• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA. dilakukan oleh beberapa peneliti, di antaranya Inda Citraninda Noerhadi meneliti

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA. dilakukan oleh beberapa peneliti, di antaranya Inda Citraninda Noerhadi meneliti"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

9

KAJIAN PUSTAKA

Kajian ataupun penelitian tentang busana pada relief candi sudah dilakukan oleh beberapa peneliti, di antaranya Inda Citraninda Noerhadi meneliti busana pada relief Candi Borobudur pada tahun 1983. Dalam penelitiaannya Inda mengaitkan penggambaran busana dalam relief candi tersebut berhubungan dengan pembagian kasta pada masyarakat Jawa Kuno (Inda, 2012: 78). Tahun 1999 juga sudah dilakukan penelitian mengenai Pakaian dan Startifikasi Sosial

Masa Klasik di Jawa Timur oleh T.M. Hari Lelono. Membahas kain bawah pada

relief Candi Rimbi, Candi Jawi, Candi Kendalisodo dan beberapa relief pada Museum Trowulan. Penelitian tersebut menggunakan pendekatan etnoarkeologi untuk mencari starata sosial sosial masa klasik Jawa pada relief melalui kain bawah dengan menggunakan analogi masyarakat masa sekarang.

Penelitian yang dilakukan Erry Setya Nurma Wahyuni pada tahun 2009, dalam penelitiannya relief candi digunakan sebagai data pembanding dari motif-motif sanggul terakota figurin4 masa Majapahit. Untuk penelitiannya itu Erry mengkhususkan data dari relief Candi Panataran. Kemudian penelitian yang dilakukan oleh Widma Primordian Meisner pada tahun 2011 yang membahas Busana dan Perhiasan pada Relief Cerita Sri tanjung dan Sudamala di

Candi-candi Jawa Timur masa Majapahit. Dari hasil penelitiannya Widma

mengklasifikasi busana masa Majapahit dan kemudian dijadikan perbandingan dengan busana tradisional adat Bali.

(2)

Berdasarkan penelitian-penelitian yang sudah dilakukan sebelumnya, kajian yang dikhususkan pada busana hanya mngambil dari beberapa relief cerita saja. Sedangkan untuk kajian mengenai busana di seluruh relief cerita khususnya Candi Panataran masih jarang ditemukan. Maka dari itu kajian ini difokuskan pada busana dan benda penyerta pada relief cerita Candi Panataran dengan pendekatan yang berbeda yaitu Arkeologi Seni, yang mana busana pada relief dipandang sebagai data artefak yang memiliki nilai-nilai seni.

A. Kajian Pustaka

Sejarah Kebudayaan Indonesia purba berlangsung sejak datangnya bangsa-bangsa yang membawa pengaruh Hindu, berlangsung sekitar abad pertama sampai akhir abad ke-15 Masehi. Hal ini berkaitan erat dengan perubahan kebudayaan bangsa Indonesia yang mana merupakan pengaruh dari kebudayaan India, dikuatkan dengan adanya bukti-bukti pada batu-batu yang bertuliskan5 huruf pallawa dimana merupakan huruf yang lazim digunakan di India Selatan antara abad ke-3 sampai abad ke-7 dan bahasa yang digunakan merupakan bahasa Sansekerta (Soekmono, 1973: 7).

Candi merupakan salah satu karya dari hasil perubahan kebudayaan tersebut, dan dimasa sekarang candi disebut sebagai bangunan peninggalan Indonesia purba. Candi sendiri terbuat dari bahan batu maupun bata dan sangat berkaitan dengan hubungan keagamaan dan bersifat suci (1973:81). Maka demikian candi juga dihubungkan dengan Dewi Maut Durga6 yang memiliki

5 Disebut dengan prasasti (Ayatroehadi dkk, 1978 :98).

6 Perwujudan agresif Parwati yang populer dalam masyarakat Jawa Kuno, terutama pada masa

(3)

nama lain Candika, sedangkan untuk istilah candi sebagai bangunan sendiri diambil dari kata Candika Graha yang berarti rumah Candika.

Dalam Kamus Istilah Arkeologi disebutkan bahwa candi merupakan peninggalan Hindu dan Buddha di Indonesia, bangunan ini mencakup berbagai macam bangunan mulai dari pemandian kuna, gapura, gerbang dan juga berbagai bangunan suci keagamaan. Sedangkan suatu kelompok arca yang menjadi punden, di Jawa Tengah dan Jawa Timur juga disebut sebagai candi. Dalam bahasa Jawa Kuno, candi dimaksudkan kedalam arti dimakamkan yang mengambil arti dari

cinandi. Sedangkan secara harfiah bisa saja dimaksudkan dengan dicandikan

(Ayatroehadi dkk, 1978 :28).

Hal ini dapat dikaitkan dengan pendapat Raffles yang mana mengangap candi dan cungkup sebagai makam, meskipun dibedakan antara keduanya. Sedangkan khusus di Jawa Timur candi lebih lazim dinamakan dengan istilah

cungkup, kecuali yang berbentuk gapura (Soekmono, 1977:1). Berdasarkan data

di atas, kata candi sulit diartikan secara jelas dan memiliki makna yang meluas. Maka dari itu dapat ditarik kesimpulan bahwa candi khususnya di Indonesia berdasarkan fungsinya digunakan sebagai tempat pemujaan sekaligus pemakaman dan juga sebagai pusat penyebaran agama yang diusung pada masa candi tersebut difungsikan.

