• Tidak ada hasil yang ditemukan

manajemen agar sifat sifat intangible jasa berubah menjadi lebih tangible (bisa

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "manajemen agar sifat sifat intangible jasa berubah menjadi lebih tangible (bisa"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Jasa

2.1.1 Definisi jasa

Jasa atau pelayanan merupakan suatu kinerja penampilan, tidak berwujud dan cepat hilang, lebih dapat dirasakan daripada dimiliki, serta pelanggan lebih dapat berpartisipasi aktif dalam proses mengkonsumsi jasa tersebut (Supranto, 2006).

Jasa merupakan kegiatan yang sengaja dijual untuk memberikan kepuasan kepada pemakainya (Muninjaya, 2012). Jasa merupakan sesuatu yang abstrak oleh karena itu menanganinya lebih sulit dari pada barang. Jika barang bisa dijelaskan secara objek fisik atau peralatan, maka jasa berupa kinerja atau tindakan (Setiawan, 2011).

2.1.2 Karakteristik jasa

Seperti yang telah diuraikan mengenai defini jasa, terdapat beberapa karakteristik jasa yang membedakannya dari barang. Menurut Muninjaya (2012) karakteristik jasa, yaitu:

1. Intangibility (Tidak berwujud)

Intangible berarti bahwa produk jasa tidak dapat dilihat, tidak dapat diraba, tidak dapat dirasa, tidak dapat dicium, tidak dapat didengar, atau tidak dapat dicoba sebelum dibeli. Untuk mengurangi ketidak pastian bagi pengguna jasa, calon pengguna jasa harus benar – benar memperhatikan adanya bukti tentang mutu jasa pelayanan sesuai dengan standar mutu yang umum berlaku. Oleh karena itu, manajemen institusi penyedia jasa harus mengembangkan kiat – kiat manajemen agar sifat – sifat intangible jasa berubah menjadi lebih tangible (bisa dirasakan) dan ada bukti nyatanya.

(2)

2. Inseparability (Tidak dapat dipisahkan)

Perbedaan antara produk barang dengan jasa pelayanan, yaitu produk barang biasanya dihasilkan lebih dahulu sebelum dijual, sedangkan jasa pelayanan akan dilakukan apabila adanya permintaan dari pengguna jasa. Produk barang juga akan dipajang atau ditata di toko – toko penyalur sebelum dibeli atau dikonsumsi oleh konsumen, sedangkan jasa pelayanan akan diberikan atau disediakan ketika pengguna jasa menerimanya. Contohnya, perawatan ibu bersalin akan disiapkan kalau ada ibu hamil yang akan melakukan persalinan. Dalam hal tersebut, adanya interaksi langsung antara penyedia jasa pelayanan persalinan dengan ibu hamil sebagai pengguna jasa pelayanan. Keduanya akan saling mempengaruhi hasil (outcome) layanan. Faktor komunikasi verbal dan non verbal antara penyedia jasa pelayanan dengan pengguna jasa pelayanan sangat mempengaruhi hasilnya (outcome). Untuk mengetahui mutu jasa pelayanan dikaji dari aspek pengguna adalah mengukur tingkat kepuasan pengguna layanan tersebut.

3. Variability (Keragaman)

Sifat jasa pelayanan sangat bervariasi. Tidak mudah menentukan standar output untuk setiap jasa pelayanan. Kondisi jasa seperti ini disebut nonstandarlized output. Dari sini, dapat disimak beragam variasi jasa dari aspek benetuk, kualitas, dan jenisnya. Demikian pula penggunanya, waktunya (kapan), lokasinya dan produsen jasa tersebut. Misalnya, variasi pelayanan rumah sakit dibedaka berdasarkan kelas perawatannya karena berbeda tarif pelayanannya, berbeda kelengkapan fasilitas ruangannya atau kelengkapan peralatannya. Meskipun ada keragaman jasa pelayanan, secara teknis harus diupayakan agar jasa

(3)

pelayanan memiliki standar atau paling tidak mendapat persetujuan kelompok ahli untuk mengurangi keragaman pelayanan yang diterima oleh penggunan jasa karena sifat dan jenis jasa pelayanannya memang berbeda.

4. Perishability (Tidak tahan lama)

Salah satu sifat khas jasa adalah tidak tahan lama. Dan juga tidak dapat disimpan. Misalnya, operasi caesar untuk menolong ibu bersalin akan dilakukan berdasarkan indikasi medis. Pelayanan seperti ini tidak bisa dipesan dulu oleh seorang ibu hamil.

2.2 Pelayanan Kesehatan

Berdasarkan Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, pelayanan kesehatan terdiri atas pelayanan kesehatan perseorangan dan pelayanan kesehatan masyarakat. Pelayanan kesehatan mencakup upaya promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif. Pelayanan kesehatan harus diselenggarakan secara bertanggung jawab, aman, bermutu, serta merata dan nondiskriminatif.

Muninjaya (2012) menjelaskan bahwa ada beberapa kriteria pelayanan kesehatan yang baik, yang harus dipenuhi, yaitu:

1. Availability; Pelayanan kesehatan yang baik harus tersedia di masyarakat dan dilaksanakan secara komprehensif mulai dari upaya pelayanan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif. Masyarakat tidak sulit menemukan pelayanan kesehatan.

