• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PERJANJIAN ANTARA CALON TKI DAN PJTKI DI PT PELITA KARYA JUHARI CABANG KENDAL

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PERJANJIAN ANTARA CALON TKI DAN PJTKI DI PT PELITA KARYA JUHARI CABANG KENDAL"

Copied!
104
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Tugas dan Melengkapi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata 1

Dalam Ilmu Syari’ah

Oleh :

MUSTOFA 052311173

JURUSAN MUAMALAH

FAKULTAS SYARI’AH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO

SEMARANG

(2)

ii Lam : 4 (empat) eks

Hal : Naskah Skripsi a.n. Sdr. Mustofa

Kepada Yth.

Dekan Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo

di Semarang Assalamu’alaikum Wr Wb.

Setelah saya meneliti dan mengadakan perbaikan seperlunya, maka bersama ini saya kirimkan naskah saudara:

Nama : Mustofa NIM : 052311173 Jurusan : Muamalah

Judul Skripsi : Analisis Hukum Islam Terhadap Perjanjian Antara

Calon TKI dan PJTKI di PT Pelita Karya Juhari Cabang Kendal

Dengan ini saya mohon kiranya skripsi tersebut dapat segera dimunaqasahkan.

Demikian atas perhatiannya, harap maklum adanya dan kami ucapakan terima kasih.

Wassalamu’alaikum Wr.Wb.

Semarang, 14 Juni 2012 Pembimbing

Drs. Mohamad Solek, M.A

(3)

iii

Jl. Prof. Dr. Hamka KM 02 Ngaliyan Telp. (024) 7601291 Semarang PENGESAHAN

Nama : Mustofa NIM : 052311173 Jurusan : Muamalah

Judul : Analisis Hukum Islam Terhadap Perjanjian Antara Calon

TKI dan PJTKI di PT Pelita Karya Juhari Cabang Kendal

Telah memunaqasahkan oleh Dewan Penguji Fakultas Syari'ah IAIN Walisongo Semarang dinyatakan lulus pada tanggal:

Juli 2012

Dan dapat diterima sebagai pelengkap ujian akhir Program Sarjana Strata Satu (1) guna memperoleh Gelar Sarjana dalam Ilmu Syari'ah.

Semarang, Juli 2012 Mengetahui

Ketua Sidang Sekretaris Sidang

Dr. H. Imam Yahya, M.Ag Drs. Mohamad Solek, M.A NIP. 19700410 199503 1001 NIP. 19660318 199303 1004

Penguji I Penguji II

H. Khairul Anwar, M.Ag Nur Hidayati Setyani, S.H.M.H NIP. 19690420 199603 1002 NIP. 19670320 199303 2001

Pembimbing

Drs. Mohamad Solek, M.A NIP. 19660318 199303 1004

(4)

iv

atau diterbitkan. Demikian juga skripsi ini tidak berisi satu pun pikiran-pikiran orang lain, kecuali informasi yang terdapat dalam referensi yang dijadikan bahan rujukan.

Semarang, 14 Juni 2012 Deklarator

MUSTOFA NIM. 052311173

(5)

v

pimpinan majikan untuk waktu tertentu melakukan pekerjaan dengan menerima upah. Perumusan ini adalah kurang lengkap karena disini yang mengikat diri hanyalah pihak buruh saja tidak juga pihak lainnya yaitu majikan, padahal pada tiap perjanjian yang mengikatkan diri adalah kedua belah pihak yang bersangkutan. Jadi perjanjian tertulis disini hanya antara PJTKI dengan calon TKI tidak disertakan majikan (pihak yang akan mempekerjakan), akan tetapi majikan telah memberi kuasa pada agen dari PT. Pelita Karya Juhari untuk mencarikan TKI sesuai kriteria. Dengan biaya sebesar Rp. 21.000.000 sebagai biaya keberangkatan dan keperluan dan yang lain-lain dikenakan pada calon TKI dan untuk pembayarannya melalui potongan gaji perbulan dari TKI. Adapun perjanjian kerja tertulis yang dibuat tidaklah diserahkan pada para TKI, tetapi dibawa oleh pihak PJTKI dengan alasan untuk keamanan. Sampai batas waktu yang telah ditentukan, dokumen administrasi termasuk perjanjian kerja TKI dan PJTKI dapat diambil.

Dari latar belakang tersebut timbul permasalahan bagaimana praktek perjanjian kerja antara calon Tenaga Kerja Indonesia(TKI) dengan Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia (PJTKI) di PT. Pelita Karya Juhari Cabang Kendal? dan Bagaimana Analisis Hukum Islam terhadap pelaksanan perjanjian kerja antara calon Tenaga Kerja Indonesia (TKI) dengan Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia (PJTKI) di PT. Pelita Karya Juhari Cabang Kendal?.

Dalam penelitian ini, jenis penelitiannya adalah field research dan metode pengumpulan datanya adalah observasi, wawancara dan dokumentasi. Sedangkan metode analisis yang digunakan adalah metode diskriptif analisis.

Hasil penelitian ini menunjukkan pandangan bahwa akad perjanjian kerja yang ada antara calon Tenaga Kerja Indonesia (TKI) dengan Perusahaan Jasa Tenaga kerja Indonesia (PJTKI) di PT. Pelita Karya Juhari Cabang Kendal dilihat dari segi Hukum Islam menggunakan akad Ijaratul ajir yaitu bekerja dalam rangka memberikan jasa (berupa tenaga maupun keahlian) kepada pihak tertentu dengan imbalan sejumlah upah tertentu. Analisis Hukum Islam terhadap pelaksanaan perjanjian kerja antara calon Tenaga Kerja Indonesia (TKI) dengan Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia (PJTKI) di PT. Pelita Karya Juhari Cabang Kendal, sudah sesuai dengan Hukum Islam.

(6)

vi

Segala puji kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah Nya kepada penulis, sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini tepat pada waktunya. Sholawat diiringi salam selalu tercurahkan kepada Baginda Nabi Besar Muhammad SAW yang telah membawa pencerahan dalam kehidupan seluruh ummat manusia.

Penulis menyadari bahwa dalam proses penyusunan skripsi ini tidak akan berhasil tanpa dukungan dari semua pihak dengan berbagai bentuk kontribusi yang diberikan, baik secara moril ataupun materiil. Dengan kerendahan dan ketulusan hati penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Dekan Fakultas Syari`ah IAIN Walisongo Semarang, Dr. H. Imam Yahya, M.Ag beserta seluruh stafnya yang telah memberikan berbagai kebijakan untuk memanfaatkan segala fasilitas di Fakultas Syari`ah.

2. Bapak Drs. Moh Solek, MA selaku Dosen Pembimbing penulisan skripsi ini, yang telah mencurahkan waktu, pikiran, dan perhatian serta dengan penuh kesabaran membimbing dalam proses penulisan skripsi.

3. Bapak Moh. Arifin, S.Ag, M. Hum selaku Ketua Jurusan Muamalah Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang.

4. Seluruh dosen Fakultas Syari`ah IAIN Walisongo yang telah memberikan pelajaran dan pengajaran kepada penulis sehingga dapat mencapai akhir perjalanan di kampus IAIN Walisongo Semarang.

(7)

vii

6. Bapak dan Ibuku tercinta yang senantiasa memberikan semangat, doa restu kalian menjadi kekuatan untukku. Terima kasih atas segala pengorbanan yang telah dilakukan untuk anakmu ini.

7. Kakak tercinta beserta istri, Adikku Muhibin yang selalu menjadi motivasi bagi penulis untuk segera menyelesaikan skripsi ini. Terima kasih atas cinta dan kasih kalian.

8. Temen-temen senasib seperjuangan kos’’Munto sorry’’Tompel, Bendot, Kacung, Kajine, Maman, Ngemplik, Syafiq, Jamal, Ijong, dan Alumni kos angkatan lawas yang telah menemani penulis dalam suka dan duka dalam mengarungi kehidupan anak kos. Terima kasih atas canda dan tawa kalian. 9. Kawan-kawan sekelas MUB’05 dan seluruh teman seangkatan. Terima kasih

atas ketulusan dan kehangatan pertemanan kalian.

10. My soulmete tercinta yang selalu menemaniku dalam suka maupun duka dan tidak bosan-bosan selalu mengingatkan, memberikan motivasi, serta membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Terima kasih atas ketulusan cinta kasihmu.

11. Teman-teman KKN Desa Kebonsari (Bu Murniati, Mbak Sarodah, Dini, Rifan, Zainul), walaupun kebersamaan kita hanya sebentar tapi membekas dihati.

(8)

viii

Yang Maha Kuasa. Pada akhirnya penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penyusunan skripsi ini. Untuk itu penulis sangat mengharapkan masukan baik berupa saran maupun kritik demi kelengkapan dan sempurnanya skripsi ini. Harapan penulis semoga skripsi ini bermanfaat bagi penulis pada khususnya dan bagi pembaca yang budiman pada umumnya.

