• Tidak ada hasil yang ditemukan

PROGRAM BREEDING SAPI POTONG BRAHMAN CROSS (STUDI KASUS DI PT WIDODO MAKMUR PERKASA, CIKALONG KULON, CIANJUR, JAWA BARAT) FAHMI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PROGRAM BREEDING SAPI POTONG BRAHMAN CROSS (STUDI KASUS DI PT WIDODO MAKMUR PERKASA, CIKALONG KULON, CIANJUR, JAWA BARAT) FAHMI"

Copied!
56
0
0

Teks penuh

(1)

CIKALONG KULON, CIANJUR, JAWA BARAT)

FAHMI

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

RINGKASAN

FAHMI. Prorgram Breeding Sapi Potong Brahman Cross (Studi

Kasus di PT Widodo Makmur Perkasa, Cikalong Kulon, Cianjur, Jawa Barat). Di bawah bimbingan R. KURNIA ACHJADI.

Prorgam breeding sapi potong brahman cross berperan penting dalam meningkatkan populasi sapi brahman cross di Indonesia untuk mencukupi kebutuhan daging nasional. Studi kasus ini bertujuan untuk mengetahui program breeding yang dilakukan di PT Widodo Makmur Perkasa (PT WMP) serta berbagai masalah yang sering muncul dalam pemeliharaannya. Studi ini dilakukan berdasarkan metode survei deskriptif dengan pengumpulan data primer melalui wawancara dengan staf dan pegawai di PT WMP dan data sekunder diperoleh dari data yang telah ada di PT WMP serta literatur. Hasil studi menunjukan program breeding yang dilakukan di PT WMP adalah program inseminasi buatan dengan nilai conception rate (CR) sebesar 46% dan nilai service per conception (S/C) ≥ 1,5. Kelainan yang sering muncul dalam pemeliharaan sapi brahman cross yaitu distokia dan abortus.

Kata kunci: PT Widodo Makmur Perkasa, Sapi Brahman Cross, dan Inseminasi Buatan.

(3)

FAHMI. Brahman Cross Cattle Breeding Program (Case Study in PT Widodo Makmur Perkasa, Cikalong Kulon, Cianjur, Jawa Barat). Under direction of R. KURNIA ACHJADI.

Brahman Cross cattle breeding progam plays an important role in improving the brahman cross cattle population in Indonesia to meet the needs of national meat. This case study aims to determine the applied breeding programs in PT Widodo Makmur Perkasa (PT WMP) and various problems that often arise in raising brahman cross cattle.This study was based on a descriptive survey method of collecting primary data through interviews of staff and several workers at PT WMP and secondary data obtained from the existing data in PT WMP and literature. The results of the study showed that breeding program conducted at PT WMP is an program artificial insemination with a value of conception rate (CR) is 46% and the value of service per conception (S / C) is ≥ 1,5. Some disorder that often arise in Brahman Cross cattle is distochia and abortion.

Key words: PT. Widodo Makmur Perkasa, Brahman Cross Cattle, and artificial insemination

(4)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan skripsi Program Breeding Sapi Potong Brahman Cross (Studi Kasus di PT Widodo Makmur Perkasa, Cikalong Kulon, Cianjur, Jawa Barat) adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Februari 2010

Fahmi NIM B04052148

(5)

© Hak Cipta Milik IPB, tahun 2010

Hak cipta dilindungi Undang-Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, menuliskan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah

b. Pengutipan tideak merugikan yang wajar IPB

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB

(6)

PROGRAM BREEDING SAPI POTONG BRAHMAN CROSS

(STUDI KASUS DI PT WIDODO MAKMUR PERKASA,

CIKALONG KULON, CIANJUR, JAWA BARAT)

FAHMI

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada

Fakultas Kedokteran Hewan

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2010

(7)

Nama : Fahmi NIM : B04052148 Disetujui Dosen Pembimbing Drh. R. Kurnia Achjadi, MS NIP. 19500907 197603 1 002 Diketahui Wakil Dekan

Dr. dra. Nastiti Kusumorini NIP. 19621205 198703 2 001

(8)

PRAKATA

Syukur alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas semua nikmat yang telah diberikan kepada penulis dalam menjalani hidup hingga penulis bisa menyelesaikan studi dan skripsi dengan baik di Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor (FKH IPB). Judul skripsi yang diambil adalah “Program Breeding Sapi Brahman Cross (Studi Kasus di PT Widodo Makmur Perkasa, Cikalong Kulon, Cianjur, Jawa Barat)“.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini tidak terlepas dari bimbingan, bantuan dan dukungan baik moril maupun materil dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1 Bapak Drh. R. Kurnia Achjadi, MS selaku pembimbing yang telah banyak meluangkan waktu dalam memberikan bimbingan, arahan, dan nasihat yang membangun serta motivasi kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. 2 Ibu Dr. Drh. Hj. Upik Kesumawati Hadi, MS sebagai dosen pembimbing

akademik yang telah banyak memberikan nasehat dan memotivasi penulis dalam menjalankan studi di FKH IPB serta menjadi orang tua penulis dalam menyelesaikan studi.

3 Bapak Ir. Hariyanto, MBA selaku general manager PT Widodo Makmur Perkasa atas izin yang telah diberikan untuk melakukan studi kasus ini.

4 Bapak Bertha Yudhistira, S.Pt beserta seluruh staff PT Widodo Makmur Perkasa Cianjur yang telah membantu dalam pengumpulan data

5 Keluarga tercinta (Bapak, Mamah, kang Riza, kang Egi dan kang Risyda) atas cinta, kasih sayang, kelembutan, perhatian serta pengorbanannya baik moral maupun materi kepada penulis.

6 Hamidah yang telah banyak berkorban dan memberikan semangat serta kasih sayang disetiap waktunya kepada penulis.

7 Teman-teman seperjuangan di KEJEVET (Wandi, Ferdi, Syifa, Ikhsan), goblet FKH 42, dan Himpunan Mahasiswa Tjiandjoer (HIMAT).

8 Bapak Drh. Rahmat Hidayat, M.Si atas kesediaan bapak mengajarkan saya kesabaran dan ikhlas serta kesempatan yang telah diberikan kepada saya untuk berpetualang di fakultas tercinta.

9 Winda Aryani Asyifa dan Khairunnisa Pratikno yang telah memberikan semangat dan kasih sayang kepada penulis.

10 Syamsuddin Fathi yang telah memberikan nuansa berbeda dalam hidup terutama dalam hal bebagi pengalaman kehidupan.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Februari 2010

(9)

Penulis merupakan anak keempat dari empat bersaudara, putra pasangan Bapak Haerudin Asyari dan Ibu Euis Lia Yulipah.

Penulis menyelesaikan sekolah dasar di SD Negeri 2 Ciranjang pada tahun 1999, kemudian penulis melanjutkan pendidikan ke SLTP Negeri 1 Ciranjang dan lulus pada tahun 2002. Pada tahun 2005 penulis menyelesaikan pendidikan di SMA Negeri 1 Cianjur dan diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB).

Selama kuliah penulis aktif dalam organisasi internal maupun eksternal kampus. Untuk organisasi internal kampus, pada tahun 2006 penulis aktif sebagai anggota Himpunan Minat dan Profesi Ornithologi dan Unggas (ORNITH) dan anggota Dewan Keluarga Mushola An-nahl. Pada tahun 2007 penulis menjabat sebagai ketua komisi eksternal Dewan Perwakilan Mahasiswa Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor (DPM FKH IPB) sekaligus merangkap jabatan sebagai anggota Majelis Perwakilan Mahasiswa Keluarga Mahasiswa Institut Pertanian Bogor (MPM KM IPB). Untuk organisasi eksternal kampus, pada tahun 2008 penulis aktif sebagai ketua PTKP Himpunan Mahasiswa Islam (HMI Komisariat FKH IPB) dan bendahara Komunitas Petualang Kelompok Jelajah Veteriner (KEJEVET).

(10)

i

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ... i

DAFTAR TABEL ... iii

DAFTAR GAMBAR ... iv DAFTAR LAMPIRAN ... v PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1 Tujuan ... 3 TINJAUAN PUSTAKA Reproduksi Sapi Brahman Cross ... 4

Cara Mengukur Performance Reproduksi ... 4

Reproduksi Sapi Brahman Cross Jantan ... 6

Pubertas ... 6

Libido dan Kemampuan Mengawini ... 7

Faktor yang Mempengaruhi Fertilitas Spermatozoa ... 8

Reproduksi Sapi Brahman Cross Betina ... 8

Kunci Kesuburan ... 8

Siklus Reproduksi ... 9

Program Breeding ... 11

Manajemen Kelompok ... 12

Body Condition Scores (BCS) ... 12

Energi Untuk Breeding ... 14

Kontrol Perkawinan ... 15

Manajemen Dara ... 15

Program Breeding dan Non Breeding Untuk Perbaikan Produksi Daging ... 16

Nilai Genetik Sapi Brahman Cross ... 16

Inseminasi Buatan Pada Sapi ... 17

Sistem Breeding ... 18

MATERI DAN METODE Waktu dan Tempat Pelaksanaan ... 21

Metode Pelaksanaan... 21

Parameter yang diamati... 21

HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum PT Widodo Makmur Perkasa ... 22

Stuktur Organisasi ... 24

(11)

ii

Manajemen Reproduksi ... 29

Penampilan Reproduksi Sapi Brahman Cross Betina ... 30

Penampilan Reproduksi Sapi Brahman Cross Jantan ... 32

Gangguan Reproduksi ... 32

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ... 33

Saran ... 33

DAFTAR PUSTAKA ... 34

(12)

iii

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1 Persentase beranak dan pejantan yang tidak aktif

pada peternakan rakyat di Indonesia ... 7

Tabel 2 Efek dari Body Condition Score (BCS) terhadap Postpartum Interval ... 13

Tabel 3 Efek Body Condition Score (BCS) terhadap persentasi kebuntingan ... 13

Tabel 4 Hubungan BCS dengan rata-rata sapi bunting kembali setelah penyapihan ... 13

