• Tidak ada hasil yang ditemukan

RESPON FISIOLOGIS DAN KINERJA AYAM SENTUL UMUR 9-12 MINGGU PADA KANDANG BERSUHU NETRAL DAN TINGGI ANGGI PUTRA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "RESPON FISIOLOGIS DAN KINERJA AYAM SENTUL UMUR 9-12 MINGGU PADA KANDANG BERSUHU NETRAL DAN TINGGI ANGGI PUTRA"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

RESPON FISIOLOGIS DAN KINERJA AYAM SENTUL

UMUR 9-12 MINGGU PADA KANDANG

BERSUHU NETRAL DAN TINGGI

ANGGI PUTRA

DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Respon Fisiologis dan Kinerja Ayam Sentul Umur 9-12 Minggu pada Kandang Bersuhu Netral dan Tinggi adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, November 2013 Anggi Putra NIM D14090115

(4)

ABSTRAK

ANGGI PUTRA. Respon Fisiologis dan Kinerja Ayam Sentul Umur 9-12 Minggu pada Kandang Bersuhu Netral dan Tinggi dibimbing oleh RUDI AFNAN dan AHMAD YANI.

Ayam sentul adalah salah satu jenis ayam lokal yang berasal dari Kabupaten Ciamis yang dapat menghasilkan telur dan daging. Suhu adalah salah satu faktor yang dapat memberikan pengaruh terhadap respon fisiologis, tingkah laku, dan kinerja ayam sentul. Sebanyak masing-masing 48 ekor ayam sentul jantan dan betina ditempatkan pada dua kandang bersuhu netral dan panas, yang terdiri atas empat sekat untuk jantan dan empat sekat untuk betina, setiap sekat terdiri atas enam ekor ayam. Penelitian dilakukan dengan dua perlakuan suhu yaitu 23 oC dan 30 oC untuk jantan dan betina. Data yang diperoleh dari kinerja adalah konsumsi pakan, pertambahan bobot badan, konversi pakan, dan mortalitas. Data dari respon fisiologis adalah suhu rektal, dan data dari tingkah laku adalah panting. Rancangan percobaan menggunakan RAL pola faktorial. Data dianalisis ragam dan dilanjutkan dengan Uji Tukey. Hasil penelitian menunjukkan bahwa performa ayam pada suhu 30 oC tidak berbeda nyata terhadap ayam pada suhu 23 oC. Terdapat perbedaan yang nyata pada suhu rektal ayam pada kandang bersuhu 23

o

C dan 30 oC. Terdapat perilaku panting pada kandang 30 oC, dan tidak ada angka mortalitas pada ayam yang dipelihara pada kedua suhu ini.

Kata kunci: ayam sentul, perilaku panting, respon fisiologis

ABSTRACT

ANGGI PUTRA. Physiological Response and Performance of Sentul Chicken at 9-12 Weeks Age with Normal and High Temperature Pens. Supervised by RUDI AFNAN and AHMAD YANI.

Sentul chicken is one of Indonesian native chicken from district of Ciamis which produced eggs and meat. Temperature may influence the physiological response, performance, and behavior of sentul chicken. Sentul chickens consisted of 48 males and females each were placed into two different room temperatures, i.e., neutral and hot. Each house was devided into four pens for male and female. Each pen consisted of six chickenswhich were raised at 23 oC and 30 oC. Variables measured were feed consumption, body weight gain, feed conversion, and mortality. Rectal temperature and panting were measured. Data were subjected to analysis of variance and any differences were continued to Tukey test. The result showed that rectal temperature was significantly affected by house temperature. Performance of chickens at temperature 30 oC was the same with chickens at temperature 23 oC. Panting behavior was observed only in house with heat treatment. There was no mortality in both housing temperature.

(5)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan

pada

Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan

RESPON FISIOLOGIS DAN KINERJA AYAM SENTUL

UMUR 9-12 MINGGU PADA KANDANG

BERSUHU NETRAL DAN TINGGI

ANGGI PUTRA

DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(6)
(7)

Judul Skripsi : Respon Fisiologis dan Kinerja Ayam Sentul Umur 9-12 Minggu pada Kandang Bersuhu Netral dan Tinggi

Nama : Anggi Putra NIM : D14090115

Disetujui oleh

Dr Rudi Afnan, SPt MScAgr Pembimbing I

Ahmad Yani, STP MSi Pembimbing II

Diketahui oleh

Prof Dr Ir Muladno, MSA Ketua Departemen

(8)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Maret-April 2013 ini adalah respon fisiologis dan kinerja, dengan judul Respon Fisiologis dan Kinerja Ayam Sentul Umur 9-12 Minggu pada Kandang Bersuhu Netral dan Tinggi.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Rudi Afnan, SPt MScAgr dan Bapak Ahmad Yani, STP MSi selaku pembimbing. Terima kasih kepada Bapak Dr Ir Asep Sudarman, MRurSc dan Ibu Dr Ir Rukmiasih, MS sebagai dosen penguji pada ujian sidang saya, dan terima kasih kepada ibu Dr Ir Sri Darwati, MSi sebagai dosen panitia pada ujian sidang saya. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah (Husin Kadri), ibu (Ernawati), adik (Akbar dan Dea), serta seluruh keluarga besar atas do’a dan kasih sayangnya. Terima kasih kepada Lusia dan Devin atas kerjasamanya selama penelitian. Terima kasih kepada keluarga besar IPTP 46 dan khususnya anak-anak kandang ABC (Syekh, Fajar, Ubay, Waluyo, Arifin, Al, Listy, dan Monica) yang telah memberikan dukungan dan bantuan selama penulisan karya ilmiah ini. Terima kasih kepada Ike, Rini, Ajeng, Winda, Adam, Cakra, dan seluruh anggota D’Ransum Percussion. Terima kasih kepada Arsy Annasla Disa yang telah menemani dan memberikan dukungan selama ini. Terima kasih kepada seluruh teman kosan (Dimas, Erwin, Yayan, dan Rian), dan terima kasih atas bantuan dari semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, semoga Allah SWT selalu membalas amal baiknya dan semoga skripsi ini bermanfaat.

