• Tidak ada hasil yang ditemukan

KAJIAN KESEJAHTERAAN KELUARGA: KERAGAAN PEMENUHAN KEBUTUHAN PANGAN DAN PERUMAHAN PADA KELUARGA NELAYAN DI DAERAH RAWAN BENCANA ESTI ROHIMAH

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KAJIAN KESEJAHTERAAN KELUARGA: KERAGAAN PEMENUHAN KEBUTUHAN PANGAN DAN PERUMAHAN PADA KELUARGA NELAYAN DI DAERAH RAWAN BENCANA ESTI ROHIMAH"

Copied!
131
0
0

Teks penuh

(1)

RAWAN BENCANA

ESTI ROHIMAH

DEPARTEMEN ILMU KELUARGA DAN KONSUMEN

FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(2)

EUIS SUNARTI.

Act of god that knocks over coast area will impacted on fisherman family wellbeing. The aim of this research is subject to be analyze food and housing fulfillment description as part of family wellbeing indicators on fisherman at disaster gristle region. Research is done at Pangandaran's Village Pangandaran's District, Ciamis's Regency by design cross sectional study. Example in observational it is 80 fisherman family that chosen by ala simple random is sampling . As big as 58.8 percent sample to comprise little families( 4 person). Patriarch age (57. 5%) and mother (70%) lie on early mature group. Father and mother education is not extremely different which is majority doesn't accomplish mandatory bounds studies 9 years. Family characteristic is engaged food fullfilmentt. The greater family head count therefore food expenditure and availibility of food per capita will get little. Progressively old aged mother therefore excelsior alertness zoom. Per capita income that excelsior that decrease caused by food aid and zoom food coping strategy. Food access increases and

coping strategy decrease along with at the height asset ownership. Largely

fisherman family samples (83. 7%) rank is not prosperous objectively, but a large part (67.5%) rank is prosperous subjectively. Factor that regard objective wellbeing is family size, while factors that regard subjective wellbeing are density (far ranging floor per capita) and home ownership state. Subjective wellbeing on fisherman family was characterized by housing fulfillment that give biggest satisfaction.

(3)

Kebutuhan Pangan dan Perumahan pada Keluarga Nelayan di Daerah Rawan Bencana. Dibimbing Oleh EUIS SUNARTI.

Bencana alam yang kerap melanda kawasan pesisir akan berdampak pada kesejahteraan keluarga, terutama keluarga nelayan yang sangat tergantung pada laut. Dampak bencana alam bagi keluarga nelayan dapat berupa terganggunya kegiatan melaut yang sangat terkait dengan rendahnya pendapatan. Kondisi tersebut menyebabkan terganggunya pemenuhan kebutuhan pangan dan perumahan yang merupakan bagian dari indikator kesejahteraan pada keluarga nelayan.

Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis keragaan pemenuhan kebutuhan pangan dan perumahan sebagai bagian dari indikator kesejahteraan keluarga nelayan di daerah rawan bencana. Tujuan khusus penelitian ini yaitu mengetahui karakteristik keluarga; menganalisis tingkat kesejahteraan keluarga nelayan di daerah rawan bencana; menganalisis hubungan karakteristik keluarga dengan akses pangan, ketersediaan pangan, coping strategy pangan, dan kesiapsiagaan dalam pemenuhan pangan; menganalisis perbedaan karakteristik keluarga, tingkat kesejahteraan keluarga, pemenuhan pangan, dan pemenuhan perumahan; serta menganalisis faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kesejahteraan keluarga nelayan di daerah rawan bencana.

Desain penelitian adalah cross sectional study dan retrospektif. Penelitian dilakukan di Desa Pangandaran Kecamatan Pangandaran Kabupaten Ciamis pada bulan Febuari-Agustus 2009. Total contoh adalah 80 responden yang ditentukan secara proportional random sampling. Jenis data yang dikumpulkan adalah data primer dan data sekunder. Data primer meliputi: 1) karakteristik keluarga (umur, besar keluarga, lama pendidikan, pendapatan dan pengeluaran perkapita, jenis aset, dan nilai kepemilikan aset), 2) kesejahteraan obyektif (pendapatan, frekuensi makan dan keragaman makanan, status kepemilikan rumah, luas lantai per kapita, dan kesesakan) dan kesejahteraan subyektif, dan 3) pemenuhan pangan (akses pangan, ketersediaan pangan, coping strategy pangan, kesiapsiagaan dan pola konsumsi) dan kualitas perumahan (kondisi fisik rumah, fasilitas dan perlengkapan rumah, dan kondisi lingkungan). Data sekunder yang dikumpulkan berupa gambaran umum lokasi penelitian. Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan komputer program Microsoft Excel 2007 dan SPSS 15.0 for

Windows. Sesuai dengan pertanyaan dan tujuan penelitian, dilakukan analisis

deskriptif untuk menggambarkan berbagai karakteristik contoh, uji Korelasi Pearson dan Spearman untuk mengetahui hubungan antar peubah penelitian, dan uji regresi logistik untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi kesejahteraan subyektif.

Persentase terbesar keluarga (58.8%) termasuk keluarga kecil (≤ 4 orang). Usia kepala keluarga (57.5%) dan ibu (70%) berada pada kelompok dewasa muda (18-40 tahun). Tingkat pendidikan kepala keluarga dan ibu tidak jauh berbeda yaitu mayoritas tidak memenuhi batas wajib belajar 9 tahun. Rataan pendapatan nelayan antara musim panen, musim biasa, dan musim paceklik memiliki perbedaan yang cukup mencolok. Persentase pengeluaran untuk pangan dan

(4)

aset pada keluarga nelayan juragan berbeda dengan keluarga nelayan buruh. Sementara, tidak terdapat perbedaan yang signifikan pada peubah umur kepala keluarga dan ibu, besar keluarga, dan lama pendidikan kepala keluarga antara keluarga nelayan juragan dan keluarga nelayan buruh.

Lebih dari separuh keluarga nelayan contoh (52.5%) makan dengan menu yang beragam dan mayoritas keluarga nelayan contoh (86.3%) makan dengan frekuensi tiga kali sehari. Mayoritas keluarga nelayan contoh memiliki pola belanja beras harian, dan mayoritas keluarga nelayan contoh memperoleh bantuan pangan dari pihak lain. Lebih dari separuh contoh (58.8%) memenuhi konsumsi beras normatif, yaitu 300 gram per orang per hari, lebih dari separuh contoh memiliki jumlah food coping strategy antara 6-11, serta sebagian besar keluarga nelayan contoh memiliki perilaku siapsiaga (preparedness strategy) yang rendah (0-2 perilaku) dalam menghadapi kekurangan pangan. Terdapat perbedaan yang signifikan dalam hal pengeluaran pangan, akses bantuan pangan, dan coping

strategy pangan, serta tidak terdapat perbedaan yang signifikan pada peubah

frekuensi dan keragaman pangan, ketersediaan pangan, dan kesiapsiagaan pangan antara keluarga nelayan juragan dan keluarga nelayan buruh. Indikator perumahan memberikan gambaran tidak terdapat perbedaan yang signifikan pada peubah kepemilikan rumah, luas lantai per kapita, dan kesesakan antara keluarga nelayan juragan dan keluarga nelayan buruh. Hampir separuh contoh menempati rumah dengan status bukan milik sendiri, keluarga nelayan contoh yang memiliki luas lantai ≥ 8 m2 per orang jumlahnya cukup dominan, dan hampir separuh contoh memiliki rumah yang termasuk dalam kategori sesak berdasarkan jumlah anggota keluarga dan jumlah anggota keluarga.

Karakteristik keluarga, baik secara keseluruhan maupun berdasarkan tipe nelayan berhubungan dengan pemenuhan kebutuhan pangan. Besar keluarga berhubungan negatif ketersediaan pangan. Umur ibu berhubungan positif dengan kesiapsiagaan kelauarga. Pendapatan perkapita dan kepemilikan aset berhubungan positif dengan pola belanja beras. Pada keluarga nelayan juragan pengeluaran pangan berhubungan negatif dengan besar keluarga dan berhubungan positif dengan pengeluaran total dan kepimilikan aset. Pada keluarga nelayan buruh, pengeluaran pangan berhubungan negatif dengan besar keluarga dan berhubungan positif dengan kepemilikan aset. Pada keluarga nelayan juragan, bantuan pangan berhubungan negatif dengan lama pendidikan ibu, pendapatan, dan kepemilikan aset. Sedangkan pada keluarga nelayan buruh, bantuan pangan berhubungan negatif dengan pendapatan. Coping strategy pangan keluarga nelayan juragan berhubungan negatif dengan pendapatan dan kepemilikan aset, sedangkan pada keluarga nelayan buruh, coping strategy pangan berhubungan negatif dengan lama pendidikan ibu.

Setiap orang akan merasakan kepuasan yang berbeda dengan tingkat ekonomi yang relatif sama. Sebagian besar keluarga contoh termasuk dalam kategori tidak sejahtera. Namun, sebagian besar keluarga nelayan contoh tergolong sejahtera secara subyektif. Secara obyektif terdapat perbedaan yang signifikan antara kesejahteraan keluaraga nelayan juragan dan keluarga nelayan buruh. Sedangkan secara subyektif, tidak terdapat perbedaan yang signifikan

(5)

aset. Namun setelah dianalisis dengan menggunakan regresi logistik, maka dihasilkan satu faktor yang berpengaruh terhadap kesejahteraan obyektif, yaitu besar keluarga. Selanjutnya, faktor yang diduga berpengaruh terhadap kesejahteraan subyektif adalah pendapatan per kapita, status kepemilikan rumah, densitas (luas lantai per kapita), dan kesesakan (crowding). Namun, setelah dianalisis dengan analisis dengan menggunakan regresi logistik, maka diperoleh dua faktor yang berpengaruh terhadap kesejahteraan subyektif yaitu status kepemilikan rumah dan luas lantai per kapita (densitas). Faktor utama yang mempengaruhi kesejahteraan subyektif pada keluarga nelayan contoh adalah status kepemilikan rumah. Keluarga nelayan contoh yang memiliki rumah dengan status tanah milik sendiri berpeluang 3.643 kali lebih sejahtera secara subyektif dibandingkan dengan keluarga nelayan yang status rumahnya bukan milik sendiri. Kesejahteraan subyektif keluarga nelayan di daerah rawan bencana dicirikan dengan pentingnya pemenuhan kebutuhan perumahan yang mana memberikan kepuasan yang lebih besar dibandingkan dengan kebutuhan lain. Peubah-peubah yang diteliti hanya mewakili 30.9% dari peubah-peubah yang mempengaruhi kesejahteraan subyektif keluarga nelayan contoh. Terdapat 69.1 % peubah lain di luar peubah yang dianalisis, yang berpengaruh terhadap kesejahteraan subjektif keluarga nelayan contoh.

