• Tidak ada hasil yang ditemukan

MODEL SEBARAN PANAS AIR KANAL PENDINGIN INSTALASI PEMBANGKIT LISTRIK KE BADAN AIR LAUT

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "MODEL SEBARAN PANAS AIR KANAL PENDINGIN INSTALASI PEMBANGKIT LISTRIK KE BADAN AIR LAUT"

Copied!
89
0
0

Teks penuh

(1)

MODEL SEBARAN PANAS AIR KANAL PENDINGIN

INSTALASI PEMBANGKIT LISTRIK KE BADAN AIR LAUT

TESIS

CHEVY CAHYANA 0906577021

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM PROGRAM ILMU KELAUTAN

(2)

MODEL SEBARAN PANAS AIR KANAL PENDINGIN

INSTALASI PEMBANGKIT LISTRIK KE BADAN AIR LAUT

TESIS

Tesis ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk Memperoleh gelar Magister Ilmu Kelautan

CHEVY CAHYANA 0906577021

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM PROGRAM ILMU KELAUTAN

(3)
(4)
(5)

v

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Alloh Subhanahu wa Ta’ala atas limpahan rahmat dan petunjuk-Nya sehingga penulisan tesis ini dapat selesai dengan baik dan tepat waktu. Penulisan tesis dengan judul “Model Sebaran Panas Air Kanal Pendingin Instalasi Pembangkit Listrik ke Badan Air Laut” dilakukan dalam rangka memenuhi persyaratan kelulusan di Program Studi Ilmu Kelautan Universitas Indonesia. Penulisan ini tak lepas dari bantuan beberapa pihak. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada: 1. Bapak Dr. rer. nat. Eko Kusratmoko, M. Sc. sebagai Pembimbing I yang telah

membimbing dan mengarahkan penulis dalam penelitian dan menyusun tesis ini; 2. Bapak Dr. A. Harsono Soepardjo, M. Eng. selaku Ketua Program Studi Ilmu

Kelautan dan sebagai Pembimbing II yang telah membimbing, mengarahkan dan memberikan banyak masukan yang sangat bermanfaat;

3. Ibu Dra. Tuty Handayani, M. S. selaku pembimbing akademis;

4. Bapak Drs. R. Heru Umbara, Bapak Dr. Heny Suseno, M. Si. dan rekan-rekan seperjuangan di Bidang Radioekologi Kelautan PTLR BATAN;

5. Bapak Dwijo dan Kelompok Oseanology PPEN BATAN, yang telah membantu dalam pengukuran lapangan;

6. Seluruh pihak yang secara langsung maupun tidak langsung turut berkontribusi dalam penyusunan tesis ini.

Penulis menyadari masih terdapat banyak kekurangan dalam tesis ini. Oleh karena itu diharapkan kritik dan saran dari semua pihak agar dapat menyempurnakan tesis ini. Semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan.

Penulis 2011

(6)
(7)

vii ABSTRAK

Nama : Chevy Cahyana Program Studi : Ilmu Kelautan

Judul : Model Sebaran Panas Air Kanal Pendingin Instalasi Pembangkit Listrik ke Badan Air Laut

Pengoperasian suatu instalasi pembangkit listrik tenaga termal, baik yang berbahan bakar batubara, minyak bumi maupun energi nuklir, umumnya menggunakan air laut sebagai pendingin. Air pendingin yang masuk kembali ke laut memiliki temperatur di atas temperatur ambien air laut. Masuknya limbah air panas dari kanal pendingin ke laut (thermal pollution) dalam jumlah besar dapat memberikan dampak negatif bagi kehidupan biota laut di sekitarnya. Pengkajian tentang pola sebaran polutan panas dari kanal pendingin pembangkit listrik perlu dilakukan untuk dapat mengetahui luas daerah yang terkena dampak dan berapa besar perubahan temperatur yang terjadi. Simulasi sebaran panas di laut dilakukan dengan mengasumsikan pembangkit listrik tenaga nuklir dengan kapasitas 7000 MWe beroperasi di Semenanjung Muria Jepara sebagai calon tapak PLTN di Indonesia. Hasil simulasi menunjukkan temperatur sebesar 34-360C menyebar sejauh 115 m, sementara temperatur sebesar 31-330C menyebar sejauh 1048 m dari outlet kanal pendingin.

(8)

ABSTRACT

Name : Chevy Cahyana Study Program : Ilmu Kelautan

Title : The Model of Heat Water Dispersion from Power Plant Installation Cooling Canal to Ocean Water Bodies.

The operation of a thermal power plant, including coal-fired, oil and nuclear energy, use sea water as coolant. Cooling water back into the sea has a temperature above the ambient temperature of sea water. The entry of warm water waste from the cooling canal to the sea (thermal pollution) in large quantities may cause negative impact on marine biota around the canal outlet. Assessment of heat pollutant dispersion pattern from power plant cooling canal needs to be done in order to know the area affected and how much the temperature changes that occur. It is assumed that 7000 MWe nuclear power plant is operated to simulate heat dispersion to ocean water body at Muria peninsula, Jepara as a candidate site of nuclear power plant at Indonesia. The simulation results show that temperature of 34-360C disperse along 115 meters, meanwhile temperature of 31-330C disperse along 1048 meters from cooling canal outlet

(9)

ix DAFTAR ISI

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS……….iii

HALAMAN PENGESAHAN………..iv

KATA PENGANTAR………...v

HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS ……….…. vi

ABSTRAK...………vii

ABSTRACT……….. viii

DAFTAR ISI……….…………..ix

DAFTAR GAMBAR………..……….xi

DAFTAR TABEL……….………...…….. xii

DAFTAR LAMPIRAN………. xiii

BAB 1 PENDAHULUAN………1

1.1 Latar Belakang……….1

1.2 Perumusan Masalah...………..2

1.3 Metode Penelitian………3

1.4 Tujuan Penelitian……….4

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA……….5

2.1 Pembangkit Listrik Tenaga Termal ……..……….5

2.2 Sistem Air Pendingin Pembangkit Listrik Tenaga Termal ……… 8

2.3 Karakteristik Fisik Laut……….12

2.3.1 Temperatur………. 12

2.3.2 Arus Laut………15

2.3.3 Kekasaran Dasar Laut dan Viskositas Olakan………16

2.3.4 Pasang Surut………...19

2.4 Konsep Hidrodinamika Laut……….19

2.5 Model Numerik Hidrodinamika Laut………21

2.6 Model Hidrodinamika untuk Perairan Dangkal……….24

2.7 Penelitian Terdahulu………..27

BAB 3 METODE PENELITIAN………29

3.1 Daerah Studi……….29

3.2 Perangkat Lunak Surface Water Modeling System (SMS)………...30

3.3 Cara Kerja………..32

3.3.1 Data Input………...32

3.3.2 Penentuan Kondisi Batas dan Kondisi Awal……….33

3.3.3 Sifat Bahan ………..………..34

3.3.4 Analisis Sensitivitas………34

(10)

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN………36

4.1 Domain Pemodelan dan Diskritisasi Domain ………...36

4.2 Data Kedalaman Laut ………...38

4.3 Pengaturan Model ..……….. 40

4.3.1 Kondisi Batas ...………..40

4.3.2 Kondisi Awal ..………...40

4.3.3 Sifat Material ..………...41

4.3.4 Kontrol Model ...……….41

4.4 Kalibrasi dan Validasi ...………42

4.4.1 Analisis Sensitivitas Perangkat Lunak SMS ...………...42

4.4.1.1 Variasi Kekasaran Maning ………..43

4.4.1.2 Perubahan Viskositas Olakan ..………...44

4.4.2 Validasi Model ...………45

4.5 Pola Arus dari Kanal Pendingin …………...……….48

4.6 Pola Sebaran Panas dari Kanal Pendingin …….………...51

4.7 Simulasi Kanal Pendingin PLTN 7000 MWe ...………60

4.7.1 Penghitungan Debit Air Kanal Pendingin ………..60

4.7.2 Pola Arus dan Sebaran Panas ………..………...61

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN ………...67

5.1 Kesimpulan ……….……. 67

5.2 Saran ………. 68

DAFTAR PUSTAKA……….69

(11)

xi

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1. Skema pembangkit listrik tenaga termal dengan bahan bakar batubara ………... 5 Gambar 2.2. Skema pembangkit listrik tenaga nuklir jenis PWR ………….... 7 Gambar 2.3. Skema pembangkit listrik tenaga nuklir jenis BWR ……… 7 Gambar 2.4. Skema cara kerja kondensor ……… 8 Gambar 2.5. Grafik hubungan antara kapasitas daya dan debit air pendingin . 9 Gambar 2.6. Komponen fluks panas ………... 12 Gambar 2.7. Temperatur permukaan laut rata-rata dihitung dengan teknik

interpolasi optimal ……….. 13 Gambar 2.8. Arus Ekman yang disebabkan oleh angin dengan kecepatan