Dalam penerapannya, candi memang digunakan sebagai tempat untuk memuliakan orang-orang terkemuka ataupun khususnya para raja yang telah wafat. Mereka dimakamkan dengan cara menguburkan benda-benda yang melambangkan zat-zat jasmaniahnya seperti potongan-potongan berbagai jenis

(4)

logam, batu akik dan dengan disertai sajian-sajian7. Sedangkan untuk jenazahnya sendiri dibakar dan abunya dibuang ke laut, kemudian melalui proses yang panjang hingga sampai pada pengarcaan seorang raja yang sudah menyatu dengan dewa penitisnya8. Arca tersebut kemudian disembah oleh anak cucu keturunannya. Hal ini dikuatkan dengan adanya bukti-bukti arca yang terdapat di sekitar bangunan candi tersebut.

Penyimpanan pripih pada umumnya diletakkan pada bagian kaki candi. Pripih tersebut ditutupi dengan arca perwujudan raja yang kemudian disembah. Meskipun demikian banyak temuan-temuan yang menyebutkan bahwa dalam pripih tersebut terdapat abu jenazah. Seperti halnya pada temuan Wardenaar mengenai adanya sisa-sisa tulang dalam pripih Candi Perthirtaan Jolotundho. Selain itu juga dikaitkan dengan pengamatan Brumund mengenai candi-candi di Jawa yang banyak ditemukannya pripih dan menurutnya sebagai tempat abu jenasah. Hal yang sama dilakukan oleh ajaran agama Buddha dalam kebiasaan menyimpan abu jenasah di bawah stupa (Ngadino dkk, 2003:2).

Akan tetapi mengacu pada pendapat dari Soekmono yang berhasil membuktikan bahwa abu-abu dan tulang dari jenasah yang diketemukan bukanlah berasal dari sisa pembakaran manusia melainkan sisa-sisa dari binatang. Maka dapat dipastikan bahwa candi digunakan sebagai tempat pemujaan dan pemakaman memang benar adanya, hanya saja dengan prosesi yang berbeda. Bangunan candi di Indonesia sendiri pada awalnya mengikuti pedoman-pedoman kitab India, namun lama-kelamaan pedoman tersebut tidak digunakan lagi dan

7 Dinamakan sebagai pripih (Soekmono 1973:81-82).

8 Pendharmaan merupakan proses memuliakan seorang raja. Dalam prosesnya seorang raja

(5)

lebih mengedepankan unsur-unsur Indonesia dengan mengakulturasi kebudayaan asli.

Candi merupakan perlambangan dari Gunung Mahameru dan merupakan Gunung Kosmos bagi bangsa India, terbagi menjadi tiga bagian bangunan. Antara lain berupa kaki candi yang merupakan perlambangan dari dunia bawah. Selanjutnya tubuh candi merupakan perlambangan dari dunia tengah yang menghubungkan antara dunia bawah dengan dunia atas. Sedangkan pada bagian atas merupakan bangunan yang digunakan sebagai perlambangan dunia atas, tempat para Dewa atau dunia keabadian. Untuk bagian atas atau mahkota candi Hindu pada umumnya berbentuk ratna atau buah keben, dan untuk candi Buddha berbentuk stupa (Ratnawati, 2000:30-31).

Tidak lepas dari bentuk fungsi dan pola bangunan, Candi Panataran memiliki pola komplek percandian. Dalam pola tersebut juga digambarkan dengan pola yang sama dengan 3 pokok pola bangunan candi pada umumnya. Hal ini dikuatkan dengan keterangan Jonathan Rigg dalam The Journal of the Indian

Archipelago and Eastern Asia Vol III. No. V. May 1849 yang dikutip pada buku

Peninggalan Sejarah Kepurbakalaan Candi Panataran, bahwa kata Panataran

berasal dari bahasa Sansekerta pa-natha-ayrya-an. Apabila dijabarkan pengertiannya natha merupakan pemimpin atau raja, sedangkan ayrya berarti menggambarkan sesuatu yang tinggi dan dipersonifikasikan pada orang yang berkedudukan tinggi. Dengan demikian candi panataran dapat dikatakan sebagai bangunan suci (kuil) tempat pendharmaan raja atau orang yang berkedudukan tinggi (Ngadino dkk, 2003:4-6).

(6)

Gambaran-gambaran mengenai pendharmaan seorang raja dikutakan dengan adanaya keterangan mengenai upacara çraddha dalam kitab

Negarakertagama. Upacara ini merupakan prosesi rangkaian terakhir dari upacara

penyucian dan penyempurnaan roh setelah jenasah dibakar dan kemudian di dharmakan, selain itu upacara ini juga berlangsung setelah 12 tahun pembakaran sang raja. Sedangkan untuk pengarcaan dilakukan bersamaan dengan upacara pendharmaan, dan dapat dilakukan pada tempat yang berbeda (Ratnawati, 2003:4).