Bogor, November 2013 Anggi Putra

(9)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Tujuan Penelitian 1

Ruang Lingkup Penelitian 2

METODE 2

Waktu dan Tempat Penelitian 2

Alat 2

Bahan 2

Prosedur 3

Analisis Data 3

Peubah yang Diamati 4

HASIL DAN PEMBAHASAN 5

Kondisi Umum 5

Suhu Rektal 5

Tingkah Laku Panting 7

Konsumsi Pakan 8

Pertambahan Bobot Badan 9

Konversi Pakan 10

Mortalitas 11

SIMPULAN DAN SARAN 12

DAFTAR PUSTAKA 12

(10)

DAFTAR TABEL

1 Komposisi pakan starter komersial untuk ayam pedaging 2 2 Kondisi iklim mikro rata-rata harian kandang 5 3 Suhu rektal ayam sentul umur 9-12 minggu selama penelitian 6 4 Persentase jumlah ayam sentul yang mengalami panting 7 5 Rataan konsumsi pakan ayam sentul selama penelitian 9 6 Pertambahan bobot badan ayam sentul selama penelitian 10 7 Konversi pakan ayam sentul selama penelitian 11

(11)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Ayam sentul merupakan salah satu ayam dari 32 rumpun ayam asli Indonesia yang berasal dari Kabupaten Ciamis Jawa Barat. Ayam sentul dipelihara oleh masyarakat Ciamis secara semi intensif dan dijadikan sebagai komoditas penghasil telur dan daging untuk meningkatkan penghasilan dari masyarakat (Iskandar et al. 2004). Ayam sentul merupakan tipe ayam lokal yang bersifat dwiguna yaitu dapat menghasilkan telur dan daging. Ayam sentul mampu menghasilkan 100 butir telur per tahun, lebih tinggi daripada ayam kampung yang mampu menghasilkan 70 butir per tahun. Pertumbuhan bobot badan ayam sentul juga lebih baik daripada ayam kampung, pada umur 10 minggu dapat mencapai bobot badan satu kilogram, sedangkan ayam kampung hanya berkisar pada bobot 800-900 gram.

Lingkungan adalah salah satu faktor eksternal yang mempengaruhi produktivitas unggas, karena unggas adalah hewan bersifat homeotermis yang mempertahankan suhu tubuh walaupun suhu lingkungan berubah-ubah. Pemeliharaan ayam pada suhu lingkungan tinggi dapat menjadi salah satu penyebab tingginya angka kematian dan penurunan produktivitas ayam (St-Pierre et al. 2003). Suhu lingkungan tinggi akan menyebabkan terjadinya stres panas pada ayam sehingga dapat menyebabkan gangguan pada pertumbuhan ayam (Mashaly et al. 2004). Tingkat stres yang berlebih, akan mempengaruhi banyak aspek dalam tubuh ternak, diantaranya adalah terjadinya penurunan konsumsi pakan, peningkatan konsumsi air minum, dan tingginya nilai konversi pakan. Austic (2000) menambahkan pemeliharaan ayam pada suhu diatas 30 oC akan menyebabkan penurunan bobot badan hingga 25%.

Jenis kelamin adalah salah satu faktor yang mempengaruhi tingkat stres pada ayam (Al-Fataftah dan Abu-Dieyeh 2007), hal ini disebabkan karena jenis kelamin jantan biasanya memiliki volume tubuh yang lebih besar sehingga lebih rendah daya tahan terhadap panas dibandingkan dengan betina yang volume tubuhnya lebih kecil (Soeharsono 2008). Selain itu, luas permukaan tubuh juga dapat berpengaruh terhadap panas tubuh karena semakin kecil ternak maka luas permukaan tubuhnya relatif lebih besar, sehingga panas yang diradiasikan dari dalam tubuh akan lebih banyak, begitu juga pada ternak muda yang lebih tahan panas dibandingkan dengan ternak tua (Soeharsono 2008). Data tentang respon fisiologis dan kinerja dari ayam sentul terhadap suhu tinggi belum banyak didapatkan sehingga perlu dilakukan penelitian untuk mempelajari pengaruhnya terhadap produktivitas ayam sentul.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini dilakukan untuk menguji pengaruh kandang dengan suhu netral dan tinggi terhadap respon fisiologis (suhu rektal dan tingkah laku panting) dan kinerja (konsumsi pakan, pertambahan bobot badan, konversi pakan, dan mortalitas) pada ayam sentul umur 9-12 minggu.

(12)

2

Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini menggunakan ayam sentul jantan dan betina, serta kandang dengan suhu berbeda. Pengamatan meliputi respon fisiologis (suhu rektal dan tingkah laku panting), serta produktivitas (konsumsi pakan, pertambahan bobot badan, konversi pakan, dan mortalitas).

METODE

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan selama 4 minggu sejak tanggal 11 Maret - 7 April 2013. Penelitian ini dilaksanakan di Kandang B Laboratorium Lapang, Fakultas Peternakan IPB.

Alat

Alat yang digunakan pada penelitian ini yaitu kandang tertutup dengan ukuran 3 x 3 meter beserta tempat pakan dan minum, termometer ruangan, pemanas ruangan, Air Conditioner (AC), paranet, dan lampu. Peralatan yang digunakan untuk mengukur respon fisiologis ayam adalah termometer rektal, kamera digital untuk mengambil video tingkah laku panting, dan peralatan untuk mengukur kinerja ayam adalah timbangan.

Bahan Ternak

Ternak yang digunakan dalam penelitian ini adalah ayam sentul umur 9-12 minggu sebanyak 96 ekor. Ayam tersebut terdiri atas 48 ekor ayam jantan dan 48 ekor ayam betina.

Pakan

Pakan yang digunakan adalah pakan starter komersial untuk ayam pedaging. Kandungan komposisi bahan pakan yang digunakan ditampilkan dalam Tabel 1.