Tabel 5 Hubungan BCS dengan kekuatan anak untuk berdiri pada kelahiran ... 14

Tabel 6 Data populasi Sapi Brahman Cross pada bulan Juli 2009... 23

Tabel 7 Pertambahan bobot badan harian sapi murni ... 25

Tabel 8 Formulasi Ransum di PT Widodo Makmur Perkasa ... 28

Tabel 9 Penampilan Reproduksi Sapi Brahman Cross Betina di PT Widodo Makmur Perkasa Cikalong Kulon Kabupaten Cianjur ... 30

(13)

iv Gambar 1 Siklus Estrus ... 10 Gambar 2 Sapi Brahman Cross ... 17 Gambar 3 Bagan Struktur Organisasi PT Widodo Makmur Perkasa Cianjur ... 24

(14)

v

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1 Lampiran Kuisioner Program Breeding Sapi Potong Brahman Cross di PT Widodo Makmur Perkasa Cianjur, Jawa Barat ... 37 Lampiran 2 Foto-Foto di Peternakan PT Widodo Makmur Perkasa Cianjur, Jawa

Barat ... 40 Lampiran 3 Recording IB ... 42

(15)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Indonesia dalam perjalanannya pernah menjadi negara pengekspor sapi potong ke luar negeri (Hongkong pada tahun 1970-1980), namun sejak tahun 1990-2005 populasi sapi cenderung menurun dan sejak 2005 sampai saat ini ada kecenderungan untuk naik kembali (10.569.400 ekor tahun 1998 dan 11.869.200 ekor tahun 2008). Jumlah sapi yang dipotong di Indonesia saat ini mencapai jumlah 2,1 juta ekor/tahun, 1,6 juta ekor berasal dari ternak lokal dan 0,5 juta ekor berasal dari ternak impor. Impor sapi bakalan juga meningkat dari 28% (2006) menjadi 32% (2008). Jumlah pemotongan sapi untuk konsumsi masyarakat yang populasinya cenderung meningkat tidak dapat diimbangi oleh jumlah kelahiran ternak setiap tahunnya, dan apabila tidak dilakukan berba gai program yang langsung menyentuh kepada masyarakat petani peternak maka bangsa Indonesia akan terus bergantung kepada ternak dari negeri lain. Upaya pemerintah untuk mengatasi hal tersebut telah dilakukan sejak tahun 2003 dengan mengalokasikan sejumlah dana untuk mendukung perbibitan ternak di pedesaan yang dikelola dalam bentuk kelompok yang mencakup berbagai aktivitas, antara lain penyediaan bibit untuk kebutuhan lokal, perbaikan mutu pakan dan pelayanan kesehatan hewan, sistem perkawinan dan sebagainya (Achjadi 2009).

Menurut Achjadi (2009) program swasembada daging yang semula dicanangkan tahun 2005-2010 dan diperkuat dengan program percepatan swasembada daging (P2SDS) 2008-2010 menimbulkan berbagai pro dan kontra terhadap sinyalemen tersebut dan saat ini diundur waktunya hingga tahun 2014. Dari telaahan secara makro, program yang dilakukan oleh Direktorat Jendral Peternakan dalam kurun lima tahun terakhir untuk mendorong peningkatan populasi sapi betina produktif, sejak tahun 2006-2008 telah dilakukan penyebaran ternak sapi potong jenis Brahman Cross ± 7800 ekor yang disebarkan ke 32 provinsi, 85 kabupaten dan 157 kelompok petani peternak, dan hingga tahun 2008 telah diperoleh kelahiran 4806 ekor. Dari evaluasi yang dilakukan pada tahun 2008 terhadap penyebaran sapi Brahman Cross tersebut, 11 kabupaten diantaranya mengalami berbagai masalah dan hambatan (berupa kematian induk dan anak,

(16)

2

penjualan ternak induk dan anak, dsb), yang antara lain disebabkan oleh SDM penerima yang tidak memadai, limgkungan budidaya yang tidak mendukung serta lemahnya penegakan aturan (low enforcement) dan aspek kelembagaan. Upaya untuk mengatasi masalah tersebut di atas terus dilakukan melalui berbagai program baik berupa teknis, peningkatan aspek koordinasi, peningkatan sarana dan prasarana, dsb.

Ada beberapa sistem perbibitan yang biasa dilakukan untuk memperbaiki keturunan (generasi). Sistem yang diambil disesuaikan dengan tujuan dari pada usaha peternakan yang dilakukan atau perbaikan ternak yang direncanakan di daerah tertentu (Sosroamidjojo 1990).

Menurut Sosroamidjojo (1990) sistem perbibitan yang dikenal antaranya adalah: (1) Purebreeding, ialah suatu cara dengan mengawinkan ternak jantan dan betina yang sama bangsanya. Contohnya peternakan sapi Bali di Bali dan sapi Madura di Pulau Madura. Sistem ini dimaksudkan untuk mempertinggi homozigot dari gen-gen sehingga diharapkan terjadinya sifat-sifat yang uniform dan menurun, tetapi sistim ini bila tidak disertai dengan seleksi dan pengawasan dalam perkawinan secara ketat mudah menjurus terjadinya sistem yang di sebut inbreeding; (2) Inbreeding, yakni suatu cara dimana dilakukan perkawinan antara ternak-ternak jantan dan betina yang masih ada hubungan famili; (3) Outcrosing, adalah cara yang dilakukan dengan cara mengawinkan seekor pejantan dari suatu kelompok dengan betina-betina dari kelompok lain, tetapi kesemuanya masih dalam satu ras yang sama; (4) Crossbreeding, ialah perkawinan silang dari dua bangsa ternak yang berdarah murni; serta (5) Upgrading, ialah suatu cara untuk memperbaiki mutu ternak rakyat dengan mempergunakan pejantan dari bangsa ternak yang dikenal mutunya, yang umumnya didatangkan dari luar negeri. Pejantan yang didatangkan tersebut dikawinkan dengan ternak-ternak betina setempat.

Inseminasi buatan (IB) merupakan salah satu cara yang dilakukan untuk mempercepat peningkatan mutu genetik dan populasi ternak (Toliehere 1981). Inseminasi buatan merupakan suatu bentuk modifikasi memasukan semen ke dalam saluran kelamin betina melalui alat buatan manusia (Salisburry et al. 1978). Keuntungan dari inseminasi buatan adalah: 1) menambah keragaman genetik; 2)

(17)

mempermudah transportasi material genetik; 3) memperpanjang masa hidup sperma; 4) menambah efisiensi dari perkawinan antar sapi; 5) menurunkan atau mengurangi perlakuan kepada jantan atau betina yang ada di peternakan, disamping itu IB dapat pula menjaga dan mengontrol peluang terjadinya penyakit seperti brucellosis penyebab abortus. Selain itu IB mempunyai beberapa kekurangan. Kekurangan inseminasi buatan adalah Inbreeding dan memiliki potensi yang besar dalam tidak akurasinya perkawinan.

Keberhasian IB tergantung pada fertilitas sperma yang digunakan, penanganan semen yang baik, waktu yang tepat dan posisi yang benar (Cole dan Cupps, 1977). Permasalahan reproduksi yang sering terjadi menyertai proses IB bisa dari faktor teknis maupun hewannya sendiri. Faktor teknis yaitu kesalahan operator dalam melakukan proses inseminasi. Sedangkan faktor hewannya yaitu keadaan fisiologis reproduksi hewan tidak normal yang meliputi abortus, retensio sekundinae, hipofungsi ovari, dan repeat breeder.

Seluruh aktivitas reproduksi baik pada hewan jantan maupun betina dipengaruhi oleh daya kerja hormon. Tetapi pada hewan betina kerja hormon ini sangat kompleks, mulai dari terjadinya siklus berahi, ovulasi, fertilisasi sampai dengan proses kelahiran fetus. Cara mengukur performance reproduksi adalah dengan mengukur angka kebuntingan atau Conception Rate (CR), Service per Conception (S/C) dan Calving Interval (CI) (Salisbury dan Vandemark 1985).

Tujuan

1. mempelajari manajemen program breeding pada peternakan sapi potong Brahman Cross.

2. mengetahui keberhasilan IB dalam peningkatan produktivitas sapi potong Brahman Cross.

3. mengetahui masalah- masalah yang sering muncul dalam pemeliharaan sapi Brahman Cross.

4. mengetahui penampilan reproduksi sapi potong Brahman Cross dalam upaya peningkatan populasi.

(18)

4

TINJAUAN PUSTAKA

Reproduksi Sapi Brahman Cross

Cara Mengukur Pe rformance Reproduksi

Menurut Toelihere (1994) reproduksi adalah suatu kemewahan fungsi tubuh yang secara fisiologis tidak vital bagi kehidupan suatu individu tapi sangat penting bagi kelanjutan keturunan suatu jenis atau bangsa hewan. Proses reproduksi ini baru dapat berlangsung setelah hewan mencapai masa pubertas (dewasa kelamin), dimana kejadian ini diatur oleh sistem endokrin (Cole dan Cupps 1977).

Sapi merupakan jenis ternak yang tergolong dalam famili Bovidae atau ruminansia, memiliki siklus reproduksi kompleks dan terintegrasi. Berbagai tingkatan fisiologis yang lebih dikenal dan lebih diperhatikan adalah: pembentukan sel kelamin (gamet) yang sehat dan normal, pelepasan gamet-gamet tersebut dari gametogenik, perkawinan untuk mempertemukan gamet jantan dan gamet betina (fertilisasi), fusi antara kedua pronuklei, pertumbuhan, d iferensiasi dan perkembangan zigot sampai dengan kelahiran normal (Toelihere 1994).