Bukti ilmiah yang dihasilkan dari penelitian ini mendorong penulis untuk memberikan saran antara lain: 1) rendahnya perilaku siapsiaga memberikan indikasi pentingnya pemberdayaan keluarga baik dari aspek pengetahuan pangan maupun startegi manajemen keuangan keluarga oleh pemerintah setempat bekerja sama dengan pihak yang berkiprah dalam upaya peningkatan kesejahteraan keluarga, 2) Peran KUD yang salah satunya sebagai lumbung pangan desa sangat penting untuk dimaksimalkan dan dapat diakses oleh seluruh nelayan sebagai salah satu upaya mitigasi resiko bencana, 3) berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan perumahan, status kepemilikan rumah dipandang penting sebagai penentu kesejahteraan subyektif keluarga, sehingga perlu adanya upaya pemerintah setempat untuk mempertimbangkan hal ini sehingga kondisi kesejahteraan nelayan menjadi lebih baik.

(6)

RAWAN BENCANA

Skripsi

Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Ilmu Keluarga dan Konsumen Fakultas Ekologi Manusia

Institut Pertanian Bogor

ESTI ROHIMAH

DEPARTEMEN ILMU KELUARGA DAN KONSUMEN

FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(7)

merupakan anak kedua dari 2 bersaudara pasangan Ahmad Nuryatin dan Kufah (almh). Penulis menyelesaikan pendidikan sekolah dasar di MI Darul Hikam Lamongan, lalu melanjutkan pendidikan di MTs Darul Hikam Lamongan dan melanjutkan pendidikan Sekolah Menengah Atas di SMA Unggulan BPPT Al Fattah Lamongan. Pada tahun 2005, penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Ujian Seleksi Masuk IPB (USMI) dan diterima di Mayor Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen (IKK) dan Minor Gizi Masyarakat (GM).

Selama mengikuti perkuliahan, penulis menjadi asisten MK. Sosiologi Umum semester genap 2007/2008 dan semester ganjil 2008/2009, serta asisten MK. Pengasuhan Anak (Parenting) semester ganjil 2008/2009. Selain itu, penulis aktif di berbagai kegiatan kemahasiswaan sebagai anggota Divisi Litbang Gema Almamater IPB 2005/2006, anggota Komisi Eksternal DPM FEMA IPB 2006/2007, ketua Divisi Keprofesian Himaiko IPB 2007/2008. Selain itu penulis pernah magang di LSM Pratista Indonesia, salah satu LSM yang bergerak dibidang perlindungan anak dan perempuan dari tindak kekerasan.

Penulis merupakan mahasiswa berprestasi IKK 2008 dan mewakili IKK dalam seleksi mahasiswa berprestasi tingkat Fakultas Ekologi Manusia. Beasiswa selama kuliah yang penulis peroleh antara lain POM (Perkumpulan Orangtua Mahasiswa), Persada, Karya Salemba Empat, Woman’s International Club (WIC), dan beasiswa Bank Indonesia. Penulis juga aktif menulis dalam beberapa perlombaan karya tulis. Penulis memperoleh penghargaan 10 terbaik dalam lomba karya tulis yang diselenggarakan oleh Departemen Ilmu Tanah IPB (2005), lolos dalam seleksi pendanaan proposal PKMM dan PKMP oleh DIKTI (2007 dan 2008), serta Pemenang karya tulis dalam Program Kreativitas Mahasiswa Artikel Ilmiah (PKM-AI) yang diselenggarakan oleh DIKTI (2009).

(8)

nikmat yang tidak terkira sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik. Skripsi yang berjudul “Kajian Kesejahteraan Keluarga: Keragaan Pemenuhan Kebutuhan Pangan dan Perumahan pada Keluarga Nelayan di Daerah Rawan Bencana” ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ilmu Keluarga dan Konsumen pada Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.

Penulis menyadari skripsi ini terwujud tidak lepas dari dukungan semua pihak maka ucapan terima kasih setinggi-tingginya penulis ucapkan kepada : 1. Dr. Ir. Euis Sunarti, MS. selaku dosen pembimbing skripsi sekaligus dosen

pembimbing akademik yang dengan penuh kesabaran dan pengertian telah memberikan bimbingan, dukungan, saran dan waktunya selama melaksanakan studi di IKK dan demi kesempurnaan penyelesaian skripsi ini. 2. Dr. Ir. Diah K. Pranaji selaku dosen pemandu dalam seminar hasil penelitian,

dan Dr. Ir. Hartoyo, M.Sc. dan Ir. Istiqlaliyah Muflikhati M. Si selaku dosen penguji.

3. Seluruh aparat Pemerintah Kabupaten Ciamis, Aparat Pemerintah Kecamatan Pangandaran, parat Pemerintah Desa Pangandaran, keluarga besar Bapak Wahyuni, serta Ibu responden penelitian ini. Tanpa beliau-beliau semua, penelitian ini tidak akan pernah terselesaikan.

4. Bapak, Ibu, Mbak Izza, Adik Wirda, Mas Hadi, dan Adik Azam yang telah memberikan penulis semangat, cinta kasih, keceriaan dan kehidupan, serta pembelajaran yang sangat berharga.

5. Teman-teman satu penelitian, keluarga besar Soka 15, teman-teman IKK angkatan 42, 43, dan 44 yang tak bisa disebutkan satu persatu. Terimakasih atas kebersamaanya yang indah, mudah-mudahan kita selalu diberikan yang terbaik oleh Allah dimanapun dan menjadi sesukses apapun kita nanti. Amin.

Semoga Allah SWT senantiasa memberikan kesehatan dan kelapangan rezeki kepada semua orang yang telah berbuat kebajikan kepada penulis baik yang namanya telah disebutkan atau yang belum sempat disebutkan. Terakhir atas semua kekuatan, rezeki, kemampuan berfikir, waktu, dan kesehatan, hambaMu

(9)

masukan kepada pemerintah.

Bogor, Agustus 2009

(10)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR GAMBAR ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ... xv PENDAHULUAN ... 1 Latar Belakang ... 1 Perumusan Masalah ... 2 Tujuan ... 4 Kegunaan ... 5 TINJAUAN PUSTAKA ... 6

Karakteristik Keluarga Nelayan ... 6

Bencana Alam dan Dampaknya Bagi Keluarga ... 9

Kesejahteraan Keluarga ... 11

Kesejahteraan Obyektif ... 12

Pemenuhan Pangan ... 15

PemenuhanPerumahan ... 21

Kesejahteraan Subyektif ... 23

Determinan Kesejahteraan Keluarga ... 25

KERANGKA PEMIKIRAN ... 26

METODE ... 28

Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian ... 28

Contoh dan Metode Pengambilan Contoh ... 28

Jenis dan Cara Pengumpulan Data ... 29

Pengolahan dan Analisis Data ... 30

DEFINISI OPERASIONAL ... 37

HASIL DAN PEBAHASAN ... 41

Keadaan Umum Lokasi Penelitian ... 41

Karakteristik Keluarga ... 43

Kesejahteraan Keluarga Obyektif ... 53

Keragaan Pemenuhan Pangan ... 54

Keragaan Pemenuhan Perumahan ... 72

Kesejahteraan Subyektif ... 80

Hubungan Karakteristik Keluarga dengan Pemenuhan Pangan ... 83

Determinan Kesejahteraan Keluarga ... 87

Pembahasan Umun ... 89  

 

x  

(11)

xi  

KESIMPULAN DAN SARAN ... 91

Kesimpulan ... 91

Saran ... 93

DAFTAR PUSTAKA ... 94

(12)

1. Perilaku coping berdasarkan keseriusan situasi dan kapasitas coping  

strategy ... 20 2. Jenis dan cara pengambilan data, variable, responden, alat, dan cara

pengukuran serta skala data ... 3. Karakteristik usia, besar keluarga, dan lama pendidikan berdasarkan tipe

... 29

... 47 50 6.

berdasarkan tipe nelayan ... 54

.. 59 ... 65 16. ... 72   nelayan ... 43 4. Rata-rata, standar deviasi, persentase pendapatan tiap musim terhadap

pendapatan total rata-rata, dan pengeluaran pangan serta non pangan terhadap pengeluaran total berdasarkan tipe nelayan ... 5. Jenis aset dimiliki berdasarkan tipe nelayan ...

Nilai aset yang dimiliki contoh berdasarkan tipe nelayan ... 52 7. Kriteria kemiskinan pada musim panen, musim biasa, dan musim paceklik

8. Frekuensi dan keragaman pangan berdasarkan tipe nelayan ... 55 9. Dimensi akses pangan berdasarkan tipe nelayan ... 57 10. Ketersediaan pangan pokok (beras) berdasarkan tipe nelayan ... 11. Perilaku coping stratregy pangan rumah tangga berdasarkan tipe nelayan ... 61 12. Jumlah perilaku coping yang dilakukan keluarga berdasarkan tipe

nelayan ... 62 13. Perilaku siapsiaga dalam memenuhi kebutuhan pangan berdasarkan tipe

nelayan ... 63 14. Jumlah perilaku siapsiaga yang dilakukan keluarga berdasarkan tipe

nelayan ... 64 15. Rata-rata frekuensi dan kebiasaan konsumsi serealia dan umbi-umbian

keluarga ...