Tabel 1 Komposisi pakan starter komersial untuk ayam pedaging*

Zat Makanan Jumlah

Kadar air (maksimal) 13 %

Protein kasar Lemak (minimal)

21.0 – 23.0 % 5.0 %

Serat kasar (maksimal) 5.0 %

Abu (maksimal) 7.0 %

Kalsium (minimal) 0.9 %

Fosfor (minimal) 0.6 %

Energi Metabolis (kkal/kg) 2 900 – 3 000

(13)

3 Prosedur

Persiapan kandang

Kandang dan peralatan disiapkan seminggu sebelum penelitian. Kandang yang digunakan terdiri atas 2 unit kandang tertutup. Kandang tersebut masing-masing bersuhu netral P1 (23 oC) dan bersuhu tinggi P2 (30 oC) mulai pukul 08.00-16.00 dengan menggunakan AC pada kandang P1 dan kandang P2 menggunakan 2 buah pemanas yang dihidupkan secara bergantian setiap 4 jam. Setiap kandang terdiri dari 8 petak anak kandang, dengan 4 petak untuk jantan dan 4 petak untuk betina.

Pemeliharaan

Sebanyak 6 ekor ayam sentul ditempatkan pada tiap sekat. Bobot badan awal ayam ditimbang sebelum diberikan perlakuan. Rataan bobot badan awal ayam sentul jantan sebesar 593.65±60.93 g dengan koefisien keragaman 10%, sedangkan rataan bobot badan ayam pada betina sebesar 565.83±75.31 g dengan koefisien keragaman 13%. Pakan diberikan sesuai kebutuhan konsumsi harian ayam.

Pada umur ke-9 minggu diberikan 47 g/ekor/hari, umur ke-10 minggu diberikan 57 g/ekor/hari, umur 11 minggu diberikan 62 g/ekor/hari, umur ke-12 minggu diberikan 67 g/ekor/hari. Air minum diberikan ad libitum. Pakan diberikan 3 kali dalam sehari dengan proporsi yang sama yaitu pagi (07.00-08.00), siang (12.00-13.00), dan sore (16.00-17.00). Pemanas dan AC mulai dihidupkan pukul 06.30, sehingga diharapkan pada pukul 08.00 suhu kandang sudah mencapai suhu yang diinginkan.

Analisis Data

Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap pola Faktorial. Model matematis dari rancangan ini menurut Mattjik dan Sumertajaya (2002) adalah sebagai berikut:

Yijk = µ + αi + βj + (αβ)ij + €ijk Keterangan:

Yijk = nilai pengamatan pada faktor suhu ke-i dan jenis kelamin ke-j, serta pada ulangan ke-k. µ = nilai rataan umum

αi = pengaruh faktor suhu ke-i ( i = 23 oCdan 30 oC )

βj = pengaruh jenis kelamin ke-j ( j = jantan dan betina )

(αβ)ij = pengaruh interaksi terhadap faktor suhu ke-i pada jenis kelamin ke-j

€ijk = pengaruh galat percobaan faktor suhu ke-i dengan jenis kelamin ke-j dan pada ulangan ke-k

Persamaan antara hubungan suhu efektif dengan parameter iklim mikro yang digunakan dalam penelitian ini menurut Yamamoto (1983):

ET = 0.35DBT + 0.65WBT

Keterangan: ET = suhu efektif

DBT = suhu bola kering ( oC)

WBT = suhu bola basah ( oC)

Data suhu rektal, konsumsi pakan, pertambahan bobot badan, dan konversi pakan yang diperoleh dari penelitian dianalisis ragam (ANOVA). Apabila hasil

(14)

4

analisis ragam berbeda nyata, maka dilanjutkan dengan Uji Tukey. Data tingkah laku panting dan mortalitas dianalisis deskriptif.

Peubah yang Diamati Peubah yang diamati adalah: (1) Bobot badan awal (g/ekor)

Ayam sentul pada kandang P1 dan P2 ditimbang bobot badan awalnya ketika berumur 9 minggu sebelum diberikan perlakuan. Penimbangan dilakukan dengan menggunakan timbangan dan dicatat bobot badannya. (2) Suhu rektal ( oC)

Suhu rektal diukur dengan menggunakan termometer rektal ke dalam rektal ayam sentul selama ± 30 detik hingga angka pada termometer stabil agar data yang didapat akurat. Pengukuran ini dilakukan pada pagi hari pukul 09.00. Pengukuran ini hanya dilakukan pada salah satu petak jantan dan betina pada setiap kandang dan dilakukan seminggu sekali.

(3) Tingkah laku panting (%)

Ayam sentul pada kandang bersuhu netral dan tinggi dilihat persentase jumlah ayam yang mengalami panting. Tingkah laku tersebut diamati menggunakan kamera digital selama sepuluh menit pada salah satu sekat jantan dan betina disetiap kandang. Pengamatan ini menggunakan sekat yang sama dari awal hingga akhir penelitian. Pengamatan ini dilakukan pada pagi hari pukul 08.00-09.00 dan sore hari pukul 16.00-17.00. Pengukuran dilakukan setiap seminggu sekali.

(4) Konsumsi pakan (g/ekor/minggu)

Besarnya pakan yang dikonsumsi setiap minggu adalah selisih dari pakan yang diberikan selama minggu tersebut dikurangi dengan sisa pakan pada minggu tersebut. Perhitungan konsumsi pakan dilakukan seminggu sekali.

(5) Pertambahan bobot badan (g/ekor/minggu)

Perhitungan pertambahan bobot badan dihitung dengan cara penimbangan bobot badan per ekor pada akhir minggu dikurangi rataan bobot badan per ekor awal minggu. Perhitungan PBB juga dilakukan seminggu sekali.

(6) Konversi pakan

Konversi pakan dihitung dari jumlah pakan yang dikonsumsi selama pemeliharaan dibagi dengan pertambahan bobot badan.

(7) Mortalitas (%)

Persentase jumlah ayam yang mati dibandingkan dengan jumlah ayam awal yang dipelihara.

(15)

5 HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi Umum

Penelitian ini berlangsung di kandang tertutup (closed house) bagian B Fakultas Peternakan IPB. Kandang ini memiliki suhu harian dan kelembaban udara rata-rata pada mulai pukul 08.00-17.00 seperti yang ditampilkan pada Tabel 2.

