TINJAUAN PUSTAKA
Kerangka Teoritis KeluargaPenelitian ini didasari oleh salah satu teori besar mengenai keluarga yaitu teori struktural-fungsional. Asumsi-asumsi yang mendasari teori struktural fungsional ini adalah keluarga harus memiliki struktur tertentu agar dapat melaksanakan fungsinya secara optimal. Salah satu aspek penting dari perspektif teori ini ialah bahwa setiap keluarga yang baik memiliki pembagian peran dan fungsi yang jelas (Winton 1995 dalam Sunarti 2009; Grutzmacher 2007; Puspitawati 2009). Adanya perubahan diawali oleh tekanan-tekanan yang kemudian terintegrasi dan berakhir pada titik keseimbangan yang selalu berlangsung tidak sempurna, teori ini melihat adanya ketidakseimbangan yang abadi layaknya sebuah siklus untuk mewujudkan keseimbangan yang baru (Grutzmacher 2007; Puspitawati 2009). Aplikasinya dalam keluarga ialah dengan diterapkannya struktur dan aturan. Tanpa aturan atau fungsi yang dijalankan tersebut, keluarga tidak memiliki arti yang dapat menghasilkan suatu kebahagiaan, lebih jauh lagi menghasilkan generasi penerus yang hidup tanpa arah. Oleh karena itu, untuk melaksanakan fungsinya secara optimal, keluarga harus mempunyai aturan struktur tertentu (Winch 1963 dalam Puspitawati 2009).
Teori-teori menengah (middle-range theory) (Sunarti 2010) yang juga melandasi penelitian ini, yakni teori ekologi keluarga (lingkungan sekitar keluarga turut memengaruhi kehidupan dan keberfungsian keluarga), teori ketangguhan keluarga (dalam hal manajemen stres keluarga berupa tekanan keluarga dan strategi koping keluarga), dan teori perkembangan keluarga (periode kritis tiap tahapan perkembangan). Secara lebih rinci dapat dilihat pada Gambar 1.
Teori-Teori Keluarga
Family Ecology
Family Environment
Family Strength
Family Stress Management
Family Development
Ruang Lingkup Keluarga
Keluarga merupakan unit terkecil dalam suatu masyarakat, terdiri dari dua atau lebih orang yang dihubungkan oleh ikatan darah, pernikahan atau adopsi, dan tinggal bersama, dimana didalamnya terdapat interaksi antar kepribadian dengan sejarahnya masing-masing untuk tujuan pemeliharaan suatu kebudayaan (Burgess & Locke 1960; U.S. Bureau of the Census 1970 dalam Berns 1985; Bronfenbrenner 1979; UU No. 10 Tahun 1992). Reiss (1980) menjelaskan bahwa keluarga adalah interaksi dari tiga sistem, yakni institusi keluarga (hubungan kekerabatan yang terstruktur dengan fungsi utama sosialisasi pengasuhan anak), institusi perkawinan (kesatuan peran suami dan istri dengan fungsi utama legitimasi sebagai orang tua), dan institusi hubungan cinta kasih (pola memilih interaksi untuk orang yang belum menikah atau hubungan orang tua-anak dalam pemilihan pasangan hidup).
Keluarga memberikan pengaruh yang paling utama dan pertama terhadap individu serta memiliki dampak yang paling penting (Baxter et al. 1951; Bronfenbrenner 1979; Cooley 1909 dalam Reiss 1980). Keluarga juga berperan dalam keberlangsungan sistem sosial serta merupakan institusi pertama dalam pembangunan sumber daya manusia. Keluarga merupakan Departemen Kesehatan, Departemen Pendidikan, dan Kesejahteraan yang paling orisinil dan efektif (Bennet dalam Megawangi & Sunarti 2003).
Fungsi dasar keluarga (Berns 1985) yakni fungsi reproduksi, sosialisasi atau pendidikan, penetapan peran sosial, dukungan ekonomi, dan fungsi dukungan emosional. Sementara itu, terdapat delapan tugas perkembangan keluarga (Duvall 1971), yakni pemeliharaan kebutuhan fisik seluruh anggota keluarga, alokasi sumber daya yang dapat diakses oleh keluarga, pembagian tugas antar anggota keluarga, sosialisasi anggota keluarga, reproduksi: penambahan dan pelepasan anggota keluarga, pemeliharaan tata tertib, penempatan anggota keluarga pada masyarakat luas, dan pemeliharaan moral serta motivasi anggota keluarga.
