UNIVERSITA
UNIVERSITAS S INDONESIAINDONESIA
MASALAH KORUPSI DI INDONESIA MASALAH KORUPSI DI INDONESIA
GOO
GOOD PUBLD PUBL II C GC GOVERNANCEOVERNANCE KASUS: PT DUTA GRAHA
KASUS: PT DUTA GRAHA INDAH- KASUS KORUPSI WISMA ATLETINDAH- KASUS KORUPSI WISMA ATLET
DISUSUN OLEH: DISUSUN OLEH: Fandi Rakhmat Fandi Rakhmat Delta Antariksa Delta Antariksa Muthia Rahma Muthia Rahma Adam Yonas S Adam Yonas S
Ahmad Fakhri Rahmanto Ahmad Fakhri Rahmanto
FAKULTAS EKONOMI FAKULTAS EKONOMI PROGRAM STUDI AKUNTANSI PROGRAM STUDI AKUNTANSI
DEPOK DEPOK
2014 2014
Statement of Authorship Statement of Authorship Kami yang be
Kami yang bertandatangan dibawah ini mrtandatangan dibawah ini menyatakan bahwa makalah/tugas enyatakan bahwa makalah/tugas terlampirterlampir adalah murni hasil pekerjaan saya/kami sendiri. Tidak ada pekerjaan orang lain yang adalah murni hasil pekerjaan saya/kami sendiri. Tidak ada pekerjaan orang lain yang saya/kami gunakan tanpa men
saya/kami gunakan tanpa menyebutkan sumbernya.yebutkan sumbernya. Materi
Materi ini ini tidak/belum tidak/belum pernah pernah disajikan/digunakan disajikan/digunakan sebagai sebagai bahan bahan untukuntuk makalah/tugas pada mata ajaran lain kecuali saya/kami menyatakan dengan jelas bahwa makalah/tugas pada mata ajaran lain kecuali saya/kami menyatakan dengan jelas bahwa saya/kami menyatakan menggu
saya/kami menyatakan menggunakannya.”nakannya.” Kami memahami bahwa t
Kami memahami bahwa tugas yang ugas yang saya/kami kumpulkan saya/kami kumpulkan ini dapat ini dapat diperbanyak dandiperbanyak dan atau dikomunikasikan untuk tujuan mendeteksi adanya plagiarisme.
atau dikomunikasikan untuk tujuan mendeteksi adanya plagiarisme. Nama
Nama : Fandi Rakhmat : Fandi Rakhmat Tanda Tangan :Tanda Tangan : NPM
NPM ::
Nama
Nama : Delta Antariksa : Delta Antariksa Tanda Tangan :Tanda Tangan : NPM
NPM ::
Nama
Nama : Ahmad Fakhri Rahmanto : Ahmad Fakhri Rahmanto Tanda Tangan :Tanda Tangan : NPM
NPM ::
Nama
Nama : Muthia Rahma : Muthia Rahma Tanda Tangan :Tanda Tangan : NPM
NPM ::
Nama
Nama : Adam Yonas S : Adam Yonas S Tanda Tangan :Tanda Tangan : NPM
NPM ::
Mata
Mata Ajaran Ajaran :: Tatakelola Perusahaan Tatakelola Perusahaan Nama Tugas
Nama Tugas : : Masalah Masalah Korupsi di Korupsi di Indonesia,Indonesia, Good Public Governance,Good Public Governance, Kasus: PTKasus: PT Duta Graha Indah- Kasus Korupsi Wisma Atlet
Duta Graha Indah- Kasus Korupsi Wisma Atlet Hari,
Hari, Tanggal Tanggal :Senin, :Senin, 12 12 Mei Mei 20142014 Dosen
Statement of Authorship Statement of Authorship Kami yang be
Kami yang bertandatangan dibawah ini mrtandatangan dibawah ini menyatakan bahwa makalah/tugas enyatakan bahwa makalah/tugas terlampirterlampir adalah murni hasil pekerjaan saya/kami sendiri. Tidak ada pekerjaan orang lain yang adalah murni hasil pekerjaan saya/kami sendiri. Tidak ada pekerjaan orang lain yang saya/kami gunakan tanpa men
saya/kami gunakan tanpa menyebutkan sumbernya.yebutkan sumbernya. Materi
Materi ini ini tidak/belum tidak/belum pernah pernah disajikan/digunakan disajikan/digunakan sebagai sebagai bahan bahan untukuntuk makalah/tugas pada mata ajaran lain kecuali saya/kami menyatakan dengan jelas bahwa makalah/tugas pada mata ajaran lain kecuali saya/kami menyatakan dengan jelas bahwa saya/kami menyatakan menggu
saya/kami menyatakan menggunakannya.”nakannya.” Kami memahami bahwa t
Kami memahami bahwa tugas yang ugas yang saya/kami kumpulkan saya/kami kumpulkan ini dapat ini dapat diperbanyak dandiperbanyak dan atau dikomunikasikan untuk tujuan mendeteksi adanya plagiarisme.
atau dikomunikasikan untuk tujuan mendeteksi adanya plagiarisme. Nama
Nama : Fandi Rakhmat : Fandi Rakhmat Tanda Tangan :Tanda Tangan : NPM
NPM ::
Nama
Nama : Delta Antariksa : Delta Antariksa Tanda Tangan :Tanda Tangan : NPM
NPM ::
Nama
Nama : Ahmad Fakhri Rahmanto : Ahmad Fakhri Rahmanto Tanda Tangan :Tanda Tangan : NPM
NPM ::
Nama
Nama : Muthia Rahma : Muthia Rahma Tanda Tangan :Tanda Tangan : NPM
NPM ::
Nama
Nama : Adam Yonas S : Adam Yonas S Tanda Tangan :Tanda Tangan : NPM
NPM ::
Mata
Mata Ajaran Ajaran :: Tatakelola Perusahaan Tatakelola Perusahaan Nama Tugas
Nama Tugas : : Masalah Masalah Korupsi di Korupsi di Indonesia,Indonesia, Good Public Governance,Good Public Governance, Kasus: PTKasus: PT Duta Graha Indah- Kasus Korupsi Wisma Atlet
Duta Graha Indah- Kasus Korupsi Wisma Atlet Hari,
Hari, Tanggal Tanggal :Senin, :Senin, 12 12 Mei Mei 20142014 Dosen
BAB I.
BAB I. PENDAHULPENDAHULUANUAN
Korupsi menurut Lembaga Transparansi Internasional adalah tindakan yang dilakukan oleh Korupsi menurut Lembaga Transparansi Internasional adalah tindakan yang dilakukan oleh pejabat
pejabat publik, publik, baik baik politisi politisi maupun maupun pegawai pegawai negeri, negeri, serta serta pihak pihak lain lain yang yang terlibat terlibat dalamdalam tindakan tersebut, yang secara illegal dan tidak wajar menyalahgunakan kepercayaan publik tindakan tersebut, yang secara illegal dan tidak wajar menyalahgunakan kepercayaan publik yang dikuasakan kepada mereka untuk mendapatkan keuntungan sepihak.
yang dikuasakan kepada mereka untuk mendapatkan keuntungan sepihak. Di Indonesia, korupsi telah dianggap dan ditetapkan se
Di Indonesia, korupsi telah dianggap dan ditetapkan se bagai tindak kejahatan yang luar biasa.bagai tindak kejahatan yang luar biasa. Ia tidak hanya merugikan negara secara finansial namun juga telah merampas hak rakyat Ia tidak hanya merugikan negara secara finansial namun juga telah merampas hak rakyat banyak untuk mend
banyak untuk mendapatkan hidup layak dan sejahtera secara ekonomi dan sosial. Oleh karenaapatkan hidup layak dan sejahtera secara ekonomi dan sosial. Oleh karena itu korupsi kemudian diatur dalam UU tersendiri yang dimuat dalam UU Tindak Pidana itu korupsi kemudian diatur dalam UU tersendiri yang dimuat dalam UU Tindak Pidana Korupsi
Korupsi
Tindak Pidana Korupsi dapat berupa 1) Perbuatan merugikan keuangan negara, 2) Perbuatan Tindak Pidana Korupsi dapat berupa 1) Perbuatan merugikan keuangan negara, 2) Perbuatan suap-menyuap (kepada pegawai negeri, atau hakim), 3 )Penggelapan bukti berupa surat, suap-menyuap (kepada pegawai negeri, atau hakim), 3 )Penggelapan bukti berupa surat, uang, akta, dll, dalam jabatannya, 4) Melakukan pemerasan, 5) Gratifikasi, 6) Melakukan uang, akta, dll, dalam jabatannya, 4) Melakukan pemerasan, 5) Gratifikasi, 6) Melakukan kecurangan. Fokus suatu negara untuk memberantas korupsi harus terus diperbaiki untuk kecurangan. Fokus suatu negara untuk memberantas korupsi harus terus diperbaiki untuk menciptakan
menciptakanGood Public GovernanceGood Public Governance.. 1.1 Sejarah Korupsi di
1.1 Sejarah Korupsi di IndonesiaIndonesia
Rahayu (2004) menyatakan bahwa pada dasarnya korupsi di Indonesia telah mendarah Rahayu (2004) menyatakan bahwa pada dasarnya korupsi di Indonesia telah mendarah daging, bahkan telah menjadi budaya karena pada dasarnya perilaku korupsi sendiri bisa daging, bahkan telah menjadi budaya karena pada dasarnya perilaku korupsi sendiri bisa ditelusuri sejak peradaban awal Indonesia. Perilaku korupsi tersebut tercermin dari ditelusuri sejak peradaban awal Indonesia. Perilaku korupsi tersebut tercermin dari budaya- budaya kesultanan
budaya kesultanan masa lamasa lampau, diteruskan ompau, diteruskan o leh kedatangan leh kedatangan bangsa barat bangsa barat (Belanda), hingga(Belanda), hingga saat ini. Rahayu (2004) membagi sejarah korupsi di indonesia menjadi empat fase,
saat ini. Rahayu (2004) membagi sejarah korupsi di indonesia menjadi empat fase, yaitu:yaitu: Era Pra-Kemerdekaan
Era Pra-Kemerdekaan
Sejarah sebelum Indonesia merdeka sudah diwarnai oleh “budaya
Sejarah sebelum Indonesia merdeka sudah diwarnai oleh “budaya--tradisi korupsi” yang tiadatradisi korupsi” yang tiada henti karena didorong oleh motif kekuasaan, kekayaan dan wanita. Kita dapat menyirnak henti karena didorong oleh motif kekuasaan, kekayaan dan wanita. Kita dapat menyirnak bagaimana
bagaimana tradisi tradisi korupsi korupsi berjalin berjalin berkelin berkelin dan dan dengan dengan perebutan perebutan kekusaan kekusaan di di KerajaanKerajaan Singosari (sampai tujuh keturunan saling membalas dendam berebut kekusaan: Singosari (sampai tujuh keturunan saling membalas dendam berebut kekusaan: Anusopati-Tohjoyo-Ranggawuni-Mahesa Wongateleng dan seterusnya), Majapahit (pemberontakan Tohjoyo-Ranggawuni-Mahesa Wongateleng dan seterusnya), Majapahit (pemberontakan Kuti, Narnbi, Suro dan lain-lain), Demak (Joko Tingkir dengan Haryo Penangsang), Banten Kuti, Narnbi, Suro dan lain-lain), Demak (Joko Tingkir dengan Haryo Penangsang), Banten (Sultan Haji merebut tahta dari ayahnya, Sultan Ageng Tirtoyoso), perlawanan rakyat (Sultan Haji merebut tahta dari ayahnya, Sultan Ageng Tirtoyoso), perlawanan rakyat
terhadap Belanda dan seterusnya sampai terjadfnya beberapa kali peralihan kekuasaan di Nusantara telah mewarnai Sejarah Korupsi dan Kekuasaan di Indonesia.