Tabel 2 Kondisi iklim mikro rata-rata harian kandang

Kondisi harian kandang P1 P2

Suhu rata-rata ( oC) 23±0.49 30±0.68

Kelembaban relatif (%) 91±0.21 81±3.37

Berdasarkan kondisi thermoneutral zone menurut Bell dan Weaver (2002) menyatakan bahwa suhu nyaman untuk mencapai pertumbuhan optimum ayam pedaging berkisar antara 18-23 oC. Suhu pada kandang P1 menunjukkan masih termasuk dalam suhu nyaman ayam, sedangkan suhu pada kandang P2 sudah tidak termasuk dalam suhu nyaman ayam untuk berproduksi optimal. Suhu efektif adalah suhu yang dimanfaatkan oleh ternak untuk kehidupannya, faktor yang dapat mempengaruhi suhu efektif adalah suhu dan kelembaban udara, radiasi matahari, dan kecepatan angin (West 1994). Berdasarkan pendapat Yamamoto (1983) tentang suhu efektif, kandang P1 memiliki suhu efektif sebesar 22.35 oC dan P2 sebesar 28.27 oC sehingga suhu dari kedua kandang ini dapat dikatakan berbeda. RH pada kandang P2 lebih rendah dibandingkan dengan kandang P1 diduga disebabkan kandang tersebut memiliki beberapa kelemahan selama penelitian yaitu kusen pintu kandang yang mengalami kerusakan dan langit-langit kandang yang sedikit berlubang.

Analisis ragam menunjukkan tidak ada interaksi antara perlakuan suhu dan jenis kelamin terhadap suhu rektal, konsumsi pakan, pertambahan bobot badan, dan konversi pakan. Namun, faktor suhu kandang lebih mempengaruhi kenaikan suhu rektal dibandingkan dengan faktor perlakuan jenis kelamin, sedangkan konsumsi pakan, pertambahan bobot badan, dan konversi pakan tidak dipengaruhi oleh kedua faktor perlakuan. Hasil analisis deskripsi menyatakan, suhu kandang panas menyebabkan adanya tingkah laku panting pada ayam, namun perilaku tersebut akibat suhu tinggi tidak sampai menyebabkan mortalitas pada ayam Sentul.

Suhu Rektal

Respon fisiologis adalah suatu tanggapan dari tubuh akibat adanya suatu rangsangan dari luar. Stres merupakan respon dari tubuh yang dapat mempengaruhi kondisi emosional dan fisiologis terhadap stimulus yang dinilai sebagai ancaman (Sherman dan Cohen 2006). Penyebab dari stimulus tersebut dapat berasal dari internal maupun dari eksternal tubuh unggas yang lebih dikenal sebagai stressor. Respon fisiologis dapat diketahui salah satunya melalui

(16)

6

pengukuran suhu rektal ayam. Suhu rektal yang menunjukkan lebih atau kurang dari suhu rektal normal pada umumnya, menunjukkan ayam mengalami stres akibat cekaman suhu tinggi maupun rendah.

Stres panas berpengaruh nyata terhadap respon fisiologis ayam, terutama setelah ayam berumur lebih dari umur 3 minggu karena pada umur tersebut bulu penutup tubuh sudah tumbuh lengkap. Ayam pada umur lebih dari 6 minggu memerlukan suhu yang rendah karena ayam tidak memiliki kelenjar keringat dan bulu sudah tumbuh di seluruh bagian tubuhnya sehingga dapat menghambat pengeluaran panas baik dari metabolisme tubuh maupun dari lingkungan. Stres panas disebabkan ketidakseimbangan antara jumlah panas yang dihasilkan tubuh dengan jumlah panas yang dilepaskan tubuh ke lingkungan (Lin et al. 2006). Rataan hasil pengukuran suhu rektal ayam sentul selama penelitian ditampilkan pada Tabel 3.

Tabel 3 Suhu rektal ayam sentul umur 9-12 minggu selama penelitian Jenis kelamin Suhu rektal (

o C) Rataan P1 P2 Jantan 39.00 ± 0.60 39.65 ± 0.52 39.32 ± 0.63 Betina 38.89 ± 0.29 39.60 ± 0.32 39.25 ± 0.47 Rataan 38.94 ± 0.45b 39.63 ± 0.41a

Keterangan: Angka dengan huruf a,b pada baris yang sama menunjukkan perbedaan nyata (P<0.05)

Tidak ada interaksi yang nyata antar perlakuan suhu kandang dan jenis kelamin yang diterapkan, namun faktor perlakuan suhu kandang ternyata memberikan efek lebih besar dibandingkan dengan faktor perlakuan jenis kelamin, hal ini disebabkan karena pada dasarnya ayam jantan dan betina memiliki respon fisiologis yang sama sehingga tidak akan berpengaruh besar terhadap peningkatan suhu rektal. Suhu kandang yang mencapai rata-rata 30 oC akan lebih mempengaruhi respon fisiologis ayam secara langsung, yaitu terganggunya fungsi organ vital seperti jantung dan alat pernafasan. Suhu kandang yang tinggi juga akan berpengaruh terhadap aktivitas metabolisme, hormonal dan kontrol suhu tubuh.

Suhu kandang tinggi akan memaksa ayam untuk mengeluarkan panas tubuh agar tidak mengalami stres panas, pengeluaran panas tubuh pada ayam dapat diketahui salah satunya melalui pengukuran suhu rektal ayam, karena melalui rektal dapat diprediksikan kondisi dalam tubuh ayam. Hal ini sesuai menurut pendapat Sulistyoningsih (2004) semakin tinggi suhu kandang maka akan semakin tinggi suhu tubuh ayam, karena meningkatnya proses metabolisme ayam untuk mengatasi cekaman. Menurut Sugito dan Delima (2009), pemaparan cekaman panas akan menghasilkan peningkatan suhu tubuh yang sangat nyata, dan dapat menyebabkan stres panas yang terkait dengan penerimaan panas dari lingkungan lebih besar dibandingkan dengan kemampuan tubuh untuk membuang panas, sehingga akan menyebabkan terganggunya keseimbangan pelepasan panas tubuh. Menurut West (2003), faktor luar yang paling dominan dalam mempengaruhi peningkatan beban panas yang menyebabkan kenaikan suhu tubuh

(17)

7 adalah suhu udara, kelembaban udara, radiasi matahari, dan suhu kandang sehingga proses homeostasis faktor-faktor tersebut mempengaruhi reseptor pada kulit yang kemudian disampaikan ke sistem syarat pusat.