2. Appropriateness; Bersifat wajar, pelayanan kesehatan harus sesuai dengan kebutuhan masyarakat di suatu wilayah. Kebutuhan masyarakat diukur dari pola penyakit yang berkembang di wilayah tersebut.

(4)

3. Continuity-Sustainability; Pelayanan kesehatan di suatu daerah harus berlangsung untuk jangka waktu yang lama dan dilaksanakan secara berkesinambungan.

4. Acceptability; Pelayanan kesehatan juga harus dapat diterima oleh masyarakat dan memerhatikan aspek sosial, budaya, dan ekonomi masyarakat.

5. Affordable; Biaya atau tarif pelayanan kesehatan dapat dijangkau oleh masyarakat umum. Tidak hanya orang tertentu saja yang dapat memanfaatkan pelayanan kesehatan.

6. Efficient; Pelayanan kesehatan harus dikelola secara efisien.

7. Quality; Pelayanan yang diakses di masyarakat harus terjaga mutunya. 2.3 Rumah Sakit

2.3.1 Definisi rumah sakit

Rumah sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat (Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit).

2.3.2 Tugas dan fungsi

Secara umum, rumah sakit memiliki tugas dan fungsi yang tertulis dalam Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit. Adapun tugas rumah sakit yaitu memberikan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna, sedangkan fungsi rumah sakit, yaitu:

1. Penyelenggaraan pelayanan pengobatan dan pemulihan kesehatan sesuai dengan standar pelayanan rumah sakit.

2. Pemeliharaan dan peningkatan kesehatan perorangan melalui pelayanan kesehatan yang paripurna tingkat kedua dan ketiga sesuai kebutuhan medis.

(5)

3. Penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan sumber daya manusia dalam rangka peningkatan kemampuan dalam pemberian pelayanan kesehatan. 4. Penyelenggaraan penelitian dan pengembangan serta penapisan teknologi

bidang kesehatan dalam rangka peningkatan pelayanan kesehatan dengan memperhatikan etika ilmu pengetahuan bidang kesehatan.

2.3.3 Klasifikasi

Adapun jenis rumah sakit dapat dilihat dari jenis pelayanan dan pengelolaannya. Berdasarkan jenis pelayanan, rumah sakit terbagi atas Rumah Sakit Umum dan Rumah Sakit Khusus. Yang dimaksud dengan Rumah Sakit Umum, pelayanan kesehatan yang disediakan mencakup semua bidang dan jenis penyakit, sedangkan Rumah Sakit Khusus hanya menyediakan pelayanan kesehatan pada satu bidang atau satu jenis penyakit tertentu berdasarkan disiplin ilmu, golongan umur, organ, jenis penyakit, atau kekhususan lainnya.

Berdasaran pengelolaannya, rumah sakit dibagi menjadi Rumah Sakit Publik dan Rumah Sakit Privat. Rumah Sakit Publik dikelola oleh Pemerintah, Pemerintah daerah, badan hukum yang bersifat nirlaba, sedangkan Rumah Sakit Privat dikelola oleh badan hukum yang bersifat profit, yang berbentuk Perseroan Terbatas atau Persero.

Dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 340/MENKES/PER/III/2010 Tentang Klasifikasi Rumah Sakit, berdasarkan fasilitas dan kemampuan pelayanan, klasifikasi rumah sakit dapat dibedakan sebagai berikut:

(6)

1. Klasifikasi Rumah Sakit Umum a. Rumah Sakit Umum kelas A b. Rumah Sakit Umum Kelas B c. Rumah Sakit Umum Kelas C d. Rumah Sakit Umum kelas D; 2. Klasifikasi Rumah Sakit Khusus

a. Rumah Sakit Khusus kelas A b. Rumah Sakit Khusus kelas B c. Rumah Sakit Khusus kelas C 2.3.4 Standar Pelayanan Rumah Sakit

Dalam penelitian ini, ada beberapa standar pelayanan yang digunakan berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Rpublik Indonesia Nomor 129/Menkes/SK/II/2008 Tentang Standar Pelayanan Minimal Rumah Sakit. Adapun standar tersebut, yaitu:

1. Waktu tunggu di rawat jalan ≤ 60 menit.

Yang dimaksud waktu tunggu adalah waktu yang diperlukan mulai pasien mendaftar sampai dilayani oleh dokter spesialis.

2. Waktu tunggu pelayanan farmasi.

Waktu tunggu pelayanan farmasi dibagi menjadi 2 (dua), yaitu waktu tunggu pelayanan obat jadi dan obat racikan. Waktu tunggu untuk pelayanan obat jadi ≤ 30 menit, sedangkan untuk pelayanan obat racikan ≤ 60 menit.

3. Tidak adanya kesalahan pemberian obat. Kesalahan pemberian obat meliputi:

≤ Salah dalam memberikan jenis obat ≤ Salah dalam memberikan dosis

(7)

≤ Salah orang ≤ Salah jumlah

4. Kelengkapan pengisian rekam medik 24 jam setelah selesai pelayanan.

Rekam medik yang lengkap adalah rekam medik yang telah diisi lengkap oleh dokter dalam waktu ≤ 24 jam setelah selesai pelayanan rawat jalan yang meliputi identitas pasien, anamnesis, rencana asuhan, pelaksanaan asuhan, tindak lanjut dan resume.