Dalam penelitian ini, kriteria keluarga yang dipilih secara acak untuk dijadikan contoh adalah keluarga dengan suami-istri yang masih lengkap dan memiliki anak usia sekolah. Keluarga dengan anak usia sekolah merupakan tahap perkembangan keempat yang dilalui keluarga (Duvall 1971). Tugas
perkembangan keluarga pada tahap ini, yaitu memfasilitasi aktivitas anak dan privasi orang tua, menjaga kestabilan keuangan, bekerjasama untuk menyelesaikan masalah, melanjutkan proses untuk saling memuaskan satu sama lain selaku rekan dalam pernikahan, menerapkan komunikasi yang efektif dalam keluarga, saling berbagi dalam pengasuhan anak, kemampuan mengelola finansial, menjaga kedekatan dengan sanak saudara dalam keluarga besar, terlibat dalam kehidupan di luar keluarga, menguji filosofi kehidupan keluarga, dan kepuasan terhadap kualitas kehidupan (Duvall 1971; Mc Cubbin 1988).
Konsep Kesejahteraan Keluarga
Kesejahteraan adalah wujud dari kebudayaan dan terbentuk dalam proses interaksi sosial masyarakat sehingga persepsi kesejahteraan masyarakat desa akan berbeda dengan masyarakat kota maupun dengan pemerintah, tetapi secara keseluruhan dipengarui oleh nilai-nilai yang dijadikan pedoman hidupnya untuk mewujudkan kesejahteraan itu (Sumarti 1999; Suandi 2007). Misalnya, pada masyarakat desa, nilai kesejahteraan berasal dari hasil sosialisasi dari nilai-nilai lokal yang berasal dari nilai-nilai budaya dan agama, sementara nilai-nilai-nilai-nilai kesejahteraan dari pemerintah merupakan kebijakan yang baku.
Keluarga sejahtera merupakan keluarga yang dibentuk berdasarkan perkawinan yang sah, mampu memenuhi kebutuhan hidup spiritual dan material yang layak, bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, serta memiliki hubungan yang serasi, selaras, dan seimbang antar anggota dan antar keluarga dengan masyarakat dan lingkungannya (UU No. 10 Tahun 1992). Menurut Syarief dan Hartoyo (1993) dalam Sjafari (2010), faktor kesejahteraan keluarga dipengaruhi oleh faktor ekonomi, faktor budaya, faktor teknologi, faktor keamanan, faktor kehidupan agama, dan faktor kepastian hukum.
Dalam pengukurannya, terdapat dua jenis pendekatan yang digunakan dalam mengukur tingkat kesejahteraan keluarga, yakni pendekatan melalui indikator objektif dan indikator subjektif. Aspek kuantitatif dapat dilihat dari indikator kesejahteraan ekonomi keluarga, sedangkan aspek kualitatif
Kesejahteraan Objektif
Pendekatan objektif mengukur kesejahteraan melalui fakta-fakta yang dapat diamati, dari angka-angka yang langsung dihitung dari aspek yang telah ditelaah, misalnya, pendekatan yang baku seperti yang dibuat oleh BPS dan BKKBN. BPS mengukur kesejahteraan dengan melihat dari konsep kebutuhan minimum (kalori) proxy pengeluaran. Sementara BKKBN membagi kesejahteraan keluarga menjadi tiga kebutuhan, yakni kebutuhan dasar, kebutuhan sosial psikologis, dan kebutuhan pengembangan (Ibrahim 2007; Suandi 2007).
Kesejahteraan Subjektif
Pendekatan subjektif merupakan persepsi yang dirasakan oleh masyarakat sendiri mengenai aspek kesejahteraan sehingga hasilnya merupakan perkembangan dari aspek kesejahteraan (Iskandar 2007; Mc Givilray & Clarke 2006 dalam Conceição & Bandura 2008; Kusumo & Simanjuntak 2009; Martiastuti 2012). Kesejahteraan subyektif didefinisikan sebagai evaluasi multidimensi kehidupan dari seseorang, pengalaman riil seseorang secara langsung, yang menunjukkan evaluasi individu terhadap berbagai peristiwa dalam hidup yang memberikan dampak positif, negatif, kepuasan hidup, dan kebahagiaan (Diener 1984; McGilivray & Clarke 2006 dalam Conceição & Bandura 2008). Bruni dan Porta (2007) dalam Conceição dan Bandura (2008) menyatakan ada empat komponen kesejahteraan subjektif, yakni emosi yang menyenangkan, emosi yang tidak menyenangkan, penilaian hidup global, serta domain kepuasan (perkawinan, kesehatan, kesenangan, dan lain-lain).