Tingkah Laku Panting

Tingkah laku adalah suatu respon yang diberikan tubuh akibat adanya rangsangan yang diberikan dari luar. Tingkah laku yang tidak biasa yang dilakukan ternak merupakan sebuah tanda bahwa tubuh ternak sedang mengalami cekaman dan tubuh harus dapat keluar dari cekaman tersebut. Keadaan suhu lingkungan yang cukup tinggi pada siang hari di daerah beriklim tropis menimbulkan cekaman panas di kandang. Ayam akan melepaskan kelebihan suhu tubuh ke lingkungan sebagai mekanisme homeostasis dengan cara radiasi, konduksi, dan konveksi (Charles 2002). Tingkah laku panting adalah salah satu cara yang dilakukan oleh unggas untuk menstabilkan suhu tubuhnya akibat suhu lingkungan yang lebih rendah maupun lebih tinggi daripada suhu normal unggas.

Tingkah laku ini ditandai dengan adanya proses terengah-engah karena kebutuhan oksigen meningkat dan memacu kecepatan laju denyut jantung ayam lebih dari 20 kali per menit (Olanrewaju et al. 2006) sehingga dapat menyebabkan perubahan tingkah laku ayam. Selain itu, ayam tidak memiliki kelenjar keringat sehingga ayam mengeluarkan panas tubuhnya melalui pernafasan yang lebih cepat dan melalui bagian tubuh yang tidak ada bulu, seperti jengger, shank, dan paruh. Tingkah laku panting berkaitan erat dengan perubahan tingkat konsumsi pakan dan minum yang berpengaruh pada bobot badan. Tingginya tingkah laku minum sebagai akibat dari adanya panting, mengindikasikan suhu lingkungan tinggi, sehingga dapat menaikkan suhu tubuh yang berakibat pada kematian (Jahja 2000). Hasil pengamatan tingkah laku panting ayam sentul selama penelitian ditampilkan pada Tabel 4.

Tabel 4 Persentase jumlah ayam sentul yang mengalami panting

Jenis kelamin

Persentase jumlah ayam panting (%)

Minggu ke- P1 P2 Pagi (08.00-09.00) Sore (15.00-16.00) Pagi (08.00-09.00) Sore (15.00-16.00) Jantan 9 0 0 33.3 16.7 10 0 0 16.7 16.7 11 0 0 16.7 33.3 12 0 0 16.7 16.7 Betina 9 0 0 16.7 16.7 10 0 0 16.7 16.7 11 0 0 16.7 16.7 12 0 0 16.7 16.7

(18)

8

Berdasarkan hasil pengamatan pada kandang P1 minggu ke-9 hingga minggu ke-12 tidak terdapat ayam yang mengalami panting, hal ini disebabkan suhu pada kandang P1 merupakan suhu nyaman ayam sehingga tidak akan memberikan efek cekaman terhadap ayam. Hasil yang diperoleh pada minggu ke-9, pada kandang P2 sekat jantan pada pagi hari lebih tinggi jumlah ayam yang panting dibandingkan pada sekat jantan sore hari dan sekat betina pada pagi dan sore hari. Sedangkan, pada minggu ke-10 dan ke-12, sekat jantan P2 pada pagi dan sore hari memiliki jumlah persentase ayam panting yang sama dengan sekat betina P2 pada pagi dan sore hari. Namun, pada minggu ke-11 sekat jantan pada sore hari, lebih tinggi persentase ayam yang panting dibandingkan pada pagi hari dan sekat betina P2 pada pagi dan sore hari. Hal ini diduga karena jantan memiliki bobot rataan lebih tinggi daripada betina sehingga daya tahan terhadap panas lebih rendah dibandingkan dengan betina. Selain itu, pada minggu ke-9 pada pagi hari dan minggu ke-11 pada sore hari, suhu kandang mencapai 32 oC, hal ini dikarenakan cuaca pada hari pengamatan cukup panas dibandingkan dengan hari-hari pengamatan lainnya, sehingga suhu kandang juga mengalami kenaikan, oleh karena itu persentase ayam yang panting menjadi lebih banyak dibandingkan dengan pengamatan minggu lainnya. Betina pada kandang P2 memiliki persentase ayam panting yang tetap disebabkan karena ada satu ayam yang sama pada saat pengamatan selalu panting.

Adanya perilaku panting ini disebabkan karena, ayam sentul yang digunakan mengalami cekaman panas karena suhu rata-rata kandang P2 mencapai 30±0.68 oC, sehingga mengeluarkan perilaku tersebut untuk mengurangi panas tubuh dan tingkat stres yang dialami. Menurut Jahja (2000), aktivitas tingkah laku ternak seperti makan, minum, panting, istirahat, dan lokomosi ternyata dipengaruhi oleh suhu lingkungan yang berbeda. Pada suhu lingkungan 23 oC, sekitar 75% panas tubuh dikeluarkan oleh unggas melalui cara sensible, yaitu melalui kenaikan suhu lingkungan di sekitarnya (konduksi, konveksi, dan radiasi), 25% lainnya yaitu pengeluaran dengan cara penguapan (insensible) yaitu dengan merubah air dalam tubuh menjadi uap air. Pada suhu lingkungan 35 oC, sekitar 25% panas tubuh dikeluarkan melalui kulit dan 75% melalui penguapan, biasanya ayam akan terengah-engah sehingga lebih banyak air dapat diuapkan dari permukaan paru-paru (Bird et al. 2003).

Konsumsi Pakan

Konsumsi pakan adalah jumlah pakan yang dimakan pada waktu tertentu untuk memenuhi kebutuhan hidup ternak. Konsumsi pakan merupakan salah satu faktor terpenting untuk mengetahui produktivitas ternak. Konsumsi pakan pada ayam dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu umur, bangsa, besar ayam, suhu lingkungan, kondisi keadaan ternak, kondisi fisiologis ternak, tahap produksi, jumlah energi dalam pakan, dan aktivitas ternak (Bell dan Weaver 2002).