Umumnya para Sejarawan Indonesia belum mengkaji sebab ekonomi mengapa mereka saling berebut kekuasaan. Secara politik memang telah lebih luas dibahas, namun motif ekonomi –
memperkaya pribadi dan keluarga diantara kaum bangsawan – belum nampak di permukaan “Wajah Sejarah Indonesia”.
Sebenarnya kehancuran kerajaan-kerajaan besar (Sriwijaya, Majapahit dan Mataram) adalah karena perilaku korup dari sebagian besar para bangsawannya. Sriwijaya diketahui berakhir karena tidak adanya pengganti atau penerus kerajaan sepeninggal Bala-putra Dewa. Majapahit diketahui hancur karena adanya perang saudara (perang paregreg) sepeninggal Maha Patih Gajah Mada. Sedangkan Mataram lemah dan semakin tidak punya gigi karena dipecah belah dan dipreteli gigi taringnya oleh Belanda.
Pada tahun 1755 dengan Perjanjian Giyanti, VOC rnemecah Matara m menjadi dua kekuasaan yaitu Kesultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta. Kemudian tahun 1757/1758 VOC memecah Kasunanan Surakarta menjadi dua daerah kekuasaan yaitu Kasunanan Surakarta dan Mangkunegaran. Baru pada beberapa tahun kemudian Kasultanan Yogyakarta juga dibagi dua menjadi Kasultanan Yogyakarta dan Pakualaman.
Benar bahwa penyebab pecah dan lemahnya Mataram lebih dikenal karena faktor intervensi dari luar, yaitu campur tangan VOC di lingkungan Kerajaan Mataram. Namun apakah sudah adayang meneliti bahwa penyebab utama mudahnya bangsa asing (Belanda) mampu menjajah Indonesia sekitar 350 tahun (versi Sejarah Nasional?), lebih karena perilaku elit bangsawan yang korup, lebih suka memperkaya pribadi dan keluarga, kurang mengutamakan
aspek pendidikan moral, kurang memperhatikan “character building”, mengabaikan hukum apalagi demokrasi Terlebih lagi sebagian besar penduduk di Nusantara tergolong miskin, mudah dihasut provokasi atau mudah termakan isu dan yang lebih parah mudah diadu domba. Belanda memahami betul akar “budaya korup” yang tumbuh subur pada bangsa Indonesia, maka melalui politik “Devide et Impera” mereka dengan mudah menaklukkan Nusantara! Namun, bagaimanapun juga Sejarah Nusantara dengan adanya intervensi dan penetras i Barat, rupanya tidak jauh lebih parah dan penuh tindak kecurangan, perebutan kekuasaan yang tiada berakhir, serta “berintegrasi’ seperti sekarang. Gelaja korupsi dan penyimpangan kekusaan
pada waktu itu masih didominasi oleh kalangan bangsawan, sultan dan raja, sedangkan rakyat kecil nyaris “belum mengenal” atau belum memahaminya.
Perilaku “korup” bukan hanya didominasi oleh masyarakat Nusantar a saja, rupanya orang-orang Portugis, Spanyol dan Belanda pun gemar “mengkorup” harta-harta Korpsnya, institusi atau pemerintahannya. Kita pun tahu kalau penyebab hancur dan runtuhnya VOC juga karena korupsi. Lebih dari 200 orang pengumpul Liverantie dan Contingenten di Batavia kedapatan korup dan dipulangkan ke negeri Belanda. Lebih dari ratusan bahkan kalau diperkirakan termasuk yang belum diketahui oleh pimpinan Belanda hampir mencapai ribuan orang Belanda juga gemar korup.
Dalam buku History of Java karya Thomas Stanford Raffles (Gubernur Jenderal Inggris yang memerintah Pulau Jawa tahun 1811-1816), terbit pertama tahun 1816 mendapat sambutan yang “luar biasa” baik di kalangan bangsawan lokal atau pribumi Jawa maupun bangsa Barat. Buku tersebut sangat luas memaparkan aspek budaya meliputi situasi geografi, nama-nama daerah, pelabuhan, gunung, sungai, danau, iklim, kandungan mineral, flora dan fauna, karakter dan komposisi penduduk, pengaruh budaya asing dan lain- lain.
Hal menarik dalam buku itu adalah pembahasan seputar karakter penduduk Jawa. Penduduk Jawa digambarkan sangat “nrimo” atau pasrah terhadap keadaan. Namun, di pihak lain, mempunyai keinginan untuk lebih dihargai oleh orang lain. Tidak terus terang, suka menyembunyikan persoalan, dan termasuk mengambil sesuatu keuntungan atau kesempatan di kala orang lain tidak mengetahui.
Hal rnenarik lainnya adalah adanya bangsawan yang gemar menumpuk harta, memelihara sanak (abdi dalem) yang pada umumnya abdi dalem lebih suka mendapat atau mencari perhatian majikannya. Akibatnya, abdi dalem lebih suka mencari muka atau berperilaku oportunis. Dalam kalangan elit kerajaan, raja lebih suka disanjung, dihorrnati, dihargai dan tidak suka menerima kritik dan saran. Kritik dan saran yang disarnpaikan di muka umum lebih dipandang sebagai tantangan atau perlawanan terhadap kekuasaannya. Oleh karena itu budaya kekuasaan di Nusantara (khususnya Jawa) cenderung otoriter. Daiam aspek ekonomi, raja dan lingkaran kaum bangsawan mendominasi sumber-sumber ekonomi di masyarakat. Rakyat umumnya “dibiarkan” miskin, tertindas, tunduk dan harus menuruti apa kata, kemauan atau kehendak “penguasa”.
Budaya yang sangat tertutup dan penuh “keculasan” itu turut menyuburkan “budaya korupsi” di Nusantara. Tidak jarang abdi dalem juga melakuk an “korup” dalam mengambil “upeti” (pajak) dari rakyat yang akan diserahkan kepada Demang (Lurah) selanjutnya oleh Demang akan diserahkan kepada Turnenggung. Abdidalem di Katemenggungan setingkat kabupaten atau propinsi juga mengkorup (walaupun sedikit) harta yang akan diserahkan kepada Raja atau Sultan.
Alasan mereka dapat mengkorup, karena satuan hitung belum ada yang standar, di samping rincian barang-barang yang pantas dikenai pajak juga masih kabur. Sebagai contoh, upeti dikenakan untuk hasil-hasil pertanian seperti Kelapa, Padi, dn Kopi. Namun ukuran dan standar upeti di beberapa daerah juga berbeda-beda baik satuan barang, volume dan beratnya, apalagi harganya. Beberapa alasan itulah yang mendorong atau menye-babkan para pengumpul pajak cenderung berperilaku “memaksa” rakyat kecil, di pihak lain menambah
“beban” kewajiban rakyat terhadap jenis atau volume komoditi yang harus diserahkan.
Kebiasaan mengambil “upeti” dari rakyat kecil yang dilakukan oleh Raja Jawa ditiru oleh Belanda ketika menguasai Nusantara (1800 – 1942) minus Zaman Inggris (1811 – 1816), Akibat kebijakan itulah banyak terjadi perlawanan-perlawanan rakyat terhadap Belanda. Sebut saja misalnya perlawanan Diponegoro (1825 -1830), Imam Bonjol (1821 – 1837), Aceh (1873 – 1904) dan lain-lain. Namun, yang lebih menyedihkan lagi yaitu penindasan atas penduduk pribumi (rakyat Indonesia yang terjajah) juga dilakukan oleh bangsa Indonesia sendiri. Sebut saja misalnya kasus penyelewengan pada pelaksanaan Sistem “Cuituur Stelsel (CS)” yang secara harfiah berarti Sistem Pembudayaan. Walaupun tujuan utama sistem itu adalah membudayakan tanaman produktif di masyarakat agar hasilnya mampu untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat dan memberi kontribusi ke kas Belanda, namun kenyataannya justru sangat memprihatinkan.
Isi peraturan (teori atau bunyi hukumnya) dalam CS sebenarnya sangat “manusiawi” dan sangat “beradab”, namun pelaksanaan atau praktiknyalah yang sangat tidak manusiawi, mirip Dwang Stelsel (DS), yang artinya “Sistem Pemaksaan”. Itu sebabnya mengapa sebagian besar pengajar, guru atau dosen sejarah di Indonesia mengganti sebutan CS menjadi DS.