Raharto dan Romdiati (2000) dalam Martiastuti (2012) menyatakan bahwa konsep subjektif dapat memberikan pengertian yang mendalam mengenai kesejahteraan yang dihadapi keluarga. Kesejahteraan keluarga merupakan komponen keluaran dari proses pengelolaan sumber daya dan masalah dalam keluarga. Kesejahteraan keluarga dibagi menjadi tiga, yakni kesejahteraan fisik kesejahteraan sosial dari komponen penghargaan dan dukungan sosial, dan kesejahteraan psikologis yang merupakan fenomena multidimensi dari fungsi emosi dan fungsi kepuasan hidup. Pada akhirnya, apabila kesejahteraan keluarga tercapai maka ketahanan keluarga juga akan terwujud (Sunarti 2009).
Kesejahteraan subjektif dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal (Sunarti 2009). Faktor-faktor yang mempengaruhi kesejahteraan subjektif, diantaranya keadaan psikologis, kepuasan subjektif, pendapatan, usia, ras, pekerjaan, pendidikan, agama, pernikahan, dan keluarga (Diener 1984), posisi sosial, peran kerja, gender, akses sosial, faktor internal diri sendiri (Aneshensel 1992), besar keluarga (Muflikhati et al. 2010; Hatmadjil & Anwar 1993 dalam Iskandar 2007), usia suami-istri (Hurlock 1980), pendapatan keluarga (Iskandar 2007; Suandi 2007), tingkat pendidikan suami dan istri (Suandi 2007; Koswara 2009), dan lingkungan keluarga (Bronfenbrenner 1979; Halim 2008).
Tekanan Keluarga
Tekanan merupakan gangguan, keadaan yang tidak menyenangkan, atau perasaan terancam yang mengharuskan seseorang untuk dapat menyesuaikan diri untuk mengurangi ancaman itu (Webster 1768; Lazarus 1993; Lazarus 1996 & Selye 1980 dalam Calhoun & Acocella 1990; Kamus Besar Bahasa Indonesia 2006). Stres merupakan ketidakseimbangan antara kebutuhan dan sumber daya yang tersedia, dan krisis merupakan bagian dari disorganisasi sistem keluarga, melibatkan kebutuhan keluarga untuk mengembalikan keseimbangan dan keberfungsian keluarga (Mc Cubbin 1988). Sementara itu, Seyle (1956) dalam Berns (1985) menyatakan bahwa stres merupakan respon non spesifik dari tubuh terhadap rangsangan atau merupakan kemampuan manusia untuk menyesuaikan terhadap ancaman.
Beberapa definisi tekanan menyebutkan bahwa tekanan adalah stres, beberapa lainnya menyatakan bahwa tekanan berbeda dengan stres. Dalam penelitian ini, definisi operasional tekanan adalah kondisi gangguan atau ketidaknyamanan baik berasal dari internal maupun eksternal keluarga yang mengharuskan keluarga menyesuaikan diri agar dapat bertahan dan tetap stabil. Apabila dikaitkan dengan definisi operasional, maka tekanan dan stres adalah hal yang sama-sama menyebabkan gangguan dan ketidaknyamanan bagi keluarga yang mengharuskan keluarga menyesuaikan diri agar tetap stabil.
tekanan yang dihadapi oleh keluarga (A). Akan tetapi, ada suatu masa dimana keluarga tidak mampu memberikan respon yang tepat sehingga keluarga mengalami krisis. Oleh karena itu, dibutuhkan suatu upaya (coping) yang dipengaruhi oleh persepsi akan masalah dan kemampuan keluarga menggunakan sumber daya tersebut sehingga keluarga dapat beradaptasi dan mengembalikan keseimbangannya.