Suhu lingkungan yang tinggi dapat menurunkan konsumsi pakan dan meningkatkan konsumsi air minum (Jahja 2000). Peredaran darah yang semula mengalir normal ke seluruh organ pencernaan menjadi terganggu karena peredaran darah banyak menuju ke saluran pernafasan yang mengakibatkan pakan yang dikonsumsi menjadi tidak dapat dicerna dengan baik dan nutrien yang terkandung dalam pakan akan terbuang melalui feses (Bell dan Weaver 2002).

(19)

9 Rataan hasil perhitungan konsumsi pakan selama penelitian, ditampilkan pada Tabel 5.

Tabel 5 Rataan konsumsi pakan ayam sentul selama penelitian

Jenis kelamin Konsumsi pakan (g) Rata-rata

P1 P2

Jantan 1 592.00 ±7.99 1 579.46±8.65 1 585.73±10.22 Betina 1 577.00±11.26 1 575.67±6.12 1 576.33±i8.42 Rata-rata 1 584.50±12.08 1 577.56±7.23 1 581.03±10.26

Konsumsi pakan ayam jantan dan betina pada kandang P2 tidak terlalu jauh perbedaannya dengan ayam pada kandang P1. Hal ini berbeda dengan penelitian sebelumnya tentang suhu dan pengaruhnya terhadap konsumsi pakan, bahwa konsumsi pakan pada kandang yang diberi suhu tinggi akan lebih rendah daripada kandang yang bersuhu netral (Kusnadi 2008). Konsumsi pakan pada kandang P2 lebih rendah dibandingkan dengan konsumsi ayam pada kandang P1, namun secara statistik konsumsi pakan antara dua kandang ini tidak berbeda nyata. Hal ini menunjukkan bahwa suhu pada kandang P2 masih dapat ditoleransi oleh ayam sentul, sehingga tidak terlalu mempengaruhi tingkat konsumsi pakan, walaupun menurut teori suhu ini sudah memasuki suhu yang mencekam bagi ayam.

Hal ini juga dapat disebabkan karena ayam sentul berasal dari daerah Kabupaten Ciamis yang memiliki rataan suhu harian yang berkisar antara 20-30

o

C, sehingga ayam sentul sudah terbiasa dengan suhu tersebut. Menurut Kuczynski (2002), suhu di atas 31 oC akan dapat mempengaruhi penurunan konsumsi pakan dan peningkatan konsumsi air. Hal ini didukung juga oleh penelitian Kusnadi (2008) yang menyebutkan bahwa konsumsi pakan pada ayam yang dipelihara pada suhu lebih dari 31 oC akan lebih mempengaruhi konsumsi pakan daripada ayam yang dipelihara pada suhu 28 oC. Konsumsi pakan pada kandang P2 tetap baik karena diduga disebabkan oleh kepadatan kandang yang diterapkan. Menurut Jahja (2000), suhu kandang juga dapat dipengaruhi oleh kepadatan kandang yang tinggi, sedangkan penempatan jumlah ayam yang digunakan dalam penelitian masih termasuk dalam keadaan yang tidak padat, sehingga tidak terlalu mempengaruhi kenaikan suhu kandang.

Pertambahan Bobot Badan

Pertumbuhan merupakan suatu hasil dari interaksi antara faktor genetik dan lingkungan yang saling mempengaruhi. Faktor lingkungan memiliki andil lebih besar dari pada genetik dalam mempengaruhi pertumbuhan. Lingkungan dapat mempengaruhi performa dari ayam sebanyak 70% dan genetik mempengaruhi sebanyak 30%. Faktor yang mempengaruhi pertumbuhan adalah galur ayam, jenis kelamin, dan faktor lingkungan (Bell dan Weaver 2002). Bobot badan adalah salah satu indikator bahwa makhluk hidup mengalami pertumbuhan dan perkembangan. Pertambahan bobot badan berkaitan dengan konsumsi pakan. Data hasil pengukuran pertambahan bobot badan ayam perminggu ditampilkan dalam Tabel 6.

(20)

10

Tabel 6 Pertambahan bobot badan ayam sentul selama penelitian Jenis kelamin Pertambahan bobot badan (g) Rata-rata

P1 P2

Jantan 478.13± 54.40 468.33±34.67 473.23±42.55 Betina 461.67± 18.71 457.08±31.34 459.38±24.02 Rata-rata 469.90± 38.67 462.71±31.18 466.30±34.14

Pertambahan bobot badan ayam pada kandang P2 tidak terlalu jauh perbedaannya dengan ayam pada kandang P1. Hal ini berbanding lurus dengan hasil dari parameter konsumsi sebelumnya. Namun, hasil ini berbeda dengan penelitian sebelumnya tentang suhu dan pengaruhnya terhadap pertambahan bobot badan. Gunawan dan Sihombing (2004) menyatakan bahwa ayam buras pada suhu lingkungan tinggi (25-31 oC) menunjukkan penurunan pertambahan bobot badan dibandingkan dengan ayam yang dipelihara pada suhu nyaman (18-25 oC). Penelitian May dan Lott (2000) menunjukkan ayam broiler yang dipelihara dengan suhu 18 oC menghasilkan bobot badan lebih tinggi dibandingkan pada suhu 30 oC. Pertambahan bobot badan ayam yang dipelihara pada kandang P2 seharusnya lebih kecil dibandingkan dengan ayam pada kandang P1. Hal ini mungkin disebabkan dari ayam yang digunakan, yaitu ayam sentul yang berasal dari daerah yang cukup panas suhu rata-rata hariannya, sehingga tidak terlalu mempengaruhi tingkat konsumsi pakannya, sehingga pertambahan bobot badannya juga tidak terpengaruh.

Hal ini juga dapat disebabkan karena suhu lingkungan yang tidak terlalu tinggi, dan diduga tidak mengalami stres panas yang berlebihan sehingga, ayam pada kandang P2 diduga tidak mengalami gangguan pertumbuhan. Hal ini sejalan dengan pendapat Sugito dan Delima (2009), bahwa cekaman panas diatas suhu 33

o

C selama 4 jam per hari menurunkan pertambahan bobot badan ayam, sedangkan suhu perlakuan yang diterapkan hanya sampai rata-rata 30 oC, sehingga tidak terlalu mempengaruhi pertambahan bobot badan ayam. Kuczynski (2002) menyatakan pemeliharaan ayam pada suhu diatas 31 oC menyebabkan penurunan bobot badan mencapai 25% jika dibandingkan dengan pemeliharaan pada suhu 21.1 – 22.2 oC.