Era Pasca-Kemerdekaan (Orde Lama)
Pada era di bawah kepemimpinan Soekarno, tercatat sudah dua kali dibentuk Badan Pemberantasan Korupsi – Paran dan Operasi Budhi – namun ternyata pemerintah pada waktu itu setengah hati menjalankannya. Paran, singkatan dari Panitia Retooling Aparatur Negara dibentuk berdasarkan Undang-undang Keadaan Bahaya, dipimpin oleh Abdul Haris Nasution dan dibantu oleh dua orang anggota yakni Prof M Yamin dan Roeslan Abdulgani.
Salah satu tugas Paran saat itu adalah agar para pejabat pemerintah diharuskan mengisi formulir yang disediakan – istilah sekarang : daftar kekayaan pejabat negara. Dalam perkembangannya kemudian ternyata kewajiban pengisian formulir tersebut mendapat reaksi keras dari para pejabat. Mereka berdalih agar formulir itu tidak diserahkan kepada Paran tetapi langsung kepada Presiden.
Usaha Paran akhirnya mengalami deadlock karena kebanyakan pejabat berlindung di balik Presiden. Di sisi lain, karena pergolakan di daerah-daerah sedang memanas sehingga tugas Paran akhirnya diserahkan kembali kepada pemerintah (Kabinet Juanda).
Tahun 1963 melalui Keputusan Presiden No 275 Tahun 1963, upaya pemberantasan korupsi kembali digalakkan. Nasution yang saat itu menjabat sebagai Menkohankam atau Kasab ditunjuk kembali sebagai ketua dibantu oleh Wiryono Prodjodikusumo. Tugas mereka lebih berat, yaitu meneruskan kasus-kasus korupsi ke meja pengadilan.
Lembaga ini di kemudian hah dikenal dengan istilah “Operasi Budhi”. Sasarannya adalah perusahaan-perusahaan negara serta lembaga-lembaga negara lainnya yang dianggap rawan praktik korupsi dan kolusi. Operasi Budhi ternyata juga mengalami hambatan. Misalnya, untuk menghindari pemeriksaan, Dirut Pertamina mengajukan permohonan kepada Presiden untuk menjalankan tugas ke luar negeri, sementara direksi yang lain menolak diperiksa dengan dalih belum mendapat izin dari atasan.
Dalam kurun waktu 3 bulan sejak Operasi Budhi dijalankan, keuangan negara dapat diselamatkan sebesar kurang lebih Rp 11 miliar, jumlah yang cukup signifikan untuk kurun waktu itu. Karena dianggap mengganggu prestise Presiden, akhirnya Operasi Budhi dihentikan. Menurut Soebandrio dalam suatu pertemuan di Bogor, “prestise Presiden harus ditegakkan di atas semua kepentingan yang lain”.
Selang beberapa hari kemudian, Soebandrio mengumurnkan pembubaran Paran/Operasi Budhi yang kemudian diganti namanya menjadi Kotrar (Komando Tertinggi Retooling Aparat Revolusi) di mana Presiden Sukarno menjadi ketuanya serta dibantu oleh Soebandrio dan Letjen Ahmad Yani. Sejarah kemudian mencatat pemberantasan korupsi pada masa itu akhirnya mengalami stagnasi.
Era Orde Baru
Pada pidato kenegaraan di depan anggota DPR/MPR tanggal 16 Agustus 1967, Pj Presiden Soeharto menyalahkan rezim Orde Lama yang tidak mampu memberantas korupsi sehingga segala kebijakan ekonomi dan politik berpusat di Istana. Pidato itu memberi isyarat bahwa Soeharto bertekad untuk membasmi korupsi sampai ke akar-akarnya. Sebagai wujud dari tekad itu tak lama kemudian dibentuklah Tim Pemberantasan Korupsi (TPK) yang diketuai Jaksa Agung.
Tahun 1970, terdorong oleh ketidak-seriusan TPK dalam memberantas korupsi seperti komitmen Soeharto, mahasiswa dan pelajar melakukan unjuk rasa memprotes keberadaan TPK. Perusahaan-perusahaan negara seperti Bulog, Pertamina, Departemen Kehutanan banyak disorot masyarakat karena dianggap sebagai sarang korupsi. Maraknya gelombang protes dan unjuk rasa yang dilakukan mahasiswa, akhirnya ditanggapi Soeharto dengan membentuk Komite Empat beranggotakan tokoh-tokoh tua yang dianggap bersih dan berwibawa seperti Prof Johannes, IJ Kasimo, Mr Wilopo dan A Tjokroaminoto. Tugas mereka yang utama adalah membersihkan antara lain Departemen Agama, Bulog, CV Waringin, PT Mantrust, Telkom, dan Pertamina. Namun kornite ini hanya “macan ompong” karena hasil temuannya tentang dugaan korupsi di Pertamina tak direspon pemerintah.
Ketika Laksamana Sudomo diangkat sebagai Pangkopkamtib, dibentuklah Opstib (Operasi Tertib) derigan tugas antara lain juga memberantas korupsi. Kebijakan ini hanya melahirkan sinisme di masyarakat. Tak lama setelah Opstib terbentuk, suatu ketika timbul perbedaan pendapat yang cukup tajam antara Sudomo dengan Nasution. Hal itu menyangkut pemilihan metode atau cara pemberantasan korupsi, Nasution berpendapat apabila ingin berhasil dalam memberantas korupsi, harus dimulai dari atas. Nasution juga menyarankan kepada Laksamana Sudomo agar memulai dari dirinya. Seiring dengan berjalannya waktu, Opstib pun hilang ditiup angin tanpa bekas sama sekali.
Era Reformasi
Jika pada masa Orde Baru dan sebelumnya “korupsi” lebih banyak dilakukan oleh kalangan elit pemerintahan, maka pada Era Reformasi hampir seluruh elemen penyelenggara negara sudah terjangkit “Virus Korupsi” yang sangat ganas. Di era pemerintahan Orde Baru, korupsi sudah membudaya sekali, kebenarannya tidak terbantahkan. Orde Baru yang bertujuan meluruskan dan melakukan koreksi total terhadap ORLA serta melaksanakan Pancasila dan DUD 1945 secara murni dan konsekwen, namun yang terjadi justru Orde Baru lama-lama rnenjadi Orde Lama juga dan Pancasila maupun UUD 1945 belum pernah diamalkan secara murni, kecuali secara “konkesuen” alias “kelamaan”.
Kemudian, Presiden BJ Habibie pernah mengeluarkan UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas dari KKN berikut pembentukan berbagai komisi atau badan baru seperti KPKPN, KPPU atau lembaga Ombudsman, Presiden berikutnya, Abdurrahman Wahid membentuk Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi (TGPTPK).
Badan ini dibentuk dengan Keppres di masa Jaksa Agung Marzuki Darusman dan dipimpin Hakim Agung Andi Andojo, Namun di tengah semangat menggebu-gebu untuk rnemberantas korupsi dari anggota tim, melalui suatu judicial review Mahkamah Agung, TGPTPK akhirnya dibubarkan. Sejak itu, Indonesia mengalami kemunduran dalam upaya. pemberantasan KKN.
Di samping membubarkan TGPTPK, Gus Dur juga dianggap sebagian masyarakat tidak bisa menunjukkan kepemimpinan yang dapat mendukung upaya pemberantasan korupsi. Kegemaran beliau melakukan pertemuan-pertemuan di luar agenda kepresidenan bahkan di tempat-tempat yang tidak pantas dalam kapasitasnya sebagai pre siden, melahirkan kecurigaan masyarakat bahwa Gus Dur sedang melakukan proses tawar- menawar tingkat tinggi.
Proses pemeriksaan kasus dugaan korupsi yang melibatkan konglomerat Sofyan Wanandi dihentikan dengan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) dari Jaksa Agung Marzuki Darusman. Akhirnya, Gus Dur didera kasus Buloggate. Gus Dur lengser, Mega pun menggantikannya melalui apa yang disebut sebagai kompromi politik. Laksamana Sukardi sebagai Menneg BUMN tak luput dari pembicaraan di masyarakat karena kebijaksanaannya menjual aset-aset negara.
Di masa pemerintahan Megawati pula kita rnelihat dengan kasat mata wibawa hukum semakin merosot, di mana yang menonjol adalah otoritas kekuasaan. Lihat saja betapa mudahnya konglomerat bermasalah bisa mengecoh aparat hukum dengan alasan berobat ke luar negeri. Pemberian SP3 untuk Prajogo Pangestu, Marimutu Sinivasan, Sjamsul Nursalim, The Nien King, lolosnya Samadikun Hartono dari jeratan eksekusi putusan MA, pemberian fasilitas MSAA kepada konglomerat yang utangnya macet, menjadi bukti kuat bahwa elit pemerintahan tidak serius dalam upaya memberantas korupsi, Masyarakat menilai bahwa pemerintah masih memberi perlindungan kepada para pengusaha besar yang nota bene memberi andil bagi kebangkrutan perekonomian nasional. Pemerintah semakin lama se makin kehilangan wibawa. Belakangan kasus-kasus korupsi merebak pula di sejumlah DPRD era Reformasi.
1.2 Faktor Penyebab Korupsi
Dalam memahami korupsi dan penyebabnya, alangkah lebih baik bila kita menggunakan pendekatan mengenai teori fraud ( kecurangan). Fraud atau kecurangan itu sendiri adalah
tindakan yang melawan Hukum oleh orang-orang dari dalam dan atau luar organisasi, dengan maksud untuk mendapatkan keuntungan pribadi dan atau ke lompoknya yang secara langsung merugikan pihak lain. Orang awam sering kali mengart ikan bahwa fraud secara sempit adalah tindak pidana atau perbuatan korupsi. Pada umumnya fraud terjadi karena tiga hal yang mendasarinya terjadi secara bersama, yang biasa digambarkan dalam segitiga fraud ( Fraud Triangle) yaitu:
1. Insentif atau tekanan untuk melakukan fraud (Pressure)
Pressure atau motivasi pada sesorang atau individu akan memebuat mereka mencari kesempatan melakukan fraud, beberapa contoh pressure dapat timbul karena masalah keuangan pribadi, Sifat-sifat buruk seperti berjudi, narkoba, berhutang berlebihan dan tenggat waktu dan target kerja yang tidak realistis.