2.3.5 Instalasi rawat jalan

Instalasi rawat jalan merupakan gerbang utama yang mencerminkan rumah sakit secara keseluruhan. Kesan pertama masyarakat terhadap rumah sakit adalah penampilan dari instalasi rawat jalan (Mardiana, 2012). Azwar (2010) menyatakan bahwa peningkatan angka utilisasi pelayanan di rumah sakit adalah dua sampai tiga kali lebih tinggi dari peningkatan angka utilisasi pelayanan rawat inap. Adapun faktor-faktor yang berperan sebagai penyebab makin berkembangnya pelayanan rawat jalan, dapat disederhanakan sebagai berikut:

1. Sarana dan prasarana yang diperlukan untuk menyelenggarakan pelayanan rawat jalan relatif lebih sederhana dan murah, karena itu lebih banyak didirikan.

2. Kebijakan pemerintah untuk mengendalikan biaya kesehatan mendorong dikembangkannya berbagai sarana pelayanan rawat jalan.

3. Tingkat kesadaran kesehatan penduduk yang makin meningkat, yang tidak lagi membutuhkan pelayanan untuk mengobati penyakit saja., tetapi juga untuk memelihara atau meningkatkan kesehatan yang umumnya dapat dilayanani oleh sarana pelayanan rawat jalan saja.

(8)

4. Kemajuan ilmu dan teknologi kedokteran yang telah dapat melakukan berbagai tindakan kedokteran yang dulunya memerlukan pelayanan rawat inap, tetapi saat ini cukup dilayani dengan pelayanan rawat jalan saja.

5. Utilisasi rumah sakit yang makin terbatas, dan karenanya untuk meningkatkan income, kecuali lebih mengembangkan pelayanan rawat jalan yang ada di rumah sakit juga terpaksa mendirikan berbagai sarana pelayanan rawat jalan di luar rumah sakit.

2.4 Mutu Pelayanan Kesehatan 2.4.1 Definisi mutu

Azwar (2010) menyatakan bahwa mutu pelayanan kesehatan adalah yang menunjuk pada tingkat kesempurnaan pelayanan kesehatan, yang di satu pihak dapat menimbulkan kepuasan pada setiap pasien sesuai dengan tingkat kepuasan rata-rata penduduk, serta di pihak lain tata cara penyelenggaraannya sesuai dengan kode etik dan standar pelayanan profesi yang telah ditetapkan.

Setiap orang akan menilai mutu layanan berdasarkan standar dan atau kriteria yang berbeda-beda. Menurut Pohan (2007), setiap mereka yang terlibat dalam layanan kesehatan, seperti pasien, masyarakat dan organisasi masyarakat, profesi layanan kesehatan, dinas kesehatan, dan pemerintah daerah, pasti mempunyai pandangan yang berbeda tentang unsur apa yang penting dalam mutu layanan kesehatan. Berbagai pandangan yang berbeda tersebut, dapat dilihat sebagi berikut:

1. Perspektif pasien/masyarakat

Dari pandangan pasien/masyarakat, layanan kesehatan yang bermutu apabila layanan kesehatan dapat memenuhi kebutuhan yang dirasakannya dan diselenggarakan dengan cara yang sopan dan santun, tepat waktu, tanggap dan mampu menyembuhkan keluhannya serta mencegah berkembangnya atau

(9)

meluasnya penyakit. Pandangan pasien/masyarakat sangat penting karena pasien yang merasa puas dengan layanan akan mematuhi pengobatan dan melakukan kunjungan kembali.

2. Perspektif pemberi layanan kesehatan (provider)

Provider lebih mengaitkan mutu layanan kesehatan dengan ketersediaan peralatan, prosedur kinerja atau protokol, kebebasan profesi dalam setiap melakukan pelayanan kesehatan sesuai dengan teknologi kesehatan mutakhir, dan bagaimana keluaran (outcome) atau hasil layanan kesehatan itu.

3. Perspektif penyandang dana

Penyandang dana atau asuransi kesehatan berpandangan bahwa layanan kesehatan yang bermutu adalah layanan yang efesien dan efektif, mampu menyembuhkan pasien dalam waktu sesingkat mungkin, untuk meminimalisir biaya kesehatan. Kegiatan-kegiatan promotif juga lebih dikedepankan untuk mencegah penyakit sehingga penggunaan layanan kesehatan dalam hal kuratif atau rehabilitatif berkurang.

4. Perspektif pemilik sarana layanan kesehatan

Pemilik saranan layanan kesehatan berpandangan bahwa layanan kesehatan yang bermutu merupakan layanan kesehatan yang menghasilkan pendapatan yang mampu menutupi biaya operasional dan pemeliharaan, tetapi dengan tarif layanan yang masih terjangkau oleh pasien/masyarakat.

5. Perspektif administrator layanan kesehatan

Administrator layanan kesehatan tidak secara langsung memberikan layanan kesehatan, namun ikut bertanggung jawab dalam masalah mutu layanan kesehatan. Pemusatan perhatian terhadap beberapa dimensi mutu layanan

(10)

kesehatan tertentu, akan membantu administrator layanan kesehatan dalam menyusun prioritas masalah dan dalam meyediakan apa yang menjadi kebutuhan dan harapan pasien serta pemberi layanan kesehatan.