10m/s dengan arah 350 ke utara ……….. 15 Gambar 2.9. Perbedaan model 2D dan model 3D pada arus yang dipengaruhi

angin ………... 22 Gambar 3.1. Lokasi penelitian ……….. 29 Gambar 3.2. Diagram alir proses pemodelan RMA2 dan RMA4 ………….... 31 Gambar 3.3. Peta batimetri Semenanjung Muria Jepara ……….. 33 Gambar 4.1. Domain pemodelan ……….. 37 Gambar 4.2. Diskritisasi domain pemodelan ……… 38 Gambar 4.3. Kontur kedalaman laut Semenanjung Muria, Jepara …………... 39 Gambar 4.4. Model kanal untuk analisis sensitivitas ………... 43 Gambar 4.5. Pengaruh kekasaran Manning (n) terhadap elevasi muka air .…. 44 Gambar 4.6. Pengaruh viskositas olakan terhadap elevasi muka air ………… 45 Gambar 4.7. Pengukuran arah dan kecepatan arus ………... 46 Gambar 4.8. Perbandingan besarnya kecepatan arus hasil pemodelan dan

pengukuran ……….. 47 Gambar 4.9. Perbandingan arah arus hasil pemodelan dan pengukuran …….. 47 Gambar 4.10. a. Pola arus pada saat musim barat ……….. 48 Gambar 4.10. b. Pola arus pada saat musim timur ………...……….. 48 Gambar 4.11. Pengaruh debit kanal terhadap pola arus ………. 50 Gambar 4.12. Grafik pengaruh debit kanal terhadap pola arus …….…………. 51 Gambar 4.13. a. Model sebaran panas untuk musim barat ………..…... 52 Gambar 4.13. b. Model sebaran panas untuk musim timur ...………..…... 53 Gambar 4.14. a. Pola sebaran air panas di laut dengan debit 180 m3/s ………. 55 Gambar 4.14. b. Pola sebaran air panas di laut dengan debit 60 m3/s …..……. 55

(12)

Gambar 4.15. Sebaran panas pada arah tegak lurus sumbu simetri kanal pendingin ………... 56 Gambar 4.16. Sebaran panas sepanjang sumbu simetri kanal pendingin ……... 57 Gambar 4.17. a. Hasil simulasi model dengan panjang kanal 500 m ………... 58 Gambar 4.17. b. Hasil simulasi model dengan panjang kanal 1000 m ……... 58 Gambar 4.17. c. Hasil simulasi model dengan panjang kanal 2000 m ………... 59 Gambar 4.18. Sebaran panas pada arah tegak lurus sumbu simetri kanal

pendingin ………. 59 Gambar 4.19. Pola sebaran arus yang dipengaruhi debit kanal pendingin ……. 62 Gambar 4.20. Sebaran panas dari PLTN dengan kapasitas 7000 MWe ………. 62 Gambar 4.21. Sebaran temperatur ke arah barat laut ………. 63 Gambar 4.22. Sebaran temperatur ke arah utara ……… 64 Gambar 4.23. Sebaran temperatur ke arah timur laut ………. 64 Gambar 4.24. Perubahan temporal sebaran temperatur terhadap jarak ………. 66 Gambar 4.30. Perubahan temperatur secara temporal pada beberapa titik

(13)

xiii

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1. Besarnya viskositas olakan berdasarkan jenis aliran …………... 17 Tabel 2.2. Kaitan hukum kekekalan dengan persamaan gerak fluida …….. 21 Tabel 4.1. Rentang nilai faktor difusi ..………. 41

(14)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran A Batimetri Semenanjung Muria, Jepara berdasarkan peta Dishidros TNI AL ……….…………... 72 Lampiran B

Lampiran C

Data pengukuran lapangan kedalaman laut Semenanjung Muria, Jepara ……….….…. Peta batimetri perairan Jepara ………..

73 74 Lampiran D Hasil pengukuran arus di Semenanjung Muria, Jepara ….….…. 75

(15)

1 Universitas Indonesia BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pengoperasian suatu instalasi pembangkit listrik, baik yang berbahan bakar batubara, minyak bumi maupun energi nuklir, umumnya menggunakan air laut sebagai pendingin. Air laut yang telah digunakan sebagai pendingin ini dibuang kembali ke laut. Untuk menurunkan temperatur, sebelum dibuang kembali ke laut air pendingin dialirkan melalui suatu kanal pendingin (cooling channel). Namun, air pendingin yang masuk kembali ke laut tetap memiliki temperatur di atas temperatur ambien air laut.

Masuknya limbah air panas dari kanal pendingin ke laut (thermal pollution) dalam jumlah besar dapat memberikan dampak negatif bagi kehidupan biota laut di sekitarnya. Hanya ikan, krustasea dan moluska yang dapat bertahan terhadap temperatur yang tinggi dan dapat hidup dalam lingkungan yang panas. Temperatur tertinggi yang dapat ditoleransi oleh ikan adalah 38,10C, krustasea 37,90C dan moluska 36,70C (Mihardja dkk., 1999).

Pengaruh secara kimia adalah terhadap kecepatan reaksi dimana reaksi pada kondisi yang setimbang akan berubah sejalan dengan perubahan temperatur. Kecepatan reaksi akan naik sekitar duakalinya untuk setiap kenaikan 100C. Banyak reaksi yang mempengaruhi kualitas air yaitu reaksi biokimia dan sekitar pusat aktivitas mikroba. Rasa dan bau terjadi pada air yang hangat karena terjadinya penurunan kelarutan terutama gas H2S, SO2, CH4, SOx (Huboyo dan Zaman, 2007).

Penyebaran temperatur di badan air akan dipandang sebagai penyebaran material yang konservatif yang tidak mengalami peluruhan oleh proses kimia dan biologi di dalam air, jadi perubahahan temperaturnya hanya disebabkan oleh proses fisis saja (Ismanto dkk., 2008). Proses fisis tersebut berupa adveksi, difusi, konduksi dan konveksi. Proses adveksi dan difusi terjadi pada badan air laut, sedangkan proses

(16)

konduksi dan konveksi terjadi pada batas air dan udara. Adveksi adalah proses perpindahan panas sebagai akibat dari adanya aliran. Difusi adalah proses perpindahan panas berupa rambatan dari air dengan temperatur tinggi ke air dengan temperatur yang lebih rendah. Biasanya permukaan laut lebih panas dari udara di atasnya sehingga terdapat sejumlah panas yang hilang dari laut melalui proses konduksi. Kehilangan tersebut relatif kecil dibanding total panas lautan sehingga pengaruhnya dapat diabaikan, kecuali untuk pencampuran konvektif oleh angin yang memindahkan udara hangat dari permukaan laut (Supangat dan Susanna, 2008). Dengan kata lain luas sebaran polutan panas dari kanal pendingin tergantung pada beberapa faktor yaitu volume air limbah, temperatur air limbah, temperatur ambien air laut dan sirkulasi air laut di lokasi masuknya air limbah ke laut.

1.2 Perumusan Masalah

Pengkajian tentang sebaran polutan panas dari kanal pendingin pembangkit listrik perlu dilakukan untuk dapat mengetahui dampaknya terhadap lingkungan. Pengkajian sebaran panas di laut dapat dilakukan dengan pemodelan komputer menggunakan konsep analisis numerik hidrodinamika laut.

Pada pemodelan sebaran polutan panas dari kanal pendingin ke badan air laut, timbul beberapa pertanyaan penelitian, yaitu:

1. Bagaimana sensitivitas perangkat lunak yang digunakan terhadap parameter potensial berupa kekasaran Manning dan viskositas olakan?

2. Bagaimana perbandingan arus hasil pemodelan dengan arus hasil pengukuran?

3. Bagaimana pola sebaran temperatur pada badan air laut secara spasial dan temporal?

(17)

Dalam melakukan pemodelan pola sebaran polutan panas di laut, proses-proses fisika yang terjadi dimodelkan secara numerik. Dalam melakukan pemodelan numerik perlu dilakukan pendekatan-pendekatan agar solusi dari model numerik tersebut dapat diperoleh. Selain itu perlu dilakukan juga batasan-batasan agar pembahasan yang dilakukan tidak terlalu mengembang dan keluar dari tujuan pembuatan tesis ini.

Pendekatan dan batasan-batasan dalam tesis ini adalah:

a. Pemodelan dilakukan pada daerah pesisir yang dangkal, sehingga badan air laut dianggap tidak mengalami perlapisan (non stratification).

b. Distribusi kecepatan terhadap kedalaman dianggap seragam, sehingga kecepatan dalam arah vertikal dapat diabaikan. Oleh karena itu pemodelan dapat dilakukan secara dua dimensi (2D) dengan hanya memperhatikan kecepatan dalam arah horisontal.

c. Arus laut hanya dipengaruhi oleh pasang surut. Pengaruh gelombang laut, gesekan angin dan rotasi bumi diabaikan.

d. Model numerik yang digunakan dalam tesis ini diambil dari Surface Water Modeling System (SMS) berupa modul RMA2 untuk simulasi arus dan RMA4 untuk simulasi sebaran polutan.

e. Validasi hasil model dengan cara membandingkan hasil pemodelan dan hasil pengukuran hanya dilakukan terhadap hasil pemodelan arus.

1.3 Metode Penelitian

Metode penelitian yang dilakukan adalah membandingkan beberapa hasil simulasi sebaran panas untuk keadaan musim yang berbeda baik untuk kasus tunak (steady state) maupun untuk kasus tak tunak (transient). Data lapangan yang digunakan dalam simulasi ini berupa data batimetri dan data pasang surut.

(18)

Dalam penelitian ini data hasil simulasi yang divalidasi dengan cara membandingkan dengan data pengamatan atau data pengukuran adalah hasil pemodelan pola arus. Kalibrasi dan validasi terhadap model yang digunakan dilakukan dengan cara uji sensitivitas terhadap parameter-parameter potensial berupa kekasaran (roughness) dasar laut dan viskositas olakan (eddy viscosity). Uji sensitivitas biasa dilakukan dalam penelitian-penelitian yang berbentuk pemodelan numerik.

