ajari aku mati nasib sejarah menggumpal di jantungku jantung mengerjat-ngerjat
tapi tak pingsan
telah beribu kali
jantung meledak tak mati-mati tuhan sayang, ya tuhan sayang rinduku amat tua
dan sakit 1986
Membela Diri
sayang, kenapa harus membelah diri kalau sampai begini sakit
untuk menyatu kembali
merekah engkau jadi kita jadi tuan dan hamba panjang jarak tak terkira
sayang, o sayang
jangan bilang sekedar satu dua hari jangan katakan hanya sebatas matahari
sebab bergulat harus sedemikian nyeri jatuh bangun mencari
1986
Menertawakan Diri Sendiri Bermakna lebih dari segala ilmu Ialah menertawakan diri sendiri Sesudah kegagahan dipacu
Tahu langkah tak sedalam tangis bayi
Kelahiran dan maut memain-mainkan Kita jadi perlu sekeras ini bersitegang Padahal gua Ibunda tak di masa silam Dan kematian tak nunggu di usia petang
Nyembah puisi, buku dikeloni, sejarah dibongkar Kemudian sumpeg dan ngerti kita terbongkar sendiri Maka laron tahu usia tak sampai semalam
Maka kita pilih saat wajah sendiri dilecehkan
Membantu malaikat ngerjakan tugas dari Ki Dalang Melakonkan cilukba wayang pergantian siang malam Heran kenapa Chairil minta cuma seribu tahun lagi Padahal jelas jatah kita abadi
1985
Tidur Hanya Bisa Padamu Tidur hanya bisa padaMu
Ketika larut badan tak mengada Sudah khatam segala tangis rindu Tinggal jiwa kusut dan sebuah lagu
Jiwa terajah luka
Bersujud sepanjang masa Di peradaban yang sakit jiwa Hanya bisa kupeluk guling rahasia
Tidar hanya bisa padaMu
Ya kekasih, tidur hanya bisa padaMu Kalau tak kau eluskan tangan
Bangunku tetap jua ke dunia
Sejak semula telah kuikrarkan
Cuma engkau sajalah yang kudambakan Dengan sangat kumohonkan tidur abadi Agar kumasuki bangun yang sejati 1986
Sajak Garuda
SELALU TERDENGAR OLEHKU SUARA, DARI PARUH GARUDA ITU :
kalau kau hisap darah rakyatku, akan kutagih darah itu
kalau kau ambil tanah mereka, akan kusengsarakan hari tuamu kalau kau rebut hak mereka, akan kubatalkan kebahagiaanmu kalau kau rampok kenyang mereka, akan kulaparkan anak cucumu dan,
kalau kasih Tuhan kepada mereka kau halangi, mayatmu tak 'kan kuhormati
KALAU TELINGAKU KELIRU,
PASTI GARUDA HANYALAH GAMBAR DUNGU Doa Pesakitan
GUSTI,
seperti kapan saja kami para hamba
tak berada di mana-mana melainkan di hadapan Mu jua ini sangat sederhana
tetapi kami sering lupa
sebab mengalahkan musuh-musuh Mu yang kecil saja, kami tak kuasa
GUSTI,
inilah tawanan Mu
tak berani menengadahkan muka mripat kami yang terbuka
telah lama menjadi buta sebab menyia-nyiakan dirinya dengan hanya menatap hal-hal maya GUSTI,
cinta kami kepada Mu tak terperi namun itu tak diketahui
oleh diri kami sendiri maka tolong ajarilah kami
agar sanggup mengajari diri sendiri menyebut nama Mu seribu kali sehari karena meski hanya sehuruf saja dari Mu takkan tertandingi
GUSTI,
kami berkumpul disini
untuk mengukur keterbatasan kami melontarkan beratus beribu kata seperti buih-buih
melayang-layang di udara diisap kembali oleh Maha Telinga sehingga tinggal jiwa kami termangu menunggu ishlah dari Mu
agar jadi bening dan tahu malu GUSTI,
kami pasrah sepasrah-pasrahnya kami telanjang setelanjang-telanjangnya kami syukuri apapun
sebab rahasia Mu agung tak ada apa-apa yang penting
dalam hidup yang cuma sejenak ini kecuali berlomba lari
untuk melihat telapak kaki siapa yang paling dulu menginjak halaman rumah Mu
GUSTI, lihatlah
mulut kami fasih
otak kami secerdik setan jiwa kami luwes
bersujud bagai para malaikat Mu namun saksikan
adakah hidup kami mampu begitu ? langkah kami yang mantap dan dungu hasil-hasil kerja kami yang gagah dan semu arah mata kami yang bingung dan tertipu akan sanggupkah melunasi hutang kami kepada kasih cinta penciptaan Mu ? GUSTI,
masa depan kami sendiri kami bakar namun Engkau betapa amat sabar peradaban kami semakin hina namun betapa Engkau bijaksana kelakuan kami semakin nakal namun kebesaran Mu maha kekal nafsu kami semakin rakus
tapi betapa rahmat Mu tak putus-putus kemanusiaan kami semakin dangkal sehingga Engkau menjadi terlampau mahal GUSTI,
kamilah pesakitan
di penjara yang kami bangun sendiri kamilah narapidana
yang tak berwajah lagi kaki dan tangan ini kami ikat sendiri
maka hukumlah dan ampuni kami dan jangan biarkan terlalu lama menanti abracadabra kita tiarap
karena tak ada janji peluru itu tidak untuk ditembakkan ke jidat kita abracadabra kita sembunyi
karena kata merdeka masih belum selesai diperdebatkan abracadabra kita masuk liang-liang gelap
karena tak ada siapa-siapa yang menjamin apa-apa abracadabra kita cuma bisa mabuk
sehingga kita tidak tahu bahwa kita mabuk abracadabra kita semakin mabuk
karena setiap ingatan terlalu menusuk Tuhan, kamu jangan tertawa
nyawa kami tidak hilang, hanya ketlingsut entah dimana dengarkan tetap kami puja keperkasaan Mu
dalam kekaguman kami kepada diri kami sendiri yang tetap bisa hidup
tanpa hak bicara dan peluang untuk berbagi
tidakkah kamu terharu menyaksikan kepengecutan kami ? dan mungkinkah kamu mengutuk rasa takut dalam jiwa kami sedangkan ketakutan adalah anugerah Mu sendiri ?