Dari beberapa batasan tentang mutu pelayanan kesehatan, dapat disimpulakan bahwa mutu pelayanan kesehatan adalah penilaian yang diberikan atas dua dasar, yaitu penilaian pasien sebagai pengguna pelayanan kesehatan, dan penilaian sesuai standar baku mutu pelayanan yang sudah ditetapkan bagi pelayanan kesehatan yang harus dijalankan oleh segenap unsur pemberi layanan kesehatan.

2.4.2 Dimensi mutu

Dimensi mutu sama halnya dengan kebutuhan pelanggan (customer requierment) (Supranto, 2006). Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa mutu merupakan sekumpulan ciri, sekumpulan ciri tersebut bisa dilandaskan pada apa yang dibutuhkan atau dianggap penting bagi pelanggan.

Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 129/Menkes/SK/II/2008 Tentang Standar Pelayanan Minimal Rumah Sakit, Dimensi mutu adalah suatu pandangan dalam menentukan suatu penilaian terhadap jenis dan mutu pelayanan dilihat dari Akses, Efektivitas, Efisiensi, Keselamatan dan keamanan, Kenyamanan, Kesinambungan pelayanan, Kompetensi teknis, dan Hubungan antar manusia berdasarkan standar World Health Organization (WHO).

Dimensi mutu yang sudah lama dikenal dan paling umum digunakan untuk menggambarkan mutu pelayanan dalam berbagai bidang jasa, termasuk pelayanan kesehatan, yaitu dimensi mutu menurut Parasuraman, et al (1985), yang dikenal dengan Dimensi Service Quality (Servqual). Dimensi Servqual terdiri atas 10 (sepuluh) dimensi, dan 34 aspek pelayanan yang dinilai. Dimensi – dimensi tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:

(11)

1. Reliability (Keandalan)

Dimensi ini berarti keandalan penyedia jasa untuk memberikan pelayanan sesuai dengan janji yang telah diberikan kepada pengguna jasa, dan melayani dengan akurat atau meminimalisir kesalahan. Dalam dimensi ini, hal – hal yang perlu diperhatikan seperti, ketepatan perhitungan biaya yang harus dikeluarkan oleh pengguna jasa, menyimpan segala kegiatan yang dilakukan oleh pengguna jasa dan penyedia jasa atau track record pelayanan sejak awal atau pertama kali jasa digunakan, serta memberikan pelayanan tepat waktu sesuai dengan yang telah ditetapkan dan dijanjikan.

2. Responsiveness (Daya tanggap)

Ketanggapan berarti kesiapan dan kesediaan petugas untuk memberikan pelayanan yang cepat dan tepat. Beberapa hal yang perlu diperhatikan seperti, memberikan pelayanan dengan cepat dan tepat, dan tanggap memberikan pelayanan.

3. Competence (Keterampilan)

Dimensi ini berhubungan dengan keterampilan dan pengetahuan setiap petugas saat memberikan pelayanan. Hal tersebut berarti setiap petugas harus memiliki keterampilan dan pengetahuan yang memadai saat memberikan pelayanan sehingga pengguna jasa merasa yakin dan percaya ketika menggunakan jasa tersebut.

4. Access (Akses)

Berkaitan dengan kemudahan pelayanan untuk dicapai oleh pelanggan. Kemudahan pelayanan dapat berupa adanya pelayanan telepon atau call center yang mudah dihubungi (tidak sibuk dan segera ditanggapi), waktu tunggu untuk

(12)

mendapatkan pelayanan tidak terlalu lama, jadwal pelayanan yang sesuai serta lokasi pelayanan yang sesuai.

5. Courtesy (Kesopanan)

Berkaitan dengan kesopanan, rasa hormat dan keramahan petugas ketika memberika pelayanan. Petugas menghormati serta mempertimbangkan kebutuhan pengguna jasa, khususnya bagi petugas yang berhubungan secara langsung dengan pengguna jasa.

6. Communication (Komunikasi)

Dimensi ini berarti memberikan informasi yang jelas dan mudah dipahami oleh pengguna jasa. Setiap pengguna jasa mungkin berasal dari berbagai latar belakang, sehingga penting bagi petugas untuk memberikan informasi yang diperlukan dengan jelas dan mudah dipahami. Informasi yang diperlukan bagi penggun jasa seperti, informasi tentang prosedur pelayanan, biaya yang diperlukan untuk menggunakan jasa tersebut, serta meyakinkan pengguna jasa bahwa jasa tersebut sesuai dengan kebutuhannya.

7. Credibility (Kepercayaan)

Dimensi ini berkaitan dengan kepercayaan, keyakinan, serta kejujuran. Penyedia jasa harus dapat meyakinkan penggunanya sehingga pengguna percaya dan memiliki kesan yang baik terhadap jasa yang digunakannya. Keyakinan dan kepercayaan pengguna jasa dapat timbul melalui reputasi penyedia jasa, nama perusahaan, serta karakteristik penyedia jasa saar memberikan pelayanan.

