• Tidak ada hasil yang ditemukan

IV. KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "IV. KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

4.1 Letak, Luas dan Batas Administratif

Seperti yang dijelaskan pada Bab III Metode Penelitian, berdasarkan pertimbangan status kawasan, proses penataan batas dan ketersediaan data, untuk penelitian ini batas administrasi yang akan digunakan ialah batas Taman Nasional Gunung Halimun (TNGH). Kawasan ini terletak antara 106o21’-106o38’BT dan 6o37’-6o51’LS dengan ketinggian bervariasi mulai 500 m dpl sampai dengan 1.929 m dpl. Dengan luas kawasan 40.000 ha, secara administratif TNGH masuk kedalam wilayah Provinsi Jawa Barat dan Banten yang berbatasan dengan 46 desa, 13 kecamatan dan 3 kabupaten. Masing-masing 13 desa dan 5 kecamatan di Kabupaten Bogor, 14 desa dan 4 kecamatan di Kabupaten Sukabumi, dan 19 desa dan 4 kecamatan di Kabupaten Lebak.

Daerah studi meliputi empat desa yang berada di dalam dan di luar kawasan Taman Nasional Gunung Halimun. Keempat daerah studi tersebut yaitu: 1) Desa Citorek, Kecamatan Cibeber, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten; 2) Desa Sirnarasa, Kecamatan Kecamatan Cikakak, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat; 3) Desa Malasari, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat; dan 4) Desa Cisarua, Kecamatan Sukajaya, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat. Luas wilayah dan batas administrasi lokasi studi selengkapnya disajikan pada Tabel 12.

4.2 Aksesibilitas

Kawasan TNGH mempunyai 6 gerbang masuk yang dapat diakses dari kota Sukabumi, Bogor dan Rangkasbitung. Berikut ini penjelasan mengenai kondisi keenam pintu masuk tersebut mencakup jarak, waktu dan kantor resort yang terdekat:

1. Gerbang Cisalimar dapat dicapai dari Kota Sukabumi yang dapat dicapai melalui Parungkuda dengan jarak sekitar 20 Km dan waktu tempuh selama 30 menit berkendaraan. Kantor resort terdekat berada di Cipeuteuy.

2. Gerbang Cisuren dapat dicapai dari Kota Sukabumi yang dapat dicapai melalui Pelabuhan Ratu dengan jarak sekitar 60 Km dan waktu tempuh

(2)

selama 2 jam berkendaraan. Kantor resort terdekat berada di Cikelat.

3. Malasari dapat dicapai dari Kota Bogor melalui Leuwiliang-Nanggung dengan jarak sekitar 35 Km dan waktu tempuh selama 50 menit berkendaraan. Kantor resort terdekat berada di Cisangku.

Tabel 12 Luas wilayah dan batas administrasi lokasi studi

No Lokasi Studi Luas Wilayah

(Ha) Batas Administrasi 1. Desa Citorek,

Kecamatan Cibeber,

Kabupaten Lebak, Provinsi Banten

4.296, 83 - Utara: Kampung Calebang, Desa Calebang dan Kampung Pasir Eurih, Desa Pasir Eurih, Kecamatan Sobang.

- Selatan: Kampung Sinagar, Desa Sinagar, Kecamatan Pangarangan

- Barat: Kampung Jamrut dan Parung Gedong (Desa Cikate), Kecamatan Cikaju dan Desa Kanekes (Baduy), Kecamatan Leuwidamar - Timur: Wewengkon Adat Kasepuhan Citorek,

Kecamatan Cibeber. 2. Desa Sirnarasa, Kecamatan Kecamatan Cikakak, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat

4.028,00 - Utara: Desa Sirnaresmi, Kecamatan Cikakak - Selatan: Desa Margalaksana, Kecamatan

Cikakak

- Barat: Desa Cicadas, Kecamatan Cisolok - Timur: Desa Cileungsing, Kecamatan

Cikakak dan Desa Mekarnangka, Kecamatan Cikidang

3. Desa Malasari, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor.

8.262,22 - Utara: Desa Cisarua dan Curug Bitung, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor - Selatan: Desa Sirnaresmi, Kecamatan

Cisolok, Kabupaten Sukabumi dan Desa Situmulya, Kecamatan Cibeber, Kabupaten Lebak

- Barat: Desa Kiarasari dan Desa Cisarua, Kecamatan Cigudeg, Kabupaten Bogor

- Timur: Desa Bantar Karet, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor

4. Desa Cisarua, Kecamatan Sukajaya, Kabupaten Bogor

5.610,60 - Utara: Desa Cileuksa, Kecamatan Sukajaya, Kabupaten Bogor dan Desa Banjarsari, Kecamatan Cipanas, Kabupaten Lebak

- Selatan: Kawasan TNGH dan Desa Kiarasari, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor - Barat: Desa Lebaksitu, Kecamatan Cipanas,

Kabupaten Lebak

- Timur: Desa Pasir Madang dan Kiarapandak, Kecamatan Sukajaya, Kabupaten Bogor. Sumber :

1. Hanafi et al. 2004; Peta Kawasan TNGHS Skala 1:50.000 Tahun 2005 (JICA & Dephut). 2. BPMD Kabupaten Sukabumi, 2006; Peta Kawasan TNGHS Skala 1:50.000 Tahun 2004 (JICA & Dephut).

3. Monografi Desa Malasari 2006.

(3)

4. Cibuluh dapat dicapai dari Kota Bogor melalui Cigudeg dengan jarak sekitar 28 Km (30 menit berkendaraan). Kantor resort terdekat berada di Juga. 5. Citorek dapat dicapai dari Kota Rangkasbitung melalui Bayah dengan jarak

sekitar 150 Km dan waktu tempuh selama 3 jam berkendaraan. Kantor resort terdekat berada di Cicarucub.