Rata-rata frekuensi dan kebiasaan konsumsi pangan sumber protein keluarga ... 67 17. Rata-rata frekuensi dan kebiasaan konsumsi pangan sumber protein

keluarga ... 70 18. Rata-rata frekuensi dan kebiasaan konsumsi makanan jajanan ...

xii  

(13)

xiii  

83

(pengeluaran pangan dan bantuan pangan) dan coping strategy pangan

85 27.

berdasarkan tipe nelayan ... 76

21. Fasilitas dan perlengkapan rumah berdasarkan tipe nelayan ... 77

22. Kondisi lingkungan tempat tinggal keluarga nelayan contoh ... 79

23. Kesejahteraan subyektif berdasarkan tipe nelayan ... 81

24. Tingkat kesejahteraan subyektif berdasarkan tipe nelayan ... 25. Kofesien korelasi antara karakteristik keluarga dengan akses pangan, ketersediaan pangan, food coping strategy, dan kesiapsiagaan keluarga ... 84

26. Koefesien korelasi antara karakteristik keluarga dengan akses pangan berdasarkan tipe nelayan ... Determinan kesejahteraan obyektif ... 87

28. Determinan kesejahteraan Subyektif ... 88

           

(14)

Halaman 1. Kerangka pemikiran ... 27 2. Kerangka sampling penelitian ... 28  

xiv  

(15)

1. Uji beda berbagai variabel ... 98

2. Hasil uji korelasi Pearson (hubungan karakteristik keluarga dengan kesejahteraan keluarga) ... 102

3. Hubungan karakteristik keluarga dengan komponen pemenuhan pa 4. Hubungan karakteristik keluarga dengan komponen pemenuhan pangan ngan .... 103

... 113

berdasarlan tipe nelayan ... 105

5. Hasil uji regresi logistik ... 109

6. Hasil uji reliabilitas Instrumen ... 111

7. Uji kesahihan instrumen coping strategy ... 8. Dokumentasi Penelitian ... 115

 

xv   

(16)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Indonesia merupakan salah satu negara paling rentan di dunia. Indonesia merupakan negara kepulauan yang terletak pada pertemuan empat lempeng tektonik yaitu lempeng benua Asia, benua Australia, lempeng samudera Hindia, dan samudera Pasifik. Pada bagian selatan dan timur Indonesia terdapat sabuk vulkanik (volcanic arc) yang memanjang dari pulau Sumatra, Jawa, Nusa Tenggara, dan Sulawesi, yang sisinya berupa pegunungan vulkanik tua dan daratan rendah yang sebagian didominasi rawa-rawa. Kondisi tersebut sangat berpotensi sekaligus rawan bencana seperti letusan gunung berapi, gempa bumi, tsunami, banjir, dan tanah longsor (Carter 1991). Data menunjukkan bahwa Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki tingkat kegempaan yang tinggi di dunia, lebih dari 10 kali lipat tingkat kegempaan di Amerika Serikat (Arnold 1986 diacu dalam Bapenas 2006).

Daerah pesisir merupakan salah satu daerah yang rawan terhadap bencana alam. Sebagai negara kepulauan dengan luas laut mencapai 3.257.483 km2 dan garis pantai sepanjang 81.000 km (Anonimous 2009), Indonesia memiliki kawasan pesisir yang sangat luas (Savitri & Khazali 1999). Diperkirakan 22% jumlah penduduk Indonesia atau sekitar 41 juta jiwa tinggal dan hidup di wilayah pesisir yang mata pencahariannya memanfaatkan sumber daya alam yang ada di wilayah pesisir baik sebagai nelayan ataupun petani tambak (Nurududja, Aminah, & Sukarman 2007). Letak wilayah pesisir yang secara geografis berada diantara daratan dan lautan, mengakibatkan wilayah pesisir sangat dinamis dan rentan terhadap bencana. Bencana alam rutin seperti gelombang pasang bahkan bencana alam yang menghancurkan seperti tsunami, angin puting beliung, dan banjir merupakan risiko bagi penduduk yang tinggal di pesisir pantai.

Bencana alam yang kerap melanda kawasan pesisir akan sangat berdampak pada kehidupan keluarga, terutama keluarga nelayan yang sangat tergantung pada keramahan laut. Dampak bencana alam bagi keluarga nelayan dapat berupa terganggunya kegiatan melaut yang sangat terkait dengan minimnya pendapatan. Selain itu bencana alam yang terjadi di daerah pesisir akan

(17)

menyebabkan rusaknya kawasan pemukiman sekitar. Kondisi ini menyebabkan terganggunya pemenuhan kebutuhan pangan dan perumahan sebagai kebutuhan dasar manusia.

Kondisi terpenuhinya kebutuhan biasanya dikenal dengan istilah sejahtera. Kesejahteraan adalah suatu tata kehidupan dan penghidupan sosial, material, maupun spiritual yang diikuti rasa keselamatan, kesusilaan, dan ketentraman diri, rumah tangga serta masyarakat lahir dan batin yang memungkinkan setiap warga negara untuk mengadakan usaha-usaha pemenuhan kebutuhan jasmani, rohani, dan sosial yang sebaik-baiknya bagi diri, rumah tangga, serta masyarakat dengan menjunjung tinggi hak-hak asasi (Rambe 2004). Berdasarkan pengertian tersebut, tentunya untuk mencapai kondisi kesejahteraan keluarga, maka setiap keluarga harus dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhannya baik lahir maupun batin.

Pangan dan perumahan merupakan indikator dasar kesejahteraan keluarga. Artinya, untuk mencapai kondisi sejahtera keluarga harus dapat memenuhi kebutuhan pangan dan perumahannya. Berdasarkan kondisi tersebut, maka diperlukan kajian yang lebih mendalam mengenai pemenuhan kebutuhan pangan dan perumahan sebagai bagian dari indikator kesejahteraan keluarga nelayan di daerah rawan bencana.

Perumusan Masalah

Luasnya laut Indonesia dengan berbagai kekayaan alam merupakan potensi yang besar untuk Indonesia. Menurut pakar kelautan dan perikanan dari Perancis, Prof Dr Jean Chaussade, Indonesia memiliki potensi hasil laut sebesar 82 milliar dollar AS yang dapat digunakan untuk melunasi hutang Indonesia secara bertahap (Anonymous, 2009). Dengan demikian, sektor kelautan sangat potensial untuk membangun kesejahteraan di Indonesia, baik bagi masyarakat nelayan maupun masyarakat secara keseluruhan.

Namun, besarnya potensi laut Indonesia sampai saat ini ternyata tidak dapat meningkatkan taraf hidup sebagian besar nelayan di Indonesia. Fakta yang terjadi sampai saat ini adalah tingkat kesejahteraan nelayan di Indonesia masih tergolong rendah. Data menunjukkan sedikitnya terdapat 14.58 juta atau sekitar 90% dari 16.2 juta nelayan di Indonesia hidup di bawah garis kemiskinan.

(18)

Faktor-faktor yang menyebabkan kemiskinan nelayan di Indonesia antara lain: 1) belum adanya kebijakan dan aplikasi pembangunan kawasan pesisir dan masyarakat nelayan yang terintegrasi atau terpadu di antara para pelaku pembangunan, 2) tidak terjaganya konsistensi kuantitas hasil tangkap sehingga aktivitas sosial ekonomi perikanan di desa-desa nelayan tidak berlangsung terus-menerus, 3) terbatasnya modal usaha atau investasi sehingga menyulitkan nelayan meningkatkan kegiatan ekonomi perikanannya, 4) terisolasinya geografis desa nelayan, sehingga menyulitkan keluar masuk barang, jasa, kapital, dan manusia, 5) dinamika sosial, ekonomi,dan budaya masyarakat nelayan yang lambat, dan 6) relasi sosial ekonomi yang ”eksploitatif” dengan pemilik perahu dan pedagang perantara (tengkulak) dalam kehidupan masyarakat nelayan.

Kawasan pesisir Indonesia merupakan daerah yang rawan bencana. Salah satu kawasan pesisir di Indonesia yang rawan terhadap bencana alam adalah kecamatan Pangandaran. Kecamatan pangandaran merupakan daerah pesisir yang memiliki potensi yang besar, terutama potensi pariwisata dan potensi perikanan. Potensi perikanan yang ada menyebabkan sebagian besar penduduk Kecamatan Pangandaran bermata pencaharian nelayan, terutama di Desa Pangandaran. Adanya potensi perikanan dan pariwisata yang ada di Kecamatan Pangandaran dapat dimanfaatkan masyarakat untuk meningkatkan sosial ekonomi mereka. Namun, secara ekonomi masyarakat di daerah pesisir berhadapan dengan ketidakpastian. Ketidakpastian ekonomi yang terjadi disebabkan matapencaharian sebagai nelayan sangat tergantung dengan alam, dan salah satu penyebab ketidakpastian adalah bencana alam. Berdasarkan catatan direktorat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral, terdapat 28 wilayah di Indonesia yang rawan gempa dan tsunami, salah satunya adalah wilayah Jawa Barat (Husin 2008).

Bencana alam yang biasa terjadi di daerah pesisir antara lain gempa dan angin kencang. Badan Pusat Statistik Kabupaten Ciamis (2008) melaporkan bahwa selama tahun 2007 terdapat empat kali bencana alam yang berupa angin kencang. Bencana angin kencang yang terjadi seringkali berdampak pada aktifitas melaut yang dilakukan oleh nelayan. Hal ini dapat mengganggu pemenuhan

(19)

kebutuhan keluarga, baik pangan maupun perumahan yang merupakan indikator kesejahteraan keluarga.

Berdasarkan adanya permasalahan tersebut maka muncul beberapa pertanyaan: 1) bagaimana karakteristik keluarga nelayan di daerah rawan bencana? 2) bagaimana tingkat kesejahteraan obyektif dan subyektif keluarga nelayan di daerah rawan bencana? 3) bagaimana keragaan pemenuhan kebutuhan pangan dan perumahan pada keluarga nelayan di daerah rawan bencana? 4) apakah terdapat perbedaan karakteristik keluarga, keragaan pemenuhan pangan dan perumahan, serta tingkat kesejahteraan keluarga nelayan juragan dan keluarga nelayan buruh? dan 5) faktor apa saja yang berpengaruh terhadap kesejahteraan keluarga nelayan di daerah rawan bencana?

Tujuan Tujuan Umum

Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis keragaan pemenuhan kebutuhan pangan dan perumahan sebagai bagian dari indikator kesejahteraan keluarga nelayan di daerah rawan bencana.

Tujuan Khusus

Berdasarkan latar belakang dan permasalahan yang telah dipaparkan, maka dirumuskan tujuan penelitian sebagai berikut.

1. Mengetahui karakteristik keluarga nelayan di daerah rawan bencana.

2. Menganalisis tingkat kesejahteraan keluarga nelayan di daerah rawan bencana 3. Menganalisis keragaan pemenuhan pangan dan perumahan keluarga nelayan

di daerah rawan bencana.

4. Menganalisis perbedaan karakteristik keluarga, tingkat kesejahteraan keluarga, dan keragaan pemenuhan pangan dan perumahan antara keluarga nelayan juragan dan keluarga nelayan buruh.

