• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. dimanfaatkan sebagai instrument memakmurkan rakyat adalah mineral dan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. dimanfaatkan sebagai instrument memakmurkan rakyat adalah mineral dan"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia dianugerahi sumber daya alam yang berlimpah yang dapat digunakan untuk kemakmuran rakyat. Salah satu sumber daya alam yang dapat dimanfaatkan sebagai instrument memakmurkan rakyat adalah mineral dan batubara (Minerba). Mengingat bahwa mineral dan batubara merupakan kekayaan alam yang tak terbarukan yang mempunyai peran penting dalam meningkatkan perekonomian nasional dan pembangunan daerah secara berkelanjutan serta mencapai kemakmuran dan kesejahteraan rakyat secara berkeadilan maka pengelolaan dan pemanfaatan Minerba harus dilakukan dengan optimal dan

semaksimal mungkin.2

Menurut Survei Geologi Amerika Serikat (USGS) Indonesia menduduki peringkat ke-6 sebagai negara yang kaya akan sumber daya tambang. Selain itu, dari potensi bahan galiannya untuk batubara, Indonesia menduduki peringkat ke-3 untuk ekspor batubara, peringkat ke-2 untuk produksi timah, peringkat ke-2 untuk produksi tembaga, peringkat ke-6 untuk produksi emas. Berbagai macam bahan tambang tersebar di seluruh wilayah Nusantara, dari sabang sampai merauke, mulai dari emas, timah, tembaga, perak, intan, batubara, minyak, bauksit, dan lain-lain. Berdasarkan data USGS, cadangan emas Indonesia berkisar 2,3% dari cadangan emas dunia. Dengan cadangan sebesar itu, Indonesia menduduki peringkat ke-7, sedangkan produksinya sekitar 6,7% dari produksi emas dunia dan menduduki peringkat ke-6. Sementara itu, posisi cadangan timah Indonesia

2

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, konsideran.

(2)

menduduki peringkat ke-5, yakni sebesar 8,1% dari cadangan timah dunia. Cadangan tembaga Indonesia sekitar 4,1% dari cadangan tembaga dunia, dan merupakan peringkat ke-7 sedangkan dari sisi produksi adalah 10,4% dari produksi dunia dan merupakan peringkat ke-2. Potensi nikel Indonesia juga luar biasa. Cadangan nikel Indonesia mencapai sekitar 2,9% dari cadangan nikel dunia, dan merupakan peringkat ke-8, sedangkan produksinya 8,6% dan merupakan

peringkat ke-4 dunia.3

Ketiadaan pengetahuan, modal, dan teknologi yang memadai untuk menggali dan mengolahnya, membuat sumber daya mineral dan batubara belum memilki manfaat yang berarti. Padahal, kekayaan bahan tambang, khususnya mineral, apabila diproses lebih lanjut dapat menghasilkan bahan baru yang lebih bermanfaat dan bernilai jual tinggi.

4

Masih rendahnya manfaat ekonomi yang diperoleh negara selama ini antara lain dapat dilihat dari nilai penerimaan negara bukan panjak (PNBP) mineral.

Tabel 1

Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) sektor Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sumber : http://www.majalahglobalreview.com/industri/pertambangan/13-pertambangan /105-tataniaga-ekspor-untuk-hilirisasi-minerba.html 3 http: / / w w w . i m a - a p i . c o m / i n d e x . p h p ? o p t i o n = c o m _ c o n t e n t & v i e w = article&id=1937:potensi-dan-tantangan-pertambangan-di-indonesia&catid=47:media-news&Itemid=98&lang=id (diakses tanggal 9 Desember 2014)

4

Sukandarrumidi, Memahami Pengelolaan Bahan Tambang di Indonesia: Referensi

Undang-Undang Minerba Nomor 4 Tahun 2009 (Yogyakarta: Yayasan Pustaka Nusantara, 2010),

hlm.25.

NO TAHUN PERTAMBANGAN UMUM MIGAS TOTAL

MINERAL BATU BARA

1 2007 Rp. 2.94 triliun Rp. 5.75 triliun Rp. 134.5 triliun Rp. 143.2 triliun

(3)

Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945) Pasal 33 ayat (3) menegaskan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Mengingat mineral dan batubara sebagai kekayaan alam yang terkandung di dalam bumi merupakan sumber daya alam yang tidak terbarukan, pengelolaannya perlu dilakukan seoptimal mungkin, efisien, transparan, berkelanjutan, dan berwawasan lingkungan, serta berkeadilan agar memperoleh manfaat sebesar-besar bagi kemakmuran rakyat secara

berkelanjutan.5 Mahkamah Konstitusi memberikan penafsiran terhadap klausul

“dikuasai negara” dimana mencakup makna penguasaan oleh negara dalam arti luas yang bersumber dan diturunkan dari konsepsi kedaulatan negara rakyat Indonesia atas segala sumber kekayaan “bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, termasuk pula di dalamnya pengertian kepemilikan publik oleh kolektivitas rakyat atas sumber-sumber kekayaan yang dimaksud. Rakyat secara kolektif itu dikonstruksikan oleh UUD 1945 memberikan mandat kepada negara untuk melakukan fungsinya dalam mengadakan kebijakan (beleid) dan tindakan pengurusan (bestuursdaad), pengaturan (regelendaad), pengelolaan (beheersdaad), dan pengawasan (toezichtoudensdaad) untuk tujuan

sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.6

Kondisi pengelolaan sumber daya alam, khususnya sumber daya mineral di Indonesia saat ini sebagian besar diekspor masih dalam bentuk bahan mentah, tanpa dilakukan pengolahan dan/atau pemurnian terlebih dahulu. Di sisi lain,