Untuk terjadinya proses reproduksi, dimulai dengan aktifitas organ reproduksi. Hewan jantan memiliki organ reproduksi yang meliputi organ kelamin primer atau gonad yaitu testis, organ kelamin pelengkap yang terdiri dari epididimis, duktus deferens, kelenjar vesikularis, kelenjar prostate dan kelenjar bulbouretralis, kemudian dilengkapi dengan organ untuk kopulasi yaitu penis (Noakes 1988).

Hewan betina memiliki organ reproduksi yang terdiri dari organ kelamin primer dan sekunder. Organ kelamin primer mencakup ovarium yang berfungsi untuk menghasilkan ovum dan hormon kelamin betina. Organ kelamin sekunder mencakup saluran reproduksi yang terdiri dari tuba fallopii (oviduct), uterus, serviks, vagina dan vulva yang berfungsi untuk menyalurkan dan menerima sel kelamin jantan atau betina, serta sangat berperan dalam proses kelahiran (Toelihere 1994).

Seluruh aktifitas reproduksi baik pada hewan jantan maupun betina dipengaruhi oleh daya kerja hormon. Tetapi pada hewan betina kerja hormon ini

(19)

sangat kompleks, mulai dari terjadinya siklus b irahi, ovulasi, fertilisasi sampai dengan proses kelahiran fetus. Cara mengukur performance reproduksi adalah dengan mengukur angka kebuntingan atau Conception Rate (CR), Service per Conception (S/C) dan Calving Interval (CI) (Salisbury dan Vandemark 1985).

Conception Rate (CR)

Angka dari persentase sapi betina yang bunting pada inseminasi pertama disebut dengan nilai CR atau angka konsepsi yang ditentukan berdasarkan hasil diagnosa kebuntingan oleh dokter hewan dalam waktu 45 – 60 hari sesudah inseminasi (Partodihardjo 1987). Menurut Toelihere (1993) angka konsepsi ditentukan oleh tiga faktor, yaitu: kesuburan pejantan, kesuburan betina dan teknik inseminasi. Karena pengaruh ketiga kombinasi tersebut, angka konsepsi dapat mencapai 64%. Dengan teknik inseminasi yang baik dan benar akan mempertahankan nilai tersebut.

Service per Conception (S/C)

Nilai S/C diperoleh dari banyaknya servis atau pelayanan IB dibagi dengan jumlah sapi yang bunting (Partodihardjo 1987). Menurut Toelihere (1993) nilai S/C normal berkisar antara 1,6 – 2,0. Menurut Vandeplassche (1982) nilai S/C yang rendah sangat penting dalam arti ekonomis, baik dalam perkawinan alam maupun melalui IB. Nilai S/C dianggap tidak baik apabila melebihi angka 2,0 karena hal ini menunjukan gambaran reproduksi yang tidak efisien dan akan merugikan secara ekonomis.

Calving Interval (CI)

Calving Interval (CI) adalah jarak antara dua kelahiran ya ng berurutan yang dapat dihitung dengan menjumlahkan lama kebuntingan dan jarak dari melahirkan sampai terjadi konsepsi kembali (Vanderplassche 1982). Vanderplassche melanjutkan bahwa jarak optimum untuk CI sapi adalah 12 bulan. Efisiensi yang buruk ditandai dengan interval kelahiran yang lebih panjang.

(20)

6

Reproduksi Sapi Brahman Cross Jantan Pubertas

Definisi pubertas pada ternak peliharaan adalah bila ternak jantan telah menghasilkan spermatozoa hidup pada semennya dan dapat mengawini betina. Timbulnya pubertas pada hewan jantan ditandai oleh sifat-sifat kelamin sekunder, keinginan seksual, kesanggupan berkopulasi, dan adanya sperma hidup di dalam ejakulat. Timbulnya pubertas tidak menandakan kapasitas reproduksi sepenuhnya (Toelihere 1981).

Tidak ada satu kesamaan tentang definisi pubertas pada ternak jantan, oleh karena itu umur pubertas pada ternak jantan yang dilaporkan pada berbagai laporan ilmiah sangat bervariasi, bergantung pada kriteria yang dipakai untuk mendefinisikan pubertas serta faktor- faktor yang mempengaruhi saat terjadi pubertas. Terdapat banyak faktor yang mempengaruhi perkembangan pubertas pada ternak jantan, tetapi faktor genetik, nutrisi dan sosial merupakan hal yang terpenting (Tomaszewska et al. 1991).

Faktor genetik biasanya sebagian bertanggung jawab terhadap variasi waktu terjadinya pubertas pada ternak jantan. Dalam suatu daerah tertentu, galur yang lebih kecil umumnya lebih cepat mencapai pubertas dibandingkan galur yang lebih besar. Sebagai contoh, sapi Jersey mencapai pubertas pada umur yang lebih muda (6-8 bulan) dibandingkan sapi Santa Gertrudis (14-18 bulan) bila dipelihara pada kondisi yang sama. Sapi jantan silangan mencapai pubertas pada umur yang lebih muda daripada sapi jantan murni (Tomaszewska et al. 1991).

Nutrisi merupakan salah satu faktor penting yang mengatur saat terjadinya pubertas pada ternak. Ternak muda biasanya lebih sensitif terhadap pengaruh nutrisi dibandingkan dengan ternak dewasa sebab ternak muda sedang dalam masa pertumbuhannya. Oleh karena itu, kekurangan nutrisi terutama energi akan menghambat perkembangan seksual dan pubertas. Pengaruh tersebut melalui pertumbuhan badan secara umum dan melalui fungsi endokrin. Sapi jantan yang diberi pakan masing- masing 100% dan 60% TDN mencapai pubertas pada umur 11 bulan dan 12 bulan pada bobot badan masing- masing 267 kg dan 160 kg (Tomaszewska et al. 1991).

(21)

Libido dan Kemampuan Mengawini

Tomaszewska et al. (1991) menyatakan bahwa sistem manajemen setelah penyapihan dapat berpengaruh terhadap tingkah laku sosial dan seksual sapi Brahman jantan. Sapi jantan yang dilepas pada padang penggembalaan tampaknya malu- malu dan lambat mendekati sapi betina birahi dengan waktu reaksinya 40,0 ± 26, 3 menit.

Libido yang dinyatakan pada waktu tertentu mungkin tidak menggambarkan potensi pejantan tersebut karena libido sangat tergantung pada faktor- faktor lingkungan disamping faktor- faktor genetika. Misalnya apabila seekor pejantan berulang- ulang berkopulasi dengan betina yang sama pada situasi yang tidak berubah, sikap acuh tak acuh secara seksual mungkin terjadi, suatu keadaan yang disebut satiasi atau kepuasan seksual (Toelihere 1994).

Beberapa cara telah dipergunakan untuk menentukan libido: (a) interval antar kopulasi yang berturut-turut ; (b) jumlah kopulasi untuk mencapai kepuasan seksual apabila stimulus lingkungan tidak berubah; (c) waktu yang dibutuhkan untuk pulih kembali sesudah satiasi seksual terhadap stimulus yang sama; atau (d) derajat peninggian respons seksual terhadap hewan baru sebagai stimulus (Toelihere 1994).

Menurut Tomaszewska et al. (1991) contoh masalah rendahnya libido dan persentase beranak di Indonesia diperlihatkan dalam tabel 1.

Tabel 1 Persentase beranak dan pejantan yang tidak aktif pada peternakan rakyat di Indonesia

Bangsa % beranak %pejantan yang tidak aktif

Brahman murni Persilangan Brahman Santa Gertrudis Droughmaster Persilangan Sahiwal 22,4 25,3 23,5 35,4 58,8 20,5 50,8 33,3 9,5 7,1 Sumber: Tomaszewska et al. (1991)

(22)

8

Faktor yang Mempe ngaruhi Fertilitas Spermatozoa

Hewan jantan setiap harinya dapat memproduksi spermatozoa dalam jumlah yang banyak. Volume ejakulat untuk sapi adalah 5-8 ml/ejakulat, dengan jumlah spermatozoa sebanyak 3 x 109 (Toelihere 1994).

Untuk keberhasilan perkawinan atau inseminasi buatan, semen harus diproduksi dalam jumlah dan kualitas yang baik. Kua ntitas, terutama kualitas semen yang menurun memperkecil pula angka konsepsi yang dicapai. Namun demikian tidak semua faktor yang mempengaruhi angka konsepsi pada ternak diketahui dengan gamblang. Beberapa faktor yang dahulu dianggap menentukan kini mungkin tidak berarti. Namun secara garis besar, faktor-faktor yang mempengaruhi fertilitas spermatozoa diantaranya adalah pakan, suhu dan musim, frekuensi ejakulasi, penyakit, umur dan herediter (Toelihere 1994).

Reproduksi Sapi Brahman Cross Betina Kunci Kesuburan

Sapi betina tidak hanya memproduksi sel kelamin yang sangat penting untuk mengawali kehidupan turunan yang baru, tetapi ia menyediakan pula tempat beserta lingkungannya untuk perkembangan individu baru itu, dimulai dari waktu pembuahan ovum dan memeliharanya selama awal kehidupannya. Tugas ini dilaksanakan oleh alat reproduksi primer dan sekunder. Alat reproduksi pr imer, yaitu ovaria memproduksi ovum dan hormon betina. Organ reproduksi sekunder terdiri dari tuba fallopii, uterus, cerviks, vagina dan vulva. Fungsi alat-alat ini adalah menerima dan mempersatukan sel kelamin jantan dan betina, memelihara dan melahirkan individu baru. Seringkali kelenjar susu digolongkan sebagai pelengkap alat kelamin, karena kelenjar ini berhubungan erat dengan proses reproduksi dan penting untuk memberi makan anaknya yang baru dilahirkan selama beberapa waktu (Salisbury dan Vandemark 1985).