5. Menganalisis hubungan karakteristik keluarga dengan akses pangan, ketersediaan pangan, coping strategy pangan dan kesiapsiagaan pemenuhan pangan.

6. Menganalis faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kesejahteraan keluarga nelayan di daerah rawan bencana.

(20)

Kegunaan Penelitian

Penelitian mengenai keragaan pemenuhan kebutuhan pangan dan perumahan sebagai bagian dari indikator kesejahteraan keluarga nelayan di daerah rawan bencana ini diharapkan dapat bermanfaat, baik bagi penulis, institusi pendidikan, serta pemerintah dan instasi terkait. Bagi penulis, penelitian ini dapat digunakan sebagai pengalaman dalam melakukan penelitian sesuai dengan bidang keilmuan yang ditekuni, sehingga mengetahui kondisi dan lingkungan keluarga nelayan di daerah rawan bencana. Bagi institusi pendidikan, penelitian ini dapat memperkaya dan memperluas dimensi penelitian mengenai pemenuhan kebutuhan pangan dan perumahan sebagai bagian dari indikator kesejahteraan keluarga. Selain itu penelitian ini dapat menyediakan informasi ilmiah yang dapat digunakan oleh berbagai instansi atau pihak yang berkiprah dalam upaya peningkatan kesejahteraan keluarga.

(21)

TINJAUAN PUSTAKA

Sesuai dengan tujuan penelitian, pada bab ini dikaji hasil-hasil penelitian dan kajian teoritis yang melandasi pentingnya mengkaji keragaan pemenuhan pangan dan perumahan sebagai bagian dari indikator kesejahteraan keluarga nelayan di daerah rawan bencana. Bagian pertama dibahas mengenai karakteristik keluarga nelayan serta bencana alam dan dampaknya bagi kualitas kehidupan keluarga, yang menjadi latar belakang dalam penelitian ini. Bagian kedua dibahas bahwa keluarga merupakan sistem yang berusaha mencapai kesejahteraan keluarga baik secara obyektif maupun subyektif serta faktor-faktor yang mempengaruhinya. Bagian yang terakhir mengkaji mengenai keragaan pemenuhan pangan dan kualitas perumahan sebagai bagian dari indikator kesejahteraan keluarga.

Karakteristik Keluarga Nelayan

Menurut Direktorat Jenderal (Ditjen) Perikanan (2000) definisi nelayan adalah orang yang aktif dalam operasi penangkapan ikan/binatang air lainnya/tanaman air. Nelayan merupakan bagian dari masyarakat yang hidup di pedesaan pesisir dan memiliki kekhasan tersendiri yang berbeda dengan kondisi masyarakat di luar komunitasnya, baik dari sudut pandang geoekologi, ekonomi, maupun sosial. Secara ekologi dan geografis masyarakat pesisir diuntungkan dengan luasnya lahan garapan mereka. Namun secara ekonomi, masyarakat di daerah pesisir berhadapan dengan ketidakpastian. Modal dan pendapatan nelayan umumnya rendah, sedangkan biaya yang dikeluarkan cukup besar. Selain itu, masyarakat pesisir memiliki kehidupan yang dihadapkan langsung dengan keadaan ekosistem yang keras, dan sumberdaya kehidupan yang bergantung pada pemanfaatan sumberdaya pesisir dan laut (Satria 2002).

Nelayan sebagai suatu komunitas masyarakat, memiliki sistem sosial yang berbeda. Secara tidak langsung, nelayan distratifikasi berdasarkan kepemilikan aset atau alat penangkapan dan keterlibatan orang lain dalam usaha penangkapan ikan (Mulyadi 2005). Stratifikasi ini menyebabkan masyarakat nelayan terbagi menjadi dua kelompok yaitu nelayan juragan dan nelayan buruh. Nelayan pemilik atau yang disebut dengan juragan adalah orang yang memiliki sarana

(22)

penangkapan seperti kapal/perahu, jaring, dan alat tangkap lainnya. Nelayan buruh adalah orang yang bekerja sebagai buruh dalam kegiatan penagkapan ikan di laut (Satria 2002).

Kehidupan nelayan berada pada lingkungan keterbatasan dan kemiskinan yang dibatasi oleh mobilitas usaha dan ketidakpastian usaha karena ketergantungan terhadap musim. Kondisi ini menyebabkan pendapatan nelayan sangat fluktuatif. Selain itu, pendapatan nelayan juga sangat ditentukan oleh pemilikan kekayaan khususnya penguasaan alat tangkap berupa perahu atau kapal beserta perangkatnya (Carner 1984 diacu dalam Waspodo 2003). Ciri lain yang melekat pada rumah tangga nelayan meliputi: 1) rumah dan barang yang dimiliki terbatas dan sangat sederhana, 2) tingkat kesehatan dan pendidikan rendah, 3) produktivitas kerja rendah, 4) keterampilan kurang memadai, dan 5) kurang dapat mengikuti pembaharuan dan kurang memperoleh kesempatan berperan serta dalam pembangunan.

Nelayan, sebagai suatu komunitas masyarakat memiliki sistem sosial yang berbeda. Secara tidak langsung, nelayan distratifikasi berdasarkan kepemilikan aset atau alat penangkapan dan keterlibatan orang lain dalam usaha penagkapan ikan (Mulyadi 2005). Masyarakat pesisir, khususnya nelayan, masih terbelit oleh persoalan kemiskinan, keterbelakangan, dan kesulitan mengakses berbagai layanan publik. Terdapat persoalan tertentu yang terkait dengan aspek ekologis, sosial, dan ekonomi sehingga masyarakat di kawasan pesisir masih tertinggal (Hanson 1984 dalam Amanah et al, 2005).

Nelayan dapat dikategorikan menjadi nelayan pemilik dan nelayan buruh. Nelayan pemilik atau yang disebut dengan juragan adalah orang yang memiliki sarana penangkapan seperti kapal/perahu, jaring, dan alat tangkap lainnya. Nelayan buruh adalah orang yang bekerja sebagai buruh dalam kegiatan penagkapan ikan di laut (Satria 2002). Mubyarto, Sutrisno, dan Dove (1984) menambahkan bahwa sekelompok nelayan yang tidak memiliki alat tangkap dan perahu harus menjadi buruh bagi nelayan lainnya, di mana pendapatan dipengaruhi oleh pola bagi hasil di kalangan nelayan.

Besar Keluarga. Besar keluarga menunjukkan jumlah individu yang

(23)

apapun tingkat pendapatan yang diperoleh seorang kepala keluarga dalam rumah tangganya, pada akhirnya kesejahteraan akan banyak ditentukan oleh penadapatan per kapita. Besarnya pendapatan perkapita selain ditentukan oleh total pendapatan yang diterima, juga oleh seluruh anggota keluarga yang menjadi tanggungan dari kepala keluarga yang bersangkutan. Tidak semua anggota keluarga dalam rumah tangga bekerja produktif sehingga menjadi beban tanggungan. Banyaknya jumlah anggota keluarga akan mempengaruhi tinggi rendahnya pendapatan per kapita dan besarnya konsumsi keluarga. Oleh karena itu, jumlah anggota keluarga atau besar keluarga akan memberi dorongan bagi rumah tangga bersangkutan untuk lebih banyak menggali sumber pendapatan lainnya.

Pendidikan. Hasil penelitian Megawangi (1994) membuktikan bahwa

tingkat pendapatan dan pendidikan suami berhubungan nyata positif dengan kebiasaan merencanakan anggaran biaya. Dengan demikian, kemampuan melihat ke depan dengan mengadakan perencanaan biaya dipengaruhi oleh tingkat sosial ekonomi penduduk, dan semakin banyak anggota rumah tangga cenderung semakin sulit merencanakan biaya. Rumah tangga yang dikepalai oleh seseorang dengan pendidikan rendah cenderung lebih miskin dibandingkan dengan rumah tangga yang dikepalai oleh mereka yang berpendidikan tinggi.

Pendapatan. Secara umum pedapatan nelayan memang sangat

berfluktuasi dari hari ke hari. Menurut Dahuri dkk (1996) diacu oleh Waspodo (2003), di daerah yang padat penduduknya seperti daerah pantai utara jawa, sudah terjadi kelebihan tangkap (over fishing). Pendapatan nelayan ditentukan juga oleh produktivitas alat tangkap, keterampilan yang dimiliki, jumlah tenaga kerja yang terlibat dalam penagkapan dan sistem bagi hasil yang dicapai (Syafin 1993 diacu oleh Waspodo 2005). Mengacu pada pendapat Carner (1984), Waspodo (2003) menambahkan bahwa besar pendapatan kelompok masyarakat nelayan berbeda-beda tergantung pada pemilikan kekayaan khususnya penguasaan alat tangkap berupa perahu atau kapal beserta perangkatnya.

Faktor pendapatan memiliki peranan besar dalam persoalan gizi dan kebiasaan makan masyarakat setempat (Berg 1986 diacu oleh Puspa 2007). Ketersediaan pangan suatu keluarga sangat dipengaruhi oleh tingkat pendapatan

(24)

keluarga tersebut. Rendahnya pendapatan merupakan satu hambatan yang menyebabkan daya beli menurun sehingga tidak mampu membeli pangan dalam jumlah yang besar dan atau mutu yang diperlukan.

Kepemilikan Aset. Sumberdaya bermakna sebagai sumber dari kekuatan,

potensi dan kemampuan untuk mencapai suatu manfaat dan tujuan. Sumberdaya merupakan aset, yaitu sesuatu apapun baik yang dimiliki atau yang dapat diakses, yang dapat memberikan nilai tukar untuk mencapai tujuan. Aset tersebut bisa berupa sumberdaya ekonomi, potensi manusia, karakter pribadi, kualitas lingkungan, sumberdaya alam, fasilitas masyarakat (Rice & Tucker 1986 diacu dalam sunarti 2008) Sumberdaya keluarga ditinjau dari sudut pandang ekonomi merupakan alat atau bahan yang tersedia dan diketahui fungsinya untuk memenuhi kebutuhan atau tujuan keluarga (Gross, Crandall & Knoll 1980 diacu dalam Nuryani 2007). Sumberdaya berdasarkan jenisnya dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu sumberdaya manusia dan sumberdaya materi/non manusia. Sumberdaya manusia mempunyai dua ciri, yaitu pribadi/personal dan interpersonal, sedangkan sumberdaya materi terdiri dari benda-benda atau barang, jasa, waktu, dan energi. Sumberdaya materi dalam keluarga adalah aset/kekayaan keluarga. Menurut Guhardja et al. (1992) aset keluarga dapat dibedakan menjadi dua jenis yaitu sebagai berikut: 1) aset lancar, yaitu barang-barang kekayaan yang relatif cepat dapat diuangkan misalnya emas, perhiasan, dan uang tunai, dan 2) aset tidak lancar, yaitu barang-barang kekayaan yang relatif agak lama jika diuangkan misalnya tanah, rumah, mobil, kebun, surat-surat berharga, saham, dan investasi modal.

