• Tidak ada hasil yang ditemukan

LAPORAN PRAKTIK KERJA PROFESI APOTEKER DI APOTEK KESELAMATAN JALAN KESELAMATAN NO.27 MANGGARAI, JAKARTA SELATAN LAPORAN PRAKTIK KERJA PROFESI APOTEKER

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "LAPORAN PRAKTIK KERJA PROFESI APOTEKER DI APOTEK KESELAMATAN JALAN KESELAMATAN NO.27 MANGGARAI, JAKARTA SELATAN LAPORAN PRAKTIK KERJA PROFESI APOTEKER"

Copied!
137
0
0

Teks penuh

(1)

UNIVERSITAS INDONESIA

LAPORAN PRAKTIK KERJA PROFESI APOTEKER

DI APOTEK KESELAMATAN JALAN KESELAMATAN NO.27

MANGGARAI, JAKARTA SELATAN

LAPORAN PRAKTIK KERJA PROFESI APOTEKER

GUMILAR ADHI NUGROHO, S. Farm 1306502472

ANGKATAN LXXIX

FAKULTAS FARMASI PROGRAM PROFESI APOTEKER

DEPOK DESEMBER 2014

(2)

UNIVERSITAS INDONESIA

LAPORAN PRAKTIK KERJA PROFESI APOTEKER

DI APOTEK KESELAMATAN JALAN KESELAMATAN NO.27

MANGGARAI JAKARTA SELATAN

LAPORAN PRAKTIK KERJA PROFESI APOTEKER

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Apoteker

GUMILAR ADHI NUGROHO, S.Farm 1306502472

ANGKATAN LXXIX

FAKULTAS FARMASI PROGRAM PROFESI APOTEKER

DEPOK DESEMBER 2014

(3)
(4)
(5)

NPM : 1306502472 Program Studi : Profesi Apoteker

Judul : Laporan Praktek Kerja Profesi Apoteker di Apotek Keselamatan Jalan Keselamatan No. 27, Manggarai, Jakarta Selatan

Praktek Kerja Profesi Apoteker di Apotek dilaksanakan di Apotek Keselamatan. Sebagai tempat pengabdian profesi apoteker, tujuan dari PKPA di apotek adalah untuk mengetahui dan memahami peran dan tanggung jawab seorang apoteker dalam pengelolaan apotek dan memahami serta melaksanakan kegiatan di apotek, baik secara teknis kefarmasian maupun non teknis kefarmasian. Dalam pelaksanaan PKPA, dilakukan juga penyusunan tugas khusus yang berjudul Pembuatan Poster Swamedikasi Keputihan sebagai Media Edukasi di Apotek Keselamatan Jalan Keselamatan No. 27 Manggarai Jakarta Selatan. Penyusunan tugas khusus ini bertujuan menjadikan poster swamedikasi keputihan sebagai media penunjang bagi Apotek Keselamatan dalam pemberian informasi dan edukasi tentang kesehatan kepada masyarakat di sekitar Apotek Keselamatan.

Kata Kunci : Apotek, Apotek Keselamatan, swamedikasi, keputihan, poster Tugas Umum : x + 106 halaman, 7 gambar; 1 tabel; 24 lampiran

Tugas Khusus : iii + 13 halaman

Daftar Acuan Tugas Umum : 17 (1978 – 2014) Daftar Acuan Tugas Khusus : 6 (2006 – 2014)

(6)

NPM : 1306502472 Study Program : Apothecary

Title : Report of Apothecary Profession Internship Program at Apotek Keselamatan No. 27 Manggarai Jakarta Selatan

Apothecary Profession Internship (PKPA) in pharmacy was held in Apotek Keselamatan. The aims of PKPA in pharmacy were to understand the main duties, functions and role of apothecary in managing a pharmacy and understand the activities in pharmacy. The special assignment of PKPA in pharmacy was Designing Poster Self Medication of Vaginal Discharge as Education Media in Apotek Keselamatan No. 27 Manggarai Jakarta Selatan. This special assignment aimed to give provision information about self-medication of vaginal discharge via poster as supporting media to the community around Apotek Keselamatan.

Keywords : Apotek, Apotek Keselamatan, self medication, vaginal

discharge, poster

General Assignment : x + 106 pages, 7 pictures; 1 tables; 24 appendices

Spesific Assignment : iii + 13 pages

Bibliography of General Assignment : 17 (1987 – 2011) Bibliography of Spesific Assignment : 6 (2004 – 2014)

(7)

Puji dan syukur kami ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat dan rahmat-Nya, penulis dapat menyelesaikan Laporan Praktek Kerja Profesi Apoteker di Apotek Keselamatan Jalan Keselamatan No.27 Manggarai Jakarta Selatan Periode 6 Oktober – 31 Oktober 2014. Laporan ini disusun untuk memenuhi salah satu persyaratan guna menyelesaikan pendidikan Profesi Apoteker Fakultas Farmasi Universitas Indonesia.

Pada penulisan laporan ini, penulis tidak terlepas dari bimbingan, arahan, bantuan, serta dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Dra. Azizahwati, M.S., Apt. selaku Apoteker Pengelola Apotek dan Pembimbing I yang telah memberikan kesempatan, bimbingan, dan pengetahuan kepada penulis selama pelaksanaan dan penyusunan laporan PKPA ini.

2. Dr. Mahdi Jufri, M.Si., Apt., selaku dekan Fakultas Farmasi Universitas Indonesia dan Pembimbing II atas saran dan ilmu pengetahuan serta kesempatan dan fasilitas yang telah diberikan selama penulis menempuh pendidikan di Fakultas Farmasi UI.

3. Dr. Hayun M.Si., Apt., selaku ketua program profesi Apoteker Fakultas Farmasi Universitas Indonesia.

4. Seluruh pegawai Apotek Keselamatan yang telah menerima dan membantu penulis selama melaksanakan kegiatan PKPA.

5. Seluruh staf pengajar dan tata usaha Fakultas Farmasi Universitas Indonesia. 6. Drs. Sunaryo dan Yayuk Sri Wahyuningsih, S.H., M.Kn. yang merupakan orang tua penulis atas dukungan moril dan materil yang diberikan serta Intan Dwi Susanti yang merupakan adik penulis yang telah memberikan semangat untuk penulisan laporan ini..

7. Seluruh teman-teman mahasiswa Apoteker angkatan 79 yang telah berjuang bersama dalam menyelesaikan studi di Program Profesi Apoteker Universitas Indonesia.

(8)

Penulis berharap semoga pengetahuan dan pengalaman yang diperoleh selama menjalani PKPA yang dituangkan dalam laporan ini dapat memberikan manfaat bagi semua pihak yang memerlukan.

Penulis

(9)
(10)

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL ... i

HALAMAN JUDUL ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR GAMBAR ... viii

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR LAMPIRAN ... x

BAB 1 PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Tujuan ... 2

BAB 2 TINJAUAN UMUM APOTEK ... 3

2.1 Definisi Apotek ... 3

2.2 Landasan Hukum Apotek ... 3

2.3 Tugas dan Fungsi Apotek ... 4

2.4 Persyaratan Sarana dan Prasarana Apotek ... 4

2.5 Persyaratan Apoteker Pengelola Apotek ... 6

2.6 Pengalihan Tanggung Jawab Pengelolaan Apotek ... 7

2.7 Tata Cara Perizinan Apotek ... 9

2.8 Pencabutan Surat Izin Apotek ... 10

2.9 Sediaan Farmasi di Apotek ... 12

2.9.1 Obat Bebas ... 12

2.9.2 Obat Bebas Terbatas ... 13

2.9.3 Obat Keras ... 14

2.9.4 Narkotika ... 14

2.9.5 Psikotropika ... 16

2.10 Obat Prekursor ... 17

2.11 Obat Wajib Apotek ... 18

2.12 Pengelolaan Apotek ... 19

2.13 Pelayanan Farmasi Klinik di Apotek ... 21

2.14 Pengelolaan Narkotika dan Psikotropika... 28

2.15 Pengadaan Persediaan Apotek ... 32

2.16 Pengendalian Persediaan Apotek ... 33

2.17 Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek ... 39

2.18 Strategi Pemasaran Apotek ... 39

2.14.1 Attention ... 40

2.14.2 Interest ... 40

2.14.3 Desire ... 40

2.14.4 Action ... 40

BAB 3 TINJAUAN KHUSUS ... 42

(11)

3.5 Pengelolaan Obat dan Perbekalan Kesehatan Lainnya ... 45

3.6 Pelayanan Apotek ... 49

3.7 Pengelolaan Narkotika ... 50

3.8 Pengelolaaan Psikotropika ... 51

3.9 Kegiatan Administrasi dan Keuangan ... 52

BAB 4 PEMBAHASAN ... 55

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN ... 67

5.1 Kesimpulan ... 67

5.2 Saran ... 67

DAFTAR ACUAN ... 68

(12)

Gambar 2.1 Logo obat bebas ... 12

Gambar 2.2 Logo obat bebas terbatas ... 13

Gambar 2.3 Tanda peringatan obat bebas terbatas ... 14

Gambar 2.4 Logo obat keras ... 14

Gambar 2.5 Logo narkotika ... 15

Gambar 2.6 Diagram model pengendalian persediaan ... 37

(13)

DAFTAR TABEL

(14)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Lokasi Apotek Keselamatan ... 71