Semarang, 14 Juni 2012

Penulis,

MUSTOFA NIM. 052311173

(9)

ix

Almamaterku IAIN Walisongo Semarang

Ayah dan Bundaku tercinta yang selalu mendukungku, mendo’akan dan membantuku Kakak dan Adikku yang senantiasa membantu dan memberikan motivasi

Seluruh keluarga besarku yang selalu mendo’akan kesukseanku My Soulmate yang selalu ada dalam setiap suka dan dukaku Orang-orang yang telah memberikan dukungan dalam hidupku

(10)

x

diketahui kejelasan upahnya”.1

(HR. Ahmad)

1

Muhammad Ibn Yazid al-Qowain, Sunan Ibn Majjah, Juz II, Dar al-Fikr, Beirut, tth., h. 817.

(11)

xi

HALAMAN PENGESAHAN………..iii

HALAMAN DEKLARASI………..iv

HALAMAN ABSTRAK………...v

HALAMAN KATA PENGANTAR………vi

HALAMAN PERSEMBAHAN………...ix HALAMAN MOTTO………x DAFTAR ISI………..xi BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang………..1 B. Rumusan Masalah………7 C. Tujuan Penelitian……….8 D. Kegunaan Penelitian………8 E. Telaah Pustaka……….9 F. Metode Penelitian………...10 G. Sistematika Penulisan……….14

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG AKAD DAN IJARAH A. Pengertian Akad……….16

A.1. Pengertian Akad………..16

A. 2. Rukun dan Syarat Akad……….19

(12)

xii

B. 4. Bentuk Ijarah………..38

BAB III GAMBARAN UMUM PERJANJIAN KERJA ANTARA CALON TENAGA KERJA INDONESIA (TKI) DENGAN PERUSAHAAN JASA TENAGA KERJA INDONESIA (PJTKI) PT PELITA KARYA JUHARI CABANG KENDAL

A. Profil PT. Pelita Karya Juhari Cabang Kendal………...41 B. Struktur Organisasi Perusahaan……….42 C. Bentuk Perjanjian dan Prosedur Pelaksanaan Perjanjian………...44 D. Prosedur Perekrutan………52 E. Dokumen Perjanjian………...54

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PERJANJIAN KERJA ANTARA CALON TENAGA KERJA INDONESIA (TKI) DAN PERUSAHAAN JASA TENAGA KERJA INDONESIA (PJTKI) PT PELITA KARYA JUHARI CABANG KENDAL

A. Analisis Akad Ijarah Terhadap Perjanjian Kerja………...57 B. Analisis Hukum Islam Terhadap Pelaksanaan Perjanjian Kerja…63

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan………72 B. Saran-saran……….73 C. Penutup………...73 Daftar Pustaka Lampiran-Lampiran Daftar Riwayat Hidup

(13)

1

A. Latar Belakang Masalah

Manusia terlahir sebagai individu yang saling berhubungan dengan sesamanya, karena manusia disebut sebagai makhluk sosial. Setiap individu memiliki beraneka ragam kebutuhan yang harus dipenuhi dalam hidupnya. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut manusia harus saling berinteraksi satu sama lain, saling bertukar keperluan, bahkan tidak hanya terbatas soal materi saja, melainkan juga jasa dan keahlian atau ketrampilan.1

Salah satu wujud manusia sebagai makhluk sosial adalah manusia saling membutuhkan antara satu orang dengan orang yang lain, maka dari itu Allah menyuruh kita untuk saling tolong menolong sebagaimana dinyatakan dalam Al- Qur‟an surat Al-Ma‟idah ayat 2:



















Artinya : “….dan tolong menolonglah kamu dalam mengerjakan kebaikan, kebajikan dan taqwa dan jangan tolong menolong dalam perbuatan dosa dan pelanggaran…” (Q.S. Al-Ma‟idah: 2).2

1

Soerjono Soekanto, Sosiologi (Suatu Pengantar), Jakarta: Radja Grafindo Persada, Cet.ke-38, 2005, h. 57.

(14)

Allah SWT berfirman dalam surat lain yaitu surat Az-Zukhruf ayat 32:



















































Artinya : “Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan kami telah meninggikan sebagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain. Dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan”. ( Q.S. Az-Zukhruf: 32 ).3

Dalam rangka memenuhi kebutuhan dan meningkatkan taraf hidup serta kesejahteraannya manusia diwajibkan untuk bekerja4, karena Islam memerintahkan pemeluknya untuk bekerja dan berusaha, menyebar di seluruh penjuru bumi guna mencari anugerah Allah, karena Allah telah menyediakan segala fasilitas di muka bumi ini diperuntukkan hanya untuk manusia. Maka

3

Ibid, h. 492.

4

Bekerja ditinjau dari segi kepentingan individu adalah pengerahan tenaga dan fikiran seseorang dengan mana yang bersangkutan akan memperoleh sesuatu yang bermanfaat bagi kelangsungan hidupnya.

Ditinjau dari segi kepentingan masyarakat, bekerja adalah pengerahan tenaga dan fikiran seseorang dalam lingkungan masyarakat, untuk menghasilkan barang atau jasa yang akan disuguhkan kepada masyarakat guna mencukupi sesuatu kebutuhan para anggota masyarakat, dengan mana yang bersangkutan akan memperoleh pendapatan guna kepentingan kelangungan hidupnya. Dengan demikian para anggota masyarakatakan terpenuhi kebutuhannya dan yang bersangkutanpun demikian pula sama halnya.

Ditinjau dari segi spiritual, bekerja adalah hak-hak dan kewajiban seseorang dalam memuliakan serta mengabdi kepada Tuhan YME dengan bersungguh-sungguh penuh ketekunan untuk memperoleh ridho-Nya. Baca G. Kartasapoetra dalam Hukum Perburuhan di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, Cet. 4, 1994, h. 15.

(15)

dalam perspektif Hukum Islam, tidak ada nilai bagi hidup seseorang tanpa pekerjaan, karena bekerja adalah ibadah dan salah satu kewajiban.5

Setiap orang berhak mendapat pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan, hal inilah yang melandasi buruh migran Indonesia mengadu nasib di Negeri asing.

Sempitnya lapangan kerja ditanah air dan tingginya angka kemiskinan juga rendahnya skill (keahlian) yang dimiliki serta besarnya gaji yang diterima menjadi salah satu pemicu utama meningkatnya angka buruh migran Indonesia yang keluar Negeri setiap tahunnya, tapi adanya kondisi seperti ini malah tidak jarang dimanfaatkan oleh beberapa perusahaan penyalur tenaga kerja untuk mencari keuntungan yang dapat merugikan buruh migran.6

Salah satunya dalam kontrak kerja yang dibuat tidak disebutkan secara jelas, sehingga kerap kali kurang menjelaskan akan hak dan kewajiban buruh migran. Dibuatnya kontrak perjanjian kerja sangat penting karena memiliki kekuatan hukum dan juga menjadi bukti tertulis apabila suatu hari nanti terjadi pelanggaran-pelanggaran, baik antara TKI dan pihak majikan atau PJTKI maupun antar negara.

Hubungan kerja terjadi setelah adanya perjanjian kerja antara buruh dan majikan yaitu suatu perjanjian dimana pihak kesatu (buruh) mengikatkan diri untuk bekerja dengan menerima upah. Pihak kedua (majikan) mengikatkan diri untuk mempekerjakan buruh itu dengan membayar upah

5

Saifudin Mujtaba‟, Istri Menafkahi Keluarga (Dilema Perempuan Antara Mencari,

Menerima dan Memberi), Surabaya: Pustaka Progresif. 2001, h. 112.

6

Wawancara, calon TKI Hongkong Ratih Lusiana Ningrum asal Kaliwungu Kendal, di tempat pelatihan pembekalan, PT Pelita Karya Juhari Cabang Kendal, 20 April 2012 jam 10.00 WIB.

(16)

sesuai perjanjian. Jika sudah terjadi suatu perjanjian, secara otomatis timbul suatu ikatan, maka para pihak berhak untuk menjalankan hak dan kewajiban yang sudah ditentukan.7

Dalam pembuatan perjanjian kerja harus memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan yaitu mengenai subyek, obyek atau isinya dan bentuk-bentuk perjanjian. Dalam membuat perjanjian apapun bentuknya ada unsur yang harus dipenuhi yaitu salah satunya merupakan hasil kesepakatan kedua belah pihak.8 Seseorang sebelum melakukan hubungan kerja dengan orang lain, terlebih dahulu akan diadakan sesuatu perjanjian kerja baik dalam bentuk sederhana yang pada umumnya dibuat lisan atau dibuat secara formal yaitu dalam bentuk tertulis. Semua upaya tersebut dibuat untuk maksud perlindungan dan kepastian akan hak dan kewajiban dari masing-masing pihak.

Hubungan kerja9 sebagaimana realisasi dari perjanjian kerja hendaknya menunjukkan kedudukan masing-masing pihak yang pada dasarnya akan menggambarkan hak-hak dan kewajiban-kewajiban pengusaha terhadap pekerja yang berpangkal pada melakukan pekerjaan dan pembayaran

7

Iman Soepomo, Pengantar Hukum Perburuhan, (Penerbit Djambatan), 2003, h. 52.

8

Toha, Halili, Hubungan Kerja antara Majikan dan Buruh, Jakarta: Rineka Cipta, 1991, h. 9.