2. Peluang untuk melakuakn fraud (opportunity)
Opportunity biasanya muncul sebagai akibat lemahnya pengendalian inernal di organisasi tersebut. Terbukanya kesempatan ini juga dapat menggoda individu atau kelompok yang sebelumnya tidak memiliki motif untk melakukan fraud .
Rationalization terjadi karena seseorang mencari pembenaran atas aktifitasnya yang mengandung fraud . Pada umumnya para pelaku fraud meyakini atau merasa bahwa tindakannya bukan merupakan suatu kecurangan tetapi adalah suatu yang memang merupakan haknya, bahkan kadang pelaku merasa telah berjasa karena telah berbuat banyak untuk organisasi. Dalam beberapa kasus lainnya terdapat pula kondisi dimana pelaku tergoda untuk
Dari segitiga fraud tersebut kemudian dapat dijabarkan kembali Faktor -faktor penyebab terjadinya korupsi, yaitu :
a. Penegakan hukum tidak konsisten, penegakan hukum hanya sebagai make up politik, sifatnya sementara, selalu berubah setiap berganti pemerintahan.
b. Penyalahgunaan kekuasaan/wewenanng, takut dianggap bodoh kalau t idak menggunakan kesempatan.
c. Langkanya lingkungan yang antikorup, sistem dan pedoman antikorupsi hanya dilakukan sebatas formalitas.
d. Rendahnya pendapatan penyelenggara Negara. Pendapatan yang diperoleh harus mampu memenuhi kebutuhan penyelenggara Negara, mampu mendorong
penyelenggara Negara untuk berprestasi dan memberikan pelayanan terbaik kepada masyarakat.
e. Kemiskinan, keserakahan, masyarakat kurang mampu melakukan korupsi karena kesulitan ekonomi. Sedangkan mereka yang berkecukupan melakukan korupsi karena serakah, tidak pernah puas dan menghalalkan segala cara untuk mendapatkan
keuntungan.
f. Budaya memberi upeti, imbalan jasa dan hadiah.
g. Konsekuensi bila ditangkap lebih rendah daripada keuntungan korupsi, saat tertangkap bisa menyuap penegak hukum sehingga dibebaskan atau setidaknya diringankan hukumannya.
h. Budaya permisif/serba membolehkan, tidak mau tahu, menganggap biasa bila sering terjadi. Tidak peduli orang lain, asal kepentingannya sendiri terlindungi.
i. Gagalnya pendidikan agama dan etika. Pendapat Franz Magnis Suseno bahwa agama telah gagal menjadi pembendung moral bangsa dalam mencegah korupsi karena
perilaku masyarakat yang memeluk agama itu sendiri. Sebenarnya agama bisa memainkan peran yang lebih besar da lam konteks kehidupan sosial dibandingkan
institusi lainnya, sebab agama memiliki relasi atau hubungan emosional dengan para pemeluknya. Jika diterapkan dengan benar kekuatan relasi emosional yang dimiliki
agama bisa menyadarkan umat bahwa korupsi bisa membawa dampak yang sangat buruk (Indopos.co.id, 27 September 2005).
1.3 Dampak Korupsi
Gambar diatas merangkum dan menyimpulkan akibat korupsi bagi suatu negara. Terlihat bahwa, semakin tinggi level korupsi dalam suatu negara (ditandai dengan skor yang rendah), semakin rendah indeks pembangunan manusianya, sebaliknya, semakin rendah level korupsi di suatu negara, semakin tinggi skor indek pembangunan manusia di negara tersebut.
Indeks pembangunan manusia adalah suatu ukuran yang dibuat oleh PBB untuk mengukur pembangunan di suatu negara yang menggabungkan indikator harapan hidup, tingkat pendidikan dan pendapatan. Secara umum, HDI memberi gambaran akan tingkat kesejahteraan individu dalam suatu negara yang dilihat dari kesehatan, kekayaan, dan tingkat pendidikan. Ketiga aspek tersebut adalah ukuran dasar dari tingkat kelayakan hidup suatu
individu. Semakin tinggi indeksnya, makin tinggi pula pemenuhan kebutuhan dasar dan hidup layak dalam negara tersebut, dan semakin tinggi pula kesejahteraan masyarakatnya. Semakin tinggi kesejahteraan masyarakat, semakin makmurlah negara tersebut, artinya
kewajiban dan tujuan negara untuk melindungi dan mensejahterakan rakyatnya secara umum sudah terpenuhi.
Pembangunan suatu negara dilihat tidak hanya dari segi peningkatan ekonomi per kapita rakyatnya namun juga bagaimana peningkatan ekonomi tersebut dapat tersebar merata dan dinikmati seluruh individu dalam negara tersebut. Pembangunan mencakup aspek sosial dan ekonomi. Pembangunan sosial, menurut Brunswick of Canada, adalah meningkatkan kesejahteraan sosial setiap individu dalam suatu masyarakat agar mereka dapat menggapai seluruh potensi yang ada.Sedangkan pembangunan ekonomi adalah bagaimana tiap individu dalam suatu negara dapat menikmati seluruh hasil kegiatan perekonomian di negara tersebut sehingga pembangunan ekonomi adalah pemerataan ekono mi dan pendapatan.
Kedua hal tersebut tentu saja dapat tercapai jika pemerintah sebagai salah satu aktor terpenting yang mengatur kebijakan dan peraturan bertindak untuk melayani kebutuhan publik dan mensejahterakan kehidupan rakyatnya dengan membuat kebijakan yang tepat sasaran. Hal ini bertolakbelakang dengan tujuan dari korupsi. Banyak pihak yang mendefinisikan arti dari korupsi, namun secara umum korupsi berarti mengambil hak orang lain untuk hidup layak dengan memindahkannya kepada sekelompok pihak tertentu untuk mereka nikmati sendiri beserta kelompoknya. Korupsi dilakukan dengan berbagai cara, mulai dari penggunaan pengaruh dan wewenang untuk membuat keputusan dan kebijakan yang tidak semestinya, penyuapan, tindakan mengambil uang negara sehingga terjadi kerugian keuangan negara dan secara ekonomi, gratifikasi, tindakan curang, dan lainnya.
Dampak dari korupsi sangat luas dan terasa dalam hampir semua aspek kehidupan, mulai dari administrasi sehari-hari, kegiatan bisnis, kualitas sarana publik yang buruk, fasilitas kesehatan dengan prosedur yang tidak semestinya, fasilitas pendidikan serta mutu dari pendidikan buruk sehingga tidak dapat mencetak individu sebagaimana seharusnya tujuan dari pendidikan, hak untuk bersuara dan berpendapat dibungkam sehingga tidak dapat mengkoreksi inefisiensi yang terjadi, dan masih banyak lagi yang pada akhirnya berujung pembangunan aspek sosial dan ekonomi dalam suatu negara buruk. Hak masyarakat dalam suatu negara untuk hidup layak dan sejahtera terenggut sehingga peran dan fungsi negara sebagai pihak yang berkewajiban melindungi hak warga negara dan mensejahterakan warganya tidak terpenuhi.
BAB II. TEORI
2.1 Myths and Realities of Governance and Corruption (Kauffman, 2005)
Sudah banyak tulisan dan penelitian yang diterbitkan tentang perkembangan komunitas, tidak hanya tentang governance dan korupsi, tetapi juga kemauan dan kemampuan dari komunitas internasional untuk membantu negara melakukan perbaikan di area tersebut.Kaufman menjabarkan beberapa hal-hal yang menjadi ide atau gagasan populer di masyarakat.Dalam setiap kasus, dia menghadirkan mitos, yang secara jelas-jelas tidak disetujui dan disertai juga penjelasannya.
Mitos 1: Definition: Governance and anti-corruption are one and the same
Governance didefinisikan sebagai tradisi dan institusi dimana otoritas di dalam sebuah negara dilakukan demi kepentingan publik.Sedangkan korupsi umumnya
didefinisikan secara sempit sebagai “abuse of public office for private gain”.Penulis tidak
sependapat dengan pengertian tersebut karena pengertian tersebut lebih menitikberatkan
public office dan tindakan illegal sebagai tindakan korupsi.
Penulis menawarkan definisi alternatif atas korupsi “the privatization of public policy” dimana akses ke pelayanan publik juga termasuk ke dalam public policy.Tindakan tidak harus bersifat ilegal supaya bisa disebut sebagai korupsi.Jika terjadi situasi dimana terjadi suatu forum legislatif untuk menentukan kebijakan yang mana terlalu dipengaruhi oleh
private contribution ke anggota legislatif, maka bisa dianggap telah terjadi korupsi meskipun tidak terjadi tindakan illegal.
Dengan demikian tanggung jawab terletak pada pihak yang menggunakan pengaruh tidak pantas dan pihak yang terlalu terpengaruhi.Penulis berpendapat bahwa lingkup atas konsep governance lebih luas dibandingkan korupsi.Governance dan korupsi mungkin memang berhubungan, tetapi merupakan gagasan yang berbeda sehingga tidak boleh dianggap satu dan sama.
Mitos 2: Governance and corruption cannot be measured
Governance Indicators, yang mencakup lebih dari 200 negara, meliputi enam kunci dimensi kualitas institusi atau governance, dan mengukur, melalui dua indikator masing-masing, pada politik, ekonomi, dan dimensi institusional dari governance. Keenam dimensi tersebut adalah:
1. Voice and accountability, mengukur politik, hak sipil dan kemanusiaan
2. Political instability and violence, mengukur kemungkinan ancaman kekerasan ke atau dalam perubahan pemerintahan, termasuk terorisme
3. Government effectiveness, mengukur kompetensi dari birokrasi dan kualitas pemberian pelayanan public
4. Regulatory burden, mengukur besarnya pengaruh kebijakan yang tidak market- friendly
5. Rule of law, mengukur kualitas dari contract enforcement , polisi, dan pengadilan, dan juga kemungkinan atas kejahatan dan kekerasan
6. Control of corruption, mengukur pelaksanaan public power untuk private gain, termasuk korupsi skala kecil dan besar
Meskipun masih banyak tantangan yang dihadapi oleh Governance Indicators ini, namun indikator tersebut semakin bisa dipercaya seiring berjalannya waktu dan kini sudah dipakai di seluruh dunia untuk memonitor performa, penilaian Negara, dan penelitian.