Produksi hormon oleh ovarium merupakan sebagai peranan penting yang kedua. Fungsi ini sangat penting dalam memelihara aktifitas kelamin sapi betina. Keinginan untuk kawin, ovulasi dan banyak proses lainnya sehubungan dengan pengembangan, pemeliharaan dan pengeluaran anak semuanya adalah fungsi yang dipengaruhi aktifitas hormon dari ovarium. Proses produksi hormon ovarium

(23)

dikendalikan terutama oleh hormon gonadotropin dari hipofisa. Hormon- hormon ini terdiri dari FSH (Follicle Tropic Hormone), LH (Luteinizing Hormone) dan LTH (Luteo Tropic Hormone) atau prolactin, merangsang pertumbuhan folikel-folikel, menyebabkan ovulasi dan pembentukan corpus luteum, dan meyebabkan corpus luteum bersekresi (Salisbury dan Vandemark 1985).

Siklus Reproduksi Siklus Estrus

Siklus estrus adalah jarak antara estrus yang satu sampai pada estrus yang berikutnya, dan estrus itu sendiri adalah saat dimana hewan betina bersedia menerima pejantan untuk menerima pejantan untuk aktivitas reproduksi (Partodiharjo 1987). Interval ini disertai dengan perubaha n fisiologis di dalam saluran kelamin betina. Aktifitas siklus estrus diatur oleh suatu mekanisme endokrin, dimana fase estrus ditandai dengan banyaknya hormon estrogen yang disekresikan oleh folikel de graff preovulatorik (Hafez 1980).

Menurut Salisbury dan Vandemark (1985) siklus estrus dapat diklasifikasikan menjadi empat fase, periode tersebut dikenal dengan fase proestrus, estrus, metestrus, dan diestrus. Disamping fase tersebut juga dapat dikelompokan menjadi fase folikuler atau estrogenik yang meliputi proestrus dan estrus, serta fase luteal atau progestational yang terdiri dari metestrus dan diestrus. Waktu terjadinya pada hari ke nol fase estrus diikuti oleh fase metestrus pada hari ke 1-4, kemudian untuk fase diestrus pada hari ke 5-8 bersamaan dengan terjadinya fase luteal. Sedangkan fase proestrus terjadi pada hari ke 18-20 sebelum estrus, dimana siklus estrus pada sapi dapat terjadi dalam waktu 21 hari setelah beranak (Lech et al. 2000).

(24)

10

Ga mbar 1. Siklus Estrus (Su mber: http://cal.vet.upenn.edu/projects/fieldservice/Dairy/ Graph2.jpg )

Proestrus merupakan fase sebelum estrus yang ditandai dengan adanya peningkatan aktifitas sistem reproduksi dan terjadi perkembangan folikel atas pengaruh follicle stimulating hormon (FSH) (Arthur et al. 1989). Fase ini merupakan fase persiapan yang berlangsung 2-3 hari (Salisbury dan Vandemark 1985). Pada akhir fase ini hewan betina biasanya memperlihatkan perhatian pada hewan jantan (Toelihere 1994) dan juga terjadi perubahan tingkah laku seperti gelisah dan mengeluarkan suara-suara yang tidak biasa didengar (Partodihardjo 1987).

Estrus adalah suatu periode dimana adanya keinginan untuk kawin yang ditandai oleh manifestasi birahi secara fisik, seperti sapi kelihatan tidak tenang, vulva membengkak serta mengeluarkan lendir jernih dan kental (Salisbury dan Vandemark 1985). Keadaan ini akan terlihat pada sikap betina yang siap menerima pejantan untuk melakukan kopulasi. Ovulasi pada sapi terjadi sekitar 12 jam setelah akhir estrus (Arthur et al. 1989).

Metestrus atau postestrus terjadi segera setelah fase estrus berakhir. Fase ini ditandai dengan berakhirnya birahi puncak, dimana bekas folikel setelah proses ovulasi mengalami penyusutan dan pengeluaran lendir terhenti (salisbury dan Vandemark 1985), pada fase ini dapat terjadi pendarahan pada awal metetrus, hal

(25)

ini terjadi karena pada epithel karunkula uterus sangat hiperemis sehingga dapat terjadi hemoragis kapiler karena berkurangnya jumlah estrogen (Toelihere 1994).

Diestrus merupakan periode corpus luteum (CL) mulai berkembang sempurna dan dipengaruhi oleh hormon progesteron yang dihasilkan dan tampak pengaruhnya pada dinding uterus (Salisbury dan Vandemark 1985). Pada fase ini kelenjar-kelenjar pada uterus mengalami hiperplasia dan hipertropia (Arthur et al. 1989).

Lamanya siklus estrus pada sapi menurut Chapman dan Caside dalam Salisbury dan Vandemark (1985), berkisar antara 18-24 hari. Sedangkan lama estrus pada sapi menurut Hammond dalam Salisbury dan Vandemark (1985) antara 6-30 jam dengan rataan sekitar 17 jam. Menurut Perry (1960) dalam Toelihere (1993) menyatakan lamanya estrus pada sapi adalah 18 jam.

Musim Kawin

Hewan- hewan betina beberapa spesies memperlihatkan siklus reproduksi yang terus-menerus sepanjang tahun apabila tidak terjadi kebuntingan. Pada hewan-hewan betina spesies lain, kejadian siklus berahi yang berturut-turut pada betina yang tidak bunting hanya terbatas pada musim tertentu dalam satu tahun, yang disebut “musim kawin” atau breeding season (Toelihere 1994).

Sapi adalah pekawin terus- menerus (continuous breeders) sepanjang tahun. Manusia kini dapat mengendalikan msim kawin pada sapi untuk kepentingan ekonominya. Sapi-sapi betina biasanya dikawinkan untuk menghasilkan anak pada musim semi karena rumput yang berlimpah selama musim tersebut dan selama musim panas, dan anak-anak sapi tersebut sudah cukup besar untuk disapih pada musim gugur (Toelihere 1994).

Menurut Toelihere (1994) faktor-faktor yang mempengaruhi musim kawin diantaranya karena suhu udara, lamanya siang hari dan jumla h makanan yang berbeda-beda dari satu musim ke musim yang lainnya.

Program B reeding

Potensi untuk meningkatkan potensi reproduksi ternak betina lebih rendah daripada ternak jantan. Hal ini karena jumlah sel telur yang tersedia sangat

(26)

12

terbatas dan setelah beranak tidak ada lagi produksi sel telur baru seperti halnya produksi spermatozoa yang terus- menerus selamahidup ternak jantan. Lebih lanjut, proses yang perlu dikontrol pada ternak betina adalah lebih rumit (Tomaszewska et al. 1991).

Menurut Tomaszewska et al. (1991) terdapat 9 aspek fisiologis betina dalam batas-batas tertentu yang dapat dikontrol, diantaranya:

(1) mengurangi interval generasi dengan jalan mempercepat pubertas dan/atau memperpendek periode laktasi tanpa berahi.

(2) meningkatkan ovulasi untuk alih janin atau kawin alam. (3) sinkroniasi berahi dan ovulasi pada kelompok ternak. (4) Deteksi berahi.

(5) Diagnosis kebuntingan.

(6)Pengendalian waktu beranak dan menurunkan tingkat kematian sekitar kelahiran.

(7) Mengurangi kematian embrio

(8) Induksi berahi dan ovulasi di luar musim kawin.

(9) pembuahan secara invitro, alih janin, dan teknik mutakhir lainnya.

Manaje men Kelompok

Body Condition Scores (BCS)

Body Condition Scores (BCS) adalah angka yang dipergunakan untuk mengukur kegemukan atau komposisi tubuh sapi. Peternak perlu untuk mengkalibrasi sistem yang mereka pergunakan dalam peternakan dengan ternaknya sendiri untuk melihat BCS lebih tepat guna (Glaze 2009).

BCS umumnya dipakai angka 1-9 untuk mengukur dari yang paling kurus hingga yang paling gemuk. Angka 1-3 untuk ukuran kurus, 4 untuk ukuran sedang, 5-7 untuk ukuran optimum dan 8-9 untuk ukuran gemuk (Glaze 2009).

Menurut Glaze (2009) terdapat hubungan antara BCS dengan interval beranak, persentasi kebuntingan, persentasi keb untingan pasca penyapihan dan kekuatan anak untuk berdiri segera setelah lahir (Tabel 2, Tabel 3, Tabel 4 dan Tabel 5).

(27)

Tabel 2 Efek dari BCS terhadap Postpartum Interval

Skor Postpartum Interval (hari)

3 4 5 6 7 88,5 69,7 59,4 51,7 30,6 Sumber: Glaze (2009)

Tabel 3 Efek BCS terhadap persentasi kebuntingan

Skor Kebuntingan (%) 4 5 6 7 50,0 81,0 88,0 90,0 Sumber: Glaze (2009)

Tabel 4 Hubungan BCS dengan rata-rata sapi bunting kembali setelah penyapihan

Skor Persentasi 3 atau kurang 4 5 6 7 atau lebih 75,5 85,4 93,8 95,6 95,6 Sumber: Glaze (2009)

(28)

14

Tabel 5 Hubungan BCS dengan kekuatan anak untuk berdiri pada kelahiran

Skor Kekuatan untuk berdiri (menit)

3 4 5 6 59,9 63,6 43,3 35,0 Sumber: Glaze (2009)

Energi Untuk Breeding

Masalah gangguan reproduksi disebabkan oleh banyak kasus, dan sering mengalami kesulitan bila peneliti dihadapkan pada manfaat pakan yang digunakan untuk reproduksi (Salisbury dan Vandemark 1985).