5

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, Penjelasan Umum

6

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 01-021-022/PUU-I/2003 tentang Pengujian UU Nomor 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan

(4)

beberapa industri pengolahan yang menggunakan sumber daya mineral sebagai bahan baku utama ataupun penunjang masih merupakan produk impor. Kondisi tersebut mengakibatkan sumber daya mineral tidak menghasilkan nilai tambah

(value-added) secara langsung sebagaimana yang diharapkan.7

Peningkatan nilai tambah adalah usaha untuk meningkatkan nilai keekonomian suatu hasil tambang melalui teknologi pengolahan dan pemurnian sehingga menghasilkan dampak pada kemanfaatan lebih tinggi pada produk yang dihasilkan dan memberikan multiplier-effect pada pengembangan industri hilir

terkait.8 Multiplier-effect yang dimaksud terdiri dari meningkatkan pendapatan

rumah tangga untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, meningkatkan surplus usaha untuk menarik minat investor menanamkan modalnya, meningkatkan pendapatan pajak untuk menaikkan kemampuan dan kemandirian fiskal bagi pemerintah pusat dan daerah, memperluas lapangan pekerjaan bagi masyarakat sekaligus mengurangi pengangguran, dan adanya nilai tambah total untuk memacu pertumbuhan ekonomi. Dasar filosofis peningkatan nilai tambah pada produk akhir dari usaha pertambangan adalah untuk meningkatkan dan mengoptimalkan nilai tambang, menyediakan bahan baku industri, menyerap

tenaga kerja, dan meningkatkan penerimaan negara.9

Kebijakan peningkatan nilai tambah hasil penambangan mineral di dalam negeri melalui kegiatan pengolahan dan pemurnian sebenarnya telah dikenal pada saat berlakunya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang

7

Suryartono, dkk., Good Mining Practice: Konsep Tentang Pengelolaan Pertambangan

Yang Baik dan Benar (Semarang: Studi Nusa,2003), hlm.191.

8

Juwita, Catherine, "Perbedaan Pengaturan Peningkatan Nilai Tambah Melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian di Dalam Negeri Menurut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan Batubara dan Dampaknya Terhadap Investasi Pertambangan Tembaga di Indonesia (Studi Kasus: Kontrak Karya PT Freeport Indonesia Company)," (Skripsi Sarjana Ilmu Hukum, Universitas Indonesia, 2013), hlm.66.

9

(5)

Ketentuan Pokok Pertambangan, meskipun memang tidak dituangkan secara tegas tentang bagaimana mekanisme dan tatacaranya. Ketentuan Pasal 2 huruf f Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 misalnya telah dikemukakan definisi pengolahan dan pemurnian sebagai “pekerjaan untuk mempertinggi mutu bahan galian serta untuk memanfaatkan dan memperoleh unsur-unsur yang terdapat pada

bahan galian itu”.10 Penjelasan Pasal 15 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967

juga menyatakan bahwa: “Pengolahan dan pemurnian sejauh mungkin harus

diusahakan untuk dilakukan di dalam negeri”.11

Praktik dan pengaturan lebih lanjut terkait dengan kewajiban tersebut dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 diarahkan kepada perusahaan-perusahaan pemegang Kontrak Karya. Investor Asing yang ingin berinvestasi di sektor mineral melaksanakan usahanya dalam bentuk Kontrak Karya yang di dalamnya tertuang ketentuan yang mewajibkan perusahaan untuk meningkatkan nilai tambah mineral di dalam negeri dalam rangka mendukung pembangunan sektor hilir pertambangan. Sedangkan bagi perusahaan nasional dalam bentuk Kuasa Pertambangan (KP) belum diatur kewajiban untuk melakukan peningkatan

nilai tambah mineral lewat kegiatan pengolahan dan pemurnian.12

Seiring dengan berkembangnya kegiatan pertambangan di Indonesia, banyak permasalahan dan tantangan yang tidak dapat ditanggulangi oleh Undang-Undang Nomor 11 tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan

10

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan, Pasal 2 huruf f.

11

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang

Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan, Penjelasan Pasal 15. 12

Prasetyo, Sony Heru, “Analisis Terhadap Pelaksanaan Kewajiban Penyesuaian Kontrak Karya Pertambangan di Indonesia dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara Terkait Kewajiban Peningkatan Nilai Tambah Hasil Penambangan Mineral di Dalam Negeri; Studi Kasus Kontrak Karya PT Newmont Nusa Tenggara,” (Tesis Magister Ilmu Hukum ,Universitas Indonesia, 2013), hlm.48.