Mitos 3: The importance of governance and anti-corruption efforts is overrated
Untuk mengetahui seberapa penting governance dan anti-corruption, kita harus menghubungkan governance indicators dengan variabel outcome, seperti income atau tingkat kematian bayi.
Berdasarkan beberapa penelitian, didapatkan hasil mengenai dampak dari governance terhadap development .Yang pertama adalah dengan adanya improvement pada governance mampu meningkatkan income dalam jangka panjang.Hal tersebut bisa terjadi karena improvementtersebut mampu meningkatkan akuntabilitas, peraturan hukum, kontrol korupsi, dsb.Bahkan tidak hanya meningkatkan pendapatan per kapita, tetapi juga berperan dalam menurunkan tingkat kematian bayi dan buta huruf.
Kedua, governance juga berperan untuk meningkatkan daya saing suatu negara.Penulis menyebutkan hasil penelitian yang mendukung bahwa governance suatu negara berkorelasi positif dengan daya saing dari negara tersebut. Dilihat dari survey yang dilakukan, penelitian menyatakan bahwa korupsi merupakan hambatan untuk bisnis yang paling rendah di negara-negara OECD, dan di beberapa kawasan lain korupsi sebagai
hambatan terbesar untuk bisnis. Governance juga berperan terhadap keefekt ivitasan bantuan. Penulis menjelaskan berdasarkan projek yang dibiayai oleh World Bank apabila dilakukan di negara dengan tingkat korupsi yang tinggi, probabilitasnya untuk sukses akan lebih rendah dibandingkan di negara dengan governance yang lebih baik.
Governancedan korupsi adalah hal yang penting.Memang governance bukanlah satu-satunya
driver yang penting dalam development . Namun ketika governance lemah, maka pembuatan kebijakan di area lain pun mudah dipengaruhi oleh pihak lain.
Mitos 4: Good governance and corruption control is a luxury that only rich countries can afford
Sejumlah negara emerging economics seperti Botswana, Chili, Slovenia, menunjukkan bukanlah hal yang mustahil untuk mencapai standar governance yang tinggi namun belum termasuk dalam kategori negara kaya.
Ada pendapat yang mengklaim bahwa pendapatan negara yang lebih tinggi akan berpengaruh terhadap pengembangan governance negara tersebut. Namun penulis berpendapat bahwa governance-lah yang berperan dalam mendorong pendapatan.
Mitos 5: It takes generations for governance to improve
Kepercayaan bahwa governance merupakan kunci dari development , menimbulkan tuntutan untuk terus menerus memonitor kualitas dari governance suatu negara.Namun pendapat bahwa butuh waktu yang lama untuk meningkatkan governance tidaklah sepenuhnya benar. Penelitian menunjukkan bahwa ada kluster dari negara-negara yang mampu menunjukkan peningkatan, dibandingkan dengan negara lainnya, ada juga yang semakin memburuk, dan ada yang sedikit mengalami perubahan pada jangka waktu yang sama.
Dengan demikian, meskipun institusi memang cenderung berubah secara bertahap, dan banyak negara yang mengalami sedikit kemajuan dalam jangka waktu yang pendek, namun ada juga negara yang mengalami kemajuan yang drastic dalam periode waktu yang pendek.Hal ini menyangkal pandangan bahwa governance mungkin memburuk secara cepat,
namun peningkatan kemajuan selalu terjadi dengan lambat dan berkembang sedikit demi sedikit.
Mitos 6: Fight corruption by fighting corruption
Cara yang sering dipromosikan untuk memberantas korupsi adalah dengan memerangi korupsi, yaitu dengan mengkampanyekan anti korupsi, membuat hukum dan code of conduct dan sebagainya.Namun seringkali terjadi konflik antara instansi-instansi dalam mengusut kasus korupsi dikarenakan keinginan mereka untuk mengatur secara berlebihan, dapat mengurangi produktivitas dalam mengurus kasus tersebut.Regulasi yang berlebihan tidak hanya gagal dalam melihat sebab fundamental korupsi, tetapi juga menyebabkan peluang untuk penyuapan menjadi lebih besar.Dan seringkali ketergantungan terhadap hal tersebut menyebabkan pengabaian terhadap hal yang lebih fundamental dan reformasi sistem tata kelola.
Mitos 7: The culprit in developing countries is the public sector, which is solely responsible for shaping the inadequate business environment
Kekeliruan yang sering terjadi adalah bahwa kesalah terfokus sepenuhnya pada sektor public.Pada kenyataannya, banyak pihak kuat yang mempunyai kepentingan pribadi turut memberikan pengaruh dalam membentuk kebijakan publik, institusi, dan peraturan negara.Sektor swasta mempunyai peran yang penting dalam governance dan korupsi.Karena terlalu lama mengabaikan hubungan private-public governance, komunitas internasional sering keliru dalam memahami intervensi terhadap sector public sebagai kunci untuk membantu negara-negara meningkatkan governance.
Mitos 8: Countries can do little to improve governance, and IFIs and the donor community can do even less
Peran negara dalam perangkaian kemajuan dalam peningkatan suara dan partisipasi, dengan reformasi yang transparan dapat secara efektif meningkatkan governance.Dengan adanya kemajuan dalam hal tersebut, dapat diharapkan terjadi juga kemajuan pada kontrol korupsi. Untuk IFI, memang ada beberapa hal yang berada di luar kekuasaan mereka untuk ikut campur dalam meningkatkan governance, seperti promosi dalam pemilihan banyak multipartai yang adil, namun mereka bisa mengambil inisiatif untuk mendorong transparansi, kebebasan informasi dan media yang independen, hal-hal yang dapat membantu untuk melawan korupsi.
Transparansi merupakan hal penting yang sering diabaikan dalam reformasi institusi. Berbeda dengan dimensi dari dimensi governance yang lain, seperti rule of law, korupsi, dan regulation burden, ada jarak yang besar antara kontribusi konseptual dan kemajuan dari pengukuran dan analisis empirisnya. Tidak hanya transparansi, peran IFI dan donor-donor
lainnya juga turut berperan dalam reformasi governance.Untuk berbagi pengetahuan dan pengalaman, mendukung inti kompetensi tradisional, reformasi yang terfokus pada institusi kunci di emerging economics.Peran utama harus dilakukan oleh institusi dan ahli-ahli dalam negeri untuk reformasi, dan membolehkan donor untuk melakukan peran yang penting, namun suportif.
Meningkatkan governance dan mengontrol korupsi merupakan hal yang penting untuk development , dan negara-negara bisa maju dengan substansial, bahkan dalam periode yang singkat, jika ada strategi yang sesuai dan penyelesaian politik.Sudah dijelaskan bahwa pendapatan masuk tidak meningkatkan governance, melainkan sebaliknya yang
terjadi.Negara-negara tersebut harus mengambil tanggung jawab sendiri dan memimpin dalam menerapkan reformasi institusional dan political yang seringkali t idak mudah.
2.2Infosys: India’s Most Respected Company
Infosys dididrikan pertama kali tahun 1981 oleh N.R. Narayana Murthy dan enam orang lainnya. Saat menentukan visi dari perusahaan IT yang akan mereka bentuk ini, rata-rata memberikan pandangan bahwa Infosys harus menjadi perusahaan perangkat lunak terbesar di India, penyedia pekerjaan terbesar, dan juga menjadi perusahaan dengan kapitalisasi pasar terbesar. Akan tetapi, Murthy memiliki pandangan lain. Dia menyatakan “mengapa tidak mendirikan perusahaan paling dihormati di India ?”.
Akhirnya, Infosys Technologies didirikan dengan dasar nilai yang dikenal sebagai C-LIFE, yaitu Client focus, Leadership by example, Integrity and transparency, Fairness and Excellence in everything we do. Murthy percaya bahwa sebagai manusia, sifat dasar adalah mendapat perhatian dan rasa hormat dari orang lain. Murthy pun menyatakan bahwa jika kita sudah terikat pada suatu nilai, maka kita akan bersedia untuk melakukan apapun demi berjalannya nilai tersebut.
Pernyataan Murthy tersebut pun diuji tahun 1984, saat Infosys melakukan impor superminicomputer untuk membuat software bagi konsumen di luar negeri. Saat barang yang
dipesan sampai di bandara Bangalore, pihak bea cukai menolak untuk mengeluarkan barang tersebut kecuali pihak Infosys mau membayar mereka suap. Pegawai yang dikirim untuk mengambil barang ini melapor kepada atasannya dan manager ini melaporkan kepada Murthy. Murthy pun bertanya opsi yang dimiliki selain suap, yaitu hanya membayar pajak cukai sebesar 135% dan kemudian mengajukan pengembalian dengan peluang dikembalikan sangat kecil. Murthy pun mengambil keputusan untuk membayar pajak tersebut.
Peristiwa lain pun mengikuti saat Infosys mengikuti tender di luar negeri dan Murthy diajak CIO dari perusahaan tersebut untuk makan bersama. CIO tersebut selama makan selalu berbicara terkait sebuah mobil yang dia inginkan. Pada akhirnya CIO itu berkata bahwa berikan dia mobil tersebut maka Infosys akan mendapatkan proyek yang di-tender. Murthy menolak untuk memberikan suap tersebut kepada CIO tersebut. Pada akhirnya CIO tersebut tidak mendapatkan mobil tersebut, namun Infosys berhasil mendapatkan proyek tersebut.