8. Security (Keamanan)

Keamanan merupakan rasa bebas dari bahaya, risiko, atau keraguan. Penting bagi penyedia jasa untuk menjaga hal – hal yang hanya boleh diketahui

(13)

oleh pengguna dan penyedia jasa serta penyedia jasa harus meyakinkan bahwa jasa tersebut tidak akan menimbulkan bahaya fisik atau kerugian finansial.

9. Understanding/ Knowing the customer (Memahami pengguna jasa)

Memahami pengguna jasa berarti mengetahui apa saja yang dibutuhkan oleh pengguna jasa. Penyedia jasa harus mempelajari setiap pengguna jasa agar dapat memahami apa yang dibutuhkannya dan memberikan perhatian khusus kepada setiap pengguna jasa. Hal penting lainnya adalah penyedia jasa mengenali pengguna jasa yang sudah biasa menggunakan jasa tersebut.

10. Tangible (Bukti nyata)

Yang dimaksud denga bukti nyata adalah penampilan dari pelayanan yang dapat secara langsung diamati oleh pengguna jasa, seperti fasilitas yang tersedia, penampilan petugas, serta peralatan yang digunakan saat memberikan pelayanan.

Parasuraman, et al (1988), melakukan penelitian lebih lanjut tentang dimensi servqual. Berdasarkan hasil penelitian tersebut ditemukan adanya beberapa aspek yang memiliki nilai korelasi terendah, dan beberapa dimensi yang saling tumpang tindih atau memiliki kesamaan, seperti dimensi communication, credibility, security, competence dengan dimensi courtesy, dan dimensi

understading / knowing the customer dengan dimensi access, sehingga

disimpulkan bahwa beberapa aspek yang memiliki nilai korelasi rendah dihapuskan dan dimensi – dimensi yang memiliki kesamaan akan dikombinasikan dan dibentuk menjadi 2 (dua) dimensi yang berbeda, yaitu assurance (jaminan) dan empathy (empati), sehingga dimensi servqual yang baru terdiri atas 5 (lima) dimensi, dan 22 aspek pelayanan yang dinilai.

(14)

1. Tangible (Bukti nyata), yaitu berkaitan dengan fasilitas fisik, peralatan, dan penampilan petugas.

2. Reliability (Keandalan), yaitu kemampuan untuk memberikan pelayanan sesuai dengan janji dan akurat.

3. Responsiveness (Daya tanggap), yaitu kesediaan untuk menolong pengguna jasa dan memberikan pelayanan yang cepat atau segera.

4. Assurance (Jaminan), yaitu pengetahuan dan kesopanan petugas, serta perilaku petugas yang dapat menarik kepercayaan pengguna jasa.

5. Empathy (Empati), yaitu kepedulian, serta perhatian khusus yang diberikan kepada setiap pengguna jasa.

Penjelasan tentang kelima dimensi servqual di atas lebih rinci dijelaskan oleh Muninjaya (2012) sebagai berikut:

1. Tangible (Bukti nyata)

Seperti yang sebelumnya telah dijelaskan mengenai kriteria jasa, jasa tidak dapat dilihat, dirasakan, dan dipegang. Tetapi beberapa jasa atau pelayanan dapat disertai dengan elemen yang berwujud, dan hal ini yang akan menjadi kriteria yang dilihat dan dinilai oleh pelanggan. Misalnya ruang tunggu yang bersih, toilet yang bersih, seragam staf yang rapih, dan sebagainya.

2. Reliability (Keandalan)

Kemampuan untuk memberikan pelayanan kesehatan dengan tepat waktu dan akurat sesuai dengan yang ditawarkan. Dimensi ini akan mengambarkan banyaknya kesalahan yang dilakukan selama penyampaian pelayanan.

(15)

Dimensi ini berarti kemapuan petugas kesehatan menolong pelanggan dan kesiapannya melayani sesuai prosedur dan bisa memenuhi harapan pelanggan. Harapan pelanggan terhadap kecepatan pelayanan cenderung meningkat dari waktu ke waktu sejalan dengan kemajuan teknologi dan informasi kesehatan yang dimiliki pelanggan. Nilai waktu semakin berharga bagi pelanggan seiring dengan kegiatan ekonomi yang meningkat.

4. Assurance (Jaminan)

Dimensi ini berhubungan dengan pengetahuan, kesopanan, dan sifat petugas yang dapat dipercaya oleh pelanggan. Pemenuhan kriteria ini akan mengakibatkan pengguna pelayanan merasa terbebas dari risiko.

5. Empathy (Empati)

Kriteria ini berkaitan dengan rasa kepedulian khusus dan perhatian khusus staf kepada setiap pelanggan, memahami kebutuhan mereka, dan memberikan kemudahan untuk dihubungi setiap saat jika para pelanggan ingin memperoleh bantuan.

2.4.3 Pengukuran mutu pelayanan

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya tentang pandangan – padangan terhadap mutu, maka mutu pelayanan kesehatan dapat diukur melalui perbandingan antara standar pelayanan kesehatan yang telah disepakati dan ditetapkan sebelum mutu dilakukan (Pohan, 2007).