Penyebab Tekanan Keluarga
Tekanan keluarga berdampak pada setiap individu yang ada dalam keluarga tersebut (Berns 1985). Sementara itu, kemampuan keluarga bervariasi dalam menghadapi tekanan (Sunarti 2009). Mc Cubbin (1988) mendefinisikan stressor (penyebab stres) sebagai suatu peristiwa kehidupan atau suatu transisi, misalnya kematian, membeli rumah, dan lain-lain yang memberikan dampak bagi atau dalam unit keluarga, yang menghasilkan atau potensial menghasilkan perubahan dalam sistem sosial keluarga. Beberapa contoh stressor diantaranya, tidak terpenuhinya kebutuhan dasar, kekacauan hubungan sosial dan keluarga, konflik sosial dan budaya, peristiwa yang menyebabkan tekanan, bencana alam, perpindahan tempat tinggal, dan lain-lain (Esperanza 1997 dalam Rasmun 2004).
Kozier dan Erb (1983) dalam Rasmun (2004) menyatakan beberapa sumber tekanan dalam keluarga, yaitu kematian pasangan, perceraian, perpisahan, kematian keluarga dekat, perkawinan, perubahan kesehatan anggota keluarga, bertengkar dengan pasangan, anak meninggalkan rumah, masalah dengan mertua, perubahan kondisi tempat tinggal, perubahan aktivitas sosial, dan lain-lain. Selain itu, terdapat pula faktor lingkungan. Kepadatan penduduk merupakan bagian dari lingkungan sosial yang ada, orang dalam situasi kepadatan yang tinggi cenderung kurang menyukai satu sama lain karena berkurangnya kemampuan untuk mengendalikan kadar interaksi dengan orang lain (Evans 1989 dalam Halim 2008; Calhoun & Acocella 1990). Tekanan sosial dan tekanan psikologis dapat terjadi karena keluarga merupakan bagian dari sistem sosial yang lebih luas (Bronfenbrenner 1979; Klein & White 1996 dalam Miller et al. 2003).
Tekanan Sosial
Tekanan sosial (social stress) merupakan kondisi gangguan atau ketidaknyamanan yang dirasakan sebagai dampak dari interaksi dan lingkungan
sosial (Aneshensel 1992). Faktor pengaruhnya antara lain oleh adanya strata sosial, gender, peran kerja dan status perkawinan (Dohrenwend 1969 & Kessler 1979 dalam Aneshensel 1992). Karakteristik keluarga berkaitan dengan bagaimana keluarga bersosialisasi, yakni status sosial ekonomi, orientasi budaya, serta agama yang dianut oleh keluarga (Berns 1985).
Perilaku manusia berkaitan erat dengan lingkungannya, lingkungan sekitar dapat menentukan apa yang akan dilakukan dan apa yang seharusnya dilakukan (Calhoun & Acocella 1990). Apabila keluarga mampu mengatasi tekanan sosial, maka akan tercapailah ketahanan sosial keluarga. Indikator ketahanan sosial yakni orientasi nilai agama, efektivitas komunikasi, komitmen yang tinggi, membina hubungan sosial, dan memiliki mekanisme koping yang baik.
Tekanan Psikologis
Tekanan psikologis (psychological stress) mengacu pada hubungan dengan lingkungan dimana seseorang menilai sendiri keadaannya dalam kondisi tuntutan yang melebihi sumber daya yang tersedia (Lazarus 1993). Apabila keluarga mampu mengatasi tekanan psikologis maka akan tercapailah ketahanan psikologis keluarga. Indikator ketahanan psikologis yakni anggota keluarga memiliki konsep diri dan pengenalan emosi yang baik serta pasangan memiliki dan menjalankan nilai religious dengan baik (Sunarti 2001). Aspek psikososial keluarga berkaitan dengan kesiapan pasangan untuk menjalankan komitmen kehidupan berkeluarga (Sunarti et al. 2003).