6. Cigaru dapat dicapai dari Kota Rangkasbitung melalui Cipanas-Banjarsari dengan jarak sekitar 48 Km dan waktu tempuh selama 75 menit berkendaraan. Kantor resort terdekat berada di Muhara.

Sedangkan untuk mencapai keempat lokasi studi dapat menggunakan angkutan umum dan kendaraan pribadi. Akses ke lokasi studi dan sarana yang dapat digunakan disajikan pada Tabel 13.

4.3 Status Lahan, Penggunaan Lahan dan Sistem Tenurial

Dari luas 40.000 Ha, penggunaan lahan kawasan TNGH meliputi perkebunan 971 ha; pertanian dan permukiman 1.029 ha; dan kawasan konservasi 38.000 ha (Harada et al. 2001; Widada 2004:47). Kawasan ini juga berbatasan dengan lahan-lahan dengan penggunaan :

ƒ kawasan hutan produksi dan hutan lindung yang dikelola oleh Perum Perhutani (2000b:I-1);

ƒ lahan pertanian rakyat yang dikelola oleh penduduk desa (2000b:I-1);

ƒ perkebunan teh yang dikelola oleh beberapa perusahaan besar (Widada 2004: 61);

ƒ 9 enclave71

yaitu 3 di bagian Timur, 4 di bagian Utara, dan 2 di bagian Timur Laut (2000b:I-1). Nama, letak, luas dan keterangan lainnya mengenai enclave ini dirangkum dan disajikan pada Tabel 14.

Berdasarkan Rencana Pengelolaan TNGH tahun 2000-2024, kawasan TNGH akan dikelola dengan sistem zonasi. Sistem ini diperlukan untuk memenuhi fungsi72 taman nasional. Zonasi ditentukan berdasarkan penilaian aspek (BTNGH, 2000a: V5-11): ekologis seperti kekayaan spesies dan

71 Enclave yaitu areal yang berada di dalam kawasan TNGH namun secara hukum tidak termasuk kawasan TNGH (BTNGH 2000b:I-1).

72 Fungsi taman nasional mengacu pada UU No. 5 /1990 adalah untuk : perlindungan proses ekologis sistem penyangga kehidupan; pengawetan keaneka ragaman tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya; pemanfaatan secara lestari SD alam hayati dan ekosistemnya dalam bentuk penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, penunjang budidaya dan pariwisata alam.

(4)

sensitifitas; peraturan perundangan; dan pemanfaatan seperti kebutuhan masyarakat dan pengembangan pariwisata alam. Sampai dengan Februari 2007, status zonasi di TNGH belum selesai karena belum adanya penetapan zonasi yang disetujui oleh Ditjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA) dan Bupati terkait (BTNGHS 2007).

Tabel 13 Aksesibilitas untuk mencapai lokasi studi

No Lokasi Studi Aksesibilitas

1. Desa Citorek, Kecamatan Cibeber, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten

Dari Bogor : Terminal Bubulak menggunakan angkutan umum jurusan Cipanas sampai Gajruk (2,5 jam) dengan biaya Rp 13.000/orang. Dari Gajruk sampai dengan Desa Citorek dapat menggunakan kendaraan roda empat jenis elf selama kurang lebih 1 jam 30 menit dengan biaya Rp. 20.000/orang.

2. Desa Sirnarasa, Kecamatan Kecamatan Cikakak, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat

Dari Pelabuhan Ratu: 1)menggunakan kendaraan pribadi menuju Barat Laut sepanjang 33 km dan waktu tempuh 1 jam; 2) kendaraan umum hanya ada dua jadwal pemberangkatan setiap harinya dengan biaya Rp. 2000-5000/orang. Berangkat dari Desa Sirnarasa menuju Desa Cileungsi pada pukul 07.00 dan 10.00 WIB. Jalur kembali dari Desa Cileungsi-Desa Sirnarasa sampai pukul 10.00 dan 13.00 WIB; atau 3) kendaraan roda dua (ojeg), biaya yang harus dikeluarkan sekitar Rp. 25.000.

3. Desa Malasari, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor.

Dari Bogor : 1) menuju pusat Desa Malasari berjarak ± 65 km dari arah barat daya Cibinong (ibukota Kabupaten Bogor) dan ± 15 km dari pusat Kecamatan Nanggung dengan menggunakan kendaraan umum dapat ditempuh + sekitar 3 jam; atau 2) menuju Nirmala/Talahab melalui Parung Kuda dengan kendaraan pribadi dari kota Bogor dapat ditempuh + 4 jam.

4. Desa Cisarua, Kecamatan Sukajaya, Kabupaten Bogor

Dari Bogor melalui Terminal Bubulak menggunakan angkutan umum Bogor-Leuwiliang-Cigudeg atau dengan kendaraan pribadi selama 0,5-1 jam dengan kondisi jalan cukup bagus. Dari Cigudeg menuju Kampung Leuwijamang ada dua alternatif rute. Pertama rute Cigudeg - Cipatat - Cisarua harus ditempuh dengan kendaraan lapangan (jeep, truk, sepeda motor) selama 2 jam kondisi jalan berbatu dan berlumpur. Cisarua ke Leuwijamang hanya dapat ditempuh dengan berjalan kaki sejarak 5 km dengan waktu tempuh kurang lebih 1 –2 jam. Rute Cigudeg – Cipatat dapat juga ditempuh dengan mobil pribadi atau umum (Rp. 5000/orang) untuk 1 -1,5 jam perjalanan. Dari Cipatat – Cisarua diteruskan dengan ojeg Rp. 20.000/ojeg selama 1 -1,5 jam perjalanan. Cisarua –Leuwijamang ditempuh dengan berjalan kaki. Alternatif kedua yaitu melalui Cigudeg – Cibarani dengan mobil pribadi atau ojeg. Biaya yang dikeluarkan jika menggunakan ojeg sebesar Rp. 25.000/orang dengan waktu tempuh selama 1 -1,5 jam perjalanan. Kondisi jalan berbatu. Dari Cibarani menuju Kampung Leuwijamang ditempuh dengan berjalan kaki selama kurang lebih 3-4 jam. Kondisi jalan tanah dan berlumpur jika hujan