Lampiran 2. Denah Ruangan Apotek Keselamatan ... 72

Lampiran 3. Contoh Papan Nama Apotek ... 73

Lampiran 4. Kartu Stok Barang Apotek Keselamatan ... 74

Lampiran 5. Alur Penerimaan Barang di Apotek Keselamatan ... 75

Lampiran 6. Surat Pesanan Apotek Keselamatan ... 76

Lampiran 7. Surat Pesanan Narkotika dan Psikotropika... 77

Lampiran 8. Salinan Resep Apotek Keselamatan ... 78

Lampiran 9. Kuitansi Apotek Keselamatan ... 79

Lampiran 10. Etiket Obat Apotek Keselamatan ... 80

Lampiran 11. Tanda Terima Tukar Faktur Apotek Keselamatan ... 81

Lampiran 12. Contoh Laporan Narkotika dan Psikotropika Apotek Keselamatan ... 82

Lampiran 13. Contoh formulir APT 1 ... 83

Lampiran 14. Contoh formulir APT 2 ... 85

Lampiran 15. Contoh formulir APT 3 ... 86

Lampiran 16. Contoh formulir APT 4 ... 92

Lampiran 17. Contoh formulir APT 5 ... 93

Lampiran 18. Contoh formulir APT 6 ... 96

Lampiran 19. Contoh formulir APT 7 ... 97

Lampiran 20. Obat Wajib Apotek No.1 ... 98

Lampiran 21. Obat Wajib Apotek No.2 ... 100

Lampiran 22. Obat Wajib Apotek No.3 ... 101

Lampiran 23. Desain Eksterior Apotek Keselamatan ... 105

(15)

1.1.Latar Belakang

Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan merupakan satu diantara unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pembangunan kesehatan dilakukan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang merata dan terjangkau oleh masyarakat di seluruh wilayah Indonesia.

Apotek merupakan satu diantara beberapa fasilitas pelayanan kesehatan yang dapat mewujudkan kesehatan masyarakat, dimana apotek merupakan sarana pelayanan kefarmasian tempat dilakukan praktik kefarmasian oleh Apoteker. Apoteker harus mampu melakukan pelayanan kefarmasian di Apotek dengan baik. Berdasarkan kewenangan pada peraturan perundang-undangan, pelayanan kefarmasian telah mengalami perubahan yang semula hanya berfokus kepada pengelolaan obat (drug oriented) berkembang menjadi pelayanan komprehensif yang meliputi pelayanan obat dan pelayanan farmasi klinik yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup pasien (patient oriented). Oleh sebab itu, seorang Apoteker yang melakukan pekerjaan kefarmasian di Apotek dituntut untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan perilaku agar dapat melaksanakan interaksi langsung dengan pasien seperti pemberian informasi obat dan konseling kepada pasien yang membutuhkan.

Kedua peran yang harus dijalankan oleh seorang apoteker secara bersamaan dalam pelayanannya di apotek menuntut para calon apoteker untuk berlatih dan belajar lebih giat agar kedua peran tersebut dapat dijalankan dengan maksimal. Berdasarkan hal tersebut, Program Profesi Apoteker Fakultas Farmasi Universitas Indonesia melaksanakan Praktik Kerja Profesi Apoteker (PKPA) di apotek bagi para calon apoteker sebagai salah satu upaya untuk menyiapkan para calon apoteker dalam memasuki dunia pekerjaannya di apotek. Satu diantara apotek yang menjadi tempat pelaksanaan PKPA tersebut ialah

(16)

penulis pada tanggal 6-31 Oktober 2014, diharapkan dapat meningkatkan wawasan, pengetahuan dan keterampilan dalam pengelolaan dan pelayanan kefarmasian di apotek.

1.2.Tujuan

Praktik Kerja Profesi Apoteker (PKPA) yang diikuti penulis di Apotek Keselamatan bertujuan untuk:

a. Memahami tugas dan fungsi Apoteker Pengelola Apotek (APA) di apotek. b. Memahami seluruh kegiatan pelayanan kefarmasian yang dilakukan di

(17)

2.1. Definisi Apotek

Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan No.35 Tahun 2014, apotek adalah sarana pelayanan kefarmasian tempat dilakukan praktik kefarmasian oleh Apoteker. Pelayanan Kefarmasian adalah suatu pelayanan langsung dan bertanggung jawab kepada pasien yang berkaitan dengan sediaan farmasi dengan maksud mencapai hasil yang pasti untuk meningkatkan mutu kehidupan pasien. Sediaan farmasi yang dimaksud adalah obat, bahan obat, obat tradisional dan kosmetika. sedangkan perbekalan kesehatan adalah semua bahan dan peralatan yang diperlukan untuk menyelenggarakan upaya kesehatan.

Menurut Peraturan Pemerintah No. 51 Tahun 2009, pekerjaan kefarmasian adalah pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi,pengamanan, pengadaan, penyimpanan, dan pendistribusian atau penyaluran obat, pengelolaan obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat,serta pengembangan obat, bahan obat, dan obat tradisional.

Apotek merupakan bagian dari sarana pelayanan kesehatan tempat dilakukannya praktek kefarmasian, sehingga harus mengutamakan kepentingan masyarakat dan memiliki kewajiban untuk menyediakan, menyimpan dan menyerahkan perbekalan farmasi yang bermutu baik dan terjamin.

2.2. Landasan Hukum Apotek

Apotek memiliki landasan hukum yang diatur dalam: a. Undang-Undang Negara, yaitu:

1. Undang-Undang No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika. 2. Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

3. Undang-Undang Kesehatan RI No.36 tahun 2009 tentang Kesehatan. b. Peraturan Pemerintah, yaitu:

1. Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 1980 tentang perubahan atas PP No.26 Tahun 1965 tentang Apotek.

(18)

c. Peraturan Menteri Kesehatan, yaitu:

1. Peraturan Menteri Kesehatan No. 922/MENKES/PER/X/1993 tentang Kententuan dan Tata Cara Pemberian Izin Apotek.

2. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 889/MENKES/PER/V/2011 tentang Registrasi, Izin Praktek, dan Izin Kerja Tenaga Kefarmasian.

3. Peraturanan Menterian Kesehatan RI No. 35 Tahun 2014 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek.

d. Keputusan Menteri Kesehatan, yaitu:

1. Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 1332/MENKES/SK/X/2002 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Kesehatan RI No.922/MENKES/PER/X/1993 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pemberian Izin Apotek.

2.3. Tugas dan Fungsi Apotek

Menurut Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 1980, tugas dan fungsi apotek adalah:

a. Tempat pengabdian profesi seorang Apoteker yang telah mengucapkan sumpah jabatan.

b. Sarana farmasi yang melaksanakan peracikan, pengubahan bentuk, pencampuran, dan penyerahan obat atau bahan obat.

c. Sarana penyalur perbekalan farmasi yang harus mendistribusikan obat yang diperlukan masyarakat secara meluas dan merata.

2.4. Persyaratan Sarana dan Prasarana Apotek

Menurut Keputusan Menteri Kesehatan No. 35 Tahun 2014, apotek harus mudah diakses oleh masyarakat. Sarana dan prasarana Apotek dapat menjamin mutu Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai serta kelancaran praktik Pelayanan Kefarmasian. Sarana dan prasarana yang diperlukan untuk menunjang Pelayanan Kefarmasian di Apotek meliputi sarana yang memiliki fungsi:

(19)

a. Ruang penerimaan Resep

Ruang penerimaan Resep sekurang-kurangnya terdiri dari tempat penerimaan Resep, 1 (satu) set meja dan kursi, serta 1 (satu) set komputer. Ruang penerimaan Resep ditempatkan pada bagian paling depan dan mudah terlihat oleh pasien.

b. Ruang pelayanan Resep dan peracikan (produksi sediaan secara terbatas) Ruang pelayanan Resep dan peracikan atau produksi sediaan secara terbatas meliputi rak Obat sesuai kebutuhan dan meja peracikan. Di ruang peracikan sekurang-kurangnya disediakan peralatan peracikan, timbangan Obat, air minum (air mineral) untuk pengencer, sendok Obat, bahan pengemas Obat, lemari pendingin, termometer ruangan, blanko salinan Resep, etiket dan label Obat. Ruang ini diatur agar mendapatkan cahaya dan sirkulasi udara yang cukup, dapat dilengkapi dengan pendingin ruangan (air conditioner).

c. Ruang penyerahan Obat

Ruang penyerahan Obat berupa konter penyerahan Obat yang dapat digabungkan dengan ruang penerimaan Resep.

d. Ruang konseling

Ruang konseling sekurang-kurangnya memiliki satu set meja dan kursi konseling, lemari buku, buku-buku referensi, leaflet, poster, alat bantu konseling, buku catatan konseling dan formulir catatan pengobatan pasien. e. Ruang penyimpanan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis

Habis Pakai

Ruang penyimpanan harus memperhatikan kondisi sanitasi, temperatur, kelembaban, ventilasi, pemisahan untuk menjamin mutu produk dan keamanan petugas. Ruang penyimpanan harus dilengkapi dengan rak/lemari Obat, pallet, pendingin ruangan (AC), lemari pendingin, lemari penyimpanan khusus narkotika dan psikotropika, lemari penyimpanan Obat khusus, pengukur suhu dan kartu suhu.

f. Ruang arsip

Ruang arsip dibutuhkan untuk menyimpan dokumen yang berkaitan dengan pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai serta Pelayanan Kefarmasian dalam jangka waktu tertentu.