Tipologi Wilayah
Sistem yang lebih luas yang dibentuk oleh keluarga adalah masyarakat. Lingkungan adalah faktor eksternal yang mempengaruhi kesejahteraan dan keberfungsian keluarga (Bronfenbrenner 1979; Berns 1985; Mc Cubbin 1988). Lingkungan fisik, termasuk kepadatan, kebisingan, tipe dan penataan rumah, tempat bermain, dan karakteristik populasi (besar komunitas dan pola mobilitas) menjadi determinan dari interaksi manusia yang terjadi didalamnya (Berns 1985). Tipologi wilayah dalam penelitian ini dibagi menjadi dua, yakni wilayah
lebih menunjukkan pada suatu unit teritorial (spasial). Rural dimaknai sebagai perdesaan dan urban sebagai perkotaan sedangkan village sebagai desa, town sebagai kota kecil, dan city sebagai kota besar. Oleh karena itu, konsep yang dipakai dalam menggambarkan tipologi wilayah adalah rural and urban family.
Kota yang ada di Indonesia ditentukan secara politiko-administratif, seperti kota metropolitan Jakarta, ibukota provinsi atau kabupaten. Perkotaan merupakan sebuah komunitas yang relatif luas, dihuni oleh penduduk yang beranekaragam dari segi pekerjaan, pendidikan, dan gaya hidup, jaringan komunikasi yang kompleks dan intensif, bangunannya banyak terbuat dari batu yang tahan lama, tinggi, dan besar, serta banyak terdapat spesialis yang bekerja penuh pada berbagai kegiatan non pertanian (Halim 2008; Marzall 1978 dalam Sjafari 2010). Beberapa ciri dari lingkungan perkotaan (Halim 2008; Sorokin & Zimmerman dalam Sjafari 2010), yaitu pekerjaan masyarakat perkotaan cenderung mengarahkan orang kepada spesialisasi, lingkungan alam perkotaan memunculkan masalah yang berhubungan lingkungan fisik seperti kepadatan penduduk, kumuh, bising, polusi udara dan sebagainya, yang ditimbulkan karena kurang terencana dan kurang terkontrolnya perkembangan lingkungan kota. Besaran komunitas perkotaan mengikuti tingkat kepadatan penduduk yang sangat tinggi. Penduduk perkotaan adalah penduduk yang sangat heterogen serta memiliki tingkat mobilitas yang tinggi.
Sementara itu, menurut Poerwadarminta (1976) dalam Chozin et al. (2010), desa adalah sekelompok rumah di luar kota yang merupakan kesatuan, dusun atau udik (dalam arti daerah pedalaman sebagai lawan dari kota). Menurut UU No. 32 Tahun 2004, desa merupakan kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat-istiadat setempat yang diakui dalam sistem pemerintahan nasional. Mayarakat desa sebagaimana halnya masyarakat kota memiliki norma-norma yang telah melembaga dan kemudian menjadi panutan bagi masyarakatnya (Sumarti 1999; Suandi 2007). Mereka sering dianalogikan dengan berbagai stigma (Ramli 2010), seperti tidak berpendidikan, terisolasi secara fisik dan mental, sederhana dalam cara hidup, tidak sehat, jauh dari kemajuan, dan sebagainya. Anggapan tersebut
tidak selalu benar karena dalam kenyataannya masyarakat di desa berjuang menapaki tangga kehidupan dengan cara mereka masing-masing.
Adapun ciri-ciri perdesaan menurut Ramli (2010), yaitu kehidupan perdesaan erat hubungannya dengan alam dan mata pencaharian tergantung dari alam, umumnya semua anggota keluarga mengambil bagian dalam kegiatan bertani walaupun keterlibatannya berbeda, kehidupan yang rukun, perasaan sepenanggungan dan jiwa tolong-menolong sangat kuat dihayati, banyak bertautan dengan adat-istiadat yang diwarisi dari satu generasi ke generasi berikutnya, masyarakatnya tidak mudah melepaskan keterikatan dan ketakutan terhadap kaidah-kaidah dalam kehidupan sehari-hari.
Penelitian Terdahulu
Beberapa penelitian berikut merupakan penelitian yang juga mengangkat topik mengenai kesejahteraan keluarga. Perbedaan dengan penelitian ini yakni kategori kesejahteraan yang diteliti. Selain itu, sejauh yang penulis temukan bahwa penelitian yang menyentuh ranah tekanan sosial dan tekanan psikologis dalam keluarga masih sedikit dilakukan.
Penelitian ini juga menggunakan pertanyaan semi terbuka yang lebih menggali apa saja hal yang dirasakan dan dialami keluarga terkait dengan kondisi sosial dan psikologisnya. Pembedaan untuk wilayah perdesaan dan perkotaan juga dilakukan untuk melihat pengaruh perbedaan lingkungan terhadap tekanan sosial, tekanan psikologis, dan kesejahteraan subjektif keluarga.