Energi. Pemberian energi yang tidak cukup (kekurangan pakan) barangkali merupakan penyebab terbesar terjadinya gangguan reproduksi pada sapi karena faktor makanan. Percobaan pertama di Missouri yang menunjukan bahwa sapi-sapi dara tipe perah dengan pemberian makan yang berlebih, mencapai dewasa kelamin lebih awal daripada sapi dara yang diberi makanan lebih ringan. Pengaruh yang menguntungkan dari pemberian konsentrat yang kaya akan protein dan karbohidrat dan campuran mineral kepada sapi dara di daerah lapangan pengembalaan yang miskin di Nigeria Utara, telah dilaporkan. Pada penelitian ini 27 dari 32 sapi dara yang diberi tambahan konsentrat mencapai dewasa kelamin dan menjadi bunting pada tahun percobaan, sedangkan hanya 3 dari 19 sapi dara sebagai kontrol yang hanya digembalakan saja mencapai masak kelamin dan menjadi bunting. Kenaikan berat badan selama tahun percobaan bagi sapi dara yang diberi tambahan konsentrat mencapai 2x lipat dibandingkan dengan pada kelompok yang hanya digembalakan dan kelompok yang digembalakan dengan diberi tambahan campuran mineral (Salisbury dan Va ndemark 1985).

Menurut Tomaszewska et al. (1991) pakan dan sistem pemberian pakan tidak diragukan lagi memainkan peranan yang sangat penting pada reproduksi ternak. Penampilan reproduksi ternak di seluruh dunia bervariasi sangat luas disebabkan oleh banyaknya perbedaan genetika jenis ternak, beragamnya sistem pengelolaan, kondisi iklim, dan sosial ekonomi.

(29)

Kontrol Perkawinan

Manusia memanipulasi proses reproduksi ternak untuk meningkatkan kemampuan reproduksi dan menggunakan seleksi genetika untuk memperoleh ternak yang mempunyai kemampuan produksi tertinggi dan paling menguntungkan. Untuk melaksanakan hal ini, beberepa faktor yang tercakup dalam pubertas, proses perkawinan, dan saat mulainya musim kawin (di negara-negara sub-tropis) harus dimengerti dengan jelas. Reproduksi dikontrol oleh faktor- faktor dari eksternal dan internal (Tomaszewska et al. 1991).

Penggunaan pewarna ekor untuk mendeteksi berahi telah mulai dugunakan. Cat luminous dioleskan pada ekor sapi betina pada salah satu sisi ekornya. Sapi betina yang dalam keadaan berahi akan sering dinaiki dan cat akan kabur dari salah satu sisi ekornya. Dengan menggunakan metode ini kejadian berahi yang tidak dideteksi lebih rendah dari 5% (Tomaszewska et al. 1991).

Manaje men Dara

Pada tahap awal kehidupan sapi dara, pertumbuhan fisik nya telah diarahkan untuk tujuan produksi susu atau produksi di kemudian hari. Pada sapi dara yang masih muda perkembangan organ reproduksi sangat tergantung pada perkembangan fisik. Karena periode menjelang pubertas dan beberapa waktu sesudahnya tak produktif, banyak kalangan para peternak memandang bahwa periode itu tidak penting untuk diperhatikan di bidang pemeliharaan sapi bertumbuh kurang baik, tidak berkembang dan terlambat mencapai umur yang produktif dan reproduktif. Selain itu pakan yang berlebihan dapat berakibat terlalu gemuk, tidak ekonomis dan dianggap sebagai bahaya potensial terhadap alat reproduksi dan kemampuan bereproduksi (Salisbury dan Vandemark 1985).

Pertumbuhan Normal

Bila sapi dara diberi makan dan dipelihara sewajarnya, ia akan tumbuh sesuai dengan sifat-sifat bangsanya. Terdapat perbedaan angka pertumbuhan diantara bangsa sapi, dan garis keturunan tertentu di dalam bangsa akan bervariasi dari nilai rata-rata yang diketemukan (Salisbury dan Vandemark 1985).

(30)

16

Pengaruh Asupan Pakan

Telah diketahui bahwa pertumbuhan sapi dara dikendalikan oleh kualitas dan sifat makanan yang diberikan. Penelitian muthakhir yang lebih mendetil menyimpulkan dari laporan- laporan terdahulu dan menunjukan bahwa meskipun angka pertumbuhan terganggu karena kurang makan, tetapi besar badan akhir akan sama bila sapi itu diberi makan cukup untuk melanjutkan pertumbuhan dan produksi sesudah beranak pertama.

Umur Pube rtas

Bangsa, tingkat makanan, iklim dn mungkin faktor- faktor lainnya mempengaruhi umur pubertas. Karena begitu banyak faktor- faktor yang mempengaruhinya, maka umur berahi pertama yang normal dapat mencakup kisaran yang luas (Salisbury dan Vandemark 1985).

Program Breeding dan Non Breeding Untuk Pe rbaikan Produksi Daging Nilai Genetik Sapi Brahman Cross

Menurut Tunner (1997) sapi Brahman Cross pada awalnya dikembangkan di stasiun CSIRO’S Tropical Cattle Research Centre di Rockhampton Australia. Materi dasarnya adalah sapi American Brahman, Hereford dan Shorthorn. Sapi Brahman Cross mempunyai proporsi 50% darah Brahman, 25 % darah Hereford dan 25% darah Shorthorn. Secara fisik bentuk fenotif sapi Brahman Cross lebih cenderung mirip sapi American Brahman karena proporsi darahnya yang lebih dominan, seperti punuk dan gelambir lebih jelas, bentuk kepala dan telinga besar menggantung, sedangkan pola warna kulit sangat bervariasi mewarisi tetuanya.

Sapi Brahman Cross memiliki sifat-sifat seperti: (1) persentase kelahiran 81,2%; (2) rataan bobot lahir 28,4 kg, bobot umur 13 bulan mencapai 212 kg dan umur 18 bulan mencapai 295 kg; (3) angka mortilitas postnatal sampai umur 7 hari sebesar 5,2%, mortalitas sebelum disapih 4,4%, mortalitas lepas sapih sampai umur 15 bulan sebesar 1,2% dari mortalitas dewasa sebesar 0,6%; (4) daya tahan terhadap panas cukup tinggi karena produksi panas basal rendah dengan pengeluaran panas yang efektif; (5) ketahanan terhadap parasit dan penyakit

(31)

sangat baik; serta (6) efisiensi penggunaan pakan terletak antara sapi Brahman dan persilangan Hereford-Shorthorn (Tunner 1997).

Ga mbar 2. Sapi Brah man Cross (sumber: Arsip PT WMP c ianju r)

Inseminasi Buatan Pada Sapi

Inseminasi Buatan (IB) merupakan salah satu teknik untuk perbaikan mutu genetika. Semen dari seekor sapi jantan dapat dipergunakan untuk menginseminasi sampai 1000 ekor sapi betina. Di Selandia Baru, seekor sapi jantan yang telah diketahui unggul secara genetika dapat menghasilkan 100.000 anak per tahun. Dibandingkan dengan data tersebut, perbaikan melalui superovulasi pada ternak betina dan embrio transfer (alih janin) tidak ada artinya (Tomaszewska et al. 1991).

Tehnik Inseminasi buatan telah diperkenalkan di Indonesia sejak permulaan tahun 50an (Toelihere 1994).

Menurut Tomaszewska et al. (1991) keuntungan IB antara lain: hanya pejantan yang baik yang dapat dipergunakan meningkatkan seleksi diferensial yang akhirnya dapat menyebabkan peningkatan genetika yang lebih cepat, dapat menghemat biaya pemeliharaan pejantan lain, penularan penyakit kelamin dari ternak yang di-IB dapat dibatasi atau dicegah.

Sistem Breeding

(32)

18

Walaupun ternak sudah memasuki masa puber, tetapi belum boleh dilakukan tindakan-tindakan perkawinan, mengingat ternak yang baru masuk masa puber masih memerlukan pertumbuhan tubuh untuk mencapai dewasa tubuh, sehingga apabila dikawinkan dan terjadi kebuntingan akan mengakibatkan kerugian-kerugian baik terhadap pertumbuhannya maupun terhadap keturunannya. Perkawinan baru boleh dilakukan terhadap ternak-ternak muda beberapa waktu kemudian dari timbulnya masa puber, dan untuk menjaga agar tidak terjadi perkawinan yang terlalu muda maka pada penempatan anak-anak jantan dan betina, harus sudah diadakan pemisahan menjelang memasuki masa puber (Sosroamidjojo dan Soeradji 1990)

Menurut Sosroamidjojo dan Soeradji (1990) Untuk mendapatkan keturunan yang baik dan menghindarkan kerugian-kerugian maka perkawinan pertama hendaknya dilakukan pada umur 1,0 - 1,75 tahun untuk sapi jantan eropa dan 1,5 – 2,0 tahun untuk sapi betina eropa dan 1,5 – 2,0 tahun untuk sapi brahman jantan dan 2,5 – 3,0 tahun untuk sapi brahman betina.

Umur dan Kesuburan Ternak

Tiap-tiap jenis ternak mempunyai masa- masa tertentu dimana ia dapat memproduksi dengan sebaik-baiknya, baik itu produksi anak, maupun produksi- lain, dan pada umur tertentu pula ia mulai menurun dalam berproduksi dan bahkan pada suatu saat tidak mempunyai kemampuan lagi. Demikian halnya dengan ternak bibit. Bibit betina umumnya keturunan yang terbaik, yaitu anak yang kedua sampai anak keempat yang digunakan sebagai bibit (Sosroamidjojo dan Soeradji 1990).

Menurut Sosroamidjojo dan Soeradji (1990) bibit jantan dapat digunakan sampai umur sekitar 15 tahun dan ternak betina masih bisa diambil keturunannya hingga umur sekitar 18 tahun. Karena pertimbangan ekonomis, umumnya penggunaan bibit, baik jantan maupun betina tidak sampai batas-batas umur tersebut.

(33)

Memilih Bibit

Memilih bibit adalah suatu keharusan di dalam usaha peternakan, karena bibit merupakan salah satu kunci untuk berhasilnya usaha peternakan. Pemilihan bibit dapat dilakukan dengan dengan berbagai cara, yaitu dengan cara: (1) menilai bentuk eksteriurnya dan dihubungkan dengan tipenya; (2) seleksi berdasarkan silsilah dengan perkiraan bahwa ternak dari keturunan ternak-ternak yang baik akan baik pula sifat-sifatnya; (3) seleksi berdasarkan hasil penilaian dan kontes; serta (4) seleksi berdasarkan apa yang disebut dengan istilah “production test” yaitu penilaian berdasarkan catatan produksi yang dihasilkan (Sosroamidjojo 1990).