Konversi Pakan

Konversi pakan adalah salah satu parameter yang menunjukan kemampuan pakan untuk menghasilkan satu satuan produksi. Nilai konversi pakan yang semakin rendah hingga mendekati satu menunjukkan pakan yang dikonsumsi semakin efisien dan semakin sedikit jumlah pakan yang dibutuhkan untuk menghasilkan daging dan telur dalam jangka waktu tertentu (Subekti 2003). Nilai konversi pakan juga menunjukkan baik atau buruknya bibit ayam yang digunakan, kualitas pakan yang digunakan, dan keefisienan manajemen pemeliharaan yang diterapkan. Data perhitungan konversi pakan selama penelitian ditampilkan pada Tabel 7.

(21)

11 Tabel 7 Konversi pakan ayam sentul selama penelitian

Jenis kelamin Konversi pakan Rata-rata

P1 P2

Jantan 3.36±0.37 3.39±0.25 3.37±0.29

Betina 3.40±0.12 3.46±0.23 3.43±0.17

Rata-rata 3.38±0.25 3.42±0.22 3.40±0.23

Konversi pakan ayam pada kandang P2 lebih besar dibandingkan dengan konversi pakan ayam pada kandang P1. Hal ini berbanding lurus dengan parameter konsumsi dan pertambahan bobot badan ayam pada kandang pada P1 dan P2, yang menunjukkan nilai konsumsi dan pertambahan bobot badan ayam kandang P2 lebih rendah dari ayam pada kandang P1. Hal ini sejalan dengan pendapat Sugito dan Delima (2009) bahwa ayam yang dipelihara pada kandang yang bersuhu netral akan lebih kecil nilai konversi pakannya dibandingkan dengan ayam yang dipelihara pada kandang yang bersuhu panas. Hal ini karena ayam akan lebih efisien dalam menggunakan energi, karena energi yang dikonsumsi tidak terbuang untuk melepas panas.

Ayam pada kandang P2 memiliki nilai konversi pakan yang lebih besar dibandingkan dengan ayam pada kandang P1 karena ayam pada kandang ini mengalami suatu keadaan yang mengharuskan untuk menyesuaikan diri dalam lingkungan yang suhunya cukup tinggi, sehingga ayam harus mengeluarkan energi dalam tubuhnya untuk menstabilkan suhu tubuh agar tidak mengalami gangguan. Faktor-faktor yang mempengaruhi nilai konversi pakan antara lain, bobot, pakan, bentuk fisik pakan, kandungan nutrisi, jenis kelamin, jenis bangsa, dan suhu lingkungan.

Mortalitas

Tingkat kematian ternak merupakan parameter keberhasilan manajemen pemeliharaan. Unggas sangat rentan terhadap mortalitas, disebabkan unggas memiliki kepekaan yang tinggi terhadap perubahan dari kualitas pakan dan keadaan lingkungan. Selama penelitian, ayam sentul pada kandang bersuhu netral dan kandang suhu tinggi tidak ada yang mati (mortalitas 0%), hal ini dikarenakan ayam sentul yang digunakan sudah dapat beradaptasi dengan baik terhadap perlakuan yang diberikan, serta manajemen pemeliharaan yang diterapkan sudah sesuai dengan kebutuhan ternak, sehingga dapat meminimalisasi mortalitas.

Banyak faktor yang menyebabkan persentase kematian ternak tinggi, diantaranya penyakit, stres akibat lingkungan kandang, keracunan, dan manajemen pemeliharaan yang salah. Hasil penelitian Nataamijaya et al. (1990) menunjukkan persentase angka mortalitas ayam buras sebanyak 20.2% pada suhu lingkungan yang rendah (19-25 oC) dan persentase kematian sebesar 25.1% pada suhu lingkungan yang tinggi (25-31 oC).

(22)

12

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Suhu kandang 30 oC mempengaruhi kenaikan suhu rektal ayam sentul, namun tidak terlalu memberikan efek yang buruk terhadap kinerja ayam sentul. Konsumsi pakan, pertambahan bobot badan, dan konversi pakan ayam sentul yang dipelihara pada suhu 30 oC tidak berbeda dari ayam yang dipelihara pada kandang bersuhu 23 oC. Perilaku panting tidak mempengaruhi kinerja dari ayam sentul. Tidak ada kematian pada ayam akibat perlakuan suhu. Ayam sentul masih memiliki performa yang baik pada suhu 30 oC.

Saran

Penelitian tentang suhu yang lebih ekstrim untuk ayam sentul perlu dilakukan agar dapat mengetahui batasan suhu maksimal yang harus diperhatikan untuk memelihara ayam Sentul, sehingga dapat meminimalisasi kerugian dari segi ekonomi.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Fataftah ARA, Abu-Dieyeh ZHM. 2007. Effect of chronic heat stress on broiler performance in Jordan. Intern. J. Poult. Sci. 6(1):64-70.

Austic RE. 2000. Feeding Poultry in Hot and Cold Climates. Dalam MK Yousef. Stress Physiology in Livestock. Ed ke-3. Florida (US): CRC Pr. Bell DD, Weaver, WD. 2002. Commercial Chicken Meat and Egg Production. Ed

ke-5. New York (US): Springer Science and Business Media Inc.

Bird NA, Hunton P, Morrison WD, Weber LJ. 2003. Heat Stress in Caged Layers. Ontario (US): Ministry of Agriculture and Food.

Charles DR. 2002. Responses to The Thermal Environment. Di dalam: Charles DA, Walker AW, (editor). Poultry Environment Problems, A guide to solution. Nottingham (UK): Nottingham University Pr.

Gunawan, Sihombing DTH. 2004. Pengaruh suhu lingkungan tinggi terhadap kondisi fisiologis dan produktivitas ayam buras. Wartazoa. 14: 31-38.