(5)

Tabel 14 Enclave yang berada di TNGH

No Nama Posisi Luas (Ha) Populasi Keterangan 1. Nirmala Timur 971 570 Kywn PT. Nirmala Agung 2. Sarongge Utara 50 55 kk Pertanian

3. Leuwijamang Utara 100 120 Kk Pertanian 4. Ciparengpeng Utara 100 Pertanian

5. Ciear Utara 200 Pertanian

6. Cilanggar/Garung Timur 200 Pertanian 7. Ciwalen Timur 25 1 kk Belum dipetakan 8. Cibatu Timur Laut 125 1 kk Pertanian 9. Ciguha/Gn Perang Timur Laut 150 Pertanian

J u m l a h 2000

Sumber : BTNGH, 2000b: I-2

Berdasarkan batas administrasi TNGH, keempat lokasi studi memiliki status lahan yang berbeda. Misalnya, lokasi Kampung Cibedug berstatus encroachment73 karena pemukiman penduduk dianggap secara ilegal berdiri di dalam kawasan TNGH, sedangkan dua kampung lainnya yaitu Kampung Citalahab Central dan Kampung Leuwijamang berstatus enclave. Status satu kampung lainnya yaitu Kampung Pangguyangan berada di luar kawasan TNGH. Selengkapnya status dan penggunaan lahan di lokasi studi disajikan pada Tabel 15 berikut ini.

Tabel 15 Status dan penggunaan lahan di lokasi studi

No. Lokasi Studi Status Jenis Pengunaan Lahan

1. Kampung Cibedug encroachment pemukiman, lahan pertanian (reuma, sawah, kebun sayuran, dll), sarana dan prasarana

2. Kampung Pangguyangan di luar sawah, pemukiman, perkebunan, fasilitasumum dan hutan lindung

3. Kampung Leuwijamang enclave pertanian, kebun dan pemukiman

4. Kampung Citalahab Central enclave pemukiman, lahan pertanian, perkebunan, hutan lindung dan hutan konservasi

Sumber : Harada et al. 2004; BPMD Kabupaten Sukabumi, 2006; Martono dan Suwartapradja, 2006; Rencana Pengelolaan TNGH tahun 2000-2024, Potensi Desa Cisarua 2002 dalam Widada 2004

(6)

Di kawasan TNGH dikenal beberapa sistem tenurial (sistem kepemilikan lahan) yang digunakan oleh masyarakat. Dalam penelitiannya Harada, et al. (2001) mendokumentasi sembilan sistem tenurial yang berlaku pada masyarakat di sekitar kawasan TNGH. Adapun kesembilan sistem tenurial tersebut adalah: 1. Warisan (inheritance) ialah tanah yang dikelola secara turun temurun. Hak

pengelolaan dialihkan kepada ahli waris (anak) dengan membagi sama luas lahan baik untuk anak laki-laki maupun perempuan;

2. Mulung (Reclamation) atau memungut ialah menggunakan lahan yang sebelumnya pernah digarap orang lain tapi kemudian ditinggalkan. Tidak diperlukan ijin dari pengelola sebelumnya;

3. Ngaluaran tanaga (sale based on labor) ialah membeli hak atas tanah dengan membayar buruh untuk menggarap lahan atau menukarnya dengan ternak, tidak dengan uang;

4. Pamasihanan/pamere (alienation) atau pemberian ialah hak atas lahan berdasarkan hadiah dari pengelola sebelumnya;

5. Jual beli (sale) ialah sistem untuk mendapatkan hak atas tanah berdasarkan jual beli yang bersifat permanen atau semi permanen. Jual beli ini biasanya dilakukan harus dengan ijin dari pemilik awal;

6. Gade (security) atau gadai ialah memberikan hak atas lahan yang dimiliki untuk mendapatkan pinjaman. Hak harus dikembalikan jika pinjaman sudah dibayar. Lahan tidak boleh dipindah tangankan kepada orang lain. Jangka waktu pengembalian pinjaman biasanya tidak diberlakukan namun peminjam dapat mengelola lahan sesuai dengan keinginannya dan jangka waktu sampai hutang terbayar;

7. Maparo / maro / marteln / nengah (rent with compasation) atau menyewa dengan kompensasi ialah sistem pengelolaan atas lahan dengan cara bagi hasil antara pemilik lahan dengan penggarap. Jumlah atau besaran bagi hasil ditetapkan berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak;

8. Nginjeum / numpang garap (rent without compensation) atau meminjam lahan garapan ialah sistem memberikan hak pengelolaan atas lahan untuk jangka waktu tertentu kepada orang lain tanpa kompensasi. Pengguna tidak boleh menanam atau menebang pohon; dan

(7)

9. Sewa (contract) atau kontrak ialah sistem memberikan hak pengelolaan atas lahan untuk jangka waktu tertentu kepada orang lain dengan kompensasi. Pembayaran dapat dalam bentuk bagi hasil panen atau uang

Mengacu pada ke 9 jenis sistem tenurial ini dan berdasarkan hasil observasi lapangan, sistem tenurial yang dapat diidentifikasi di lokasi studi selengkapnya disajikan pada Tabel 16.