Bencana Alam dan Dampaknya terhadap Kehidupan Keluarga

Bencana alam merupakan peristiwa dramatis yang disebabkan oleh kejadian alam dan ulah manusia. Secara umum, bencana alam dicirikan dengan waktu bencana yang relatif singkat, terjadi secara tiba-tiba, tidak terkontrol tetapi dapat diprediksi, serta dapat menyebabkan kerusakan dan kekacauan (Bell et.al. 1990). Menurut Undang-Undang No. 24 tahun 2007 bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor nonalam maupun

(25)

faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis. Bencana alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam antara lain berupa gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan, dan tanah longsor. Carter (1991) menambahkan terdapat beberapa macam bencana alam, antara lain letusan gunung berapi, gempa bumi, tsunami, banjir, dan tanah longsor.

Terjadinya bencana alam akan memberikan resiko yang besar pada masyarakat. Hasil kajian terhadap kegiatan pengurangan resiko bencana pada tahun 2007 oleh sekretariat ISDR (International Stategy for Disaster Reductin) mengidentifikasikan dua potensi resiko bencana, yaitu yang bersifat intensif dan ekstensif. Resiko yang bersifat intensif menyangkut kecenderungan konsentrasi manusia dan kegiatan ekonomi yang mungkin mengalami kerusakan hebat akibat kejadian bencana dalam skala besar. Resiko ekstensif meliputi kecenderungan populasi manusia yang lebih tersebar, tetapi rentan terhadap bencana yang bersifat lokal, berintensitas rendah, dan dampaknya bersifat kumulatiif atau kronis, misalnya akibat perubahan iklim.

Lembanga Demografi Universitas Indonesia (2008) memaparkan bahwa ukuran resiko bencana pada suatu masyarakat dapat dianalisis menggunakan HDI

(Human Development Index) atau IPM (Indeks Pembangunan Manusia) dapat

digunakan untuk ukuran resiko bencana suatu masyarakat. HDI diukur dari tiga indikator yang menunjukkan tingkat penghidupan manusia, angka harapan hidup, dan pendapatan. Ketiganya menunjukkan seberapa resilience atau kelentingan satu masyarakat yang apabila dikombinasikan tingkat kesiapan dan kewaspadaan akan memperlihatkan kapasitas masyarakat untuk menghadapi dampak bencana. Negara-negara dengan HDI tinggi akan lebih tahan atau resilience terhadap bencana dan sebaliknya. Bukti statistik bencana dunia juga menunjukkan hubungan positif tersebut, dimana korban akibat bencana di negara-negara dengan HDI rendah jauh lebih besar.

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa bencana sangat merusak dan menimbulkan stress yang menyebabkan masalah emosional (Kardinet et. al. 1945 diacu dalam Bell et. al. 1990), keterbatasan kebebasan, rusaknya komunitas, serta rusaknya berbagai saranan yang telah dibangun. Disisi lain, pada faktanya

(26)

beberapa penelitian menunjukkan bahwa dampak bencana dapat bersifat positif berupa peningkatan kelekatan sosial. Karena merasa memiliki nasib yang sama, korban bencana akan cenderung saling menolong satu sama lain (Bell et. al. 1990).

Kesejahteraaan Keluarga

Keluarga merupakan bagian dari sistem dan berinteraksi dengan beragam lingkungan (Sunarti 2007), artinya keluarga akan mempengaruhi dan dipengaruhi oleh lingkungan. Peristiwa-peristiwa yang terjadi akan berpengaruh pada kualitas kehidupan keluarga, atau dikenal dengan istilah kesejahteraan keluarga. Kesejahteraan keluarga adalah terciptanya suatu keadaan yang harmonis dan terpenuhinya kebutuhan jasmani serta sosial bagi anggota keluarga, tanpa mengalami hambatan-hambatan yang serius di dalam lingkungan keluarga, dan dalam menghadapi masalah-masalah keluarga akan mudah untuk di atasi secara bersama oleh anggota keluarga, (Soetjipto 1992; Iskandar 2007), sehingga standar kehidupan keluarga dapat terwujud (Soetjipto 1992). Kesejahteraan merupakan sejumlah kepuasan yang diperoleh seseorang dari mengonsumsi pendapatan yang diterima (Rambe 2004), namun tingkatan dari kesejahteraan itu sendiri merupakan sesuatu yang bersifat relatif (Rambe 2004; Sumarti 1999) yang dibentuk masyarakat melalui interaksi sosial (sumarti 1999).

Lee dan Hanna (1990) dalam Iskandar (2007) mendefinisikan kesejahteraan sebagai total dari net worth (kekayaan bersih) dan human capital

wealth (kesejahteraan sumberdaya manusia). Manfaat yang diperoleh merupakan

nilai atas aset yang dimiliki dikurangi hutang (liabilitas). Sedangkan kesejahteraan SDM dapat diduga melalui pendapatan yang dihasilkan oleh SDM (human capital income) yang ada saat ini, atau dihitung dari nilai pendapatan non aset.

Menetapkan indikator kesejahteraan keluarga serta cara pengukurannya merupakan hal yang sulit untuk dirumuskan secara tuntas. Hal ini disebabkan karena permasalahan keluarga sejahtera bukan hanya menyangkut satu bidang saja, tetapi menyangkaut berbagai bidang kehidupan yang sangat kompleks. Oleh karena itu, diperlukan pengetahuan pendekatan integrasi berbagai bidang disiplin

(27)

ilmu dan atau melalui pengalaman empirik berbagai kasus untuk dapat menemukan indikator keluarga sejahtera yang berlaku umum dan spesifik (Prabawa 1998). Pedekatan yang digunakan untuk mengukur tingkat kesejahteraan keluarga yaitu berdasarkan pendekatan objektif dan subyektif.

Kesejahteraan Obyektif

Pendekatan obyektif diturunkan dari data kuantitatif diperoleh dari angka-angka yang langsung dihitung dari aspek yang ditelaah. Pendekatan obyektif atau yang dikenal dengan istilah kesejahteraan obyektif melihat bahwa tingkat kesejahteraan individu atau kelompok masyarakat hanya diukur secara rata-rata dengan patokan tertentu baik ukuran ekonomi, sosial,maupun ukuran lainnya. Dengan kata lain tingkat kesejahteraan masyarakat diukur dengan pendekatan baku (tingkat kesejahteraan semua masyarakat dianggap sama). Ukuran yang sering digunakan yaitu terminologi uang, pemilikan akan tanah, pengetahuan, energi, keamanan, dan lain-lain. Pendekatan ini disebut sebagai pendekatan konvensional untuk kepentingan politik karena pengukurannya sangat praktis dan mudah dilakukan, namun sedikit sekali menyentuh kebutuhan masyarakat yang sebenarnya (Santamarina et. al diacu dalam suandi 2005).

Untuk menentukan suatu keluarga sudah digolongkan sejahtera atau belum tentunya diperlukan ukuran pendapatan yang biasa disebut juga garis kemiskinan. Garis kemiskinan diartikan sebagai tingkat pendapatan yang layak untuk memenuhi kebutuhan dasar minimum. Suatu keluarga yang berpendapatan di bawah garis kemiskinan, tentunya tidak dapat memenuhi semua kebutuhan secara material. Tingkat kesejahteraan masyarakat juga dapat terlihat dari tingkat kesehatan masyarakat. Penduduk yang mengalami gangguan kesehatan selama sebulan dipandang sebagai salah satu indikasi ketidaksejahteraan masyarakat yang bersangkutan.

Tingkat pendidikan masyarakat juga sebagai salah satu indikator kesejahteraan rakyat. Ukuran yang sangat mendasar adalah kemampuan baca tulis penduduk dewasa. Selain itu rata-rata lama sekolah penduduk juga menjadi indikator kesejahteraan rakyat. Tingkat partisipasi angkatan kerja (usia 15-64 tahun) adalah proporsi penduduk usia kerja yang termasuk ke dalam angkatan

(28)

kerja, yakni mereka yang bekerja dan mencari pekerjaan. Pekerjaan merupakan salah satu aspek penting dalam mencapai kepuasan individu dan memenuhi perekonmian rumah tangga dan kesejahteraan keluarga. taraf dan pola konsumsi masyarakat juga dijadikan indikasi untuk melihat tingkat kemiskinan keluarga.

Berbagai indikator yang digunakan untuk mengetahui taraf dan pola konsumsi adalah: 1) tingkat pendapatan; 2) pengeluaran pangan dan non pangan. Penduduk miskin ditafsirkan sebagai penduduk yang pendapatannya (didekati dengan pengeluaran) lebih kecil dari pendapatan yang dibutuhkan untuk hidup secara layak. Kebutuhan tersebut diterjemahkan sebagai jumlah rupiah yang dapat memenuhi kebutuhan konsumsi makanan setara 2100 kalori sehari, perumahan, pakaian, kesehatan, dan pendidikan (Badan Pusat Statistik 2006).

Badan Pusat Statistik (2001) diacu dalam Rambe (2004) mengemukakan bahwa dimensi kesejahteraan rakyat disadari sangat luas dan kompleks sehingga suatu taraf kesejahteraan rakyat hanya dapat terlihat jika dilihat dari aspek tertentu. Aspek spesifik yang dapat dijadikan indikator untuk mengamati kesejahteraan rakyat yaitu: kependudukan, kesehatan, Pendidikan, meliputi kemampuan baca tulis, tingkat partisipasi sekolah, dan fasilitas pendidikan, ketenagakerjaan, taraf dan pola konsumsi, perumahan dan lingkungan, dan kondisi sosial budaya.

Pengukuran kesejahteraan Berdasarkan Kriteria BPS

Sejarah, pendekatan, dan teknis pengukuran kemiskinan disadur dari BPS (2004). Badan Pusat Statistik Pertama kali melakukan perhitungan jumlah penduduk dan persentase penduduk miskin. Pendekatan yang sama dilakukan BPS sejak pertama kali hingga saat ini dalam metode perhitungan penduduk miskin yaitu menggunakan pendekatan pemenuhan kebutuhan dasar (basic needs). Dengan pendekatan ini kemiskinan dikonseptualisasikan sebagai ketidakmampuan dalam dalam memenuhi kebutuhan dasar. Dengan kata lain, kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan makanan maupun non-makanan yang bersifat mendasar.