Iskandar S, Setioko AR, Sopiyana S, Saefudin Y, Suharto, Diedjopratono W. 2004. Keberadaan dan karakter ayam pelung, kedu, dan sentul di lokasi asal. Pros. Seminar Nasional Klinik Teknologi Pertanian Sebagai Basis Pertumbuhan Usaha Agribisnis Menuju Petani Nelayan Mandiri; 2004 Jun 9-10; Menado, Indonesia. Bogor (ID): Puslitbang Sosial Ekonomi Pertanian: 1021–1033.

Jahja. 2000. Ayam Sehat Ayam Produktif, Petunjuk-petunjuk Beternak Ayam. Edke-18. Bandung (ID): Medion Pr.

Kuczynski T. 2002. The application of poultry behaviour responses on heat stress to improve heating and ventilation systems efficiency. J. Pol. Agric. Univ. 5(1): 1–11

(23)

13 Kusnadi E. 2008. Pengaruh temperatur kandang terhadap konsumsi ransum dan komponen darah ayam broiler. J. Indon. Trop. Anim. Agric. 33(3): 197–202. Lin H, Jiao HC, Buyse J, Decuyper E. 2006. Strategies forpreventing heat stress in

poultry. World’s Poult Sci. 62: 71-85.

Mattjik AA, Sumertajaya IM. 2002. Perancangan dan Percobaan dengan Aplikasi SAS dan Minitab. Ed ke-2. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. May JD, Lott BD. 2000. The effect of environmental temperature on growth and

feed conversion of broilers to 21 days of age. J. Poult. Sci. 79: 669 – 671. Mashaly MM, Hendricks GL, Kalama MA, Gehad AE, Abbas AO, Patterson PH.

2004. Effect of heat stress on production parameters and immune responses of commercial laying hens. Poult. Sci. 83:889-894.

Nataamijaya AG, Resnawati H, Antawijaya T, Barchia I, Zainuddin D. 1990. Produktivitas ayam buras di dataran tinggi dan dataran rendah. JIP. 4(3): 30-38 .

Nataamijaya AG, Setioko AR, Brahmantyo B, Diwyanto K. 2003. Performa dan karakteristik tiga galur ayam lokal (pelung, arab, dan sentul). Pros. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner; 2003 Sept 29-30; Bogor, Indonesia. Bogor (ID): Puslitbang Peternakan: 353–359.

Olanrewaju HA, Thaxton JP, Dozier DA, Purswell J, Roush WB, Branton SL. 2006. A Review of Lighting Program for Broiler Production. 2013. [diunduh 2013 September 11]. Tersedia pada http://www.sp.uconn.edu / poultrypages/ light_inset.html.

Sherman DK, Cohen GL. 2006. The physiology of self-defense: self-affirmation theory. Santa Barbara (US): University of California.

Soeharsono. 2008. Bionomika Ternak. Ed ke-1. Bandung (ID): Widya Padjadjaran. St-Pierre NR, Cobanov B, Schnitkey G. 2003. Economic losses from heat stress

by US livestock industries. J. Dairy Sci. (86): 52-77.

Subekti S. 2003. Kualitas telur dan karkas ayam lokal yang diberi tepung daun katuk dalam ransum [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Sugito, Delima M. 2009. Dampak cekaman panas terhadap pertambahan bobot badan, rasio heterofil, limfosit dan suhu tubuh ayam broiler. JKH. 3 (1): 216-224.

Sulistyoningsih M. 2004. Respon fisiologis dan tingkah laku ayam broiler periode starter akibat cekaman temperatur dan awal pemberian pakan yang berbeda [Tesis]. Semarang (ID): Universitas Diponegoro.

West JW. 1994. Interaction of energy and bovine somatotropin with heat stess. J Dairy Sci. 43: 1245.

West JW. 2003. Effects of heat stress on production in dairy cattle. J Dairy Sci. 86: 2131-2141.

Yamamoto S. 1983. The contribution of air velocity to the effective temperature for lating hens. Japanese journal of Zootechnical Science. 54: 711-715.

(24)

14

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 22 April 1991 di Jakarta. Penulis merupakan anak pertama dari tiga bersaudara dari bapak Husin Kadri dan Ibu Ernawati. Penulis menempuh pendidikan di SD Negeri 01 Sukabumi Utara Jakarta Barat, SMP Negeri 229 Jakarta, SMA Negeri 85 Jakarta, dan penulis diterima sebagai mahasiswa di Fakultas Peternakan IPB melalui jalur SNMPTN.

Penulis pernah aktif sebagai pengurus dalam orgnisasi HIMAPROTER sebagai staff departemen kominfo periode 2010-2011 dan BEM Fakultas Peternakan IPB sebagai kepala departemen kominfo periode 2011-2012. Penulis juga pernah mengikuti beberapa kepanitiaan yaitu OMI, GENUS, IGLM, dan FGW. Penulis pernah menjadi pemenang ke-3 lomba perkusi pada IAC 2012.

Gambar

Tabel 4  Persentase jumlah ayam sentul yang mengalami panting

Referensi

Dokumen terkait

Variable Konsep Kearifan Lokal Kantor Bupati Bandung Transformasi Kearifan Kajian Penerapan Lokal Artefact Variable: Obyek Bangunan Menjadi sebuah bangunan permanen

Dengan penambahan serat ijuk ke dalam adukan beton diharapkan dapat menambah kuat tarik belah beton yang optimum, serta beton yang dihasilkan lebih

X Muham mad Anugrah, Emsosfi Zaini, dan Rispiand a VSM dan WAM Membeerikan usulan berdasarkan identifikasi pemborosan yang terjadi menggunakan WAM Metode dalam

Meskipun demikian, perbandingan vokal /e/ yang lain terdapat perbedaan signifikan pada salah satu frekuensi forman sehingga diantara ketiga vokal /e/ tersebut

Konsepsi ini sangat jelas ketika Research And Development (RAND) Corporation men- definisikan seorang liberalis yang moderat dan membedakannya dari Islamis yang

Diki Rosiandi Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Sumatera Utara dari hasil penelitian menunjukan bahwa

Perkawinan endogami adalah perkawinan dengan orang yang segolongan, entah itu etnis yang sama, daerah yang sama, dan agama yang sama.. Itulah yang disampaikan

surat dukungan penyediaan tenaga teknis minimal D-III Elektromedik (untuk instalasi dan pelatihan) dari distributor/agen/pabrik/. ATPM, dengan melampirkan