(20)

Di dalam peraturan IAI nomor PO. 005/ PP.IAI/1418/VII/2014 tersebut, setiap apoteker yang berpraktek di apotek diwajibkan untuk memasang papan nama praktik berukuran 80 cm x 60 cm berbahan kayu atau bahan lain yang sesuai (Lampiran 3). Selain memuat identitas apoteker, papan tersebut juga harus mencantumkan hari dan jam praktek apoteker tersebut. Secara detail, aturan tersebut menjelaskan bahwa papan praktik yang dimaksud harus mencantumkan beberapa hal berikut tanpa ada tambahan lain:

a. Logo Ikatan Apoteker Indonesia

b. Nama dan atau sebutan profesional sesuai Surat Ijin Praktik Apoteker (SIPA) c. Nomor Surat Ijin Praktik Apoteker (SIPA)

d. Nomor Surat Tanda Registrasi Apoteker (STRA) e. Hari dan jam praktik.

f. Nama, alamat dan nomor telepon Apotek

2.5. Persyaratan Apoteker Pengelola Apotek

Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan No.1332/Menkes/SK/X/2002, disebutkan bahwa Apoteker adalah Sarjana Farmasi yang telah lulus dan telah mengucapkan sumpah jabatan Apoteker, yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku berhak melakukan pekerjaan kefarmasian di Indonesia sebagai Apoteker.Sejak tanggal 1 Juni 2011, diberlakukan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 889/Menkes/PerV/2011 tentang Registrasi, Izin Praktek, dan Izin Kerja Tenaga Kefarmasian. Berdasarkan Permenkes ini, setiap Tenaga Kefarmasian wajib memiliki surat tanda registrasi. Untuk tenaga kefarmasian yang merupakan seorang Apoteker, maka wajib memiliki Surat Tanda Registrasi Apoteker (STRA). STRA dikeluarkan oleh Menteri, dimana Menteri akan mendelegasikan pemberian STRA kepada KFN. STRA berlaku selama lima tahun dan dapat diregistrasi ulang selama memenuhi persyaratan. Untuk memperoleh STRA Apoteker harus memenuhi persyaratan:

a. Memiliki ijazah Apoteker

b. Memiliki sertifikat kompetensi profesi

c. Mempunyai surat pernyataan telah mengucapkan sumpah/janji Apoteker d. Mempunyai surat keterangan sehat fisik dan mental dari dokter yang memiliki

(21)

e. Membuat pernyataan akan mematuhi dan melaksanakan ketentuan etika profesi.

Permohonan STRA dapat diajukan dengan menggunakan teknologi informatika atau secara online melalui website KFN.KFN harus menerbitkan STRA paling lama 10 (sepuluh) hari kerja sejak surat permohonan diterima dan dinyatakan lengkap

Setelah memiliki STRA, Apoteker wajib memiliki surat izin sesuai tempat kerjanya. Surat izin tersebut dapat berupa Surat Izin Praktek Apoteker (SIPA) untuk Apoteker yang bekerja di fasilitas pelayanan kefarmasian atau Surat Izin Kerja Apoteker (SIKA) untuk Apoteker yang bekerja di fasilitas produksi atau distribusi farmasi.

Untuk memperoleh SIPA atau SIKA, Apoteker mengajukan permohonan kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota tempat pekerjaan kefarmasian dilaksanakan. Permohonan SIPA atau SIKA harus melampirkan:

a. Fotokopi STRA yang dilegalisir oleh KFN;

b. Surat pernyataan mempunyai tempat praktek profesi atau surat keterangan dari pimpinan fasilitas pelayanan kefarmasian atau dari pimpinan fasilitas produksi atau distribusi/penyaluran;

c. Surat rekomendasi dari organisasi profesi;

d. Pas foto berwarna ukuran 4 x 6 cm sebanyak dua lembar dan 3 x 4 cm sebanyak dua lembar.

Dalam mengajukan permohonan SIPA sebagai Apoteker pendamping harus dinyatakan permintaan SIPA untuk tempat pekerjaan kefarmasian pertama, kedua, atau ketiga. Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota harus menerbitkan SIPA atau SIKA paling lama dua puluh hari kerja sejak surat permohonan diterima dan dinyatakan lengkap.

2.6. Pengalihan Tanggung Jawab Pengelolaan Apotek

Pengalihan tanggung jawab apoteker diatur dalam Keputusan Menteri Kesehatan RI No.1332/MENKES/SK/X/2002 (Pasal 19 dan 24). Apabila APA berhalangan melakukan tugasnya pada jam buka apotek, maka APA harus menunjuk apoteker pendamping. Apabila APA dan apoteker pendamping

(22)

berhalangan melakukan tugasnya, maka APA harus menunjuk apoteker pengganti. Penunjukkan apoteker pendamping dan apoteker pengganti harus dilaporkan kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dengan tembusan kepada Kepala Dinas Kesehatan Propinsi setempat. Apabila APA berhalangan melakukan tugasnya lebih dari 2 (dua) tahun secara terus menerus, SIA atas nama Apoteker bersangkutan dicabut.

Menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI No.922/MenKes/Per/X/1993 pasal 23 dan Keputusan Menteri Kesehatan RI No.1332/MenKes/SK/X/2002 pasal 24, pengalihan tanggung jawab pengelolaan apotek dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut:

a. Pada setiap pengalihan tanggung jawab pengelolaan kefarmasian yang disebabkan karena penggantian APA kepada Apoteker pengganti, wajib dilakukan serah terima resep, narkotika, obat dan perbekalan farmasi lainnya serta kunci-kunci tempat penyimpanan narkotika dan psikotropika (Pasal 23 ayat 1);

b. Pada kegiatan serah terima tersebut wajib dibuat berita acara serah terima sesuai dengan bentuk yang telah ditentukan dalam rangkap empat yang ditandatangani oleh kedua belah pihak (Pasal 23 ayat 2);

c. Apabila APA meninggal dunia, dalam jangka waktu dua kali dua puluh empat jam, ahli waris APA wajib melaporkan kejadian tersebut secara tertulis kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota (Pasal 24 ayat 1).

d. Apabila pada apotek tersebut tidak terdapat Apoteker pendamping, pada pelaporan dimaksud Pasal 24 ayat (1) wajib disertai penyerahan resep, narkotika, psikotropika, obat keras, dan kunci tempat penyimpanan narkotika dan psikotropika (Pasal 24 ayat 2);

e. Pada penyerahan yang dimaksud pada pasal 24 ayat (1) dan (2), dibuat berita acara seperti yang dimaksud pasal 23 ayat (2) dan dilaporkan kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dengan tembusan kepada Kepala Balai POM setempat (Pasal 24 ayat 3).

(23)

2.7. Tata Cara Perizinan Apotek

Di dalam Keputusan Menteri Kesehatan No.1332/Menkes/SK/X/2002 Pasal 4 disebutkan bahwa SIA adalah surat izin yang diberikan oleh Menteri kepada Apotekeratau Apoteker bekerjasama dengan pemilik sarana untuk menyelenggarakan apotek di suatu tempat tertentu. Izin apotek diberikan oleh Menteri, kemudian Menteri melimpahkan wewenang pemberian izin apotek kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota. Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota wajib melaporkan pelaksanaan pemberian izin, pembekuan izin, pencairan izin, dan pencabutan izin apotek sekali setahun kepada Menteri dan tembusan disampaikan kepada Kepala Dinas Kesehatan Provinsi.

Sesuai dengan pasal 7 dan 9 Keputusan Menteri Kesehatan tersebut, ketentuan dan tata cara pemberian izin apotek adalah sebagai berikut:

1. Permohonan izin apotek diajukan kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dengan menggunakan contoh Formulir Model APT-1.

2. Dengan menggunakan Formulir APT-2 Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota selambat-lambatnya 6 (enam) hari kerja setelah menerima permohonan dapat meminta bantuan teknis kepada Kepala Balai POM untuk melakukan pemeriksaan setempat terhadap kesiapan apotek untuk melakukan kegiatan.

3. Tim Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota atau Kepala Balai POM selambat-lambatnya 6 (enam) hari kerja setelah permintaan bantuan teknis dari Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota melaporkan hasil pemeriksaan setempat dengan menggunakan contoh Formulir Model APT-3.

4. Dalam hal pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam poin (2) dan (3) tidak dilaksanakan, Apoteker Pemohon dapat membuat surat pernyataan siap melakukan kegiatan kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota setempat dengan tembusan kepada Kepala Dinas Provinsi dengan menggunakan contoh Formulir Model APT-4.

5. Dalam jangka waktu 12 (dua belas) hari kerja setelah diterima laporan hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud poin (3), atau pernyataan dimaksud,poin (4) Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota setempat mengeluarkan Surat Izin Apotek dengan menggunakan contoh Formulir Model APT-5.

(24)

6. Dalam hal hasil pemeriksaan Tim Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota atau Kepala Balai POM dimaksud poin (3) masih belum memenuhi syarat, Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota setempat dalam waktu 12 (dua belas) hari kerja mengeluarkan Surat Penundaan dengan menggunakan contoh Formulir Model APT-6.

7. Terhadap Surat Penundaan sebagaimana dimaksud dalam poin (6), Apoteker diberi kesempatan untuk melengkapi persyaratan yang belum dipenuhi selambat-lambatnya dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sejak tanggal Surat Penundaan

8. Terhadap permohonan izin apotek yang ternyata tidak memenuhi persyaratan atau lokasi apotek tidak sesuai dengan permohonan, maka Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota setempat dalam jangka waktu selambat-lambatnya 12 (dua belas) hari kerja wajib mengeluarkan Surat Penolakan disertai dengan alasan-alasannya dengan menggunakan contoh Formulir Model APT-7.