Sistem Perbibitan

Ada beberapa sistem perbibitan yang biasa dilakukan untuk memperbaiki keturunan (generasi). Sistem yang diambil disesuaikan dengan tujuan dari pada usaha peternakan yang dilakukan atau perbaikan ternak yang direncanakan di daerah tertentu (Sosroamidjojo 1990).

Menurut Sosroamidjojo (1990) sistem perbibit yang dikenal antaranya adalah: (1) Purebreeding, ialah suatu cara dengan mengawinkan ternak jantan dan betina yang sama bangsanya. Contohnya peternakan sapi Bali di Bali dan sapi Madura di Pulau Madura. Sistem ini dimaksudkan untuk mempertinggi homozigot dari gen-gen sehingga diharapkan terjadinya sifat-sifat yang uniform dan menurun, tetapi sistim ini bila tidak disertai dengan seleksi dan pengawasan dalam perkawinan secara ketat mudah menjurus terjadinya sistem yang di sebut inbreeding; (2) Inbreeding, yakni suatu cara dimana dilakukan perkawinan antara ternak-ternak jantan dan betina yang masih ada hubungan famili; (3) Outcrosing, adalah cara yang dilakukan dengan cara mengawinkan seekor pejantan dari suatu kelompok dengan betina-betina dari kelompok lain, tetapi kesemuanya masih dalam satu ras yang sama; (4) Crossbreeding, ialah perkawinann silang dari dua bangsa ternak yang berdarah murni; serta (5) Upgrading, ialah suatu cara untuk memperbaiki mutu ternak rakyat dengan mempergunakan pejantan dari bangsa ternak yang dikenal mutunya, yang umumnya didatangkan dari luar negeri.

(34)

20

Pejantan yang didatangkan tersebut dikawinkan dengan ternak-ternak betina setempat.

Pengebirian/Kastrasi

Pengebirian pada ternak adalah suatu tindakan untuk menghentikan fungsi kelenjar kelamin atau membuangnya dari dalam tubuh sehingga ternak yang bersangkutan tidak dapat menghasilkan keturunan. Pengebirian erat hubungannya dengan pemuluia-biakan, karena pengebirian dilakukan sebagai tindak lanjut daripada seleksi, guna memperbaiki mutu ternak. Selain sebagai tindakan perbaikan mutu, dengan kastrasi dapat diperoleh perbaikan dari mutu daging, yaitu dapat menghilangkan bau pada daging yang kurang disenangi oleh konsumen misalnya bau pada kambing jantan yang sangat merangsang/ tajam dapat dihilangkan (Sosroamidjojo 1990).

(35)

MATERI DAN METODE

Waktu dan Tempat Pelaksanaan

Kegiatan studi kasus ini dilaksanakan bulan Juli 2009 sampai September 2009, bertempat di PT Widodo Makmur Perkasa, Cianjur, Jawa Barat.

Metode Pelaksanaan

Pelaksanaan studi kasus ini akan dilakukan dengan cara:

1. Pengumpulan data primer melalui wawancara dengan manager, staff dan para pegawai PT Widodo Makmur Perkasa serta pengamatan langsung.

2. Pengumpulan data sekunder dari PT Widodo Makmur Perkasa dari bulan April hingga Agustus 2009.

Parameter yang diamati

Parameter yang diamati dalam studi kasus ini berupa struktur populasi (induk, dara, anak, dan pejantan), banyaknya kelahiran, Conseption Rate (CR), Service Per Conseption (S/C), penampilan reproduksi dari sapi Brahman Cross jantan dan betina, serta efektifitas Inseminasi Buatan yang dilakukan, yang dianalisa dengan perhitungan Calving Interval (CI) dari 491 ekor sapi Brahman Cross betina yang ada di lokasi.

(36)

22

HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambaran Umum PT Widodo Makmur Perkasa

PT Widodo Makmur Perkasa merupakan perusahaan peternakan sapi potong yang memiliki populasi sapi terbanyak saat ini di kabupaten cianjur, yaitu sebanyak kurang lebih 5000 ekor. Perusahaan ini berlokasi di Kampung Cinangsi Rt 04/01 Desa Cinangsi, Kecamatan Cikalong Kulon, Kabupaten Cianjur, Provinsi Jawa Barat. Secara geografis, Kabupaten Cianjur berada pada kedudukan 106o 42' BT - 107º 25' BT dan 6o 21’ LS - 7o 32’ LS dengan letak administrasi bagian utara berbatasan dengan Kabupaten Bogor dan Purwakarta, bagian Barat dengan Kabupaten Sukabumi, bagian Selatan dengan Samudera Indonesia, dan bagian Timur dengan Kabupaten Bandung dan Garut. Cianjur memiliki morfologi daerah yang datar, perbukitan berelief halus (datar bergelombang), perbukitan berelief sedang (datar berbukit), perbukitan berelief agak kasar (berbukit), perbukitan berelief kasar, perbukitan berbukit sangat kasar (terjal), dengan luas wilayah 350.148 Ha dan berada pada ketinggian 480-2960 m d.p.l dengan suhu berkisar antara 17oC – 32oC dan kelembaban 70% -80%. Kondisi hidrologi cukup besar dalam memenuhi kebutuhan air di Kabupaten Cianjur adalah air permukaan (sungai) maupun air tanah yang dapat dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan domestik, pertanian, industri dan yang lainnya. Tipe iklimnya tropis, menurut Koppen di Kab. Cianjur beriklim Af (basah) dengan curah hujan berkisar antara 1.000-1.500 mm per tahun. Jenis tanah di Kabupaten Cianjur adalah Aluvial, regosol, andosol, grumosol, mediteran, dan podsolik. Penggunaan lahan di Kabupaten Ciajur adalah Pertanian lahan basah 16,10 %, Pertanian lahan kering 13,94%, Hutan produksi 20,03%, Peternakan/perikanan 18,11%, Permukiman dan lain- lain 31, 39%, dan Tanaman tahunan 0,43%.

PT. Widodo Makmur Perkasa, Cikalong Kulon Kabupaten Cianjur mempunyai luas lahan seluruhnya sekitar 40 hektar (ha) pada lahan yang berelief sedang. Lahan tersebut digunakan untuk perkantoran, tempat tinggal pekerja, lahan hijauan pakan ternak, gudang pakan hijauan kering, gudang konsentrat (feedmill), kandang penggemukan, kandang karantina, kandang kawin, kandang bunting dan menyusui, dan kandang sapih. Lahan hijauan memiliki luas 20 ha.

(37)

Tanaman yang ada di lahan hijauan adalah rumput gajah. Lahan hijauan ini mampu memenuhi kebutuhan hijauan untuk pakan ternak. Secara garis besar fasilitas yang ada di perusahaan feedlot WMP adalah:

(1) Loading chute atau loading ramp, yang berfungsi untuk tempat menaikan sapi ke truk. Lebarnya 4 meter dengan kemiringan 30o sampai 40o.

(2) timbangan, menggunakan timbangan jenis elektrik.

(3) Paddock, yang berfungsi untuk penanganan ternak sementara. biasannya digunakan saat seleksi berat badan, ras, maupun kesehatan dan berfungsi juga sebagai tempat menunggu saat sapi dinaikan ke truk.

(4) Gudang pakan, merupakan tempat pembuatan dan penyimpanan konsentrat.

(5) Tempat pengolahan limbah, yang digunakan untuk mengolah limbah kotoran sapi menjadi kompos.

Jarak antara peternakan dengan pemukiman penduduk relatif jauh, dengan keadaan pemukiman yang belum padat sehingga aktifitas peternakan ini tidak menggangu masyarakat sekitar. Jalur transportasi dari dan keluar perusahaan sangat baik, didukung oleh jalan raya beraspal yang merupakan jalur umum lintas kota. Populasi sapi sapi yang terdapat di PT Widodo Makmur Perkasa tahun 2009 dapat dilihat pada tabel 6.

Tabel 6 Data populasi Sapi Brahman Cross pada bulan Juli 2009

Stuktur Populasi Populasi Te rnak Fattening:

Jantan dan betina

Breeding: Betina Bunting Betina Kosong Betina menyusui Jantan Pedet 4.425 442 49 3 11 67 Jumlah 4.497

(38)

24

Stuktur Organisasi

Dalam melaksanakan berbagai aktifitas hariannya, PT Widodo Makmur Perkasa Sebagai sebuah perusahaan yang memiliki struktur kerja yang jelas dengan didukung oleh staff dan karyawan.

Struktur organisasi di PT Widodo Makmur Perkasa dapat dilihat pada bagan di bawah ini.

Ga mbar 3. Bagan Struktur Organisasi PT Widodo Makmur Perkasa (Su mber : Arsip PT widodo Makmur Perkasa Cianjur)

Bangsa Sapi yang Dipelihara

Ternak sapi potong yang dipelihara di PT. Widodo Makmur Perkasa berasal dari Australia bekerja sama dengan eksportir Scott, Hallen, dan SEALS (South East Asian Livestock Service). Bangsa sapi yang diimpor adalah Brahman Cross dengan bobot badan sapi bakalan tersebut antara 300 sampai dengan 500 kg. Sapi yang didatangkan tidak semuanya melewati proses penggemukan (fattening) namun ada yang langsung dijual cepat (fast trading).