(6)

sehingga diperlukan perubahan peraturan perundangan-undangan bidang pertambangan mineral dan batubara yang dapat mengolah dan mengusahakan potensi mineral dan batubara secara mandiri, andal, transparan, berdaya saing, efisien, berwawasan lingkungan, guna menjamin pembangunan nasional secara

berkelanjutan dalam pengaturan pertambangan di Indonesia.13

Lahirnya UU Minerba pada tanggal 12 Januari 2009 membawa pengaruh besar terhadap kebijakan peningkatan nilai tambah hasil tambang di Indonesia. Dalam UU Minerba kebijakan peningkatan nilai tambah hasil tambang diberlakukan untuk seluruh perusahaan pertambangan dalam bentuk Izin Usaha Pertambangan (IUP) atau Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) tanpa membedakan status penanaman modal perusahaan pemegang IUP atau IUPK tersebut. Hal tersebut dapat dilihat di ketentuan Pasal 102 UU Minerba menyatakan bahwa: “Pemegang IUP dan IUPK wajib meningkatkan nilai tambah sumber daya mineral dan/atau batubara dalam pelaksanaan penambangan, pengolahan dan pemurnian, serta pemanfaatan mineral dan batubara”. Sedangkan Pasal 103 ayat (1) UU Minerba menyatakan bahwa: “Pemegang IUP dan IUPK Operasi Produksi wajib melakukan pengolahan dan pemurnian hasil penambangan di dalam negeri”. Pasal 170 menyatakan bahwa: “Pemegang kontrak karya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 169 yang sudah berproduksi wajib melakukan pemurnian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 103 ayat (1) selambat-lambatnya 5 (lima) tahun sejak Undang-Undang ini diundangkan.”

Untuk menjawab persoalan tersebut maka lahirlah Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (selanjutnya disebut sebagai UU Minerba).

13

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, konsideran bagian c.

(7)

Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut maka dapat dikatakan bahwa semua penambang yang menambang hasil tambang di Indonesia baik yang berbentuk IUP, IUPK, dan kontrak karya (KK) wajib melakukan peningkatan nilai tambah mineral dan/atau batubara di dalam negeri, tetapi terdapat perbedaan waktu dalam melakukan peningkatan nilai tambah tersebut dimana ketentuan Pasal 170 UU Minerba diatas memberikan pengertian bahwa setiap Pemegang Kontrak Karya, khususnya yang telah berproduksi untuk segera merencanakan dan membangun fasilitas pemurnian (smelter) dalam negeri. Mengingat waktu yang dibutuhkan untuk membangun smelter tidak seketika dan membutuhkan dukungan dari berbagai faktor seperti, investasi, ketersediaan infrastruktur, sumber daya energi yang mencukupi. Pemerintah memberikan jangka waktu selama 5 (lima) tahun sejak berlakunya UU Minerba ini, dengan kata lain fasilitas pemurnian tersebut sudah harus beroperasi paling lambat sampai dengan 12 Januari 2014. Tetapi jangka waktu tersebut tidak berlaku bagi pemegang IUP dan IUPK Operasi Produksi karena kewajiban peningkatan nilai tambah mineral dan batubara bagi pemegang IUP dan IUPK Operasi Produksi berlaku seketika sejak

diberlakukannya UU Minerba.14

Konsekuensi logis dari Pasal 102 dan 103 UU Minerba yang menyatakan bahwa pemegang IUP dan IUPK Operasi Produksi wajib melakukan peningkatan Mengabaikan kewajiban Pasal 102, 103, dan 170 UU Minerba, para pengusaha penambang lebih memilih meningkatkan ekspor bijih (raw material atau ore) daripada membangun fasilitas pengolahan dan pemurnian di dalam negeri yang menyebabkan terjadinya peningkatan yang sangat tajam terhadap volume ekspor bijih (raw material atau ore).

14

Sony Keraf, Risalah Sidang Mahkamah Konstitusi perkara nomor 10/PPU-XII/2014 tanggal 22 September 2014, hlm.6.

(8)

nilai tambah terhadap produksi tambangnya dan peningkatan nilai tambah tersebut wajib dilakukan di dalam negeri, maka konsekuensinya adalah ekspor terhadap mineral mentah harus dilarang. Sebab kalau tidak dilarang, maka adanya norma yang mengatur bahwa pengolahan dan pemurnian wajib dilakukan di dalam negeri

menjadi tidak ada artinya.15

“peningkatan nilai tambah sumber daya mineral yang dihasilkan, yang menurut Undang-Undang, harus dilakukan dengan melakukan pengolahan dan pemurnian hasil pertambangan di dalam negeri dan dengan demikian Pemerintah dalam regulasinya melarang ekspor bijih (raw material atau ore) adalah wajar oleh karena pengolahan dan pemurnian hasil pertambangan di dalam negeri dapat dilakukan manakala bijih (raw material atau ore) tersedia di dalam negeri dan untuk itu maka ekspor bijih( raw material atau ore) dilarang. Hal tersebut adalah wajar dan benar dengan mendasarkan pada fakta bahwa tersedianya bijih (raw

material atau ore) yang harus diolah di dalam negeri tersebut dapat

dijamin manakala ekspor bijih (raw material atau ore) dilarang.”