2.8. Pencabutan Surat Izin Apotek

Menurut Keputusan Menteri Kesehatan No.1332/Menkes/SK/X/2002, Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota setempat wajib melaporkan pemberian izin, pembekuan izin, pencairan izin, dan pencabutan izin apotek dalam jangka waktu setahun sekali kepada Menteri dan tembusan disampaikan kepada Kepala Dinas Kesehatan Provinsi. Surat izin apotek dapat dicabut oleh Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota apabila:

a. Apoteker sudah tidak lagi memenuhi peryaratan.

b. Apoteker tidak lagi memenuhi kewajibannya untuk menyediakan, menyimpan dan menyerahkan sediaan farmasi yang bermutu baik dan keabsahannya terjamin. Sediaan farmasi yang sudah dikatakan tidak bermutu baik atau karena sesuatu hal tidak dapat dan dilarang untuk digunakan seharusnya dimusnahkan dengan cara dibakar atau ditanam atau dengan cara lain yang ditetapkan oleh Menteri.

c. APA berhalangan melakukan tugasnya lebih dari dua tahun secara terus menerus.

(25)

d. Pelanggaran terhadap Undang-Undang Obat Keras Nomor, St. 1937 N. 541, Undang-Undang No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, Undang-Undang No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika, Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika, serta ketentuan peraturan perundang-undangan lain yang berlaku.

e. Pemilik Sarana Apotek terbukti terlibat dalam pelanggaran perundang-undangan di bidang obat.

f. Apotek tidak dapat lagi memenuhi persyaratan mengenai kesiapan tempat pendirian apotek serta kelengkapan sediaan farmasi dan perbekalan lainnya baik merupakan milik sendiri atau pihak lain.

Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota sebelum melakukan pencabutan surat izin apotek berkoordinasi dengan Kepala Balai POM setempat. Pelaksanaan pencabutan surat izin apotek dilaksanakan setelah dikeluarkan:

a. Peringatan secara tertulis kepada APA sebanyak 3 (tiga) kali berturut-turut dengan tenggang waktu masing-masing 2 (dua) bulan dengan menggunakan contoh Formulir Model APT-12

b. Pembekuan izin apotek untuk jangka waktu selama-lamanya 6 (enam) bulan sejak dikeluarkannya penetapan pembekuan kegiatan apotek dengan menggunakan contoh Formulir Model APT-13

Pembekuan izin apotek sebagaimana dimaksud dalam poin (b) di atas, dapat dicairkan kembali apabila apotek telah membuktikan memenuhi seluruh persyaratan sesuai dengan ketentuan dalam peraturan ini dengan menggunakan contoh Formulir Model APT-14. Pencairan izin apotek dilakukan setelah menerima laporan pemeriksaan dari Tim Pemeriksaan Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota setempat.Apabila SIA dicabut, APA atau Apoteker Pengganti wajib mengamankan perbekalan farmasi sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pengamanan tersebut wajib mengikuti tata cara sebagai berikut: a. Dilakukan inventarisasi terhadap seluruh persediaan narkotika, obat keras

tertentu dan obat lain serta seluruh resep yang tersedia di apotek.

b. Narkotika, psikotropika, dan resep harus dimasukkan dalam tempat yang tertutup dan terkunci.

(26)

c. Apoteker Pengelola Apotek wajib melaporkan secara tertulis kepada Kepala Wilayah Kantor Kementerian Kesehatan atau petugas yang diberi wewenang olehnya, tentang penghentian kegiatan disertai laporan inventarisasi yang dimaksud dalam poin (a).

2.9. Sediaan Farmasi di Apotek

Menurut Peraturan Menteri Kesehatan No. 35 Tahun 2014 sediaan farmasi adalah obat, bahan obat, obat asli tradisonal, dan kosmetika. Obat adalah bahan atau paduan bahan, termasuk produk biologi yang digunakan untuk mempengaruhi atau menyelidiki sistem fisiologi atau keadaan patologi dalam rangka penetapan diagnosis, pencegahan, penyembuhan, pemulihan, peningkatan kesehatan dan kontrasepsi untuk manusia. Obat-obat yang beredar di Indonesia digolongkan oleh Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) dalam 4 (empat) kategori, yaitu obat bebas, obat bebas terbatas, obat keras, dan obat golongan narkotika. Penggolongan ini berdasarkan tingkat keamanan dan dimaksudkan untuk memudahkan pengawasan terhadap peredaran dan pemakaian obat-obat tersebut. Setiap golongan obat diberi tanda pada kemasan yang terlihat. Berdasarkan ketentuan peraturan tersebut, maka obat dibagi menjadi beberapa golongan yaitu obat bebas, obat bebas terbatas, obat keras, psikotropika, dan narkotika.

2.9.1 Obat Bebas

Obat yang dijual bebas di pasaran dan dapat dibeli tanpa resep dokter adalah obat bebas. Tanda khusus pada kemasan dan etiket obat bebas adalah lingkaran hijau dengan garis tepi berwarna hitam. (Kementerian Kesehatan, 2006a).

(27)

2.9.2 Obat Bebas Terbatas

Obat keras tetapi masih dapat dijual atau dibeli bebas tanpa resep dokter dan disertai dengan tanda peringatan disebut obat bebas terbatas. Tanda khusus pada kemasan dan etiket obat bebas terbatas adalah lingkaran biru dengan garis tepi berwarna hitam (Kementerian Kesehatan, 2006a).

Gambar 2.2 Logo obat bebas terbatas

Wadah atau kemasan obat bebas terbatas perlu dicantumkan tanda peringatandan penyerahannya harus dalam bungkus aslinya. Tanda peringatan tersebut berwarna hitam dengan ukuran panjang 5 cm dan lebar 2 cm (atau disesuaikan dengan kemasannya) dan diberi tulisan peringatan penggunaannya dengan huruf berwarna putih (Kementerian Kesehatan, 2006a). Terdapat enam golongan peringatan untuk obat bebas terbatas, yaitu:

a. P no.1: Awas! Obat Keras. Bacalah aturan memakainya. b. P no.2: Awas! Obat Keras. Hanya untuk kumur, jangan ditelan. c. P no.3: Awas! Obat Keras. Hanya untuk bagian luar badan. d. P no.4: Awas! Obat Keras. Hanya untuk dibakar

e. P no.5: Awas! Obat Keras. Tidak boleh ditelan. f. P no.6: Awas! Obat Keras. Obat wasir, jangan ditelan

(28)

Contoh tanda peringatan dapat dilihat pada Gambar 2.3

Gambar 2.3 Tanda peringatan pada kemasan obat bebas terbatas

Gambar 2.3. Tanda peringatan obat bebas terbatas 2.9.3 Obat Keras

Obat yang hanya dapat dibeli di apotek dengan resepdokter disebut obat keras. Tanda khusus pada kemasan dan etiket adalah huruf K dalam lingkaran merah dengan garis tepi berwarna hitam. Obat-obat yang masuk ke dalam golongan ini antara lain obat jantung, antihipertensi, antihipotensi, obat diabetes, hormon, antibiotika, psikotropika, dan beberapa obat ulkus lambung dan semua obat injeksi.

Gambar 2.4. Logo obat keras

2.9.4 Narkotika

Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan. Pengaturan narkotika dalam Undang-Undang nomor 35 tahun 2009 meliputi segala bentuk kegiatan dan/atau

(29)

perbuatan yang berhubungan dengan narkotika dan prekursor narkotika. Peraturan ini perlu dilakukan dengan tujuan untuk:

a. Menjamin ketersediaan narkotika untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi;

b. Mencegah, melindungi, dan menyelamatkan Bangsa Indonesia dari penyalahgunaan narkotika;

c. Memberantas peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika; dan

d. Menjamin pengaturan upaya rehabilitasi medis dan sosial bagi penyalahguna dan pecandu narkotika.

Gambar 2.5 Logo Narkotika

Narkotika dibagi menjadi tiga golongan, yaitu (Undang-Undang No. 35 Tahun 2009):

a. Narkotika golongan I

Narkotika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, serta mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan. Contoh narkotika golongan ini adalah heroin, kokain, ganja, dan obat-obat psikotropika golongan I dan II. b. Narkotika golongan II

Narkotika berkhasiat pengobatan digunakan sebagai pilihan terakhir dan dapat digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi tinggi mengakibatkan ketergantungan. Contoh narkotika golongan ini adalah morfin, petidin, dan metadon.

c. Narkotika golongan III

Narkotika berkhasiat pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan ketergantungan. Contoh narkotika golongan ini adalah kodein.

(30)

2.9.5 Psikotropika

Psikotropika adalah zat atau obat, baik alamiah maupun sintetis bukan narkotika, yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku.Penggolongan dan pengelolaan psikotropika di apotek adalah sebagai berikut.

Penggolongan psikotropika menurut Undang-Undang No. 5 Tahun 1997 adalah sebagai berikut:

a. Psikotropika golongan I

Psikotropika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi serta mempunyai potensi amat kuat mengakibatkan sindroma ketergantungan. Contoh dari obat psikotropika golongan I adalah ecstasy (MDMA), psilosin (jamur meksiko/jamur tahi sapi), LSD (lisergik deitilamid), dan meskalin (kaktus amerika).

b. Psikotropika golongan II

Psikotropika yang berkhasiat pengobatan dan dapat digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi kuat mengakibatkan sindroma ketergantungan. Contoh obat golongan psikotropika golongan II adalah amfetamin, metakualon, dan metilfenidat. Sekarang obat psikotropika golongan I dan II dikategorikan dalam obat narkotika golongan I. c. Psikotropika golongan III

Psikotropika yang berkhasiat pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi sedang mengakibatkan sindroma ketergantungan. Contoh obat psikotropika golongan III adalah amorbarbital, flunitrazepam, dan kastina.

d. Psikotropika golongan IV

Psikotropika yang berkhasiat pengobatan dan sangat luas digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan sindroma ketergantungan. Contoh obat psikotropika golongan IV adalah barbital, bromasepam, diazepam, estazolam, fenorbarbital, klobazam, dan klorazepam.