=ABRACADABRA, KITA SEMBUNYI...=
abracadabra otak kita bercanggih-canggih mengembara
berebut thema-thema yang tak ada hubungannya dengan apa-apa abracadabra kita berjoget
karena sisa rakhmat Mu yang bisa dinikmati hanyalah situasi-situasi lupa abracadabra kita meniup balon-balon kosong
abracadabra kita menggelembungkan tahayul agama halusinasi politik dan mitos-mitos kesenian
abracadabra kita bercumbu dengan gincu ilmu omong kosong abracadabra kita jatuh
terserimpung oleh langkah kita sendiri abracadabra kita berlari ke utara tiba-tiba dihadang oleh selatan
abracadabra kita terjun ke air, ternyata batu abracadabra kita mengulum api
kita tersenggak oleh asap-asap yang semakin membumbung ke ubun-ubun kita
abracadabra baru kita tahu apa yang dianggap mengganggu ketenteraman ? ialah
KEBENARAN
abracadabra gerangan apa yang bagi mereka merusak tatanan ? ialah
KEADILAN
abracadabra dan apa kiranya puncak kejahatan ? namanya
KEBEBASAN 1994
Rumah Cor Api demi keadilan
hukum disingkirkan demi kebenaran
pengabulan ganti rugi dibatalkan demi ketenteraman
air ludah harus kembali ditelan
karena cahaya kemajuan harus memancar
maka panduan dan penerangan harus luas tersebar karena program - program pembangunan harus lancar maka terkadang pasar ini dan bangunan itu harus dibakar lihatlah rumah - rumah cor api
lihatlah gedung - gedung berdiri di atas kuburan batu - batanya terbuat dari kesengsaraan dan airmata tembok - temboknya rekat oleh akumulasi ratapan
tiang - tiangnya tegak karena disangga oleh pengorbanan diseberang itu engkau memandang
rumah - rumah didirikan dekat di sisiku aku saksikan
rumah - rumah digilas dan dirobohkan nun disana engkau melihat
rumah - rumah disusun - susun nun disini aku menatap
perduduk terusir berduyun - duyun ketika engkau berdiri di depan
hamparan tanah luas yang engkau beli untuk mendirikan ratusan rumah
dan ribuan pemukiman manusia abad 21 pernahkah terlintas di kepalamu
ingatan tentang beribu - ribu saudara - saudaramu yang kehilangan tanahnya
pernahkah engkau ingat betapa beribu - ribu orang itu tak dianggap memiliki hak untuk mempertahankan tanahnya dan ketika mereka terpaksa menjualnya
mereka juga tak dianggap memiliki hak untuk menentukan harga petak - petak tanah mereka
ketika engkau menempati rumah itu
tahukah engkau, siapa nama tukang -tukang yang menumpuk bata - batanya
yang mengangkut pasir dan memasang genting - genting ketika engkau memijakkan kakiku di lantai rumahmu dan meletakkan punggungmu di kasur ranjang pernahkan engkau catat kemungkinan muatan korupsi dan kolusi di dalam proses pembuatannya sejak tahap tender
sampai pemasangan cungkup puncaknya bagi berjuta - juta saudara - saudaramu yang tak senasib dengan denganmu
yang bertempat tinggal tidak di pusat uang dan kekuasaan pernahkah engkau sekedar berdoa saja
dunia sudah amat tua
darahnya kita hisap bersama - sama kehidupan semakin rapuh
dan sakit kita tidak semakin sembuh langit robek - robek
badan kita akan semakin dipanggang hawa panas sejumlah pulau akan tenggelam
lainnya menjadi rawa - rawa anak cucumu akan hidup sengsara karena ransum alam bagi masa depan telah dihisap dengan semena - mena 1994
Tak Kunjung Datang aku nantikan
kami rindukan
telinga yang mendengarkan hati yang mengerti
di negeri ini berpuluh tahun terasa ngunngun
kami mencari dan bingung pemimpin yang paham dan melapangkan tak kunjung datang ataukah memang
tak dilahirkan oleh Tuhan aku dambakan
kami impikan
pidato yang menentramkan perlakuan sejuk dan pembebasan sekian lama
engkau janjikan horison keterbukaan
bukan penyempitan dan pengkotakan tetapi kapan ?