Salah satu kultur lainnya yang dijalankan oleh Infosys adalah toleransi yang rendah terhadap pelanggaran nilai. Contohnya adalah suatu kali Infosys pernah memecat salah satu karyawan yang memalsukan biaya taksi. Padahal karyawan ini menjalankan peran penting dalam suatu tim proyek didalam perusahaan. Infosys akan mendengarkan komplain terkait pelanggaran etika yang terjadi, menyelidiki, memberi kesempatan bagi pelakunya untuk
memberi argumen terkait tindakannya, barulah akan diambil keputusan.
Dalam menjalankan bisnis nya ini, tantangan utama Infosys ini ada pada lingkungannya yang korup. Disaat semua perusahaan lain berusaha untuk menggunakan jalan yang cepat sekalipun illegal, Infosys memilih untuk mengambil jalan yang legal sekalipun itu menyulitkan mereka. Lingkungan bisnis korup ini bukan hanya terjadi akibat para kompetitor mereka yang selalu melakukannya, tetapi juga karena dari pihak pemerintah ikut serta untuk membiarkan hal semacam ini bisa terjadi. Akan tetapi, seperti kata Murthy bahwa jika kita memegang suatu nilai, maka kita akan rela untuk membayar harga yang mahal demi terlaksananya nilai-nilai tersebut.
Keberhasilan Infosys dalam menghindari praktik korupsi dan membalikan keadaan terletak pada sikap menjunjung nilai-nilai yang ada sejak awal dimana mereka berusaha menjadi perusahaan yang paling dihormati di India. Mereka rela melakukan apapun yang legal demi terlaksananya nilai-nilai tersebut. Selain itu, zero tolerance policy yang dijalankan oleh Infosys juga menjadi salah satu pendukung terlaksananya kondisi tanpa korupsi didalam Infosys. Toleransi yang rendah diberikan kepada para pegawai melanggar nilai-nilai yang
dipegang oleh Infosys, sekalipun orang tersebut melakukan pelanggaran yang kecil atau dia termasuk orang yang sedang mengerjakan proyek yang pent ing.
Dua hal ini menunjukkan betapa besar usaha Infosys dalam menentang praktik korupsi, yang kemudian membentuk citra bahwa Infosys adalah perusahaan yang layak dihormati, serta membuat pihak-pihak yang berhubungan dengan Infosys tahu bahwa mereka berurusan dengan perusahaan yang menjalankan bisnis secara bersih dan tidak akan
melakukan cara-cara apapun yang illegal. Bahkan dengan praktik mereka, pihak pemerintah pun menyadari bahwa t idak mungkin mereka meminta suap kepada Infosys agar dipermudah dalam segala urusan, sebab Infosys memilih untuk mengambil jalan yang legal sekalipun itu panjang dan menyulitkan mereka.
Jika dibandingkan dengan kondisi yang ada di Indonesia, menurut kami tidak ada perbedaan yang signifikan dengan kondisi yang terjadi di I ndonesia. Kedua negara ini sama-sama korup dan dalam berbagai hal, mengandalkan suap atau sogokan agar dapat bisa memperlancar urusan yang terjadi. Mungkin, di Indonesia ada perusahaan yang berusaha menjalankan bisnisnya sebagaimana Infosys menjalankan bisnis di India, yaitu tanpa memasukkan korupsi maupun suap. Namun, terkait zero tolerance policy, hal semacam itu sepertinya cukup sulit untuk diterapkan di Indonesia karena pegawai biasanya dipecat jika melakukan kesalahan yang fatal, seperti pencurian uang atau data-data penting perusahaan, bukan karena memalsukan biaya transportasi.
Baik di India maupun di Indonesia, mungkin jika karyawan dipecat karena melakukan kesalahan kecil seperti memalsukan biaya transportasi, akan memicu protes dari pihak karyawan dengan alasan toleransi yang rendah. Akan tetapi di Infosys hal ini sudah menjadi nilai-nilai sejak dasar dimiliki dan dijalankan. Di Indonesia mungkin hal semacam ini belum dijalankan dan akan cukup sulit untuk dijalankan karena adanya resistensi dari karyawan yang ada.
Menurut kelompok kami, praktik CG yang baik seharusnya bisa mendorong perusahaan untuk menghindari praktik korupsi karena dengan melaksanakan CG, perusahaan akan lebih terbuka mengenai apa yang dijalankannya, dan jika ia korupsi, ditutupi namun kemudian diketahui publik, hal itu akan merusak nama dan reputasi perusahaan tersebut. Lewat praktik CG yang baik, perusahaan didorong untuk bertindak secara jujur dalam berbagai hal. Perbuatan jujur ini akan membuat perusahaan merasa lebih tenang dan nyaman
pernah dikatakan oleh N.R. Narayana Murthy “Let the good news take the stairs, but make sure the bad news takes the elevator”.
Jika dikaitkan antara praktik Good Governance dengan korupsi, kami melihat bahwa perusahaan yang bertindak atau melakukan perbuatan korupsi, baik memberi atau menerima, sudah gagal dalam menjalankan praktik CG yang baik. Sebab, tujuan utama dari CG adalah
optimizing stakeholders value. Jika perusahaan korupsi, itu akan mencederai tujuan utama dari CG karena perusahaan tidak berusaha untuk optimasi nilai dari setiap stakeholders yang ada, melainkan mengorbankan salah satu pihak demi tercapainya kepentingan perusahaan atau kepentingan pihak lainnya. Dapat disimpulkan bahwa korupsi akan membawa suatu organisasi kepada praktik CG yang buruk karena korupsi berarti mendahulukan kepentingan suatu pihak dibanding pihak lainnya, yang berarti tidak sesuai dengan tujuan utama dari pelaksanaan CG didalam organisasi.
2.3. UU Tindak Pidana Korupsi
Korupsi menurut Lembaga Transparansi Internasional ada lah tindakan yang dilakukan oleh pejabat publik, baik politisi maupun pegawai negeri, serta pihak lain yang terlibat dalam tindakan tersebut, yang secara illegal dan tidak wajar menyalahgunakan kepercayaan publik yang dikuasakan kepada mereka untuk mendapatkan keuntungan sepihak.
Di Indonesia, korupsi telah dianggap dan ditetapkan sebagai tindak kejahatan yang luar biasa. Ia tidak hanya merugikan negara secara finansial namun juga telah merampas hak rakyat banyak untuk mendapatkan hidup layak dan sejahtera secara ekonomi dan sosial. Oleh karena itu korupsi kemudian diatur dalam UU tersendiri yang dimuat dalam UU No. 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi.
UU ini mengatur apa saja tindakan yang termasuk dalam jenis korupsi serta pelaku yang terlibat dan besar sanksi, baik uang maupun lama penahanan, yang dikenakan atas tiap tindakan korupsi. UU tindak pidana korupsi sebenarnya sudah ada di Indonesia sejak tahun 1960. Namun dalam perjalanannya UU ini seringkali berganti dan diubah oleh pemerintah. Terhitung, sudah empat kali Indonesia mengalami perubahan dalam UU tindak pidana korupsi, yaitu :
1. UU No. 24 Tahun 1960 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi 2. UU No. 3 Tahun 1971 tentang pemberantasan t indak pidana korupsi 3. UU No. 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi
4. UU No. 20 Tahun 2001 yang merupakan perubahan dari UU No. 31 Tahun 1999
UU No.31 tahun 1999 adalah UU tindak korupsi pertama yang dibuat setelah masa reformasi yang kemudian dilakukan beberapa perubahan, diantaranya, mendeskripsikan lebih jelas apa saja yang termasuk dalam tindak pidana korupsi, sanksi yang dikenakan atas tindakan tersebut, serta siapa saja yang dianggap sebagai pelaku tindak korupsi. Selain itu diatur pula mengenai alat bukti yang dapat digunakan dalam sidang, memberikan hak dan kesempatan bagi terdakwa untuk membuktikan dirinya tidak terlibat korupsi beserta harta benda yang diperolehnya dengan memberikan bukti-bukti.
Darisegi hukum, suatu tindak pidana korupsi harus memenuhi unsur-unsur untuk dimasukkan dalam tindak pidana. Unsur-unsur tersebut secara umum harus dibuktikan sbb :
1. Ada subyek (setiap orang)
2. Yang melakukan suatu tindakan tertentu (memperkaya diri sendiri, memberi sesuatu, atau menjanjikan sesuatu, dll)
3. Dengan cara melawan hukum
4. Yang berakibat kerugian terhadap pihak lain (merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, mempengaruhi pembuatan suatu keputusan yang bertentangan
dengan kewajiban si pegawai negeri atau hakim, dll).
Unsur-unsur tersebut harus dipenuhi dalam suatu tindakan pidana korupsi disertai dengan alat buktinya dan disesuaikan dengan tiap pasal yang ada dalam UU tindak pidana korupsi.
Dalam UU No.31 tahun 1999 jo. UU No.20 tahun 2001 terdapat beberapa jenis perbuatan yang tergolong ke dalam kategori korupsi dengan pengelompokan berbeda
(Tuanakotta, 2010). Diantaranya :
1. Perbuatan merugikan keuangan negara
Ada di pasal 2 dan 3 UU No.31 tahun 1999, tentang memperkaya diri sendiri dan menyalahgunakan wewenang. Dipidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara min. 4 tahun, maks. 20 tahun dengan denda sejumlah uang min. Rp200 juta dan maks. Rp. 1 M.
2. Perbuatan suap-menyuap (kepada pegawai negeri, atau hakim) a. Penyuapan atau pemberian hadiah kepada pegawai negeri
Diatur dalam pasal 5 ayat 1 (a) dan (b), tentang sogokan untuk pegawai negeri agar melakukan sesuatu yang sesuai dengan keinginan pemberi suap. Kemudian pasal 5 ayat 2, tentang pegawai negeri yang menerima sogokan. Dalam pasal ini, pemberi maupun penerima sogokan terancam hukuman pidana penjara min. 1 tahun, maks. 5 tahun, dengan denda min. Rp 50 juta, dan maks. Rp. 250 juta.
Pasal 13, tentang pemberian hadiah pada pegawai negeri, terkena pidana penjara maks. 3 tahun dengan denda maks. Rp 150 juta. Dan pasal 11 tentang penerimaan hadiah yang dilakukan pegawai negeri terancam hukuman 1 hingga 5 tahun penjara dan denda mulai dari Rp 50 juta hingga Rp 250 juta.