Candi Panataran yang berlatar belakang agama Hindu (Siwaitis) pada dasarnya tidak hanya digunakan sebagai tempat pemakaman saja, melainkan juga sebagai tempat pemujaan kepada para dewa. Berdasarkan data-data yang dijabarkan sebelumnya, hal ini terkait dengan adanya perbedaan kepercayaan yang dianut. Sedangkan pada masa kerajaan Majapahit kepercayaan yang dianut merupakan agama Siwa-Buddha dan juga kepercayaan dalam menyembah roh para leluhur terdahulu.

Meskipun Candi Panataran digunakan oleh 3 kepercayaan sekaligus, namun pada dasarnya, candi digunakan sebagai kuil layaknya bangunan suci yang ada di India. Hal ini di dukung dengan adanya prasasti Palah yang digunakan sebagai penetapan sima, yang ditujukan kepada empat orang pejabat lurah guna menjaga keberlangsungan peribadatan di tempat suci tersebut. Dalam

Negarakertagama juga disebutkan bahwa pada masa Majapahit candi Panataran

dimasukkan kedalam kategori bangunan suci dharma lpas, bangunan ini diperuntukkan bagi para rsi-saiwa-sugata yang mana lebih dikhususkan kepada

(7)

para penganut agama Hindu. Mekipun demikian Bhatara9 Palah disebutkan sebagai sosok yang dipuja, apabila difahami secara lebih detailnya merupakan leluhur dari Raja Kertajaya. Hal ini dikuatkan dengan adanya kata Bhatara dalam masyarakat Jawa Kuno digunakan sebagai pnyebutan dari nenek moyang yang telah di Dewakan (Ngadino dkk, 2003:83-84).

Selain digunakan oleh 3 kepercayaan sekaligus, komplek Candi Panataran juga dikaitkan dengan gambaran tingkatan kehidupan manusia, seperti halnya yang tergambar pada relief-relief yang terpahatkan di dalamnya. Pada bagian depan10 digambarkan dengan pahatan relief yang menceritakan kehidupan manusia pada umumnya dan kebanyakan digambarkan dengan adanya tokoh panji. Kemudian pada tingkat selanjutnya sampai pada candi Induk11 banyak digambarkan cerita-cerita yang tidak umum pada kehidupan manusia, seperti halnya penggambaran Rahwana sebagai raja para raksasa.

Relief candi pada dasarnya merupakan hasil dari seni pahat yang erat hubungannya dengan fungsi candi secara keseluruhan. Hal ini dikuatkan dengan letak relief yang ada pada dinding candi tepatnya terdapat pada bagian tubuh atau badan candi, dimana pada bagian ini melambangkan dunia tengah yang menghubungkan antara dunia bawah dengan dunia atas. Tubuh candi ini biasanya berbentuk lebih kecil dari pada kaki candi atau disebut juga sebagai soubasement.

9 Gelar yang dipakai oleh raja-raja daerah pada masa kerajaan Majapahit, dan biasa disertai dengan

nama tempat atau daerah kekuasaannya (Ayatroehadi dkk, 1978 :20). Dalam hal ini dikaitkan dengan kata Bhatara Palah.

10 Batur pendopo atau pendopo teras.

11 Candi utama dalam suatau komplek percandian, dapat diketahui melalui besar dan megahnya

suatu bangunan, terdapat arca dewa tertinggi dan terletak di tengah halaman kmplek. Di Indonesia umumnya candi tidak berdiri sendiri melainkan suatu kelompok bangunan yang dibatasi oleh pagar (Ayatroehadi dkk, 1978:29).

(8)

Untuk penggambaran relief sendiri diurutkan jalan ceritanya dengan arahan

pradaksina maupun prasawya. Dalam penelitian Ratnawati yang juga membahas

Candi Panataran, disebutkan bahwa menurut Brandes hiasan candi di Indonesia purba terbagi menjadi dua golongan hiasan kostruktif dan hiasan ornamen. Hiasan konstruktif merupakan bagian daripada skema umum dan yang tergolong di dalamnya adalah pylaster-pylaster, pelipid, simbar atau antefix, plamet, relung-relung, bentuk-bentuk genta dan lain sebagainya. Sedangkan yang dimaksud dengan ornamen tidak lain adalah relief-relief dalam bentuk motif (2000:30-37).

Dapat dikatakan bahwa relief pada umumnya digunakan sebagai penghias isi bidang. Namun selain berfungsi sebagai pengisi bidang, relief juga ada yang memuat cerita di dalamnya. Cerita pada setiap relief sudah barang tentu berbeda antara satu dengan yang lainnya, hal ini tidak hanya dikarenakan jalan ceritanya saja, akan tetapi juga dipengaruhi oleh candi yang dihiasinya. Maka dari itu sifat keagamaan dan kepercayaan dari setiap candi juga dipengaruhi oleh masyarakat pendukung yang menggunakan candi tersebut. Hal ini juga berkaitan dengan perbedaan gaya candi periode Jawa Tengah dan Jawa Timur (Ngadino dkk, 2003: 41).