(31)

2.10. Obat Prekusor

Pada PP No. 44 Tahun 2010 prekursor adalah zat atau bahan pemula atau bahan kimia yang dapat digunakan dalam pembuatan narkotika dan psikotropika. Prekursor banyak digunakan dalam berbagai kegiatan baik pada industri farmasi, industri non farmasi, sektor pertanian maupun untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Meskipun prekursor sangat dibutuhkan di berbagai sektor, namun apabila penggunaannya tidak sesuai dengan peruntukannya dan ketentuan peraturan perundang-undangan atau disalahgunakan dalam pembuatan narkotika dan psikotropika secara gelap maka akan sangat merugikan dan membahayakan kesehatan.

Setiap prekursor wajib diberi label pada setiap wadah atau kemasan yang dapat berbentuk tulisan, gambar, kombinasi tulisan dan gambar atau bentuk lain yang disertakan pada kemasan atau dimasukkan dalam kemasan, ditempelkan atau merupakan bagian dari wadah dan/atau kemasannya. Prekursor wajib disimpan pada tempat penyimpanan yang aman danterpisah dari penyimpanan lain.

Tabel 2.1 Golongan Prekusor

TABEL I TABEL II

Acetic Anhydride Acetone

N-acetylanthranilic Acid Anthranilic Acid

Ephedrine Ethyl Ether

Ergometrine Hydrochloric Acid

Ergotamine Methyl ethyl ketone

Isosafrole Phenylacetic Acid

Lysergic Acid Piperidine

3,4-Methylenedioxyphenyl-2 propanone Sulphuric Acid

Norephedrine Toluene 1-phenyl-2-propanone Piperonal Potasium Permanganat Pseudoephedrine Safrole

(32)

Pengaturan Prekursor bertujuan untuk:

a. melindungi masyarakat dari bahaya penyalahgunaan Prekursor; b. mencegah dan memberantas peredaran gelap Prekursor;

c. mencegah terjadinya kebocoran dan penyimpangan Prekursor; dan

d. menjamin ketersediaan Prekursor untuk industri farmasi, industri non farmasi, dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Setiap orang atau badan yang mengelola prekursor wajib membuat pencatatan dan pelaporan secara berkala yang memuat:

a. jumlah prekursor yang masih ada dalam persediaan; b. jumlah dan banyaknya prekursor yang diserahkan; dan c. keperluan atau kegunaan prekursor oleh pemesan.

2.11. Obat Wajib Apotek

Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 34/MENKES/SK/VII/1990, Obat Wajib Apotek (OWA) adalah obat keras yang dapat diserahkan oleh Apoteker kepada pasien di apotek tanpa resep dokter. OWA bertujuan untuk pelaksanaan swamedikasi di apotek. Swamedikasi adalah pelayanan farmasi yang memberikan kesempatan kepada pasien untuk memilih sendiri tindakan pengobatan berdasarkan penyakit yang diderita dengan bantuan rekomendasi dari apoteker. Obat-obat yang digunakan untuk pelaksanaan swamedikasi meliputi obat bebas, obat bebas terbatas, dan OWA. Swamedikasi bertujuan untuk:

a. Meningkatkan kemampuan masyarakat dalam menolong dirinya sendiri guna mengatasi masalah kesehatan dengan ditunjang melalui sarana yang dapat meningkatkan pengobatan sendiri secara tepat, aman, dan rasional.

b. Meningkatkan peran apoteker di apotek dalam pelayanan KIE (Komunikasi, Informasi dan Edukasi) serta pelayanan obat kepada masyarakat.

Menurut Peraturan Menteri Kesehatan No. 919/MENKES/PER/X/1993, obat yang dapat diserahkan tanpa resep dokter harus memenuhi kriteria sebagai berikut:

a. Tidak dikontraindikasikan untuk penggunaan pada wanita hamil, anak di bawah usia 2 tahun, dan orang tua di atas 65 tahun.

(33)

b. Pengobatan sendiri dengan obat dimaksud tidak memberikan risiko pada kelanjutan penyakit.

c. Penggunaan tidak memerlukan cara dan/atau alat khusus yang harus dilakukan oleh tenaga kesehatan.

d. Penggunaan diperlukan untuk penyakit yang prevalensinya tinggi diIndonesia. e. Obat yang dimaksud memiliki rasio khasiat keamanan yang dapat

dipertanggungjawabkan untuk pengobatan sendiri.

Dalam melayani pasien yang memerlukan OWA, Apoteker di apotek diwajibkan untuk :

a. Memenuhi ketentuan dan batasan tiap jenis obat per pasien yang disebutkan dalam OWA yang bersangkutan.

b. Membuat catatan pasien serta obat yang telah diserahkan.

c. Memberikan informasi, meliputi dosis dan aturan pakainya, kontraindikasi, efek samping dan lain-lain yang perlu diperhatikan oleh pasien.

Obat yang termasuk dalam OWA ditetapkan oleh Menteri Kesehatan sebagaimana terlampir dalam Lampiran 20, Lampiran 21, dan Lampiran 22.

2.12. Pengelolaan Apotek

Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014, pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai di apotek dilakukan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku meliputi perencanaan, pengadaan, penerimaan, penyimpanan, pemusnahan, pengendalian, pencatatan dan pelaporan.

a. Perencanaan

Dalam membuat perencanaan pengadaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai perlu diperhatikan pola penyakit, pola konsumsi, budaya dan kemampuan masyarakat.

b. Pengadaan

Untuk menjamin kualitas Pelayanan Kefarmasian maka pengadaan Sediaan Farmasi harus melalui jalur resmi sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

(34)

c. Penerimaan

Penerimaan merupakan kegiatan untuk menjamin kesesuaian jenis spesifikasi, jumlah, mutu, waktu penyerahan dan harga yang tertera dalam surat pesanan dengan kondisi fisik yang diterima.

d. Penyimpanan

1. Obat/bahan obat harus disimpan dalam wadah asli dari pabrik. Dalam hal pengecualian atau darurat dimana isi dipindahkan pada wadah lain, maka harus dicegah terjadinya kontaminasi dan harus ditulis informasi yang jelas pada wadah baru. Wadah sekurang-kurangnya memuat nama Obat, nomor batch dan tanggal kadaluwarsa.

2. Semua obat/bahan obat harus disimpan pada kondisi yang sesuai sehingga terjamin keamanan dan stabilitasnya.

3. Sistem penyimpanan dilakukan dengan memperhatikan bentuk sediaan dan kelas terapi obat serta disusun secara alfabetis.

4. Pengeluaran obat memakai sistem FEFO (First Expire First Out) dan FIFO (First In First Out)

e. Pemusnahan

1. Obat kadaluwarsa atau rusak harus dimusnahkan sesuai dengan jenis dan bentuk sediaan. Pemusnahan obat kadaluwarsa atau rusak yang mengandung narkotika atau psikotropika dilakukan oleh Apoteker dan disaksikan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota. Pemusnahan Obat selain narkotika dan psikotropika dilakukan oleh Apoteker dan disaksikan oleh tenaga kefarmasian lain yang memiliki surat izin praktik atau surat izin kerja.

2. Resep yang telah disimpan melebihi jangka waktu 5 (lima) tahun dapat dimusnahkan. Pemusnahan resep dilakukan oleh Apoteker disaksikan oleh sekurang-kurangnya petugas lain di Apotek dengan cara dibakar atau cara pemusnahan lain yang dibuktikan dengan Berita Acara Pemusnahan Resep.

f. Pengendalian

Pengendalian dilakukan untuk mempertahankan jenis dan jumlah persediaan sesuai kebutuhan pelayanan, melalui pengaturan sistem pesanan atau pengadaan,

(35)

penyimpanan dan pengeluaran. Hal ini bertujuan untuk menghindari terjadinya kelebihan, kekurangan, kekosongan, kerusakan, kadaluwarsa, kehilangan serta pengembalian pesanan. Pengendalian persediaan dilakukan menggunakan kartu stok baik dengan cara manual atau elektronik. Kartu stok sekurang-kurangnya memuat nama Obat, tanggal kadaluwarsa, jumlah pemasukan, jumlah pengeluaran dan sisa persediaan.

g. Pencatatan dan Pelaporan

Pencatatan dilakukan pada setiap proses pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai meliputi pengadaan (surat pesanan, faktur), penyimpanan (kartu stock), penyerahan (nota atau struk penjualan) dan pencatatan lainnya disesuaikan dengan kebutuhan. Pelaporan terdiri dari pelaporan internal dan eksternal. Pelaporan internal merupakan pelaporan yang digunakan untuk kebutuhan manajemen apotek, meliputi keuangan, barang dan laporan lainnya. Pelaporan eksternal merupakan pelaporan yang dibuat untuk memenuhi kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan meliputi pelaporan narkotika psikotropika dan pelaporan lainnya.

2.13. Pelayanan Farmasi Klinik di Apotek

Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014, pelayanan farmasi klinik di Apotek merupakan bagian dari Pelayanan Kefarmasian yang langsung dan bertanggung jawab kepada pasien berkaitan dengan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai dengan maksud mencapai hasil yang pasti untuk meningkatkan kualitas hidup pasien. Pelayanan farmasi klinik meliputi pengkajian resep, dispensing, pelayanan informasi obat (PIO), konseling, pelayanan kefarmasian di rumah (home pharmacy care), pemantauan terapi obat (PTO), dan monitoring efek samping obat (MESO).

a. Pengkajian Resep

Kegiatan pengkajian Resep meliputi administrasi, kesesuaian farmasetik dan pertimbangan klinis.