Mahkamah Konstitusi dalam putusannya terhadap perkara Nomor 10/PUU-XII/2014 menyatakan sebagai berikut:

16

Berdasarkan hal tersebut dapat diketahui bahwa pelarangan ekspor mineral mentah merupakan konsekuensi logis dari kewajiban peningkatan nilai tambah mineral dan batubara di dalam negeri. Dimana kewajiban peningkatan nilai tambah hasil penambangan tersebut dapat terlaksana jika ekspor terhadap mineral mentah dilarang. Pelarangan ekspor mineral mentah adalah larangan penjualan bijih (raw material atau ore) ke luar negeri tanpa proses pengolahan dan/atau pemurnian terlebih dahulu sampai batas tertentu di dalam negeri, dengan kata lain bijih (raw material atau ore) harus diolah dan/atau dimurnikan terlebih dahulu sampai batas tertentu sebelum dapat dijual ke luar negeri atau diekspor. Guna memperkuat kebijakan pelarangan ekspor bijih (raw material atau ore)

15

Yusril Ihza Mahendra, Risalah Sidang Mahkamah Konstitusi perkara nomor 10/PUU-XII/2014 tanggal 1 September 2014, hlm.7.

16

Putusan Mahkamah Konstitusi, perkara nomor 10/PPU-XII/2014 tanggal 23 Oktober 2014, hlm.175.

(9)

pemerintah mengeluarkan berbagai perangkat peraturan untuk mendukung kebijakan tersebut. Pada 11 Januari 2014 Pemerintah mengeluarkan 4 (empat) peraturan terkait pelarangan ekspor bijih (raw material atau ore).

Pertama, Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan

Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 Tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batuba; kedua, Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 1 Tahun 2014 tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral Melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian di Dalam Negeri;

ketiga, Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 04/M-DAG/PER/1/2014 tentang

Ketentuan Ekspor Produk Pertambangan Hasil Pengolahan dan Pemurnian;

keempat, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 153 / PMK.011 / 2014 Tentang

Perubahan Ketiga Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 75 / PMK.011 / 2012 Tentang Penetapan Barang Ekspor Yang dikenakan Bea Keluar Dan Tarif Bea Keluar.

Penerapan kebijakan pelarangan ekspor bijih (raw material atau ore) ternyata menimbulkan berbagai permasalahan yang diantaranya adalah terjadinya pemutusan hubungan kerja (PHK) massal hal ini dikarenakan beberapa

perusahaan tambang tidak sanggup membangun smelter.17

17

Hilirisasi Berbuntut PHK Massal,

Sebagai akibat tidak adanya smelter, terjadi penumpukan hasil tambang di berbagai wilayah pertambangan karena tidak dapat di ekspor ke luar negeri, yang menyebabkan pendapatan perusahaan berkurang dan untuk mengurangi beban pengeluaran, perusahaan memberhentikan sejumlah pegawainya untuk dapat tetap beroperasi.

http://arsip.tambang.co.id/print.php?category=18&newsnr=8652 (diakses tanggal 25 Februari 2015).

(10)

Terkait dengan pelarangan ekspor bijih (raw material atau ore ) PT Newmont Nusa Tenggara mengajukan gugatan arbitrase internasional terhadap pemerintah Indonesia. Menurut Newmont, pengenaan ketentuan baru terkait ekspor, bea keluar, serta larangan ekspor konsentrat tembaga yang akan dimulai Januari 2017, yang diterapkan kepada Newmont oleh pemerintah tidak sesuai dengan Kontrak Karya (KK) serta perjanjian investasi bilateral antara Indonesia

dan Belanda.18

Tidak berhenti sampai disitu pembatasan ekspor mineral mentah diindikasikan melanggar ketentuan dalam Pasal XI:1 GATT yang mengatur mengenai penghapusan hambatan kuantitatif. Dalam Pasal tersebut, setiap negara diharuskan melakukan penghapusan peraturan yang membatasi jumlah dari barang yang akan diimpor atau diekspor. Hambatan ini dapat juga berbentuk

larangan impor atau ekspor secara umum.19

Pembatasan ekspor sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui, dalam hal ini mineral, dapat dilakukan oleh Negara anggota GATT apabila sesuai pengecualian umum yang diatur di dalam Pasal XX huruf g GATT. Dalam Pasal tersebut terdapat 3 (tiga) prasyarat, yaitu:

1. Tujuan kebijakan yang ingin dicapai haruslah untuk menjaga kelestarian sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui;

2. Tindakan tersebut haruslah berhubungan dengan tujuan kebijakan tersebut; dan

18

Newmont gugat Repubik Indonesia, http://bisnis.news.viva.co.id/news/read/517791-dilarang-ekspor-minerba-mentah--newmont-gugat-ri-ke-arbitrase (diakses tanggal 26 Februari 2015).

19

Pratama, Agi Gilang, “Analysis of Juridical Concerning Non-Tariff Barriers

Indications Against Ministerial Energy and Mineral Resources Decree No.7 year 2012 about the Increase in Mineral Added Value Through the Mineral Processing and Refining Activity,” Diponegoro Law Review, Volume 1, No.2, 2013, hlm.7.

(11)

3. Tindakan tersebut haruslah diberlakukan secara bersama-sama dengan

larangan terhadap produksi atau konsumsi domestik.20

Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka tulisan skripsi ini diberi judul: “Aspek Hukum Pelarangan Ekspor Mineral Mentah Terkait Dengan Prinsip-Prinsip General Agreement On Tariffs And Trade (GATT)”.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang permasalahan sebagaimana diuraikan di atas, dapat dikemukakan pokok permasalahan dalam penelitian ini sebagai berikut: 1. Bagaimanakah pelarangan ekspor mineral mentah berdasarkan hukum positif

Indonesia?