(29)

BKKBN merumuskan konsep keluarga sejahtera yang dikelompokkan secara bertahap menjadi keluarga sejahtera tahap I, keluarga sejahtera tahap II, keluarga sejahtera tahap III, dan keluarga sejahtera tahap III plus. Batasan operasional dari keluarga sejahtera adalah kemampuan keluarga dalam memenuhi kebutuhan dasar, kebutuhan sosial, kebutuhan psikologis, kebutuhan pengembangan, dan kepedulian sosial (Sunarti 2008).

Menurut Sunarti (2008), pada tahun 2005 dilakukan kajian indikator KS secara terbatas di kalangan BKKBN untuk mengakomodir berbagai saran perbaikan. Hasil kajian tersebut menetapkan terdapat perubahan indikator KS dari 23 item menjadi 21 item.

1. Keluarga KS I: umumnya anggota keluarga makan 2 kali atau lebih, anggota keluarga memiliki pakaian yang berbeda untuk di rumah, bekerja/sekolah, dan bepergian, rumah yang ditempati keluarga memiliki atap, lantai, dan dinding yang baik, bila ada anggota keluarga yang sakit dibawa ke sarana kesehatan, bila pasangan usia subur ingin ber KB, pergi ke pelayanan kontrasepsi, dan semua anak umur 7-15 tahun dalam keluarga bersekolah.

2. Keluarga KS II: pada umumnya keluarga anggota keluarga melaksanakan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayannya, paling kurang sekali seminggu seluruh anggota keluarga makan daging/ikan/telur, seluruh anggota keluarga paling kurang satu stel pakaian dalam setahun, luas lantai rumah paling kurang 8 m2 untuk setiap penghuni 1 rumah, tiga bulan terakhir keluarga dalam keadaan sehat sehingga dapat melaksanakan tugas dan fungsi masing-masing, ada soerang atau lebih keluarga yang memperoleh penghasilan Seluruh anggota keluarga umur 10-60 tahun bisa baca tulis latin, dan pasangan usia subur dengan 2 anak atau lebih menggunakan alat/obat kontrasespsi.

3. Keluarga KS III: keluarga berupaya untuk meningkatkan pengetahuan agama, sebagian keluarga menabung dalam bentuk uang atau barang, kebiasan keluarga makan bersama paling kurang seminggu sekali dimanfaatkan untuk berkomunikasi, keluarga sering ikut dalam kegiatan masyarakat di lingkungan tempat tinggal, dan keluarga dapat informasi dari radio/TV/majalah/surat kabar.

(30)

4. KS III Plus: keluarga secara teratur dengan sukarela memberikan sumbangan materiil untuk kegiatan sosial dan ada anggota keluarga yang aktif ikut perkumpulan sosial/yayasan/institusi/masyarakat.

Pemenuhan Kebutuhan Pangan

Pangan merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia. Undang-undang No. 7 tahun 1996 tentang pangan menjelaskan pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumberdaya hayati dan air, baik yang diolah maupun yang tidak diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan dan bahan lain yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan dan atau pembuatan makanan atau minuman. Istilah yang biasa digunakan untuk menggambarkan pemenuhan kebutuhan pangan adalah ketahanan pangan. Menurut Chung, Haddad, Ramakrisna, dan Riely (1997) sistem ketahanan pangan merupakan rangkaian tiga komponen utama, yaitu ketersediaan dan stabilitas pangan, kemudahan memperoleh pangan (akses pangan), dan penyerapan pangan. Kemudian, rumah tangga yang mengalami gangguan ketahanan pangan (paceklik) akan mengatasi masalah pangannya dengan melakukan coping strategy (Adi et.

al. 1999). Untuk mengantisipasi masalah pangan keluarga harus siapsiaga atau

waspada. Ketiga komponen ketahanan pangan akan menentukan konsumsi pangan keluarga yang ditentukan oleh ketersediaan pangan (Harper, Deaton, & Driskel, 1986; Chung, Haddad, Ramakrisna, & Riely 1997).

Akses Pangan Rumah tangga

Akses pangan tingkat rumah tangga adalah kemampuan satu rumah tangga untuk memperoleh pangan secara terus-menerus melalui berbagai cara, seperti produksi pangan rumah tangga, jual beli, tukar-menukar/barter, pinjam-meminjam, dan pemberian atau bantuan pangan. Akses pangan menunjukkan jaminan bahwa setiap individu mempunyai sumberdaya yang cukup untuk mengakses kebutuhan pangan sesuai norma gizi (World Food Programme 2005).

Menurut Deptan (2007) akses pangan adalah kemampuan rumah tangga untuk secara periodik memenuhi sejumlah pangan yang cukup melalui kombinasi cadangan pangan mereka sendiri dan hasil dari rumah/pekarangan sendiri,

(31)

pembelian, pinjaman atau bantuan pangan. Kemampuan akses pangan rumah tangga dikatakan baik apabila rumah tangga mampu menjangkau pangan yang tersedia baik secara fisik, ekonomi, dan sosial budaya. Akses pangan rumah tangga antara lain ditentukan oleh kemampuan produksi sendiri, daya beli dari pendapatan, dan daya jangkau terhadap program bantuan pemerintah maupun terhadap sumber pangan lainnya seperti lumbung pangan atau kerabat. Dengan demikian faktor-faktor tesebut dapat dijadikan sebagai indikator akses pangan rumah tangga.

Ketersediaan Pangan Rumah tangga

Ketersediaan pangan merupakan kondisi penyediaan yang mencakup makanan dan minuman yang berasal dari tanaman, ternak, dan ikan, serta turunannya bagi penduduk suatu wilayah dalam suatu kurun waktu tertentu. Ketersediaan pangan merupakan satu sistem yang berjenjang, mulai dari nasional, provinsi (regional), lokal (kabupaten/kota), dan rumah tangga (Baliwati & Rosita, 2004). Hasil dari penelitian Tim Studi Evaluasi Sistem Isyarat Dini dan Intervensi (SIDI) PSKPB-IPB tahun 1991 menyatakan bahwa pada tingkat rumah tangga, ketersediaan pangan diartikan sebagai kemampuan daya beli rumah tangga untuk menjangkau harga pangan pokok yang tersedia di pasar dan atau rumah tangga mampu memenuhi kebutuhan pangan pokok dari hasil usaha taninya. Berbagai cara dilakukan keluarga dalam usaha menyediakan pangan yang cukup bagi anggota keluarganya. Cara yang dapat dilakukan antara lain memproduksi pangan sendiri di lahan pertaniannya atau pekarangan rumah dan membeli di pasar atau warung yang ada di lingkungan tempat tinggal (Khomsan, 1996).

Kemudian dijelaskan bahwa ketersediaan pangan dapat membentuk kebiasaan makan kelompok masyarakat, faktor yang berperan dalam pembentukan kebiasaan makan tersebut adalah faktor obyektif dan subyektif dari ketersediaan pangan. Faktor obyektif misalnya pengaruh fisik alam, biologi, dan kemajuan teknologi. Sedangkan faktor subyektif adalah budaya, sosial, dan psikologi. Selain itu, dikatakan bahwa kurangnya pangan yang cukup atau tersedia untuk di makan merupakan sebab utama rendahnya keadaan kehidupan keluarga (Jutomo 2000).

(32)

Suhardjo, Hardinsyah, dan Riyadi (1988) menyebutkan ada empat faktor utama yang mempengaruhi konsumsi pangan sehari-hari, yaitu produksi pangan untuk keperluan rumah tangga, pengeluaran pangan rumah tangga, pengetahuan gizi, dan ketersediaan pangan. Sedangkan produksi pangan untuk keperluan rumah tangga juga dipengaruhi oleh faktor-faktor lain, yaitu pemilihan tanaman, neraca uang dan tanaman, sumberdaya produksi, terdapatnya tanah untuk tanaman pangan, pembagian kerja dalam keluarga.

Pengeluaran pangan dapat dipengaruhi subsidi pangan untuk pemerintah, pangan yang dibagi-bagikan di antara anggota masyarakat, jumlah dan ragam pangan yang dibeli, harga pangan di pasaran. Sebaliknya ketersediaan pangan dipengaruhi oleh produksi pangan untuk rumah tangga dan pengeluaran pangan rumah tangga. Menurut Word Food Program (2005) ketersediaan pangan rumah tangga ditentukan oleh konsumsi normatif serealia yaitu 300 gram per orang per hari.

Pola Konsumsi

Konsumsi pangan adalah informasi pangan yang dimakan (dikonsumsi) seseorang atau kelompok orang, baik berupa jenis maupun jumlahnya pada waktu tertentu, artinya konsumsi pangan dapat dilihat dari aspek jumlah maupun jenis pangan yang dikonsumsi (Hardinsyah dan Suharjo 1990). Dengan demikian konsumsi pangan dapat dilihat dari frekuensi dan keragaman pangan. Menurut Riyadi (1996) ada tujuan seseorang mengkonsumsi pangan, yaitu tujuan fisiologis, psikologis, dan sosiologis. Tujuan fisiologis adalah untuk memenuhi rasa lapar atau keinginan memperoleh zat-zat gizi yang diperlukan tubuh. Tujuan psikologis merupakan suatu yang berhubungan dengan kebutuhan untuk memenuhi kepuasan emosional maupun selera seseorang. Tujuan sosiologis adalah berhubungan dengan memelihara hubungan antar manusia dalam kelompok kecil maupun kelompok besar.

Household Dietery Diversity (keragaman konsumsi pangan rumah tangga)

merupakan jumlah jenis makanan yang berbeda, yang dikonsumsi selama periode tertentu yang ditetapkan. Keragaman konsumsi pangan adalah indikator yang baik untuk alasan berikut (Swindale dan Bilinsky 2006): a) konsumsi pangan yang lebih beragam berhubungan dengan peningkatan berat badab bayi lahir, status

(33)

antropometrik anak, dan peningkatan konsentrasi hemoglobin, dan b) konsumsi pangan yang lebih beragam berkaitan erat dengan faktor seperti; kecukupan energi dan protein, persentase protein hewani, da pendapatan rumah tangga. Bahkan pada rumah tangga yang sangat miskin, peningkatan pengeluaran untuk makanan yang dihasilkan dari penghasilan tambahan berhubungan dengan kualitas dan kuantitas konsumsi pangan.