9

Berdasarkan ketentuan pasal 1 angka 14 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003, hubungan kerja adalah hubungan antara penguasaha dengan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja, yang mempunyai unsur pekerjaan, upah dan perintah.Unsur-unsur perjanjian kerja yang menjadi dasar hubungan kerja sesuai dengan ketentuan pasal 1 angka 4 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 adalah: Adanya pekerjaan, di bawah perintah/gezag ver houding (maksdunya buruh melakukan pekerjaan atas perintah majikan, sehingga bersifat subordinasi), adanya upah tertentu/loan, dalam waktu (tijd) yang ditentukan (dapat tanpa batas waktu/pensiun atau berdasarkan waktu tertentu). Baca selengkapnya Undang-Undang No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

(17)

upah. Mengenai orang-orang, hanya orang dewasa yang mempunyai kemampuan untuk menyelenggarakan perjanjian kerja.

Perjanjian10 dalam Hukum Islam digolongkan kepada perjanjian sewa-menyewa yaitu ijarah amal yang artinya sewa-sewa-menyewa tenaga manusia untuk melakukan perjanjian-perjanjian.11

Ijarah yang berupa perjanjian kerja12, adakalanya merupakan perjanjian dengan orang-orang tertentu untuk mengerjakan pekerjaan-pekerjaan khusus bagi seorang atau beberapa orang musta‟jir tertentu, tidak untuk musta‟jir lain dan adakalanya merupakan perjanjian dengan orang-orang tertentu untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan yang tidak khusus bagi seorang atau beberapa orang musta‟jir tertentu.13

Dalam istilah Hukum Islam pihak yang melakukan pekerjaan disebut “ajir” (ajir ini terdiri dari ajir khas yaitu seseorang atau mustarak yaitu orang-orang yang bekerja untuk kepentingan orang-orang banyak). Sedangkan orang-orang yang memperoleh manfaat dari pekerjaan ajir disebut “musta‟jir” dimana, ijarah merupakan transaksi terhadap jasa tertentu dengan disertai kompensasi.14

10

Perjanjian secara etimologis adalah perbuatan dimana seseorang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap seseorang lain atau lebih. Dalam bahasa arab perjanjian diistilahkan dengan aqad. Baca Chairuman Pasaribu, Hukum Perjanjian dalam Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 1996, hlm. 1.

11

Lubis, Suhrawardi, Hukum Ekonomi Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 2000, h. 152.

12

Perjanjian kerja adalah perjanjian yang diadakan oleh 2 orang pihak atau lebih yang mana satu pihak berjanji untuk memberikan pekerjaan dan pihak yang lain berjanj untuk melakukan pekerjaan tersebut. Baca Chairuman Pasaribu et. al, Hukum Perjanjian dalam Islam, Jakarta : Sinar Grafika,1996. h.153.

Perjanjian Kerja menurut pasal 1601 a KUH Perdata adalah suatu persetujuan bahwa pihak kesatu yaitu buruh/pekerja mengikatkan diri untuk menyerahkan tenaganya kepada pihak lain, yaitu majikan/pengusaha dengan upah selama waktu tertentu.

13

Ahmad Azar Basyir, Hukum tentang Wakaf, Ijarah dan Syirkah, Bandung: Ma‟arif, 1987, h. 31.

14

(18)

Perjanjian kerja dalam Hukum Islam harus memuat beberapa ketentuan dan kesepakatan bersama minimal mencantumkan pokok yaitu: Pertama, bentuk atau jenis pekerjaan merupakan unsur utama yang tidak bisa tidak harus dimuat dalam perjanjian kerja. Hal ini karena mempekerjakan sesuatu pekerjaan yang masih belum diketahui hukumnya tidak boleh dan batal menurut jenis pekerjaan yang akan dikerjakan. Kedua, kejelasan gaji atau upah. Hukum Islam sangat memperhatikan tentang upah untuk para pekerja. Hal ini kewajiban yang harus dipenuhi oleh majikan atau pengusaha, oleh karenanya upah yang diberikan kepada pekerja haruslah jelas dan bisa diketahui. Ketiga, batas waktu pekerjaan, merupakan hal yang ada dalam perjanjian kerja, karena dapat menimbulkan hal- hal yang positif bagi kedua belah pihak seperti majikan akan tahu persis berapa upah yang akan dibayar pada pekerjaan dan relatif memperhitungkan dana yang akan dikeluarkannya untuk biaya pekerja tersebut.15 Tapi perselisihan antara pengusaha dan buruh atau pekerja sering terjadi dalam dunia ketenagakerjaan di tanah air.

Dari kondisi ini ada ketidakseimbangan posisi antara TKI dan PJTKI di satu sisi, ada pihak yang berkuasa penuh, yang bebas menentukan peraturan semau mereka dan pihak lain yaitu calon TKI mempunyai posisi yang lemah, yang harus mematuhi peraturan yang diberikan oleh pihak pengusaha.

Dalam suatu hubungan kerja, perjanjian harus dibuat atas kesepakatan kedua belah pihak dan keduanya memiliki posisi yang sama tidak ada pihak

15

Izzuddin Khatib Al-Tamimi, Nilai Kerja dalam Islam, Jakarta: Fikahayati Aneska,1992, h.119.

(19)

yang lebih penting karena pengusaha dan TKI (Pekerja) masing-masing saling membutuhkan.

Perjanjian kerja ini harus diwujudkan dengan seadil-adilnya sesuai dengan hak dan kewajiban masing-masing yang telah diatur dengan ketentuan hukum dan perundang-undangan atau kebiasaan-kebiasaan yang baik.16

Dari berbagai uraian tersebut penulis tertarik mengangkat masalah ini menjadi penelitian dalam bentuk skripsi dengan judul “ Analisis Hukum

Islam Terhadap Perjanjian Antara Calon TKI dan PJTKI di PT Pelita

Karya Juhari Cabang Kendal”.

B. Rumusan Masalah

Dari latar belakang masalah diatas dapat ditarik beberapa rumusan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana Praktek Perjanjian Kerja antara Calon Tenaga Kerja Indonesia (TKI) dengan PJTKI di PT Pelita Karya Juhari Cabang Kendal?

2. Bagaimana Analisis Hukum Islam terhadap pelaksanaan perjanjian kerja antara Calon TKI dengan PJTKI di PT Pelita Karya Juhari Cabang Kendal?

16

G. Kartasapoetra, et al., Hukum Perburuhan di Indonesia, Jakarta : Sinar Grafika, Cet. 4, 1994, h. 73.

(20)

C. Tujuan Penelitian

Tujuan utama penelitian ini adalah mendiskripsikan dan mengkaji secara kritis masalah perjanjian kerja antara TKI dengan PJTKI di PT. Pelita Karya Juhari Cabang Kendal secara spesifik, deskripsi mencakup:

1. Untuk mengetahui bagaimana praktek perjanjian kerja antara calon TKI dengan PJTKI di PT. Pelita Karya Juhari Cabang Kendal

2. Untuk mengetahui bagaimana Analisis Hukum Islam terhadap perjanjian kerja antara calon TKI dengan PJTKI di PT. Pelita Karya Juhari Cabang Kendal.

D. Kegunaan Penelitian

Adapun manfaat pembahasan permasalah dan penulisan ini, diharapkan berguna dan memiliki nilai guna sebagai berikut:

1. Sebagai kepentingan ilmiah diharapkan studi ini menjadi kontribusi penulis dalam akad perjanjian khususnya dalam hal perjanjian kerja antara PJTKI dengan calon TKI.

2. Sebagai kepentingan, harapan studi ini diharapkan menjadi sumbangan pemikiran bagi CTKI dan PJTKI dalam hal akad perjanjian kerja.

3. Dapat digunakan bahan kajian lebih lanjut bagi yang berminat berkaitan dengan skripsi ini dalam bentuk dan aspek lain.

(21)

E. Telaah Pustaka

Persoalan tentang perjanjian kerja merupakan suatu permasalahan yang sangat sering terjadi di masyarakat, tetapi dalam akadnya masih banyak yang tidak sesuai dengan norma-norma Islam, kajian pustaka ini pada dasarnya adalah untuk mendapatkan gambaran yang jelas tentang hubungan antara judul yang akan diteliti dengan penelitian sejenis yang pernah dilakukan oleh peneliti sebelumnya, sehingga tidak terjadi pengulangan.