Tahapan simulasi pada penelitian ini meliputi penentuan lokasi berupa peta digital lengkap dengan koordinat lintang dan bujur, penentuan parameter-parameter yang digunakan, pendekatan-pendekatan yang dilakukan, validasi hasil pemodelan, serta uji sensitivitas dari model. Tahapan terakhir dari penelitian ini adalah melakukan simulasi untuk model sebaran panas dari pembangkit listrik tenaga nuklir dengan kapasitas 7000 MWe.

1.4 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji pola sebaran polutan panas di laut agar dapat digunakan dalam pengkajian dampak lingkungan dalam pembangunan instalasi pembangkit listrik yang menggunakan air laut sebagai pendingin.

Hasil simulasi ini juga dapat digunakan untuk uji validasi selanjutnya terutama dalam perancangan pembuatan kanal pendingin agar diperoleh geometri, debit aliran dan lokasi yang tepat yang dapat memberikan hasil pendinginan yang optimal dengan dampak terhadap lingkungan yang minimal.

(19)

5 Universitas Indonesia BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pembangkit Listrik Tenaga Termal

Instalasi pembangkit listrik tenaga termal (thermal power plant) pada umumnya menggunakan tekanan uap dari air yang dipanaskan pada tungku (boiler) untuk menggerakkan turbin generator. Uap air yang telah digunakan masuk ke dalam kondensor untuk dikondensasi menjadi air yang kemudian dipompa kembali ke dalam tungku. Pendinginan pada proses kondensasi berasal dari air pendingin yang dialirkan melalui pipa-pipa pada kondensor. Jenis bahan bakar yang digunakan untuk memanaskan air bermacam-macam, antara lain bahan bakar minyak, gas dan batubara. Skema pembangkit listrik tenaga termal dengan bahan bakar batubara ditunjukkan pada Gambar 2.1.

Gambar 2.1. Skema pembangkit listrik tenaga termal dengan bahan bakar batubara (Wikipedia - http://en.wikipedia.org/wiki/Image:PowerStation2.svg)

(20)

Pembangkit listrik tenaga termal juga dapat menggunakan energi panas dari hasil reaksi fisi nuklir. Pembangkit listrik yang menggunakan energi nuklir sebagai bahan bakar disebut Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN). Ada beberapa jenis PLTN yang ada di dunia, dua di antaranya adalah PLTN reaktor air tekan (Pressurized Water Reaktor, PWR) dan reaktor air didih (Boiling Water Reactor, BWR).

PLTN jenis PWR mempunyai dua siklus pendingin, yaitu pendingin primer dan pendingin sekunder. Siklus pendingin primer seluruhnya berada dalam fase cair. Sedangkan siklus pendingin sekunder terdiri fase cair dan fase uap. Pendingin primer masuk ke dasar teras reaktor pada suhu sekitar 275°C dan dipanaskan hingga suhunya mencapai sekitar 315°C. Pada suhu tersebur air masih dalam fase cair karena adanya tekanan yang besar sekitar 155 bar (15.5 MPa, 153 atm atau 2,250 psig). Pendingin primer selanjutnya masuk ke dalam kolom pembangkit uap (steam generator) dan digunakan untuk proses penguapan pendingin sekunder. Uap dari pendingin sekunder digunakan untuk memutar turbin. Keluar dari turbin, uap pendingin sekunder didinginkan kembali oleh kondensor sehingga kembali ke fase cair. Uap yang sudah berubah menjadi air dipompa kembali ke dalam kolom pembangkit uap. Skema PLTN jenis PWR ditunjukkan pada Gambar 2.2.

PLTN jenis BWR hanya mempunyai satu siklus pendingin yang terdiri dari fase cair dan fase uap. Pendingin masuk ke dasar teras reaktor dan dipanaskan hingga mendidih dan menguap. Tekanan sistem dijaga pada sekitar 75 atm (7,6 MPa, 1000– 1100 psi) sehingga air mendidih pada suhu 285°C. Uap dari teras langsung digunakan untuk memutar turbin. Keluar dari turbin, uap didinginkan pada kondensor sehingga menjadi cair kembali dan dipompa kembali ke dalam teras reaktor. Skema PLTN jenis BWR ditunjukkan pada Gambar 2.3.

(21)

Gambar 2.2. Skema pembangkit listrik tenaga nuklir jenis PWR (Paschoa, 2004)

(22)

2.2 Sistem Air Pendingin Pembangkit Listrik Tenaga Termal

Instalasi pembangkit listrik tenaga termal pada umumnya menggunakan tekanan uap dari air yang dipanaskan pada tungku (boiler) untuk menggerakkan turbin generator. Uap air yang telah digunakan masuk ke dalam kondensor untuk dikondensasi menjadi air yang kemudian dipompa kembali ke dalam tungku. Pendinginan pada proses kondensasi berasal dari air pendingin yang dialirkan melalui pipa-pipa pada kondensor. Air pendingin yang digunakan untuk mendinginkan kondensor umumnya diambil dari laut melalui pipa inlet dan kemudian dibuang kembali ke laut melalui pipa outlet. Desain kondensor secara normal menghasilkan peningkatan temperatur air pendingin antara 60 -160C. (Majewski, W., Miller, D. C., 1979). Untuk memperoleh peningkatan temperatur air pendingin yang rendah diperlukan air pendingin dengan jumlah yang besar. Cara kerja kondensor ditunjukkan oleh skema pada Gambar 2.4.

(23)

Pada saat proses kondensasi uap panas, terjadi perpindahan panas dari uap yang dikondensasi ke air pendingin dengan laju sebagai berikut,

H = Q x p x Cp x ∆T (2.1)

Dimana:

H laju perpindahan panas ke air pendingin, J/s atau kkal/s Q debit aliran air pendingin, m3/s

p kerapatan air, kg/m3

Cp kapasitas panas, J kg-1 K-1 atau kkal kg-1 K-1

∆T kenaikan temperatur air pendingin, °C

Berdasarkan pada persamaan 2.1. banyaknya air pendingin yang diperlukan suatu instalasi pembangkit listrik tenaga termal sebanding dengan besarnya kapasitas daya dari pembangkit listrik tersebut. Hubungan antara kapasitas daya dengan debit air pendingin yang dibutuhkan oleh pembangkit listrik ditunjukkan oleh grafik pada Gambar 2.5.

Gambar 2.5. Grafik hubungan antara kapasitas daya dan debit air pendingin (Majewski, W., Miller, D. C., 1979)

(24)

Dari grafik pada Gambar 2.5 tampak bahwa untuk kapasitas daya yang sama, pembangkit listrik tenaga nuklir membutuhkan air pendingin yang lebih banyak daripada pembangkit listrik tenaga termal yang berbahan bakar fosil (minyak bumi dan batubara). Untuk menghasilkan listrik sebesar 1000 MWe, pembangkit listrik tenaga nuklir membutuhkan air pendingin sebanyak sekitar 44.95 m3/s untuk mendapatkan kenaikan temperatur air pendingin sebesar 100C. Sementara itu untuk memperoleh hasil yang sama pembangkit listrik tenaga termal yang berbahan bakar fosil hanya membutuhkan air pendingin sebanyak sekitar 26,91 m3/s. Hal ini terjadi karena efisiensi pembangkit listrik tenaga nuklir lebih kecil dibanding pembangkit listrik berbahan bakar fosil, sehingga pada pembangkit listrik tenaga nuklir lebih banyak energi panas yang terbuang ke lingkungan.

Besarnya efisiensi pembangkit listrik tenaga termal dihitung dengan persamaan berikut (Roth,2005),

input energi dihasilkan yang listrik energi efisiensi,η= (2.2)

Untuk menghasilkan listrik sebesar 1000 MWe, pembangkit listrik tenaga nuklir dengan efisiensi 33% melepaskan energi panas ke lingkungan sebesar 67%. Dari energi panas yang terlepas ke lingkungan 5% terjadi di dalam instalasi sehingga energi panas yang terbuang ke air pendingin sebesar 62%, atau setara dengan energi sebesar MWatt x E 1000 1878,78 33 62 = =

Dengan menggunakan persamaan 2.1 diperoleh jumlah air pendingin yang dibutuhkan untuk memperoleh kenaikan temperatur air pendingin sebesar 100C adalah 44,95 m3/s.

(25)

Sementara itu pada pembangkit listrik tenaga termal dengan bahan bakar fosil dengan efisiensi 40%, untuk mendapatkan listrik sebesar 1000 MWe jumlah energi panas yang terbuang ke lingkungan adalah sebesar 1500 MW. Energi panas yang terbuang ini sebanyak 15% terjadi di dalam instalasi dan pada cerobong, sehingga jumlah energi panas yang terbuang melalui air pendingin adalah sebesar 1125 MW. Untuk memperoleh kenaikan temperatur air pendingin sebesar 100C dibutuhkan air pendingin sebanyak 26,91 m3/s.