Menurut FAO (2007) keragaman konsumsi pangan adalah kelompok pangan yang berbeda yang dikonsumsi selama periode tertentu yang ditetapkan yaitu dapat bertindak sebagai indikator alternatif bagi keamanan makanan bagi berbagai keadaan, termasuk negara dengan pendapatan sedang atau menengah, daerah pedesaan dan perkotaan, serta pada berbagai musim. Keragaman konsumsi pangan sangat penting, hal ini karena tidak ada satu jenis pangan yang mengandung zat gizi dalam jenis dan jumlah yang lengkap. Dengan mengkonsumsi pangan yang beragam, maka kekurangan zat gizi dalam satu jenis akan dilengkapi oleh kandungan zat gizi dari pangan lainnya. Adanya prinsip saling melengkapi akan berbagai pangan terrsebut akan menjamin terpenuhinya mutu gizi seimbang dalam jumlah cukup (Riyadi 1996).

Berdasarkan satuan atau unit penilaian, konsumsi pangan dibedakan atas penilaian konsumsi pangan individu dan penilaian konsumsi pangan keluarga. Umumnya prinsip penilaian zat gizi individu dan keluarga adalah sama. Konsumsi pangan keluarga merupakan penjumlahan dari konsumsi pangan masing-masing individu anggota keluarga. Apabila satuan atau unit pengumpulan data konsumsi pangan adalah kelompok orang seperti keluarga atau rumah tangga, maka jumlah konsumsi pangan keluarga atau rumah tangga dibagi dengan jumlah orang atau anggota keluarga yang mengkonsumsi pangan tersebut (Hardinshyah dan Briawan 1994).

Coping Strategy dan Kesiapsiagaan Keluarga

Secara umum, coping adalah sebuah strategi yang dapat membantu

seseorang untuk mengurangi stress dan membantu menyelesaikan masalah. Perbedaan budaya mempengaruhi perbedaan coping strategy seseorang. Perlu dimengerti bahwa coping strategy tidak dapat dinyatakan efektif atau tidak efektif tanpa mempertimbangkan keadaan individu.

(34)

Mengutip pernyataan Davies (1993), Usfar (2002) menyatakan bahwa

coping strategy atau coping mechanism merupakan upaya yang dilakukan

seseorang dalam mengatasi situasi atau keadaan yang tidak menguntungkan. Seseorang dapat berupaya dengan mengandalkan kemampuan intelektual, fisik, maupun material. Coping mechanism biasanya digunakan untuk mendayagunakan alat tukar sebagai upaya untuk meningkatkan kemampuan dalam mendapatkan pangan untuk menjamin kelangsungan hidup diri orang tersebut dan anggota keluarganya. Coping mechanism juga menyediakan cara untuk memanfaatkan aset tagihan dan simpanan akses pangan yang dimiliki.

Tujuan coping mechanism adalah mempertahankan dari berbagai tujuan

rumah tangga termasuk pemenuhan konsumsi pangan, kesehatan, status, dan mata pencaharian. Konsumsi pangan dan kesehatan merupakan tujuan yang lebih disegerakan daripada status dan mata pencaharian, karena kecukupan pangan sangat perlu untuk hidup sehat dan memenuhi zat gizi yang dibutuhkan oleh anggota keluarga (Aams et. al. 1998 dalam Usfar 2002).

Adi, Kusharto, Hardinsyah, dan Susanto (1999) menyebutkan bahwa rumah tangga yang mengalami gangguan ketahanan pangan (paceklik)) mengatasi masalah pangannya dengan melakukan coping strategy untuk memperoleh alat tukar dan meminimalkan resiko. Alat tukar bersifat fisik (tenaga) dengan bekerja keluar desa sebagai buruh bangunan, buruh serabutan, tukang becak, dan pedagang asongan. Alat tukar berupa benda hidup yaitu dengan menjual ternak (ayam, kambing), sedangkan alat tukar berupa benda mati (materi) yaitu dengan menjual atau menggadaikan perhiasan (emas) dan perkakas rumah tangganya.

Selain sebagai indikator ketahanan pangan, coping strategy juga dapat menjadi salah satu determinan ketahanan pangan. Mamun menurut Frankenberner & Goldstein (1990) dalam Maxwel & Frankenberner (1992) menyatakan bahwa belum ada bukti yang kuat bahwa keberadaan coping strategy yang berhasil akan menyeimbangkan antara kebutuhan pangan saat ini dengan keberlanjutan pangan di masa yang akan datang sebagai salah satu syarat ketahanan pangan.

Donahue (1998) dalam De Wagt dan Connolly (2005), menyatakan bahwa berdasarkan keseriusan situasi dan kapasitas coping dan perbedaan cara melakukan coping strategy untuk mengurangi ketidaktahanan pangan dapat

(35)

dikelompokkan menjadi: (1) reversible (ringan), (2) productive assets (menengah), dan (3) sangat parah (berat). Indikator-indikator di dalam ketiga kategori tersebut dikembangkan dalam penelitian terhadap keluarga penderita HIV/AIDS di Afrika. Perilaku coping berdasarkan keseriusan situasi dan kapasitas

coping strategy dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Perilaku coping berdasarkan keseriusan situasi dan kapasitas coping

strategy

Reversible Menggunakan Productive

Assets Sangat Parah Mencari bantuan dari anggota

keluarga, teman, dan tetangga

Menggunakan tabungan Tergantung kepada sumbangan dari lembaga pemerintah atau donator

Mengurangi konsumsi Menjual asset termasuk tanah, binatang, dan perabotan

Migrasi

Mengubah pembelian makanan menjadi lebih murah

(kadang-kadang kurang gizi)

Mengurangi pengeluaran untuk pangan dan kesehatan

Kriminalitas dan prostitusi

Mengganti cadangan uang menjadi cadangan pangan

Mengurangi pengeluaran untuk pendidikan

Meningkatkan pendapatan

Sumber: Donahue (1998) dalam De Wagt dan Connolly (2005)

Perilaku coping yang dilakukan oleh keluarga dapat berbeda-beda. Menurut Corbett (1988) dalam Anonimous (2004), bentuk-bentuk coping strategy yang berbeda didasarkan pada kondisi yang bermacam-macam, sering dikategorikan ke dalam empat tingkatan merdasarkan kondisi yang berbeda.

Coping strategy yang dilakukan diantaranya adalah dengan: 1) adaptasi terhadap

perubahan pola makan, seperti konsumsi pangan bergeser kepada konsumsi jagung sebagai pengganti beras, pengurangan porsi makan perhari, konsumsi makanan yang jarang dikonsumsi, mencari tambahan pendapatan sebagai buruh, dan meminjam uang dari keluarga lainnya; 2) menjual asset-aset tidak produktif, perhiasan, meminjam kepada selain keluarga, pindah pekerjaan sementara waktu, atau mengurangi makan sepanjang hari; 3) menjual tanah, hewan ternak dan aset-aset produktif lainnya; dan 4) migrasi secara permanen dan mencari bantuan pangan. Maxwell (1996) menyatakan bahwa terdapat enam tahap utama

(36)

Tahap-tahap tersebut adalah (1) memakan makanan yang kurang disukai; (2) membatasi porsi makan; (3) meminjam makanan atau uang untuk membeli makan; (4) perubahan distribusi makan; (5) mengurangi fekuensi makan per hari; dan (6) tidak makan selama beberapa hari.

Pemenuhan Kebutuhan Perumahan

Tempat tinggal merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia. Menurut Milligan et. al. (2006) akses terhadap tempat tinggal merupakan kebutuhan manusia yang cukup mendasar. Rumah tidak hanya menyediakan tempat untuk tidur, akan tetapi menyediakan kebutuhan psikologis. Sebagai lingkungan yang paling dekat dengan manusia, kondisi rumah dapat berdampak pada standar dan kualitas hidup manusia.

Stigma sosial mengatakan bahwa perumahan dapat berdampak pada kesehatan mental keluarga. Hasil penelitian yang dilakukan terhadap orangtua di Amerika, menunjukkan bahwa orang tua yang lemah akan lebih rentan jika tinggal di perumahan miskin (Lawton 1989; Moos & Lemke 1994 dalam Evans, Kantrowitz, & Eshelman 2002). Perumahan yang baik dapat menjadi tempat dimana kita merasa aman, merasa memiliki, megekspresikan diri kita (Brown & Perkins 1992 dalam Evans, Kantrowitz, & Eshelman 2002).

Badan Pusat Statistik (2004) menjelaskan komponen perumahan menjadi penguasaan tempat tinggal, kondisi fisik bangunan, fasilitas dan perlengkapan rumah, serta kondisi lingkungan. Senada dengan Badan Pusat Statistik (2004), Statistic New Zaeland (2001e) dalam Milligan (2006) mengkalisifikasikan komponen pemenuhan perumahan menjadi status kepemilikan rumah, kondisi fisik bangunan (habitability), dan bebas dari kesesakan (crowding).

Status Kepemilikan Rumah

Status Kepemilikan rumah merupakan salah satu indikator yang digunakan untuk mengukur kesejahteraan keluarga (Statistic New Zaeland 1998d diacu oleh Milligan et. al. 2006). Hasil penelitian kuantitatif menunjukkan kepemilikan rumah berhubungan signifikan dengan kesejahteraan materi. Kepemilikan rumah merupakan indikator kekayaan dan status sosial, yang sangat berhubungan dengan pendapatan status sosial ekonomi seseorang. Selain itu, kepemilikan rumah

(37)

menunjukkan keamanan dan stabilitas finansial seseorang, segaligus mengurangi resiko frekuensi berpindah rumah. Kepemilikan rumah dalam pandangan nilai budaya, rumah merupakan investasi untuk masa depan. Selain berhubungan dengan kesejahteraan materi, rumah juga berhubungan dengan kesejahteraan subyektif. Hasil Penelitian Diener (2002) menunjukkan bahwa rumah memberikan pengaruh terbesar terhadap kesejahteraan subyektif seseorang.

Kesesakan (Crowding) dan Kepadatan (Density)

Kesesakan menunjuk pada kondisi rumah yang tidak nyaman. Kesesakan muncul ketika rumah tidak dapat menyediakan tempat tinggal yang cukup bagi anggotanya (Statistic New Zaeland 2004b). Kesesakan merupakan bentuk dari kemiskinan yang dapat menimbulkan berbagai konsekuensi negatif. Berbagai penelitian menunjukkan kesesakan berhubungan positif dengan peningkatan penyakit fisik dan mental (Baker et. al. 2004 diacu dalam Milligan et. al. 2006) .