Adapun demikian, relief cerita disini tidak jarang juga yang berasal dari kesusastraan Jawa Kuno, latar belakang timbulnya gagasan ini dikarenakan kepopuleran dari cerita-cerita Ramayana dan Mahabarata, yang mana juga merupakan cerita-cerita pewayangan yang populer dalam budaya masyarakat Indonesia. Seperti yang dijelaskan oleh Slamet Mulyana bahwa :

Pemilihan epik sebagai hiasan relief candi dikenal pertama kali pada candi Prambanan yang dibangun pada permulaan abad 10. Kaki utama candi Prambanan dihias dengan relief cerita Rama. Ceria Rama sebagai titisan Wisnu pasti ada hubungannya dengan ke-Siwa-an candi Prambanan, jika

(9)

dilihat dari Panteon hinduisme. Hiasan relief itu dimaksudkan semata untuk keagungan agama. Kebiasaan itu dilanjutkan pada jaman Kediri berupa hiasan relief Kresnayana pada teras kedua candi Panataran di karisidenan Kediri. Cerita Kresnayana merupakan bagian dari Mahabarata (Mulyana, 1979:219).

Pada setiap relief cerita ini memiliki nilai-nilai tersendiri dalam kehidupan manusia dan kemudian dijadikan sebagai teladan. Nilai-nilai tersebut meliputi nilai filosofis dan religius, nilai etis dan estetis, nilai paedagogis dan sosiologis (Ratnawati, 2000:41).

Untuk periode Jawa Tengah relief digambarkan dengan gaya yang lebih naturalis dengan pahatan-pahatan timbul. Sedangkan Pada periode Jawa Timur penggambaran relief lebih bergaya wayang atau bas relief, seperti halnya pada Candi Panataran. Relief yang di usung banyak mengandung cerita yang berasal dari susastra Jawa yang kemudian ditransformasikan kedalam bentuk visual relief. Setiap penggambaran relief tersebut menggambarkan peragaan busana yang dikenakan oleh manusia.

Busana sendiri merupakan hasil karya dari sebuah kebudayaan, dimana kebudayaan Jawa asli merupakan kebudayaan yang lebih cenderung pada pemahaman animisme dan dinamisme, hal ini bersifat transendental. Perubahan-perubahan yang terjadi di tanah Jawa tidak luput dari pengaruh kebudayaan yang masuk, peranan terbesar terjadi pada saat masuknya kebudayaan India yang membawa agama Hindu-Budha. Fenomena dari silang budaya ini mengakibatkan terjadinya perubahan besar pada berbagai aspek seperti kepercayaan, kesenian, kesusastraan, astronomi, mitologi maupun pengetahuan umum (Purwadi, 2009:1).

Bagian yang sangat terkait pada busana di sini kerap ditampilkan dalam aspek kepercayaan, kesenian dan kesusastraan. Kepercayaan pada umumnya

(10)

tersebar melalui peran kesusastraan bahasa sansekerta, yang mana bahasa ini merupakan bahasa dari ilmu pengetahuan. Seperti halnya yang dapat dilihat dari sastra-sastra Jawa Kuno yang berbentuk kakawin maupun kidung dan juga kerap ditampilkan pada kitab Negarakertagama yang berkembang pada masa Kerajaan Majapahit, dengan karya-karya berbahasa Jawa Tengahan yang berkembang pesat. Sama halnya dengan kesenian, kesusastaan juga sedikit banyak menyumbangkan penggambaran mengenai busana yang diperagakan pada masanya.

Pada dasarnya kata busana sendiri merupakan asal mula dari kata bahasa Sansekerta yaitu bhusana dengan arti hiasan, ragam hias dan dekorasi. Kemudian kata itu diserap dalam bahasa Jawa Kuno dan dalam bahasa Jawa baru bhusana diartikan sebagai pakaian begitu juga dalam penggunaan bahasa Indonesia saat ini (Esti, 1998:11). Pada makalah penataan tubuh dalam kebudayaan Jawa, dijelaskan bahwa busana merupakan satu dari tiga pranata pengupayaan keindahan tubuh (Edy, 2012:242). Hal ini sudah barang tentu tidak lepas dari kebudayaan masyarakat pendukungnya, dengan demikian dapat pula dikatakan bahwa busana merupakan hasil dari suatu sistem kebudayaan.

Busana merupakan benda yang paling dekat dengan tubuh manusia, seperti yang dikatakan Henk Schulte Nordholt, pakaian merupakan cermin dari identitas, status, hirarki, gender, memiliki nilai simbolik, dan merupakan ekspresi cara hidup tertentu. Pakaian juga mencerminkan sejarah, hubungan kekuasaan, serta perbedaan pandangan sosial, politik dan religi (Nordholt, 2005:1). Majapahit sendiri merupakan kerajaan Hindu-Budha terakhir yang mampu mempersatukan wilayah Nusantara. Besarnya wilayah kekuasaan menunjukan betapa makmur dan

(11)

majunya peradaban Majapahit. Hal ini tidak lepas dari besarnya pengaruh Seorang Raja dalam menjalin hubungan antar bangsa dan budaya yang saling bersinggungan, salah satunya melalui perdagangan. Busana atau pakaian merupakan salah satu aspek penting yang dihasilkan dari pergumulan kebudayaan tersebut. Perkembangan suatu kebudayaan dapat dilihat dari perkembangan busananya, hal ini dijelaskan dalam buku Pakaian Adat Tradisional Bali yang menjelaskan bahwa perkembangan busana bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan biologis, namun juga kebutuhan budaya (Dhamika, 1988: iii-xi).