Kajian administratif meliputi:

(36)

2. nama dokter, nomor Surat Izin Praktik (SIP), alamat, nomor telepon dan paraf; dan

3. tanggal penulisan Resep. Kajian kesesuaian farmasetik meliputi:

1. bentuk dan kekuatan sediaan; 2. stabilitas; dan

3. kompatibilitas (ketercampuran obat). Pertimbangan klinis meliputi:

1. ketepatan indikasi dan dosis obat; 2. aturan, cara dan lama penggunaan obat; 3. duplikasi dan/atau polifarmasi;

4. reaksi obat yang tidak diinginkan (alergi, efek samping obat, manifestasi klinis lain);

5. kontra indikasi; dan 6. interaksi.

Jika ditemukan adanya ketidaksesuaian dari hasil pengkajian maka apoteker harus menghubungi dokter penulis resep.

b. Dispensing

Dispensing terdiri dari penyiapan, penyerahan dan pemberian informasi obat. Setelah melakukan pengkajian resep dilakukan hal sebagai berikut:

1. Menyiapkan obat sesuai dengan permintaan resep yang meliputi a) menghitung kebutuhan jumlah obat sesuai dengan resep,

b) mengambil obat yang dibutuhkan pada rak penyimpanan dengan memperhatikan nama obat, tanggal kadaluwarsa dan keadaan fisik Obat.

c) melakukan peracikan obat bila diperlukan. 2. Memberikan etiket sekurang-kurangnya meliputi:

a) warna biru untuk obat luar dan suntik; b) warna putih untuk obat dalam/oral;

c) menempelkan label “kocok dahulu” pada sediaan bentuk suspensi atau emulsi.

(37)

3. Memasukkan obat ke dalam wadah yang tepat dan terpisah untuk obat yang berbeda untuk menjaga mutu obat dan menghindari penggunaan yang salah.

Setelah penyiapan obat dilakukan hal sebagai berikut:

1. Sebelum obat diserahkan kepada pasien harus dilakukan pemeriksaan kembali mengenai penulisan nama pasien pada etiket, cara penggunaan serta jenis dan jumlah obat (kesesuaian antara penulisan etiket dengan resep);

2. Memanggil nama dan nomor tunggu pasien; 3. Memeriksa ulang identitas dan alamat pasien;

4. Menyerahkan obat yang disertai pemberian informasi obat;

5. Memberikan informasi cara penggunaan obat dan hal-hal yang terkait dengan obat antara lain manfaat obat, makanan dan minuman yang harus dihindari, kemungkinan efek samping, cara penyimpanan obat dan lain-lain;

6. Penyerahan obat kepada pasien hendaklah dilakukan dengan cara yang baik, mengingat pasien dalam kondisi tidak sehat mungkin emosinya tidak stabil;

7. Memastikan bahwa yang menerima obat adalah pasien atau keluarganya; 8. Membuat salinan resep sesuai dengan resep asli dan diparaf oleh apoteker

(apabila diperlukan);

9. Menyimpan resep pada tempatnya;

10.Apoteker membuat catatan pengobatan pasien

Apoteker di apotek juga dapat melayani obat non resep atau pelayanan swamedikasi. Apoteker harus memberikan edukasi kepada pasien yang memerlukan obat non resep untuk penyakit ringan dengan memilihkan obat bebas atau bebas terbatas yang sesuai.

c. Pelayanan Informasi Obat (PIO)

Pelayanan Informasi Obat merupakan kegiatan yang dilakukan oleh apoteker dalam pemberian informasi mengenai obat yang tidak memihak, dievaluasi dengan kritis dan dengan bukti terbaik dalam segala aspek penggunaan obat

(38)

kepada profesi kesehatan lain, pasien atau masyarakat. Informasi mengenai obat termasuk obat resep, obat bebas dan herbal.

Informasi meliputi dosis, bentuk sediaan, formulasi khusus, rute dan metoda pemberian, farmakokinetik, farmakologi, terapeutik dan alternatif, efikasi, keamanan penggunaan pada ibu hamil dan menyusui, efek samping, interaksi, stabilitas, ketersediaan, harga, sifat fisika atau kimia dari obat dan lain-lain. Kegiatan Pelayanan Informasi Obat di apotek meliputi:

1. Menjawab pertanyaan baik lisan maupun tulisan;

2. Membuat dan menyebarkan buletin/brosur/leaflet, pemberdayaan masyarakat (penyuluhan);

3. Memberikan informasi dan edukasi kepada pasien;

4. Memberikan pengetahuan dan keterampilan kepada mahasiswa farmasi yang sedang praktik profesi;

5. Melakukan penelitian penggunaan obat;

6. Membuat atau menyampaikan makalah dalam forum ilmiah; 7. Melakukan program jaminan mutu.

Pelayanan Informasi Obat harus didokumentasikan untuk membantu penelusuran kembali dalam waktu yang relatif singkat. Hal-hal yang harus diperhatikan dalam dokumentasi pelayanan informasi obat :

1. Topik Pertanyaan;

2. Tanggal dan waktu Pelayanan Informasi Obat diberikan;

3. Metode Pelayanan Informasi Obat (lisan, tertulis, lewat telepon);

4. Data pasien (umur, jenis kelamin, berat badan, informasi lain seperti riwayat alergi, apakah pasien sedang hamil/menyusui, data laboratorium); 5. Uraian pertanyaan;

6. Jawaban pertanyaan; 7. Referensi;

8. Metode pemberian jawaban (lisan, tertulis, per telepon) dan data Apoteker yang memberikan Pelayanan Informasi Obat.

d. Konseling

Konseling merupakan proses interaktif antara apoteker dengan pasien/keluarga untuk meningkatkan pengetahuan, pemahaman, kesadaran dan kepatuhan

(39)

sehingga terjadi perubahan perilaku dalam penggunaan obat dan menyelesaikan masalah yang dihadapi pasien. Untuk mengawali konseling, Apoteker menggunakan three prime questions. Apabila tingkat kepatuhan pasien dinilai rendah, perlu dilanjutkan dengan metode Health Belief Model. Apoteker harus melakukan verifikasi bahwa pasien atau keluarga pasien sudah memahami bat yang digunakan. Kriteria pasien/keluarga pasien yang perlu diberi konseling:

1. Pasien kondisi khusus (pediatri, geriatri, gangguan fungsi hati dan/atau ginjal, ibu hamil dan menyusui).

2. Pasien dengan terapi jangka panjang/penyakit kronis (misalnya: TB, DM, AIDS, epilepsi).

3. Pasien yang menggunakan obat dengan instruksi khusus (penggunaan kortikosteroid dengan tappering down/off).

4. Pasien yang menggunakan obat dengan indeks terapi sempit (digoksin, fenitoin, teofilin).

5. Pasien dengan polifarmasi; pasien menerima beberapa obat untuk indikasi penyakit yang sama. Dalam kelompok ini juga termasuk pemberian lebih dari satu obat untuk penyakit yang diketahui dapat disembuhkan dengan satu jenis obat.

6. Pasien dengan tingkat kepatuhan rendah. Tahap kegiatan konseling antara lain:

1. Membuka komunikasi antara apoteker dengan pasien

2. Menilai pemahaman pasien tentang penggunaan obat melalui Three Prime Questions, yaitu:

a) Apa yang disampaikan dokter tentang obat anda?

b) Apa yang dijelaskan oleh dokter tentang cara pemakaian obat anda? c) Apa yang dijelaskan oleh dokter tentang hasil yang diharapkan setelah

anda menerima terapi obat tersebut?

3. Menggali informasi lebih lanjut dengan memberi kesempatan kepada pasien untuk mengeksplorasi masalah penggunaan obat

4. Memberikan penjelasan kepada pasien untuk menyelesaikan masalah penggunaan obat

(40)

Apoteker mendokumentasikan konseling dengan meminta tanda tangan pasien sebagai bukti bahwa pasien memahami informasi yang diberikan dalam konseling. e. Pelayanan Kefarmasian di Rumah (home pharmacy care)

Apoteker sebagai pemberi layanan diharapkan juga dapat melakukan Pelayanan Kefarmasian yang bersifat kunjungan rumah, khususnya untuk kelompok lansia dan pasien dengan pengobatan penyakit kronis lainnya. Jenis Pelayanan Kefarmasian di rumah yang dapat dilakukan oleh Apoteker, meliputi :

1. Penilaian/pencarian (assessment) masalah yang berhubungan dengan pengobatan

2. Identifikasi kepatuhan pasien

3. Pendampingan pengelolaan obat dan/atau alat kesehatan di rumah, misalnya cara pemakaian obat asma, penyimpanan insulin

4. Konsultasi masalah obat atau kesehatan secara umum

5. Monitoring pelaksanaan, efektifitas dan keamanan penggunaan obat berdasarkan catatan pengobatan pasien

6. Dokumentasi pelaksanaan Pelayanan Kefarmasian di rumah f. Pemantauan Terapi Obat (PTO)

Merupakan proses yang memastikan bahwa seorang pasien mendapatkan terapi obat yang efektif dan terjangkau dengan memaksimalkan efikasi dan meminimalkan efek samping. Kriteria pasiennya adalah:

1. Anak-anak dan lanjut usia, ibu hamil dan menyusui. 2. Menerima obat lebih dari 5 (lima) jenis.

3. Adanya multidiagnosis.

4. Pasien dengan gangguan fungsi ginjal atau hati. 5. Menerima obat dengan indeks terapi sempit.

6. Menerima obat yang sering diketahui menyebabkan reaksi obat yang merugikan.

Kegiatan Pemantauan Terapi Obat antara lain adalah: 1. Memilih pasien yang memenuhi kriteria.