Adapun topik yang pernah diteliti sebelumnya adalah:

Skripsi Umi Zaidah Alumnus Fakultas Syari‟ah IAIN Walisongo (2196151) yang berjudul: „’Perjanjian Kerja dan Hak Pensiun Pegawai

Negeri Sipil (PNS) Dalam Perspektif Hukum Islam”. Pada intinya

penyusun skripsi menjelaskan perjanjian kerja (untuk selanjutnya di tulis PK) bagi PNS, merupakan pertemuan antara dua kehendak, kehendak negara (pemerintah) di satu pihak dan kehendak warga negara yang ingin menjadi PNS. Dalam hubungan keduanya, PNS sebagai ‘amil (pekerja), sedangkan pemerintah sebagai shohibul ‘amal (pemberi pekerjaan). Bagi kedua belah pihak ini harus tunduk pada peraturan perundang-undangan yang berlaku.17

Skripsi Nailis Sa‟adah, Alumnus Fakultas Syari‟ah Iain Walisongo Semarang tahun 2008 yang berjudul: “Analisis Perjanjian Kerja Antara

Pengusaha Bus dengan Serikat Pekerja (Studi Kasus Jaminan Sosial

Tenaga Kerja di PT. Pahala Kencana Kudus)’’ membahas mengenai

pelaksanaan perjanjian kerja bersama adalah hak dan kewajiban

17

Umi Zaidah, Perjanjian Kerja dan Hak Pensiun Pegawai Negeri Sipil (PNS) Dalam

Perspektif Hukum Islam, Skripsi Sarjana Fakultas Syari‟ah Jurusan Muamalah, Semarang :

(22)

masing pihak. Salah satu kewajiban pengusaha antara lain memberikan kesejahteraan sosial bagi tenaga kerja yang meliputi jaminan kecelakaan kerja, jaminan kematian, jaminan hari tua, dan jaminan pemeliharaan kesehatan.18

Skripsi Andi Riswan, Alumnus Fakultas Syari‟ah IAIN Walisongo Semarang tahun 2005 yang berjudul: “Tinjauan Hukum Islam Terhadap

Pelaksanaan Kontrak Kerja Karyawan di PT. Laksana Kurnia Mandiri

Sejati Kabupaten Tegal” membahas mengenai mekanisme kontrak kerja

(sewa-menyewa) antara karyawan dengan perusahaan yang meliputi pelaksanaan pemberian upah, jaminan sosial serta pemberian tunjangan lainnya bagi tenaga kerja19

F. Metode Penelitian

Untuk mempermudah penelitian ini, maka peneliti menggunakan metode-metode sebagai berikut:

1. Jenis Penelitian

Data yang dikumpulkan dalam pengumpulan data yang penulis pakai adalah penelitian lapangan (field research) yaitu penelitian yang datanya

18

Nailis Sa‟adah, Analisis Perjanjian Kerja Antara Pengusaha Bus dengan Serikat

Pekerja (studi kasus jaminan sosial tenaga kerja di PT. Pahala Kencana Kudus), Skripsi Sarjana

Fakultas Syari‟ah Jurusan Muamalah, Semarang : Perpustakaan Fakultas Syari‟ah IAIN Walisongo Semarang, 2008.

19

Andi Riswan, Tinjauan Hukum Islam Terhadap Pelaksanaan Kontrak Kerja Karyawan

di PT. Laksana Kurnia Mandiri Sejati Kabupaten Tegal, Skripsi Sarjana Fakultas Syari‟ah Jurusan

(23)

diambil atau dikumpulkan dari lapangan dimana kasus itu berada, termasuk dokumen-dokumen yang memuat akad perjanjian.20

2. Sumber Data

a. Sumber Primer adalah data yang diperoleh penulis secara langsung dari keterangan pimpinan dan karyawan yang ada di PT. Pelita Karya Juhari Cabang Kendal.21

Data primer secara khusus dikumpulkan oleh peneliti untuk menjawab pertanyaan penelitian. Data primer dapat berupa opini subyek (orang) secara individual atau kelompok. Penelitian dengan menggunakan data primer ini dapat memperoleh data sesuai yang diinginkan.

Data primer ini dapat dikumpulkan dengan dua metode, yaitu: metode survei dan metode observasi. Metode survei ini dapat dilakukan antara lain dengan metode wawancara. Dalam penelitian ini, data primer diperoleh dengan wawancara antara lain dengan wawancara secara langsung dengan pimpinan atau karyawan di PT. Pelita Karya Juhari Cabang Kendal dan arsip-arsip atau dokumen-dokumen yang berkaitan dengan perjanjian kerja.

b. Sumber Sekunder

Sumber data yang digunakan dalam penelitian skripsi ini adalah data-data yang diperoleh dari data-data tertulis atau buku serta karya ilmiah lainnya yang berkaitan dengan pembahasan skripsi ini.22

20

Sumardi Suryabrata, metodelogi penelitian, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, Cet. 2, 1998, h. 22.

21

Amirudin, Abidin Zaenal, Pengantar Metode dan Peneltian Hukum, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003, h. 30.

22

(24)

3. Metode Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah : a. Observasi

Dalam pengertian psikologi observasi atau yang disebut pula dengan pengamatan, meliputi kegiatan pemuatan perhatian terhadap sesuatu objek dengan menggunakan seluruh alat indera. Metode ini digunakan agar masalah pokok dapat dilihat secara langsung pada PT. Pelita Karya Juhari Cabang Kendal baik secara formal atau informal di lapangan.

b. Interview

Interview yang sering disebut dengan wawancara atau kuesioner lisan, adalah sebuah dialog yang dilakukan pewawancara (interviewer) untuk memperoleh informasi dari terwawancara (interviewer).23

Interview ini digunakan untuk memperoleh yang tidak dapat diperoleh dengan data dokumenter. Dalam hal ini penulis mengadakan interview dengan pimpinan, karyawan atau staf di PT Pelita Karya Juhari Cabang Kendal yang sekira bisa dijadikan dan dapat dimintai keterangan yang ada kaitannya dengan yang penulis kaji. Ditinjau dari segi pelaksanaannya interview, dibedakan atas :

1. Interview bebas (inguided interview), dimana pewawancara bebas menanyakan apa saja, tetapi juga mengingat akan data apa yang akan dikumpulkan.

23

Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Jakarta : Rineka Cipta, Cet. ke-12, 2002, h. 132.

(25)

2. Interview terpimpin (guided interview) yaitu interview yang dilakukan pewawancara dengan membawa sederet pertanyaan lengkap dan terperinci seperti yang dimaksud dalam interview terstruktur.

3. Interview bebas terpimpin yaitu kombinasi antara interview bebas dan interview terpimpin.24

c. Dokumentasi

Yaitu pengambilan data yang dilakukan dengan jalan mempelajari dokumen-dokumen dan berkas-berkas pada Instansi dan pihak-pihak yang digunakan sebagai tahap penelitian sehingga data itu diperoleh sebagai masukan yang berhubungan dengan pokok pembahasan.25

4. Metode Analisis Data

Metode yang dipakai dalam penelitian ini adalah metode deskriptif analisis, yaitu dengan memaparkan data-data tentang prosedur perjanjian kerja yang disertai dengan analisis untuk kemudian diambil kesimpulan, cara ini digunakan karena penulis ingin memaparkan, menjelaskan dan menguraikan data-data yang terkumpul kemudian disusun dan dianalisis untuk diambil kesimpulan.26

Data yang diperoleh dalam peneliti kualitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif yang berupa kata-kata tertulis

24 Ibid, 25 Ibid, h. 133. 26

(26)

atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati akan dianalisis dengan cara berfikir deduktif.

Deduktif adalah analisis dari pengertian dan fakta-fakta yang bersifat umum, yaitu ketentuan hukum Islam mengenai perjanjian kerja kemudian diteliti dan hasilnya dapat memecahkan tentang masalah perjanjian kerja antara calon TKI dengan PJTKI di PT. Pelita Karya Juhari Cabang Kendal.

G. Sistematika Pembahasan

Untuk mempermudah dalam memahami skripsi yang akan penulis buat sebagai hasil penelitian, maka sebagai gambaran garis besar dari keseluruhan Bab yang perlu dikemukakan sistematika pembahasan sebagai berikut :

BAB I : Pendahuluan ini meliputi : Latar Belakang Masalah, Rumusan

Masalah, Tujuan Penelitian, Kegunaan Hasil Penelitian, Telaah Pustaka, Metode Penelitian, Sistematika Pembahasan.

BAB II : Tinjauan Umum Tentang Ijarah meliputi : Pengertian Akad,

Rukun dan Syarat Akad, Macam-macam Akad, Pengertian Ijarah, Dasar Hukum Ijarah, Rukun dan Syarat Ijarah, Bentuk Ijarah.

BAB III : Gambaran Umum Perjanjian Kerja Antara Calon Tenaga Kerja

Indonesia dengan Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia PT Pelita Karya Juhari Cabang Kendal yang meliputi: Profil PT Pelita Karya Juhari, Struktur Organisasi Perusahaan, Bentuk Perjanjian dan Prosedur Perekrutan, Dokumen Perjanjian Kerja.

(27)

BAB IV : Bab keempat merupakan Analisis Akad Ijarah Terhadap

Perjanjian Kerja antara Calon TKI dan PJTKI.

Analisis Hukum Islam Terhadap Pelaksanaan Perjanjian Kerja antara Calon TKI dengan PJTKI di PT. Pelita Karya Juhari Cabang Kendal.

BAB V : Bab kelima merupakan bab penutup meliputi : Kesimpulan,

(28)

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG AKAD DAN IJARAH

A. Pengertian Akad dan Ijarah

1. Pengertian Akad

Menurut bahasa Akad mempunyai beberapa arti, antara lain : a. Mengikat

( طتزنا

) yaitu :

عًج

ٙفزَط

احثصٛف لاصتٚ ٗتح زخلات اًْذحا ذشٚٔ ٍٛهثج

حعطقك

ِذحأ

“Mengumpulkan dua ujung tali dan mengikat salah satunya dengan yang lain sehingga bersambung, kemudian keduanya menjadi sebagai sepotong benda.“27

b. Sambungan

( جذقع

) yaitu :

آَُكِسًُْٚ

آًَُقتَٕٚٔ

ِٖذَنا مُصًَْْٕنَا

“Sambungan yang memegang kedua ujung itu dan mengikatnya.”28

c. Janji ( دهعلا ) sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qur‟an :



















“sebenarnya, barang siapa yang menepati janji dan bertakwa, maka sungguh Allah mencintai orang-orang yang bertakwa‟‟.