Dalam Kamus besar Bahasa Indonesia busana merupakan pakaian lengkap (yang indah-indah) (2008:242). Dalam pengertiannya, pakaian mencakup segala seusuatu yang melekat pada tubuh baik berupa baju, celana, kain maupun perhiasan yang digunakan sebagai penghias maupun pelengkap bagi tubuh. Menurut Inda dalam bukunya yang berjudul Busana Jawa Kuna, manusia itu berpakaian dan dapat diterima sebagai sesuatu yang universal. Dalam hal ini manusia sebagai mahluk sosial memfungsikan pakaian bukan hanya sekedar untuk melindungi tubuh semata, namun pakaian juga dapat berfungsi sebagai pembeda dan estetika dalam proporsi secara keseluruhan dan fungsi etika dengan melindugi bagian-bagian badan tertentu (Inda, 2012:9-10).

Dalam hal ini busana termasuk kedalam pranata pemeliharaan dan pengupayaan keindahan tubuh. Meskipun demikian busana merupakan bagian yang berada diposisi paling luar pada tubuh, dapat ditinggalkan dan tidak meninggalkan bekas. Keindahan tubuh dalam budaya Jawa dilihat secara holistik, menciptakan keserasian yang harmoni dan terdapat konsep-konsep yang mendasarinya, maka dari itulah dalam kesenian Jawa tidak digambarkan tubuh

(12)

yang telanjang. Konsep tersebut dilihat dari keindahan seseorang dalam satu kesatuan dari ciri fisik, watak dan pembawaannya. Hal ini dapat diperhatikan pada penggambaran dari tokoh-tokoh pewayangan, yang mana sesungguhnya wayang bukanlah sekedar sebuah hiburan semata, melainkan sebagai proyeksi diri bagi manusia (Edy, 2012:241-243).

Dalam perkembangannya busana sendiri memiliki berbagai macam model, gaya bahkan sampai pada fungsinya. Inda dalam bukunya Busana Jawa kuno membagi fungsi dari busana kedalam 6 bagian (2012: 10), diantaranya:

1. Busana sebagai pelindung tubuh dari udara luar 2. Busana sebagai menyembunyikan kekurangan 3. Busana sebagai penampil kelebihan

4. Busana sebagai penunjang maupun pembentuk kepribadian 5. Busana sebagai penghias diri

6. Busana sebagai perbedaan status sosial

Berdasarkan fungsi yang dijabarkan di atas, sudah barang tentu busana merupakan segala sesuatu yang menempel pada bagian tubuh. Hal ini tidak hanya dikaitkan dengan busana hanya sekedar kain ataupun perhiasan saja, akan tetapi dapat juga dikaitkan dengan benda-benda penyerta dari busana itu sendiri. Bahkan kaitannya dengan fungsi, bentuk tubuh maupun gaya rambut dari si pemakai sendiri kerap dikaitkan dengan busana.

Berdasarkan data di atas dapat disimpulkan bahwa busana bukanlah merupakan suatu hal yang baru bagi manusia, busana sudah dikenakan sejak awal peradaban manusia hingga saat ini dengan berbagai macam gaya dan bahan yang berbeda. Dalam hal ini busana sendiri pada umumnya dibuat dengan bahan yang

(13)

mudah lapuk, namun sebagai penunjang komunikasi, busana kerap ditampilkan dalam dalam penggambarannya yang dimuat dalam data-data arkeologi berupa artefak. Data-data tersebut mencakup segala sesuatu yang pernah hadir dalam kehidupan manusia dulu dengan periode tertentu, di antaranya seperti benda-benda, alat-alat yang masih sangat sederhana bentuknya, lukisan-lukisan goa dan semua yang dipakai pada zaman batu. Kemudian berlanjut hingga zaman sejarah dan dapat dilihat pada bangunan-bangunan purba seperti candi, arca, relief sampai pada pernaskahan kuno yang dapat juga ditemui pada tulisan-tulisan yang tergores dipermukaan prasasti maupun bangunan-bangunan purba lainnya.

Kajian busana pada umumnya mengacu pada data-data berupa arca yang mana dalam hal penggambaran busana dapat diperhatikan lebih jelas ketimbang yang ada pada relief. Penelitian mengenai arca sendiri sudah dilakukan dari berbagai pihak yang menekankan pada disiplin ilmu Arkeologi. Dalam hal penggambaran busana sendiri selain pada data filologi, penggunaan busana pada arca tidaklah dapat dihindari keberadaannya yang kemudian dapat dijadikan acuan dalam hal penggambaran busana pada relief-relief yang semasa.

B. Teori dan Kerangka Pikir 1. Pendekatan Arkeologi Seni

Arkeologi merupakan disiplin ilmu yang mempelajari tinggalan atau sisa-sisa peninggalan budaya masa lalu yang berbentuk benda untuk diungkapkan kehidapan manusianya (Edy, 2012:18), yang dimaksud dengan kehidupan manusianya di sini adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan kebudayaan ataupun bisa juga sisebut dengan kebiasaan manusia. Dalam hal ini kebiasaan tersebut dapat berupa apa saja, dalam hal berbusana misalnya.