2. Mengambil data yang dibutuhkan yaitu riwayat pengobatan pasien yang terdiri dari riwayat penyakit, riwayat penggunaan obat dan riwayat alergi;

(41)

melalui wawancara dengan pasien atau keluarga pasien atau tenaga kesehatan lain

3. Melakukan identifikasi masalah terkait obat. Masalah terkait obat antara lain adalah adanya indikasi tetapi tidak diterapi, pemberian obat tanpa indikasi, pemilihan obat yang tidak tepat, dosis terlalu tinggi, dosis terlalu rendah, terjadinya reaksi obat yang tidak diinginkan atau terjadinya interaksi obat

4. Apoteker menentukan prioritas masalah sesuai kondisi pasien dan menentukan apakah masalah tersebut sudah atau berpotensi akan terjadi 5. Memberikan rekomendasi atau rencana tindak lanjut yang berisi rencana

pemantauan dengan tujuan memastikan pencapaian efek terapi dan meminimalkan efek yang tidak dikehendaki

6. Hasil identifikasi masalah terkait obat dan rekomendasi yang telah dibuat oleh apoteker harus dikomunikasikan dengan tenaga kesehatan terkait untuk mengoptimalkan tujuan terapi.

7. Melakukan dokumentasi pelaksanaan pemantauan terapi obat g. Monitoring Efek Samping Obat (MESO)

Merupakan kegiatan pemantauan setiap respon terhadap obat yang merugikan atau tidak diharapkan yang terjadi pada dosis normal yang digunakan pada manusia untuk tujuan profilaksis, diagnosis dan terapi atau memodifikasi fungsi fisiologis. Kegiatan MESO antara lain adalah:

1. Mengidentifikasi obat dan pasien yang mempunyai resiko tinggi mengalami efek samping obat.

2. Mengisi formulir Monitoring Efek Samping Obat (MESO) 3. Melaporkan ke Pusat Monitoring Efek Samping Obat Nasional

Faktor yang perlu diperhatikan dalam monitoring efek samping obat antara lain adalah:

1. Kerjasama dengan tim kesehatan lain.

(42)

2.14. Pengelolaan Narkotika dan Psikotropika

Pengelolaan narkotika dan psikotropika di apotek meliputi perencanaan, pengadaan atau pemesanan, penyimpanan, pelayanan atau penyerahan, pemusnahan, pencatatan dan pelaporan serta dokumentasi

a. Perencanaan

Perencanaan narkotika dan psikotropika adalah kegiatan menetapkan jenis dan jumlah narkotika dan psikotropika sesuai dengan kebutuhan dengan metode tertentu. Kegiatan ini bertujuan untuk mendapatkan perkiraan jenis dan jumlah narkotika dan psikotropika mendekati kebutuhan. Langkah-langkah dalam perencanaan :

1. Memilih atau menyeleksi narkotika dan psikotropika untuk menentukan jenis obat sesuai kebutuhan.

2. Memperkirakan kebutuhan narkotika dan psikotropika.

3. Menentukan jumlah narkotika dan psikotropika sesuai dengan kebutuhan.

b. Pemesanan

Pada pemesanan narkotika, apoteker hanya dapat memesan narkotika melalui Pedagang Besar Farmasi (PBF) yang telah ditunjuk khusus oleh Menteri Kesehatan yaitu PT. Kimia Farma dengan tujuan untuk memudahkan pengawasan peredaran narkotika. Pemesanan narkotika hanya dapat dilakukan di Pedagang Besar Farmasi (PBF) Kimia Farma dengan menggunakan Surat Pesanan Narkotika yang ditandatangani oleh APA, dilengkapi nama jelas, nomor SIK, dan stempel apotek. Surat pesanan narkotika dilengkapi dengan nama dan tanda tangan APA, nomor Surat Izin Apotek (SIA), tanggal dan nomor surat, alamat lengkap dan stempel apotek. Satu surat pesanan hanya untuk satu jenis narkotika. Satu lembar surat pesanan hanya dapat digunakan untuk memesan satu macam narkotika. Surat pesanan tersebut terdiri dari empat rangkap yang masing-masing akan diserahkan ke BPOM, Suku Dinas Kesehatan, distributor, dan untuk arsip apotek.

Pada pemesanan psikotropika di apotek, Surat Pesanan (SP) harus ditandatangani oleh APA serta dilengkapi dengan nama jelas, stempel apotek, nomor SIPA dan SIA. Satu surat pesanan ini dapat terdiri dari berbagai macam

(43)

nama obat psikotropika dan dibuat tiga rangkap. Berbeda dengan narkotika, pemesanan psikotropika dapat ditujukan kepada PBF mana saja yang menjual jenis psikotropika yang diperlukan.

c. Penerimaan dan Penyimpanan

Penerimaan narkotika dilakukan oleh APA atau AA yang mempunyai SIK dengan menandatangani faktur, mencantumkan nama jelas, nomor SIA, dan stempel apotek (Menteri Kesehatan, 1978). Apotek harus mempunyai tempat khusus yang dikunci dengan baik untuk menyimpan narkotika. Pada penjelasan pasal yang dimaksud tempat khusus ini dapat berupa dua buah tempat yang terpisah atau satu tempat yang terbagi 2 (dua) dan tiap bagian mempunyai daun pintu dan kunci-kunci tersendiri. Bagian pertama untuk menyimpan persediaan narkotika, bahan baku serta sediaan morfina, petidina dan garamnya. Bagian lainnya untuk menyimpan narkotika keperluan sehari-hari.

Tempat penyimpanan narkotika di apotek harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

1. Harus dibuat seluruhnya dari kayu atau bahan lain yang kuat. 2. Harus mempunyai kunci yang kuat.

3. Dibagi dua, masing-masing dengan kunci yang berlainan; bagian pertama dipergunakan untuk menyimpan morfin, petidin, dan garam-garamnya serta persediaan narkotika; bagian kedua dipergunakan untuk menyimpan narkotika lainnya yang dipakai sehari-hari.

4. Apabila tempat khusus tersebut berupa lemari berukuran kurang dari 40x80x100 cm, maka lemari tersebut harus dibaut pada tembok atau lantai.

5. Lemari khusus tidak boleh digunakan untuk menyimpan barang lain selain narkotika, kecuali ditentukan oleh Menteri Kesehatan.

6. Anak kunci lemari khusus harus dipegang oleh penanggung jawab atau pegawai lain yang dikuasakan.

7. Lemari khusus harus ditempatkan di tempat yang aman dan tidak terlihat oleh umum.

Penerimaan dan penyimpanan psikotropika belum diatur di dalam perundang-undangan atau peraturan lainnya. Namun, obat-obatan golongan

(44)

psikotropika cenderung disalahgunakan sehingga disarankan agar menyimpan obat-obatan tersebut dalam suatu rak atau lemari khusus.

d. Pelayanan resep

Menurut Undang-undang nomor 35 tahun 2009 pasal 43, Apotek hanya dapat melakukan penyerahan narkotika kepada rumah sakit, pusat kesehatan masyarakat, apotek lainnya, balai pengobatan, dokter, dan kepada pasien berdasarkan resep dari dokter. Apotek dilarang mengulangi menyerahkan narkotika atas dasar resep yang sama dari seorang dokter atau atas dasar salinan resep dokter (Undang-Undang Nomor 9 tahun 1976 Pasal 7). Pada resep narkotika yang baru dilayani sebagian, apotek boleh membuat salinan resep tetapi salinan resep tersebut hanya boleh dilayani di apotek yang menyimpan resep asli.

Penyerahan psikotropika oleh apotek hanya dapat dilakukan kepada apotek lain, rumah sakit, puskesmas, balai pengobatan, dokter dan pasien. Penyerahan psikotropika oleh apotek dilaksanakan berdasarkan resep dokter.

e. Pelaporan

Pelaporan narkotik mengacu pada Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika yang menyatakan bahwa apotek wajib membuat, menyampaikan, dan menyimpan laporan berkala mengenai pemasukan dan/atau pengeluaran narkotika yang berada dalam penguasaannya. Pelaporan penggunaan narkotika telah dikembangkan dalam bentuk perangkat lunak atau program Sistem Pelaporan Narkotika dan Psikotropika (SIPNAP) sejak tahun 2006 oleh Kementerian Kesehatan. Sistem Pelaporan Narkotika dan Psikotropika (SIPNAP) adalah sistem yang mengatur pelaporan penggunaan narkotika dan psikotropika dari unit layanan (Puskesmas, Rumah Sakit dan Apotek) melalui mekanisme pelaporan online yang menggunakan fasilitas internet.