(QS. Ali Imron : 76).29

Jadi dari definisi-definisi yang dikemukakan di atas dapat disimpulkan bahwa akad menurut bahasa yaitu apabila ada 2 (dua) orang membuat suatu

27

Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada. Cet. I, 2002, h. 44

28

Ibid.

29

(29)

perjanjian dan kedua orang tersebut setuju maka keduanya harus menepati janji dan mempertanggungjawabkannya. Dalam terminologi hukum Islam akad didefinisikan sebagai berikut :

ّهحي ِزثا تثثٚ عٔزشي ّجٔ ٗهع لٕثقت طاثترا

“Akad adalah pertalian antara ijab dan qabul yang dibenarkan oleh syara‟ yang menimbulkan akibat hukum terhadap obyeknya.”

Ijab dalam definisi akad adalah ungkapan atau pernyataan kehendak

melakukan perikatan (akad) oleh suatu pihak, biasanya disebut pihak pertama. Sedangkan qabul adalah pernyataan atau ungkapan yang menggambarkan kehendak pihak lain, biasanya dinamakan pihak kedua, menerima atau menyetujui pernyataan ijab.30

Menurut Rachmat Syafe‟i bahwa : akad secara etimologi adalah ikatan antara dua perkara, baik ikatan secara nyata maupun ikatan secara maknawi, dari satu segi maupun dua segi. Menurut terminologi ulama‟ fiqh, akad dapat ditinjau dari dua segi yaitu secara umum dan secara khusus.

Secara umum pengertian akad menurut pendapat ulama‟ Syafi‟iyyah, Malikiyyah dan Hanafiyyah yaitu segala sesuatu yang dikerjakan oleh seseorang berdasarkan keinginannya sendiri, seperti wakaf, falak, pembebasan atau sesuatu yang pembentukkannya membutuhkan keinginan dua orang seperti jual-beli, perwakilan dan gadai.

30

Ghufron A. Mas‟adi, Fiqh Muamalah Kontekstual, Jakarta : Raja Grafindo Persada, Cet. I., 2002, h. 76-77.

(30)

Secara khusus pengertian akad adalah perikatan yang ditetapkan dengan ijab qabul berdasarkan ketentuan syara‟ yang berdampak pada objeknya.31

Menurut T. M. Hasbi Ash-Shiddieqy akad menurut lughah ialah :

احثصٛف لاصتٚ ٗتح زخ لات اًْذحا ذشٚٔ ٍٛهثج ٗفزط عًج ْٕٔ : طتزنا

ِذحأ حعطقك

“Rabath (mengikat) yaitu : mengumpulkan dua tepi tali dan mengikat salah satunya dengan yang lain hingga bersambung, lalu keduanya menjadi satu benda.”

Menurut fuqaha ialah :

اثترا

ٗض ازتنا تثثٚ عزشي ّجٔ ٗهع لٕثقٚ باجٚلاا ط

“Perikatan antara ijab dan qabul yang dibenarkan syara‟ dan menetapkan persetujuan kedua belah pihak”.32

Menurut M. Ali Hasan akad (arab :

ذقعنا

yaitu perikatan, perjanjian dan pemufakatan), pertalian ijab (pernyataan melakukan ikatan) dan qabul (pernyataan menerima ikatan), sesuai dengan kehendak syari‟at yang berpengaruh pada obyek ikatan. Semua perikatan (transaksi) yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih, tidak boleh menyimpang dan harus sejalan dengan kehendak syari’at. Tidak boleh ada kesepakatan untuk menipu orang lain, transaksi barang-barang yang diharamkan dan kesepakatan untuk membunuh orang.33

31

Rachmat Syafe‟i, Fiqh Muamalah, Bandung : Pustaka Setia. Cet. Ke-3, 2006, h. 43-44.

32

Hasbi Ash-Shiddieqy, Pengantar Fiqh Muamalah, Semarang. Pustaka Rizki Putra. Cet. Ke-4, 2001, h. 26.

33

Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi Dalam Islam, Jakarta : Raja Grafindo Persada. Cet. I., 2003, h. 101.

(31)

2. Rukun dan Syarat Akad a. Rukun Akad

Terdapat perbedaan pandangan di kalangan fuqaha’ berkenaan dengan rukun akad yang terdiri atas :

a. Al-‘Aqidain, yaitu para pihak yang terlibat langsung dengan akad b. Mahallul ‘aqd, yaitu obyek akad, yaitu sesuatu yang hendak

diakadkan.

c. Sighat al-‘aqd, yaitu pernyataan kalimat akad, yang lazimnya dilaksanakan melalui pernyataan ijab dan qabul.

Menurut fuqaha‟ Hanafiyyah, rukun akad hanya satu yaitu sighat

al-‘aqd. Menurutnya al-‘aqidain dan mahallul ‘aqd bukan sebagai rukun akad,

melainkan sebagai syarat.

Adapun rukun menurut istilah fuqaha’ dan ahli ushul adalah sesuatu yang menjadikan tegaknya dan adanya sesuatu sedangkan ia bersifat internal (dakhiliy) dari sesuatu yang ditegakkannya.

Berdasarkan pengertian diatas maka rukun akad adalah kesepakatan dua kehendak yakni ijab dan qabul. Seorang pelaku tidak dapat dipandang sebagai rukun dari perbuatannya, karena pelaku bukan merupakan bagian internal dari perbuatannya. Sebagaimana yang berlaku pada ibadah, misalnya shalat, di mana orang yang melakukan shalat tidak dapat dipandang sebagai rukun shalat. Atas dasar ini al-‘aqid (orang atau pihak yang melakukan aqad) tidak dapat dipandang sebagai rukun akad. Namun sebagian fuqaha‟ seperti

(32)

Imam Ghazali, seorang ulama dari mazhab syafi‟iyyah memandang ‘aqid sebagai rukun akad dalam pengertian karena ia merupakan salah satu dari pilar ulama dalam tegaknya akad. Demikian juga pendapat Syihab al-Karakhi dari kalangan Mazhab Malikiyyah.34

Menurut T. M. Hasbi Ash-Shiddieqy bahwa rukun akad adalah ijab dan qabul (shighatul ‘aqdi) atau ucapan yang menunjukkan kepada kehendak kedua belah pihak.

Ada tiga syarat dalam Shighatul ‘Aqdi yaitu : 1. Harus terang pengertiannya.

2. Harus bersesuaian antara ijab dan qabul

3. Memperlihatkan kesungguhan dari pihak-pihak yang bersangkutan.35 Ulama Hanafiyyah berpendapat bahwa rukun akad adalah ijab dan

qabul. Adapun orang yang mengadakan atau tidak dikategorikan rukun sebab

keberadaannya sudah pasti.

Ulama selain Hanafiyyah berpendapat bahwa akad memiliki tiga rukun yaitu :

1. Orang yang akad (‘aqid)

2. Sesuatu yang diakadkan (ma’qud alaih) 3. Sighat yaitu ijab dan qabul

Definisi ijab menurut ulama Hanafiyyah adalah penetapan perbuatan tertentu yang menunjukkan keridhaan yang diucapkan oleh orang pertama, baik yang mengerahkan maupun yang menerima, sedangkan qabul adalah

34 Ghufron A. Mas‟adi, loc.cit. 78-79. 35

(33)

orang yang berkata setelah orang mengucapkan ijab, yang menunjukkan keridhaan atas ucapan orang pertama.36

Berbeda dengan pendapat ulama selain Hanafiyyah bahwa ijab adalah pernyataan yang keluar dari orang kedua. Sedangkan qabul adalah pernyataan dari orang yang menerima barang. Pendapat ini merupakan pengertian umum yang dipahami orang bahwa ijab adalah ucapan orang yang menyerahkan barang (penjual dalam jual beli), sedangkan qabuladalah pernyataan dari penerima barang.37

Mustafa Ahmad al-Zarqa‟ sebagaimana dikutip oleh Ghufron A. Mas‟adi menyimpulkan pendapat para fuqaha jumhur dengan menawarkan istilah lain yaitu (unsur penegak akad) muqawimat aqad atau rukun akad : 1. Al-‘Aqidain (dua orang aqid)

2. Mahallul ‘aqad (obyek akad) 3. Maudhu’ul ‘aqad (tujuan akad) 4. Shighat aqad (ijab dan qabul).38 b. Syarat Akad

Adapun syarat menurut pengertian fuqaha dan ahlul ushul adalah :

ّتْٛ اي ٍع جر اخْٕٔ ادٕجٔلا ايذغ ِزٛغ طترزي ا مك

“Segala sesuatu yang dikaitkan pada tiadanya sesuatu yang lain, tidak pada adanya sesuatu yang lain, sedang ia bersifat eksternal (kharijiy).‟‟39

36

Rahmat Syafe‟i, Op. Cit., h. 45.