2. Bagaimanakah penyelesaian sengketa yang terjadi antara pengusaha pertambangan dengan pemerintah akibat diterapkannya kebijakan pelarangan ekspor mineral mentah?

3. Bagaimanakah kedudukan kebijakan pelarangan ekspor mineral mentah terkait dengan prinsip-prinsip General Agreement on Tariffs and Trade (GATT)?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan penulisan yang diperoleh dari penulisan skripsi ini adalah:

1. Untuk memahami pengaturan pelarangan ekspor mineral mentah berdasarkan hukum positif Indonesia.

2. Untuk memahami penyelesaian sengketa yang terjadi antara pengusaha pertambangan dengan pemerintah akibat diterapkannya kebijakan pelarangan ekspor mineral mentah.

20

(12)

3. Untuk memahami kedudukan kebijakan pelarangan ekspor mineral mentah terkait dengan prinsip-prinsip General Agreement on Tariffs and Trade

(GATT).

Selain itu, penulisan skripsi ini juga ditujukan sebagai pemenuhan tugas akhir dalam memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Adapun manfaat penulisan yang diperoleh dari penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:

1. Secara teoritis

Secara teoritis, pembahasan terhadap pelarangan ekspor mineral mentah terkait dengan prinsip-prinsip General Agreement On Tariffs and Trade (GATT) ini akan memberikan pemahaman dan pengetahuan baru bagi para pembaca mengenai pelarangan ekspor mineral mentah, penyelesaian sengketa yang terjadi akibat dari kebijakan tersebut, serta kedudukan kebijakan tersebut terhadap prinsip-prinsip GATT.

2. Secara praktis

Penulisan ilmiah ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi para pembaca terutama bagi para pihak yang berkecimpung di dunia pertambangan Indonesia, juga sebagai bahan bagi para akademisi dalam menambah wawasan dan pengetahuan mengenai kebijakan pelarangan ekspor mineral mentah di Indonesia.

D. Keaslian Penulisan

Karya ilmiah penulis, skripsi ini, adalah asli dan belum pernah diajukan untuk mendapat gelar akademik (Sarjana) baik di Universitas Sumatera Utara maupun di Perguruan Tinggi lainnya. Judul karya ilmiah Penulis ini telah

(13)

diperiksa oleh Perpustakaan Universitas Cabang FH USU/ Pusat Dokumentasi dan Informasi Hukum FH USU dan tidak ada judul yang sama dan tidak terlihat adanya keterkaitan.

Dilihat dari permasalahan dan tujuan yang hendak dicapai dengan penulisan skripsi ini, maka dapat diketahui semua yang tertuang di dalam skripsi ini adalah asli dan bukan hasil jiplakan dari skripsi yang telah ada, dan diperoleh melalui hasil pemikiran para pakar dan praktisi, referensi, buku-buku, makalah-makalah dari bahan-bahan seminar, serta bantuan dari berbagai pihak, berdasarkan pada asas-asas keilmuan yang jujur, rasional dan terbuka. Semua ini adalah merupakan implikasi dari proses penemuan kebenaran ilmiah, maka dari itu penulisan skripsi ini dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah maupun secara akademik.

E. Tinjauan Pustaka

1. Pelarangan ekspor mineral mentah

Pasal 1 angka 2 UU Minerba menyatakan “Mineral adalah senyawa anorganik yang terbentuk di alam, yang memiliki sifat fisik dan kimia tertentu serta susunan kristal teratur atau gabungannya yang membentuk batuan, baik

dalam bentuk lepas atau padu.”21 Senyawa anorganik adalah semua

elemen-elemen atau unsur yang sudah bersatu padu di dalam alam.22 Definisi Mentah

adalah belum diolah, belum jadi.23

21

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, Pasal 1 angka 2.

Bijih adalah kumpulan mineral yang

22

Salim Hs, Op.Cit., hlm.39. 23

Budiono, MA, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia (Surabaya: Karya Agung, 2005), hlm.339.

(14)

mengandung 1 (satu) logam atau lebih yang dapat diolah secara

menguntungkan.24 Dalam bahasa Inggris Bijih diartikan juga sebagai Ore.25

Mineral terbagi atas 4 (empat) golongan, yaitu: 1. mineral radioaktif;

2. mineral logam;

3. mineral bukan logam; dan

4. batuan. 26

Mineral golongan radioaktif tidak termasuk dalam golongan komoditas

tambang mineral yang dapat ditingkatkan nilai tambahnya.27 Nilai Tambah adalah

pertambahan nilai mineral sebagai hasil dari proses pengolahan dan/atau

pemurnian mineral.28 Peningkatan Nilai Tambah adalah peningkatan nilai mineral

melalui kegiatan pengolahan dan/atau pemurnian sehingga menghasilkan manfaat

ekonomi, sosial dan budaya.29 Pengolahan dan Pemurnian adalah kegiatan usaha

pertambangan untuk meningkatkan mutu mineral dan/atau batubara serta untuk

memanfaatkan dan memperoleh mineral ikutan.30

24

Republik Indonesia, Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral Melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian Mineral di Dalam Negeri, Pasal 1 Angka 6.

25

Jhon M; Echols, Hassan Shadily, Kamus Inggris-Indonesia (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2003), hlm.408.

26

Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 Tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara, Pasal 2.

27

Republik Indonesia, Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral Melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian Mineral di Dalam Negeri, Pasal 2 angka 1.