Menurut Asiama (1990) dalam Fiadzo dikemukakan bahwa kesesakan terjadi jika dua orang menempati satu ruangan dalam rumah. Sedangkan kesesakan berlebih (overcrowding) terjadi jika lebih dari 2 orang menempati satu ruangan dalam rumah.

Sebagai indikator kesejahteraan keluarga, crowding diukur dengan

crowding index, yang dianalisis berdasarkan jumlah kamar tidur yang ada di

rumah dan jumlah anggota keluarga. Statistic New Zaeland (2004c) diacu dalam Milligan et. al. (2006) menetapkan formulasi pengukuran kesesakan dengan membandingkan antara [(1/2 jumlah anak <10 tahun) +(jumlah pasangan) + jumah anggota keluarga lain ≥ 10 tahun)] dengan jumlah kamar tidur. Indeks kesesakan yang >1 menunjukkan rumah yang termasuk kategori sesak.

Komponen perumahan lain yang digunakan untuk mengukur kesejahteraan keluarga adalah kepadatan (density). Kepadatan menunjuk pada luas lantai yang dimiliki oleh masing-masing individu dalam rumah. Sebagai indikator kesejahteraan keluarga, BKKBN menetapkan luas lantai minimal yang memenuhi syarat rumah sehat adalah ≥ 8 m2 per orang (Sunarti 2007).

Kepadatan, sama halnya dengan kesesakan menunjukkan terbatasnya ruang pribadi bagi seseorang. White (1975) dalam Bell et. al. (1990) mengungkapkan bahwa ruang pribadi (personal space) meningkat dengan

(38)

pengurangan ukuran ruangan dan menurun dengan penurunan ukuran ruangan. Selanjutnya Davis & Swaffer (1971) dalam Bell et. al. (1990) menemukan bahwa individu lebih berkeinginan memiliki tempat yang lebih luas diruang yang sempit daripada ruang yang lebih luas. Dan juga Baum, Reiss & O hara (1971) dalam Bell et. al. (1990) menjelaskan bahwa penempatan partisi di ruangan dapat mengurangi perasaan terganggu oleh anggota keluarga lain.

Kondisi Fisik, Fasilitas dan perlengkapan, serta Kondisi Lingkungan Rumah Status ekonomi rumah tangga diperkirakan dapat mempengaruhi kondisi rumah tempat tinggal. Kondisi fisik rumah dapat dilihat dari jenis lantai, dinding, dan atap bangunan rumah. Fasilitas dan perlengkapan rumah digambarkan dengan jumlah dan jenis ruangan, fasilitas tempat mandi, kualitas air minum, bahan bakar untuk masak, sumber penerangan, dan penguasaan barang. Sementara kondisi lingkungan rumah digambarkan dengan lokasi rumah, kondisi lingkungan rumah, dan fasilitas umum (BPS 2004).

Supraptini (2006) menjelaskan terdapat 14 indikator yang dapat dianalisis untuk menggambarkan rumah sehat. Indikator yang ada di dalam data Susenas, yaitu lokasi rumah, kepadatan hunian, jenis lantai, pencahayaan, ventilasi, air bersih, jenis jamban (WC), kepemilikan jamban, pembuangan akhir tinja, cara pembuangan air limbah, keadaan saluran/got, pembuangan sampah, polusi udara, dan bahan bakar untuk masak. Senada dengan yang diungkapkan oleh Supraptini, Fiadzo menggunakan 13 indikator untuk mengukur kualitas perumahan di Ghana, antara lain: jenis dinding, jenis atap, bahan bakar memasak, penerangan, pelayanan air, pembuangan kotoran, jabatan, dan jarak air minum terdekat, pasar yang menyediakan makanan, transportasi umum, Sekolah dasar, sekolah menengah, dan kesehatan (rumah sakit)

Kesejahteraan Subyektif

Pendekatan subyektif diperoleh dari persepsi masyarakat tentang aspek kesejahteraan sehingga hasilnya merupakan perkembangan dari aspek kesejahteraan. Pendekatan dengan indikator obyektif secara filosofi berhubungan erat dengan psikologi sosial masyarakat. Penduduk mungkin mempunyai pandangan tersendiri tentang apa arti kesejahteraan yang mungkin berbeda dengan

(39)

konsep obyektif. Konsep subyektif dapat memberikan pengertian yang mendalam tentang masalah kesejahteraan yang dihadapi rumah tangga. Model ini dianggap lebih sensitif untuk mengukur kesejahteraan rumah tangga (Raharto dan Romdiati 2000).

Kesejahteraan dengan pendekatan subyektif diukur dari tingkat kebahagiaan dan kepuasan yang dirasakan oleh masyarakat sendiri bukan oleh orang lain. Pendekatan subyektif mendefinisikan kesejahteraan berdasarkan pemahaman penduduk mengenai standar hidup mereka dan bagaimana mereka mengartikannya (Santamarina et. al diacu dalam suandi 2005). Menurut Diener (2002) kesejahteraan subyektif didefinisikan sebagai evaluasi seseorang terhadap kehidupannya. Evaluasi dapat berupa pendapat kognitif, seperti kepuasan hidup dan respon emosi terhadap suatu peristiwa, seperti perasaan emosi yang positif.

Kesejahteraan subyektif merupakan istilah ilmiah dalam disiplin ilmu psikologi yang menunjuk pada evaluasi individu terhadap peristiwa yang dialami dan memberikan dampak positif atau negatif, kepuasan hidup, dan kebahagiaan (Guardiola & Munoz 2008). Penilain individu mengenai tingkat kesejahteraan subyektif tidak hanya pada dirinya, akan tetapi membandingkan dengan orang lain, serta pengalaman masa lalu dan harapan masa depan (Frey & Stutzer 2002a diacu dalam Guardiola & Munoz 2008). Kesejahteraan subyektif di Negara berkembang merupakan konsep yang lebih luas, yang dihubungkan dengan debat mengenai kemiskinan, baik kemiskinan pendapatan maupun kemiskinan konsumsi, yang mencakup kebutuhan dasar (Gaugh & Mc Gregor 2007:3). Menurut Guardiola & Munoz (2008) tingkatan pemenuhan kebutuhan dasar seseorang tergantung perasaan puas baik secara mental, sosial, dan berdasarkan kondisi lingkungan. Ruang lingkup kepuasan terhadap kebutuhan dapat mencakup kebutuhan pendidikan dasar, penanganan kesehatan, akses air bersih, dan kebutuhan tempat tinggal.

Determinan Kesejahteraan Keluarga

Menurut Syarif dan Hartoyo (1993) faktor yang mempengaruhi kesejahteraan keluarga terdiri dari faktor ekonomi dan bukan ekonomi. Faktor

(40)

ekonomi berkaitan dengan kemampuan keluarga dalam memperoleh pendapatan. Keluarga yang tidak sejahtera memiliki pendapatan yang rendah. Rendahnya pendapatan menurut Sharp et. al. (1996) disebabkan oleh adanya ketidaksamaan pola kepemilikan sumberdaya, rendahnya SDM, serta perbedaan akses dan modal. Sementara faktor bukan ekonomi yang mempengaruhi kesejahteraan keluarga antara lain budaya, teknologi, keamanan, kehidupan, dan kepastian hukum.

Rambe (2004) menyebutkan bahwa faktor yang menentukan kesejahteraan keluarga tergantung pada indikator yang digunakan dalam mengukur kesejahteraan keluarga. Selanjutnya dikatakan terdapat empat faktor yang konsisten berpengaruh terhadap kesejahteraan keluarga yaitu pendidikan, kondisi tempat tinggal, harga, dan pengeluaran. Menurut Iskandar (2007), aspek karakteristik keluarga, aspek sosoal ekonomi, aspek lingkungan eksternal, serta aspek manajemen sumberdaya keluarga berpengaruh terhadap kesejahteraan keluarga. Konsisten dengan pernyataan tersebut hasil studi menunjukkan bahwa jumlah anggota keluarga, umur suami, pendidikan suami, pendidikan istri, pendapatan, tabungan, dan kepemilikan aset, serta adanya perencanaan dalam keluarga berpengaruh terhadap kesejahteraan keluarga. Selain itu, hasil penelitian Lee dan Hanna (1990) dalam Iskandar (2007) menunjukkan bahwa kesejahteraan keluarga dipengaruhi oleh usia, pendidikan, status perkawinan, pekerjaan, tempat tinggal, ukuran rumah tangga, dan siklus hidup.

Gambar

Tabel 1. Perilaku coping berdasarkan keseriusan situasi dan kapasitas coping  strategy
Gambar 1  Kerangka Pemikiran Kajian Ketahanan Keluarga Nelayan: Pemenuhan  Pangan dan Perumahan Sebagai Indikator Kesejahteraan Keluarga di  Daerah Rawan Bencana
Gambar 2 Kerangka Sampling Penelitian
Tabel 2  Jenis dan Cara Pengambilan Data, Variabel, Responden, Alat, dan Cara  Pengukuran serta Skala Data
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dari studi keanekaragaman yang telah dilakukan, secara keseluruhan ditemukan 17 jenis Zingiberaceae di kawasan Cagar alam Rimbo Panti, Sumatera Barat

Jaringan adalah sistem yang saling berhubungan antara perangkat komputer, telepon, atau komunikasi lain sehingga dapat berkomunikasi dengan satu.. sama lain dan berbagi aplikasi

Berdasarkan hasil pengujian aplikasi dengan 10 contoh kasus permasalahan mendapatkan hasil akurasi sebesar 90% pada kedua model perhitungan algoritma greedy dalam mencari

Subsidy Ratio to Producers (SRP) adalah ukuran dari gabungan seluruh transfer effects yang terjadi. Rasio ini adalah perbandingan antara nilai net transfer

dibanding tingkat pengangguran pada kalangan lulusan SMA yang berada pada angka

[r]

standar biaya tersebut di atas tidak tersedia pada waktu tertentu, maka harga satuan bangunan dapat dihitung dengan rumus Future Value (FV = Nilai uang yang akan

Pengolahan data pada penelitian ini akan menggunakan analisis data secara kualitatif dan kuantitatif, sesuai dengan pendapat Arikunto (2002:18) bahwa teknik pengolahan