Untuk pelaporan psikotropika apotek wajib membuat dan menyimpan catatan kegiatan yang berhubungan dengan psikotropika dan melaporkan kepada Dinas Kesehatan Kota/Kabupaten setempat setiap satu bulan sekali, paling lambat tanggal 10, dengan tembusan kepada Balai Besar POM atau Balai POM setempat. f. Pemusnahan

Tujuan dilakukannya pemusnahan narkotika adalah untuk menjamin narkotika yang sudah tidak memenuhi persyaratan dikelola sesuai dengan standar

(45)

yang berlaku dan mencegah penyalahgunaan bahan narkotika serta mengurangi resiko terjadinya penggunaan obat yang substandar (Departemen Kesehatan RI, 2008). Berdasarkan Undang-undang nomor 22 tahun 1997 tentang Narkotika bahwa pemusnahan narkotika dilakukan ketika hasil produksitanpa memenuhi standar dan persyaratan yang berlaku dan/atau tidak dapat digunakan dalam proses produksi, kadaluarsa, tidak memenuhi syarat untuk digunakan pada pelayanan kesehatan dan/atau berkaitan untuk pengembangan ilmu pengetahuan atau berkaitan dengan tindak pidana. Pemusnahan dilakukan oleh apotek disertai dengan membuat berita acara pemusnahan narkotika dan dilaporkan kepada pihak-pihak terkait. Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.28/MENKES/PER/I/1978 tentang Penyimpanan Narkotika dan Undang-Undang nomor 22 tahun 1997 tentang Narkotika, berita acara pemusnahan memuat :

1. Keterangan tempat, hari, tanggal, bulan, dan tahun pemusnahan.

2. Nama pemegang izin khusus, apoteker pimpinan apotek dan dokter pemilik narkotika.

3. Nama seorang saksi dari pemerintah dan seorang saksi dari perusahaan atau badan tersebut.

4. Nama dan jumlah narkotika yang dimusnahkan. 5. Cara pemusnahan.

6. Tanda tangan penanggung jawab apotik/pemegang izin khusus, dokter pemilik narkotika dan saksi-saksi. Berita acara pemusnahan tersebut dikirimkan kepada dibuat rangkap empat untuk ditujukan kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, Kepala Dinas Kesehatan Propinsi, Kepala Balai Pengawasan Obat dan Makanan, dan satu disimpan sebagai arsip di apotek.

Pada pemusnahan psikotropika, Apoteker wajib membuat berita acara dan disaksikan oleh pejabat yang ditunjuk dalam tujuh hari setelah mendapat kepastian. Menurut pasal 53 Undang-Undang No. 5 Tahun 1997, pemusnahan psikotropika dilakukan apabila berkaitan dengan tindak pidana, psikotropika yang diproduksi tidak memenuhi standar dan persyaratan bahan baku yang berlaku, kadaluarsa, serta tidak memenuhi syarat untuk digunakan pada pelayanan

(46)

kesehatan dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan.Pemusnahan psikotropika dilakukan dengan pembuatan berita acara yang sekurang-kurangnya memuat tempat dan waktu pemusnahan; nama pemegang izin khusus; nama, jenis, dan jumlah psikotropika yang dimusnahkan; cara pemusnahan; tanda tangan dan identitas lengkap penanggung jawab apotek dan saksi-saksi pemusnahan. Tujuan pengaturan di bidang psikotropika adalah untuk menjamin ketersediaan psikotropika guna kepentingan pelayanan kesehatan dan ilmu pengetahuan, mencegah terjadinya penyalahgunaan psikotropika dan memberantas peredaran gelap psikotropika.

2.15. Pengadaan Persediaan Apotek

Pengadaan merupakan kegiatan untuk memenuhi kebutuhan perbekalan farmasi berdasarkan fungsi perencanaan dan penganggaran. Tujuan pengadaanyaitu untuk memperoleh barang atau jasa yang dibutuhkan dalam jumlah yang cukup dengan kualitas harga yang dapat dipertanggungjawabkan dalam waktu dan tempat tertentu secara efektif dan efisien menurut tata cara dan ketentuan yang berlaku (Quick, 1997)

Persyaratan yang perlu diperhatikan dalam fungsi pengadaan, yaitu (Seto, Yunita & Lily, 2004):

a. Doematig, artinya sesuai tujuan atau rencana. Pengadaan harus sesuai kebutuhan yang sudah direncanakam sebelumnya.

b. Rechtmatig, artinya sesuai hak atau kemampuan.

c. Wetmatig, artinya sistem atau cara pegadaannya harus sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku

Model pengadaan secara umum berdasarkan waktu adalah sebagai berikut (Quick, 1997):

a. Annual purchasing, yaitu pemesanan satu kali dalam satu tahun.

b. Scheduled purchasing, yaitu pemesanan secara periodik dalam waktu tertentu misalnya mingguan, bulanan, dan sebagainya.

c. Perpetual purchasing, yaitu pemesanan dilakukan setiap kali tingkat persediaan rendah.

(47)

d. Kombinasi antara annual purchasing, scheduled purchasing, dan perpetual purchasing yaitu pengadaan dengan pemesanan yang bervariasi waktunya, seperti cara ini dapat diterapkan tergantung dari jenis obat yang dipesan. Misalnya obat impor yang mahal cukup dipesan sekali dalam setahun saja. Obat-obatan yang termasuk slow moving dapat dipesan secara periodik setiap tahun (scheduled purchasing), dan obat-obatan yang banyak diminati oleh pembeli maka pemesanan dilakukan secara perpetual purchasing.

Setelah menentukan jenis pengadaan yang akan diterapkan berdasarkan frekuensi dan waktu pemesanan maka pengadaan atau pembelian barang di apotek dapat dilakukan dengan cara (Seto, Yunita&Lily, 2004):

a. Pembelian kontan

Pembelian kontan adalah pihak apotek langsung membayar harga obat yang dibeli dari distributor, biasanya untuk apotek yang baru dibuka karena untuk melakukan pembayaran kredit apotek harus menunjukkan kemampuannya dalam menjual.

b. Pembelian kredit

Pembelian kredit adalah pembelian yang pembayarannya sampai jatuh tempo. c. Konsinyasi (titipan obat)

Pembelian konsinyasi adalah titipan barang dari pemilik kepada apotek, dimana apotek bertindak sebagai agen komisioner yang menerima komisi bila barang tersebut terjual. Bila barang tersebut tidak terjual sampai batas waktu kadaluarsa atau waktu yang telah disepakati maka barang tersebut dapat dikembalikan pada pemiliknya.

2.16. Pengendalian Persediaan Apotek

Aktivitas pengendalian persediaan bertujuan untuk pengaturan persediaan obat di apotek agar menjamin kelancaran pelayanan pasien di apotek secara efektif dan efisien. Unsur dari pengendalian persediaan ini mencakup penentuan cara pemesanan atau pengadaannya, menentukan jenis persediaan yang menjadi prioritas pengadaan, hingga jumlah persediaan yang optimal dan yang harus ada di apotek untuk menghindari kekosongan persediaan. Oleh karena itu, pengelolaan dan pengendalian persediaan obat di apotek berfungsi untuk memastikan

(48)

pasien memperoleh obat yang diperlukan, mencegah risiko kualitas barang yang dipesan tidak baik sehingga harus dikembalikan, dan mendapatkan keuntungan dari pembelian dengan memilih distributor obat yang memberi harga obat bersaing, pengiriman cepat, dan kualitas obat yang baik.

Parameter-parameter dalam pengendalian persediaan a. Konsumsi rata-rata

Konsumsi rata-rata sering juga disebut permintaan (demand) merupakan permintaan yang diharapkan pada pemesanan selanjutnya merupakan variable kunci yang menentukan berapa banyak stok barang yang harus dipesan (Quick, 1997).

b. Waktu tunggu/waktu tenggang (Lead Time/LT)

Merupakan waktu tenggang yang dibutuhkan mulai dari pemesanan sampai dengan penerimaan barang. Waktu tunggu ini dapat berbeda beda untuk setiap pemasok. Faktor-faktor yang dapat berpengaruh pada waktu tunggu adalah jarak antara pemasok dengan apotek, jumlah pesanan, dan kondisi pemasok (Quick, 1997).

c. Persediaan Pengaman (Safety Stock)

Persediaan pengaman merupakan persediaan yang dicadangkan untuk kebutuhan selama menunggu barang dating untuk mengantisipasi keterlambatan barang pesanan atau untuk menghadapi suatu keadaan tertentu yang diakibatkan karena perubahan pada permintaan misalnya karena adanya permintaan barang yang meningkat secara tiba-tiba karena adanya wabah penyakit (Quick, 1997). Persediaan pengaman dapat dihitung dengan rumus (Quick, 1997):

SS=LT xCA Keterangan:

SS =Safety stock (persediaan pengaman) LT=Lead Time (waktutunggu)

CA=Average Consumption (konsumsirata-rata) d. Persediaan Minimum (Minimum Stock)

Gambar

Tabel  2.1  Golongan Prekursor .........................................................................
Gambar 2.2 Logo obat bebas terbatas
Gambar 2.3 Tanda peringatan pada kemasan obat bebas terbatas
Tabel 2.1 Golongan Prekusor
+3

Referensi

Dokumen terkait

SA (Simulated Annealing) untuk menganalisa perencanaan produksi dan penjadwalan distribusi menurut metode DRP (Distribution Requirement Planning) dan SA (Simulated

Hal ini terlihat bahwa t hitung t tabel yaitu 2,62 2,00 sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat pengaruh model pembelajaran inkuiri terbimbing dengan metode

Tujuan: Untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan ketidakpatuhan keluarga dalam pencegahan TB melalui skrining BTA+ bagi keluarga.. Metode: Jenis

aliran sungai (Metode F.J. Mock) dari tahun 1999 sampai dengan 2013 pada Pos AWLR Belencong diperoleh besarnya debit yang dihasilkan oleh Model Mock lebih kecil

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa penerapan metode Mind Mapping dapat meningkatkan kemampuan menulis karangan narasi siswa SDN 12 Ampenan Tahun Pelajaran 2016/2017 dan

Penelitian ini dilatarbelakangi rendahnya keterampilan membaca siswa kelas I di SDN 1 Taman Sari, disebabkan pembelajaran masih terpusat pada guru dan siswa kurang tertarik

Pada penelitian sebelumnya yaitu tentang “ Pengaruh Pemecah Gelombang Ambang Rendah Berporus terhadap Reduksi Gelombang Reguler” (Miranda,2016) telah disimpulkan bahwa

Pada grafik 36 merupakan grafik perbandingan tegangan dengan beban dan grafik 37 adalah grafik perbandingan arus dengan beban adalah linear, dimana arus akan mengalami