Lalu pasal 12 (a) dan (b), tentang pegawai negeri yang menerima suap terancam pidana seumur hidup, atau pidana penjara min. 4 hingga maks. 20 tahun dan denda
min. Rp 200 juta, maks. Rp 1 M.
b. Penyuapan kepada hakim
Terdapat di pasal 6 ayat 1 (a), (b),dan ayat 2, tentang penyuapan hakim dan advokat untuk mempengaruhi keputusan yang dibuat dalam pengadilan diancam hukuman penjara selama 3 hingga 15 tahun penjara dengan sanksi Rp 150 juta hingga Rp 750 juta. Kemudian pasal 12 ayat (c), dan (d) bagi hakim dan advokat yang menerima suap terancam pidana seumur hidup atau hukuman penjara selama 4 hingga 20 tahun dengan sanksi Rp 200 juta hingga Rp 1 M.
3. Penggelapan bukti berupa surat, uang, akta, dll, dalam jabatannya
Diatur dalam pasal 8, tentang pegawai negeri yang melakukan tindakan penggelapan berupa uang, atau surat berharga, dimana uang tersebut berada dalam kekuasaannya karena suatu jabatan. Dipidana min. 3 hingga 15 tahun dengan denda sejumlah Rp 150 juta hingga Rp 750 juta. Pasal 9 mengatur tentang pemalsuan buku dan daftar yang digunakan untuk alat administrasi dengan hukuman penjara min. 1 hingga 5 tahun dengan denda Rp 50 juta hingga Rp 200 juta.
Kemudian pasal 10 ayat (a), (b), dan (c) mengatur tentang pegawai negeri yang merusak bukti, membiarkan orang lain merusak bukti, atau membantu orang lain merusak bukti berupa barang, surat berharga, atau akta yang akan digunakan untuk membuktikan sesuatu dikenai ancaman penjara selama 2 hingga 7 tahun dengan denda Rp 100 juta hingga Rp 350 juta.
4. Melakukan pemerasan
Terdapat dalam pasal 12 ayat (e), (f), dan (g) tentang pegawai negeri yang memaksa pihak lain (baik swasta, perorangan, atau pegawai negeri lainnya) untuk memberikan bayaran atas sesuatu yang tidak seharusnya, dapat terkena ancaman penjara seumur hidup atau, pidana penjara min. 4 hingga 20 t ahun dan denda min. Rp
200 juta hingga Rp 1 M 5. Gratifikasi
Diatur dalam pasal 12 B dan C, bagi pegawai negeri yang menerima gratifikasi diancam penjara min. 4 tahun hingga 20 tahun dan denda mulai dari Rp 200 juta hingga Rp 1 M.
6. Melakukan kecurangan
Diatur dalam pasal 7 ayat 1 (a) dan (b), tentang tindak kecurangan yang dilakukan oleh pemborong sehingga membahayakan keselamatan dan keamanan pihak lain, serta bagi pengawas yang membiarkan terjadinya tindak kecurangan. Kemudian (c), (d) dan pasal 7 ayat 2 mengatur tentang kecurangan yang dilakukan oleh tiap orang yang menyerahkan barang keperluan TNI/Polri serta pengawas dari penyerahan barang tersebut dan pihak penerima barang membiarkan tindakan curang akan dikenai
ancaman penjaramin. 2 hingga 7 tahun &denda min. Rp 100 juta maks. Rp 350 juta. Dari penjelasan UU diatas terlihat bahwa sanksi dan ancaman penjara yang dikenakan kepada pelaku tindak korupsi tidak sebanding dengan besaran nilai atau jumlah harta negara yang diambil oleh pelaku korupsi. Umumnya hukuman tahanan hanya selama 1, 3, 4, hingga 7 dan 20 tahun lamanya tergantung pada tindak korupsi yang dilakukan. Besaran denda yang dikenakan pun terhitung kecil, mulai dari Rp 50 juta hingga maksimal Rp 1 M.
Korupsi pada umumnya, terutama di sektor publik, tidak dilakukan perorangan, melainkan dilakukan bersama dengan sekelompok pihak lainnya sehingga jumlah yang dikorupsi biasanya sangat besar hingga mencapai ratusan milyar rupiah. Contoh, total jumlah proyek bermasalah yang dilakukan Nazaruddin, menurut KPK, senilai Rp 6,037 T. Termasuk didalamnya adalah dugaan korupsi di dua departemen senilai Rp 2 T dan Rp 642 M. Dengan nilai proyek yang diduga korupsi hingga ratusan M ini dibandingkan dengan denda yang dikenakan maks. 1 M di tiap dakwaan, tentu sangat tidak signifikan. Itu hanyasalah satu dari
sekian banyak kasus korupsi, belum yang tersebar di berbagai instansi sektor lainnya. Hal ini menunjukkan ancaman hukuman dan sanksi yang dikenakan oleh perundang-undangan di Indonesia tidak memberikan efek jera tidak hanya bagi pelaku namun juga pihak lain seperti masyarakat dan pihak swasta.
Penelitian yang dilakukan oleh FEB UGM, yang dikutip dalam Koran Tempo, mengungkapkan, dari hasil analisa yang dilakukan terhadap 1365 kasus korupsi, jumlah uang negara yang dikorupsi besarnya mencapai Rp 168,19 T. Itu pun baru biaya yang terlihat atau eksplisit. Banyak aspek yang sulit untuk dinilai, seperti biaya sosial atas korupsi, opportunity lost yang hilang akibat adanya korupsi, dan lainnya. Indonesia belum memiliki rumusan perhitungan biaya yang diakibatkan oleh korupsi sehingga semestinya besaran nilai yang
UU NO.31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001
No. Kelompok Korupsi Pasal Keterangan Pidana Hukuman Penjara Denda Min. Maks. Min. Maks. 1. Kerugian Keuangan
Negara
2 UU No.31/1999
Memperkaya diri Seumur Hidup, pidana mati 4 Thn 20 thn Rp 200 juta Rp 1 M 3 UU No.31/1999 Menyalahgunakan wewenang Seumur Hidup 4 Thn 20 thn Rp 200 juta Rp 1 M
2. Perbuatan Suap 5 ayat 1 a Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri
1 Thn 5 thn Rp 50 juta Rp 250 juta Kepada pegawai negeri
5 ayat 1 b Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri
1 Thn 5 thn Rp 50 juta
Rp 250 juta
5 ayat 2 Pegawai negeri terima sogokan 1 Thn 5 thn Rp 50 juta Rp 250 juta 13 Pemberian hadiah
kepada pegawai negeri
- 3 tahun - Rp 150 juta 11 Penerimaan hadiah
oleh pegawai negeri
1 Thn 5 thn Rp 50 juta
Rp 250 juta 12 ayat 1 a Penerimaan suap oleh
pegawai negeri
Seumur Hidup 4 thn 20 thn Rp 200 juta
Rp 1 M
12 ayat 1 b Penerimaan suap oleh pegawai negeri
Seumur Hidup 4 thn 20 thn Rp 200 juta
Rp 1 M
Kepada Hakim dan Advokat
6 ayat 1 a Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada hakim 3 thn 15 thn Rp 150 juta Rp 750 juta
6 ayat 1 b Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada advokat 3 thn 15 thn Rp 150 juta Rp 750 juta
6 ayat 2 Hakim dan advokat menerima janji
3 thn 15 thn Rp 150 juta
Rp 750 juta 12 ayat c Hakim menerima
hadiah atau janji
Seumur Hidup 4 thn 20 thn Rp 200 juta
Rp 1 M
12 ayat d Advokat menerima hadiah atau janji
Seumur Hidup 4 thn 20 thn Rp 200 juta
Rp 1 M
3. Penggelapan surat, uang, dan akta atas nama jabatan 8 Pegawai negeri menggelapkan uang, surat berharga 3 thn 15 thn Rp 150 juta Rp 750 juta
9 Pemalsuan buku dan daftar untuk keperluan administrasi oleh pegawai negeri 1 thn 5 thn Rp 50 juta Rp 200 jta
12 ayat 1 b Penerimaan suap oleh pegawai negeri
Seumur Hidup 4 thn 20 thn Rp 200 juta
Rp 1 M
Kepada Hakim dan Advokat
6 ayat 1 a Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada hakim 3 thn 15 thn Rp 150 juta Rp 750 juta
6 ayat 1 b Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada advokat 3 thn 15 thn Rp 150 juta Rp 750 juta
6 ayat 2 Hakim dan advokat menerima janji
3 thn 15 thn Rp 150 juta
Rp 750 juta 12 ayat c Hakim menerima
hadiah atau janji
Seumur Hidup 4 thn 20 thn Rp 200 juta
Rp 1 M
12 ayat d Advokat menerima hadiah atau janji
Seumur Hidup 4 thn 20 thn Rp 200 juta
Rp 1 M
3. Penggelapan surat, uang, dan akta atas nama jabatan 8 Pegawai negeri menggelapkan uang, surat berharga 3 thn 15 thn Rp 150 juta Rp 750 juta
9 Pemalsuan buku dan daftar untuk keperluan administrasi oleh pegawai negeri 1 thn 5 thn Rp 50 juta Rp 200 jta
10 ayat a Pegawai negeri merusak bukti surat, akta, dokumen lain
2 Thn 7 thn Rp 100 jt
Rp 350 juta
10 ayat b Membiarkan orang lain merusak bukti
2 Thn 7 thn Rp 100 jt
Rp 350 juta 10 ayat c Pegawai negeri
membantu orang lain merusak bukti
2 Thn 7 thn Rp 100 jt
Rp 350 juta
4. Pemerasan 12 ayat e Pemerasan oleh pegawai negeri
Seumur hidup 4 thn 20 thn Rp 200 jt
Rp 1 M
12 ayat f Pemerasan oleh pegawai negeri
Seumur hidup 4 thn 20 thn Rp 200 jt
Rp 1 M
12 ayat g Pemerasan oleh pegawai negeri