Pada sistem pendingin pembangkit listrik tenaga termal, air pendingin kondensor yang diambil dari air laut, setelah melewati kondensor dibuang kembali ke laut. Sebagai contoh, PLTU Suralaya Unit 1-7, setiap hari dapat menghasilkan limbah air pendingin kondensor dengan suhu berkisar antara 34-37oC dengan jumlah aliran 522000 m3/jam atau setara 145 m3/det dibuang ke laut (Budi, S., 2008). Sementara itu PLTN Brunswick yang terletak di negara bagian North Carolina, Amerika Serikat mengambil air dari sungai Cape Fear, sementara itu limbah air panas kondensor dibuang melalui kanal pendingin menuju laut.

Air yang sudah digunakan sebagai pendingin kondensor tentu memiliki suhu yang lebih tinggi dari suhu normalnya. Pemerintah Republik Indonesia telah mengatur pembuangan air limbah panas dari kondensor ini melalui Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 08 Tahun 2009 tentang baku mutu air limbah bagi usaha dan/atau kegiatan pembangkit listrik tenaga termal. Dalam peraturan tersebut ditetapkan bahwa temperatur maksimum air bahang (panas) dari sumber pendingin yang diijinkan untuk dibuang ke sungai atau ke laut adalah 400C.

Besarnya temperatur limbah air panas dari kondensor dapat dikontrol dengan cara mengatur debit air pendingin yang dipompakan ke kondensor. Semakin besar kapasitas daya pembangkit listrik tenaga termal, semakin besar debit air pendingin yang dibutuhkan, yang berarti semakin besar pula debit limbah air panas yang dibuang melalui kanal pendingin.

(26)

2.3 Karakteristik Fisik Laut 2.3.1 Temperatur

Temperatur dan salinitas adalah karakteristik fisik air laut yang sangat penting, karena dapat digunakan untuk mengidentifikasi badan air laut secara umum. Temperatur, salinitas dan tekanan dapat menentukan kerapatan air laut. Sebaran temperatur pada permukaan laut dipengaruhi oleh fluks panas, penguapan, curah hujan, air sungai yang mengalir ke laut serta pembekuan dan pencairan es di laut (Purba, 2004). Fluks panas terdiri dari beberapa komponen, yaitu insolation (incoming solar radiation) QSW, radiasi infra merah QLW, fluks panas sensible QS dan

fluks panas laten QL. Besarnya komponen-komponen fluks panas ditunjukkan oleh

grafik pada Gambar 2.6.

(27)

Gambar 2.7. Temperatur permukaan laut rata-rata dihitung dengan teknik interpolasi optimal (Stewart, 2006)

(28)

Sebaran temperatur pada permukaan laut cenderung bersifat zonal, yaitu tidak bergantung pada posisi garis bujur (Gambar 2.7). Perbedaan temperatur terutama disebabkan oleh kenaikan panas di lapisan permukaan di daerah equator dan pengurangan panas di daerah kutub. Air paling hangat berada di sekitar equator dan air paling dingin berada di sekitar kutub. Pada daerah antara equator sampai dengan garis lintang 400, air yang lebih dingin cenderung berada di bagian timur. Pada daerah yang terletak di bagian utara dari garis lintang 400, air yang lebih dingin cenderung berada di bagian barat. Temperatur permukaan laut memiliki anomali, deviasi temperatur dalam jangka panjang sangat kecil, kurang dari 1.50 C kecuali di samudera Pasifik di sekitar ekuator deviasi bisa mencapai 30 C (Stewart, 2006).

Profil temperatur terhadap kedalaman menunjukkan tiga zona yang berbeda di bawah permukaan air (0-5 m), yaitu zona atas (upper zone), termoklin (thermocline) dan zona dalam (deep zone) (Kennish, 2001). Zona atas pada kedalaman 5 sampai 200 meter merupakan lapisan dimana terjadi pencampuran yang baik, yang dicirikan dengan kondisi yang hampir isothermal dan dapat dipengaruhi oleh angin permukaan. Perubahan temperatur musiman tidak berpengaruh pada lapisan ini. Pada kedalaman antara 200 dan 1000 meter, temperatur air naik dengan cepat. Lapisan ini disebut termoklin. Pada bagian bumi dengan posisi garis lintang rendah sampai pertengahan, termoklin merupakan perilaku hidrografi yang permanen, sedangkan pada posisi garis lintang tinggi kondisi termoklin terbentuk secara musiman. Termoklin musiman sering terjadi pada kedalaman 50 sampai 100 meter pada air laut di posisi garis lintang pertengahan. Temperatur dengan stabilitas rendah (rata-rata 40C) ditemukan di bawah termoklin permanen. Profil temperatur pada posisi lintang yang rendah menunjukkan penurunan yang tajam, dari 200C pada lapisan permukaan, menjadi 2 sampai 50C pada zona dalam. Pada garis lintang pertengahan temperatur turun dari 10 sampai 150C di permukaan menjadi 50C pada lapisan air yang lebih dalam. Pada

(29)

2.3.2 Arus Laut

Sebaran air panas kanal pendingin pada air laut sangat dipengaruhi oleh pola kecepatan aliran atau arus laut. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi sirkulasi air di pesisir. Secara umum yang terpenting adalah kekuatan arus pasang surut, aliran air dari sungai, kondisi meteorologi, konfigurasi garis pantai dan kedalaman, serta topografi paparan benua (Kennish, 2001).

Angin merupakan salah satu gaya yang disebabkan oleh kondisi meteorologi. Pada saat bertiup di atas permukaan laut, angin mentransfer sebagian energinya untuk membentuk gelombang yang menyebabkan terjadinya arus. Semakin besar kecepatan angin, semakin besar gaya gesekan yang bekerja pada permukaan laut dan semakin besar arus permukaan. Gaya gesekan yang diakibatkan oleh tiupan angin disebut tegangan angin (wind stress).

Gambar 2.8. Arus Ekman yang disebabkan oleh angin dengan kecepatan 10m/s dengan arah 350 ke utara (Stewart, 2006)

(30)

Pengaruh tegangan angin pada permukaan laut adalah terjadinya gerakan turbulen, dimana terjadi transfer momentum di antara bagian-bagian air yang mengakibatkan terjadinya gesekan internal yang disebut viskositas olakan (eddy viscosity).

Teori tentang arus yang diakibatkan oleh tegangan angin dikembangkan oleh Vagn Walfrid Ekman. Menurut Ekman, jika tiupan angin yang steady terjadi pada laut dengan kedalaman dan lebar takterbatas dan tidak ada variasi densitas, gesekan oleh angin pada lapisan paling atas akan memberikan gesekan berupa viskositas olakan pada lapisan di bawahnya, dan seterusnya pada lapisan berikutnya. Dengan adanya gaya coriolis, yaitu gaya yang disebabkan oleh rotasi bumi, dan dengan anggapan bahwa terjadi kesetimbangan antara gaya gesekan dan gaya coriolis, Ekman menyimpulkan bahwa kecepatan arus akan berkurang secara eksponensial terhadap kedalaman, dan arah arus menyimpang 450 dari arah angin dan sudut penyimpangan bertambah dengan bertambahnya kedalaman. Vektor arus membentuk spiral yang disebut dengan Spiral Ekman.

2.3.3 Kekasaran Dasar Laut dan Viskositas Olakan

Kekasaran (roughness) dasar laut dan viskositas olakan (eddy viscosity) dapat mempengaruhi profil air permukaan, kecepatan aliran dan distribusi kecepatan pada badan air laut. Kekasaran Manning (n) merupakan koefisien yang digunakan untuk menggambarkan resistensi terhadap aliran akibat kekasaran permukaan dasar laut. (Khayyun, 2008).

Di permukaan laut, gerakan air tidak pernah laminar, tetapi turbulen sehingga kelompok-kelompok air ditukar antara satu bagian fluida ke bagian fluida yang lain. Gesekan internal yang dihasilkan lebih besar daripada yang disebabkan oleh pertukaran molekul individu dan disebut viskositas olakan (Supangat dan Susanna,

(31)

Dalam mempelajari turbulensi dalam fluida, umumnya vortisitas dalam skala kecil diabaikan dalam perhitungan. Viskositas olakan dengan skala yang lebih besar lebih banyak digunakan dalam perhitungan. Nilai viskositas olakan yang digunakan dalam pemodelan sirkulasi laut berkisar antara 5x104 sampai 106 Pa.s, tergantung pada resolusi grid numerik yang digunakan (Glamore, 2007).

Dalam pembentukkan persamaan gerak, viskositas olakan sesungguhnya merepresentasikan viskositas molekular dan efek turbulensi dari tegangan Reynold. Akan tetapi dalam aliran dimana tegangan Reynold lebih dominan, umumnya besar viskositas olakan lebih besar daripada viskositas molekular, sehingga viskositas molekular dapat diabaikan. Walaupun sulit untuk menetapkan nilai dari viskositas olakan, analogi terhadap kondisi fisik menunjukkan bahwa viskositas olakan bergantung pada momentum fluida, gradient kecepatan dan fenomena aliran. Nilai viskositas olakan akan meningkat seiring dengan meningkatnya ukuran elemen dan kecepatan aliran (Khayyun, 2008). Besarnya viskositas olakan berdasarkan jenis aliran disajikan dalam table 2.1.

Tabel 2.1. Besarnya viskositas olakan berdasarkan jenis aliran (Khayyun, 2008).

Jenis Aliran Viskositas Olakan, pascal detik Aliran horisontal homogen sekitar pulau 480-4800 Aliran horisontal homogen pada pertemuan dua sungai 1200-4800 Aliran tunak termal ke sungai dengan arus lambat 950-4800 Aliran pesisir dalam muara yang berawa-rawa 2400-9580 Aliran lambat pada kolam dangkal 10-50

(32)

Gesekan dengan dasar laut dan viskositas olakan merupakan parameter yang dapat digunakan untuk kalibrasi dan untuk mendapatkan hasil yang stabil dalam pemodelan numerik (Dill, 2007).