37

Ibid. h. 46.

38

Ghufron A. Mas‟adi, Op. Cit., h. 80-81.

39

(34)

Syarat-syarat terjadinya aqad, ada dua macam yaitu : pertama, syarat-syarat yang bersifat umum yaitu syarat-syarat-syarat-syarat yang wajib sempurna wujudnya dalam segala macam aqad. Kedua, syarat-syarat yang sifatnya khusus, yaitu syarat-syarat yang disyaratkan wujudnya dalam sebahagian aqad, tidak dalam sebahagian yang lain.Syarat khusus ini bisa juga disebut syarat idhafi (tambahan) yang harus ada disamping syarat-syarat yang umum, seperti syarat adanya saksi dalam pernikahan. Syarat-syarat umum yang harus dipenuhi dalam berbagai macam akad adalah :

1. Ahliyatul ‘aqidaini (kedua belah pihak cakap berbuat)

2. Qabiliyatul mahalil aqdi li hukmihi (yang dijadikan obyek akad, dapat menerima hukumnya)

3. Al wilyatus syar’iyah fi maudhu’il ‘aqdi (aqad itu diizinkan oleh syara‟, dilakukan oleh orang yang mempunyai hak melakukannya dan melaksanakannya, walaupun dia bukan si aqid sendiri)

4. Alla yakunal ‘aqdu au maudlu’uhu mamnu’an binashshin syar’iyin

(janganlah akad itu aqad yang dilarang syara‟). 5. Kaunul ‘aqdi mufidan (aqad itu memberi faedah)

6. Baqaul ijabi shalihan ila mauqu’il qabul (ijab itu berjalan terus, tidak dicabut sebelum terjadi qabul)

7. Ittihadu majlisil ‘aqdi (bersatunya majlis aqad).40

Menurut T. M. Hasbi Ash-Shiddieqy bahwa syarat-syarat yang diperlukan dalam mengadakan akad terdiri :

40

Hasbi Ash-Shiddieqy, Pengantar Fiqh Muamalah, Jakarta : Bulan Bintang. Cet. Ke-3., 1989, h. 27-28.

(35)

1. Al-‘Aqidain (dua orang aqid) 2. Mahallul ‘aqad (tempat akad) 3. Maudlu’ul ‘aqad (obyek akad) 4. Rukun-rukun aqad.

Menurut Rahmat Syafe‟i ada empat macam syarat-syarat dalam obyek akad (al-ma’qud ‘alaih) yaitu :

1. Ma’qud ‘alaihi (barang) harus ada ketika akad

2. Ma’qud ‘alaihi harus masyru’ (sesuai ketentuan syara‟) 3. Dapat diberikan waktu akad

4. Ma’qud ‘alaih harus diketahui oleh kedua pihak yang akad 5. Ma’qud ‘alaih harus suci.41

3. Macam-macam Akad

Pembagian macam dan jenis akad dapat dilakukan dari berbagai aspek dan sudut pandang yang berbeda-beda sebagaimana berikut ini :

a. Akad Shahih dan Ghairu Shahih 1. Akad Shahih

Akad shahih adalah akad yang memenuhi seluruh persyaratan yang berlaku pada setiap unsur akad (aqidain, shighatul ‘aqad, maudlu’ul ‘aqad

dan mahallul ‘aqad). Akibat hukum yang ditimbulkan berlaku semenjak

berlangsungnya akad. Misalnya : Akad jual beli yang dilakukan oleh para pihak yang cakap hukum atas mal al-mutaqawwim.

41

(36)

2. Akad Ghairu Shahih

Akad ghoiru shahih adalah akad yang sebagian unsurnya atau sebagian rukunnya tidak terpenuhi. Seperti : akad jual beli bangkai dan daging babi atau jual beli yang dilakukan oleh orang yang tidak memenuhi syarat kecakapan.

Dalam konsep fuqaha Hanafiyyah akad ghoiru shahih dibedakan menjadi dua macam yaitu akad fasid dan akad bathil. Namun konsep jumhur

fuqaha tidak membedakan antara keduanya. Yang dimaksud dengan akad bathil dalam pandangan fuqaha Hanafiyyah adalah akad yang cacat rukun dan

tujuannya, atau karena prinsip dan sifat-sifat akadnya bertentangan dengan ketentuan syari‟at seperti orang gila, atau cacat pada sighat akadnya, atau karena obyeknya tidak dapat dikenai hukum akad.42

Menurut mereka akad bathil ini sama sekali tidak menimbulkan akibat hukum. Sedangkan akad fasid menurut mereka adalah akad yang pada prinsipnya tidak bertentangan dengan syarat, namun terdapat sifat-sifat tertentu yang dilarang oleh syara’ yang dapat menyebabkan cacatnya irodah seperti adanya unsur tipuan atau paksaan.

Fuqaha Hanafiyah dan Malikiyah selanjutnya membedakan akad shahih menjadi 2 (dua) yaitu akad nafidz dan akad mauquf yang mempunyai kewenangan (wilayah) melakukan akad. Akibat hokum yang ditimbulkannya berlaku seketika berlangsungnya akad. Sedangkan akad mauquf adalah yang dilakukan oleh orang yang cakap namun tidak mempunyai kewenangan

42

(37)

melaksanakan akad. Akibat hukum yang ditimbulkan digantungkan (mauquf) pada izin dari pihak yang berwenang. Jika pihak yang berwenang tidak mengizinkannya maka akad batal.43

Dalam pandangan fuqaha Syafi‟iyah dan Hanabilah akad mauquf ini dinamakan sebagai akad yang batal.

b. Akad Musamma dan Ghoiru Musamma

Perbedaan jenis akad ini adalah dari segi kenamaan yang dinyatakan oleh syara’ antara lain :

1. Akad Musamma

Adalah sejumlah akad yang disebutkan oleh syara‟ dengan terminologi tertentu beserta akibat hukumnya, misalnya akad bai’, ijarah,

syirkah, hibah, kafalah, hawalah, rahn, wasiat, qord dan lain-lain.

2. Akad Ghoiru Musamma

Adalah akad yang mana syara’ tidak menyebutkan dengan terminologi tertentu beserta akibat hukum yang ditimbulkannya. Seperti akad

istishna’, bai’ al-wafa’ dan bai’ istijrar dan lain sebagainya.44

Akad istishna’ yaitu akad pemesanan sebuah produk tertentu, seperti jual beli perburuhan dan perjanjian. Bai’ al-wafa’ adalah akad jual beli benda tidak bergerak dalam batas waktu tertentu dengan keharusan menjualnya kembali kepada pihak yang memiliki sebelumnya, seperti jual beli dan gadai.

Sedangkan Bai’ istijrar adalah akad mempersewakan denda sekaligus penjualnya dalam mempertimbangkan sewa yang telah dibayarkan.45

43

Ibid, h. 104-105.

44

(38)

c. Berdasarkan maksud dan tujuannya, akad dibedakan menjadi tujuh macam sebagaimana berikut :

1. Akad al-tamlikiyyah, yakni akad yang dimaksud sebagai proses kepemilikan, baik kepemilikan benda maupun pemilikan manfaat jika akad ini dilaksanakan secara cuma-cuma dinamakan akad tabbaru’ seperti hibah, wakaf dan ariyah (pinjam meminjam).

2. Akad al-isqoth, yakni akad yang dimaksudkan untuk menggugurkan hak, baik disertai imbalan atau tidak. Seperti akad menjatuhkan khulu’ tanpa iwadh, pemaafan terhadap qishash, pembebasan hutang.

3. Akad al-ithlaq, adalah akad yang menyerahkan suatu urusan dalam tanggung jawab orang lain, seperti : wakalah (perwakilan) dan tawliyah (penyerahan kuasa).

4. Akad al-taqyid, yaitu akad yang bertujuan untuk mencegah seseorang

bertasyaruf, seperti wasiat, pengampuan atas seseorang lantaran gila

atau cacat mental.

5. Akad al-tawtsiq, yaitu akad yang dimaksudkan untuk menanggung piutang seseorang atau menjaminnya, seperti : akad kafalah, hawalah,

rahn.

6. Akad al-isytirak, yaitu akad yang bertujuan untuk bekerja sama dan berbagi hasil, seperti : akad syirkah, mudharabah.

7. Akad al-hifdh, yaitu akad yang dimaksudkan untuk menjaga harta benda, seperti akad wadiah.

45

(39)

d. Akad ‘Ainiyah dan Akad Ghoiru ‘Ainiyah

1. Akad ‘Ainiyah yaitu akad yang disyaratkan dengan penyerahan barang-barang, seperti jual beli.

2. Akad Ghoru ‘Ainiyah yaitu akad yang tidak disertai dengan penyerahan barang-barang, karena tanpa penyerahan barang-barang pun akad sudah berhasil, seperti akad amanah.46

B. Pengertian al-Ijarah

1. Pengertian Ijarah

Sebelum dijelasakan pengertian al-Ijarah, penulis tekankan dalam pembahasan ini yang akan penulis uraikan adalah al-Ijarah dalam arti perjanjian jasa atau tenaga. Ijarah berasal dari kata “al-ajru” yang arti menurut bahasannya ialah al- „iwad yang arti dalam bahasa Indonesia ialah ganti dan upah.47 Dalam fiqih muamalah, al-Ijarah mempunyai dua pengertian yaitu:

1. Perjanjian sewa-menyewa barang

2. Perjanjian sewa-menyewa jasa atau tenaga (perburuhan).48

Al-Ijarah (perjanjian kerja) ini sering juga diistilahkan dengan

perjanjian untuk melakukan pekerjaan dan lazim juga digunakan istilah perjanjian perburuhan.49

46

Hendi Suhendi, Op. Cit., h. 53.