Standar-standar tersebut disusun berdasarkan aspek – aspek yang dianggap penting dalam mutu pelayanan. Seperti yang dijelaskan oleh Sabarguna (2008), aspek – aspek yang berpengaruh baik secara langsung atau tidak, terhadap penilaian mutu, antara lain:

(16)

1. Aspek klinis, yaitu menyangkut pelayanan dokter, perawat, dan terkait dengan teknis medis.

2. Efisiensi dan Efektivitas, yaitu pelayanan yang murah, tepat guna, tak ada diagnosa dan terapi berlebihan.

3. Keselamatan pasien, yaitu upaya perlindungan terhadap pasien, misalnya perlidungan jatuh dari tempat tidur, kebakaran, dan sebagainya.

4. Kepuasan pasien, yaitu berhubungan dengan kenyamanan, keramahan, dan kecepatan pelayanan.

Donabedian dalam Pohan (2007), membuat kerangka pikir untuk mengukur mutu layanan kesehatan berdasarkan komponen mutu meliputi:

1. Standar struktur

Standar struktur adalah standar yang menjelaskan peraturan sistem, kadang – kadang disebut juga sebagai masukan atau struktur. Termasuk ke dalamnya adalah hubungan organisasi, misi organisasi, kewenangan, komite – komite, personel, peralatan, gedung, rekam medik, keuangan, perbekalan, obat, dan fasilitas. Standar struktur disebut juga sebagai rules of the game.

2. Standar proses

Standar proses adalah sesuatu yang menyangkut semua aspek pelaksanaan kegiatan pelayanan kesehatan, melakukan prosedur dan kebijaksanaan. Standar proses menjelaskan apa yang harus dilakukan, bagaimana melakukannya dan bagaimana sistem bekerja.

3. Standar keluaran

Standar keluaran adalah hasil akhir atau akibat dari pelayanan kesehatan. Standar keluaran akan menujukkan apakah pelayanan kesehatan akan berhasil

(17)

atau gagal. Keluaran (outcome) adalah apa yang diharapkan akan terjadi sebagai hasil dari pelayanan kesehatan yang diselenggarakan dan terhadap apa keberhasilan tersebut akan diukur. Salah satu keluaran yang dimaksud dan dapat diukur adalah kepuasan pasien.

2.5 Kepuasan Pelanggan (Pasien) 2.5.1 Batasan dan konsep kepuasan

Pelanggan atau dalam penelitian ini pasien, bisa merasa tidak puas apabila kebutuhan dan harapannya tidak terpenuhi. Pelanggan akan merasa sangat puas bila apa yang dialami lebih baik dari yang diharapkannya dan akan kecewa kalau terjadi sebaliknya. Pasien yang merasa kecewa atau tidak puas akan meninggalkan pelayanan di rumah sakit tersebut dan memilih rumah sakit lain hingga akhirnya minat masyarakat untuk menggunakan pelayanan di rumah sakit tersebut semakin menurun (Supranto, 2006).

Buttle dalam Setiawan (2011) memberikan batasan bahwa kepuasan pelanggan adalah respon berupa perasaan puas yang timbul karena pengalaman menggunakan suatu produk, atau sebagian kecil dari pengalaman itu. Kepuasan pelanggan akan meningkat apabila perusahaan mampu memahami tuntutan, memenuhi harapan, dan mewujudkan nilai pelanggan. Nilai yang dipikirkan pelanggan adalah selisih antara evaluasi calon pelanggan atas semua manfaat serta semua biaya yang ditawarkan dan alternatif – alternatif yang dipikirkannya.

Pada bagian mutu telah disebutkan bahwa kepuasan pasien adalah keluaran dari pelayanan kesehatan. Oleh karena itu, kepuasan pasien merupakan hal penting yang perlu diketahui jika ingin memperbaiki mutu pelayanan kesehatan.

Kepuasan pasien adalah suatu tingkat perasaan pasien yang timbul sebagai akibat dari kinerja pelayanan kesehatan yang diperolehnya setelah pasien membandingkannya

(18)

suatu standar yang tidak resmi dan tidak tertulis. Pasien akan mengukur kinerja pelayanan yang diperolehnya dengan menggunakan standar pribadinya (Pohan, 2007).

Konsep kepuasan atau ketidakpuasan muncul karena adanya kesenjangan – kesenjangan atau gap antara harapan pelanggan dan jasa yang diberikan. Parasuraman, et al (1985) menjelaskan terdapat 5 (lima) gap yang terjadi saat penyampaian jasa sebagai berikut:

1. Kesenjangan antara harapan pengguna jasa dan persepsi manajemen.

Manajemen institusi pelayanan kesehatan belum mampu secara tepat mengidentifikasi dan memahami harapan (ekspektasi) para pengguna jasa.

2. Kesenjangan antara persepsi manajemen dan spesifikasi kualitas jasa.

Pemahaman manajemen tentang harapan pengguna jasa tidak diterjemahkan menjadi aksi nyata yang spesifik. Misalnya, standar prosedur pelayanan atau pelaksanaan penyampaian jasa belum dikemas sesuai dengan harapan pengguna jasa yang semakin menuntut pelayanan yang bermutu (cepat, ramah, tepat, dan biaya terjangkau).