Tabel 16 Sistem tenurial di lokasi studi

No Lokasi Studi Sistem Tenurial

1. Kampung Cibedug Warisan (inheritance), meminjam, dan mulung (reclamation)

2. Kampung Pangguyangan Warisan,mulung, ngaluaran tanaga,

pamasihanan/pamere, jual beli, gade, maparo, nginjeum / numpang garap, dan sewa

3. Kampung Leuwijamang Warisan, mulung, ngaluaran tanaga,

pamasihanan/pamere, maro, jual beli, sewa

4. Kampung Citalahab Warisan, jual beli, gade, maro, sewa Sumber: Harada et al., 2001; hasil observasi lapangan

4.4 Kondisi Sosial74 Ekonomi75 Masyarakat Sekitar TNGH

Sampai dengan tahun 2002, jumlah desa di kawasan penyangga TNGH yaitu 51 desa (Widada 2004:60). Pada tahun tersebut, total jumlah penduduk sebanyak 219.723 jiwa (Tabel 14). Sedangkan jumlah penduduk di kawasan penyangga pada tahun 1999 berjumlah 195.432 jiwa di 46 desa (BTNGH 2000b: III-13). Antara tahun 1999-2002, terjadi pertambahan jumlah penduduk sebanyak 12,4%.

Berdasarkan data penduduk tahun 2006, kepadatan rata-rata disekitar TNGH ialah 267,13 jiwa/km3. Sedangkan pertumbuhan penduduk di 13 kecamatan berkisar 0,34% sampai 3,27% dengan rata-rata 2,29% (rata-rata pertumbuhan nasional saat itu 1,98%). Pertumbuhan penduduk terbesar terjadi di Kabupaten Bogor (BTNGH 2000b: III-13). Persentase pertambahan penduduk di lokasi studi disajikan pada Tabel 17.

74 Sosial ialah sesuatu yang berkenaan dengan masyarakat (Kamus Besar Bahasa Indonesia, Depdiknas 2000:1085). 75

Ekonomi ialah 1) ilmu mengenai asas-asas produksi, distribusi, dan pemakaian barang-barang serta kekayaan 2)pemanfaatan uang, tenaga, waktu, dsb yang berharga (Kamus Besar Bahasa Indonesia, Depdiknas 2000:287).

(8)

Tabel 17 Persentase pertambahan penduduk di lokasi studi No Lokasi Jumlah Penduduk Tahun 2006 (jiwa) Persentase Pertambahan Penduduk Keterangan

1. Desa Citorek 5.950 6,4 % Persentase pertumbuhan tertinggi tahun 2005-2006, sebesar 22,3% 2. Desa Sirnarasa 5.409 14,7 % Persentase pertumbuhan tertinggi

tahun 2004-2006, sebesar 26,5% 3. Desa Malasari 7.658 6,3 % Persentase pertumbuhan tertinggi

tahun 2002-2004, sebesar 19,2% 4. Desa Cisarua 2.900* 2,8 %

Ket : 1. Diolah dari data tahun 2002-2006 (Laporan Kependudukan Desa Citorek untuk Kecamatan 2002-2005; Profil Desa Citorek, Depdagri 2006)

2. Diolah dari data tahun 1994, 1996, 1999, 2004 & 2006 (Kantor Desa Sirnarasa 1996 dalam Asep 2000; BPS 1999 dalam Hanafi et al. 2004; BPKMD Kabupaten Sukabumi 2006; Potensi Desa 1994 dalam Martono dan Suwartapradja 2006)

3. Diolah dari data tahun 2000, 2002, 2004-2006 (Potensi Desa 2002 dalam Widada 2004; Monografi Desa, 2000, 2005-2006)

4. Diolah dari data tahun 1999 dan (*) tahun 2002 (Potensi Desa 2002 dalam Widada 2004; BPS 1999 dalam Hanafi et al. 2004)

Sampai dengan tahun 2006, diantara tiga kabupaten yang berbatasan langsung dengan TNGH, Kabupaten Lebak merupakan kabupaten yang memiliki penduduk dengan tingkat pendidikan terendah. Sekitar 54,2% penduduknya tidak tamat Sekolah Dasar (SD) dan 43,7% hanya selesai pendidikan dasar. Kabupaten Bogor menempati urutan kedua dengan 33,8% penduduknya tidak menyelesaikan SD. Sedangkan penduduk yang menyelesaikan SD sebanyak 45,8%, Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) 12,9%, Sekolah Menengah Atas (SMA) sebanyak 7,4% dan Perguruan Tinggi sebanyak 0,14%. Sedangkan Kabupaten Sukabumi memiliki penduduk dengan tingkat pendidikan yang cukup tinggi yaitu penduduk yang menyelesaikan SD sebanyak 62,1 %, Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) 14,9%, Sekolah Menengah Atas (SMA) sebanyak 2,48% dan Perguruan Tinggi sebanyak 0,10%. Informasi mengenai tingkat pendidikan di lokasi studi disajikan pada Tabel 18.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan Widada (2004), dari 13 desa sampel sekitar 90,34% penduduknya bekerja sebagai petani dengan padi sebagai komoditas utama, jagung, ketela pohon dan pisang. Rata-rata pendapatan penduduk perbulannya sekitar Rp. 388.573,- per keluarga Widada (2004:63). Menurut data yang dikeluarkan BTNGH (2000a), penduduk sekitar kawasan TNGH rata-rata mengolah lahan sekitar 0,23 ha/KK.

(9)

Tabel 18 Tingkat pendidikan di lokasi studi

Lokasi Studi No Tingkat

Pendidikan Desa Citorek Tahun 20061 Desa Sirnarasa Thn 20062 Desa Malasari Tahun 20063 Desa Cisarua Tahun 20024 1. Buta huruf 1568 45 130 2. Belum sekolah 872 1006 3. Tak lulus SD 600 46 430 890 4. SD 1300 4399 4403 100 5. SLTP 145 46 420 60 6. SLTA 55 25 66 30 7. Sarjana Muda (D3) 5 11 5 6 8. Sarjana - 1 JUMLAH 3687 5445 6460 1086

Sumber : 1 Profil Desa Citorek (Depdagri 2006); 2BPKMD Kabupaten Sukabumi, 2006;

3

Monografi Desa 2006; 4Potensi Desa 2002 dalam Widada 2004

Mata pencaharian lainnya yang dapat dilakukan penduduk lokal diantaranya bekerja sebagai buruh di Perkebunan Teh, Perum Perhutani, dan PT Aneka Tambang di Gunung Pongkor, di bagian timur laut dan selatan taman nasional (BTNGH, 2000a). Jenis matapencaharian di lokasi studi dirangkum dalam Tabel 19.