28

Republik Indonesia, Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 1

Tahun 2014 Tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral Melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian Mineral di Dalam Negeri, Pasal 1 angka 12.

29

Republik Indonesia, Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 1

Tahun 2014 Tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral Melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian Mineral di Dalam Negeri, Pasal 1 Angka 13.

30

Republik Indonesia, Undang-Undang No.4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, Pasal 1 Angka 20.

(15)

Ekspor adalah kegiatan mengeluarkan barang dari daerah pabean.31 Daerah Pabean adalah wilayah Republik Indonesia yang meliputi wilayah darat, perairan dan ruang udara di atasnya, serta tempat-tempat tertentu di Zona Ekonomi Eksklusif dan Landas Kontinen yang didalamnya berlaku

Undang-Undang Kepabeanan.32

Produk Pertambangan yang berasal dari mineral logam, mineral bukan logam, dan batuan dalam bentuk ore dan belum mencapai batasan minimum

pengolahan dan / atau pemurnian dilarang diekspor.33

Pelarangan ekspor bijih (raw material atau ore) bertujuan untuk menjamin ketersediaan bijih (raw material atau ore) di dalam negeri sehingga dapat dilakukan pengolahan dan pemurnian terlebih dahulu terhadap bijih (raw

material atau ore) tersebut untuk meningkatkan nilai tambahnya sebelum

diekspor.

Pelarangan ekspor mineral mentah adalah larangan terhadap ekspor mineral yang belum diolah atau dimurnikan terlebih dahulu di dalam negeri.

34

31

Republik Indonesia, Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 04/M-DAG/PER/1/2014 tentang Ketentuan Ekspor Produk Pertambangan Hasil Pengolahan dan Pemurnian, Pasal 1 angka 1.

Terkait dengan kebijakan pengendalian penjualan bijih (raw material atau ore) Mineral ke luar negeri serta dalam rangka meningkatkan nilai tambah dan ketersediaan sumber daya mineral di dalam negeri, perlu mengatur mengenai bea keluar terhadap barang ekspor berupa bijih (raw material atau ore) mineral. Bea keluar adalah pungutan negara berdasarkan Undang-undang Kepabeanan

32

Pengertian Daerah Pabean,

http://www.beacukai.go.id/index.html?page=faq/pengertian-daerah-pabean.html (diakses tanggal 28 Februari 2015).

33

Republik Indonesia, Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 04/M-DAG/PER/1/2014 tentang Ketentuan Ekspor Produk Pertambangan Hasil Pengolahan dan Pemurnian, Pasal 2 angka 3.

34

(16)

yang dikenakan terhadap barang ekspor.35

2. Penyelesaian sengketa bidang pertambangan

Barang ekspor yang dimaksud dalam hal ini adalah mineral yang telah diolah atau dimurnikan terlebih dahulu.

Pertambangan adalah sebagian atau seluruh tahapan kegiatan dalam rangka penelitian, pengelolaan dan pengusahaan mineral atau batubara yang meliputi penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan, serta

kegiatan pasca tambang.36

Sengketa tambang adalah Sengketa atau konflik atau pertentangan yang terjadi dalam pelaksanaan kegiatan pertambangan.

37

Ayat 1, dalam hal terjadi sengketa di bidang penanaman modal

antara Pemerintah dengan penanam modal, para pihak terlebih dahulu menyelesaikan sengketa tersebut melalui musyawarah dan mufakat.

Dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal ketentuan mengenai penyelesaian sengketa penanaman modal asing diatur dalam Pasal 32 ayat 1,2 dan 4 yaitu:

Ayat 2, dalam hal penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) tidak tercapai, penyelesaian sengketa tersebut dapat dilakukan melalui arbitrase atau alternative penyelesaian sengketa atau pengadilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Ayat 4, dalam hal terjadi sengketa di bidang penanaman modal

antara Pemerintah dengan penanam modal asing, para pihak akan menyelesaikan sengketa tersebut melalui arbitrase internasional yang harus disepakati oleh para pihak.

Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara

35

Republik Indonesia, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 153 / PMK.011 / 2014 Tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 75 / PMK.011 / 2012 Tentang Penetapan Barang Ekspor Yang dikenakan Bea Keluar Dan Tarif Bea Keluar, Pasal 1 angka 2.

36

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, Pasal 1 angka 1.

37

(17)

tertulis oleh para pihak yang bersengketa.38 Alternatif Penyelesaian Sengketa adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara

konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli.39

3. Prinsip-Prinsip General Agreement On Tariffs and Trade (GATT)

Untuk mencapai tujuan-tujuannya, GATT berpedoman pada lima prinsip utama. Prinsip yang dimaksud adalah sebagai berikut:

a. Prinsip Non-Diskriminasi (Non-Discrimination Principle)

Prinsip ini meliputi: Prinsip Most Favoured Nation (MFN Principle), dan

Prinsip National Treatment (NT Principle).40

1) Prinsip Most Favoured Nation (MFN)

Prinsip ini diatur dalam Article 1 section (1) GATT 1947, yang berjudul

General Favoured Nation Treatment, merupakan prinsip Non

Diskriminasi terhadap produk sesama negara-negara anggota WTO.41

Menurut prinsip ini, semua negara anggota terikat untuk memberikan negara-negara lainnya perlakuan yang sama dalam pelaksanaan dan

kebijakan impor dan ekspor serta menyangkut biaya-biaya lainnya.42

2) Prinsip National Treatment (NT)

Prinsip ini diatur dalam Article III GATT 1947, berjudul “National

Treatment on International Taxation and Regulation”, yang menyatakan

bahwa, ”this standard provides for inland parity that is say equality for

38

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Pasal 1 angka 1.