47

Ahmad Warson Munawir, Al-Munawir Kamus Arab-Indonesia, Jakarta: Pustaka Progresif, 1984, h.751.

48

Rachmat Syafe‟i,Op. Cit, h.122.

49

Chairuman Pasaribu, et al., Hukum Perjanjian dalam Islam, Jakarta: Sinar Grafika, Cet. 2, 1996, h. 154.

(40)

Kitab Undang-undang Hukum Perdata karangan Ninik Suparni, dengan (ed: Andi Hamzah), menerangkan bahwa perjanjian kerja adalah dimana pihak kesatu, yaitu buruh mengikatkan diri untuk menyerahkan tenaganya kepada pihak lain, yaitu majikan selama waktu tertentu, untuk melakukan pekerjaan dengan menerima upah.50

Berikut beberapa definisi Ijarah yang dikemukakan para ulama‟ a. Menurut Mazhab Hanafiyah :

ضٕعت عف اُي ٗهع ذقع

„‟Transaksi terhadap suatu manfaat dengan suatu imbalan‟‟. b. Menurut Mazhab Syafi‟i :

ات ءلاأ ل ذثهن حهثق حح اثي حيٕهعي جدٕصقي حعفُي ٗهع ذقع

وٕهعي ضٕعت حح

„‟Transaksi terhadap manfaat yang dituju, tertentu bersifat bisa dimanfaatkan, dengan suatu imabalan tertentu‟‟.

c. Menurut Mazhab Malikiyah dan Hanbaliyah

ًت

ضٕعت وٕهعي جذي حح اثي ئش عف اُي كٛه

„‟Pemilikan manfaat yang dibolehkan dalam waktu tertentu dengan suatu imbalan‟‟.51

d. Menurut Syaikh Syihab al-Din dan Syaikh Umairah :

اعضٔ ضٕعت ححات ءلاأ لذثهن حهت اق جدٕصقي حيٕهعي حعفُي ٗهعذقع

50

Niniek Suparni, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Jakarata: Rineka Cipta, 1991, h. 383.

51

Hasan Ali, Berbagai Macam Transaksi Dalam Islam (Fiqh Muamalah), Jakarta : Raja Grafindo Persada, Cet . 1, 2003, h. 227-228.

(41)

„‟Akad atas manfaat yang diketahui dan disengaja untuk memberi dan membolehkan dengan imbalan yang diketahui ketika itu‟‟.

e. Menurut Hasbi Ash-Shiddiqie :

عف اًُنا عٛت ضٕعت آكٛهًت ٘ا جدٔذحي جذًت ئشنا حعفُي ٗهع حند اثًنا حعٕضٕي ذقع

„‟Akad yang obyeknya ialah penukaran manfaat untuk masa tertentu, yaitu pemilikan manfaat dengan imbalan, sama dengan menjual manfaat‟‟.52

f. Menurut Sayyid Sabiq ijarah ialah suatu jenis akad untuk mengambil manfaat dengan jalan penggantian.53

Drs. Ghufron A. Mas‟adi M.Ag dalam bukunya yang berjudul Fiqh Muamalah Kontekstual menjelaskan bahwa ijarah dapat dibedakan menjadi dua, yaitu ijarah yang mentransaksikan manfaat harta benda yang lazim disebut persewaan, dan ijarah yang mentransaksikan manfaat SDM yang lazim disebut perburuhan.54

Dari sini dapat disimpulkan bahwa dalam menerjemahkan ijarah tersebut janganlah diartikan menyewa sesuatu barang untuk diambil manfaatnya saja, tetapi harus dipahami dalam arti luas. Dalam arti luas, ijarah bermakna suatu akad yang berisi penukaran manfaat sesuatu dengan jalan memberikan imbalan dalam jumlah tertentu yang dalam hal ini dapat dikategorikan ke dalam perjanjian kerja.

52

Hendi Suhendi, Op.Cit, h. 114-115.

53

Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah Juz 13, alih bahasa Kamaluddin A. Marzuki, Bandung : Al-Ma‟arif, 1988, h. 15.

54

Ghufron A. Mas‟adi. Fiqh Muamalah Kontekstual, Jakarta : Raja Grafindo Persada, Cet. 1, 2002, h. 183.

(42)

Perjanjian kerja ini dalam Hukum Islam digolongkan kepada perjanjian sewa-menyewa untuk melakukan pekerjaan. Dalam istilah Hukum Islam pihak yang melakukan pekerjaan disebut dengan mu‟ajir, pada lapangan perburuhan mu‟ajirnya adalah pemilik usaha, sedangkan buruhnya disebut musta‟jir, objek yang dijadikan sasaran yang berwujud imbalan dalam berijarah disebut alma‟qud „alaih.55

Secara umum yang dimaksud dengan perjanjian kerja adalah perjanjian yang diadakan oleh dua orang (pihak) atau lebih, yang mana pihak satu berjanji untuk memberikan pekerjaan dan pihak yang lain berjanji untuk melakukan pekerjaan tersebut.56

Dari pengertian di atas dapat disimpulkan, bahwa perjanjian kerja itu harus memuat ketentuan yang berkenaan dengan hubungan kerja tersebut, yaitu hak dan kewajiban buruh serta hak dan kewajiban majikan, adapun pernyataan tersebut membuktikan adanya kesanggupan dan kesungguhan dari masing-masing pihak untuk menjalankan hak dan kewajiban.57

2. Landasan Hukum Ijarah.

a. Landasan Al-Qur‟an firman Allah SWT surat Al-Baqarah ayat 233:











































55

Helmi Karim, Fiqih Muammalah, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997, h. 34.

56

Taqiyuddin An-Nabani, Membangun Sistem Ekonomi Alternatif (Terjemahan), Surabaya: Risalah Gusti, Cet. 7, 2002, h. 83.

57

(43)

Artinya : …..“ Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan.” (Q.S: Al-Baqarah: 233).58

Allah SWT menjelaskan bahwa membolehkan sewa menyewa pada penyusuan, dan apabila sewa menyewa seperti itu diperbolehkan maka diperbolehkan juga sewa menyewa yang sama seperti dimaksud dalam dalil tersebut, dalam artian seorang manusia diperbolehkan untuk menyewakan tenagananya sebagai pekerja untuk melakukan suatu pekerjaan.

Firman Allah, surat al-Qashas ayat: 26-27















































































Artinya : “Salah seorang dari kedua wanita itu berkata “Ya Bapakku, ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kami ambil untuk bekerja (pada kita) adalah orang yang kuat lagi dapat dipercaya. Berkatalah dia (Syu‟aib) “Sesungguhnya aku bermaksud menikahkan kamu dengan salah seorang dari kedua anakku ini, atas dasar bahwa bekerja denganku delapan tahun dan jika kamu cukupkan sepuluh tahun maka itu adalah (suatu kebaikan) dari

58

(44)

kamu, maka aku tidak hendak memberati kamu dan kamu insya Allah akan mendapatiku termasuk orang-orang yang benar”. (Q.S. Al-Qashas: 26-27).59

Allah SWT menyebutkan, bahwa salah seorang dari Nabi-Nya mempersewakan dirinya (bekerja mencari upah) beberapa tahun untuk menggembala kambing, dan yang menjadi bayarannya adalah dikawinkannya nabi tersebut dengan putri Nabi Syu‟aib. Dari cerita tersebut maka itu menunjukkan atas pembolehan sewa-menyewa antara seorang pekerja dengan majikan.

b. Landasan Sunah Ijarah

1. Dirwiyatkan oleh Imam Abu Dawud

مثق ِزجازٛجلاا إطعا لاق ىهسٔ ّٛهع للها ٗهص ٙثُنا ُّع للها ئضر زًع ٍتا ٍع

) ّجاي ٍتا ِأر ( ّقزع فحٚ ٌا

Artinya : “ Diriwayatkan dari Umar ra. Bahwasanya Nabi Muhammad SAW bersabda: “Berikanlah upah pekerja sebelum kering keringatnya”.60 (HR. Ibnu Majah).

Menerangkan bahwa seorang pengusaha atau majikan harus bertanggung jawab dalam pembayaran upah pekerja sesuai dengan kesepakatan yang telah dibuatnya.

59

Ibid. h. 389.

60

Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqalani, Bulughul Maram hadist nomor 937, Surabaya: Darul „Ilm, h. 934.