Tabel 1 Penelitian terdahulu
No. Judul penelitian Peneliti Bahasan utama penelitian
1. Persepsi kesejahteraan dan tindakan kolektif orang Jawa dalam kaitannya dengan gerakan masyarakat dalam pembangunan keluarga sejahtera di pedesaan.
Titik Sumarti MC (1999)
Mengkaji konsepsi kesejahteraan menurut pandangan subyektif masyarakat lokal serta pelaksanaan program pembangunan keluarga sejahtera: peranan pemerintah dan partisipasi masyarakat.
2. Ketahanan keluarga,
manajemen stres, serta pemenuhan fungsi ekonomi dan fungsi sosialisasi keluarga korban kerusuhan
Euis Sunarti, Qori Ifada, Ika
Desmarita, Sri Hasanah
Mengkaji ketahanan keluarga, menganalisis manajemen stres keluarga (perubahan, reorientasi, strategi koping, tingkat stres ibu rumah tangga), faktor yang mempengaruhi pemenuhan fungsi
Tabel 1 Penelitian terdahulu (lanjutan)
No. Judul penelitian Peneliti Bahasan utama penelitian
3. Analisis faktor-faktor yang berhubungan dengan kesejahteraan keluarga di Kabupaten Lembata, NTT. Hasan Ibrahim (2007)
Mengukur tingkat akurasi indikator BKKBN dan subyektif dalam menentukan tingkat kesejahteraan keluarga serta menganalisis faktor-faktor yang berhubungan dengan tingkat kesejahteraan keluarga.
4. Analisis praktek manajemen sumberdaya keluarga dan dampaknya terhadap kesejahteraan keluarga di Kabupaten dan Kota Bogor.
Abubakar Iskandar (2007)
Menganalisis perbedaan proses atau praktek serta faktor yang mempengaruhi manajemen sumber daya keluarga yang diterapkan keluarga serta merumuskan model dan strategi pemberdayaan keluarga.
5. Modal sosial dan
kesejahteraan ekonomi keluarga di daerah perdesaan Provinsi Jambi.
Suandi
(2007)
Mengkaji perbedaan tingkat kesejahteraan ekonomi berdasarkan wilayah agroekologi serta menghasilkan model pemberdayaan keluarga di daerah perdesaan.
6. Indikator keluarga sejahtera: sejarah pengembangan,
evaluasi, dan keberlanjutannya.
Euis Sunarti (2009)
Mengkaji konsep dan ruang lingkup kesejahteraan dan keluarga serta prinsip pengukuran dan perumusan indikator keluarga sejahtera.
7. Indikator kerentanan
keluarga petani dan nelayan untuk pengurangan resiko bencana di sektor pertanian.
Euis Sunarti, Hadi Sumarno, Murdiyanto, Adi Hadianto (2009)
Melakukan kajian eksplorasi lapangan, merumuskan model pemberdayaan petani atau nelayan serta menyusun landasan teoritis dan kerangka kerja PRB sektor pertanian berbasis hasil analisis vulnerability stakeholder
pembangunan pertanian.
8. Keberdayaan keluarga
miskin di perkotaan dalam meningkatkan
kesejahteraannya (Kasus di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi).
Agus Sjafari (2010)
Menganalisis keberdayaan keluarga miskin, pengaruh karakteristik kelompok dan intervensi pemberdayaan terhadap keberdayaan keluarga miskin, menganalisis pengaruh keberdayaan keluarga terhadap tingkat kesejahteraan keluarga miskin serta merumuskan strategi program pemberdayaan keluarga miskin dalam meningkatkan kesejahteraan keluarga miskin di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi.
9. Faktor-faktor yang
mempengaruhi kesejahteraan keluarga dan prestasi belajar anak pada keluarga penerima Program Keluarga Harapan (PKH).
Megawati Simanjuntak
(2010)
Mengidentifikasi karakteristik demografi, sosial, dan ekonomi keluarga penerima PKH antara pra dan saat mendapat dana PKH serta menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi kesejahteraan keluarga subjektif dan prestasi belajar anak pada keluarga penerima PKH.