39

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan

Alternatif Penyelesaian Sengketa, Pasal 1 angka 10. 40

Muhammad Sood, Hukum Perdagangan Internasional (Jakarta: Rajawali Press, 2012), hlm.41.

41

Ibid.

42

(18)

treatment between nation and foreigners”.43 Berdasarkan ketentuan diatas, bahwa prinsip ini tidak menghendaki adanya diskriminasi antar produk

serupa dari luar negeri.44

b. Prinsip resiprositas (Reciprocity Principle)

Prinsip resiprositas (Reciprocity Principle) yang diatur dalam Article II

GATT 1947, mensyaratkan adanya perlakuan timbal balik di antara sesama

negara anggota WTO dalam kebijaksanaan perdagangan internasional.45

c. Prinsip penghapusan hambatan kuantitatif (Prohibition of Quantitative

Restriction)

Prinsip ini telah diatur dalam Article IX GATT 1947, menghendaki transparasi dan penghapusan hambatan kuantitatif dalam perdagangan internasional. Hambatan kuantitatif dalam persetujuan GATT/WTO adalah

hambatan perdagangan yang bukan merupakan tarif atau bea masuk.46

Ketentuan dasar GATT adalah larangan restriksi kuantitatif yang merupakan rintangan terbesar terhadap GATT. Restriksi kuantitatif terhadap ekspor atau impor dalam bentuk apa pun (misalnya penetapan kuota impor atau ekspor, restriksi penggunaan lisensi impor atau ekspor), pada umumnya

dilarang (Pasal IX).47

43

Ibid.,hlm.43.

Namun demikian, dalam pelaksanaannya, hal tersebut dapat dilakukan dalam hal: pertama, untuk mencegah terkurasnya produk-produk esensial di negara pengekspor; kedua, untuk melindungi pasar dalam negeri khususnya yang menyangkut produk pertanian dan perikanan; ketiga;

44 Ibid. 45 Ibid., hlm.45. 46 Ibid., hlm.46. 47

Huala Adolf, Hukum Perdagangan Internasional (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006), hlm.113.

(19)

untuk mengamankan, berdasarkan escape clause (Pasal XIX), meningkatnya impor yang berlebihan(increase of imports) di dalam negeri sebagai upaya untuk melindungi, misalnya, terancamnya produksi dalam negeri; keempat,

untuk melindungi neraca pembayaran (luar negerinya) (Pasal XII).48

d. Prinsip perdagangan yang adil (Fairness Principle)

Prinsip fairness dalam perdagangan internasional yang melarang

Dumping (Article VI) dan Subsidi (Article XVI), dimaksudkan agar jangan

sampai terjadi suatu negara menerima keuntungan tertentu dengan melakukan kebijaksanaan tertentu, sedangkan di pihak lain, kebijaksanaan tersebut justru

menimbulkan kerugian bagi negara lainnya.49

e. Prinsip tarif mengikat (Binding Tarif Principle)

Prinsip ini diatur dalam Article II section (2) GATT-WTO 1995, bahwa setiap negara anggota WTO harus memenuhi berapapun besarnya tarif yang

telah disepakatinya atau disebut dengan prinsip tarif mengikat.50

F. Metode Penelitian

Setiap penulisan haruslah menggunakan metode penelitian yang sesuai dengan bidang yang diteliti. Adapun metode yang digunakan dalam penelitian dapat dijelaskan sebagai berikut:

1. Jenis penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam skripsi ini disesuaikan dengan permasalahan-permasalahan yang dibahas di dalamnya yaitu penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif adalah penelitian yang dilakukan dengan

48

Ibid.

49

Muhammad Sood, Op.Cit.,hlm.47. 50

(20)

cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka.51

2. Data penelitian

Jenis penelitian hukum yang digunakan dalam skripsi ini adalah penelitian normatif karena sumber penulisan yang didasarkan pada data sekunder yang diperoleh dari studi kepustakaan , peraturan perundang-undangan, dan data penelitian yang dilakukan oleh lembaga resmi atau pihak lain.

Data yang dipergunakan berupa data sekunder. Adapun data sekunder yang dimaksudkan adalah sebagai berikut:

a. Bahan hukum primer, yaitu berupa peraturan perundang-undangan yang terdiri dari Undang-Undang Dasar, Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri dan Perjanjian Internasional. Adapun bahan hukum primer ini terdiri dari Undang-Undang yang berkaitan langsung dengan Pelarangan Ekspor Mineral Mentah yaitu Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan kedua Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara. Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 04/M-DAG/PER/1/2014 tentang Ketentuan Ekspor Produk Pertambangan Hasil Pengolahan dan Pemurnian dan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 1 Tahun 2014 tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral Melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian Mineral di Dalam Negeri. Peraturan Menteri Keuangan No.6/PMK.011.2014 tentang

51

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan

(21)

Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 75/PMK.011/2012 tentang Penetapan Barang Ekspor yang Dikenakan Bea Keluar dan Tarif Bea Keluar. Perjanjian Perdagangan Multilateral atau

General Agreement on Tariffs and Trade (GATT)

b. Bahan hukum sekunder, yaitu buku-buku hukum, karya tulis ilmiah ataupun buku lain yang terkait dengan tulisan ini. Seperti seminar hukum, majalah-majalah, jurnal, pidato, dan beberapa sumber dari situs internet yang berkaitan dengan persoalan di atas.

c. Bahan hukum tersier merupakan semua dokumen yang berisi konsep-konsep dan keterangan-keterangan yang mendukung bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder yaitu kamus dan ensiklopedia.