Komisaris Utama Ir. Tumiyono, MBA

General Manager Hariyanto, A.Md Manager Pemasaran

Suyatmi, SE

Manajer Produksi & Administrasi Ir. Agung Bakti S

Lingkungan dan Keamanan Iwang Sambas, SH Staff Produksi Bertha Y, S.Pt Breeding Ajat Instruktur Kandang Endang Maintenance Yasmin Staff Administrasi Dedeh S Adviser Prof. Dr. Ir. Trinil

(39)

Menurut Tunner (1997) sapi Brahman Cross adalah sapi yang mempunyai proporsi 50% darah Brahman, 25 % darah Hereford dan 25% darah shorthorn. Sapi tersebut merupakan hasil persilangan antar bangsa (Cross Breeding) yang dilakukan di Australia. Pada sapi potong umumnya disilangkan sapi Bos Taurus yang memiliki sifat baik dan bertubuh besar, reproduksi tinggi, kecepatan pertumbuhan sedang sampai tinggi dengan Bos Indicus yang mempunyai kelebihan dapat memanfaatkan pakan berkualitas rendah, tahan terhadap panas dan beberapa parasit, serta mempunyai sifat keindukan (mothering ability) yang baik.

Menurut Hardjosubroto dan Astuti (1994), tujuan dari persilangan tersebut adalah untuk menggabungkan dua sifat atau lebih yang berbeda yang semula terdapat dalam dua bangsa ternak ke dalam satu hasil persilangan.

Menurut Sugeng (1992), pertambahan bobot badan setiap jenis sapi berbeda-beda seperti digambarkan pada Tabel 7.

Tabel 7 Pertambahan bobot badan harian sapi murni

Bangsa Murni Pertambahan Bobot Badan (Kg/hari)

Brahman Shorthorn Hereford Aberdeen Angus Charolais 0,91 1,04 1,04 0,95 1,32 Sumber: Sugeng (1992)

Menurut data yang diperoleh dari hasil wawancara dengan pegawai, pertambahan bobot badan rata-rata sapi yang berada di peternakan tersebut adalah 1,20 untuk fattening (penggemukan) dan 1,00 untuk breeding.

Setiap sapi dikelompokan ke dalam beberapa jenis yaitu Heifer (dara), Steer (jantan kastrasi), Bull (jantan tidak kastrasi) dan Cows (induk). Selain itu dilakukan pengelompokan berdasarkan bobot badan yaitu Grade A (>350 kg), Grade B (300 – 350 kg), Grade C (250 – 300 kg) dan Grade D (<250 kg).

(40)

26

Pengelompokan ini berperan dalam seleksi sapi untuk ditempatkan di kandang-kandang yang telah ditentukan.

Menurut hasil wawancara, sapi yang dipergunakan untuk breeding hanya sapi yang masuk ke dalam Grade B (300 – 350 kg) atau skor 5-6 untuk Body Condition Scores (BCS) yang skalanya 1-9. Hal tersebut dilakukan agar kualitas reproduksi sapi breeding baik, dimana sapi tidak terlalu kurus ataupun tidak terlalu gemuk. Akan tetapi untuk mencapai bobot tersebut relatif sulit untuk sapi bakalan. Sehingga hampir semua sapi yang dijadikan breeding di PT Widodo Makmur Perkasa bobot tubuh pertamanya hanya berkisar 300 kg atau masuk skor 5 dalam BCS.

Menurut Glaze (2009) efek BCS terhadap terjadinya kebuntingan apabila skornya 5 adalah 81%. Padahal apabila skornya mencapai 6 atau 7 persentase kebuntingan sapi mencapai 88% atau 90%. Akan tetapi karena proses maintenance yang baik, bobot sapi tersebut bertambah naik dan mencapai bobot rata-rata 350 untuk kebuntingan kedua atau masuk kedalam skor 6. Sehingga secara otomatis persentasi kebuntingannya pun meningkat.

Dalam melakukan seleksi sapi yang akan dijadikan breeding, PT Widodo Makmur Perkasa Cianjur tidak hanya melihat Body Condition Scores (BCS) tetapi dilakukan juga pengukuran tinggi tubuh dimana tinggi minimal sapi 120 cm, umurnya harus antara 1,5 – 2,5 tahun dan alat reproduksinya harus dipastikan dalam keadaan normal yaitu dengan pemeriksaan palpalsi perektal.

Manaje men Peternakan Sistem Perkandangan

Tipe kandang yang digunakan di PT Widodo Makmur Perkasa adalah kandang koloni. Sedangkan jenis kandang yang digunakan adalah kandang terbuka dengan atap menutupi seluruh bagian kandang. Arah kandang memanjang dari arah timur ke barat. Tiang utama penopang atap kandang terbuat dari besi dan rangka atap terbuat dari kayu dengan penutup berbahan asbes yang kurang baik dalam menyerap panas akan tetapi ekonomis. Bentuk atap yang digunakan adalah atap monitor untuk ventilasi di sepanjang kandang. Tinggi sisi dalam atap adalah 4,5 meter dan tinggi sisi luar atap adalah 3 meter. Dinding yang digunakan

(41)

sebagai penyekat antar pen terbuat dari besi. Lantai kandang terbuat dari semen dengan kemiringan 3o ke arah bagian samping kandang.

Fasilitas yang terdapat di kandang tersebut berupa lorong (gang way) di bagian tengah, tempat pakan hijauan di sisi luar, tempat pakan konsentrat di sisi dalam dan tempat minum berada di kedua sisi samping kandang. Akan tetapi dalam pelaksanaanya tempat pakan yang digunaka n hanya yang di bagian sisi dalam karena waktu pemberian pakan hijauan dan konsentrat berbeda, tidak sekaligus diberikan keduanya sehingga dalam pengerjaannya lebih gampang, dimana apabila terjadi pakan yang tidak habis dalam tempat pakan tersebut bisa langsung dibersihkan dan satu jam kemudian diberi pakan konsentrat apabila pakan sebelumnya adalah hijauan dan sebaliknya, untuk setiap pagi dan sore hari.

Kandang yang dimiliki oleh PT Widodo Makmur Perkasa berjumlah 8 yang terdiri dari kandang A,B,C,D,E,F,G,H. Kandang A,B,C,E dan F merupakan kandang untuk sapi fattening dan fast trading, kandang D untuk sapi breeding dan kandang G dan H untuk kandang isolasi. Kandang A,B,C dan E terbagi menjadi 10 pen (A1-A10, B1-B10, C1-C10, E1-E10), kandang D 13 pen (D1-D13), kandang F 12 pen (F1-F12), kandang G dan H 8 pen (G1-G8, H1-H8). Secara keseluruhan kandang terbagi menjadi 81 pen dan berdaya tampung maksimal 6000 ekor sapi.

Kegiatan pembersihan kandang umumnya dilakukan setiap hari. Kotoran sapi (feses dan urin) di alirkan ke bak penampungan limbah yang terdapat di bagian timur peternakan. Limbah tersebut diolah menjadi pupuk kompos dan kemudian dijual.

Luas kandang berbeda-beda begitu pula dengan kepadatannya. menurut Santosa (1995), luas kandang untuk sapi potong sebaiknya tidak kurang dari 2 m2/ekor. Rumus untuk mengetahui kepadatan ideal adalah:

2 2 : 150 _ tan m BB kandangX luas ideal kepada  (Santosa 1995)

Manaje men Pakan

Pakan yang diberikan di PT Widodo Makmur Perkasa Terdiri dari dua macam yaitu hijauan dan konsentrat. Hijauan yang digunakan adalah jerami padi sedangkan konsentrat yang digunakan adalah konsentrat buatan feedmill milik

(42)

28

sendiri. Bahan pakan konsentrat yang digunakan berasal dari tanaman seperti : pollard, kopra, klentheng, jagung halus, tepung daun lamtoro, onggok, b ungkil sawit, dedak, kulit buah cokelat, molases dan corn gluttein feed. Konsentrat juga ditambah limbah pabrik kue seperti wafer dan juga di tambah premix. Konsentrat dibagi menjadi empat jenis yang disesuaikan dengan tujuan pemeliharaan, yaitu: konsentrat recondition, konsentrat fattening starter, konsentrat fattening finisher, dan konsentrat trading. Formula ransum yang menyusun masing- masing konsentrat tersebut dapat dilihat pada tabel 8.

Tabel 8 Formulasi Ransum di PT Widodo Makmur Perkasa

No Bahan Pakan Reconditi on (%) Fattening Starter (%) Fattening Finisher (%) Trading (%) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13

Corn Gluttein feed Pollard

Kopra Klentheng Jagung Wafer

Kulit Buah Cokelat Tepung Daun Lamtoro Onggok Dedak Bungkil Sawit Molases Premix 2,42 5 5 5 7,56 11 7 5 22,97 6,5 8 7 7,5 2,42 6,5 5 5 7,5 11 7 2,5 22 8 10 7 6 2,42 6 8 6 8 10 7 2,5 21 6 10 7 6 2,42 4 4 8,9 9,56 10 8 2,5 25 9 9 7 6

Sumber data : Arsip Feedmill PT Widodo Makmur Perkasa Cikalong Kulon Kabupaten Cianjur

(43)

Pakan yang diberikan untuk sapi breeding yaitu 80% hijauan dan 20% konsentrat. Konsentrat yang digunakan adalah konsentrat BR yang spesifikasi formulanya sama dengan konsentrat fattening starter karena konsentrat tersebut cocok untuk memenuhi kebutuhan pakan untuk reproduksi, tetapi dengan kadar mineral dan vitamin yang lebih tinggi untuk memenuhi kebutuhan makro dan mikronya

Manaje men Reproduksi

Dalam manajemen reproduksi ternak, dikenal cara perkawinan secara alami dan inseminasi buatan (IB). PT Widodo Makmur Perkasa Cikalong Kulon Kabupaten Cianjur dalam manajemen reproduksi menggunakan teknik inseminasi buatan (IB). Mereka berpendapat Teknik IB pada sapi lebih efisien da n ekonomis karena keterbatasan bibit pejantan unggul yang mereka miliki dan sifat sapi pejantan yang tidak mau untuk kopulasi apabila banyak gangguan di sekitarnya. Saat ini PT Widodo Makmur Perkasa hanya memiliki pejantan 11 ekor sedangkan untuk betina produktif jumlahnya mencapai 491 ekor. Sehingga 1 ekor pejantan untuk 50 ekor betina. Pejantan tersebut digunakan hanya sebagai cadangan untuk betina yang kemungkinan estrus terjadi pada malam hari saat operator IB tidak berada di kandang. Sumber semen yang digunakan adalah semen beku sapi Brahman yang berasal dari Balai Inseminasi Buatan (BIB) Lembang. Biaya yang dikeluarkan untuk membayar setiap IB sekitar Rp. 50.000/ekor.