jaman berlalu dan menipu
kau tak belajar memahami selain mau mu sendiri tak tau beda
antara penguasa dan pemimpin bangsa
Tembok Gelombang sekuat - kuat gelombang harus lebih kuat tembok karena puncak kekuasaan adalah ideologi gembok
tembok didirikan sekukuh - kukuhnya agar gelombang terbentur sia - sia gelombang direndam
menjadi ombak semilir gelombang itu alam tembok itu teknologi
kekuasaan timbul tenggelam sedang jiwamu abadi ( 2 )
berhentilah memenjaraku
sebab jeruji besi dan sel pengurungku terletak di dalam dadamu sendiri tanpa bisa kemanapun kau pindahkan kalau kau usir
kau pikir kemana aku hendak pergi
sedang lubuk jiwamu itulah alam semestaku aku berumah di keremangan jiwamu
jadi berhentilah mendirikan tembok - tembok
karena toh aku bukan gumpalan benda yang bisa kau kurung tak usah pula repot membakar dan memusnahkanku
sebab toh hakekatku memang musnah dan tiada kau sang aku ini gerak atau semacam gerakan padahal tak kupunyai apapun yang bisa kugerakkan dan apabila kau jumpai bayangan gerak
pada yang kau sebut aku
hendaklah jelas bagimu bahwa hanya Tuhan yang sanggup memantulkan diriNya sendiri
aku membesar - besarkanmu dan kau membesar - besarkanku kita saling merasa terancam oleh enerji yang mendesak - desak padahal ia hanyalah air nuranimu sendiri yang menggelombang dan sebagaimana udara yang berhembus
ia berasal dari ruh uluhiyah kita sendiri kita saling memandang melalui metoda benda
kita saling bersentuhan lewat tahayul peristiwa - peristiwa padahal di awal dan akhir nanti akan ternyata
yang kita sangka kita bukanlah kita engkau bisa menangkap benda tapi geraknya luput dari kuasamu engkau bisa menghentikan peristiwa tetapi arusnya lolos dari cengkeramanmu engkau bisa membendung air
tapi gelombangnya melompatimu ke masa depan engkau bisa membuntu udara
tapi tenaganya memergokimu di tempat yang tak kau duga jadi sudahlah
untuk apa kau bungkam mulutku
sedangkan yang bersuara adalah mulutku untuk apa engkau stop langkahku
sedangkan yang berjalan adalah sanubarimu sendiri sedangkan yang bergema adalah pekikan hatimu sendiri bergaung melintasi segala angkasa
menembus seluruh langit
mengatasi negara - negara dan propinsi - propinsi melompati kepulauan, samudera dan benua - benua maka untuk apa engkau bungkam suaraku
karena toh kesunyian lebih berteriak dibandingkan mulutku untuk apa kau habiskan tenaga
untuk membangun pagar dan rambu - rambu sedang setiap menjelang tidur
selalu engkau diseret kembali oleh gelombang itu 1994
Kambing
kambing semacam itu pernah kau jumpaikah yakni yang menyusu ke putingnya sendiri sehingga tulang punggungnya patah dan anak-anaknya haus roboh terkulai kambing semacam itu pernah kau jumpaikah yang membuntu lobang putingnya sendiri seluruh air susu tubuhnya ia monopoli hingga akhirnya mati sendiri
hanya manusialah yang demikian
jenis hewan yang diperbudak keserakahan mencakar-cakar orang lain dengan kuku setan sesudah uzur usia baru disiksa kecemasan kata almuhammadi itulah jenis kebodohan orang tak belajar kepada zakat dan kasih makin kaya makin ditimpa kemiskinan akhirnya dari jiwanya sendiri tersisih 1986
Selamatan
telah kuikhlaskan rasa sakit itu sebelum terjadi ketika dan sesudahnya
telah kutaburkan di wajahmu wewangian kembang dan kupanjatkan doa ampunan bagimu
tapi aku tak berhak mewakili hati rakyatmu
sebab tenaga untuk menegakkan kakiku sendiri ini kupinjam dari mereka
aku tak memiliki harkat kedaulatan mereka serta tak kugenggam kuara nurani mereka yang diterima dari Tuhan
oleh karena itu
jika engkau mengharapkan keselamatan di esok hari temuilah sendiri ruh mereka
kalau matahari digelapkan kalau tanah titipan dirampas kalau udara disedot
kalau malam disiangkan dan siang dimalamkan kalau hak akal sehat dibuntu
hendaklah siapapun ingat bahwa aku tak berhak menawar apa sikap Tuhanku atas kebodohan itu
oleh karena itu
jika engkau masih mungkin percaya
bahwa engkau butuh keselamatan esok pagi ketuklah sendiri pintu Tuhan yang sejak lama mengasingkan diri dirumah nurani rakyatmu 1994