3. Teknik pengumpulan data

Dalam memperoleh bahan-bahan guna menyusun skripsi ini agar tujuan dapat lebih terarah dan dipertanggungjawabkan, maka penulis menggunakan metode pengumpulan data dengan cara studi kepustakaan (Library Research) yang mempelajari dan menganalisis secara sistematis seperti: peraturan perundang-undangan, buku-buku, majalah, internet, pendapat sarjana, karya tulis ilmiah dan berbagai bahan lainnya yang berkaitan dengan skripsi ini.

4. Analisis data

Penelitian yang dilakukan penulis termasuk jenis penelitian hukum normatif. Pengolahan data pada dasarnya merupakan kegiatan untuk mengolah atau menganalisis data-data sekunder terhadap permasalahan yang akan dikaji. Metode yang dipergunakan untuk menganalisis yaitu:

(22)

a. mengumpulkan peraturan perundang-undangan dan bahan kepustakaan lainnya yang relevan dengan penelitian;

b. mengelompokkan peraturan perundang-undangan dan bahan hukum yang ada;

c. melakukan interpretasi terhadap peraturan perundang-undangan terkait; d. menguraikan bahan-bahan hukum sesuai dengan masalah yang

dirumuskan;

e. menarik kesimpulan. G. Sistematika Penulisan

Dalam menghasilkan karya ilmiah yang baik, maka pembahasannya harus disusun secara sistematis. Untuk memudahkan penulisan skripsi ini maka diperlukan adanya penguraian dalam bab per bab secara teratur dan berkaitan satu sama lain. Adapun sistematika penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN

Bab ini membahas hal-hal yang umum dalam sebuah tulisan ilmiah, antara lain : latar belakang, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, keaslian penulisan, tinjauan pustaka, metode penelitian, sistematika penulisan.

BAB II LARANGAN EKSPOR MINERAL MENTAH BERDASARKAN

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA Bab ini membahas mengenai pengaturan pelarangan ekspor mineral mentah dalam hukum positif Indonesia, kemudian latar belakang lahirnya kebijakan pelarangan ekspor mineral mentah, dan permasalahan yang timbul akibat diterapkannya kebijakan pelarangan ekspor mineral.

(23)

BAB III PENYELESAIAN SENGKETA BIDANG PERTAMBANGAN TERKAIT DENGAN PELARANG EKSPOR MINERAL MENTAH

Bab ini membahas tentang bentuk-bentuk penyelesaian sengketa di bidang pertambangan baik dalam lingkup nasional maupun internasional serta penyelesaian sengketa yang terjadi akibat diterapkannya kebijakan pelarangan ekspor mineral mentah.

BAB IV KEDUDUKAN LARANGAN EKSPOR MINERAL MENTAH

TERHADAP PRINSIP-PRINSIP GENERAL AGREMENT ON

TARIFFS AND TRADE(GATT)

Bab ini membahas tentang tinjauan umum mengenai GATT, selanjutnya mengenai indonesia dalam GATT dan WTO, serta Analisis mengenai kedudukan larangan ekspor mineral mentah terhadap prinsip-prinsip yang terdapat dalam GATT.

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

Berisikan bagian penutup yang sekaligus merupakan bab terakhir dalam penulisan skripsi ini dimana dikemukakan kesimpulan dan saran yang berkaitan dengan pembahasan sebelumnya dalam skripsi ini.

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian menunjukkan bahwa opini audit, tingkat kemandirian, dan tipe pemerintah daerah memiliki pengaruh secara simultan terhadap tingkat pengungkapan informasi pada

KELOMPOK KERJA UNIT LAYANAN PENGADAAN (POKJA ULP)

Kesimpulan dari penelitian ini menunjukkan bahwa masyarakat di pandemi covid 19 seperti ini harus mengikuti himbauan pemerintah agar menghidari transaksi secara

Dari peristiwa pemersatuan yang dilakukan oleh pemerintahan bersama Wisnuwardhana dan Narasinghamurti dapat diambil kesimpulan, bahwasannya dengan bersatunya dua kubu

Puji dan syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha esa atas berkat dan karunia-Nya, sehingga dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Evaluasi Sistem

Kurikulum Sains untuk sekolah menengah bertujuan untuk melahirkan murid yang mempunyai pengetahuan dan kemahiran dalam bidang sains dan teknologi dan mampu mengaplikasikan

Efektivitas Penggunaan Metode Active Learning Terhadap Pembelajaran Insya Universitas Pendidikan Indonesia |

1) Keberadaan kebijakan mutu pelayanan. 2) Prosedur tentang penanganan spesimen. 3) Prosedur pemeriksaan yang lengkap. 4) Prosedur verifikasi hasil pemeriksaan. 7)