Perubahan pada gesekan dasar laut dapat memberi kontrol arah dan besar kecepatan fluida. Tegangan dasar laut didefinisikan sebagai,

Τ = ρgRS (2.3)

Dimana ρ adalah kerapatan air, g adalah percepatan gravitasi, R adalah jari-jari hidrolik rata-rata, dan S adalah kemiringan dasar laut (King, 1996).

Gesekan dasar laut dihitung dengan persamaan Manning jika besarnya input kekasaran lebih kecil dari 3.0. Untuk input kekasaran yang lebih besar atau sama dengan 3.0 digunakan persamaan Chezy. Persamaan Manning untuk arus yang seragam adalah, n S R V 2 1 3 2 49 . 1 = (2.4)

dimana V adalah kecepatan.

Dengan menyelesaikan persamaan Manning untuk S dan mensubstitusi hasilnya ke dalam persamaan 2.3, diperoleh

3 1 2 2 49 . 1 R V n g T       =ρ (2.5)

Karena untuk kanal yang lebar jari-jari hidrolik rata-rata, R, hampir sama dengan kedalaman, persamaan 2.5 dapat dituliskan sebagai berikut,

3 1 2 2 2 49 . 1 h v u u n g Tx  +      =ρ (2.6.a) 2 2 2 v u v n g T =ρ   + (2.6.b)

(33)

2.3.4 Pasang Surut

Pasang surut merupakan peristiwa naik turunnya permukaan air laut secara periodik. Pasang surut menyebabkan terbentuknya gelombang yang paling panjang di laut dan juga arus yang disebut arus pasang surut. Pasang surut menghasilkan arus yang kuat pada bagian-bagian laut. Arus pasang surut dapat memiliki kecepatan mencapai 5 m/s pada laut pesisir (Stewart, 2006).

Pasang surut erat kaitannya dengan gaya gravitasi oleh bulan dan matahari. Pasang tertinggi terjadi pada saat bulan purnama, karena gravitasi bulan memiliki pengaruh yang lebih besar daripada gravitasi matahari. Walaupun massa bulan jauh lebih kecil daripada massa matahari, namun jarak bulan ke bumi jauh lebih kecil daripada jarak matahari ke bumi, hal ini sesuai dengan hukum Newton tentang gravitasi yang dituangkan dalam persamaan berikut,

2 2 1 R M M G Fg = (2.7)

Dimana M1 dan M2 adalah massa masing-masing benda (kilogram), R adalah jarak

antara kedua benda (meter) dan G adalah konstanta universal (6.6 x 10-11 Nm2kg-2). Ketinggian pasang surut dapat diprediksi dengan metode harmonik. Metode tersebut memanfaatkan pengetahuan bahwa pasang surut yang diamati merupakan jumlah dari beberapa komponen atau pasang surut parsial, masing-masing dengan periode yang berhubungan dengan periode salah satu gerakan astronomi antara bumi, matahari dan bulan (Supangat dan Susanna, 2008).

2.4 Konsep Hidrodinamika Laut

Definisi hidrodinamika adalah studi ilmiah tentang gerak fluida, khususnya zat cair incompressible yang dipengaruhi oleh gaya internal dan eksternal. Dalam hidrodinamika laut gaya-gaya yang terpenting adalah gaya gravitasi, gaya gesekan dan gaya coriolis (Stewart, 2006).

Gaya gravitasi merupakan gaya yang dominan dalam hidrodinamika. Gaya berat dari air laut yang merupakan akibat dari adanya gravitasi, menghasilkan tekanan

(34)

hidrostatis. Perubahan gravitasi yang diakibatkan oleh gerakan matahari dan bulan relatif terhadap bumi, menyebabkan terjadinya pasang surut, arus dan pencampuran. Gravitasi juga menyebabkan terjadinya buoyancy, yaitu gaya naik atau gaya turun pada paket-paket air yang memiliki densitas lebih besar atau lebih kecil dari pada air di sekitarnya pada level yang sama.

Gaya gesekan adalah gaya yang bekerja pada dua buah permukaan yang saling bersentuhan dan terjadi gerak relatif antara keduanya. Permukaan di sini dapat berupa paket air atau udara. Tekanan angin adalah gesekan yang disebabkan oleh bertiupnya angin di atas permukaan laut. Tiupan angin mentransfer momentum horisontal kepada laut sehingga menghasilkan arus. Jika angin bertiup pada gelombang laut, maka akan terjadi gelombang laut yang lebih besar.

Gaya Coriolis adalah gaya semu yang dominan yang mempengaruhi gerak dalam sistem koordinat yang disesuaikan terhadap bumi. Gaya semu adalah gaya yang nyata yang muncul dari gerak dalam curvilinear atau koordinat yang berputar. Efek Coriolis adalah pantulan dari angin yang bergerak sepanjang permukaan bumi ke kanan arah gerak pada bagian utara bumi, dan ke kiri arah gerak pada bagian selatan bumi. Efek Coriolis disebabkan oleh rotasi bumi dan menentukan arah rotasi dari massa air, akibatnya arus berputar searah jarum jam di bumi bagian selatan, dan berlawanan arah jarum jam di bumi bagian utara.

Hidrodinamika adalah cabang dari mekanika fluida. Dalam oseanografi, mekanika fluida digunakan berdasarkan mekanika Newton yang dimodifikasi dengan memperhitungkan turbulensi. Persamaan umum dalam konsep hidrodinamika dibentuk dari hukum kekekalan massa, hukum kekekalan momentum dan hukum kekekalan energi (Tabel 2.2).

(35)

Tabel 2.2. Kaitan hukum kekekalan dengan persamaan gerak fluida (Stewart, 2006) Hukum kekekalan Persamaan gerak fluida

Hukum kekekalan massa Persamaan kontinuitas Hukum kekekalan energi Persamaan gelombang

Hukum kekekalan momentum Persamaan momentum (Navier-Stokes) Hukum kekekalan momentum sudut Kekekalan vortisitas

2.5 Model Numerik Hidrodinamika Laut

Model numerik hidrodinamika laut terdiri dari beberapa komponen yaitu data yang diperlukan, model konseptual dan metode untuk menyelesaikan persamaan. Kunci dalam pembuatan model hidrodinamika adalah ketersediaan data dan informasi yang cukup untuk karakterisasi tipe arus yang diharapkan dalam sistem. Data harus tersedia untuk sejumlah daerah. Data yang diperlukan dalam pemodelan adalah data geografi, arus, kandungan zat, kondisi awal, dan data untuk kalibrasi model. Data geografik menggambarkan keadaan sistem. Data arus mendefinisikan batas arus melintang dari sistem. Kandungan zat mendefinisikan kualitas air.

Pemodelan arus sangat kompleks, sehingga harus dilakukan penyederhanaan sistem sebanyak mungkin, dengan tetap memperhatikan bahwa komponen utama sistem tetap terepresentasikan secara penuh. Persamaan yang dikembangkan secara umum bersifat transient (merupakan fungsi dari waktu), non-linear, dan sangat kompleks jika arus mengalami turbulensi. Persamaan menjadi lebih kompleks karena densitas air dapat berubah. Maka untuk kasus yang sangat umum, simulasi juga harus secara simultan mencakup solusi untuk parameter-parameter yang mempengaruhi densitas, seperti salinitas dan temperatur. Jika arus dipengaruhi oleh perubahan densitas, maka arus digambarkan secara bertingkat. Jika arus tidak dipengaruhi oleh perubahan densitas, maka arus digambarkan secara homogen.

(36)

Dengan data yang tersedia dan berdasarkan proses-proses yang terkait, model konseptual harus dikembangkan. Model konseptual harus menggambarkan keseluruhan proses yang terkait dan bagaimana proses-proses tersebut direpresentasikan dengan model numerik.

Terdapat lima tipe utama pendekatan yang dapat diterapkan untuk tipe arus yang berbeda (Glamore, 2007);

- Arus tiga dimensi secara penuh

- Sistem arus tiga dimensi dimana asumsi hidrostatik diterapkan - Arus dua dimensi dengan rata-rata kedalaman

- Arus dua dimensi dengan rata-rata samping

- Arus satu dimensi dengan rata-rata tampang lintang

Model satu dimensi dapat diterapkan untuk arus permukaan sungai, dimana pengaruh dari perubahan pada bagian melintang sungai dapat diabaikan. Model dua dimensi dapat diaplikasikan untuk daerah yang dangkal. Model tiga dimensi dapat diaplikasikan dimana proses berubah terhadap kedalaman seperti pada teluk, laut, danau yang dalam, dan lain-lain. Model dengan rata-rata kedalaman tidak dapat digunakan untuk badan air yang sangat dipengaruhi oleh angin, karena pada kenyataannya air berbalik pada lapisan bawah (Glamore, 2007). Kondisi ini digambarkan pada Gambar 2.9.

(37)

Model sebaran temperatur pada badan air laut terdiri dari persamaan hidrodinamika dan persamaan adveksi-difusi yang telah dikembangkan oleh Mellor (2004) menggunakan persamaan kontinuitas dan momentum.