Tabel 19 Jenis mata pencaharian penduduk di lokasi studi

Jenis Lokasi Studi

No

Mata Pencaharian Ds. Citorek1 2006 Ds.Sirnarasa2 2006 Ds. Malasari3 2006 Ds. Cisarua4 2002 1. Petani 1582 476 4756 657

2. Buruh /Buruh Tani 40 1017 1770 60

3. Swasta 15 31 10 2

4. Pegawai Negeri Sipil 47 14 3 7

5. Pengrajin 200 25 6. Pedagang 55 51 258 15 7. Peternak 453 2 T o t a l 2392 1616 6797 741 Jumlah Penduduk 2006 5950 5409 7658 2900 % yang bekerja 40,20 29,88 88,76 25,55

Sumber : 1 Profil Desa Citorek (Depdagri 2006)

2

BPKMD Kabupaten Sukabumi 2006

3

Monografi Desa 2006

4

(10)

4.5 Karakteristik Budaya dan Sistem Nilai Masyarakat

Di kawasan TNGH dikenal dua kelompok masyarakat berdasarkan adat istiadat dan budayanya (Hanafi et al. 2004; Saputro 2006; Nugraheni 2002). Kedua golongan masyarakat ini ialah masyarakat adat kasepuhan dan masyarakat Non-Kasepuhan. Masyarakat kasepuhan adalah suatu kelompok masyarakat yang berasal dari satu garis keturunan yang mengaku sebagai Warga Kesatuan Adat Banten Kidul. Menurut sejarah pengelolaan kawasan TNGH (Lampiran 7), cara hidup masyarakat kasepuhan berpindah-pindah dan pada umumnya tinggal di

bukit-bukit dan gunung-gunung. Di TNGH ada empat kelompok kasepuhan

besar yaitu Citorek, Cisungsang, Sirnarasa, dan Cisitu (BTNGH 2000b: I-31 s/d32). Sumber lainnya menyebutkan bahwa terdapat 3 kasepuhan yang dipercaya oleh 9 komunitas untuk menjaga Halimun yaitu: Kasepuhan Urug, Kasepuhan Ciptagelar (dulu di Ciptarasa), dan Kasepuhan Citorek (Hanafi et al. 2004; Moniaga 2004).

Masyarakat Kasepuhan umumnya memiliki hubungan kekeluargaan yang masih erat dan patuh pada pemimpin adat yang disebut dengan sesepuh/kokolot (BTNGH 2000a). Pola kepemimpinan dalam masyarakat adat bersifat monarkhi dimana kepala adat dan perangkatnya dipilih berdasarkan garis keturunan (Adimihardja 1992; Saputro 2005; hasil interview dan observasi lapangan).

Meskipun umumnya beragama islam, masyarakat ini memiliki karakteristik budaya Sunda abad 16 yang masih terpelihara dengan baik (Adimihardja 1992). Hal ini ditunjukkan dalam setiap kegiatan, mereka masih melakukan upacara ritual yang diwariskan nenek moyangnya. Upacara ritual tersebut umumnya dilakukan untuk kegiatan yang berhubungan dengan pertanian76, kehidupan77 dan ritual keagamaan78 (Saputro 2006).

Masyarakat Kasepuhan umumnya bekerja sebagai petani. Mereka memandang hutan sebagai sumber kehidupan. Mereka membagi tiga jenis hutan menjadi Leuweung Kolot79, Leuweung Titipan80 dan Leuweung Cadangan81

76

Ada 9 jenis upacara adat yang berhubungan dengan pertanian: ngaseuk, sapangjadian, mapag pare berkah, prah-prahan, mipit, nyimur, nganyaran, tengah bulan dan serentaun (Saputro 2006).

77 Ada 6 jenis upacara adat yang berhubungan dengan siklus kehidupan: 3,5,dan 9 bulanan; nurunkeun; opat puluheun; nyepitan; nikahan; dan pindahan (Saputro 2006).

78 Ada 5 jenis upacara adat yang berhubungan dengan ritual keagamaan: syirkah mulud, syirkah rewah, raya agung, hari

raya korban, dan cebor/penyucian benda pusaka (Saputro 2006).

(11)

(Adimihardja 1992; Rosdiana 1994; Harada et al. 2001; Nugraheni 2002; Kurniawan 2002; Saputro 2006). Pembagian jenis hutan ini turut menentukan jenis pemanfaatan sumberdaya alam yang dapat dilakukan oleh masyarakat.

Kehidupan masyarakat kasepuhan pada beberapa kampung membaur dengan masyarakat non-kasepuhan. Mereka tidak menutup diri dalam pergaulan dengan masyarakat desa umumnya. Sikap keterbukaan ini membedakan mereka dengan masyarakat Baduy yang tinggal tidak jauh dari kawasan Gunung Halimun.

Warga non-kasepuhan diperkirakan mulai bermukim di kawasan TNGH pada abad ke-17 ketika kawasan ini dibuka untuk perkebunan-perkebunan oleh pemerintahan penjajah Belanda (Lampiran 7). Lokasi pemukiman mereka umumnya dekat jalan akses menuju pusat pelayanan atau pemerintahan. Karena interaksi yang cukup baik dengan masyarakat di luar desa dan masuknya media telekomunikasi seperti TV, dan radio, selain menggunakan bahasa Sunda sebagai pengantar mereka juga fasih berbahasa Indonesia.