(45)

2. Dalam hadist lain disebutkan :

هسٔ ّٛهع للها ٗهص ٙثُنا ٌا ٘رذحنا دٕعسي ٙتا ٍع

ٍع َٗٓ ى

ِزجا ّن ٍٛت ٗتح زجءاتس ءا

(

ذًحا ِأر

)

Artinya

: “

Sesengguhnya Rosulullah SAW, melarang mempekerjakan buruh, sehinggah diketahui kejelasan upahnya”.61

(HR. Ahmad)

Maksudnya adalah pihak pengusaha wajib memberitahukan besarnya upah yang akan diberikan kepada seorang pekerja atas pekerjaannya, dan membayarkannya sesuai dengan isi perjanjian tersebut.

3. Rukun dan Syarat-Syarat Al-Ijarah a. Rukun Ijarah

Para ulama‟ berbeda pendapat tentang rukun Ijarah secara garis besar, perbedaan pendapat ulama‟ itu sebagai berikut:

1. Menurut ulama‟ Hanafi rukun al-ijarah itu hanya satu, yaitu ijab (ungkapan menyewakan) dan qobul (persetujuan terhadap sewa-menyewa).

2. Adapun golongan Syafi‟iyah, Malikiyah, dan Hambali berpendirian bahwa rukun ijarah itu terdiri atas :

a. Mu'ajir (pihak yang memberikan ijarah atau orang yang menyewakan).

b. Musta‟jir (orang yang membayar ijarah atau orang yang menyewa).

c. Al-Ma‟qud „alaih (adanya objek ijarah).

61

Muhammad Ibn Yazid al-Qowain, Sunan Ibn Majjah, Juz III, Dar al-Fikr, Beirut, tth., h. 817.

(46)

Ma‟qud alaih dijadikan rukun karena kedua belah pihak agar mengetahui wujud barangnya, sifat, keadaannya, serta harganya.

Sesuatu yang dijadikan obyek perjanjian kontrak kerja adalah berupa tenaga manusia atau keterampilan, karena tanpa adanya obyek, maka tidak akan terwujud suatu akad, hal ini untuk menghindari adanya unsur penipuan dalam bidang pekerjaan dan pemberian upah.

d. Ujrah (upah atau imbalan).

e. Sighat (ijab dan qabul), serah terima antara kedua pihak.62

Dalam hal perjanjian kerja ini, ulama‟ juga mensyaratkan untuk mengambil bentuk tertentu, cara apa pun yang menunjukkan adanya ijab dan qobul sudah dianggap sebagai akad dan akad tersebut tetap dianggap berpengaruh selamanya, asal dilakukan oleh mereka yang berhak melakukannya dan memenuhi syarat-syarat utuk boleh menyelenggarakan akad.

Syarat orang yang berakad adalah kedua belah pihak yang melakukan akad disyaratkan berkemampuan, yaitu kedua-duanya berakal dan dapat membedakan. Jika seseorang yang berakad itu gila atau anak kecil yang belum dapat membedakan, maka akad menjadi tidak sah.63

Demikian pula orang yang mabuk dan orang yang kadang-kadang datang sakit ingatan, maka tidak sah pula melakukan ijarah ketika ia dalam keadaan sakit.64

62

Helmi Karim, Fiqih Muammalah, Op. cit. h. 34.

63

Sayyid Sabid, Fiqih Sunah, Jilid13, Op. cit. h. 11.

64

(47)

Ulama‟ Hanafiyah dan Malikiyah berpendapat bahwa kedua orang yang berakad itu tidak harus mencapai usia baligh, tetapi anak yang sudah mumayyiz (sudah dewasa) boleh melakukan akad ijarah. Namun mereka mengatakan, apabila seorang anak mumayyiz melakukan akad al-ijarah terhadap harta atau dirinya, maka akad tersebut baru dianggap sah apabila telah disetujui oleh walinya.65

Akan tetapi imam Syafi‟i dan Hambali satu syarat lagi, yaitu baligh. Perjanjian sewa-menyewa dilakukan oleh orang yang belum dewasa menurut mereka adalah tidak sah, walaupun mereka sudah berkemampuan untuk membedakan mana yang baik dan mana yang buruk (berakal).66

Ijarah sebagai sebuah transaksi umum, baru dianggap sah apabila telah

memenuhi syarat dan rukunnya.

b. Adapun syarat-syarat Ijarah adalah sebagai berikut: 1. Adanya kerelaan dari dua belah pihak.67

Dalam hal ini, tidak boleh dilakukan akad ijarah oleh salah satu pihak atau kedua-duanya atas dasar keterpaksaan dari pihak yang berakad atau pihak yang lain, sehingga penyelenggaraan akad ijarah didasarkan atas kemauan sendiri dengan penuh kerelaan.

65

Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2000, h. 232.

66

Chairuman Pasaribu, et al, Hukum Perjanjian dalam Islam, Op. cit, h. 53.

67

(48)

Sesuai dengan firman Allah dalam surat An-Nisa‟: 29 adalah:















































Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan

harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu; Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu” (Q.S: An-Nisa‟: 29).68

2. Ma‟qud „alaih bermanfaat dengan jelas.

Adanya kejelasan pada Ma‟qud „alaih (barang) menghilangkan pertentangan diantara „aqid. Diantara cara untuk mengetahui „alaih (barang) adalah dengan menjelaskan manfaatnya, pembatasan waktu, atau menjelaskan jenis pekerjaan, jika ijarah atas pekerjaan atau jasa seseorang.

3. Objek al-Ijarah sesuai yang dihalalkan oleh syara‟.69

Para ulama‟ fiqih sepakat bahwa tidak boleh menyewa seseorang untuk mengajarkan ilmu sihir, menyewa seseorang untuk membunuh orang lain (pembunuh bayaran), dan orang Islam tidak boleh menyewakan rumah kepada non muslim untuk dijadikan tempat ibadah mereka, menurut mereka objek sewa-menyewa dalam contoh diatas termasuk maksiat.

4. Mengetahui manfaat dengan sempurna barang yang diakadkan, sehingga mencegah terjadinya perselisihan. Dengan jalan menyaksikan

68 Departemen Agama RI, Al Qur’an dan Terjemahanya, Op. cit, h. 84. 69

Hasan Ali, Berbagai Macam Transaksi Dalam Islam (Fiqh Muamalah), Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003, h. 233.

(49)

barang itu sendiri, atau kejelasan sifat-sifatnya jika dapat hal ini dilakukan menjelaskan pekerjaan yang diharamkan.

5. Tidak menyewa untuk pekerjaan yang diwajibkan kepadanya. Diantara contohnya adalah menyewa orang untuk shalat fardu, puasa, haji, dan lain-lain. Para ulama‟ fiqih sepakat menyatakan bahwa sewa-menyewa orang untuk melakukan shalat untuk diri penyewa dan menyewa orang belum haji untuk menggantikan haji penyewa tidaklah sah, karena shalat dan haji merupakan kewajiban bagi orang yang disewa.

6. Manfaat ma‟qud „alaih sesuai dengan keadaan yang umum. Tidak boleh menyewa pohon untuk dijadikan jemuran atau tempat berlindung sebab tidak sesuai dengan manfaat pohon yang dimaksud dalam ijarah.

7. Objek al-ijarah itu boleh diserahkan dan dipergunakan secara langsung.70

Para ulama‟ fiqih sepakat menyatakan bahwa tidak boleh menyewakan sesuatu yang tidak boleh diserahkan dan dimanfaatkan langsung oleh penyewa. Misalnya, apabila seseorang menyewa rumah, maka rumah itu langsung ia terima kuncinya dan langsung boleh ia manfaatkan. Apabila rumah itu masih berada ditangan orang lain, maka akad al-ijarah berlaku sejak rumah itu boleh diterima dan ditempati oleh penyewa kedua. Apabila atap rumah itu bocor dan sumurnya kering , sehingga membawa mudarat bagi penyewa, maka pihak penyewa berhak memilih apakah akan melanjutkan akad itu atau membatalkan.

70

Referensi

Dokumen terkait

(1) Tujuan umum penerapan sistem kredit di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga adalah untuk lebih memenuhi tuntutan pembangunan karena dalam penyelenggaraannya

(2017), tingkat kelangsungan hidup udang dapat menurun dikarenakan padat penebaran yang tinggi akan meningkatkan kompetisi udang dalam mendapatkan makanan, ruang

Permasalahannya sekarang, bagaimana mensiasati kurikulum dan silabus mata pelajaran agama yang pada satu sisi - seperti dikeluhkan banyak guru dan

Uji perbandingan yaitu uji t dua sampel digunakan untuk membandingkan (membedakan) apakah kedua data (variabel) tersebut sama atau berbeda. Adapun langkah-langkah pengujiannya

man (kedisiplinan petugas) yaitu ketidakdisplinan petugas filing dalam mengambil berkas rekam medis dan ketidakdisplinan petugas poli/bangsal dalam mengembalikan

Kegiatan pengembangan usaha produk inteketal kampus ini (PPUPIK) bertujuan untuk mengembangkan usaha budidaya anemon laut yang dapat memberikan kesempatan dan pengalaman

[4.3.1] Bahwa aduan Para Pengadu, yang mendalilkan pada saat pendaftaran Bakal Pasangan Calon pendaftaran terdapat dokumen Surat Keputusan PKPI Nomor

Proses mendapatkan informasi proyek merupakan bagian dari proses marketing Badan Usaha, pihak yang terkait dengan marketing tersebut harus dianalisis sedemikian rupa,