Persamaan kontinuitas, 0 = ∂ ∂ + ∂ ∂ + ∂ ∂ y D V x D U t η (2.8) Persamaan momentum, > − < + > < − = ∂ ∂ + − − ∂ ∂ + ∂ ∂ + ∂ ∂ ) 1 ( ) 0 ( ~ 2 wu wu x gD D V f F y D V U x D U t D U x η (2.9.a) > − < + > < − = ∂ ∂ + + − ∂ ∂ + ∂ ∂ + ∂ ∂ ) 1 ( ) 0 ( ~ 2 wv wv x gD D U f F y D V x D V U t D V y η (2.9.b)

dimanaD = H +η , U ,V adalah kecepatan rata-rata arus pada sumbu x (timur-barat) dan y (utara-selatan),

− = 0 1 1 σ d U D U and

− = 0 1 1 σ d V D V , t adalah waktu, H

adalah kedalaman, η adalah elevasi permukaan, g adalah percepatan gravitasi, dan f adalah parameter Coriolis.

Difusivitas dalam sumbu x dan y adalah,

              ∂ ∂ + ∂ ∂ ∂ ∂ +       ∂ ∂ ∂ ∂ = x V y U A H y x U A H x Fx 2 M M ~ (2.10)                 ∂ ∂ + ∂ ∂ ∂ ∂ +       ∂ ∂ ∂ ∂ = x V y U A H x y V A H y Fy 2 M M ~ (2.11)

Dimana AM adalah koefisien difusivitas horizontal. Tekanan angin pada permukaan

tidak diperhitungkan. Gesekan dasar untuk kedua sumbu adalah sebagai berikut,

D V U U z C wu 2 2 ) 1 ( + >= − < (2.12)

(38)

D V U V z C wv 2 2 ) 1 ( + >= − < (2.13)

Dimana Cz adalah koefisien gesekan dasar.

Persamaan adveksi-difusi dua dimensi untuk sebaran temperatur pada permukaan laut adalah sebagai berikut,

H p C J T T y D A x D A y T v x T u t T ρ + ∂ ∂ ∂ ∂ + ∂ ∂ ∂ ∂ + ∂ ∆ ∂ − ∂ ∆ ∂ − = ∂ ∆ ∂             (∆ ) (∆ ) ) ( ) ( ) ( (2.14)

Dimana u dan v adalah rata-rata kecepatan arus vertikal yang ditentukan dari model hidrodinamika.

2.6 Model Hidrodinamika untuk Perairan Dangkal

Aliran pada muara, perairan pantai dan laut tidak dapat dianggap satu dimensi. Dalam tesisnya Yulianto (2005) mengatakan bahwa pemodelan perilaku aliran pada muara dan perairan pantai harus menggunakan model tiga dimensi, khususnya pada muara dan daerah perairan pantai dengan batimetri yang sangat kompleks dan cukup dalam serta terjadi perlapisan (stratification). Untuk kasus dimana kedalaman perairan cukup dangkal dibandingkan dengan lebar perairan dan tidak terjadi perlapisan (non stratification) atau terjadi perlapisan yang sangat kecil (weakly stratified), maka variasi kecepatan dalam arah vertikal biasanya kecil dan jarang ditinjau. Menurut Yulianto, untuk kasus seperti ini hanya distribusi horisontal dari kecepatan rata-rata terhadap kedalaman yang diperlukan, sehingga persamaan hidrodinamiknya cukup didekati dengan persamaan dua dimensi (two dimensional

depth average equation).

(39)

(Ismanto, 2008). Oleh karena itu pemodelan dapat dilakukan dengan menggunakan persamaan yang diintegrasikan terhadap kedalaman.

RMA2 (Resource Management Associates) merupakan model hidrodinamik numerik dua dimensi untuk rata-rata kedalaman dengan metode elemen hingga. RMA2 menghitung solusi elemen hingga untuk bentuk Reynold dari persamaan Navier-Stokes untuk aliran turbulensi. Gaya gesekan dihitung dengan formula Manning/Chezy, sedangkan koefisien viskositas olakan digunakan untuk mendefinisikan karakteristik turbulensi (Petrescu dan Sumbasacu, 2010).

Sistem persamaan yang digunakan dalam RMA2 terdiri dari dua persamaan gerak (persamaan 2.15 dan 2.16) dalam koordinat Cartesian, serta satu persamaan kontinuitas (persamaan 2.17) untuk fluida incompressible sebagai berikut,

+       ∂ ∂ + ∂ ∂ +       ∂ ∂ + ∂ ∂ − ∂ ∂ + ∂ ∂ + ∂ ∂ x h x z gh y u E x u E h y u hv x u hu t u h xx xy 2 2 2 2 ρ

(

2 2

)

12 2sin 2 sin 0 2 6 1 2 = + − + +       + u v ζV ψ hωv φ h gun a (2.15) +       ∂ ∂ + ∂ ∂ +       ∂ ∂ + ∂ ∂ − ∂ ∂ + ∂ ∂ + ∂ ∂ y h y z gh y v E x v E h y v hv x v hu t v h yx yy 2 2 2 2 ρ

(

2 2

)

12 2sin 2 sin 0 2 6 1 2 = + − + +       + u v ζV ψ hωv φ h gvn a (2.16) 0 = ∂ ∂ + ∂ ∂ +       ∂ ∂ + ∂ ∂ + ∂ ∂ y h v x h u y v x u h t h (2.17) Dimana: h : kedalaman air

u, v : kecepatan lokal dalam koordinat Cartesian x, y

(40)

ρ : densitas fluida

E : koefisien viskositas olakan

g : percepatan gravitasi

z : elevasi dasar laut

n : koefisien kekasaran Manning

ξ : koefisien gesekan angin empiris

Va : kecepatan angin

ψ : arah angin

ω : laju rotasi angular bumi

φ : garis lintang lokal

Persamaan 2.15, 2.16 dan 2.17 diselesaikan dengan metode elemen hingga menggunakan metode residu berpemberat Galerkin. Elemen yang digunakan dapat berupa garis satu dimensi, segi empat dua dimensi atau segi tiga, serta dapat juga memiliki sisi yang melengkung (parabolic). Fungsi dari bentuk elemen adalah kuadratik untuk kecepatan dan linear untuk kedalaman. Integrasi dalam ruang dilakukan dengan integral Gaussian. Turunan terhadap waktu diganti dengan pendekatan beda hingga non linear.

Pengembangan model matematika untuk gerak air (kecepatan lokal u dan v, serta kedalaman h), untuk menentukan dispersi polutan digunakan RMA4. RMA4 adalah model numerik elemen hingga untuk transpot kualitas air, dimana distribusi konsentrasi terhadap kedalaman diasumsikan seragam (King, 2003). RMA4 menyelesaikan persamaan adveksi-difusi sebagai berikut,

0 ) ( =       + + − ∂ ∂ ∂ ∂ − ∂ ∂ ∂ ∂ − ∂ ∂ + ∂ ∂ + ∂ ∂ h c R kc y c D y x c D x y c v x c u t c h x y σ (2.18)

(41)

Dimana:

h : kedalaman air

u, v : kecepatan lokal dalam koordinat Cartesian x, y

t : waktu

c : konsentrasi polutan

Dx, Dy : koefisien difusi dalam arah x dan y

k : koefisien atenuasi

σ : sumber lokal

R(c) : presipitasi atau penguapan

Persamaan 2.18 diselesaikan dengan metode elemen hingga menggunakan metode residu berpemberat Galerkin.

2.7 Penelitian Terdahulu

Berbagai perangkat lunak komputer telah dikembangkan dengan menggunakan model hidrodinamika untuk mensimulasikan berbagai sifat fisik laut. Nakano dan Povinec (2003) menggunakan Oceanic General Circulation Model (OGCM) untuk mengkaji sebaran 137Cs di perairan laut dunia. Versi modifikasi OGCM ini melingkupi perairan laut dunia dengan topografinya dan dibagi secara horisontal ke dalam grid 20 x 20 dan secara vertikal dibagi ke dalam 15 level. Pemodelan ini meliputi daerah dari 790 Lintang Selatan sampai 750 Lintang Utara, kecuali samudera Arketik. Model OGCM terdiri dari persamaan gerak, kontinuitas, adveksi dan difusi. Berdasarkan data hidrografik rata-rata tahunan dan data tekanan angin, kecepatan rata-rata tahunan ditentukan secara diagnostik.

Purba (2004) menggunakan persamaan hidrodinamika untuk simulasi gerak air, serta persamaan adveksi-difusi panas untuk memprediksi sebaran temperatur. Kedua persamaan ini diselesaikan secara numerik dengan metode beda hingga (finite

difference methods) menggunakan perangkat lunak Princeton Ocean Model (POM)

(42)

Dill (2007) melakukan pengkajian diversi pada sungai Mississipi dengan menggunakan dua perangkat lunak yang menggunakan metode elemen hingga (finite

element method), yaitu RMA2 dan ADCIRC. RMA (Resources Management Association) dikembangkan pada tahun 1973 oleh Norton, King dan Orlob dari Water

Resources Engineers. ADCIRC (The Advanced Circulation Model) merupakan model numerik sirkulasi hidrodinamik yang dapat mensimulasikan level air dan arus. ADCIRC dapat digunakan untuk pemodelan sirkulasi air di pesisir yang dipengaruhi oleh pasang surut dan sirkulasi air yang dipengaruhi oleh angin dan gelombang, baik untuk model dua dimensi maupun tiga dimensi.