Seperti warga Kasepuhan, umumnya masyarakat non-kasepuhan juga memenuhi kebutuhan hidupnya dengan bertani. Banyaknya lahan tidur yang ditelantarkan oleh perkebunan-perkebunan besar dan lahan bekas garapan PERHUTANI, membuat masyarakat mengambil alih pengelolaan lahan tersebut (mulung). Dengan biaya yang relatif murah mereka dapat mendapatkan sertifikat hak guna usaha yang diurus oleh kantor desa82. Karakteristik budaya masyarakat di Lokasi studi disajikan dalam Tabel 20.

4.6 Kelembagaan BTNGH dan Lokal a. Kelembagaan BTNGH

Balai TNGH adalah aparat pemerintah pusat yang wilayah kerjanya berada di daerah. Aparat ini tergabung dalam sebuah Unit Pelaksana Teknis (UPT)

kelerengan yang curam. Kawasan hutan ini tidak boleh diganggu tetapi sumber airnya dapat dimanfaatkan oleh warga untuk kepentingannya sehari-hari.

80 Leuweung Titipan : berupa hutan yang melindungi mata air atau kawasan hutan yang memiliki nilai sejarah yang dikeramatkan seperti hutan di sekitar Situs Cibedug. Kawasan ini biasanya mengelilingi leuweung kolot. Dapat dimanfaatkan hanya dengan ijin sesepuh.

81 Kawasan leuweng cadangan atau sampalan : terletak di sekitar atau di dalam leuweng titipan, dan berfungsi sebagai lahan cadangan untuk dimanfaatkan dimasa yang akan datang. Dengan kesepakatan adat, lahan ini kelak dapat dimanfaatkan untuk huma, sawah, kebun, talun, menggembala ternak, dan mengambil kayu bakar.

82

Interview dengan salah satu mantan lurah Desa Cisarua (31 Januari 2007 )dan nara sumber di Desa Sirnarasa (18 Februari 2007).

(12)

Taman Nasional Gunung Halimun. UPT ini dibentuk berdasarkan Surat Keputusan (SK) Menteri Kehutanan No. 185/Kpts-II/1997 dan bertanggung jawab langsung kepada Direktur Jenderal Perlindungan dan Konservasi Alam, Departemen Kehutanan (BTNGH 2000a).

Tabel 20 Karakteristik budaya masyarakat di lokasi studi

No Lokasi Keterangan

1. Desa Citorek Masyarakat Kasepuhan Citorek dan Kasepuhan Cibedug dan Non-Kasepuhan

2. Desa Sirnarasa

Masyarakat Kasepuhan Ciptarasa dan Non-Kasepuhan

3. Desa Malasari Non-Kasepuhan 4. Desa Cisarua Non-Kasepuhan

Sumber: hasil observasi lapangan

Struktur organisasi BTNGH berdasarkan SK menteri tersebut terdiri atas: 1 orang Kepala Balai, 1 orang Sub-Bagian Tata Usaha dan 1 orang Seksi Konservasi yang membawahi 3 Sub Seksi Wilayah Konservasi (Wilayah Konservasi I Bayah di Kabupaten Lebak, Wilayah Konservasi II Cigudeg di Kabupaten Bogor, dan Wilayah Konservasi III Cikidang di Kabupaten Sukabumi). Masing-masing Sub-seksi dibantu oleh Jagawana dan Teknisi Kehutanan (Bidang Kawasan Hutan, Konservasi Jenis Sumberdaya Alam, dan Bidang Bina Wisata Alam). Status jagawana dan teknisi hutan ini ialah pegawai fungsional.

b. Kelembagaan Lokal

Seperti yang sudah dijelaskan pada sub-bab sebelumnya, kawasan TNGH berbatasan langsung dengan kawasan pedesaan di tiga kabupaten yaitu Kabupaten Sukabumi, Bogor dan Lebak. Kondisi ini menimbulkan adanya kebutuhan untuk bekerjasama antara BTNGH dengan institusi lokal.

Berdasarkan hasil penelusuran dokumen dan observasi lapangan, di lokasi studi terdapat dua struktur lembaga yang berpengaruh dalam kehidupan masyarakat setempat. Lembaga tersebut ialah lembaga formal seperti kantor desa, kecamatan sampai dengan kabupaten. Lembaga lainnya ialah lembaga non-formal seperti lembaga adat atau biasa disebut sebagai kasepuhan.

(13)

Lembaga desa dipimpin oleh kepala desa. Kepala desa dan perangkatnya dipilih secara demokratis oleh masyarakat. Disisi lain, lembaga adat dipimpin oleh seorang sesepuh yang dibantu oleh perangkat lembaga adat yang biasa disebut baris kolot. Pemimpin adat berikut dengan perangkatnya dipilih secara garis keturunan.

Kedua lembaga formal dan non-formal ini memiliki fungsi yang berbeda di tingkat lokal. Kelembagaan desa mengatur hal-hal yang bersifat administratif kepemerintahan seperti pencatatan kependudukan dan hubungan dengan lembaga pemerintah di atasnya. Sementara kasepuhan mengatur tata cara kehidupan keseharian warganya yang terkait dengan cara bertani, ritual budaya, pengaturan dan pemanfaatan ruang serta interaksi antar warga dengan anggota masyarakat lainnya.

Lembaga lain yang ada di desa umumnya lembaga formal seperti Lembaga Komunikasi Masyarakat Desa (LKMD), lembaga pendidikan dan kesehatan. Sedangkan lembaga non-formal lainnya yang ada bersifat pengembangan profesi seperti misalnya kelompok tani, PKK, dan karang taruna. Jenis kelembagaan lokal di empat lokasi studi disajikan pada Tabel 21 berikut ini.