3. Kesenjangan antara spesifikasi kualitas jasa dan penyampaiannya.

Standar pelayanan dan cara penyampaian jasa sudah tersusun baik tetapi muncul kesenjangan karena staf pelaksana pelayanan garis depan (front line staf). Contohnya seperti perawat, bidan, dan dokter umum di sebuah rumah sakit belum mendapat pelatihan khusus tentang teknik penyampaian jasa tersebut. Akibatnya, jasa pelayanan kesehatan yang ditawarkan kepada pasien tidak sesuai dengan standar yang sudah ditetapkan oleh komite medik rumah sakit.

4. Kesenjangan antara penyampaian jasa dan harapan pihak eksternal.

Harapan pengguna jasa sangat dipengaruhi oleh cara staf dan manajemen rumah sakit berkomunikasi dengan masyarakat calon pengguna jasanya. Harapan

(19)

pengguna jasa yang sudah mulai terbentuk melalui pemasaran tidak dapat terpenuhi karena pelayanan yang diberikan secara teknis dan kelengkapan mutu pelayanan berbeda dengan ekspektasi mereka.

5. Kesenjangan antara jasa yang diterima pengguna dan yang diharapakan.

Kesenjangan yang terjadi jika konsumen mengukur kinerja pelayanan dengan cara yang berbeda, termasuk persepsi pengguna yang berbeda terhadap kualitas jasa pelayanan yang diharapakan.

Adanya kesenjangan – kesenjangan tersebut bukan berarti penyedia jasa tidak dapat melakukan apapun. Pohan (2007) menyatakan bahwa melalui komunikasi, sedikit banyaknya kesenjangan – kesenjangan tersebut dapat dikurangi. Komunikasi yang ikhlas, tulus, dan penuh perhatian merupakan metode yang sangat efektif untuk mewujudkan suasana yang saling mempercayai, saling menghargai, dan saling menghormati, suasana yang saling kondusif untuk memodifikasi atau mengubah harapan pelanggan yang telah lama terbentuk.

Harapan pelanggan merupakan keyakinan akan kriteria kinerja pelayanan sesuai dengan kepentingannya sebelum mencoba atau membeli pelayanan tersebut. Menurut Parasuraman et al (1985), harapan pelanggan dipengaruhi oleh komunikasi dari mulut ke mulut, kebutuhan pribadi yang diinginkannya, dan pengalaman masa lalu pelanggan saat menggunakan pelayanan, baik pada tempat pelayanan yang sama maupun berbeda. Kesan pertama yang ditimbulkan oleh pelayanan yang digunakan sebelumnya, akan menjadi acuan bagi pelanggan untuk menilai pelayanan yang digunakannya saat ini. Oleh karena itu, penting bagi penyedia jasa untuk mengidentifikasi apa yang menjadi harapan pasien.

Identifikasi harapan pasien, dapat dilakukan dengan melihat aspek – aspek pelayanan kesehatan yang mungkin dianggap penting oleh pasien, sehinga akan mempengaruhi kepuasan pasien. Adapun aspek – aspek yang mempengaruhi kepuasan

(20)

1. Kenyamanan

2. Hubungan pasien dengan petugas rumah sakit 3. Kompetisi teknis petugas

4. Biaya

2.5.2 Pengukuran tingkat kepuasan

Tingkat kepuasan pelanggan dapat diukur melalui beberapa metode. Metode yang dapat digunakan untuk mengukur kepuasan pelanggan menurut Kotler (1997), yaitu: 1. Sistem saran dan keluhan (complaint and suggestion system)

Sistem ini meliputi call service, kotak saran yang disediakan di tempat – tempat strategis di pelayanan kesehatan.

2. Analisa kehilangan pelanggan (lost customer analysis)

Rumah sakit mengunjungi rumah – rumah pasien yang sudah lama tidak menjalani perawatan lagi di rumah sakit tersebut untuk mengetahui alasan – alasan mengapa pasien tidak melanjutkan perawatannya, dan untuk mengetahui apakah pasien pergi ke rumah sakit lain.

3. Ghost shopping

Rumah sakit menugaskan orang – orang tertentu untuk berperan sebagai pasien di rumah sakit pesaing, untuk mengetahui keunggulan dan kelemahan rumah sakit tersebut.

4. Survei kepuasan pelanggan (customer satisfaction survey)

Rumah sakit mengirimkan kuesioner ke rumah – rumah orang yang pernah menjalani perawatan di rumah sakit untuk mengukur tingkat kepuasan pasien secara periodik.

Metode yang paling sering digunakan dalam penelitian – penelitian kepuasan pasien rumah sakit adalah survei kepuasan pelanggan. Melalui survei kepuasan

(21)

pelanggan, dapat dilihat aspek – aspek pelayanan yang mungkin berpengaruh terhadap kepuasan pasien, serta aspek pelayanan yang dianggap pasien paling penting dan bagaimana penilaian pasien terhadap mutu pelayanan kesehatan yang diterimanya.

Pengukuran kepuasan pasien sangatlah penting dilakukan, yang hasilnya dapat digunakan provider untuk memperbaiki mutu pelayanan kesehatan. Sabarguna (2008), menyatakan bahwa pengukuran kepuasan pasien penting dilakukan karena beberapa alasan berikut:

1. Bagian mutu pelayanan.

Hal ini terkait pada penjelasan sebelumnya mengenai hubungan mutu pelayanan dan kepuasan pasien.