Seumur hidup 4 thn 20 thn Rp 200 jt
Rp 1 M
5. Bertindak curang 7 ayat 1 a Kontraktor bertindak curang
2 Thn 7 thn Rp 100 jt
Rp 350 juta 7 ayat 1 b Pengawas proyek
membiarkan tindakan curang 2 Thn 7 thn Rp 100 jt Rp 350 juta
7 ayat 1 c Pemberi barang TNI/Polri berbuat
2 Thn 7 thn Rp 100 jt
Rp 350 juta
10 ayat a Pegawai negeri merusak bukti surat, akta, dokumen lain
2 Thn 7 thn Rp 100 jt
Rp 350 juta
10 ayat b Membiarkan orang lain merusak bukti
2 Thn 7 thn Rp 100 jt
Rp 350 juta 10 ayat c Pegawai negeri
membantu orang lain merusak bukti
2 Thn 7 thn Rp 100 jt
Rp 350 juta
4. Pemerasan 12 ayat e Pemerasan oleh pegawai negeri
Seumur hidup 4 thn 20 thn Rp 200 jt
Rp 1 M
12 ayat f Pemerasan oleh pegawai negeri
Seumur hidup 4 thn 20 thn Rp 200 jt
Rp 1 M
12 ayat g Pemerasan oleh pegawai negeri
Seumur hidup 4 thn 20 thn Rp 200 jt
Rp 1 M
5. Bertindak curang 7 ayat 1 a Kontraktor bertindak curang
2 Thn 7 thn Rp 100 jt
Rp 350 juta 7 ayat 1 b Pengawas proyek
membiarkan tindakan curang 2 Thn 7 thn Rp 100 jt Rp 350 juta
7 ayat 1 c Pemberi barang TNI/Polri berbuat 2 Thn 7 thn Rp 100 jt Rp 350 juta curang
7 ayat 1 d Pengawas pemberi barang TNI/ Polri berbuat curang 2 Thn 7 thn Rp 100 jt Rp 350 juta 12 h Pegawai negeri memakai tanah negara
Seumur hidup 4 thn 20 th Rp 200 juta
Rp 1 M
6. Gratifikasi 12 B jo. 12 C Pegawai negeri menerima gratifikasi
Seumur hidup 4 thn 20 th Rp 200 juta
Rp 1 M
7. Pegawai negeri ikut serta dalam pengadaan barang yang diurusnya Seumur hidup 4 thn 20 th Rp 200 juta Rp 1 M
curang
7 ayat 1 d Pengawas pemberi barang TNI/ Polri berbuat curang 2 Thn 7 thn Rp 100 jt Rp 350 juta 12 h Pegawai negeri memakai tanah negara
Seumur hidup 4 thn 20 th Rp 200 juta
Rp 1 M
6. Gratifikasi 12 B jo. 12 C Pegawai negeri menerima gratifikasi
Seumur hidup 4 thn 20 th Rp 200 juta
Rp 1 M
7. Pegawai negeri ikut serta dalam pengadaan barang yang diurusnya Seumur hidup 4 thn 20 th Rp 200 juta Rp 1 M
BAB III. PEMBAHASAN KASUS Kasus: Kasus Korupsi Wisma Atlet, Jakabaring Palembang
3.1 Kronologi Kasus
Komisi Pemberantasan Korupsi pada awalnya menangkap Sekretaris Menteri Pemuda dan Olahraga, Wafid Muharram di kantornya pada tanggal 21 April 2011. Ia ditangkap tangan sedang menerima uang suap dari Muhammad El Idris dengan perantara Mindo Rosalina Manurung, dimana ketiganya langsung digiring oleh KPK ke tahanan. KPK menemukan barang bukti berupa cek sebesar Rp 3,2milyar dan juga pecahan uang dalam mata uang asing. Pembelaan mereka bertiga, pertemuan mereka bertiga adalah untuk membahas dana talangan bagi kemenpora dalam pelaksanaan Sea Games ke-26, dimana mereka mengatakan bahwa hal tersebut lumrah dilakukan oleh lembaga dan instansi pemerintah manapun untuk melaksanakan proyeknya. Mereka menyatakan bahwa dana talangan tersebut berasal dari pengusaha swasta (Muhammad El Idris) yang mana dana tersebut akan segera dikembalikan
BAB III. PEMBAHASAN KASUS Kasus: Kasus Korupsi Wisma Atlet, Jakabaring Palembang
3.1 Kronologi Kasus
Komisi Pemberantasan Korupsi pada awalnya menangkap Sekretaris Menteri Pemuda dan Olahraga, Wafid Muharram di kantornya pada tanggal 21 April 2011. Ia ditangkap tangan sedang menerima uang suap dari Muhammad El Idris dengan perantara Mindo Rosalina Manurung, dimana ketiganya langsung digiring oleh KPK ke tahanan. KPK menemukan barang bukti berupa cek sebesar Rp 3,2milyar dan juga pecahan uang dalam mata uang asing. Pembelaan mereka bertiga, pertemuan mereka bertiga adalah untuk membahas dana talangan bagi kemenpora dalam pelaksanaan Sea Games ke-26, dimana mereka mengatakan bahwa hal tersebut lumrah dilakukan oleh lembaga dan instansi pemerintah manapun untuk melaksanakan proyeknya. Mereka menyatakan bahwa dana talangan tersebut berasal dari pengusaha swasta (Muhammad El Idris) yang mana dana tersebut akan segera dikembalikan
setelah dana dari pusat untuk proyek tersebut cair.
Namun fakta yang ditemukan berkata lain. Penyelidikan KPK menunjukkan bahwa Muhammad El Idris adalah direktur dari PT Duta Graha Indah, yang mana perusahaan tersebut merupakan rekanan Kemenpora dalam pembangunan Wisma Atlit di Palembang. Wisma Atlit tersebut dibangun dalam rangka pelaksanaan Sea Games ke-26, dimana Duta Graha Indah menjadi pemenang tender didalam pembangunan Wisma Atlit tersebut.
KPK menduga, uang yang diserahkan oleh Muhammad El Idris adalah bagian fee (imbalan) kepada kemenpora atas jasanya memenangkan Duta Graha Indah dalam proses pembangunan Wisma Atlit tersebut. Hal ini diperkuat oleh keterangan Mindo Rosalina, yang menyatakan pada awal saat ia ditangkap bahwa memang benar uang yang diberikan oleh Idris saat itu merupakan bagian imbalan komitmen atas pemenangan DGI dalam tender pengadaan Wisma Atlit.
Penyelidikan lanjutan atas kasus ini menjadi menarik dengan terbukanya peran Rosa didalam kasus ini. Rosa dalam kasus ini menjadi perantara antara Kemenpora dengan Duta Graha Indah. Peran Rosa ini diduga didukung dan diarahkan oleh Nazaruddin, Bendahara Umum Partai Demokrat, dimana Nazaruddin menaruh Rosa menjadi proxy diantara DGI dan
Nazaruddin. Hal ini diperkuat pula dengan fakta bahwa ternyata kantor DGI dan Nazaruddin berkantor di tempat yang sama.
Awalnya, Rosa membuat pengakuan menghebohkan, dimana ia mengaku bahwa ia bertindak atas suruhan Nazaruddin. Ia mengakui pula bahwa Nazaruddin merupakan atasannya di PT Anak Negeri, dimana Nazaruddin adalah pemilik perusahaan tersebut, dan Rosa adalah direktur operasional dari perusahaan itu. Rosa dengan penasihat hukumnya, Kammarudin membuat pernyataan di media bahwa kasus suap tersebut adalah bagian dari commitment fee dari Duta Graha Indah atas pemenangan mereka dalam tender Wisma Atlet. PT Anak Negeri, dalam hal ini Nazaruddin, menjadi perantara pencari proyek, yang mana proyek tersebut ditawarkan kepada DGI oleh Nazaruddin dan Nazaruddin meminta imbalan atas hal tersebut. Nazaruddin menunjuk Rosa sebagai proxy antara DGI dan Kemenpora, sekaligus untuk mengawasi DGI atas nama Nazaruddin. Nazaruddin yang pada waktu itu menjabat di badan anggaran DPR, bertugas untuk memuluskan anggaran yang diajukan oleh kemenpora dalam rangka pembangunan proyek tersebut.
Bahkan, timbul tuduhan dari Koordinator LSM Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman menyatakan kepada wartawan bahwa Mindo Rosalina Manulang adalah staf Muhammad Nazaruddin.Nazaruddin menyangkal pernyataan itu dan mengatakan bahwa ia tidak mengenal Rosalina maupun Wafid.Namun, pernyataan Boyamin tersebut sesuai dengan keterangan Rosalina sendiri kepada penyidik KPK pada hari yang sama dan keterangan kuasa hukum Rosalina, Kamaruddin Simanjuntak, kepada wartawan keesokan harinya.Kepada penyidik KPK, Rosalina menyatakan bahwa pada tahun 2010 ia diminta Nazaruddin untuk mempertemukan pihak PT DGI dengan Wafid, dan bahwa PT DGI akhirnya menang tender karena sanggup memberi komisi 15 persen dari nilai proyek, dua persen untuk Wafid dan 13 persen untuk Nazaruddin. Akan tetapi, Rosalina lalu mengganti pengacaranya menjadi Djufri
Taufik dan membantah bahwa Nazaruddin adalah at asannya Ia bahkan kemudian menyatakan bahwa Kamaruddin, mantan pengacaranya, berniat menghancurkan Partai Demokrat sehingga merekayasa keterangan sebelumnya, dan pada 12 Mei Rosalina resmi mengubah keterangannya mengenai keterlibatan Nazaruddin dalam berita acara pemeriksaannya.] Namun demikian, Wafid menyatakan bahwa ia pernah bertemu beberapa
kali dengan Nazaruddin setelah dikenalkan kepadanya oleh Rosalina.
Nazaruddin sendiri tidak tinggal diam, ia selalu membantah tuduhan kasus ini. Namun penyidikan KPK menemukan dugaan bahwa Nazaruddin menerima fee sebesar 13% dari nilai