Tabel 21 Kelembagaan lokal

No Lokasi Studi Kelembagaan Lokal

1. Kampung Cibedug • Lembaga Formal: Kantor Desa Citorek, Kecamatan Cibeber, Kabupaten Lebak

• Lembaga Non-formal : Kasepuhan Cibedug dan Kasepuhan Citorek

2. Kampung Pangguyangan • Lembaga Formal: Kantor Desa Sirnarasa, Kecamatan Cikakak, Kabupaten Sukabumi • Lembaga Non-formal: Kasepuhan Ciptarasa83 3. Kampung Citalahab

Central

• Lembaga Formal: Kantor Desa Malasari, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor

• Lembaga Non-formal : -

4. Kampung Leuwijamang • Lembaga Formal: Kantor Desa Cisarua, Kecamatan Sukajaya, Kabupaten Bogor

• Lembaga Non-formal : -

Sumber: Hasil observasi lapangan

(14)

4.7 Sejarah Pengelolaan Kawasan TNGH

Kawasan TNGH mulai dikelola pada sekitar tahun 1916 ketika ditemukan bijih emas oleh jawatan geologi pada masa itu (BTNGH 200b:I-7). Pada tahun 1924 penambangan mulai dilakukan di daerah Cikotok oleh WF Oppennorth (BTNGH 200b:I-7). Pada tahun yang sama, dibawah pemerintahan Belanda, kawasan Gunung Halimun ditetapkan sebagai hutan lindung dengan luas 39.941 ha (BTNGH 2000b:I-33s/d34; Widada 2004:46). Selama rentang waktu 1924-2003, Kawasan Gunung Halimun dengan status kawasan yang berbeda sudah mengalami delapan kali pergantian lembaga pengelola. Latar belakang pengelola kawasan ini sangat bervariasi mulai pemerintah pusat (seperti pemerintah Belanda, Dirjen PPA dan UPT BTN), pemerintah daerah (Jawatan Kehutanan Provinsi Jawa Barat), dan Badan Usaha Milik Negara (Perum Perhutani). Selain latar belakang pengelola, status kawasan juga berubah sebanyak tiga kali yaitu mulai status kawasan sebagai hutan lindung, cagar alam, sampai dengan taman nasional. Sejarah perubahan status dan pengelola kawasan ini disajikan pada Tabel 22.

Selain aktivitas konservasi di kawasan Gunung Halimun, sejak tahun 1936 sampai sekarang, aktivitas penambangan di kawasan tersebut terus berlanjut dengan pengelola yang juga berganti-ganti. Pada 1936 NV Mijnbow Maatschapay Zuid Bautam, sebuah perusahaan swasta mulai menambang di bagian timur dan timur laut dalam kawasan TNGH (BTNGH 2000b:I-7). Selama masa Perang Dunia II, tahun 1942-1945 pertambangan Cikotok mulai dikelola oleh orang Jawa (BTNGH 2000b:I-7). Pada tahun 1950, penambangan dibuka kembali oleh NV Tambang Emas Cikotok (BTNGH 2000b:I-7). Pada tahun 1968 nama perusahaan ini diubah menjadi PT Aneka Tambang (BTNGH 2000b:I-7). Implikasi dari adanya kegiatan penambangan ini ialah tumbuhan pemukiman penduduk disekitar kawasan sebagai dampak dari kebutuhan masuknya tenaga kerja.

Selain aktivitas penambangan, di kawasan Gunung Halimun juga dibuka beberapa perkebunan. Di Sukabumi dan Bogor, pembukaan tanah-tanah perkebunan dimulai sejak tahun 1700an (Galudra 2006). Pada tahun 1913, tanah-tanah perkebunan di Kabupaten Bogor diberikan hak kepemilikannya kepada masyarakat oleh pemerintahan Belanda. Pada masa penjajahan Jepang (sekitar

(15)

Tabel 22 Sejarah perubahan status dan pengelola Kawasan Gunung Halimun

No. Tahun Status Kawasan Pengelola

1. 1924 Hutan Lindung84 Pemerintah Penjajah Belanda

2. 1936-1961 Cagar Alam85 Djawatan Kehutanan Jawa Barat

3. 1961-1978 Cagar Alam Gunung Halimun

Perum Perhutani

4. 1979 Cagar Alam Gunung

Halimun86

Dirjen Perlindungan dan Pelestarian Alam (PPA) diawasi oleh dari kantor Pelestarian SDA Jawa Barat

5. 1979-1990 Cagar Alam Gunung Halimun

Balai KSDA III 6. 1990-1992 Cagar Alam Gunung

Halimun

Balai TN Gede Pangrango

7. 1992 Taman Nasional Gunung

Halimun 87

Balai TN Gede Pangrango

8. 1997 Taman Nasional Gunung

Halimun

UPT BTNGH88

9. 2003 Taman Nasional Gunung

Halimun Salak89

UPT BTNGH

Sumber: Harada et al. 2001; Widada 2004:46; situs resmi TNGH www.tnhalimun.go.id; BTNGH 2000a: V3-5; BTNGH 2000b:I-31s/d41.

tahun 1944), terjadi pembukaan hutan oleh masyarakat diseluruh Kawasan Gunung Halimun (Galudra 2006). Selain karena tidak adanya kepastian hukum, kondisi ini dimanfaatkan penjajah Jepang pada saat itu untuk mengambil hati rakyat dengan menyebutkan bahwa hutan bukan lagi milik penjajah Belanda. Sejarah perkebunan ini diduga merupakan cikal bakal pemukiman yang berada di Kampung Leuwijamang dan Citalahab.

Selain pemukiman penduduk yang berasal dari pekerja pertambangan dan perkebunan, di kawasan Gunung Halimun juga bermukim masyarakat Kasepuhan.