(44)

30

Penampilan Reproduksi Sapi Brahman Cross Betina

Penampilan reproduksi sapi Brahman Cross dapat dilihat pada tabel 9.

Tabel 9 Penampilan Reproduksi Sapi Brahman Cross Betina di PT WMP, Cikalong Kulon Kabupaten Cianjur

Penampilan Reproduksi Sapi

Brahman Cross Betina PT WMP Literatur Siklus estrus

Lama siklus estrus

Umur sapi pertama kali estrus

Bobot badan sapi saat pertama kali estrus

Umur sapi pertama kali dikawinkan

Waktu yang tepat di-IB

Lama kebuntingan

Jumlah anak yang dilahirkan

Calving Interval S/C CR 18 – 24 hari 24 jam 2 tahun Rata-rata 300 kg 1,5 – 3 tahun 6-12 jam estrus 300 hari 1-2 ekor 12 bulan 1,5 46% 18 – 24 hari (Salisbury dan Vandemark 1985) 6 - 30 jam (Salisbury dan

Vandemark 1985) 10 - 26 bulan (Menurut Hafez 1980) 260 kg (Hunter 1980) 2,5 – 3 tahun (Sosroamidjojo, 1990) 6 – 12 jam estrus (Salisbury dan Vandemark 1985) 285 hari (Salisbury dan

Vandemark 1985) 1 – 2 ekor (Toelihere 1993) 12 bulan (Vanderplassche 1982) 1,6 – 2,0 (Toelihere 1993) 64% (Toelihere (1993) Sumber : Hasil wawancara dengan para pekerja dan arsip PT WMP Kabupaten Cianjur tahun 2009 dan literatur.

Berdasarkan data diatas, siklus estrus pada sapi Brahman Cross berkisar antara 18 – 24 hari. Menurut Chapman dan Caside dalam Salisbury dan Vandemark (1985), siklus estrus pada sapi berkisar antara 18 – 24 hari. Data

(45)

tersebut sudah sesuai dengan literatur. Siklus estrus digunakan untuk menghitung waktu perkiraan sapi yang akan di IB. PT Widodo Makmur Perkasa melakukan penyerempakan siklus estrus agar lebih memudahkan dalam IB dan pencatatan. Lamanya estrus yang diamati oleh pekerja adalah 24 jam. menurut Salisbury dan Vandemark (1985) lama estrus sapi adalah 6 - 30 jam. Umur sapi pertama kali estrus adalah 2 tahun, menurut Hafez (1980) sapi mencapai pubertas pada umur 10 – 26 bulan. Data tersebut sudah sesuai dengan literatur yang ada. Bobot badan sapi saat pertama kali estrus menurut wawancara rata-rata 300 kg. Menurut Hunter (1980) bobot badan sapi yang mencapai pubertas adalah 260 kg. Hal tersebut terjadi karena pakan yang diberikan terkontrol dengan baik, selain itu faktor genetik mempengaruhi bobot badan sapi brahman cross saat pertama kali estrus. Umur sapi pertama di kawinkan menurut hasil wawancara adalah yang berumur 1,5 – 3 tahun dan dilakukan IB setelah 6 - 12 jam estrus. Menurut Sosroamidjojo (1990) sapi brahman pertama dikawinkan pada umur 2,5 – 3 tahun dan menurut Salisbury dan Vandemark (1985) waktu optimal sapi untuk di-IB adalah 6 – 12 jam estrus. Data tersebut sudah sangat sesuai dengan literatur. Menurut data yang diperoleh, lama kebuntingan sapi yang ada di PT Widodo Makmur Perkasa berkisar sekitar 300 hari dengan jumlah anak yang dilahirkan antara 1-2 ekor.

Sapi Brahman Cross yang terdapat di PT Widodo Makmur Perkasa Cianjur menurut hasil wawancara setiap 2 bulan sudah bunting kembali. jadi, Calving Interval (CI) sapi Brahman Cross mencapai 12 bulan. Menurut Vandeplassche (1982) jarak optimum untuk CI adalah 12 bulan. Sehingga data tersebut sudah sesuai dengan literatur.

Berdasarkan data tahun 2009 di PT Widodo Makmur Perkasa dari 39 ekor sapi Brahman Cross yang di-IB diperoleh hasil nilai Service per Conception (S/C) sebesar 1,5 dan nilai Conception Rate (CR) sebesar 46%. Menurut Toelihere (1993) nilai S/C normal adalah 1,6 – 2,0 dan nilai CR optimum adalah 64%. Dari data tersebut terlihat nilai S/C berada di atas rata-rata. Hal tersebut terjadi karena sapi hanya memerlukan sedikit pelayanan IB dan sapi suda h bunting. Untuk nilai CR dari data yang diperoleh masih dibawah rata-rata, hal tersebut terjadi karena sapi tidak langsung bunting pada inseminasi pertama. Hal tersebut terjadi karena

(46)

32

berbagai faktor, yaitu tidak tepatnya waktu IB, kesuburan semen beku, fertilitas pejantan, kesalahan dalam melakukan IB maupun kesalahan pada saat thawing (peencairan semen beku). Jumlah kebuntingan pertama yang di inseminasi buatan sebanyak 18 ekor dari 39 ekor sapi Brahman Cross.

Penampilan Reproduksi Sapi Brahman Cross Jantan

Berdasarkan hasil wawancara, PT Widodo Makmur Perkasa Cianjur tidak memiliki data mengenai penampilan reproduksi sapi Brahman Cross jantan, sehinggga penulis tidak membahasnya.

Gangguan Reproduksi

Menurut hasil wawancara, masalah reproduksi yang pernah terjadi di PT Widodo Makmur Perkasa adalah abortus dan distokia. Kasus Abortus terjadi mungkin karena masalah mekanis seperti kepadatan kandang dan betina sudah bunting pada saat dibeli sehingga strees pada saat diperjalanan. Hal tersebut karena PT Widodo Makmur Perkasa pernah melakukan uji brucellosis dengan sampel sebanyak 200 ekor dan semuanya negatif. Masalah distokia relatif jarang kejadinnya, dan masih bisa ditangani oleh paramedis. Distokia terjadi disebabkan karena kelalaian dalam seleksi bibit.

(47)

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

1. Program breeding yang dilakukan di PT. Widodo Makmur Perkasa adalah menggunakan Inseminasi Buatan dengan semen beku Sapi Brahman yang diperoleh dari BIB Lembang.

2. Keberhasilan kebuntingan pada inseminasi buatan masih kurang baik dengan nilai CR hanya 46%

3. Calving Interval (CI) sapi Brahman Cross yang dipelihara di PT. Widodo Makmur Perkasa sudah baik yaitu 12 bulan.

4. Sistem pakan yang diberikan sudah baik terlihat dari sedikitnya kemajiran dan bobot badan sapi saat bunting sampai melahirkan meningkat yang awalnya berkisar 300 kg setelah melahirkan menjadi 350-400 kg.

5. Kelainan reproduksi jarang terjadi, kalaupun terjadi hal tersebut disebabkan karena kelalaian dalam seleksi bibit sehingga terjadi distokia dan kelainan secara mekanis seperti abortus akibat transportasi.

Saran

1. Pengkajian terhadap aspek bibit perlu ditingkatkan untuk mengkaji dan menjelaskan aspek potensi genetik yang muncul.

2. Diperlukan adanya pelatihan bagi pekeja untuk meningkatkan pengetahuan manajemen peternakan.

Gambar

Tabel 1 Persentase beranak dan pejantan yang tidak aktif pada peternakan rakyat       di Indonesia
Tabel 2 Efek dari BCS terhadap Postpartum Interval
Tabel 8 Formulasi Ransum di PT Widodo Makmur Perkasa
Tabel  9  Penampilan  Reproduksi  Sapi  Brahman  Cross  Betina  di  PT  WMP,  Cikalong Kulon Kabupaten Cianjur
+2

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan perhitungan analisis kelayakan instalasi biogas dengan populasi sapi 5000 ekor, dengan tingkat diskonto sembilan persen nilai NPV yang dihasilkan dari proyek

Penjelasan pengukuran pada cluster 7, di presentasikan fenomena PD pada phasa T, diperlihatkan gambar 3.29 dengan nilai 2.24nC lebih besar daripada phasa lainya.

Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa hasil evaluasi sistem perencanaan dan pengadaan Instalasi Farmasi Dinas Kesehatan Daerah Provinsi Sulawesi Utara yang

• Investasi pada perusahaan-perusahaan tahap awal yang memiliki potensi tingkat pertumbuhan yang tinggi, seperti Merdeka Copper Gold dan Agra Energi Indonesia. • Terus

kerana takut akan bahaya yang kecil, keuntungan yang banyak dibuang sehingga mendatangkan kesusahan kepada diri sendiri.. 281 (a) masa lagi rebunglah hendak dilentur,

Sudah agak lama Ponidi bercita-cita untuk mandiri, namun masih bimbang untuk memilih jenis usaha yang cocok dengan kondisinya yang akan dapat ia lakukan dan tabungan yang ada

Untuk tipe perairan tropis seperti Indonesia, padang lamun lebih dominan tumbuh dengan koloni beberapa jenis (mix species) pada suatu kawasan tertentu yang berbeda dengan

1) Mengatur dan menyeder hanakan lalu lintas dengan melakukan pemisahan terhadap tipe, kecepatan dan pemakai jalan yang berbeda untuk memperkecil gangguan terhadap