(43)

29 Universitas Indonesia BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1 Daerah Studi

Pada bulan Agustus tahun 1991, sebuah perjanjian kerja tentang studi kelayakan telah ditandatangani oleh Menteri Keuangan Republik Indonesia dengan Perusahaan Konsultan NEWJEC Inc. Perjanjian kerja ini berjangka waktu 4,5 tahun dan meliputi pelaksanaan pekerjaan tentang pemilihan dan evaluasi tapak PLTN, serta suatu studi kelayakan yang komprehensif tentang kemungkinan pembangunan berbagai jenis PLTN dengan daya total yang dapat mencapai 7000 MWe. Sebagian besar kontrak kerja ini digunakan untuk melakukan pekerjaan teknis tentang penelitian pemilihan dan evaluasi tapak PLTN di lokasi tapak di Semenanjung Muria. (http://www.batan.go.id/ppen/).

(44)

Semenanjung Muria yang terletak di Jepara, Jawa Tengah, yang merupakan calon tapak pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) yang pertama di Indonesia dipilih sebagai derah studi dalam penelitian ini, dengan harapan hasil penelitian ini dapat bermanfaat sebagai sarana penunjang dalam pengkajian keselamatan lingkungan maupun dalam perancangan kanal pendingin pada pembangunan pembangkit listrik tenaga nuklir kelak. Semenanjung Muria, Jepara terletak pada posisi 110040’- 1110 BT dan 6021’- 6027’ LS. Peta semenanjung Muria, Jepara ditunjukkan pada gambar 3.1.

3.2 Perangkat Lunak Surface Water Modeling System (SMS)

Dalam penelitian ini, pemodelan sebaran temperatur dari kanal pendingin dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak Surface Water Modeling System (SMS) yang dikembangkan oleh Environmental Modeling Research Laboratory (EMRL), Brigham Young University bekerjasama dengan US Army Corps of

Engineers Research and Development Center (ERDC) dan US Federal Highway Administration (FHWA). SMS dapat digunakan untuk mengolah, mengedit dan

memvisualisasikan data geometris dan hidrolika, baik untuk satu, dua maupun tiga dimensi.

SMS memiliki berbagai modul berupa model-model numerik untuk berbagai keperluan. Modul-modul tersebut diantaranya adalah RMA2, RMA4, SED2D-WES, dan CGWAVE yang dikembangkan oleh Engineers Research and Development

Center, HEC RAS yang dikembangkan oleh Hydrologic Engineering Center, serta

(45)

Pemodelan sebaran temperatur dari kanal pendingin menggunakan modul RMA2 dan RMA4. Diagram alir proses pemodelan dengan RMA2 dan RMA4 ditunjukkan pada Gambar 3.2. RMA2 berfungsi untuk mengeksekusi penghitungan hidrodinamik arus dengan asumsi kecepatan rata-rata terhadap kedalaman menggunakan metoda elemen hingga (finite element methods). Metoda elemen hingga melakukan penghalusan jaring-jaring (mesh) untuk merepresentasikan bentuk saluran sungai maupun muara.

(46)

Data arah dan kecepatan arus hasil penghitungan RMA2 digunakan untuk memodelkan pola sebaran temperatur air hangat kanal pendingin dengan menggunakan modul RMA4. RMA4 adalah model numerik elemen hingga untuk transpot kualitas air, dimana distribusi konsentrasi terhadap kedalaman diasumsikan seragam. RMA4 tidak memperhitungkan satuan konsentrasi, karena konsentrasi yang dihitung adalah konsentrasi relatif terhadap konsentrasi awal yang telah ditentukan.

3.3 Cara Kerja 3.3.1 Data Input

Data yang digunakan pada pemodelan ini berupa data batimetri, data pasang surut dan data arus. Data batimetri diperoleh dari peta batimetri yang diterbitkan oleh Dinas Hidro Oseanografi (Dishidros) TNI AL. Peta tersebut dibuat berdasarkan data dari kapal pemeta “Melvill van Carnbee” dan Hydrograaf tahun 1886-1888, survey pelabuhan Semarang tahun 1986, survey PT Semen Gresik tahun 1999 dan pengecekan lapangan Cell ENC pelabuhan Semarang tahun 2003 (Dishidros, 2007). Peta batimetri semenanjung Muria, Jepara ditunjukkan pada Gambar 3.3.

Peta batimetri Semenanjung Muria digunakan sebagai gambar latar belakang untuk pemodelan. Peta tersebut dikalibrasi dengan menggunakan tiga titik acuan untuk mendapatkan koordinat garis lintang dan garis bujur yang tepat.

Data kedalaman laut dari peta batimetri disimpan dalam bentuk data digital dalam format XYZ dimana data koordinat bujur, lintang dan kedalaman lautan dituliskan dalam tiga kolom secara berurutan. Kolom pertama adalah koordinat bujur timur (longitude), kolom ke dua adalah koordinat lintang selatan (latitude) dan kolom ke tiga adalah kedalaman laut dalam meter. Tanda negatif pada kolom koordinat lintang selatan menunjukkan bahwa posisi daerah studi berada di sebelah selatan garis khatulistiwa. Data koordinat lintang dan bujur diubah ke dalam satuan meter,

(47)

3.3.2 Penentuan Kondisi Batas dan Kondisi Awal

Langkah pertama dalam pemodelan hidrodinamika adalah penentuan kondisi batas (boundary condition) dan kondisi awal (initial condition). Kondisi batas dalam pemodelan ini ditetapkan dengan cara mendefinisikannya pada nodestring yang merupakan batas daerah yang dimodelkan. Pada perangkat lunak SMS kondisi batas yang digunakan adalah laju aliran dan kenaikan muka air laut.

Kondisi awal pada pemodelan dengan SMS terdiri dari dua macam, yaitu cold

start dan hot start. Cold start digunakan apabila simulasi baru dilakukan. Sedangkan hot start digunakan apabila terdapat hasil pemodelan terdahulu. Hasil pemodelan

dengan kondisi awal cold start dapat menjadi hot start untuk pemodelan selanjutnya.

Gambar 3.3. Peta batimetri Semenanjung Muria Jepara. (Dishidros, 2007)

(48)

3.3.3 Sifat Bahan

Pada modul RMA2, sifat bahan ditentukan dengan dua buah parameter, yaitu kekasaran (roughness) dasar laut dan viskositas olakan (eddy viscosity). Kekasaran Mannings (n) merupakan koefisien yang digunakan untuk menggambarkan resistensi terhadap aliran akibat kekasaran permukaan dasar laut. Besarnya nilai viskositas olakan dapat dilihat pada Table 2.1, sedangkan besarnya kekasaran Mannings mengikuti nilai awal yang tersedia dalam modul.

Pada modul RMA4 sifat bahan ditentukan oleh faktor difusi. Faktor difusi mirip dengan viskositas olakan pada modul RMA2 yang nilainya berkisar antara 0.01 dan 10.

3.3.4 Analisis Sensitivitas

Model hidrodinamika umumnya digunakan sebagai alat untuk memprediksi atau simulasi dari kondisi fisik sesungguhnya, sehingga perlu dilakukan kalibrasi dan validasi sebelum dapat diaplikasikan. Proses kalibrasi berupa pengujian model dengan berbagai parameter input dilakukan untuk mendapatkan hasil yang sesuai dengan data pengamatan. Data pengamatan yang diperlukan adalah kondisi batas model dan juga data pengamatan untuk dibandingkan dengan output dari model. Setelah dikalibrasi, selanjutnya model divalidasi dengan seperangkat data pengamatan yang lain.

Mengumpulkan data lapangan untuk kalibrasi dan validasi model dapat menghabiskan waktu berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun. Selain itu dibutuhkan peralatan yang cukup mahal. Namun demikian, dalam eksperimen numerik dapat dilakukan uji sensitivitas terhadap parameter-parameter tuning potensial. Dalam pemodelan dengan RMA2 parameter tuning yang umum digunakan untuk kalibrasi model adalah gesekan dasar. Parameter lain yang dapat digunakan untuk

(49)

3.3.5 Validasi Model

Validasi model dalam penelitian ini dilakukan dengan cara membandingkan data hasil pemodelan arus terhadap data hasil pengukuran arus di lapangan. Pengukuran arus di lapangan dilakukan di perairan semenanjung Muria Jepara pada rentang koordinat 110,890 BT - 6,400 LS sampai dengan 110,950 BT - 6,400 LS atau sejauh 6820 meter.

Pengukuran arus di lapangan dilakukan bersama dengan tim dari Kelompok Oceanology, Pusat Pengembangan Energi Nuklir, BATAN, menggunakan kapal motor Shima yang merupakan kapal motor yang dikhususkan untuk melakukan penelitian kelautan.

(50)

BAB 4

HASIL DAN PEMBAHASAN

Dalam pengkajian keselamatan pengoperasian instalasi pembangkit listrik, pengkajian dampak dari terlepasnya polutan panas dari kanal pendingin ke laut merupakan hal yang secara mutlak perlu dilakukan. Oleh karena itu pembuatan model sebaran panas di laut harus dilakukan untuk mensimulasikan sebaran polutan panas pada badan air laut. Simulasi model sebaran panas pada badan air laut ini dapat dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak Surface Water Modeling System (SMS) dengan menggunakan modul RMA2 dan RMA4. Modul RMA2 berfungsi untuk memodelkan arah dan kecepatan arus yang selanjutnya digunakan oleh RMA4 untuk memodelkan sebaran polutan di laut.