(14)

Arkeologi sendiri sebagai sebuah bidang ilmu tidak boleh menyalahi kaidah dari keilmuan modern. Subjektivitas yang dimungkinkan hanyalah dalam hal pemilihan teori yang digunakan sebagai dasar dari interprestasi dan pengambilan keputusan dalam hal perioritas penelitian. Hal ini menentukan pemanfaatan dari hasil penelitian yang diusung, dalam kaitannya dengan masalah kepentingan pendidikan maupun rasa kebangsaan. Sebagaimana objek kajian yang mengusung kebudayaan Indonesia masa lalu, maka arkeologi di sini dipisahkan dengan pembatasan wilayah. Arkeologi Indonesia, yang merupakan pengetahuan arkeologi tentang Indonesia. Pembatasan wilayah indonesia di sini lebih di utamakan kepada apa-apa yang telah ataupun pernah menjadi wilayah Indonesia. Meskipun cakupan negara Indonesia saat ini hanya sebagain kecil dari cakupan wilayah di masa lalu, namun hal itu sudah dapat dikategorikan ke dalam cakupan penelitian “Arkeologi Indonesia”. Dalam hal ini dapat dicintohkan pada cakupan wilayah kepemerintahan kerajaan Majapahit, Sriwijaya, ataupun Melayu Kuno (Edy, 2012:3-4).

Apabila dilihat dari temuannya, atau artifact (artefak) yang menjadi kerangka utama guna mengungkap kebudayaan masa lalu. Adapun pokok bahasannya lebih ditentukan oleh ciri-ciri bentuk ataupun teknologi yang menandakan budaya atau yang dibuat di wilayah Indonesia sekarang ini, meskipun ditemukan di luar Indonesia. Namun, di samping itu, ada juga temuan yang dibuat di luar Indonesia dan ditemukan di Indonesia. Dalam hal ini temuan-temuan tersebut termasuk ke dalam objek studi arkeologi Indonesia, karena benda-benda tersebut, meskipun bukan bikinan Indonesia, tapi pernah digunakan atau mempunyai arti bagi manusia sezaman yang tinggal di Indonesia.

(15)

Dalam hal ini candi selain sebagai tempat peribadatan ataupun pemakaman, juga merupakan karya seni bangsa Indonesia masa lalu. Tinjauan atas arah dan minat dari penelitian arkeologi, bagi sejumlah peneliti arkeologi mencoba untuk mencari relevansi pengetahuan arkeologi dengan permasalahan bangsa Indonesia saat ini. Kejadian-kejadian ataupun cara-cara penanganan terhadap keadaan-keadaan tertentu di masa lalu dijadikan cermin untuk melihat persoalan-persoalan masa kini (Edy, 2012:7). Hal ini akan sangat bermanfaat apabila data yang digunakan benar-benar mendukung dan dapat diandalkan, bukan hanya sekedar spekulasi. Kajian dengan arahan ini dapat dilandasi berdasarkan persamaan maupun perbedaannya. Perbedaan-perbedaan tersebut dapat dilihat dari perkembangan tekhnologi, kerangka acuan pada zaman masing-masing, maupun sosial-polotik-ekonomiknya.

Kesenian merupakan salah satu unsur dari kebudayaan. Keberadaan seni sendiri sangat diperlukan dalam memenuhi kebutuhan kehidupan manusia. Seni adalah ide, gagasan, suara hati, dan gejolak jiwa yang disampaikan melalui aplikasi yang berbeda-beda. Dari keseniaan ini kemudian mucul melalui benda-benda arkeologi seperti arca-arca maupun relief pada candi. Dalam cakupan wilayah arkeologi Indonesia, kerajaan Majapahit merupakan kerajaan terbesar dan mencakup hampir seluruh wilayah nusantara.

Dalam hal ini interpretasi terhadap pola-pola sisa peninggalan kerajaan Majapahit pada relief candi Panataran sebagai penggambaran tentang seni visual dan representasinya secara arkeologis. Hal ini dapat mengidentifikasi asal dan pengaruh asing yang mempengaruhi perkembangan seni visual di Indonesia, serta dapat melakukan interpretasi mengenai simbolnya. Dengan demikian diperlukan

(16)

kajian dengan inter-disiplin arkeologi dan seni, dalam hal ini dapat diketahui sampai batas mana diperlukan kerja sama antar disiplin ilmu satu dengan yang lainnya. Sering kali pertemuan dengan ilmu lain itu memang lebih bersifat ‘kemitraan’ dalam kesetaraan, daripada yang satu melayani yang lain (2012:21). Dengan demikian arkeologi seni yaitu sebuah kajian yang membahas tentang benda-benda peninggalan di masa lampau yang memiliki unsur dan nilai seni pada bentuk dan wujudnya.

Arkeologi-Seni dalam pemahamannya merupakan sebuah proses analisis pada sebuah tinggalan arkeologi atau artefak. Dari benda tinggalan tersebut kemudian dilihat nilai-nilai estetik yang terkandung di dalamnya. Dalam teori ini erat kaitannya dengan permasalahan sejarah kesenian, dikarenakan setiap zaman era dari kesenian itu berbeda dan suatu gaya seni memiliki masanya sendiri. Sehingga dalam kurun waktu yang lama dengan sendirinya gaya seni itu semakin menyusut dan kemudian digantikan dengan gaya seni yang lainnya. Menurut Hauser dalam makalah pertemuan arkeologi yang dibahas oleh Edy Sedyawati, dijelaskan bahwa suatu perkembangan seni di tentukan oleh corak masyarakatnya. Ekspresi dari kesenian itu sendiri ditentukan oleh 4 hal, yaitu:

a) Tradisi terdahulu, baik yang berkaitan dengan tekhnik maupun konsep yang mengakar.

b) Kebutuhan

c) Keadaan lingkungan

(17)

Dengan demikian keempat hal ini bisa dijadikan faktor-faktor penentu dalam masalah pendeskripsian dari benda kesenian, selain itu juga digunakan teori mengenai unsur-unsur dasar estetik (Edy, 1984:7-9).