2. Berhubungan dengan pemasaran rumah sakit.

Pasien yang puas akan memberi tahu pada temannya, keluarga dan tetangga. Pasien yang puas akan datang lagi kontrol atau membutuhkan pelayanan yang lain, dan iklan dari mulut ke mulut akan menarik pelanggan baru.

3. Berhubungan dengan prioritas peningkatan pelayanan dalam dana yang terbatas, peningkatan harus selektif, dan sesuai dengan kebutuhan pasien. 4. Analisis Kuantitatif.

Dengan bukti hasil survei berarti tanggapan tersebut dapat diperhitungkan dengan angka kuantitatif tidak perkiraan atau perasaan belaka, dengan angka kuantitatif memberikan kesempatan pada berbagai pihak untuk diskusi.

2.6 Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)

JKN merupakan program jaminan sosial yang diselenggarakan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), yang terbagi menjadi BPJS Kesehatan yang bertanggung jawab menyelenggarakan program jaminan kesehatan dan BPJS

(22)

Ketenagakerjaan yang bertanggung jawab menyelenggarakan program jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua, jaminan pensiun dan jaminan kematian.

Berkaitan dengan jaminan kesehatan, ada 2 (dua) hal penting berkaitan dengan penelitian ini adalah peserta dan fasilitas kesehatan. Berdasarkan Buku Pegangan Sosialisasi Jaminan Kesehatan Nasional dalam Sistem Jaminan Sosial Nasional, Peserta JKN dibagi menjadi: (Kemenkes RI, 2014)

1. Peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI)

Kelompok peserta ini merupakan kelompok yang tidak mampu, sehingga iuran jaminan sosial disubsidi oleh pemerintah.

2. Peserta Bukan Peneriman Bantuan Iuran (Non PBI)

Kelompok ini terdiri dari masyarakat yang mampu, antara lain pekerja penerima upah, pekerja mandiri atau bukan penerima upah beserta anggota keluarganya. Iuran jaminan sosial tidak disubsidi oleh pemerintah. Iuran pekerja penerima upah dibayarkan oleh pemberi kerja berdasarkan ketentuan yang telah dibuat, sedangkan pekerja bukan penerima upah atau pekerja mandiri membayar sendiri iuran jaminan sosial sesuai dengan pilihan kelas yang tersedia yang telah dipilih sendiri oleh peserta. Kelas yang tersedia meliputi Kelas III dengan jumlah iuran yang paling rendah, Kelas II, dan Kelas I, dengan jumlah iuran secara berturut – turut semakin tinggi.

Yang dimaksud fasilitas kesehatan dalam program JKN adalah pelayanan kesehatan yang bekerja sama atau menjalin kontrak dengan BPJS. Sesuai dengan sistem rujukan, maka fasilitas kesehatan yang dikontrak terdiri dari Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) dan Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjutan (FKRTL). Yang termasuk dalam FKTP antara lain puskesmas, klinik dokter keluarga, klinik swasta, dan sebagainya yang hanya menjalankan kegiatan promotif, preventif serta pelayanan medis

(23)

dasar sesuai dengan ketentuan 155 penyakit yang harus dilayani di FKTP. Sedangkan yang termasuk dalam FKRTL merupakan rumah sakit yang yang sudah memiliki tenaga medis spesialis dan subspesialis.

2.7 Kerangka Pikir

Berdasarkan batasan dan konsep kepuasan pasien, maka kerangka pikir penelitian ini dapat dilihat melalui gambar 2.1 yang diadaptasi dari teori Parasuraman, et al (1988):

Gambar 2.1 Kerangka Pikir

Kepuasan

Pasien

Dimensi Mutu Pelayanan

Tangible (Bukti nyata) Reliability (Keandalan)

Responsiveness (Daya Tanggap) Assurance (Jaminan)

Gambar

Gambar 2.1 Kerangka Pikir

Referensi

Dokumen terkait

Pada suatu hari Toba pergi memancing, setelah lama menunggu Toba merasakan pancingannya ada yang menarik, dengan sekuat tenaga dia menariknya, ternyata ada seekor ikan besar

[r]

Partisipasi masyarakat yang dilakukan dalam perencanaan pembangunan desa wisata di Desa Lubuk Dagang dapat berjalan dengan lancar dan telah menghasilkan rencana

Baik kerangka konseptual maupun kerangka teori tidak digambarkan secara jelas dalam jurnal penelitian tersebut, namun pada bagian pembahasan, tinjauan pustaka

Guru sosiologi tidak menerapkan 1 komponen yang tidak dieterapkan yaitu memotivasi siswa.Dari semua komponen keterampilan menutup pelajaran yang terdiri dari 3 komponen

Terhadap Kinerja Karyawan Dengan Lama Kerja Sebagai.. Variabel Moderating (Studi pada

Setelah mengembalikan ikan ke dalam air, petani itu bertambah terkejut, karena tiba-tiba ikan tersebut berubah menjadi seorang wanita yang sangat cantik?. “Jangan takut Pak, aku

Disarankan kepada perusahaan untuk meningkatkan kemampuan komunikasi keselamatan kerja dan membuat variasi yang baru dalam mengkomunikasikan keselamatan kerja,