Pada penelitian ini telah dilakukan pemodelan hidrodinamika untuk simulasi sebaran panas di perairan laut Semenanjung Muria di Jepara, Jawa Tengah dengan menggunakan perangkat lunak SMS 8.1. Dari pemodelan ini diperoleh hasil berupa kontur kedalaman laut (batimetri), arah dan besarnya arus, serta pola sebaran polutan panas di laut.

4.1 Domain Pemodelan dan Diskritisasi Domain

Domain pemodelan dalam penelitian ini berupa daerah laut pesisir di Semenanjung Muria, Jepara dengan luas 59 km2. Pada bagian laut domain pemodelan diberi batas berupa garis lurus dengan jarak rata-rata dari garis pantai sebesar 5 km. Batas domain pemodelan dengan daratan berupa garis pantai sepanjang 13 km. Pada bagian daratan diasumsikan terdapat kanal pendingin dengan ukuran panjang dan lebar sebesar 900 m x 95 m. Domain pemodelan dalam penelitian ini dibatasi oleh delapan buah nodestring, yang secara garis besar terdiri dari tiga batas lautan, tiga sisi kanal pendingin dan dua garis pantai (Gambar 4.1).

(51)

Gambar 4.1. Domain pemodelan

Setelah domain pemodelan ditentukan, langkah selanjutnya adalah mendiskritkan domain pemodelan secara grafis kedalam elemen-elemen berbentuk segitiga (triangular) dengan menggunakan menu map to 2D mesh, sehingga diperoleh domain diskrit berupa elemen-elemen segitiga yang akan digunakan oleh modul RMA2 untuk menyelesaikan persamaan hidrodinamika dengan metode elemen hingga (finite element methods). Elemen-elemen segitiga yang terbentuk adalah dalam format ASCII atau teks. Agar dapat dibaca oleh modul RMA2 sebagai file input, file ASCII harus dikonversi ke dalam format biner (binary format) berupa kode-kode numerik. Konversi dari format ASCII ke format biner dilakukan dengan menggunakan modul GFGEN (Geometry File GENerator). Hasil diskritisasi domain pemodelan ditunjukkan pada Gambar 4.2.

(52)

Gambar 4.2. Diskritisasi domain pemodelan

4.2 Data Kedalaman Laut

Dalam penelitian ini data kedalaman laut diambil dari 76 titik pada peta batimetri dari Dishidros TNI AL. Data kedalaman laut dari peta batimetri disimpan dalam bentuk data digital dalam format XYZ dimana data koordinat bujur, lintang dan kedalaman lautan dituliskan dalam tiga kolom secara berurutan. Kolom pertama adalah koordinat bujur timur (east longitude), kolom ke dua adalah koordinat lintang selatan (south latitude) dan kolom ke tiga adalah kedalaman laut dalam meter. Tanda negatif pada kolom koordinat lintang selatan menunjukkan bahwa posisi daerah studi berada di sebelah selatan garis khatulistiwa.

(53)

Data koordinat lintang dan bujur diubah ke dalam satuan meter, dimana 1 derajat setara dengan 110 km. Selanjutnya data koordinat lintang dan bujur serta data batimetri disajikan dalam tiga kolom secara berurutan. Data batimetri dalam format XYZ disimpan dalam file dengan ekstensi txt.

Data kedalaman laut digital diinterpolasi secara linier terhadap elemen-elemen segitiga dengan menggunakan menu interpolate to mesh. Hasil interpolasi berupa kontur kedalaman laut. Data kedalaman laut ini selanjutnya digunakan oleh modul RMA2 untuk memodelkan pola arah dan kecepatan arus. Kontur kedalaman laut Semenanjung Muria, Jepara ditunjukkan pada Gambar 4.3.

(54)

4.3 Pengaturan Model

Sebagaimana pemodelan numerik pada umumnya, dalam pemodelan dengan modul RMA2 dan RMA4 juga perlu dilakukan pengaturan-pengaturan awal untuk pemodelan. Pengaturan-pengaturan tersebut terdiri dari kondisi batas, kondisi awal, sifat material dan kontrol model.

4.3.1 Kondisi Batas

Kondisi batas untuk modul RMA2 terdiri dari laju aliran, elevasi muka air, batas pantulan dan kurva kelajuan. Dalam penelitian ini digunakan kondisi batas berupa laju aliran pada batas arus masuk dan elevasi muka air pada batas arus keluar. Pemodelan dengan modul RMA2 terdiri dari dua tipe simulasi yaitu simulasi tunak (steady state) dan simulasi dinamik (dynamic). Pada tipe simulasi tunak, kondisi batas berupa laju aliran dan elevasi muka air bernilai konstan. Pada tipe simulasi dinamik kondisi batas berupa laju aliran dan elevasi muka air nilainya dapat berubah terhadap waktu. Untuk elevasi muka air dapat digunakan data grafik pasang surut terhadap waktu.

Kondisi batas untuk modul RMA4 berupa konsentrasi polutan yang nilainya bisa konstan atau transien. Satuan konsentrasi polutan pada modul RMA4 diserahkan pada pengguna (user) karena RMA4 hanya memodelkan perbedaan konsentrasi awal dan konsentrasi setelah mengalami dispersi oleh proses adveksi dan difusi. Karena proses disipasi panas pada air laut mengalami mekanisme yang sama dengan polutan pada umumnya, maka dalam penelitian ini satuan temperatur berupa derajat Celcius digunakan sebagai satuan konsentrasi polutan.

(55)

4.3.2 Kondisi Awal

Kondisi awal dalam pemodelan dengan modul RMA2 disebut dengan cold

start, yang terdiri dari elevasi muka air, kedalaman minimum dan kecepatan awal.

Setelah pemodelan dilakukan, akan dihasilkan file hot start yang dapat digunakan sebagai cold start untuk pemodelan selanjutnya.

Kondisi awal untuk modul RMA4 adalah konsentrasi polutan pada air sebelum terjadi lepasan polutan. Jika tidak ada polutan pada kondisi awal, maka konsentrasi polutan sama dengan nol. Dalam penelitian ini konsentrasi awal polutan adalah temperatur ambient air laut.

4.3.3 Sifat Material

Sifat material dalam modul RMA2 terdiri dari viskositas olakan (eddy

viscosity) dan kekasaran (roughness) Manning. Berdasarkan pada Table 2.1, nilai

viskositas olakan yang digunakan dalam pemodelan adalah 1000. Sedangkan nilai kekasaran yang digunakan adalah nilai awal pada modul, yaitu sebesar 0,025.

Sifat material dalam modul RMA4 adalah faktor difusi yang nilainya spesifik untuk setiap material. Faktor difusi mirip dengan viskositas olakan pada modul RMA2. Nilai faktor difusi ditampilkan pada Table 4.1.

Table 4.1. Rentang nilai faktor difusi (King, 2003)

Jenis Aliran Faktor Difusi, m2/s Aliran horisontal homogen sekitar pulau 0,01 – 0,1 Aliran horisontal homogen pada pertemuan dua sungai 0,03 – 0,01 Aliran tunak termal ke sungai dengan arus lambat 0,02 – 1 Aliran pesisir dalam muara yang berawa-rawa 0,05 – 0,2 Aliran lambat pada kolam dangkal 0,0002 – 0,001

Gambar

Gambar 4.15.  Sebaran  panas  pada  arah  tegak  lurus  sumbu  simetri  kanal
Tabel 2.1.  Besarnya viskositas olakan berdasarkan jenis aliran …………...  17  Tabel 2.2
Gambar 2.1. Skema pembangkit listrik tenaga termal dengan bahan bakar batubara  (Wikipedia - http://en.wikipedia.org/wiki/Image:PowerStation2.svg)
Gambar 2.2. Skema pembangkit listrik tenaga nuklir jenis PWR (Paschoa, 2004)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Data – data berupa gaya lift dan kecepatan eksitasi selanjutnya dihitung secara manual dengan persamaan matematis sehingga diperoleh nilai respon total dinamis benda

Tujuan dari penelitian ini adalah membuat model pembangkit listrik tenaga panas bumi sistem hybrid flash-binary dengan memanfaatkan panas terbuang dari brine hasil

Hasil model pola arus di perairan pesisir Muara Karang ditinjau pada musim barat pasca reklamasi kondisi pasang tertinggi dan surut terendah masing - masing ditampilkan

Pada musim hujan seperti yang digambarkan pada Gambar 8 hingga Gambar 10, sebaran polutan menyebar ke arah selatan (pengaruh arah angin utara), timur laut (pengaruh

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah Citra Landsat 8 TIRS perekaman 20 November 2019, suhu permukaan laut lapangan, arus permukaan laut lapangan, data curah hujan

Pada saat kondisi pasang surut perbani, cakupan sebaran panas di perairan Dumai mencapai area distribusi yang cukup luas ke arah timur perairan hingga 795 m dan 805 m ke

Berbeda dengan energi mekanik air laut, pemanfaatan energi panas air laut memerlukan fluida kerja dalam konversi energi panas yang digunakan untuk menggerakan turbin listrik..

Suhu Laut dalam Empat Kondisi Esktrim Pasang Surut: a Pasang Perbani; b Surut Perbani; c Pasang Purnama; d Surut Purnama Luas Sebaran Limbah Panas Hasil pengambilan data lapangan di