Seni disini merupakan suatu hal yang tidak dapat dijelaskan dengan pasti, pada dasarnya seni mengarah kepada sebuah rasa dalam diri manusia. Rasa yang ditimbulkan berbeda-beda, belum tentu suatu hal yang indah menurut seseorang indah juga menurut yang lain. Seni menurut Ratnaesih Maulana merupakan sebuah hasil getaran jiwa dan juga sebuah keserasian dan keselarasan fikiran dan menghasilkan karya yang indah (1997:5).

Pendekatan inter-disiplin ilmu arkeologi-seni di sini tidak dapat dilepaskan dalam kaitannya dengan ilmu lain yang mana dapat dijadikan sebagai sarana dalam hal menginterpretasikan sebuah data yang ada. Berdasarkan teori gabungan antara idealistik dan materialistik yang sudah dijelaskan sebelumnya, maka dalam hal ini digunakan ilmu ikonografi dan dibantu dengan data-data dari disiplin ilmu filologi.

Ikonografi pada dasarnya merupakan cabang dari sejarah seni, yang mempelajari identifikasi, deskripsi dan interpretasi yang terkandung dalam suatu gambar. Istilah ikonografi sendiri bersumber dari kata ikon (icon) yang berasal dari bahasa Yunani eikoon yang berarti bayangan, potret atau gambar dan

graphoo yang berarti menulis atau merinci. Dalam hal ini ikonografi berbeda

dengan ikonologi yang mana meskipun keduanya dalam hal pemaknaan dasar memiliki maksud yang sama yaitu dengan melihat suatu benda dalam hubungannya dengan benda lain guna mengetahui arti sesungguhnya. Akan tetapi ikonografi dalam arti sempit digunakan untuk mengetahui makna yang

(18)

melatarbelakangi pembuatan dari motif-motif seni yang meliputi arca dan relief. Sedangkan ikonologi digunakan untuk mengetahui prinsip-prinsip nilai simbolisnya (Ratnaesih, 1997:1).

Dalam hal ini ikonografi difokuskan ke dalam ikonografi Hindu, dimana ikon tidak ditujukan kepada materi gambar saja melainkan ditujukan kepada tokoh yang digambarkan (1997:1). Dalam hal ini ditjukkan dengan penggambaran dewa yang berupa patung, atau yang sering disebut dengan arca. Arca sendiri dalam bahasa sansekerta diartikan sebagai gambaran, atau gambaran dari perwujudan seorang dewa yang divisualisasikan kedalam bentuk tiga dimensi yaitu patung. Hal ini dilakukan untuk mencapai hubungan antara dewa dengan manusia. Seperti halnya hubugan antara seorang seniman pembuat patung dengan patung itu sendiri. Sama halnya dengan yang terjadi pada relief seperti yang dikatakan Wirjosuparto, bahwa relief merupakan seni drama yang mempertunjukkan cerita dewata yang diperankan oleh tokoh manusia (Ratnaesih, 1997:3).

Maka demikian mengacu pada pendekatan Ikonografis yang mana pada setiap benda-benda seni mengandung pesan-pesan atau konsep yang dapat diartikan secara luas ataupun beragam. Namun, keragaman tersebut dapat dibatasi apabila simbol-simbol secara teratur diasosiasikan dengan bentuk-bentuk seni khusus (1997:4). Hal tersebut akan dapat membedakan dimana yang benar dan yang salah dalam masalah pesan yang disampaikan pada gambaran tersebut. Dalam hal ini menurut Cassirer, gambaran dihubungkan dengan unsur-unsur suatu bentuk dan digunakan sebagai simbol-simbol yang mana dalam sebuah simbol meneydiakan sarana konseptual demi mencapai sebuah realitas atau dibaca sebagai realitas sosial.

(19)

Realitas sosial tersebut dihubungkan dengan data-data filologi yang menyertai benda-benda kesenian tersebut. Arkelogi dan filologi pada dasarnya dipisahkan satu sama lainnya, dikarenakan keduanya memiliki data utama yang berbeda untuk dikaji. Filologi sendiri merupakan ilmu yang mempelajari bahasa dalam sumber-sumber sejarah yang tertulis, merupakan kombinasi dari kritik sastra, sejarah dan linguistik. Filologi sendiri juga merupakan ilmu yang mempelajari naskah-naskah manuskrip dari zaman kuno. Sedangkan untuk arkeologi sendiri mempelajari artefak, seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya. Namun, dikarenakan suatu teks kerap dituliskan pada suatu benda tertentu, maka dalam hal ini dapat terjadi pertemuan pada kedua bidang ilmu tersebut. Karena dalam sebuah teks tersebut sering kali tertulis lebih dari satu, maka ilmu ini telah mengembangkan metode penelitiannya guna memperoleh bacaan yang terbaik. Dalam hal ini pembacaan teks yang terkait dengan arkeologi adalah epigrafi, yang mana ilmu ini mempelajari prasasti/inskripsi yang pada umumnya merupakan terbitan tunggal (Edy, 2012:210). Dalam kajian ini yang dimaksudkan kedalam ilmu pernaskahan filologi diantaranya seperti naskah-naskah kesusastraan

Negarakertagama, Pararaton, maupun Kakawin dan lain sebagainya.