84 kawasan Gunung Halimun ditetapkan sebagai hutan lindung dengan luas 39.941 ha (BTNGH 2000b:I-33s/d34; Widada 2004:46).

85 Status hutan lindung ini kemudian berubah menjadi Cagar Alam pada tahun 1935-1961 dibawah pengelolaan pemerintah Belanda dan Republik Indonesia Cq. Djawatan Kehutanan Jawa Barat (BTNGH 2000b:I-33; Harada et al. 2001 dalam Widada 2004:46).

86 atas usulan instansi PPA dan persetujuan Gubernur Jawa Barat, kawasan Cagar Alam Gunung Halimun diperluas menjadi 40.000 Ha. Tambahan ini berasal dari semua hutan lindung yang ada di Provinsi Jawa Barat. Usulan ini berdasarkan peta Brigade Planologi pada masa Pemerintahan Penjajahan Belanda (BTNGH 2000b:I-33).

87 26 Pebruari 1992 TNGH ditetapkan sebagai taman nasional berdasarkan SK MenHut No. 282/Kpts-II/1992. Tanggung jawab pengelolaan berada di bawah TN Gunung Gede Pangrango SK Dirjen PHPA No. 1544/DJ-VI/TN/1992 (BTNGH 2000a; BTNGH 2000b:I-34).

88

26 Pebruari 1997 melalui SK MenHut No. 185/Kpts-II/1997 ditetapkan organisasi unit pelaksana teknis (UPT) Balai TNGH setingkat eselon III dengan 3 sub-seksi: Cikidang (Kabupaten Sukabumi), Cigudeg (Kabupaten Bogor), dan Bayah, Kabupaten Lebak (BTNGH 2000a; BTNGH 2000b:I-34; Harada et al. 2001 dalam Widada 2004:46).

89 Pada tahun 2003, berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan No. 175/2003 kawasan TNGH diperluas menjadi ± 113.357 Ha dengan nama TNGHS. Alasan perubahan diantaranya hasil studi Hutan Lindung Ciusul, Gunung Salak dan Gunung Endut (BTNGH 2000a: V3-5).

(16)

Ada dua kasepuhan yang masuk dalam lokasi studi yaitu kasepuhan Ciptarasa di bagian Selatan dan Kasepuhan Cibedug di bagian Barat. Berdasarkan penelusuran literatur, Kasepuhan Ciptarasa sudah bermukim di Kawasan Gunung Halimun sejak sebelum tahun 1381 (Catatan Sesepuh Girang dalam Rahayu 2004). Sedangkan mengenai keberadaan Kasepuhan Cibedug tercatat mulai awal tahun 1930an (Galudra 2006; Arsip Nasional Republik Indonesia dalam Moniaga 2004; dan van der Hoop 1932). Sejarah pengelolaan di kawasan Gunung Halimun, termasuk di empat lokasi studi, disajikan secara lebih rinci pada lampiran 7.

Tata Batas Cagar Alam Gunung Halimun mulai dilakukan sejak tahun 1985. Pal batas merupakan tanda fisik di lapangan yang belakangan hilang atau rusak. Pada Tahun Anggaran 1994-1996 dilakukan kembali pelaksanaan orientasi dan rekonstruksi tata batas terutama dengan enclave Nirmala. Pada tahun 1999 pelaksanaan orientasi dan rekonstruksi jalur batas luar baru direalisasikan namun proses penataan tata batasnya sendiri belum dilaksanakan (BTNGH 2000a: V-2).

Tahun 2000, Rencana Pengelolaan TNGH merekomendasikan untuk membagi TNGH menjadi 5 zona: zona inti, zona rimba, zona pemanfaatan intensif, zona pemanfaatan tradisional, dan zona rehabilitasi (BTNGH 2000a; Widada 2004:47). Namun demikian, sampai Desember 2003, TNGH belum memiliki zonasi kawasan yang definitif (Harada et al. 2001; Widada 2004:47).

Gambar

Tabel 12  Luas wilayah dan batas administrasi lokasi studi
Tabel 15  Status dan penggunaan lahan di lokasi studi
Tabel 18  Tingkat pendidikan di lokasi studi
Tabel 22  Sejarah perubahan status dan pengelola Kawasan Gunung Halimun

Referensi

Dokumen terkait

Masa ini sering disebut sebagai masa topan badai (“strum and drang)” yaitu masa yang penuh dengan gejolak akibat pertentangan nilai-nilai. Masa transisi inilah

PEMERINTAH KOTA SEMARANG LAPORAN PEMERIKSAAN MENDETAIL JEMBATAN MANAJEMEN. DINAS PEKERJAAN

Berdasarkan kriteria likelihood nilai 5 diberikan apabila kecelakaan kerja terjadi lebih dari 1 kali kejadian dalam setiap shift, nilai 4 diberikan apabila

Ketika melakukan observasi data yang didapatkan dari berbagai cara, yakni : (1) observasi agar mengetahui perilaku dan aktivitas peserta didik selama proses belajar

Kesimpulan yang diperoleh dari penelitian ini adalah (1) terdapat perbedaan kemampuan pemecahan masalah matematika pada setiap kelompok rentang usia, dan (2)

Salah satu tantangan yang perlu diperhatikan dan direspon dengan serius dalam rangka memelihara keutuhan pernikahan umat adalah pergumulan kaum perempuan mengenai

penjualan dan pemesanan serta data pembelian barang agar minim dari kesalahan dan mempermudah pekerjaan dan diharapkan dapat membantu calon pembeli dalam membeli dan

Penelitian ini dilaksanakan mulai tanggal 25 Januari 2016 hingga 25 Februari 2016, berlokasi di wilayah Malang Raya, yang meliputi Kota Malang, Kota Batu, dan Kabupaten Malang. Berikut adalah peta dan keterangan wilayah Malang