2. Kerangka Pikir

Untuk menjawab penelitian ini, maka kerangka pikir yang digunakan adalah dengan melihat Relief candi sebagai acuan dari busana masyarakat pada jaman kerajaan Majapahit. Merupakan kerajaan terbesar dan berpengaruh pada masyarakat Indonesia dulu. Konsep representasi ini menjadi penting dalam kajian budaya karena representasi menghubungkan makna dan bahasa dengan budaya

(20)

(Hall, 1997:15-21). Visual relief yang diteliti bukan sekedar relief hias semata, tetapi juga sebagai representasi dari individu atau komunitas yang melekatkan sistem keyakinan dan nilai tertentu. Sebagai karya seni, relief candi yang mengandung cerita merupakan transformasi dari karya sastra ke betuk visual. Maka dari itu diperlukan data-data tertulis yang bersumber dari data filologi yang sudah melalui garapan para ahli.

Busana sering muncul dalam karya sastra Jawa Kuno berbentuk puisi (kakawin dan kidung) ataupun yang berbentuk prosa. Dalam hal ini busana sering dideskripsikan sekedar pendukung dari tokoh yang diceritakan. Untuk lebih terperincinya tidak ada dan lebih menggambarkan dari jenis pakaian yang dikenakn maupun pola ragam hiasnya saja (Esti, 1998:16).

Berdasarkan hal tersebut di atas diperlukan arkeologi seni dengan tujuan untuk merekonstruksikan konsep dan makna yang terkandung dalam relief yang menggambarkan bagaimana busana yang diperagakan pada setiap relief. Mempertimbangkan relief candi sebagai representasi dari kebudayaan masyarakat dalam berbusana maka landasan teori yang dipakai dalam penelitian ini adalah pendekatan arkeologi seni seperti yang digagas Edy Sedyawati dengan menggunakan teori gabungan yang menyatakan bahwa dalam situasi tertentu gagasan bisa menentukan sosok kebudayaan, namun pada situasi lain kondisi fisik material juga bisa menentukan arahan dari pembentukan maupun pengembangan kebudayaannya (2012:12).

Melalui pendekatan ini relief candi dipandang sebagai representasi tingkah laku masyarakat dan bagaimana perubahan kebudayaannya (Hasanuddin, 2010).

(21)

Dalam hal ini diguanakan pemaknaan bentuk berdasarkan ilmu ikonografi dan lebih difokuskan pada ikonografi hindu. Lewat kajian arkeologi seni ini juga relief candi akan dikaji dari sisi cerita/legenda maupun mitos masyarakat, dimana mitos merupakan sebuah cerita yang memberi pedoman dan arah tertentu kepada kelompok manusia. Menurut Rosalind Coward dan John Ellis, mekanisme suatu mitos adalah cara gambaran-gambaran biasa terikat pada objek dan penerapannya sehingga makna-makna ideologis menjadi tampak alami dapat diterima akal sehat (Berger, 2005:55).

Skema kerangka pikir. Visual busana pada

Relief Candi Panataran

Konsep atau Gagasan yang Terkandung pada

Relief Candi

Arkeologi seni (Edy Sedyawati)

Deskripsi busana

Kondisi Fisik Material Relief Candi Sejarah yang

Berkembang pada Candi Panataran

Referensi

Dokumen terkait

Rencana Program Investasi Jangka Menengah (RPIJM) Bidang Cipta Karya merupakan dokumen perencanaan dan pemrograman pembangunan infrastruktur Bidang Cipta Karya

dalam rangkaian acara yang digelar hingga 12 Februari ini juga terdapat prosesi pengangkatan jabatan yang dilakukan langsung oleh Dirut Sumber Daya Manusia

Hasil analisis untuk membandingkan antara subject area dan control area, sebelum keberadaan Suramadu diperoleh H0 diterima dan H1 ditolak, atau tidak terdapat perbedaan

Untuk sepeda motor akumulasi puncak terjadi pada hari Minggu dengan jumlah sepeda motor sebanyak 185 kendaraan dengan luas 277.5 m 2 jadi luas lahan parkir yang disediakan

Puji Syukur penulis panjatkan kehadirat Allah Tri Tunggal Maha Kudus, Allah Bapa, Anak dan Roh Kudus karena atas berkat, hikmat dan anugerah-Nya, sehingga penulis dapat

Sedangkan Istarani (2011: 15) model pembelajaran adalah seluruh rangkaian penyajian materi ajar yang meliputi segala aspek sebelum dan sesudah pembelajaran yang

Pendidikan merupakan faktor penting dalam mendukung berkembangnya suatu bangsa. Pendidikan menunjang berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi dan ilmu

Karena gas refrigeran ini melewati pipa dengan diameter kecil dari pipa kapiler ini merupakan hamabatan dari peredaran gas refrigeran tersebut dan mengakibatkan tekanan pada